EPI ROSPIATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Evaluasi Mutu dan Nilai Gizi
Nugget Daging Merah Ikan Tuna (Thunnus spp) adalah karya saya sendiri di
bawah bimbingan Prof. DR. Ir. Deddy Muchtadi, Prof. DR. Ir. Made Astawan
dan Ir. Santoso, Mphil dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
pergurua n tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Nopember 2006
Epi Rospiati
Flesh Tuna, Thunnus sp. Supervised by DEDDY MUCHTADI, MADE
ASTAWAN and SANTOSO.
Dark flesh tuna is a kind of rejected flesh in processing and canning of tuna flesh because it is easy to be rancid and changed in color. The objectives of this research were : 1) to determine an effective concentration of Titanium dioxide
(TiO2) in bleaching the color of dark flesh tuna, 2) to evaluate and compare the
quality of fish nugget from both dark flesh which was bleached by TiO2 and white
flesh, and 3) to evaluate biological quality of fish nugget protein wich were stored in frozen temperature during 0, 1 and 2 months. Raw materials used, were as follows : dark and white flesh were collected from PT ISAAP BONECOM in Jakarta, TiO2 proanalysis as bleaching agent, and 21 to 23 days old Spraque
Dawley (SD) male rat for in vivo analysis. Nuggets were made by using BBPPHP (Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan) methods (2003). Parameters observed were degree of whiteness of the nugget, organoleptic test
(different test), proximate analysis (protein, fat, water and ash), nugget quality
(TVN ,TPC and TBA), and nutritiona l values of protein (digestibility, biological
value and NPU). The results of organoleptic on score of color of the nugget in concentration of TiO2 1 % were not significantly differ with control (white flesh
tuna). The score of texture of dark flesh nugget in all treatments with several concentration of TiO2 and withoutTiO2 were significantly differ from the control
(flesh white tuna). The average values of the aroma of dark flesh nugget using several treatments of TiO2 were not significantly differ from the control except
for the treatments without TiO2. The score of taste of dark flesh nuggets using
several treatment of TiO2 were not significantly differ from the control. Protein
content of nugget made of dark flesh tuna in storage duration 0, 1, and 2 months were: 42.0, 37.9 and 34.5 % respectively; fat content: 40.0, 30.4 dan 22.9 % respectively; water content: 70.5, 68.9 and 67.5 % respectively; ash content: 4.5, 4.2 and 4.0 % ; and Total Volatile Nitrogen (TVN): 7.1, 7.4 and 7.7 mgN/100g. The TVN content were still below maximum standard TVN value for fish-based food. Total Plate Count (TPC) : 5.3 x 103, 7.0 x 103 and 7.2 x 103 CFU/g which were still below the BSN standard and TBA content: 0.4, 0.4 and 0.6 malonaldehyde/kg. On the basis of nutritional protein evaluation of the nugget (in vivo) in different frozen storages (0, 1 and 2 months), digestibility values found were: 98.5, 98.1 and 96.8 %, respectively. Biological value: 92.1, 93.1 and 96.8, respectively. NPU were: 90.7, 91.3 and 95.1, respectively. These indicated that the protein quality the nugget made from dark flesh was good.
Tuna (Thunnus sp). Dibimbing oleh DEDDY MUCHTADI, MADE ASTAWAN and SANTOSO.
Daging merah tuna merupakan limbah pada pengolahan dan pengalengan tuna beku karena daging ini cepat mengalami ketengikan dan perubahan warna yang tidak diinginkan. Tujuan peneltian ini adalah 1) menentukan konsentrasi
titanium dioksida (TiO2) yang efektif sebagai pemucat warna merah daging tuna,
2) mengevaluasi mutu nugget ikan daging merah tuna yang dipucatkan dengan TiO2 dibandingkan dengan mutu nugget daging putih tuna, dan 3) mengevaluasi
nilai gizi protein nugget ikan tuna yang disimpan pada suhu beku selama 0, 1 dan 2 bulan. Bahan yang digunakan adalah daging merah dan putih ikan tuna yang diperoleh dari PT ISAAP BONECOM, bahan pemucat TiO2 proanalisis serta tik us
jenis Spraque Dawley (SD) jantan usia sapih 21 – 23 hari untuk analisis nilai gizi protein secara in vivo. Nugget dibuat berdasarkan Metode BBPPHP (Ba lai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan) (2003). Parameter yang diamati : derajat put ih nugget, uji organoleptik different test, proksimat (protein, lemak, air dan abu), kualitas nugget (TVN, TPC, TBA) dan nilai gizi protein (daya cerna, nilai biologis dan NPU). Hasil pengujian organoleptik (different test) terhadap skor warna nugget menunjukkanpenambahan TiO2 1 % tidak berbeda
nyata dengan kontrol (daging putih tuna). Skor tekstur nugget daging merah tuna pada berbagai penambahan TiO2 dan tanpa TiO2 berbeda nyata dengan
kontrol. Skor aromanugget daging merah tuna pada berbagai penambahan TiO2
tidak berbeda nyata dengan kontrol kecuali pada tanpa penambahan TiO2. Skor
rasanugget daging merah tuna pada berbagai penambahan TiO2 dan tanpa TiO2
tidak berbeda nyata dengan kontrol. Kadar protein nugget daging merah tuna penyimpanan 0, 1 dan 2 bulan adalah : 42,0 ; 37,9 dan 34,1 %, kadar lemak : 40,0 ; 30,4 dan 22,9 %, kadar air : 70,5 ; 68,9 dan 67,5 %, kadar abu : 4,5 ; 4,2 dan 4.0 %, kadar TVN : 7,1 ; 7,4 dan 7,7 mgN/100 g masih di bawah standar maksimum nilai TVN untuk makanan yang berasal dari ikan. Jumlah TPC : 5,3 x 103 ; 7,0 x103 dan 7,2 x103 CFU/g masih di bawah standar BSN dan kadar TBA: 0,4, 0,4 dan 0,6 malonaldehid/kg. Evaluasi mutu protein secara in vivo pada perlakuan nugget daging merah dengan penyimpanan beku 0, 1 dan 2 bulan diperoleh nilai daya cerna : 98,5, 98,1 dan 96,8 %. Nilai biologis : 92,1 ; 93,1 dan 96,8 dan NPU : 90,7, 91,3 dan 95,1. Hal tersebut menunjukkan bahwa protein produk nugget daging merah tuna mempunyai mutu yang baik.
Kata-kata kunci : Nugget ikan, Titanium dioksida, daging merah tuna, nilai biologis
EPI ROSPIATI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Epi Rospiati
NRP : F251030021
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS Ketua
Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS Ir. Santoso, M.Phil Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Juli 2005 sampai April 2006 ini ialah ikan tuna, dengan
judul Evaluasi Mutu dan Nilai Gizi Nugget Daging Merah Ikan Tuna (Thunnus
sp).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi,
MS, Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS dan Ir, Santoso, M.Phil selaku pembimbing
yang telah meluangkan waktunya dalam mengarahkan penulis selama penyusunan
karya ilmiah ini.
Pada kesempatan ini pula, penulis ingin menyampaikan terima kasih pula
kepada berbagai pihak yang telah membantu dan mendukung :
1. Kepada orang tua saya, ibunda N.K. Roslyani serta kedua mertua atas doa
dan kasih sayangnya selama ini.
2. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi DIKNAS atas BPPS yang diberikan
selama kuliah di IPB.
3. Rektor IPB yang telah berkenan menerima saya sebagai mahasiswa
Pascasarajana IPB.
4. Dekan Pascasarjana beserta staf atas bantuan pelayanan akademik dan
kerjasamanya yang diberikan selama ini. Disamping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada Ketua Program Studi Ilmu Pangan Prof. Dr. Ir.
Betty Sri Laksmi Jenie, MS beserta staf atas perhatian dan kerjasamanya.
5. Direktur Politeknik Pertanian Negeri Pangkejene Kepulauan Bapak Ir.
Zainal Abidin Musa, DR. Ir. Jayadi, MS serta ketua Jurusan TPHP bapak
Ir. Tasir Pammula, atas izin dan bantuan yang diberikan selama ini.
6. Pemerintah Daerah (PEM DA) Propinsi Sulawesi Selatan atas bantuan
penelitian yang diberikan.
7. Kepala Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan
beserta staf pengolahan dan staf lab kimia atas bantuan fasilitas ya ng
disediakan selama penelitian
8. Direktur PT. ISAAP BONECOM Jakarta beserta staf atas kesediaannya
10.Kepada Mahasiswa IPN S2 dan S3 angkatan 2003 (Anuraga, Reni,
Herpandi, Cut, Rina, Nora, Ahmad, mbak Widowati, dan mbak Susi)
mahasiswa TPP angkatan 2004 (Ismael, Yanie, mbak Rina, Astri, Adnan)
serta teman-teman lainnya atas segala bantuan dan kerjasamanya selama
ini
11.Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada : suami (Muhammad
Jamal) kedua anak saya (Muh. Fauzan Syahbani dan Fathonah Annisa),
Adik-adikku (Lia Rosiana sek, Hera Indryana sek , Ari Rifayandi sek, Elin
Arlyni sek, dan Ade Tirtana) dan seluruh keluarga, atas segala doa,
bantuan dan kasih sayangnya selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat, Amin.
