2 TINJAUAN PUSTAKA
2.3 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Struktur Trofik
Trofik level sering diaplikasikan untuk menggambarkan posisi
spesies/individu dalam suatu rantai makanan. Pengaruh manusia terhadap ekosistem perairan, perubahan iklim, perubahan biota, degradasi habitat dan
aktifitas penangkapan berpengaruh besar terhadap populasi hewan air (Lopez et
al. 2005; Jaureguizar & Millesi 2008; Singh et al. 2010). Adanya penangkapan dapat merubah distribusi spasial dan kelimpahan ikan dan selanjutnya berpengaruh penting terhadap interaksi spesies dan struktur trofik pada umumnya (Garisson & Lingk 2000 in Lopez et al. 2005). Oleh karena itu pengetahuan tentang evolusi spasial dan temporal komunitas ikan dapat membantu untuk
memahami pengaruh aktivitas anthropogenik tersebut. Lopez et al. (2005) dalam
penelitiannya di Laguna Pesisir Terminos Lagoon Mexico mendapatkan adanya perubahan struktur trofik komunitas ikan di perairan tersebut. Terdapat suatu
indikasi re-alokasi yaitu biomasa dari spesies-spesies yang termasuk dalam trofik
level menengah menjadi spesies karnivorus dan herbivorus-detrivorus. Gambar 5
menunjukkan pola spatio-temporal komunitas ikan berdasarkan trofik level di
Laguna pesisir di Mexico, sebagai suatu indikator potensial ekosistem akibat adanya berbagai faktor yang berpengaruh.
Pada gambar tersebut terlihat bahwa di Zona C, peningkatan spesies predator laut lebih nyata dibanding zona yang berada dibawah pengaruh aliran air sungai (A dan E) dan zona yang berada di bagian dalam kepulauan (B). Hal ini
ditunjukkan dengan peningkatan hasil tangkap sampingan (by catch) dari
perikanan tradisional udang yang berkembang di sekitar zona A dan E, atau oleh perubahan kondisi hidrologi, karena tampak adanya peningkatan pemasukan air laut ke laguna. Hal ini kemungkinan yang menyebabkan terbatasnya distribusi
spesies estuarine. Selanjutnya, peningkatan pengaruh kondisi lautan, yaitu adanya
konstruksi artificial reef di timur paparan pantai (dekat Zona C), juga dapat
meningkatkan kesempatan masuknya spesies predator laut (khususnya snapper
dan schooller kecil).
Selanjutnya dikemukakan bahwa peningkatan spesies detritivor (spesies
gerreid) di Terminos Lagoon merupakan respon hilangnya vegetasi air karena
kerusakan fisik yang disebabkan oleh penggunaan trawl pada penangkapan udang intensif sekitar tahun 1980 atau oleh bahan pencemar yang mengalir ke laguna. Peningkatan spesies detritivor tersebut juga sesuai dengan dugaan penyesuaian komunitas ikan dalam merespon tingginya tekanan penangkapan dan perubahan habitat. Penyesuaian komunitas ikan terhadap perubahan habitat dapat ditunjukkan dengan penurunan yang signifikan dari spesies yang berasosiasi dengan vegetasi air.
Gambar 5 Biomasa relatif pada berbagai trofik level di Terminos Lagoon, Mexico (garis bersambung adalah tahun 1980-1981; garis putus -
putus, 1998 – 1999). Sumber: Lopez et al. (2005).
Secara keseluruhan gambar tersebut menunjukkan adanya perbedaan antara dua periode dan adanya indikasi perubahan struktur trofik dalam ekosistem. Secara spesifik, biomasa omnivor dan spesies estuari yang berada pada trofik level menengah dalam rantai makanan dan semula dominan telah digantikan oleh spesies karnivor dan herbivor-detritivor. Sebagai konsekuensinya, bentuk sigmoid
21
dari kurva terlihat cenderung lebih linier. Hal ini menunjukkan adanya suatu kekuatan yang mempengaruhi struktur trofik dan dapat digunakan sebagai indikator yang potensial, yaitu:
1. Peningkatan pengaruh kondisi lautan, seperti konstruksi artificial reef dapat
memperkaya biomasa predator laut dan spesies detritivor (khususnya snapper
dan schooller kecil).
2. Berkurangnya pengaruh estuari dapat menimbulkan penurunan biomasa
generalis spesies estuari.
3. Pembuatan daerah perlindungan laut (marine protected area, artificial reef)
dapat meningkatkan biomasa predator dan selanjutnya menyebabkan turunnya biomasa mangsa.
Perubahan kelimpahan relatif yang merupakan hasil dari kombinasi
pengaruh mortalitas dan life history direfleksikan dalam trend dari struktur trofik.
Umumnya, spesies dengan life history yang lebih cepat mempunyai produksi yang
lebih tinggi dalam hal rasio biomasa. Pada penangkapan ikan intensif di terumbu karang, biomasa ikan didominasi oleh herbivor dan didominasi oleh jenis ikan
pemakan invertebrata dan piscivore (Friedlander 2002).
