• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prediction of the Growth and Survival of Salmonella Typhimurium on Shrimps under Cold Storage and Addition of Sodium Metabisulphite

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prediction of the Growth and Survival of Salmonella Typhimurium on Shrimps under Cold Storage and Addition of Sodium Metabisulphite"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

PENDUGAAN PERTUMBUHAN DAN KETAHANAN

SALMONELLA

TYPHIMURIUM PADA UDANG

DENGAN PENYIMPANAN SUHU DINGIN DAN

PENAMBAHAN SODIUM METABISULFIT

ANDIARTO YANUARDI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pendugaan Pertumbuhan dan Ketahanan Salmonella Typhimurium pada Udang dengan Penyimpanan Suhu Dingin dan Penambahan Sodium Metabisulfit adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

(3)

ABSTRACT

ANDIARTO YANUARDI. Prediction of the Growth and Survival of Salmonella Typhimurium on Shrimps under Cold Storage and Addition of Sodium Metabisulphite. Under direction of HARSI D. KUSUMANINGRUM, and SULIANTARI.

This research studied the growth and survival of S. Typhimurium on raw shrimps and in brain heart infusion broth (BHIB) under low temperature and addition of sodium metabisulphite which is often used to prevent melanosis in frozen raw shrimps. The data were plotted on growth curves and fitted using DMFit software with Baranyi Model to obtain prediction models of the growth or survival of the bacteria under defined conditions. The result demonstrated that 0.4% and 1.25% sodium metabisulphite (w/v) were able to reduce 101 cfu g-1 and 102 cfu g-1 of S. Typhimurium in raw shrimps, respectively after 7 days storage at 8+2 °C. With a concentration of 1.5%, sodium metabisulphite was able to reduce until 105 cfu g-1 after 5 days under the same conditions. Fitting using the DMFit software resulted on different growth rates (µ) and lag phases ( ), depending on the growth media, temperature, and the initial level of microorganisms. At 8+2 °C without sodium metabisulphite, with initial levels of 105 cfu g-1 and 105 cfu ml-1, S. Typhimurium demonstrated a growth with a rate of 0.01 cfu g-1 every hour in raw shrimps, and 0.05 cfu ml-1 every hour in BHIB. In the presence of 1.5% sodium metabisulphite, S. Typhimurium was reduced with a rate of -0.03 cfu g-1 every hour in raw shrimps, and -0.01 cfu ml-1 every hour in BHIB. There was a good agreement between the predictions and the observations. The Baranyi model can be used to predict the growth of S. Typhimurium in BHIB and raw shrimps during storage at low temperature.

Keywords: Salmonella, raw shrimp, cold storage, sodium metabisulphite, Baranyi, DMFit

(4)

RINGKASAN

ANDIARTO YANUARDI. Pendugaan Pertumbuhan dan Ketahanan Salmonella Typhimurium pada Udang dengan Penyimpanan Suhu Dingin dan Penambahan Sodium Metabisulfit. Dibimbing oleh HARSI D. KUSUMANINGRUM dan SULIANTARI.

Salmonella merupakan bakteri yang menjadi indikator keamanan pangan (food safety) karena keberadaannya dalam bahan pangan dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh industri udang baik budidaya maupun pengolahan adalah keamanan pangan produk udang tersebut. Beberapa industri seringkali mengalami penolakan terhadap produk udang yang sudah diekspor karena terkontaminasi Salmonella dan Listeria.

Menduga pertumbuhan dan ketahanan hidup terhadap pencemaran atau kontaminasi mikroba patogen dan pembusuk merupakan alat dasar untuk memprediksi keamanan pangan dan memburuknya suatu produk makanan akibat bakteri pada rantai makanan. Pada beberapa industri pembesaran maupun pengolahan udang sodium metabisulfit sering digunakan untuk mencegah proses melanosis pada udang setelah panen, tetapi belum diketahui pengaruhnya terhadap pertumbuhan Salmonella. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui respon pertumbuhan maupun ketahanan Salmonella pada penyimpanan suhu dingin dengan penambahan sodium metabisulfit sehingga penggunaan bahan tersebut tidak hanya untuk mencegah melanosis tetapi jika memungkinkan juga untuk menghambat Salmonella. Selain itu untuk menghubungkan jumlah mikroba kontaminan dan kondisi suhu penyimpanan sehingga dapat menyediakan dasar untuk memperkuat strategi pengendalian suhu dan menyediakan informasi keamanan yang berharga untuk produsen dan konsumen.