Bogor, Nopember 2006
Penulis dilahirkan di Bone Sulawesi Selatan pada tanggal 20 Agustus 1966
dari ayah Supian Busra (Mayor Purn AD) dan ibu Ninin Karmini Roslyani.
Penulis putri pertama dari enam bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di
jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar, lulus
tahun 1990. Pada tahun 2003, penulis diterima di program studi Ilmu Pangan
pada Sekolah Pascasarjana IPB dengan beasiswa pendidikan diperoleh dari BPPS
Departemen Pendidikan Nasional.
Penulis bekerja sebagai dosen di Politeknik Pertanian Negeri Pangkajene
Kepulauan Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan (TPHP) sejak tahun
1998. Pada tahun 1991 penulis menikah dengan Ir. Muhammad Jamal, M.Si dan
Halaman
PRAKATA ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... v
DAFTAR GAMBAR ... vi
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
1 PENDAHULUAN ... 1
A. LATAR BELAKANG ... 1
B. TUJUAN PENELITIAN ... 2
C. PERUMUSAN MASALAH ... 3
D. HIPOTESIS ... 3
E. KEGUNAAN ... 4
2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5
A. TUNA ... 5
B. DAGING MERAH IKAN TUNA ... 8
C. TITANIUM DIOKSIDA ... 9
D. KANDUNGAN PIGMEN ... 11
E. KOMPOSISI DAGING IKAN ... 13
F. NUGGET IKAN (FISH NUGGET) ... 16
G. HISTAMIN DAN MUTU IKAN TUNA ... 19
H. PEMBEKUAN ... 20
3 METODE PENELITIAN ... 24
A. WAKTU DAN TEMPAT ... 24
B. BAHAN DAN ALAT ... 24
C. PROSEDUR PENELITIAN ... 25
D. ANALISIS SAMPEL ... 32
A. PENELITIAN PENDAHULUAN ... 42
1. Derajat putih ... 42
2. Uji Organoleptik Nugget Daging Merah dan Daging Putih Tuna ... 43
3. Konsentasi Titanium Dioksida terhadap kadar protein nugget ... 46
B. PENELITIAN LANJUTAN 1 ... 47
1. Protein nugget ... 48
2. Lemak nugget ... 49
3. Kadar air ... 52
4. Kadar abu ... 53
5. pH Nugget Daging Merah... 54
6. Kadar TVN (Total Volatil Nitrogen) ... 55
7. Nilai TPC ( Total Plate Count) ……….. 56
8. Nilai Bilangan Peroksida ……….... 57
9. Kadar TBA (Thiobarbaituric Acid) ... 59
10. Kadar Histamin ... 61
C. PENELITIAN LANJUTAN 2 ... 63
1. Formulasi Ransum ... 63
2. Perkembangan Berat Badan, Jumlah Konsumsi Ransum dan Efisiensi Ransum Tikus Selama Percobaan ... 64
3. Evaluasi Mutu ProteinSecara in vivo... 69
5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 73
A. KESIMPULAN ... 73
B. SARAN ... 74
DAFTAR PUSTAKA ... 75
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Komposisi Nilai Gizi Beberapa Nilai Gizi Ikan Tuna (Thunnus sp)
per 100 g Daging ... 7
2. Produksi Ikan Tuna Tahun 1989 - 1998 ... 7
3. Formulasi Bumbu Nugget Ikan per 100 g Daging Ikan ... 18
4. Komposisi Bahan Pengikat Nugget per 100 g Daging Ikan ... 18
5. Komposisi Ransum yang Dianjurkan untuk Penetapan PER ... 40
6. Skor rata-rata hasil uji organoleptik produk nugget daging merah dibandingkan nugget daging putih ... 44
7. Nilai TPC nugget daging merah Tuna ... 57
8. Rekapitulasi analisis proksimat Kasein, Tepung nugget daging putih, Tepung nugget daging merah tuna penyimpanan 0 bulan , Tepung nugget daging merah tuna penyimpanan 1 bulan dan Tepung nugget daging merah tuna penyimpanan 2 bulan ... 63
9. Komposisi bahan untuk pembuatan ransum 100 g ... 64
10. Pengaruh perlakuan terhadap pertambahan berat badan tikus, jumlah konsumsi ransum dan efisiensi ransum ... 65
DAFTAR GAMBAR
. Halaman
1. Bentuk Tubuh Beberapa Spesies Ikan Tuna ... 6
2. Letak daging merah pada jenis ikan tuna ... 8
3. Pembagian daging merah tuna berdasarkan lapisan lemak ... 8
4. a. Kristal rutile, b. Kristal anatase dan c. Kristal brookite ... 10
5. Sistem Kristal Titanium Dioksida (TiO2) ... 10
6. Struktur molekul myoglobin ... 11
7. Struktur molekul heme ... 12
8. Struktur Tunaxanhtin dan ß – karoten ... 13
9 Tikus Sparaque Dawley (SD) jantan yang digunakan ... 24
10. Cara pembuatan nugget tuna ... 27
11. Kandang metabolik dan wadah penampung urin dan feses tikus ... 30
12. Prosedur Penelitian ... 31
13. Nilaiderajat putih nugget daging merah tuna ... 42
14. Kadar protein nugget pada berbagai konsentrasi TiO2 ... 47
15 Kadar protein nugget daging merah tuna ... 48
16. Kadar lemak nugget daging merah tuna ... 50
17. Kadar air nugget daging merah tuna ... 52
18. Kadar abu nugget daging merah tuna ... 53
19. Nilai pH nugget daging merah tuna ... 55
23. Kadar Histamin nugget daging merah tuna ... 61
24 . Tepung nugget daging putih tuna (DP), tepung daging merah tuna penyimpanan nol bulan (B0), tepung daging merah tuna penyimpanan satu bulan (B1) dan tepung daging merah tuna
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Contoh format uji pembedaan : Difference from control test ...…………. 81
2. Hasil analisis sidik ragam derajat putih …... 82
3. Uji Lanjut Tukey derajat putih ... 82
4. Uji pembanding warna nugget daging merah tuna ... 83
5. Uji pembanding aroma nugget daging merah tuna ... 84
6. Uji pembanding rasa nugget daging merah tuna... 85
7. Uji pembanding tekstur nugget daging merah tuna ... 86
8. Hasil analisis sidik ragam kadar protein nugget terhadap TiO2 ... 87
9. Hasil analisis sidik ragam kadar protein nugget ... 87
10. Hasil uji beda Tukey rata-rata kadar protein nugget ... 87
11. Hasil analisis sidik ragam kadar lemak nugget ... 88
12. Hasil uji beda Tukey rata-rata kadar lemak nugget ... 88
13. Hasil analisis sidik ragam kadar air nugget ... 88
14. Hasil uji beda Tukey rata-rata kadar air nugget ... 88
15. Hasil analisis sidik ragam kadar abu nugget ... 89
16. Hasil uji beda Tukey rata-rata kadar abu nugget ... 89
17. Hasil analisis sidik ragam pH nugget ... 89
18. Hasil analisis sidik ragam TVN nugge t... 90
19. Hasil uji beda Tukey rata-rata TVN nugget ... 90
20. Hasil analisis sidik ragam TPC nugget ... 90
24. Hasil uji beda Tukey rata-rata TBA nugget ... 91
25. Hasil analisis sidik ragam Nilai Histamin nugget ... 92
26. Hasil uji beda Tukey rata-rata Nilai Histamin nugget ... 92
27. Hasil analisis sidik ragam pertambahan berat badan tikus ... 92
28. Hasil uji beda Tukey rata-rata pertambahan berat badan tikus ... 92
29. Hasil analisis sidik ragam efisiensi ransum tikus ... 93
30. Hasil uji beda Tukey rata-rata efisiensi ransum tikus ... 93
31. Hasil analisis sidik ragam konsumsi ransum tikus ... 93
32. Hasil uji beda Tukey rata-rata konsumsi ransum tikus ... 93
33. Hasil analisis sidik ragam Daya Cerna (DC) sejati protein ... 94
34. Hasil uji beda Tukey rata-rata Daya Cerna (DC) sejati protein ... 94
35. Hasil analisis sidik ragam Nilai Biologis (NB) tikus ... 94
36. Hasil uji beda Tukey rata-rata Nilai Biologis (NB) tikus ... 94
37. Hasil analisis sidik ragam Nilai Protein Utilization (NPU) tikus ... 95
38. Hasil uji beda Tukey rata-rata Nilai Protein Utilization (NPU) tikus ... 95
39. Hasil perhitungan daya cerna, nilai biologis dan Net Protein Utilization pada tikus ... 96
A. LATAR BELAKANG
Indonesia yang tiga perempat wilayahnya berupa laut (5,8 juta km2) dan
merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki potensi lestari (maximum
sustainable yield) ikan laut seluruhnya 6,4 juta ton/tahun atau sekitar 7 % dari
total potensi lestari ikan laut dunia. Artinya jika kita dapat mengendalikan tingkat
penangkapan ikan laut lebih kecil dari 6,4 juta ton/tahun maka kegiatan usaha
perikanan tangkap semestinya dapat berlangsung secara lestari (Dahuri, 2004).
