• Tidak ada hasil yang ditemukan

Trophic structure and population biology of fishes in Semak Daun Island, Kepulauan Seribu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Trophic structure and population biology of fishes in Semak Daun Island, Kepulauan Seribu"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

STRUKTUR TROFIK DAN BIOLOGI POPULASI IKAN

DI PERAIRAN PULAU SEMAK DAUN KEPULAUAN SERIBU

SRIATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul STRUKTUR

TROFIK DAN BIOLOGI POPULASI IKAN DI PERAIRAN PULAU SEMAK

DAUN KEPULAUAN SERIBU adalah hasil karya saya dengan arahan dari

komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan

tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

Sriati

(4)
(5)

ABSTRACT

SRIATI. Trophic Structure and Population Biology of Fishes in Semak Daun Island, Kepulauan Seribu. Under direction of MENNOFATRIA BOER, ISMUDI MUCHSIN and SUBHAT NURHAKIM

Reef fishes is one of primary reef resource exploited by artisanal fishers in most Indonesian coastal areas and small islands. Sustainable management of reef fisheries should be founded upon scientific data set combining different types of indicators, some of which are biological and ecological indicators. The objective of the study were (1) to analyze trophic structure on reef fish communities in Semak Daun Island, (2) to examine population biology and exploitation on most favored reef fish, and (3) to review the inter-relation and response between reef fish resource with trophic level, population variables, and exploitation. The research was conducted in the patch reefs encircling Semak Daun Island, Kepulauan Seribu. There were seven (7) research sites representing the entire island system. Sampling for reef fish communities was conducted by underwater visual census and capture using gillnet and bamboo trap. Data analyses comprise of fish density, fish trophic level, and a set of population variables. Statistical test was performed to test the difference of fish abundance between sites and biomass of each trophic level, to analyze the influence of population variables to fish biomass, and the correlation between different trophic level. Research results revealed that fish communities in Semak Daun Island comprise of different trophic levels, from 2.10 to 4.00. The lowest fish density was presented at trophic

level 2.51-3.00, dominated by Scarus ghobban (Scaridae). Growth coefficient (K)

for dominant fish species ranged between 0.09-0.64 month-1, L∞ 49.13-190.05

mm. The range for mortality rate was 0.81-1.61 month-1, with natural mortality

rate of 0.14-0.71 month-1. Exploitation rate in general was exceeding 0.5. The

highest intensity of reef fish exploitation was performed using gill nets with

dominant yields grouper (Serranidae, Epinephelus fuscoguttatus) and tusk fish

(Labridae, Choerodon anchorago). Fish density featured to decrease its density in

parallel to the elevation of fish trophic level. There also observed sharp decline in fish biomass at trophic level 2.51-3.00, followed by poor growth and low natural mortality, with excessing-optimum of fish exploitation rate. Such measures indicate that reef fish exploitation has put considerable pressure on reef fish resources in Semak Daun Island. Pattern of energy flow was constructed referring to fish diet and existing population dynamics, revealing that fish community at low trophic level (2.00-2.50) had significant contribution to support reef fish resources and greater impacted by the remaining trophic level, as well as contributed significantly to population variables. Fish biomass at this trophic level strongly correlated with higher trophic level (3.51-4.00). Therefore, the management of reef fisheries at high trophic level feature critical and significant in maintaining the stability of reef fish community at Semak Daun Island.

(6)
(7)

RINGKASAN

SRIATI. Struktur Trofik dan Biologi Populasi Ikan di Perairan Pulau Semak Daun Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh MENNOFATRIA BOER, ISMUDI MUCHSIN dan SUBHAT NURHAKIM.

Sumberdaya ikan di Pulau Semak Daun mengalami tekanan akibat

penangkapan berlebih (overfishing) dan tidak ramah lingkungan. Hal ini ditandai

dengan penurunan kelimpahan, penurunan ukuran rata-rata individu hasil tangkapan, berkurangnya keragaman spesies hasil tangkapan, penurunan hasil tangkap per satuan upaya (CPUE) dan dominasi spesies berukuran relatif lebih kecil dengan nilai ekonomis yang lebih rendah. Penurunan ukuran dapat diakibatkan oleh selektivitas alat tangkap. Target penangkapan sering ditujukan pada individu berukuran lebih besar dan lebih tua sehingga menurunkan proporsi jumlah individu berukuran besar dan berumur lebih tua dalam populasi. Dengan demikian penangkapan mempengaruhi struktur umur dan struktur ukuran dalam populasi. Pada tingkat komunitas, pengaruh langsung penangkapan menyebabkan pergeseran pemangsa, mangsa, atau pesaing dari komunitas ikan tersebut. Pengaruh tersebut meliputi penurunan biomasa jenis yang semula melimpah dan peningkatan biomasa jenis lainnya yang selanjutnya mengakibatkan perubahan kelimpahan relatif spesies atau komposisi jenis dalam komunitas, dan selanjutnya merubah biomasa relatif pada berbagai trofik level. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan upaya pengelolaan sumberdaya perikanan yang didasarkan pada suatu kajian ilmiah tentang struktur trofik pada komunitas ikan, dimulai dari tingkat trofik paling rendah hingga ikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji struktur trofik pada komunitas ikan, mengkaji parameter populasi dan eksploitasi pada ikan dominan, dan menganalisa hubungan dan respon dari sumberdaya sebagai akibat keterkaitan trofik level, dinamika populasi dan eksploitasi.

Kegiatan penelitian difokuskan di perairan gosong karang sekitar Pulau Semak Daun yang dibatasi dengan tubir, dibagi dalam beberapa stasiun agar mewakili karakteristik seluruh lokasi penelitian. Jumlah stasiun pengambilan contoh ada tujuh stasiun, yaitu stasiun 1 sampai dengan 4 mewakili lokasi dengan karakteristik habitat terumbu karang, stasiun 5 lokasi di sekitar lamun, stasiun 6 lokasi pasir campur lamun dan stasiun 7 mewakili perairan dalam atau gobah.

Pengambilan contoh di tiap stasiun dengan cara sensus visual bawah air (UVC)

dan sampling menggunakan alat tangkap gill net dan bubu. Parameter yang diukur pada saat pengambilan contoh ikan adalah kepadatan, panjang total, berat, dan identifikasi jenis-jenis makanan. Selain itu dilakukan pengukuran kualitas air dan lingkungan di setiap stasiun. Analisis data dilakukan untuk mengetahui kelimpahan ikan, biomasa, trofik level, dan parameter populasi. Uji statistik dilakukan untuk mengetahui perbedaan kelimpahan dan trofik level antar stasiun.

Hasil sampling penangkapan didapatkan 99 spesies yang termasuk dalam 22

famili, sedangkan berdasarkan metode UVC diperoleh 78 spesies yang termasuk

(8)

dan Labridae. Distribusi per species dominan berdasarkan stasiun diuji

menggunakan statistik uji Mann-Whitney pada taraf nyata 5%. Hasilnya

menunjukkan beberapa stasiun yang berbeda nyata, yaitu antara stasiun 1 dan 3, 1 dan 4, 1 dan 5, 1 dan 7, serta 2 dan 4.

Biomasa ikan dominan di lokasi penelitian didominasi oleh spesies

Chlorourus sordidus, Siganus canaliculatus, Scarus sp, Choerodon anchorago,

dan Plectorhinchus multivittatum. Terdapat tiga kelompok ikan yang berbeda

berdasarkan kebiasaan makanannya, sepuluh spesies memanfaatkan krustase

sebagai makanan utama, 9 (sembilan) spesies yang memanfaatkan

makroinvertebrata bentik sebagai makanan utama, 1 (satu) spesies memanfaatkan krustase dan alga sebagai makanan utama, 1 (satu) spesies memanfaatkan krustase dan makroinvertebrata bentik, dan 11 spesies lainnya memanfaatkan alga sebagai makanan utamanya. Berdasarkan trofik levelnya, biomasa ikan dominan di sekitar Pulau Semak Daun mencakup semua trofik level, yaitu dari 2,10 hingga 4,00. Biomasa ikan semakin berkurang dengan semakin meningkatnya trofik level. Berdasarkan hasil uji-t diketahui bahwa struktur trofik ikan berbeda untuk lokasi dengan karakteristik terumbu karang, karakteristik lamun dan karakteristik gobah.