Tujuan utama dari penelitian ini adalah, mengetahui pengaruh penyimpanan suhu dingin (8+2 °C) terhadap pertumbuhan Salmonella Typhimurium pada udang mentah dengan dan tanpa penambahan sodium metabisulfit. Sebagai kontrol digunakan Brain Heart Infusion Agar (BHIB) sebagai media tumbuh. Data-data yang diperoleh digunakan untuk menduga pertumbuhan dan ketahanan S. Typhimurium pada BHIB dan udang menggunakan DMFit Model Baranyi pada kondisi penyimpanan dingin. Hasil dari model ini dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan perkiraan yang cepat dan cukup baik terhadap masa simpan makanan dalam pengembangan produk baru dan penilaian resiko (risk assesment), dimana bakteri patogen mungkin tumbuh.

Hasil pola pertumbuhan S. Typhimurium ATCC 14028 pada suhu 35-37 °C selama 24 jam menunjukkan fase lag dimulai dari jam ke-0 sampai 1.87

jam, fase log dari 1.87 jam sampai sekitar 8 jam, dan fase stasioner pada jam ke-8 sampai 24 jam pengamatan. Berdasarkan hasil kurva fitting dari hasil penelitian terhadap pola pertumbuhan S. Typhimurium pada suhu optimumnya menggunakan DMFit didapatkan persamaan dengan µ sebesar 1.73 cfu ml-1 jam-1, fase lag selama 1.87 jam dan R2 sebesar 0.99.

Pertumbuhan S. Typhimurium pada media BHIB dengan penyimpanan

(5)

pada media BHIB dengan penyimpanan suhu dingin dan jumlah mikroba awal 106 cfu ml-1 menunjukkan persamaan dengan µ sebesar 0.05 cfu ml-1 jam-1, dan R2 sebesar 0.98. Berdasarkan fitting menggunakan DMFit bahwa pada jumlah Salmonella awal 103 cfu ml-1 didapatkan fase lag selama 52.73 jam kemudian dilanjutkan dengan fase log sampai sekitar jam ke-132 (hari ke 5-6).

Persamaan Baranyi diperoleh dari perhitungan data pertumbuhan S. Typhimurium pada media udang dan BHIB dengan penyimpanan suhu dingin

(chilling) 8+2 °C dengan jumlah awal mikroba 105 cfu g-1 (udang) dan 105 cfu ml-1 (BHIB) menunjukkan persamaan Baranyi berdasarkan perhitungan

dan hasil kurva fitting menggunakan DMFit. Pertumbuhan S. Typhimurium pada udang diperoleh nilai µmax sebesar 0.01 cfu g-1 jam-1 dengan R2 sebesar 0.99, hasil ini menunjukkan bahwa kecepatan rata-rata pertumbuhan S. Typhimurium adalah 0.01 cfu g-1 setiap jam pada media udang yang telah dikontaminasi dan disimpan dingin. Sedangkan pada pertumbuhan S. Typhimurium pada BHIB, dari persamaan diperoleh nilai µmax sebesar 0.05 cfu ml-1 jam-1 dengan R2 sebesar 0.93, yang berarti bahwa kecepatan rata-rata pertumbuhan S. Typhimurium adalah 0.05 cfu ml-1 setiap jam pada BHIB yang disimpan dingin. Hasil yang berbeda juga terlihat pada fase lag dari kedua perlakuan. Pada S. Typhimurium yang dikontaminasi pada udang memiliki fase lag lebih lama sampai 56.41 jam (kurang lebih 2 hari) sedangkan pada media BHIB kurang lebih 20.20 jam (kurang dari 1 hari).

Sodium metabisulfit yang ditambahkan dapat mengurangi jumlah Salmonella Typhimurium selama penyimpanan 24 jam dalam refrigerator. Penambahan konsentrasi 0.5% dan 0.8% menunjukkan penurunan terbesar yaitu sebanyak 103 cfu ml-1, sedangkan 0.4% hanya menurunkan 101 cfu ml-1.

Pada uji ketahanan Salmonella Typhimurium pada media BHIB dengan penyimpanan suhu dingin dan penambahan sodium metabisulfit, konsentrasi 0.4% dan 1.25% dapat menurunkan jumlah bakteri sebanyak 101 cfu ml-1 setelah 7 hari, sedangkan pada konsentrasi 1.5% dapat menurunkan jumlah bakteri sebanyak 102 cfu ml-1 selama 7 hari.

Pada ketahanan Salmonella Typhimurium pada udang dengan penyimpanan suhu dingin dan penambahan sodium metabisulfit, konsentrasi 0.4% dapat menurunkan jumlah bakteri sebanyak 101 cfu g-1 selama 7 hari, konsentrasi 1.25% dapat menurunkan jumlah bakteri sebanyak 102 cfu g-1 setelah 7 hari, sedangkan pada konsentrasi 1.5% selama 5 hari penyimpanan sudah dapat membunuh bakteri.