Dalam dua puluh lima tahun terakhir banyak sekali penemuan ilmiah dari
para ahli gizi dan kesehatan dunia yang membuktikan bahwa ikan dan jenis
seafood lainnya sangat baik untuk kesehatan serta kecerdasan manusia (Dahuri,
2004). Ikan (seafood) rata-rata mengandung 20 % protein yang mudah dicerna
dengan komposisi asam amino esensial yang seimbang. Ikan juga mengandung
omega 3 yang sangat penting bagi perkembangan jaringan otak, mencegah
terjadinya penyakit jantung, stroke dan darah tinggi. Lebih dari itu omega 3 juga
dapat mencegah penyakit inflamasi seperti arthritis, asma, colitis, dermatitis serta
psoriasis, beberapa jenis penyakit ginjal dan memb antu penyembuhan penyakit
depresi, skizofrenia serta gejala hiperaktif pada anak-anak (Dahuri, 2004 dan
Astawan, 2004).
Pemanfaatan limbah perikanan berupa kepala ikan, sirip, tulang, kulit dan
daging merah telah digunakan dalam beberapa hal, yaitu berupa daging lumat
(minced fish) untuk bahan pembuatan produk-produk gel ikan seperti bakso, sosis,
nugge t dan lain- lain. Selain itu dapat dibuat tepung, konsentrat, hidrolisat dan
isolat protein ikan. Sebagai pakan ternak, ikan dapat diolah menjadi tepung,
bubur dan larutan- larutan komponen ikan (Moeljanto, 1979).
Dibandingkan dengan nilai gizi daging hewan darat, misalnya daging sapi,
kedudukan ikan boleh dikatakan jauh lebih tinggi. Sedangkan dibandingkan
dengan telur kedudukan ikan sebagai bahan pangan juga tidak jauh berbeda.
Protein ikan mempunyai nilai biologis tinggi. Meskipun tiap jenis ikan angka
biologisnya berbeda tetapi umumnya sekitar 90. Derajat penerimaan seseorang
gurih, warna dagingnya kebanyakan putih, jaringan pengikatnya halus sehingga
jika dimakan terasa enak (Hadiwiyoto, 1993). Daging merah yang selama ini
merupakan limbah bagi industri pengalengan tuna karena lemaknya yang tinggi
dan proteinnya yang kurang, dapat dimanfaatkan dengan pengolahan yaitu
mengkonversi menjadi produk yang lebih diminati.
Produk olahan hasil perikanan begitu marak di pasaran untuk memenuhi
kebutuhan protein bagi masyarakat. Hal ini disebabkan oleh kehidupan modern
yang serba sibuk dan banyak menyita waktu. Contoh produk olahan hasil
perikanan yang siap saji adalah otak-otak ikan, bakso ikan, fish nugget, fishfinger,
fish burger dan sebagainya. Produk olahan tersebut memiliki nilai gizi yang
sangat dibutuhkan oleh konsumen.
Nugget ikan merupakan salah satu makanan baru, dibuat dari daging giling
dengan penambahan bumbu-bumbu dan dicetak, kemudian dilumuri dengan
pelapis (coating dan breading) yang dilanj utkan dengan penggorengan. Pada
dasarnya nugget ikan mirip dengan nugget ayam, perbedaannya terletak pada
bahan baku yang digunakan (Aswar, 1995). Nugget hasil olahan diharapkan
memiliki citarasa yang enak, aman dan memenuhi kebutuhan zat gizi (Labuza,
1982), sehingga penting mengetahui perubahan mutu yang terjadi selama
penyimpanan.
Pemucatan dengan bahan pemucat titanium dioksida (TiO2) biasa
digunakan sebagai bahan tambahan untuk pemucat. Pemucatan dengan TiO2 ini
tidak menurunkan nilai gizi protein. Diharapkan proses pemucatan terhadap
daging merah ikan tuna dengan menggunakan TiO2 dapat meningkatkan nilai
organoleptik dan pemenuhan nilai gizi protein pada produk siap saji berupa
nugget ikan. Sehingga daging merah tidak lagi merupakan limbah bagi
pengalengan ikan tuna, tapi merupakan suatu bahan baku untuk diversifikasi
produk protein hewani yang siap saji.
B. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Menentukan konsentrasi titanium dioksida (TiO2) yang efektif dalam
2. Menge valuasi mutu nugget ikan tuna yang terbuat dari daging merah yang
dipucatkan dengan TiO2 dibandingkan dengan nugget dari daging putih
tuna
3. Mengevaluasi nilai gizi protein nugget ikan yang disimpan pada suhu beku
selama 0, 1 dan 2 bulan
C. PERUMUSAN MASALAH
Daging merah pada ikan tuna tidak disukai karena menimbulkan rasa pahit
dan memiliki kadar lemak lebih tinggi (5,60 % bb atau 18,43 % bk) tetapi kadar
protein lebih rendah dibandingkan daging putih (Hendriawan, 2002). Kadar
lemak yang tinggi menyebabkan daging merah mudah teroksidasi, cepat
mengalami proses penururan mutu dan berbau tengik sehingga biasanya dibuang
dalam proses pengalengan ikan.
Daging merah tuna merupakan limbah dalam proses pengalengan tuna dan
industri pembekuan tuna untuk ekspor yaitu tuna loin, biasanya limbah ini
dimanfaatkan untuk pakan ternak. Pusparani (2003) mengatakan bahwa limbah
potensial ini belum dimanfaatkan secara optimal.
Dilihat dari nilai gizinya, daging ini masih dapat dikonsumsi serta dapat
dimanfaatkan untuk produk olahan yang memerlukan penanganan dan pengolahan
agar rasa pahit dapat dikurangi serta menghambat proses ketengikan. Adapun
proses penanganan daging merah ini yaitu dengan proses bleaching (pemucatan)
dan pengolahannya dengan pembuatan nugget ikan dengan penyimpanan beku.
Diharapkan hasil pemucatan tersebut dapat meningkatkan nilai organoleptik,
menghilangkan rasa pahit dan me ncegah ketengikan serta tidak mengurangi nilai
gizi protein.
D. HIPOTESIS
a. Perlakuan penambahan titanium dioksida (TiO2) berpengaruh terhadap
derajat putih daging merah tuna yang dipucatkan
b. Penambahan TiO2 berpengaruh terhadap komposisi kimia (protein, lemak,
c. Penyimpanan beku berpengaruh terhadap nilai gizi protein nugget daging
merah tuna yang dipucatkan
E. KEGUNAAN
Kegunaan hasil penelitian ini yaitu :
• Memanfaatkan daging merah dari limbah pengalengan tuna menjadi
A. TUNA
Ikan tuna termasuk dalam keluarga Scombroidae, tubuhnya seperti cerutu.
mempunyai dua sirip pungung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah
dari sirip belakang. Mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang sirip
punggung dan sirip dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil, sirip
ekor bercagak agak ke dalam dengan jari-jari penyokong menutup seluruh ujung
hipural. Tubuh ikan tuna tertutup oleh sisik-sisik kecil, berwarna biru tua dan
agak gelap pada bagian atas tubuhnya, sebagian besar memiliki sirip tambahan
yang berwarna kuning cerah dengan pinggiran berwarna gelap (Ditjen Perikanan,
1983)
Menurut Saanin (1984), klasisifikasi ikan tuna adalah sebagai berikut :
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata Thunnus
Class : Teleostei
Sub Class : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Sub ordo : Scombroidae
Genus : Thunnus
Species : Thunnus alalunga (Albacore)
Thunnus albacores (Yellowfin Tuna)
Thunnus macoyii (Southtern Bluefin Tuna)
Thunnus obesus (Big eye Tuna)
Thunnus tongkol (Longtail Tuna)
Tuna termasuk perenang cepat dan terkuat di antara ikan- ikan yang
berangka tulang. Penyebaran ikan tuna mulai dari laut merah, laut India,
Malaysia, Indonesia dan sekitarnya. Juga terdapat di laut daerah tropis dan daerah
beriklim sedang (Djuhanda, 1981). Adapun bentuk tubuh beberapa species ikan
tuna dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Bentuk tubuh beberapa spesies ikan tuna
1. Tongkol (Euthynnus affinis) 2. Mata besar (Thunnus obesus)
Ikan tuna adalah jenis ikan dengan kandungan protein yang tinggi dan
lemak yang rendah. Ikan tuna mengandung protein antara 22,6 - 26,2 g/100 g
daging. Lemak antara 0,2 - 2,7 g/100 g daging. Di samping itu ikan tuna
mengandung mineral kalsium, fosfor, besi dan sodium, vitamin A (retinol), dan
vitamin B (thiamin, riboflavin dan niasin) Departemen of Health Education and
Walfare (1972 yang diacu Maghfiroh, 2000). Komposisi nilai gizi beberapa jenis
ikan tuna dapat dilihat dalam Tabel 1 dan produksi ikan tuna di Indonesia
disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 1 Komposis i nilai gizi beberapa jenis ikan tuna (Thunnus sp) per 100 g daging
Jenis Ikan Tuna Komposisi
Bluefin Skipjack Yellowfin Satuan
Energi 121,0 131,0 105,0 Kal
B. DAGING MERAH IKAN TUNA
Secara umum bagian ikan yang dapat dimakan (edible portion) berkisar
antara 45 – 50 % dari tubuh ikan (Suzuki, 1981). Untuk kelompok ikan tuna,
bagian ikan yang dapat dimakan berkisar antara 50 – 60 % (Stanby, 1963). Kadar
protein daging putih ikan tuna lebih tinggi dari pada daging merahnya. Namun
sebaliknya kadar lemak daging putih ikan tuna lebih rendah dari daging
merahnya. Pembagian daging merah ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Letak daging merah pada jenis ikan tuna (http://www.jakartafishport.com/ikan-tuna.jpg)
Daging merah tuna dapat dibedakan berdasarkan lapisan lemaknya yaitu
otoro, chutoro dan akami (Gambar 3). Otoro terdapat pada bagian perut bawah,
berwarna lebih terang karena lebih banyak mengandung lemak dan lebih mahal
dibandingkan chutoro.