Nilai koefisien pertumbuhan (K) ikan-ikan dominan di lokasi penelitian pada umumnya termasuk rendah. Jika membandingkan persamaan pertumbuhan

antar ikan, terlihat bahwa spesies Chlorourus sordidus memiliki koefisien

pertumbuhan yang paling tinggi yang berarti bahwa ikan ini mencapai panjang maksimum lebih cepat dibanding spesies lainnya. Kondisi ini didukung dengan

nilai L ikan tersebut 190,05 mm, merupakan nilai terkecil dibanding spesies

lainnya. Laju mortalitas total jenis-jenis ikan dominan berkisar antara 0,17 per bulan sampai dengan 1,61 per bulan, dengan nilai mortalitas alami berkisar antara 0,14 sampai 0,71 per bulan. Laju eksploitasi pada umumnya melebihi 0.5 yang

berarti eksploitasi telah melebihi optimal, hanya Chlorourus sordidus dan Scarus

sp yang eksploitasinya dibawah optimal.

Alat tangkap yang beroperasi di lokasi penelitian didominasi oleh jaring dan bubu, namun alat paling efektif dalam melakukan penangkapan adalah jaring. Produksi hasil tangkapan ikan dominan tertinggi adalah kerapu hitam

(E.fuscoguttatus) dan jarang gigi (C. anchorago).

Komponen tingkat trofik terendah di lokasi penelitian terdiri dari fitoplankton, alga bentik dan detritus. Aliran materi yang disusun berdasarkan kebiasaan makanan dan dinamika populasi menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda dari setiap kelompok ikan. Perubahan kebiasaan makanan terhadap alga bentik memberi pengaruh yang berbanding terbalik terhadap biomasa ikan pada trofik level 2,00-2,50, demikian pula invertebrata terhadap ikan pada trofik level 3,51-4,00 dan hewan karang terhadap ikan pada trofik level 3,01-3,50. Adapun perubahan kebiasaan terhadap kelompok makanan lain memberikan pengaruh yang sebanding dengan perubahan biomasa ikan.

(9)

© Hak cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(10)
(11)

STRUKTUR TROFIK DAN BIOLOGI POPULASI IKAN

DI PERAIRAN PULAU SEMAK DAUN KEPULAUAN SERIBU

SRIATI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:

1. Prof. Dr. Ir. Endi Kartamihardja, M.Sc.

2. Dr. Ir. Mukhlis Kamal, M.Sc.

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka:

1. Prof. Dr. Ir. Bachrulhajat Koswara

(13)

Judul Disertasi : Struktur Trofik dan Biologi Populasi Ikan di Perairan

Pulau Semak Daun Kepulauan Seribu

Nama : Sriati

NIM : C161050031

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer,DEA Ketua

Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin Prof. Dr. Ir. Subhat Nurhakim, M.S.

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Perairan

Prof. Dr. Ir. Enang Harris,M.S. Dr. Ir. DahrulSyah, M.Sc.Agr.

(14)
(15)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan Disertasi berjudul ” Struktur Trofik dan

Biologi Populasi Ikan di Perairan Pulau Semak Daun Kepulauan Seribu”.

Pemilihan topik ini didasari adanya pergeseran interes pengelolaan perikanan yang akhir-akhir ini didasarkan pada pendekatan ekosistem. Penelitian ini terutama bertujuan untuk mengkaji hubungan dan respon dari sumberdaya ikan sebagai akibat keterkaitan trofik level, dinamika populasi dan eksploitasi, mengingat eksploitasi berpengaruh pada setiap trofik dalam trofik level, dan merupakan bagian dari pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis ekosistem

(Ecosystem Based Fisheries Management). Dengan demikian disertasi ini sangat

berguna sebagai bahan masukan bagi pengelolaan sumberdaya perikanan, terutama sumberdaya perikanan di ekosistem terumbu karang.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin dan Bapak Prof. Dr. Ir. Subhat Nurhakim, M.S. sebagai Anggota Komisi Pembimbing, atas arahan dan bimbingannya mulai penyusunan proposal hingga Disertasi ini dapat diselesaikan. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Alm. Bapak Dr. Ir. Sutrisno Sukimin,DEA yang telah memberikan bimbingan selama proses penyusunan proposal dan pelaksanaan penelitian di lapangan. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Ario Damar sebagai penguji pada Ujian Kualifikasi, Bapak Prof. Dr. Ir. Endi Kartamihardja, M.Sc. sebagai Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup dan Ujian Kualifikasi, Bapak Dr.Ir.Muchlis Kamal sebagai Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup, Bapak Prof.Dr.Ir.Bachrulhayat Koswara dan Bapak Prof.Dr.Ir.Sam Wouthyzen sebagai Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka, serta Ketua Program Studi Ilmu Perairan, Bapak Prof. Dr. Ir. Enang Harris,M.S atas masukan dan saran yang sangat berarti untuk penyempurnaan Disertasi ini. Penulis berharap semoga Disertasi ini bermanfaat bagi pembaca dan memperkaya khasanah ilmu pengelolaan sumberdaya perikanan.

Bogor, Januari 2012

(16)
(17)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kementerian Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,

atas bantuan beasiswa BPPS yang diberikan kepada penulis.

2. Rektor Universitas Padjadjaran dan Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3.

3. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Kelautan,

Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil, atas bantuan biaya yang diberikan untuk penulisan Disertasi melalui program COREMAP 2010.

4. Bapak Dr.Ir.Vincentius Siregar atas kesempatannya untuk melakukan

penelitian bersama, Bapak Prof. Dr.Ir.Sam Wouthyzen atas bantuan dan masukan yang sangat berarti selama di lapangan.

5. Bapak Prof. Dr.Ir. MF. Rahardjo, atas saran, nasehat dan metovasi yang

diberikan untuk bekerja dan menyelesaikan studi dengan baik.

6. Pimpinan dan Staf Pengajar Program Studi Prikanan, Program Studi

Kelautan, pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNPAD, atas motivasi yang diberikan untuk penyelesaian studi S3 ini.

7. Orang tua tercinta (Bapak dan Ibu Alm.) atas doa dan kasih sayang yang

dicurahkan hingga akhir hayatnya. Suami (Drs. Husin Achmad Santoso)

dan Anak-anak (Ni’mah Rahmadiyani,S.E dan Amirul Fajar Mahardika),

atas doa, pengertian dan dukungannya sehingga penulis dapat menjalani studi S3 hingga selesai.

8. Tim Pulau Seribu, Samsul B. Agus S.Pi., M.Si.; M.Banda Selamat S.Pi.,

M.Si.; Adriani Sunudin, S.Pi., M.Si., Anggi Afif Muzaki, S.Pi.; Mursalin S.Pi, dan Alimuddin S.Pi. serta Tim Pulau Seribu dari FPIK-UNPAD, atas kerjasamanya selama di lapangan.

9. Dr. Ir. Niken TM Pratiwi dan Teman seperjuangan (Ibu Maya, Ibu Yusri,

Pak Fadli) atas dorongan, semangat, dan kerjasama yang baik selama studi hingga selesainya Disertasi ini.

10. Saudara Dwi Yuni Wulandari,S.Pi., Arif Nurcahyanto,S.Pi., yang telah membantu memperlancar proses penulisan Disertasi hingga penyelesaian studi.

11. Berbagai pihak yang turut andil dalam keberhasilan penulis menyelesaikan studi S3.

Semoga pengorbanan yang diberikan menjadi amalan yang baik dan mendapat imbalan yang lebih baik dari Allah swt. Akhir kata semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2012

(18)
(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Blitar,Jawa Timur, pada tanggal 1 Mei 1964. Penulis

adalah anak ke-10 dari 12 bersaudara, dengan ayahanda bernama Marjono (Alm.)

dan Ibu Supadmi (Alm.).

Penulis menempuh program S1 pada Jurusan Manajemen Sumberdaya

Perairan, Fakultas Perikanan IPB dan lulus tahun 1987. Pada tahun 1993 penulis

melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu Perairan Sekolah

Pascasarjana IPB dengan beasiswa BPPS dan lulus tahun 1998. Pada tahun 2005

penulis mendapat kesempatan menempuh pendidikan S3 pada Program Studi

yang sama di Sekolah Pascasarjana IPB, dengan bantuan beasiswa BPPS.

Penulis menikah dengan Drs. Husin Achmad Santoso pada tahun 1990 dan

dikaruniai satu orang putri, Ni’mah Rahmadiyani,S.E. (20 tahun) dan satu orang putra, Amirul Fajar Mahardika (15 tahun). Sejak tahun 1988 hingga saat ini,

penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Program Studi Perikanan Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran.

Selama menempuh pendidikan S3, penulis telah mempublikasikan karya

ilmiah yang merupakan bagian dari Disertasi yaitu:

- Kajian Trofik Level Pada Komunitas Ikan di Ekosistem Terumbu

Karang Kepulauan Seribu, dalam Prosiding Seminar Nasional

Tahunan VI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan dan Kongres

INFHM, Universitas Gajah Mada, Tahun 2009.