Secara garis besar, Cochrane (2002) menyebutkan adanya empat dampak usaha perikanan pada ekosistem yaitu:
1. Dampak langsung pada spesies target
2. Dampak langsung pada spesies non target (by-catch) (mencakup limbah dan
oleh kematian alami)
3. Dampak tidak langsung pada organisme lain melalui rantai makanan
(perubahan jumlah mangsa, pemangsa, pesaing)
4. Dampak langsung dari teknologi penangkapan terhadap lingkungan fisik
atau kimia
Selanjutnya dikemukakan oleh Robinson & Frid (2003) bahwa kegiatan penangkapan ikan sangat potensial berpengaruh pada semua trofik level. Disebutkan bahwa kegiatan penangkapan ikan mempengaruhi ekosistem lautan dalam beberapa cara yaitu:
1. Penghilangan langsung pada spesies target
3. Perubahan dalam populasi ikan non target dan bentos
4. Perubahan pada lingkungan fisik
5. Perubahan pada lingkungan kimia, termasuk ketersediaan nutrien
6. Aliran trofik dan perubahan tekanan predasi
Pengaruh penangkapan dapat dikategorikan dua macam, yaitu pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung. Pengaruh langsung meliputi mortalitas spesies target dan biota lain termasuk spesies non-target, mamalia laut, burung laut, organisme bentik, kerusakan dasar laut dan kosekuensi kerusakan habitat bentik dan organisme lain sebagai dampak teknik penangkapan, serta input buangan perikanan. Buangan perikanan menyediakan makanan bagi organisme
scavenger seperti burung laut.
Pengaruh tidak langsung, termasuk perubahan habitat dan struktur ekosistem sebagai konsekuensi dari pengaruh langsung. Sebagai contoh, kehilangan atau berkurangnya jumlah ikan predator besar, misalnya cod, akan
diikuti pertumbuhan populasi spesies prey. Berkurangnya predator besar juga
menurunkan kompetisi prey bagi predator lain sehingga memberi peluang
tumbuhnya populasi predator lain. Penangkapan secara langsung ikan prey kecil,
misalnya sandeels atau sprat, akan menurunkan makanan bagi semua hewan yang
memakannya (Tasker & Knapman 2001). Contoh nyata adalah colapsnya ikan cod
di Laut Utara akibat colapsnya hering dan mackerel, karena kedua ikan ini
merupakan makanan bagi ikan cod. Lebih lanjut dikemukakan pengaruh penangkapan terhadap laju perubahan ekosistem bersifat dominan dalam merubah nilai penting yang menentukan komposisi spesies suatu komunitas dan hal ini
merupakan salah satu yang menjadi pemicu respon manajemen (Robinson & Frid
2003).
Terdapat beberapa contoh perubahan struktur komunitas dan penangkapan
di terumbu karang tropis (Jennings et al. 2001; Friedlander 2002). Di terumbu
karang tropis, kekayaan jenis spesies target (spesies richness) berhubungan
dengan intensitas penangkapan (Jennings et al. 2001). Di Jamaica, ukuran ikan
hasil tangkapan oleh alat tangkap trap yaitu jenis-jenis grouper, snapper dan
parrotfishes, semakin kecil. Selanjutnya disebutkan bahwa perubahan kelimpahan
23
merupakan pengukuran yang baik untuk melihat pengaruh penangkapan. Di bagian barat Hawai, ukuran ikan target, apapun trofik levelnya, selalu kecil pada terumbu karang yang mengalami eksploitasi tinggi (Firedlander 2002).
Sadhotomo (2003) dalam pengkajiannya tentang sumberdaya ikan demersal Indonesia menyatakan bahwa (i) telah terjadinya penurunan kelimpahan stok yang ditunjukkan oleh penurunan laju-tangkap, (ii) peningkatan dominasi krustase lainnya (rajungan), (iii) pergeseran spesies udang dan penurunan ukuran udang yang tertangkap. Lebih jauh diingatkan bahwa secara ekologis pengoperasian pukat tarik akan mempengaruhi komposisi spesies dan komposisi ukuran krustase dan ikan-ikan demersal. Selain itu diyakini bahwa penangkapan dengan pukat tarik akan menimbulkan perubahan pada struktur mikrobentos perairan.
Nurhakim (2003) menyatakan bahwa nelayan trawl dan jaring pelagis adalah dua
armada yang menunjukkan dampak besar dalam ekosistem di Pantai Utara Jawa Tengah.
Banyak penelitian yang membuktikan bahwa peningkatan upaya
penangkapan ikan (fishing effort) yang sangat intensif di tingkat top predator
dalam jangka waktu tertentu bisa menghasilkan keuntungan ekonomi, namun akan tiba saatnya dimana kegiatan penangkapan ikan tersebut menjadi tidak
memungkinkan karena jumlah hewan-hewan atau ikan-ikan top predator sudah
sangat menurun drastis dan tidak menguntungkan lagi secara ekonomis untuk
terus mempertahankan tingkat fishing effort yang bersangkutan. Pada akhirnya
target penangkapan beralih ke ikan-ikan pada trofik level di bawahnya, dan begitu seterusnya, hingga ke tingkat trofik level yang paling bawah letaknya. Fenomena
ini disebut sebagai “fishing down the marine food web”(Pauly et al. 1998).