Daging merah ikan adalah lapisan daging ikan yang berpigmen kemerahan
sepanjang tubuh ikan di bawah kulit tubuh. Jumlah daging merah bervariasi
mulai kurang dari 1 – 2 % pada ikan yang tidak berlemak hingga 20 % pada ikan
yang berlemak. Diameter sel atau jaringan otot pada daging merah lebih kecil
(Okada, 1990). Daging merah kaya akan lemak, suplai oksigen dan mengandung
mioglobin. Daging merah pada ikan pelagis memungkinkan jenis ikan ini
berenang pada kecepatan yang tetap untuk memperoleh makanan dan untuk
bermigrasi (Learson dan Kaylor, 1990).
Okada (1990) menyatakan bahwa daging merah mengandung mioglobin
dan hemoglobin yang bersifat prooksidan serta kaya akan lemak. Warna merah
pada daging ikan disebabkan kandungan hemoproteinnya tinggi yang tersusun
atas protein moiety, globin dan struktur heme. Di antara hemoprotein yang ada,
mioglobin adalah hemoprotein yang terbanyak. Lebih 80 % hemoprotein pada
daging merah adalah mioglobin dan hemoglobin. Kandungan mioglobin pada
daging merah ikan tuna dapat lebih dari 3.500 mg/100 g (Watanabe, 1990). Hal
ini yang menyebabkan mudahnya terjadi ketengikan pada daging merah ikan tuna
(Okada, 1990).
C. TITANIUM DIOKSIDA (TiO2)
Sebelum dikenal sebagai semikonduktor tipe- n yang memiliki celah energi
relatif lebar dengan sifat super hidrofilik ketika terkena cahaya, TiO2 dikenal
sebagai senyawa dioksida berwarna putih yang tahan karat dan tidak beracun.
Karena sifatnya ini TiO2 telah lama digunakan sebagai bahan pemberi warna
(pigmen) putih pada makanan maupun produk kosmetik. Dalam bentuk
mikroskopis, TiO2 diketahui memiliki dua bentuk utama yaitu kristal dan amorf
(Gunlazuardi, 2001 yang diacu Sudana, 2003).
Konfigurasi elektron atom titanium (22Ti) ialah 1s2 2s2 2p6 3s2 3p6 4s2 3d2
sementara atom oksigen (8O) yaitu 1s2 2s2 2p4. Secara sederhana orbital molekul
TiO2 terbentuk antara ikatan kulit 3d Ti dengan kulit 2p O. Tingkat energi kulit
3d menjadi daerah konduktif molekul sedangkan kulit 2p menjadi area valensi
TiO2 amorf seperti layaknya senyawa amorf lain tidak memiliki
keteraturan susunan atom sehingga bahan tersebut tidak memiliki keteraturan pita
konduksi dan valensi, akan tetapi TiO2 amorf juga dikenal memiliki kemampuan
untuk mendegradasi polutan dalam waktu yang tidak singkat. Sedangkan dalam
bentuk kristal, TiO2 diketahui memiliki tiga fase kristal yang berbeda yaitu rutile,
anatase dan brookite (Gambar 4).
a b c
Gambar 4 a. Kristal rutile, b. Kristal anatase dan c. Kristal brookite
http://ruby.colorado.edu/~smyth/min/tio2.html
Rutile merupakan bentuk kristal yang paling stabil dib andingkan dua fase
lainnya, oleh karena itu kristal jenis ini lebih mudah ditemukan dalam bentuk
yang paling murni (biji). Anatase dikenal sebagai fase kristal yang paling reaktif
terhadap cahaya, eksitasi elektron ke pita konduksi dapat dengan mudah terjadi
apabila kristal ini dikenai cahaya dengan energi yang lebih besar dari pada celah
energinya. Kristal ini juga dapat terbentuk akibat pemanasan TiO2 amorf pada
suhu 400oC hingga 600oC sedangkan pemanasan hingga 700oC akan
menyebabkan kristal anatase bertranformasi menjadi rutile. Sedangkan brookite
merupakan jenis kristal yang paling sulit diamati karena sifatnya yang tidak
mudah dimurnikan (Diebold, 2003 yang diacu Marlupi, 2003).
Molekul TiO2 dalam fase anatase atau rutile tersusun dari konfigurasi satu
ion Ti+4 dan enam ion O-2 yang membentuk konfigurasi bangun oktahedron
dengan sistem kristal tetragonal (Gambar 5).
Gambar 5 Sistem kristal Titanium dioksida (TiO2)
TiO2 paling banyak digunakan sebagai material fotokatalisis karena paling
stabil, tahan terhadap korosi, aman memiliki sifat ampifilik dan harganya relatif
murah. Sifat ampifilik ditunjukkan dengan perubahan sifat permukaan TiO2 yang
super hidrofobik sebelum disinari UV menjadi super hidrofilik setelah disinari
UV. Karakteristik ini dimanfaatkan dalam sistem desinfeksi, antifogging, dan self
cleaning (Gunlazuardi, 2001 yang diacu Marlupi, 2003). Titanium dioksida
(Pigmen White 6 C I no : 77891) biasa digunakan sebagai bahan tambahan dalam
makanan (Depkes RI, 1999 dan MacDougall, 2002) dan penggunaannya tidak
boleh melebihi 1%.
D. KANDUNGAN PIGMEN
v Myoglobin
Perbedaan utama antara daging putih dan daging merah adalah kandungan
pigmennya, dimana myoglobin menjadi pigmen utama yang terdapat pada daging
merah (Winarno, 1984).
Menurut Winarno (1984), myoglobin mirip dengan hemoglobin berbentuk
lebih kecil, yaitu kira-kira satu per empat bagian dari besar hemoglobin. Satu
molekul myoglobin terdiri dari satu rantai polipeptida yang terdiri satu rantai
polipeptida yang terdiri dari 150 buah asam amino. Gambar 6 menunjukkan
struktur molekul dari myoglobin.
Keterangan :
M = methyl (-CH3) V = vinyl (-CH-CH2)
P = Propinic acid (CH2CH2COOH)
Menurut Gray dan Pearson (1984), gugus heme yang terdapat dalam
molekul hemoglobin sama dengan gugus heme pada myoglobin, yaitu terdiri dari
porpirin yang mengandung sebuah atom besi (Fe). Struktur molekul heme dapat
dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Struktur molekul heme
Berdasarkan sifat fisiknya, myoglobin merupakan bagian dari protein
sarkoplasma daging, bersifat larut dalam air dan larutan garam encer (Clydesdale
dan Francis, 1976)
Kramlich et al (1973) menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi
jumlah hemoglobin dan myoglobin pada daging antara lain 1) tingkat aktivitas
jaringan, (2) suplai darah, (3) tingkat kebutuhan oksigen, serta (4) umur dan
species.
v Karotenoid
Karotenoid merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning, orange
dan merah serta larut dalam minyak (Winarno, 1984). Karotenoid merupakan
grup pigmen yang terdapat pada kulit, alat-alat dalam tubuh ikan dan
bagian-bagian la innya dari ikan (Simpson, 1962). Selanjutnya dinyatakan bahwa, ikan
tuna termasuk jenis ikan yang banyak mengandung karotenoid. Kandungan
pigmen ini dapat disebabkan karena beberapa jenis ikan dapat mengkonsumsi
ikan-ikan lain atau kerang-kerangan yang lebih kecil yang mengandung
karotenoid.
Pigmen yang telah diisolasi dari grup ikan tuna adalah “ tunaxanthin “
dan pigmen tersebut merupakan karakterisrtik utama ikan- ikan laut pada
Tunaxanhtin dan ß – karoten mempunyai struktur yang mirip, terdiri dari
delapan unit isoprene dan dua cincin ionon. Perbedaan terlihat pada adanya dua
gugus hidroksil dan pada cincin ionon dari tunaxanthin seperti terlihat pada
Gambar 7. Menurut Clydesdale dan Francis (1976), ß – karoten adalah karotenoid
yang paling umum dan merupakan sumber utama bagi sintesa vitamin A pada
hewan.
Gambar 8 Struktur Tunaxanhtin dan ß – karoten (Simpson, 1962)
Selanjut nya Simpson (1962) menjelaskan bahwa pengurangan intensitas
warna ikan yang berdaging merah lebih mudah terjadi pada suhu pembekuan
(refrigerasi) dan bebas dari cahaya. Selain itu juga homogenaisasi pada proses
pengolahan ikan dapat pula mendegradasi tunaxanhtin dan ß – karoten, terutama
yang terletak pada jaringan di bawah kulit dan jaringan dekat hati, sehingga
bagian tersebut berubah menjadi bagian yang tidak berwarna.