- Keanekaragaman Sumberdaya Ikan Hasil Tangkapan di Terumbu

Karang Sekitar Pulau Semak Daun Kepulauan Seribu, dalam Prosiding

Seminar Nasional Tahunan VII Hasil Penelitian Perikanan dan

Kelautan, Universitas Gajah Mada, Tahun 2010.

- Status Sumberdaya Ikan Berdasarkan Ukuran dan Trofik Level Hasil

Tangkapan di Perairan Sekitar Pulau Semak Daun Kepulauan Seribu,

(20)
(21)

xxi

2.3 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Struktur Trofik ... 19

2.4 Biologi Populasi ... 23

2.5 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Pendekatan Ekosistem ... 26

(22)
(23)

xxiii

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Parameter fisik-kimiawi perairan, peralatan dan

metode pengukuran ... 44

2. Komposisi jenis ikan hasil pengambilan contoh berdasarkan

metode UVC di semua stasiun ... 46

3. Jumlah spesies dan kelimpahan ikan yang dijumpai berdasarkan

famili di Karang Lebar Pulau Semak Daun ... 48

4. Makanan utama komunitas ikan di perairan sekitar

Pulau Semak Daun ... 55

5. Jumlah individu dan kepadatan ikan berdasarkan kebiasaan makanan

di Pulau Semak Daun ... 56

6. Komposisi jenis ikan berdasarkan kebiasaan makanan pada

masing-masing kondisi terumbu karang ... 57

7. Rerata biomasa ikan per kelompok trofik level ... 62

8. Parameter pertumbuhan ikan dominan di Pulau Semak Daun ... 63

9. Mortalitas dan rasio eksploitasi ikan dominan di Pulau Semak Daun ... 65

10. Hasil tangkapan jenis-jenis ikan dominan oleh nelayan di perairan

Sekitar Pulau Semak Daun ... 68

11. Hasil tangkapan dan hasil tangkapan per satuan upaya

(24)
(25)

xxv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Bagan alir kerangka pendekatan masalah ... 9

2. Piramida makanan dengan lima jenjang trofik ... 14

3. Rantai Makanan pada Ekosistem Terumbu Karang di Kepulauan

Marshall ... 15

4. Inter-relasi trofik utama antar ikan di terumbu karang ... 17

5. Biomasa relatif pada berbagai trofik level di Terminos Lagoon,

Mexico ... 20

6. Lokasi Penelitian dan masing-masing Stasiun Pengambilan Contoh 34

7. Tahapan pelaksanaan penelitian mulai dari pengambilan contoh

hingga pencapaian tujuan penelitian ... 37

8. Komposisi jenis ikan hasil pengambilan contoh berdasarkan

eksperimental fishing di semua stasiun selama penelitian ... 45

9. Jenis-jenis ikan dominan di sekitar Pulau Semak Daun berdasarkan

tiga metode pengambilan contoh ... 49

10. Komposisi jumlah individu yang ditemui pada masing-masing

kondisi karang ... 50

11. Densitas ikan dominan di perairan Pulau Semak Daun ... 52

12. Kebiasaan makanan dan trofik level 32 spesies ikan dominan

di sekitar Pulau Semak Daun ... 54

13. Struktur trofik komunitas ikan berdasarkan kategori trofik level ... 58

14. Jumlah unit alat tangkap di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara ... 67

15. Perkiraan inter-relasi trofik komunitas ikan di lokasi penelitian .... 70

16. Aliran materi berdasarkan kebiasaan makanan dan

(26)
(27)

xxvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Komposisi hasil pengambilan contoh menggunakan eksperimental

fishing per stasiun di Pulau Semak Daun selama penelitian ... 67

2. Jenis ikan yang ditemukan berdasarkan sampling menggunakan

metode UVC per stasiun selama penelitian ... 90

3. Komposisi ikan hasil pengambilan contoh menggunakan eksperimental

fishing berdasarkan famili ... 94

4. Spesies dominan berdasarkan jumlah individu hasil pengambilan

contoh menggunakan eksperimental fishing ... 96

5. Spesies dominan berdasarkan berat hasil pengambilan contoh

menggunakan eksperimental fishing ... 98

6. Hasil uji Mann-Whitney, perbedaan distribusi kelimpahan per

stasiun ... 99

7. Densitas dan trofik level 32 spesies ikan dominan di perairan

Pulau Semak Daun ... 100

8. Hasil analisis ragam perbedaan biomasa ikan berdasarkan

kelompok trofik level ... 101

9. Distribusi frekwensi panjang ikan dominan per bulan di sekitar

Pulau Semak Daun, bulan Juli 2009 – Januari 2010 ... 102

10. Hasil analisis korelasi kelompok makanan ... 109

11. Hasil analisis korelasi antar kelompok trofik level ... 110

12. Nilai parameter fisik kimiawi perairan di sekitar Pulau Semak Daun 111

13. Kelimpahan fitoplankton (sel l-1) di perairan sekitar

Pulau Semak Daun ... 112

14. Kelimpahan zooplankton (individu l-1) di perairan sekitar

Pulau Semak Daun ... 113

(28)
(29)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan

Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan

seluas 0,5 ha yang dikelilingi karang penghalang (barrier reef) sehingga terbentuk

perairan dangkal terlindung (perairan karang dalam/gosong) yang relatif luas

(315 ha) (Soebagio 2005). Pemanfaatan sumberdaya alam utama di perairan ini

adalah perikanan, baik perikanan tangkap maupun budidaya. Kegiatan

penangkapan yang dilakukan masyarakat setempat umumnya penangkapan ikan

karang konsumsi dan ikan hias.

Seiring dengan pertambahan penduduk kota Jakarta, mendorong nelayan

untuk menangkap lebih karena tingginya permintaan akan ikan konsumsi.

Masuknya teknologi penangkapan juga membuat alat tangkap menjadi lebih

modern yang terkadang meninggalkan konsep ramah lingkungan. Hal ini terlihat

dengan masih dilakukannya penangkapan dengan bahan kimia di beberapa tempat

di Kepulauan Seribu sehingga mengakibatkan rusaknya hamparan terumbu karang

yang merupakan habitat bagi ikan hias dan biota laut lainnya (Estradivari et al.

2007). Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya perikanan di Kepulauan Seribu

pada umumnya cenderung mengalamai ancaman, baik tangkap lebih (overfishing)

maupun kerusakan habitat.

Fenomena tangkap lebih terlihat dari semakin sulitnya mendapatkan hasil

tangkapan, variasi jenis hasil tangkap yang semakin sedikit serta ukuran individu

tertangkap yang semakin kecil. Keragaman spesies ikan karang semakin

berkurang akibat ekstraksi yang berlebih terhadap sumberdaya tersebut dan hasil

tangkapan nelayan semakin menurun (Suwandi et al. 2001; Nirmala 2003).

Estradivari et al. (2007) dalam pemantauan terumbu karang Kepulauan Seribu

tahun 2004 dan 2005 mendapatkan bahwa 10 jenis ikan dominan yang ada secara

keseluruhan mengalami kecenderungan penurunan kelimpahan, baik berdasarkan

pengamatan sensus visual maupun hasil tangkapan nelayan. LAPI-ITB (2001) in

Estradivari et al. (2007) menyebutkan adanya indikasi tangkap lebih berdasarkan

(30)

pemanfaatan sumberdaya ikan dapat dideteksi dengan suatu kombinasi sejumlah

indikator, yaitu indikator stok yang meliputi:

1. hasil tangkapan per satuan upaya (catch per unit of effort atau CPUE),

2. hasil tangkapan total yang didaratkan,

3. rata-rata bobot ikan,

dan indikator biologi dan ekologi, yaitu :

1. parameter populasi,

2. struktur umur/struktur ukuran,

3. komposisi spesies dalam komunitas.

Uraian diatas menunjukkan bahwa sumberdaya ikan di Pulau Semak Daun

memiliki resiko yang tinggi terhadap adanya perubahan, baik akibat kerusakan

habitat maupun penangkapan. Oleh karena itu diperlukan suatu tindakan nyata

untuk mengontrol dan mengelola sumberdaya ikan di perairan tersebut.

Berbagai penelitian telah dilakukan di Kepulauan Seribu, namun seluruhnya

mengkaji secara terpisah komponen-komponen ekosistem maupun indikator

pemanfaatan sumberdaya ikan. Di lain pihak Cochrane (2002) menyatakan

pentingnya pengelolaan dengan orientasi ekosistem (Ecosystem Based Fisheries

Management, EBFM). Hal ini didasari kenyataan bahwa populasi akuatik tidak

hidup dalam isolasi, melainkan sebagai komponen suatu ekosistem kompleks dan

menempati posisi tertentu dalam suatu rantai makanan. Komponen tersebut terdiri

dari komponen biologi yang mencari makan di dalamnya, menjadi makanan di

dalamnya (mangsa), atau bersaing dengan populasi atau stok yang ada. Populasi

tersebut secara tidak langsung dihubungkan melalui jejaring makanan sesuai

tingkat trofiknya sehingga satu sama lain saling mempengaruhi. Bila satu bagian

komponen ekosistem terkena dampak, maka akan mempengaruhi kesetimbangan

alami dari ekosistem yang bersangkutan.

Pengkajian tentang struktur trofik pada komunitas ikan sangat diperlukan

mengingat fungsi penting komunitas ikan dalam menyokong ekosistem dan

merupakan organisme terbanyak di ekosistem terumbu karang (Hall 1999). Dari

berbagai jenis ikan yang ada, peran terpenting adalah ikan herbivor, yaitu dalam

mengurangi populasi makroalga bentik yang berkompetisi ruang dengan koral dan

(31)

3

dalam meningkatkan laju pertumbuhan koral melalui suplai nitrogen. Kelompok

lain, yaitu ikan predator berperan dalam mengontrol populasi invertebrata bentik.

Menurut Mc Connel (1994), setidaknya terdapat 2000 spesies ikan yang terdapat

di perairan karang, yang terdiri dari berbagai kelompok trofik.

Tingkatan trofik menggambarkan tahapan transfer material atau energi dari

setiap tingkat atau kelompok ke tingkat berikutnya, yang dimulai dengan

produser primer, konsumer primer (herbivor), kemudian sekunder, tersier, dan

diakhiri dengan predator puncak. Pada dasarnya tingkat trofik (trophic level)

merupakan urut-urutan tingkat pemanfaatan pakan atau material dan energi seperti

yang tergambarkan oleh rantai makanan (food chain). Mc. Clanahan & Mangi

(2004) menyatakan bahwa penangkapan dapat merubah kelimpahan mutlak dan

relatif spesies sehingga merubah komposisi spesies dalam trofik level, dan bahkan

merubah biomasa relatif pada berbagai trofik level. Kegiatan penangkapan sangat

potensial berpengaruh pada semua tingkatan trofik dalam ekosistem. Dengan

demikian pendekatan trofik level dapat digunakan untuk mengevaluasi kesehatan

dan kondisi ekosistem, sehingga merupakan mata rantai awal yang penting

dipertimbangkan untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya perikanan. Dengan

mengkaji struktur trofik kaitannya dengan pengelolaan, maka akan diperoleh

konsep pengelolaan sumberdaya perikanan yang mempertimbangkan kestabilan

ekosistem.

1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah

Sumberdaya ikan di Pulau Semak Daun mengalami penurunan kelimpahan,

penurunan ukuran rata-rata individu hasil tangkapan, penurunan keragaman

spesies hasil tangkapan, penurunan hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) dan

dominasi spesies berukuran relatif lebih kecil dengan nilai ekonomis yang lebih

rendah (Suwandi et al. 2001; Nirmala 2003; Estradivari et al. 2007). Penurunan

ukuran dapat diakibatkan oleh selektivitas alat tangkap. Target penangkapan

sering ditujukan pada individu berukuran lebih besar dan lebih tua sehingga

menurunkan proporsi jumlah individu berukuran besar dan berumur lebih tua

dalam populasi. Dengan demikian penangkapan mempengaruhi struktur umur

(32)

Penurunan keragaman dan CPUE serta dominansi spesies berukuran relatif

lebih kecil dengan nilai ekonomis yang lebih rendah merupakan dampak ekologis

tekanan penangkapan dan perubahan habitat. Perubahan habitat terjadi oleh

berbagai sebab, yang menonjol di Kepulauan Seribu pada umumnya adalah

penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan penambangan karang

sehingga menyebabkan kerusakan habitat. Dampak lanjut kerusakan habitat

menyebabkan terjadinya perubahan biomasa pada trofik level. Pada tingkat

komunitas, pengaruh langsung penangkapan menyebabkan pergeseran pemangsa,

mangsa, atau pesaing dari komunitas ikan tersebut. Pengaruh tersebut meliputi

penurunan biomasa jenis yang semula melimpah dan peningkatan biomasa jenis

lainnya yang selanjutnya mengakibatkan perubahan kelimpahan relatif spesies

atau komposisi jenis dalam komunitas (Sale 1991), kemudian merubah biomasa

relatif pada berbagai trofik level. Tahap berikutnya dari pengaruh penangkapan,

adalah pengaruhnya terhadap stok ikan dalam kaitan fungsinya dalam rantai

makanan, dan fungsi ekologis lainnya sehingga terjadi pengurangan CPUE karena

peningkatan biomasa jenis tertentu tidak cukup untuk menggantikan pengurangan

biomasa jenis lain. Terdapat suatu fenomena dampak ekologi aktivitas

penangkapan intensif dalam menurunkan food chain, walaupun total biomasa

dalam ekosistem tampak konstan (Charles 2001).

Hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) dapat dijadikan sebagai indeks

kelimpahan, yang berarti bahwa CPUE disebandingkan dengan biomasa ikan di

laut. Dengan asumsi bahwa sediaan (stok) ikan di laut sama, maka peluang

mendapatkan hasil akan sama jika dilakukan dengan upaya yang sama. Dengan

demikian penurunan CPUE merupakan indikasi adanya penurunan sediaan (stok).

Sediaan ikan di laut merupakan fungsi dari parameter lingkungan, dan interaksi

biologi, yaitu adanya mangsa pemangsa dan kompetisi. Charles (2001)

menyatakan bahwa tahap berikutnya dari pengaruh penangkapan, baik pada

populasi maupun komunitas adalah pengaruhnya terhadap stok ikan dalam kaitan

fungsinya dalam rantai makanan, atau siklus biogeokimia dan fungsi ekologis

lainnya sehingga terjadi pengurangan CPUE karena peningkatan biomasa jenis

tertentu tidak cukup untuk menggantikan pengurangan biomasa jenis lain (Sale

(33)

5

Dominansi spesies berukuran relatif lebih kecil dengan nilai ekonomis yang

lebih rendah merupakan dampak ekologis dari tekanan penangkapan (Jennings &

Polunin 1997). Bila tekanan terhadap sumberdaya meningkat maka penangkapan

terhadap spesies bernilai ekonomis tinggi meningkat sehingga berakibat

berkurangnya spesies yang bernilai ekonomis tinggi tersebut (Monintja et al.

2006). Bila tekanan penangkapan semakin meningkat, maka ukuran ikan target

semakin menurun dan ini akan disertai dengan peningkatan jumlah spesies yang

berada pada rantai makanan di bawahnya sehingga dapat terjadi pergeseran target

spesies (Jennings & Polunin 1997). Pergeseran target spesies yang terus menerus

tanpa disertai usaha konservasi dapat menyebabkan berkembangnya organisme

atau spesies yang tidak memiliki nilai ekonomis (Robinson & Frid 2003).

Berdasarkan uraian ini, maka pergeseran target spesies dapat dijadikan indikasi

adanya tekanan penangkapan terhadap spesies utama bernilai ekonomis tinggi.

Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan permasalahan sumberdaya

perikanan berkaitan dengan penurunan sumberdaya ikan di Pulau Semak Daun

yaitu:

1. Perubahan struktur umur dan struktur ukuran populasi sebagai akibat

selektivitas alat tangkap.

2. Adanya perubahan komposisi spesies dalam trofik level melalui interaksi

biologi sehingga merubah biomasa relatif pada berbagai trofik level .

3. Terjadinya penurunan rantai makanan akibat perubahan habitat dan akibat

penangkapan pada tingkat rantai makanan yang lebih tinggi.

4. Peningkatan biomasa jenis tertentu tidak cukup untuk menggantikan

pengurangan biomasa jenis lain sehingga menurunkan sediaan (stok).

Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan upaya pengelolaan

sumberdaya perikanan yang didasarkan pada suatu kajian ilmiah tentang struktur

trofik pada komunitas ikan dan biologi populasinya, dimulai dari tingkat trofik

paling rendah hingga ikan karnivor. Dengan demikian maka dampak penangkapan

terhadap perubahan komunitas ikan dapat diprediksi guna pengelolaannya agar

penangkapan tidak merubah kemampuan populasi berkaitan dengan fungsi

(34)

1.3 Pendekatan Masalah

Pengelolaan sumberdaya perikanan merupakan suatu rangkaian kegiatan

yang meliputi banyak hal dan bersifat kompleks, namun secara mendasar

bertujuan untuk pemanfaatan sumberdaya yang optimal dan berkesinambungan

(Cochrane 2002). Dengan demikian secara luas pengelolaan sumberdaya

perikanan tidak terlepas dari upaya konservasi sumber daya ikan dan

lingkungannya sehingga pemanfaatan sumberdaya perikanan setidaknya harus

didasarkan pada dua pertimbangan mendasar, yaitu pertimbangan biologi dan

pertimbangan ekologi (King 1995; Cochrane 2002).