Kerusakan lanjut dari karotenoid dapat disebabkan oleh faktor- faktor
cahaya, adanya enzim lipoksigenase dan perlakuan pengeringan (Simpson, 1962).
Kerusakan tersebut dapat berupa perubahan warna secara bertahap dan
terisomerisasi.
E. KOMPOSISI DAGING IKAN
v Protein
Kandungan protein ikan sangat tinggi dibandingkan denganprotein hewan
lainnya, dengan asam amino esesnsial sempurna, karena hampir semua asam
amino esensial terdapat pada daging ikan (Pigott dan Tucker, 1990 ). Berdasarkan
protein pengikat (stroma), protein pembentuk atau pembentuk enzim, koenzim
dan hormon (Hadiwiyoto, 1993).
Jebsen (1983) membagi protein ikan menjadi 3 kelompok yaitu : 1),
kelompok yang terdiri dari tropomiosin, aktin, miosin dan aktomiosin yang
terdapat kira-kira 65 % dari total protein dan larut dalam natrium klorida netral
dengan kekuatan ion lebih tinggi dari (0,50), 2) terdiri dari globin, miosin dan
mioglobin yang terkandung sekitar 25 sampai 30 persen dari total protein yang
diekstrak dengan larutan netral dengan kekuatan ion lebih rendah (0,15) 3),
meliputi stroma protein yang terdapat kira-kira 3 persen dari protein ikan.
Kelompok protein ini tidak dapat larut dalam larutan garam netral, asam encer
atau alkali.
Suzuki (1981) menyatakan protein miofibrilar bersifat sedikit larut dalam
air pada pH netral tetapi larut dalam larutan garam kuat. Protein miofibrilar
adalah protein yang membentuk miofibril yang terdiri dari protein struktural
(aktin, miosin dan aktomiosin) dan protein regulasi (troponin, tropomiosin dan
aktinin). Protein miofibrilar merupakan bagian terbesar dari protein ikan, yaitu
sekitar 66 – 77 % dari total protein ikan.
Pada proses pengolahan daging protein miofibrilar memegang peranan
penting dalam struktur yang menentukan karakteristik produk yang diinginkan
adalah miosin, Miosin adalah merupakan protein berserabut besar dengan berat
molekul 500.000 dan terdapat sekitar 43 % dari total miofibrilar dalam jaringan
otot (Xiong, 2000 yang diacu Nakai, 2000). Suzuki (1981) menyatakan bahwa
aktivitas ATP-ase miosin dipengaruhi oleh ion K+, Mg 2+ dan Ca 2+. Pada daging
yang mengalami rigor mortis aktin akan berikatan dengan miosin membentuk
aktomiosin. Aktin akan terekstrak bersama-sama dengan miosin dengan adanya
garam dan polifosfat.
Xiong (2000 yang diacu Nakai, 2000) menyatakan bahwa protein kolagen
merupakan serabut sarkoplasma yang penting adalah mioglobin yang sangat
berperan dalam warna merah pada daging. Molekul mioglobin terdiri dari dua
bagian yaitu : bagian protein (globin) dan bagian nonprotein (heme). Selanjutnya
dinyatakan bahwa kandungan mioglobin dalam tiap daging berbeda tergantung
Kolagen adalah salah satu protein stroma (jaringan pengikat) yang tersusun
dari asam-asam amino penyusun protein kecuali triptofan, sistin dan sistein
(Hadiwiyoto, 1993). Stanley (1999) menyatakan bahwa merupakan serabut
protein yang sangat penting dalam tekstur daging yang tersusun dari asam amino
glisin (30%), proline dan hydroproline (25%). McCormick yang diacu Kinsman
et al (1994) menyatakan bahwa kolagen adala h 2 – 6 % berat kering otot,
tergantung jenis otot dan umur.
v Lemak
Suzuki (1991) menyatakan bahwa kandungan lemak ikan
bermacam-macam tergantung pada jenis ikan, umur dan jumlah daging merah serta kondisi
makanan. Kandungan lemak erat kaitannya denga n kandungan protein dan
kandungan air, pada ikan yang kandungan lemaknya rendah umumnya
mengandung protein dalam jumlah yang cukup besar
Winarno (1993) menyatakan bahwa berdasarkan kandungan lemaknya,
ikan terbagi menjadi 3 golongan yaitu : ikan dengan kandungan lemak rendah
(kurang dari 2%) terdapat pada kerang, cod, lobster, bawal, gabus, ikan dengan
kandungan lemak sedang (2 – 5 %) terdapat pada rajungan,oyster,udang, ikan
mas, lemuru, salmon dan ikan dengan kandungan lemak tinggi (4 – 5%) terdapat
pada hering, mackerel, salmon, tuna, sepat, tawes dan nila.
Ikan banyak mengandung asam lemak bebas berantai karbon lebih dari 18.
Asam lemak ikan lebih banyak mengandung ikatan rangkap atau asam lemak tak
jenuh (PUFA) dari pada mamalia. Keseluruhan asam lemak yang terdapat pada
daging ikan krang lebih 25 macam. Jumlah asam lemak jenuh 17 – 21% dan
asam lemak tidak jenuh 79 – 83 % dari seluruh asam lemak yang terdapat pada
daging ikan. Asam lemak tidak jenuh mempunyai ikatan rangkap a 1-6
(Hadiwiyoto, 1993).
v Karbohidrat
Karbohidrat dalam daging ikan merupakan polisakarida yaitu glikogen
yang terdapat dalam sarkoplasma diantara miofibril- miofibril. Glikogen terdapat
yaitu 0,05 – 0,085 %. Disamping itu terdapat jauga glukosa (0,038 %), asam
laktat (0,005 – 0,43 %) dan berbagai senyawa antara dalam metabolisme
karbohidrat (Hadiwiyoto, 1993).
Lebih lanjut Hadiwiyoto (1993) menjelaskan bahwa hasil antara proses
glikolisa juga terdapat dalam daging ikan ,yaitu : asam fruktosafosfor, asam
fosfogliserat dan asam piruvat. Selain itu masih terdapat sejumlah kecil
monosakarida dari golongan pentosa yaitu ribosa dan deoksiribosa yang
merupakan hasil pemecahan asam asam nukleat. Kedua monosakarida ini dapat
membentuk protein-protein kompleks.
v Air
Kadar air pada ikan adalah 66 – 84 %. Kadar air mempunyai hubungan
yang berlawanan dengan kadar lemak. Makin tinggi kadar air, makin rendah
kadar lemaknya. Air terdapat dalam ruang-ruang antar sel dan plasma (Suzuki,
1981). Air yang ditemukan dalam jaringan otot terdiri dari tiga tipe yaitu : air
konstitusional merupakan air yang terletak dalam molekul protein (1%), air yang
terikat kuat (0,3 g air/100 g protein) dan air permukaan yang terletak pada
permukaan multi layer protein dan dalam celah-celah kecil. Sekitar 10 % dari air
tersebut ditemukan dalam ruang ekstraseluler yang bisa bertukar denga n air sel
pada kondisi tertentu sehingga mengakibatkan perubahan protein miofibril.
F. NUGGET IKAN (FISH NUGGET)
Pada tahun 1982, Castle dan Cooke Foods San Fransisco telah
memasarkan produk salmon nugget dengan label Bumble Bee yang memiliki
aroma, bau, rasa ikan salmon segar dengan bentuk baru dan menarik. Bentuk
makanan nugget ikan berupa cincangan daging ikan yang memiliki kekenyalan
khas, dibalut lapisan remah roti kering (buttered and breaded) yang dapat diberi
cita rasa khusus dengan ukuran sekitar 50 g, sehingga mudah disajikan bersama
saus setelah digoreng dalam minyak terlebih dahulu. Pada saat disajikan berupa
gumpalan berwarna coklat keemasan dengan bagian luar yang renyah (crispy) dan
Nugget adalah suatu bentuk produk olahan daging yang merupakan bentuk
emulsi minyak dalam air (O/W). Nugget ikan yang sekarang dipasarkan di
Indonesia umumnya menggunakan bahan baku ikan kakap merah (Manullang dan
Tanoto, 1995). Penambahan polyphospate pada pengolahan nugget diduga kuat
juga mencegah timbulnya ketengikan pada produk precooked selama
penyimpanan dan distribusinya (Brotsky, 1976 yang diacu Huffman et al, 1987).
Alkalin polyphospate telah diizinkan untuk digunakan sebagai pengawet flavor
produk daging oleh USDA sejak tahun 1984 (Huffman et al, 1987).
Nugget adalah suatu bentuk produk olahan dari daging giling dan diberi
bumbu-bumbu serta dicampur dengan bahan pengikat kemudian dicampur dengan
bentuk-bentuk tertentu selanjutnya dilumuri dengan tepung roti (coating) dan
digoreng. Nugget merupakan produk makanan baru yang dibekukan, rasanya
lezat, gurih dapat dihidangkan dengan cepat karena hanya digoreng dan dapat
langsung dimakan (Anonim, 1990). Pada umumnya nugget berbentuk persegi
panjang ketika digoreng menjadi kekuningan dan kering. Hal yang terpenting dari
nugget adalah penampakan produk akhir, warna, tekstur dan aroma. Pada saat
pelumuran dengan tepung roti diusahakan secara merata jangan sampai adonan
kelihatan. Tekstur dari nugget tergantung dari asal bahan baku (Maghfiroh,
2000).