A. Pertimbangan Biologi

Prinsip yang mendasar dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah

pengertian bahwa stok ikan dan komunitasnya bersifat terbatas yang dibatasi oleh

daya dukungnya. Dikemukakan oleh Beverton & Holt (1957) in Sparre &

Venema (1999), serta Ricker (1975), bahwa suatu populasi tidak berkembang

secara linier melainkan asimptotik. Pada ukuran populasi yang kecil maka

peningkatan ukuran populasi akan kecil dan pada ukuran populasi yang sangat

besar maka peningkatan populasi secara alamiah juga kecil karena ukuran

populasi mendekati daya dukung lingkungan. Sifat populasi yang demikian, jika

dieksploitasi secara hati-hati maka populasi tersebut akan mengisi kembali

kekurangannya (konsep renewable). Sebagaimana dikemukakan dalam Aksioma

Russell (1931) in Pauly (1984) bahwa biomasa suatu populasi (B) akan stabil

dalam suatu periode tertentu bila dalam periode tersebut penambahan biomasa

(rekrutmen atau R dan pertumbuhan atau G) sama dengan pengurangan biomasa.

Dalam suatu populasi yang tidak dieksploitasi, pengurangan biomasa hanya

berasal dari kematian alami (M), seperti predasi, penyakit, atau perubahan

lingkungan secara drastis. Dalam populasi yang ditangkap, total pengurangan

biomasa berasal dari kematian alami ditambah dengan kematian tangkapan (F).

Secara umum dituliskan sebagai berikut:

Bt = B0 + (R + G) – (M + F)

Berdasarkan persamaan tersebut, suatu populasi akan stabil dalam periode

(35)

7

memastikan bahwa angka kematian akibat penangkapan tidak melebihi

kemampuan populasi untuk mempertahankan produktivitasnya untuk

menggantikan angka kematian alami. Artinya, memastikan agar penangkapan

tidak merusak kelestarian produktivitas populasi atau dengan kata lain tidak

menurunkan kemampuan populasi untuk rekrut. Untuk mencapai tujuan tersebut

tidak hanya total populasi yang harus dipertahankan pada suatu kelimpahan atau

biomasa tertentu, tetapi struktur umur populasi juga harus dipertahankan

sedemikian rupa sehingga mampu mempertahankan tingkat reproduksi, sehingga

terjadi rekrutmen untuk menggantikan kehilangan akibat adanya proses kematian.

B. Pertimbangan Ekologi

Populasi akuatik tidak hidup dalam isolasi, melainkan sebagai komponen

suatu ekosistem kompleks dan menempati posisi tertentu dalam suatu rantai

makanan. Komponen tersebut terdiri dari komponen biologi yang mencari makan

di dalamnya, menjadi makanan di dalamnya (mangsa), atau bersaing dengan

populasi atau stok yang ada. Populasi tersebut secara tidak langsung dihubungkan

melalui jejaring makanan sehingga satu sama lain saling mempengaruhi.

Perubahan suatu populasi tidak hanya berdampak pada populasi itu sendiri,

namun juga berpengaruh pada populasi lain dalam kaitan dengan interaksi

tersebut. Dalam perannya sebagai mangsa, perubahan populasi mangsa akan

mempengaruhi pemangsanya. Kurangnya rekrut karena berkurangnya populasi

akan berpengaruh bagi ketersediaan populasi tersebut sebagai mangsa sehingga

mempengaruhi pemangsanya (tingkat trofik di atasnya). Dalam perannya sebagai

pemangsa, berkurangnya suatu populasi akan menyebabkan berkurangnya jumlah

pemangsa sehingga berakibat peningkatan populasi spesies mangsa (tingkat trofik

di bawahnya). Keterkaitan ekologis ini mempengaruhi setiap komponen dalam

trofik level yang selanjutnya mempengaruhi keseimbangan ekosistem. Garisson

& Lingk (2000) in Lopez et al. (2005) menyebutkan bahwa perubahan setiap

komponen, dapat berdampak pada komposisi populasi dalam komunitas sehingga

harus dipertimbangkan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Selain

penangkapan, perubahan habitat juga dapat memberikan pengaruh terhadap

(36)

biota yang hidup didalamnya dan berpengaruh penting terhadap interaksi spesies

dan struktur trofik pada umumnya.

Secara ringkas pendekatan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

Komunitas ikan memiliki struktur yang dibangun oleh adanya hubungan makan

memakan diantara komponen penyusunnya, yaitu populasi. Populasi memiliki

karakteristik yang bersifat meningkatkan jumlah dan biomasa populasi yaitu

pertumbuhan, rekrutmen dan imigrasi, dan karakteristik yang mengurangi jumlah

dan biomasa populasi yaitu kematian dan emigrasi. Perubahan habitat dan

peningkatan intensitas penangkapan mengakibatkan variabilitas tingkat

pertumbuhan, rekrutmen, kematian alami, dan kombinasi lainnya serta mendorong

perkembangan populasi jenis lain yang menjadi pesaing bagi spesies tersebut.

Keterkaitan ekologis ini terus berlanjut hingga mempengaruhi keseimbangan

dalam ekosistem. Diagram alir kerangka teoritis pendekatan masalah tersebut

tertera pada Gambar 1.

1.4 Tujuan dan Manfaat A. Tujuan

Berdasarkan uraian diatas maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai

berikut:

1. Mengkaji struktur trofik pada komunitas ikan

2. Mengkaji parameter populasi dan eksploitasi pada ikan dominan

3. Menganalisa hubungan dan respon dari sumberdaya ikan sebagai akibat

keterkaitan trofik level, dinamika populasi dan eksploitasi.

B. Manfaat

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Sebagai infomasi yang dapat dijadikan landasan dalam pengelolaan

sumberdaya ikan pada ekosistem terumbu karang, berdasarkan indikator

biologi, ekologi dan stok.

2. Sebagai kontribusi dalam perkembangan ilmu pengelolaan sumberdaya

perikanan modern dan mendukung konsep pengelolaan perikanan

(37)

Plankton

Gambar 1 Bagan alir kerangka pendekatan masalah.

(38)

1.5 Nilai Kebaruan (Novelty)

Penelitian ini memiliki nilai kebaruan dalam dua aspek, yaitu aspek

keilmuan dan aspek informasi. Aspek keilmuan berkaitan dengan pendekatan

analisis yang digunakan. Model pengkajian populasi dan komunitas untuk

pengelolaan sumberdaya ikan pada umumnya menggunakan model spesies

tunggal (single species) yang dikembangkan untuk perairan di negara sub tropis.

Bagi negara tropis seperti Indonesia yang perikanannya bersifat multispesies,

model tersebut tidak tepat karena secara global model single species tidak bersifat

agregat, sehingga model yang seharusnya digunakan adalah model multi spesies.

Salah satu pendekatan yang digunakan untuk model multi spesies adalah

pengkajian struktur tingkatan trofik berdasarkan biomasa spesies pembentuk

tingkatan trofik tersebut, sebagaimana dilakukan dalam penelitian ini. Pendekatan

ini jarang digunakan dan harus terus dikembangkan untuk pengembangan

ilmu-ilmu pengelolaan sumberdaya ikan multi spesies.

Aspek yang ke-dua yaitu informasi ekologi dan biologi populasi ikan,

terutama di perairan sekitar Pulau Semak Daun, yang terdiri atas informasi

tentang struktur komunitas ikan berdasarkan distribusi biomasa pada trofik level,

jenis-jenis ikan yang berperan penting dalam menyokong kestabilan komunitas,

parameter populasi dan eksploitasi jenis-jenis ikan yang berperan penting dalam

menyokong komunitas tersebut serta keterkaitan antara parameter populasi dan

eksploitasi dengan peran penting populasi dalam komunitas, sehingga diketahui

(39)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sumberdaya Ikan Karang

Ikan karang merupakan komponen penting penyusun ekosistem terumbu

karang. Ikan karang umumnya relatif tidak berpindah-pindah, terbatas pada

daerah tertentu di terumbu dan terlokalisasi. Populasi ikan di terumbu karang

berubah dari siang ke malam hari. Ikan pemakan plankton yang banyak tersebar

di sekeliling terumbu pada siang hari, bersembunyi/berlindung di celah-celah

terumbu pada malam hari. Selanjutnya pada malam hari populasi ikan terumbu

digantikan oleh sejumlah kecil spesies nokturnal yang semuanya bersifat predator

(Nybakken 1988).

Sale (1991) mengelompokkan ikan karang yang berasosiasi paling erat

dengan lingkungan terumbu karang menjadi tiga golongan utama, yaitu:

1. Labroid: Labridae (wrassess), Scaridae (parrot fish), dan Pomacentridae

(damselfish).

2. Acanthuroid: Acanthuroidae (surgeonfishes), Siganidae (rabbitfishes), dan

Zanclidae (moorish idols) yang terdiri dari satu genus yaitu Zanclus.

3. Chaetodontoid: Chaetodontidae (butterflyfishes) dan Pomacanthidae

(angelfishes).

Menurut Nybakken (1988) berdasarkan waktu makannya, ikan karang terdiri

dari ikan diurnal dan nokturnal. Berdasarkan kebiasaan makannya, Hiatt dan

Donald (1980) mengelompokkan ikan karang menjadi pemakan alga, pemakan

plankton, omnivor, pemakan detritus, pemakan polip karang dan karnivor besar

pengelana. Sedangkan Sorokin (1995) membagi ikan karang berdasarkan

kebiasaan makannya menjadi pemakan plankton (planktivorous fish), pemakan

organisme bentik (benthopages), pemakan segala (omnivor), pemakan tumbuhan

alga (herbivorous fish) dan pemakan ikan (piscivorous fish). Kelompok lain yang

juga ditemukan di daerah terumbu maupun non terumbu adalah predator besar

yang memakan invertebrata bergerak dan ikan lain, serta planktivor. Menurut

Allen & Steene (1990), ikan diurnal merupakan kelompok terbesar di ekosistem

terumbu karang,yang termasuk ikan diurnal adalah dari famili Pomacentridae,

(40)

Balistidae, Cirrhitidae, Tetraodontidae, Blenniidae dan Gobiidae. Ikan diurnal

makan dan tinggal di permukaan karang serta memakan plankton yang lewat

diatasnya. Pada malam hari ikan diurnal akan masuk dan berlindung di dalam

karang dan keberadaan ikan diurnal akan digantikan oleh ikan nokturnal. Ikan

nokturnal meliputi famili Holocentridae, Apogonidae, Haemulidae, Muraenidae,

Scorpaenidae, Serranidae dan Labridae. Selain itu ada pula ikan lain yang sering

melintasi ekosistem terumbu karang seperti famili Scombridae, barracuda

(Sphyraenidae), ekor kuning (Caesionidae) dan hiu (Alopiidae). Ikan ini biasanya

merupakan ikan predator dan ikan pelagis yang berasal dari perairan di sekitarnya.

Salah satu penyebab tingginya keragaman spesies di terumbu karang adalah

variasi habitat yang terdapat di terumbu. Terumbu karang tidak hanya terdiri dari

karang saja, tetapi juga daerah berpasir, berbagai teluk dan celah, daerah alga dan

juga perairan yang dangkal dan dalam. Perbedaan dalam kadar cahaya hingga

pergerakan ombak, arus, kecerahan, ketersediaan alga, plankton, dan jenis habitat

yang berbeda dengan variasi yang tinggi yang dimanfaatkan oleh ikan dengan

karakteristik yang berbeda pula (Allen 1999). Selain itu tingginya keragaman

spesies ini juga dikarenakan pembagian habitat yang jelas dalam ekosistem

terumbu. Sebagai contoh, banyak ikan-ikan terumbu, meskipun gerakannya jelas

tetapi ternyata terbatas pada daerah tertentu di terumbu dan terlokalisasi, tidak

berpindah.

Hubungan dalam kebiasaan makan ikan-ikan terumbu juga merupakan hal

yang menarik perhatian. Tipe pemangsaan yang paling banyak terdapat di

terumbu adalah karnivor (sekitar 50 – 70%). Sebagian besar dari ikan karnivor ini

bersifat oportunistik dan memakan mangsa yang berbeda pada tingkatan yang

berbeda dalam siklus hidupnya.

2.2 Jenjang Trofik dan Aliran Energi

Pada dasarnya jenjang trofik (trofik level) merupakan urut-urutan tingkat

pemanfaatan pakan atau material dan energi seperti yang tergambarkan oleh rantai

makanan (food chain). Jenjang trofik menggambarkan tahapan transfer material

atau energi dari setiap jenjang atau kelompok ke jenjang berikutnya, yang dimulai

(41)

13

kemudian sekunder, tersier, dan seterusnya dan diakhiri dengan predator puncak

(Gallopin 1972; Odum 1998; Kennish 2000; Jenning et al. 2003; Widodo dan

Suadi 2006). Dasar dari jenjang trofik adalah autotrof yang memfiksasi C

(karbon) melalui fotosintesa dan menyediakan enegi untuk organisme konsumer

(yaitu heterotrof). Pada urutan jenjang trofik berikutnya yang lebih tinggi,

konsumer primer akan berlaku sebagai sumber makanan bagi konsumer sekunder

yang selanjutnya dimangsa oleh konsumer tersier (yaitu organsime karnivor).

Dekomposer (yaitu bakteri saprobik dan alga) akan mengasimilasi material hewan

dan tumbuhan yang mati, mentransformasikannya ke dalam DOM (Dissolved

Organic Matter) untuk mendapatkan keperluan energi mereka dengan melepaskan

nutrien energi yang berguna bagi pertumbuhan autotrof. Berdasarkan uraian

tersebut dapat dikatakan bahwa jenjang trofik adalah setiap jenjang dari transfer

energi atau setiap stadia dari rantai makanan (Nontji 1993).

Jenjang trofik pertama ditempati oleh fitoplankton sebagai produser primer,

jenjang trofik ke dua ditempati oleh zooplankton herbivor, dan jenjang trofik ke

tiga ditempati oleh organisme karnivor (Nontji 1993; Piska & Naik 2007)

Tumbuhan hijau menduduki jenjang trofik pertama, pemakan tumbuhan

menduduki jenjang trofik ke dua (tingkat konsumen primer pertama), karnivor

yang memakan herbivor menduduki jenjang trofik ke tiga (tingkat konsumen

tersier). Pada umumnya dari jenjang trofik rendah menuju ke tingkat yang lebih

tinggi, ukuran biotanya semakin besar tetapi total seluruh biomasa pada jenjang

trofik semakin kecil. Hal ini karena pengalihan atau transfer energi dari satu

jenjang trofik ke jenjang trofik berikutnya sangat kecil, pada umumnya dianggap

sekitar 10%. Dilihat dari segi biomasanya, jenjang trofik ini dapat digambarkan

sebagai piramida dengan fitoplankton sebagai fundamennya dan karnivor puncak

berada pada paling atas (Gambar 2). Jenjang trofik dapat bersifat sederhana,

dimana rantai makanan pendek sehingga transfer energi langsung dari

fitoplankton ke predator puncak, namun dapat pula bersifat kompleks, dimana

satu spesies dapat memanfaatkan lebih dari satu jenjang trofik. Jenjang trofik di

(42)

Gambar 2 Piramida makanan dengan lima jenjang trofik.

Contoh jenjang trofik dikemukakan oleh Hiatt & Donald (1980) yang

mendapatkan bahwa rantai makanan pada ekosistem terumbu karang di Laut

Marshall terdiri atas lima jenjang trofik (Gambar 3). Contoh lain dikemukakan

oleh Nurhakim (2005) tentang jenjang trofik ekosistem di Pantai Utara (Pantura)

Jawa Tengah. Ekosistem Pantura Jawa Tengah terdiri atas empat jenjang trofik,

dengan jenjang trofik Cetacean dan perikanan sebagai predator tertinggi.

Penyebaran kelompok fungsional diantara jenjang trofik relatif sama antara

jenjang trofik terendah (nilai jenjang trofik < 2,5) dan jenjang trofik sedang (nilai

jenjang trofik 2,5 – 3,5). Terdapat 11 kelompok yang termasuk jenjang trofik

rendah dan 12 kelompok termasuk jenjang trofik sedang. Lima kelompok lainnya

merupakan jenjang trofik tertinggi (nilai jenjang trofik > 3,5). Tingginya

kelompok yang ada dalam jenjang trofik yang sama menunjukkan suatu kompetisi

yang kuat terhadap sumberdaya. Hal ini dapat dijadikan petunjuk adanya dampak

langsung dari suatu perikanan dan pengaruhnya terhadap keseluruhan ekosistem,

baik melalui interaksi langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian

pengkajian tentang jenjang trofik di suatu perairan dapat digunakan untuk

menganalisis status sumberdaya perikanan. Dalam pengkajian stok sumberdaya

ikan demersal di Pantai Utara (Pantura) Jawa Tengah didapatkan bahwa ikan

sumberdaya demersal di Pantura telah mengalami over-eksploitasi (Nurhakim

(43)

Photosynthesis

Benthic algae Phytoplankton

Detritus

Algal feeders

Detritus feeders

Small benthic carnivores Omnivore

Corals Small mid-water plankton feeders

Large benthic omnivores Coral feeders Large mid-water

carnivore

Transient carnivores Zoooplankton

Trofik level: 1 2 3 4

Gambar 3 Rantai Makanan pada Ekosistem Terumbu Karang di Kepulauan Marshall (Hiatt & Donald, 1980).