Pada dasarnya produk fish nugget hampir sama dengan chicken nugget dan
shrimp nugget. Perbedaannya terletak pada jenis dan karakteristik bahan baku
yang digunakan (Aswar, 1995). Pembuatan fish nugget tidak jauh berbeda dengan
pemb uatan surimi seperti kamaboko, sosis, chikuwa dan ham ikan yang juga
dibuat dari daging ikan giling (Suzuki, 1981). Nugget ikan tenggiri yang
menggunakan bahan pengikat maizena dan emulsifier SPI (Soy Protein Isolate)
menunjukkan hasil yang relatif lebih dapat diterima oleh panelis jika
dibandingkan dengan kombinasi bahan pengikat dan emulsifier yang lain (terigu
dan kasein). Batter yang digunakan berasal dari formula maizena 80 g, garam 12
g, bumbu nugget 3 g dan air 300 ml (Elingsari, 1994).
Hasil pene litian Aswar (1995) bahwa penggunaan bahan pengikat maizena
sebanyak 15 % , emulsifier lechitin 2 % dengan batter maizena menghasilkan
bahan pengikat tapioka 15 %, emulsifier dan batter yang sama karena produk
yang dihasilkan teksturnya lebih lembut serta warnanya kuning keemasan.
Warna ini muncul setelah produk digoreng, diduga sebagai hasil reaksi Maillard.
Nugget ikan yang digoreng akan menyerap minyak selama proses pemasakan
sehingga rasanya lebih enak dan gurih. Formulasi bumbu nugget ikan terlihat
dalam Tabel 4.
Menurut Maghfiroh (2000), bahwa nugget ikan dengan menggunakan
tepung terigu 15 % sebagai bahan pengikat memiliki kemiripan dengan produk
komersial. Kedua nugget tersebut mempunyai warna kuning kemerahan,
penampakan utuh dan rapi, tekstur kompak, aroma dan rasa ikan. Komposisi
bahan pengikat nugget ikan per 100 g daging ikan Tabel 5.
Tabel 3 Formulasi bumbu nugget ikan per 100 g daging ikan
Tabel 4. Komposisi bahan pengikat nugget ikan per 100 g daging ikan
Nilai log TPC nugget tuna meningkat dengan lama waktu penyimpanan,
tetapi nilai hedonik nugget tuna setelah digoreng tidak dipengaruhi oleh waktu
dengan bertambahnya waktu penyimpanan suhu kamar , demikian halnya
terhadap parameter warna dan penampakan nugget (Hidayati, 2002).
Dari hasil uji fisik terhadap dua bahan dasar nugget yaitu daging lumat dan
surimi, meliputi daya ikat air, nilai kekerasan dan susut masak fish nugget
menunjukkan bahwa sifat fisik tersebut tidak berbeda nyata pada setiap perlakuan
yang diamati. Sedangkan hasil perhitungan Kruskal Wallis, diperoleh bahan dasar
yang terbaik adalah surimi untuk penelitian lanjutan yaitu pemberian bahan
pengisi dan bahan pengikat pada nugget Hal ini dikarenakan pada daging lumat
yang tidak mengalami pencucian dan perlakuan seperti surimi, sehingga daging
merah yang banyak mengandung mioglobin yang mudah teroksidasi dan produk
menjadi tengik dalam hal rasanya (Sianipar, 2003).
G. HISTAMIN DAN MUTU IKAN TUNA
Histamin adalah senyawa yang terdapat pada daging ikan dari famili
scombroidae, subfamili scombroidae, atau ikan lain yang telah membusuk yang di
dalam dagingnya terdapat kadar histidin yang tinggi. Histamin di dalam daging
diproduksi oleh hasil karya enzim yang menyebabkan pemecahan histidin.
Melalui proses dekarboksilasi (pemotongan gugus karboksil ) dihasilkan histamin.
Satuan kadar histamin dalam daging tuna dapat dinyatakan dalam mg/100 g ; mg
% atau ppm (mg/1000 g) (Hadiwiyoto, 1993)
”Histidin bebas” yang terdapat dari daging ikan erat sekali hubungannya
dengan terbentuknya histamin dalam daging. Semua daging yang berwarna gelap
tinggi kandungan histidin bebasnya. Kandungan histidin bebas dalam daging ikan
tuna segar berkisar dari 745 sampai 1460 mg %. Sebaliknya, ikan- ikan berdaging
putih rendah kandungan histidin bebasnya dan ketika busuk tidak menghasilkan
histamin sampai 10 mg % setelah dibiarkan 48 jam pada suhu 250C.
Pada jenis ikan tuna yang memiliki 2 jenis daging yaitu putih dan gelap,
justru daging-daging putihlah yang tinggi histaminnya. Daging yang merah jauh
lebih sedikit. Untuk konsumsi manusia, daging merah lebih aman daripada daging
putihnya bila dipandang dari segi histamin. Mengapa daging merah justeru kecil
trimetil amina oksida (TMAO) yang berfungsi menghamb at proses terbentuknya
histamin (Winarno, 1993).
Meskipun enzim pemecah karboksil dapat berasal dari daging tubuh ikan
sendiri, sebagian besar enzim pemecah tersebut dapat dihasilkan oleh mikroba
yang terdapat dalam saluran pencernaan ikan serta mikroba lain ya ng
mengkontaminasi ikan dari luar. Di Amerika Serikat, khususnya oleh US-FDA
telah dikeluarkan pedoman kadar histamin dalam tuna, yaitu: 20 mg per 100 g
menunjukkan indikasi penanganan yang tidak higienis pada beberapa tahap
penanganan pasca tangkap dan 50 mg per 100 g menunjukkan bahwa ikan tuna
tersebut telah membahayakan kesehatan konsumen bila dikonsumsi. Bagian
depan tubuh ikan biasanya memiliki kadar histamin paling tinggi, dan terendah di
bagian ekor.
Ada 3 jenis bakteri yang mampu memproduksi histamin dari histidin
dalam jumlah tinggi yaitu: Proteus marganii (bigeye, skipjack), Enterobacteri
aerogenes (skipjack), Clostridium pefringens (skipjack). Hampir semua mikroba
pembentuk histamin bersifat gram negatif dan berbentuk batang. Mikroba
tersebut banyak yang berasal dari sentuhan tangan manusia dan kotoran tinja dan
isi usus ikan. Mikroba dan enzim protease isi perut ikan dapat merembes dari
dinding perut ke daging (Winarno, 1993)
H. PEMBEKUAN
Menurut Hadiwiyoto (1993) pengolahan agar mempertahankan sifat
segar ikan dengan suhu rendah. Penerapan suhu rendah antara lain yaitu dengan
pendinginan dan pembekuan. Penerapan suhu rendah adalah untuk
menghindarkan hasil perikanan terhadap kerusakan yang disebabkan oleh autolisa
dan atau karena pertumbuhan mikroba. Baik aktifitas enzim maupun
pertumbuhan mikroba sangat dipengaruhi oleh suhu. Pada kondisi tertentu
aktifitasnya menjadi optimum dan pada kondisi lain aktifitasnya dapat menurun,
terhambat bahkan terhenti. Suhu optimum dimana enzim dan mikroba
mempunyai aktifitas yang paling baik biasanya terletak pada suhu di antara sedikit
Menurut Muchtadi (1997) setiap bahan pangan mempunyai suhu yang
optimum untuk berlangsungnya proses metabolisme secara normal. Suhu
penyimpanan yang lebih tinggi dari suhu optimum akan mempercepat terjadinya
proses pembusukan. Suhu rendah di atas suhu pembekuan dan di bawah 150C
efektif dalam mengurangi laju metabolisme. Suhu seperti ini diketahui sangat
berguna untuk pengawetan jangka pendek. Setiap penurunan suhu 80C
menyebabkan laju metabolisme akan berkurang setengahnya. Menyimpan bahan
pangan pada suhu sekitar -20C sampai 100C diharapkan dapat memperpanjang
masa simpan bahan pangan. Hal ini disebabkan suhu rendah dapat memperlambat
aktivitas metabolisme dan menghambat pertumbuhan mikroba. Selain itu juga
mencegah terjadinya reaksi-reaksi kimia dan hilangnya kadar air dari bahan
pangan.
Selama pendinginan dan pembekuan akan terjadi perubahan-perubahan
sifat pada ikan. Perubahan tersebut meliputi perubahan sifat kimiawi, sifat
fisikiawi dan perubahan organoleptik. Pada pendinginan tidak terlalu banyak
perubahan yang terjadi dibandingkan pada proses pembekuan, karena
terbentuknya kristal es yang terjadi di dalam jaringan daging ikan (Hadiwiyoto,
1983)
Pembentukan adonan dengan menggiling daging yang ditambahkan
dengan es dimaksudkan agar suhu daging tetap dingin sehingga protein tidak
terdenaturasi. Penghancuran daging bertujuan untuk memecah dinding sel serabut
otot sehingga protein seperti miosin dan aktin dapat terekstrak dengan
penggunaan larutan garam. Suhu optimum untuk mengekstrak protein serabut
otot adalah 4 – 5 0C dan dipertahankan agar tidak melebihi 200C, karena gesekan
daging dengan alat penghalus grading seperti “cutter”, “mixer“ atau alat
pengemulsi lemak mengakibatkan terhambatnya ekstraksi protein serabut otot
sehingga terjadi koagulasi protein (Pisula, 1984).