5

(44)

Jejaring makanan pada ekosistem terumbu karang sangat kompleks,

beberapa hubungan keterkaitan trofik utama disajikan pada Gambar 4.

Berdasarkan tingkat trofiknya, Allen & Steene (1990) membagi jejaring makanan

yang terdapat di ekosistem terumbu karang dalam empat trofik level, yaitu:

1. Tumbuhan (Produsen), terutama jenis alga sebagai produsen utama yang

memanfaatkan secara langsung energi matahari untuk pertumbuhan jaringan

melalui proses fotosintesa. Pada trofik level pertama ini ekosistem terumbu

karang harus menyediakan energi yang cukup besar untuk digunakan pada

trofik level berikutnya.

2. Herbivor (Konsumer) yang mengkonsumsi organisme tumbuhan. Kelompok

terpenting dari ikan karang herbivor adalah famili Mullidae (mullet), Scaridae

(parrotfishes), Acanthuridae (surgeonfishes), Kymposidae (rudderfishes),

Blenniidae (blennies), Siganidae (rabbitfishes), Balistidae (triggerfishes),

Monacanthidae (filefishes), Ostraciotidae (boxfishes) dan Tetraodontidae

(puffer). Ikan pemakan alga dapat digolongkan menjadi pemakan tumbuhan

(grazer) dan pemakan polip atau tunas (browser). Kelompok pertama

mengumpulkan makannya di sekitar dasar perairan seperti ikan surgeon,

damsel, blennies dan trigger. Selebihnya adalah browser yang memiliki gigi

untuk memotong daun yang terdapat di permukaan terumbu karang.

3. Ikan karnovor kecil yang makan zooplankton, ikan-ikan kecil dan

invertebrata. Termasuk golongan ini adalah damselfishes dari genus Cromis,

famili Synodontidae (lizardfishes), Muraenidae (moray eel), Holocentridae

(squirrefishes), Apogonidae (cardinalfishes), Serranidea (grouper),

Lutjanidae (snapper) dan Labridae (wrasses).

4. Kelompok predator besar yang termasuk dalam kelompok hiu, famili

Carrangidae, Scombridae, Sphyraenidae (barracuda) dan kelompok ikan-ikan

omnivor yang memakan tumbuhan dan biota-biota kecil. Spesies penting

yang termasuk kategori ini adalah jenis damselfishes, parrotfihses, gobies,

(45)

17

Gambar 4 Inter-relasi trofik utama antar ikan di terumbu karang, terdapat 5 trofik level (Mc. Conell, 1987).

Beberapa penelitian yang dirangkum oleh Mc.Conell (1987) menunjukkan

bahwa proporsi herbivor hingga karnivor berbeda pada berbagai tipe koral.

Berdasarkan penelitian di Eniwetok Atoll di Kepulauan Marshall ditulis bahwa

biomasa herbivor (ikan dan invertebrata) diperkirakan 4 hingga 5 kali karnivor.

Di Tatia Reef, ikan herbivor ditemukan kurang dari saparuh total biomasa

(herbivor 39%, karnivor 61%). Proporsi relatif dari kategori trofik yang berbeda

telah dipelajari di Greet Barrier Reef. Secara keseluruhan, total sampel biomasa

hampir 54% adalah piscivore, 18% pemakan invertebrata bentik, 18% grazer, dan

10% planktivor. Ikan-ikan karnivor adalah 3 hingga 4 kali biomasa grazer, tetapi

karnivor tersebut juga memakan invertebrata pada trofik level ke 2 hingga 3.

CORAL FEEDERS LARGE PISCIVORES

SMALL FISH-FEEDERS MIDWATER PISCIVORES

BENTHIC INVERTEBRATE-FEEDERS

MIDWATER INVERTEBRATE -FEEDERS

DETRITUS-FEEDERS HERBIVORES

benthic algae

benthic invertebrates

phytoplankton zooplankton corals

(46)

Pada ekosistem terumbu karang dengan tingkat ekskploitasi rendah, biomasa ikan

didominasi oleh predator puncak, bisa mencapai 54% dari total biomasa,

sedangkan pada terumbu karang dengan tingkat eksploitasi tinggi dominasi

herbivor hingga 55% (Friedlander 2002).

Sebagaimana diketahui bahwa rantai makanan klasik menggambarkan

transfer energi dalam bentuk bahan organik dari satu kelompok (jenjang) ke

kelompok berikutnya dan transfer tersebut berjalan hanya pada satu arah, yang

dimulai dengan produser primer, hingga predator puncak. Pada setiap jenjang

trofik, sekitar 80 hingga 90% dari energi potensial hilang sebagai panas, sehingga

membatasi rantai makanan kedalam tiga atau empat jenjang trofik (Kennish

1990). Diketahui pula bahwa bagian dari energi yang memasuki jenjang trofik

tersedia di jenjang trofik berikutnya (atau yang disebut dengan efisiensi ekologis)

umumnya kecil, sehingga energi yang tersedia di jenjang berikutnya cepat habis.

Sebagai contoh pada efisiensi 10%, NPP (Net Primary Productivity) = 104

kcal.waktu-1luas-1 hanya cukup untuk empat jenjang, dan tidak cukup energi untuk

mendukung jenjang trofik berikutnya. Dengan demikian alternatif spesies pada

jenjang trofik ke lima harus memakan area yang luas untuk mencukupi energinya,

dan area tersebut lama kelamaan juga akan habis. Efisiensi transfer energi di

perairan laut berkisar 10%, sisanya dilepaskan untuk berbagai kegiatan

metabolisme seperti bernafas, berenang, makan, reproduksi dan hilang sebagai

energi bahang (panas).

Peristiwa makan memakan tidak sesederhana seperti pada pertingkatan

trofik diatas. Dalam kenyataannya tiap individu sebenarnya berkaitan satu dengan

lainnya dalam jaringan makanan yang amat kompleks atau disebut sebagai

jejaring makanan (food web). Didalam jejaring makanan terdapat mekanisme

saling mempengaruhi antara tingkatan trofik paling atas terhadap tingkatan trofik

di bawahnya (top down effect) dan sebaliknya dari tingkatan trofik paling bawah

ke tingkatan trofik di atasnya (bottom up effect) (Chassot et al. 2005). Seekor

ikan misalnya bisa mengkonsumsi berbagai jenis plankton. Bahkan dapat juga

mengkonsumsi fitoplankton dan zooplankton sekaligus. Hal ini merupakan

kenyataan bahwa beberapa spesies memangsa lebih dari satu jenjang trofik (Rice

(47)

19

satu jenjang trofik karena jenjang trofik organisme berkaitan dengan kebiasaan

makanannya. Kompleksitas kebiasaan makanan dari suatu organisme

menyebabkan ikan mungkin saja menduduki hampir setiap jenjang trofik.

Pemangsaan dapat mempengaruhi kepadatan populasi pada tingkatan trofik yang

berbeda (Odum 1998; Jennings et al. 2003), sedangkan ketersediaan makanan

dapat mempengaruhi tingkat trofik di atasnya (Chassot et al. 2005).

2.3 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Struktur Trofik

Trofik level sering diaplikasikan untuk menggambarkan posisi

spesies/individu dalam suatu rantai makanan. Pengaruh manusia terhadap

ekosistem perairan, perubahan iklim, perubahan biota, degradasi habitat dan

aktifitas penangkapan berpengaruh besar terhadap populasi hewan air (Lopez et

al. 2005; Jaureguizar & Millesi 2008; Singh et al. 2010). Adanya penangkapan

dapat merubah distribusi spasial dan kelimpahan ikan dan selanjutnya

berpengaruh penting terhadap interaksi spesies dan struktur trofik pada umumnya

(Garisson & Lingk 2000 in Lopez et al. 2005). Oleh karena itu pengetahuan

tentang evolusi spasial dan temporal komunitas ikan dapat membantu untuk

memahami pengaruh aktivitas anthropogenik tersebut. Lopez et al. (2005) dalam

penelitiannya di Laguna Pesisir Terminos Lagoon Mexico mendapatkan adanya

perubahan struktur trofik komunitas ikan di perairan tersebut. Terdapat suatu

indikasi re-alokasi yaitu biomasa dari spesies-spesies yang termasuk dalam trofik

level menengah menjadi spesies karnivorus dan herbivorus-detrivorus. Gambar 5

menunjukkan pola spatio-temporal komunitas ikan berdasarkan trofik level di

Laguna pesisir di Mexico, sebagai suatu indikator potensial ekosistem akibat

adanya berbagai faktor yang berpengaruh.