Penambahan air ke dalam adonan nugget pada waktu penggilingan
berperan penting dalam membentuk adonan yang lebih baik dan untuk
mempertahankan temperatur selama pendinginan. selain itu air berfungsi sebagai
fase pendispersi dalam emulsi daging dan melarutkan protein sarkoplasma,
Produk nugget pre-cooked merupakan produk basah yang harus disimpan
pada suhu beku di bawah -180C untuk menjaga mutunya. Perubahan sifat
inderawi pada berbagai suhu penyimpanan adalah sama hanya prosesnya menjadi
lebih lambat pada suhu penyimpanan yang lebih rendah. Nugget yang disimpan
pada suhu beku (-250C) sampai pada pengamatan minggu keenam tidak dapat
diterima panelis karena terasa asam dan berlendir (Prayitno, 2003).
Menurut Fennema et al (1973)dan Ilyas (1972) sela ma penyimpanan beku
produk perikanan akan kehilangan air, terjadi oksidasi , perubahan warna dan
rasa, serta terjadi “drip”, yaitu cairan bening yang merembes keluar sewaktu
produk dilelehkan. Proses pembekuan cenderung menyebabkan susunan mutu
makanan berubah dan perubahan ini akan langsung berakibat pada susunan
proteinnya (Connell, 1968). Dyer dan Dingle (1961) menjelaskan perubahan
yang terjadi adalah denaturasi protein, perubahan dalam sistem garam, protein dan
air selama pembekuan dan perubahan dalam sistem aktomiosin.
WHC atau daya ikat air nugget ikan manyung yang disimpan pada suhu
beku rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan nugget yang disimpan pada suhu
ruang dan suhu dingin, hal tersebut ditandai dengan banyaknya jumlah air bebas
yang tidak dapat diikat oleh protein pada nugget yang disimpan pada suhu beku,
karena denaturasi protein yang terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa daya
mengikat airnya rendah. Banyaknya air yang bebas yang terjerat dalam
mikrostruktur jaringan dipengaruhi oleh suhu (Syartiwidya, 2003).
Menurut Suzuki (1981) ada beberapa teori, yang menjelaskan mekanisme
denaturasi protein akibat pembekuan yaitu : 1) meningkatnya konsentrasi garam
di dalam sel-sel otot akibat perubahan air menjadi kristal-kristal es, 2) hilangnya
molekul air dari ruang menyebabkan molekul menjadi lebih dekat satu sama lain
dan membentuk berbagai ikatan silang yang menimbulkan agregasi dan 3)
terjadinya auto-oksidasi, pengaruh protein larut air, reaksi dengan lemak dan
reaksi dengan formaldehida yang terbentuk dari trimetilamin (TMA). Denaturasi
atau degradasi protein yang disebabkan oleh penyimpanan beku yang dipercepat
dengan adanya penggilingan dan pencincangan.
Degradasi enzimatis dari trimetilaminoksida (TMAO) menjadi
tekstural, kerusakan ini disebabkan oleh karena adanya formaldehida yang
berikatan dengan protein (Gratham, 1981). Menurut Kamallan (1988) selama
penyimpanan beku elastisitas/kekenyalan produk akan menurun. Hal ini
disebabkan adanya pelepasan sejumlah cairan dari dalam produk selama thawing,
sehingga keteguhan gel menjadi berkurang akibat terbentukya pori-pori pada
produk.
Pada suhu beku peningkatan asam tiobarbiturat hanya mencapai 0,25 mg
malonaldehid/kg sampai pada minggu ke- 10 (70 hari) , dan aroma nugget masih
beraroma ikan. Hal ini terjadi karena penyimpanan pada suhu beku dapat
menghambat reaksi oksidasi lemak (Syartiwidya, 2003)
Fennema et al. (1973) dan Ilyas (1972) menyatakan bahwa selama
penyimpanan beku produk perikanan akan terjadi perubahan warna dan rasa.
Proses mincing dan proses penghancuran produk yang dihasilkan berwarna lebih
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni 2005 sampai April 2006, di
Laboratorium Pilot Plant Southeast Asian Food and Agricultural Science and
Technology Center (SEAFAST CENTER) IPB dan Pengujian dilakukan di
bagian Kimia, Mikrobiologi, dan Biokimia Pangan Departeme n Ilmu dan
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian IPB, serta laboratorium
Pengolahan Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan
(BBPPHP) Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
B. BAHAN DAN ALAT
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah daging merah ikan
tuna beku yang diperoleh dari PT ISAAP (BONECOM) Jakarta. Daging merah
tuna dibawa menggunakan cold box styroform yang telah diberi es curah. Adapun
bahan tambahan untuk pembuatan nugget ikan adalah : tepung maizena, bawang
putih, bawang merah, garam, merica. Bahan untuk pemucat adalah titanium
dioksida (TiO2) proanalisis yang diperoleh dari PT. BRATACO CHEMIKA
Bogor. Untuk analisis nilai gizi protein secara in vivo digunakan tikus jenis
Spraque Dawley (SD) jantan masa sapih antara 21 – 23 hari yang diperoleh dari
Pusat Penelitian Gizi dan Makanan, Bogor. Komposisi ransum tikus yang
diberikan sesuai rekomendasi AOAC (1984) yang dikutip Muchtadi (1993) yaitu
meliputi sumber protein, sumber lemak, pati (maizena merk honig), selulosa,
vitamin, mineral dan air.
Bahan yang digunakan untuk analisis kimia : a) penetapan kadar nitrogen
(metode Kjeldahl) : NaOH 10 %, H2SO4 pekat, H3BO3 3 %, HCl ; b) Pengukuran
derajat putih: BaSO4 ; c) Penetapan TBA : 0,5 -1,0 ml KI 25 %, aquades, larutan
blanko, larutan TBA dan HCL ; d) Penetapan TVN : TCA 5 %, HCl 0,01 M,
NaOH 0,01 M 2 %, NaOH 2 M, formaldehid 15 % ; e) Penetapan pH : aquades,
tissue, larutan Buffer ; f) Penetapan total asam : NaOH 0,1 M, kalium hidrogen
ptalat / (COOH)2, indikator fenolftalein ; g) Penentuan lemak : dietyl eter ;
h) Pengujian in vivo : enzim a-amilase, standar asam amino, standar asam lemak,
anti oksidan merk nature-E, n-heksan, kloroform, formalin, alkohol, methanol,
NaCl, NaOH, HCl, asam asetat, asam sulfat, akuades, dan gas N2.
Alat yang digunakan dalam pembuatan dan penyimpanan nugget : meat
separator, pisau stainless, talenan, baskom, cold box, blender, pengaduk, plastik
PE, freezer, deep fryer, sodet, dan timbangan.
Alat yang digunakan untuk analisis kimia adalah whiteness meter,
pH-meter, gelas piala, buret, pipet mikropH-meter, tabung reaksi, pengaduk, labu
Erlenmenyer, gelas ukur, stirer, desicator, oven, alat destilasi dan blender,.
Alat yang digunakan untuk analisis mikrobiologi : cawan petri, jarum ose,
obyek glass, mikroskop elektron, tabung reaksi, buret dan stirer
Alat yang digunakan untuk analisis organoleptik : pisau, wadah pencicip,
sendok, garpu kecil, dan tabel angka acak.
Alat yang digunakan untuk analisis nilai gizi protein secara in-vivo adalah
timbangan analitik, termometer, sentrifuse, oven, tanur, mikro-Kjeldahl, freezer,
labu Erlenmeyer, labu takar, gelas piala, pipet, kertas saring, buret, cawan, hot
plate, stirer, kandang metabolik tikus, wadah ransum, wadah minum, labu leher
tiga, HPLC, GC, mikroskop, rotapavor dan labu pemisah.
C. PROSEDUR PENELITIAN
Penelitian ini terdiri dari tiga tahap :
Penelitian Pendahuluan
Dilakukan untuk menentukan konsentrasi titanium dioksida (TiO2) yang
efektif dalam memucatkan warna merah daging tuna. Cara pembuatan nugget
merah tuna yang telah siap (setelah dithawing, dicuci dan dipress) dibagi
menjadi lima bagian. Setelah itu masing - masing bagian diberikan
perlakua n penambahan TiO2 sebagai berikut :
A0 = 0 % TiO2
A1 = 0,25 % TiO2
A2 = 0,50 % TiO2
A3 = 0,75 % TiO2
A4 = 1,00 % TiO2
Adonan yang telah ditambahakan TiO2 dimasukkan ke dalam silent cutter
bersama dengan bahan lainnya yaitu : maizena (0,34%) , air es (6,71%), garam
(1,34 %), merica (0,67%), bawang (2,01%) hingga terbentuk adonan yang
homogen. Setelah itu dimasukkan ke dalam cetakan lalu dikukus dengan
pengukus steam pada suhu 800C selama 30 menit. Setelah matang dibiarkan
dingin lalu dicelup ke dalam adonan batter (terigu, air dan garam) dan dilumuri
tepung roti. Nugget yang telah dilumuri disimpan dalam lemari es selama 15
menit kemudian digoreng menggunakan deep fryer electric selama 3 menit
dengan suhu 1800C. Cara pembuatan nugget daging putih tuna (kontrol) juga
berdasarkan BBPPHP (2003). Cara pembuatan nugget daging merah tuna secara
skematis dapat dilihat pada Gambar 10.
Parameter yang diamati adalah derajat putih nugget dengan menggunakan
Whiteness meter, uji kadar protein dengan metode Kjedhaldan uji organoleptik
nugget dengan metode different test panelisnya adalah mahasiswa IPB. Form uji
Gambar 10 Cara pembuatan nugget tuna Pencucian daging dengan air dingin (suhu 50C)3 kali
Pengepresan daging tuna secara mekanik
Pelumatan daging dengan grinder
Penambahan TiO2 sebanyak 0 %, 0,25 %, 0,50 %, 0,75 % dan 1 %
Penambahan bumbu :
garam 1,34 %, merica 0,67 %, bawang 2,01 % dan air es 6,71 %
Penambahan bahan pengikat maizena 0,34 %
Pencetakan dengan alat cetak nugget
Pengemasan dengan polietylen Pengukusan dengan dandang selama 30 menit
Battering dan breading menggunakan terigu, air, garam dan tepung roti
Penyimpanan di lemari es dengan suhu -50C selama 15 menit
Penelitian Lanjutan 1
Dari hasil penelitian pendahuluan diperoleh konsentrasi TiO2 1 % efektif
digunakan dalam memucatkan warna merah daging tuna. Sehingga nugget yang
disimpan pada perlakuan penyimpanan beku adalah nugget daging merah tuna
dengan perlakuan penambahan TiO2 1 % yang memiliki derajat putih yang sama
dengan nugget daging putih (kontrol). Nugget didinginkan terlebih dahulu
kemudian dibekukan dengan blast freezer pada suhu -320C selama 20 menit.
Setelah beku, nugget dikemas dengan plastik lalu disimpan dalam freezer
dengan suhu -180C sampai -200C.
Perlakuan penyimpanan beku adalah sebagai berikut :
DP = nugget daging putih penyimpanan 0 bulan (kontrol)
B0 = nugget daging merah penambahan TiO2 1 % penyimpanan 0 bulan
B1 = nugget daging merah penambahan TiO2 1 % penyimpanan 1 bulan
B2 = nugget daging merah penambahan TiO2 1 % penyimpanan 2 bulan
Parameter yang diamati pada penelitian lanjutan 1 adalah pengamatan
proksimat nugget yang meliputi : protein, lemak, air, dan abu serta mutu nugget
meliputi : pH, TVN, TPC, bilangan peroksida, TBA, dan histamin.
Penelitian Lanjutan 2
Hasil pengujian proksimat yaitu uji protein dari masing- masing sampel
nugget daging putih penyimpanan 0 bulan ; nugget daging merah penambahan
TiO2 1 % penyimpanan 0 bulan ; nugget daging merah penambahan TiO2 1 %
penyimpanan 1 bulan ; nugget daging merah penambahan TiO2 1 % penyimpanan
2 bulan diperoleh kadar nitrogen berdasarkan metode Kjeldahl (AOAC, 1990)..
Setelah kadar nitrogen dari masing- masing sampel nugget diketahui maka
dihitung jumlah protein contoh nugget yang dibutuhkan untuk komposisi
pembuatan rans um tikus sesuai standar AOAC (1984) yang dikutip Muchtadi
(1993) dengan menggunakan rumus seperti yang terdapat pada Tabel 5. Setelah
diketahui jumlah protein contoh maka dicampurkan seluruh bahan campuran
ransum sesuai dengan standar AOAC (1984) yang dikutip Muchtadi (1993).
Nugget yang telah berbentuk tepung tersebut dicampurkan ke dalam
Tikus yang digunakan adalah jenis Spraque Dawley jantan yang berumur 21 – 23
hari yang baru disapih dengan berat rata-rata sekitar 25 g. Sebanyak 30 ekor tikus
jantan dipersiapkan untuk penelitian ini. Sebelum percobaan dimulai, tikus
diadaptasikan di lingkungan laboratorium selama 4 hari. Pada masa adaptasi,
tikus diberi ransum kasein (BDH Chem, LTD, London) sebagai sumber protein
dicampur dengan bahan-bahan lain (minyak jagung, vitamin, mineral, tepung
maizena dan selulosa).
Minyak yang digunakan untuk melengkapi ransum adalah minyak jagung.
Campuran mineral terdiri dari 139,3 g NaCL ; 079 g KI ; 389,0 g KH2PO4 ; 57,3
g MnSO4 anhyd ; 381,4 g CaCO3 ; 27,0 g FeSO4 ; 7H2O ; 4,01 g MnSO4,
H2O ; 0,548 g ZNSO4 ; 7 H2O ; 0,477 g CuSO4 5H2O dan CoCL2 6H2O,
Vitamin untuk ransum terdiri dari 2000 IU vit A ; 200 IU vit D ; 10 IU vit ;,
0,5 mg Menadione ; 200 mg Choline ; 10 mg Inositol ; 4 mg Niacin ; 4
mg Ca- D panthotenat ; 0,5 mg Riboflavin ; 5 Thiamine HCl ; 0,5 mg
Piridoksin ; 0,2 g asam Folat ; 0,04 mg Biotin ; 0,003 mg vit B12 dan
glukosa untuk membuat ransum menjadi 100 persen digunakan tepung maizena.
Tikus-tikus tersebut dibagi dalam enam grup, masing- masing grup terdiri
dari lima ekor tikus. Perbedaan berat badan antar kelompok tidak boleh lebih
dari 5 g. Tikus-tikus tersebut dikandangkan sendiri-sendiri pada kandang
metabolik yang dapat menampung urin dan feses (Gambar 11). Keenam grup
tikus dengan perlakuan ransum adalah sebagai berikut :
• A = ransum kasein sebagai standar • B = ransum non protein.
• C = ransum tepung nugget daging putih tuna
Gambar 11 Kandang metabolik dan wadah penampung urin dan feses tikus
Tikus diberi makan secara ad libitum, berat badan tikus ditimbang setiap
dua hari sekali. Kadar nitrogen dalam ransum, urin dan feses ditentukan
berdasarkan metode Kjeldahl. Nilai-nilai tersebut kemudian digunakan unt uk
mengukur keseimbangan nitrogen. Parameter nilai gizi protein yang diamati
pada penelitian lanjutan 2 yaitu : daya cerna sejati , nilai biologis (biological
value) dan NPU (net protein utilization). Prosedur penelitian secara lengkap
Gambar 12 Prosedur penelitian
v Penambahan TiO2 dengan kadar :
A0 = 0 % TiO2
A1 = 0,25 % T iO2
A2 = 0,50 % T iO2
A3 = 0,75 % TiO2
A4 = 1,00 % TiO2
Analisis Kimia :
Derajat putih, kadar protein, Organoleptik (warna,aroma,tekstur dan rasa)
Pembuatan Nugget
Analisis proksimat, Kimia, dan Mikrobilogi
(protein, lemak, air, abu , Histamin, Bilangan Peroksida, TVN,TBA, pH,dan TPC).
Penyimpanan Suhu -180C
0 bulan 1 bulan 2 bulan
Pengujian Protein Secara In Vivo
Daging Merah Tuna
Daging merah lumat
D. ANALISIS SAMPEL
1. Uji Proksimat
a. Kadar Air (AOAC, 1984).
Cawan aluminium dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C selama 15
menit, kemudian didinginkan lalu ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak
5 gram (B). Setelah itu cawan berisi sampel dikeringkan dalam oven pada
suhu 1050C selama 6 jam kemudian didinginkan dalam desikator dan
ditimbang hingga diperoleh bobot tetap (C). Kadar air dihitung dengan rumus :
Kadar Air (%wb) =
[
]
Sampel ditimbang sebanyak 1-5 gram, lalu dimasukkan ke dalam cawan
porselen yang sudah diketahui bobot tetapnya. Sampel diarangkan di atas
Bunsen dengan nyala api kecil hingga berasap, selanjutnya dimasukkan ke
dalam tanur pada suhu 500-6000C sampai menjadi abu yang berwarna putih.
Cawan yang berisi abu didinginkan dalam desikator dan dilakukan
penimbangan hingga diperoleh bobot tetap. Kadar abu dapat dihitung dengan
rumus :
c. Kadar Protein (AOAC, 1984)
Sampel dihitung sebanyak 0,5-3 g lalu dimasukkan ke dalam labu
kjeldahl dan didestruksi dengn menggunakan 20 ml asam sulfat pekat dengan
pemanasan sampai terjadi larutan berwarna jernih. Larutan hasil destruksi
diencerkan dan didestilasi dengan penambahan 10 ml NaOH 10 %. Destilat
ditampung dalam 25 ml larutan H3BO3 3 %. Larutan H3BO3 dititrasi dengan