Pada gambar tersebut terlihat bahwa di Zona C, peningkatan spesies

predator laut lebih nyata dibanding zona yang berada dibawah pengaruh aliran air

sungai (A dan E) dan zona yang berada di bagian dalam kepulauan (B). Hal ini

ditunjukkan dengan peningkatan hasil tangkap sampingan (by catch) dari

perikanan tradisional udang yang berkembang di sekitar zona A dan E, atau oleh

perubahan kondisi hidrologi, karena tampak adanya peningkatan pemasukan air

(48)

spesies estuarine. Selanjutnya, peningkatan pengaruh kondisi lautan, yaitu adanya

konstruksi artificial reef di timur paparan pantai (dekat Zona C), juga dapat

meningkatkan kesempatan masuknya spesies predator laut (khususnya snapper

dan schooller kecil).

Selanjutnya dikemukakan bahwa peningkatan spesies detritivor (spesies

gerreid) di Terminos Lagoon merupakan respon hilangnya vegetasi air karena

kerusakan fisik yang disebabkan oleh penggunaan trawl pada penangkapan udang

intensif sekitar tahun 1980 atau oleh bahan pencemar yang mengalir ke laguna.

Peningkatan spesies detritivor tersebut juga sesuai dengan dugaan penyesuaian

komunitas ikan dalam merespon tingginya tekanan penangkapan dan perubahan

habitat. Penyesuaian komunitas ikan terhadap perubahan habitat dapat

ditunjukkan dengan penurunan yang signifikan dari spesies yang berasosiasi

dengan vegetasi air.

Gambar 5 Biomasa relatif pada berbagai trofik level di Terminos Lagoon, Mexico (garis bersambung adalah tahun 19801981; garis putus

-putus, 1998 – 1999). Sumber: Lopez et al. (2005).

Secara keseluruhan gambar tersebut menunjukkan adanya perbedaan antara

dua periode dan adanya indikasi perubahan struktur trofik dalam ekosistem.

Secara spesifik, biomasa omnivor dan spesies estuari yang berada pada trofik

level menengah dalam rantai makanan dan semula dominan telah digantikan oleh

(49)

21

dari kurva terlihat cenderung lebih linier. Hal ini menunjukkan adanya suatu

kekuatan yang mempengaruhi struktur trofik dan dapat digunakan sebagai

indikator yang potensial, yaitu:

1. Peningkatan pengaruh kondisi lautan, seperti konstruksi artificial reef dapat

memperkaya biomasa predator laut dan spesies detritivor (khususnya snapper

dan schooller kecil).

2. Berkurangnya pengaruh estuari dapat menimbulkan penurunan biomasa

generalis spesies estuari.

3. Pembuatan daerah perlindungan laut (marine protected area, artificial reef)

dapat meningkatkan biomasa predator dan selanjutnya menyebabkan

turunnya biomasa mangsa.

Perubahan kelimpahan relatif yang merupakan hasil dari kombinasi

pengaruh mortalitas dan life history direfleksikan dalam trend dari struktur trofik.

Umumnya, spesies dengan life history yang lebih cepat mempunyai produksi yang

lebih tinggi dalam hal rasio biomasa. Pada penangkapan ikan intensif di terumbu

karang, biomasa ikan didominasi oleh herbivor dan didominasi oleh jenis ikan

pemakan invertebrata dan piscivore (Friedlander 2002).

Secara garis besar, Cochrane (2002) menyebutkan adanya empat dampak

usaha perikanan pada ekosistem yaitu:

1. Dampak langsung pada spesies target

2. Dampak langsung pada spesies non target (by-catch) (mencakup limbah dan

oleh kematian alami)

3. Dampak tidak langsung pada organisme lain melalui rantai makanan

(perubahan jumlah mangsa, pemangsa, pesaing)

4. Dampak langsung dari teknologi penangkapan terhadap lingkungan fisik

atau kimia

Selanjutnya dikemukakan oleh Robinson & Frid (2003) bahwa kegiatan

penangkapan ikan sangat potensial berpengaruh pada semua trofik level.

Disebutkan bahwa kegiatan penangkapan ikan mempengaruhi ekosistem lautan

dalam beberapa cara yaitu:

1. Penghilangan langsung pada spesies target

(50)

3. Perubahan dalam populasi ikan non target dan bentos

4. Perubahan pada lingkungan fisik

5. Perubahan pada lingkungan kimia, termasuk ketersediaan nutrien

6. Aliran trofik dan perubahan tekanan predasi

Pengaruh penangkapan dapat dikategorikan dua macam, yaitu pengaruh

langsung dan pengaruh tidak langsung. Pengaruh langsung meliputi mortalitas

spesies target dan biota lain termasuk spesies non-target, mamalia laut, burung

laut, organisme bentik, kerusakan dasar laut dan kosekuensi kerusakan habitat

bentik dan organisme lain sebagai dampak teknik penangkapan, serta input

buangan perikanan. Buangan perikanan menyediakan makanan bagi organisme

scavenger seperti burung laut.

Pengaruh tidak langsung, termasuk perubahan habitat dan struktur

ekosistem sebagai konsekuensi dari pengaruh langsung. Sebagai contoh,

kehilangan atau berkurangnya jumlah ikan predator besar, misalnya cod, akan

diikuti pertumbuhan populasi spesies prey. Berkurangnya predator besar juga

menurunkan kompetisi prey bagi predator lain sehingga memberi peluang

tumbuhnya populasi predator lain. Penangkapan secara langsung ikan prey kecil,

misalnya sandeels atau sprat, akan menurunkan makanan bagi semua hewan yang

memakannya (Tasker & Knapman 2001). Contoh nyata adalah colapsnya ikan cod

di Laut Utara akibat colapsnya hering dan mackerel, karena kedua ikan ini

merupakan makanan bagi ikan cod. Lebih lanjut dikemukakan pengaruh

penangkapan terhadap laju perubahan ekosistem bersifat dominan dalam merubah

nilai penting yang menentukan komposisi spesies suatu komunitas dan hal ini

merupakan salah satu yang menjadi pemicu respon manajemen (Robinson & Frid

2003).

Terdapat beberapa contoh perubahan struktur komunitas dan penangkapan

di terumbu karang tropis (Jennings et al. 2001; Friedlander 2002). Di terumbu

karang tropis, kekayaan jenis spesies target (spesies richness) berhubungan

dengan intensitas penangkapan (Jennings et al. 2001). Di Jamaica, ukuran ikan

hasil tangkapan oleh alat tangkap trap yaitu jenis-jenis grouper, snapper dan

parrotfishes, semakin kecil. Selanjutnya disebutkan bahwa perubahan kelimpahan

Gambar

Gambar 1  Bagan alir kerangka pendekatan masalah.
Gambar 3  Rantai Makanan pada Ekosistem Terumbu Karang di Kepulauan Marshall  (Hiatt & Donald, 1980)
Gambar 4  Inter-relasi trofik utama antar ikan di terumbu karang, terdapat 5  trofik
Gambar 5  Biomasa relatif pada berbagai trofik level di Terminos Lagoon,
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian sebelumnya (Estiasih dkk., 2009) menunjukkan bahwa kondisi optimum tercapai pada lama reaksi 24 jam 28 menit pada konsentrasi enzim 20% dengan fosfolipid

Bila pemindahan dari bintang ke delta dilakukan pada saat saluran fasa dan netral sama-sama terbuka tidak terjadi tegangan lebih, tetapi mungkin timbul arus buang

Memberikan pelayanan informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta melestarikan budaya bangsa untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat melalui

Penyelesaian yang telah dilakukan antara lain pengangkutan buah dan buah lepas secara manual atau menggunakan jasa langsir buah manual dari TPH ke jalan utama oleh

Rumusan masalah tugas akhir ini adalah Dyandra Promosindo sebagai event organizer melakukan proses, persiapan, pelaksanaan dan evaluasi dalam dalam pelaksanaan Jogja Tour

Peneliti menemukan efek afektif yang terjadi pada informan penelitian ketika menonton sinetron tersebut adalah munculnya perasaan benci melihat pemeran antagoni

Salinitas yang optimal untuk pertumbuhan ikan nila adalah 0-5 ppt, namun karena memiliki toleransi yang lebar terhadap salinitas, maka masih dapat tumbuh dengan baik di perairan

Kewajiban dari Program Keluarga Harapan yang berkaitan dengan kesehatan RTSM yang telah ditetapkan sebagai peserta PKH diwajibkan melakukan persyaratan berkaitan