(6)

Berdasarkan hasil simulasi yang diperoleh dapat ditunjukkan bahwa matriks atau media tumbuh mikroba sangat berpengaruh terhadap jumlah mikroba pada waktu tertentu. Sebagai contoh, untuk mikroba awal 100 cfu ml-1, setelah 168 jam (7 hari) penyimpanan menghasilkan jumlah mikroba yang berbeda pada waktu yang sama. S. Typhimurium yang dikontaminasikan pada udang menghasilkan sekitar 822 cfu ml-1 atau 8.22x102 cfu ml-1setelah 168 jam sedangkan pada media BHIB menghasilkan sekitar 879401 cfu ml-1 atau 8.7x105 cfu ml-1.

(7)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

PENDUGAAN PERTUMBUHAN DAN KETAHANAN

SALMONELLA

TYPHIMURIUM PADA UDANG

DENGAN PENYIMPANAN SUHU DINGIN DAN

PENAMBAHAN SODIUM METABISULFIT

ANDIARTO YANUARDI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Judul Tesis : Pendugaan Pertumbuhan dan Ketahanan Salmonella Typhimurium pada Udang dengan Penyimpanan Suhu Dingin dan Penambahan Sodium Metabisulfit

Nama : Andiarto Yanuardi NIM : F251080211

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum, M.Sc Dr. Suliantari, MS. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr.Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat penulis selesaikan. Rangkaian kegiatan penelitian dan penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana IPB.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Ir. Harsi Dewantari Kusumaningrum, MSc. selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Suliantari, MS. selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbinga, kritik, saran, dan motivasi selama pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini.

2. Dr. Budi Nurtama, M.Agr. selaku dosen penguji luar komisi pada ujian tesis yang telah memberikan saran, komentar dan masukan yang berharga sebagai bentuk lain dari pembimbingan menuju kesempurnaan tesis ini.

3. Ayahanda Prof. Dr. Ir. Kadarwan Soewardi, ibunda Soerwatinah, S.Pd., Adrianto, S.TP. dan keluarganya, Ardiatno Yanuadi, S.TP. dan keluarganya atas motivasi, kasih sayang, dan selalu penulis dalam suka dan duka.

4. Wulan Kartikasari, S.P. atas perhatian, motivasi dan kasih sayang terhadap penulis.

5. Staf laboratorium Southeast Asia Food and Agricultural Science and Technology Center (SEAFAST Center) IPB: Mbak Ari, Bu Sari dan Pak Taufik atas bantuannya selama pelaksanaan penelitian.

6. Teman-teman seperjuangan di Program Studi Ilmu Pangan, khususnya sahabat-sahabat saya: Cici, Zaki, Fakhrudin (Ubet), Wahyu, Arief, Mas Isak, Mas Anas, Devy, Mbak Yenni, Nono, dan Mas Zaim.

7. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu atas dukungan dan doanya selama ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas budi baik Bapak/Ibu/Saudara/i semuanya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2011

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 22 Januari 1983 sebagai anak ke dua dari ayah Kadarwan Soewardi dan ibu Soerwatinah. Penulis lulus dari SMU Negeri 2 Bogor pada tahun 2001 dan melanjutkan pendidikan sarjana di Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2008, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan magister sains di Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Hipotesis ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Udang Putih (Litopenaeus vannamei) ... 5

Natrium Metabisulfit (Na2S2O5) ... 7

Salmonella ... 10

Model Prediktif ... 22

Fitting Model Pertumbuhan ... 25

METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian ... 27

Bahan dan Alat ... 27

Metode Penelitian ... 28

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Pertumbuhan Salmonella Typhimurium ATCC 14028 pada Suhu Optimum 35-37 °C selama 24 jam ... 37

Pola Pertumbuhan S. Typhimurium pada Media BHIB dengan Penyimpanan Suhu Dingin ... 38

Pola Pertumbuhan S.Typhimurium pada Udang dengan Penyimpanan Suhu Dingin ... 41

Sifat Antimikroba Sodium Metabisulfit (Na2S2O5) dengan Metode Kontak ... 43

Ketahanan S. Typhimurium pada BHIB dan Udang dengan Penyimpanan Suhu Dingin dan Penambahan Sodium Metabisulfit ... 45

Pendugaan Pertumbuhan atau Ketahanan S. Typhimurium pada BHIB dan Udang ... 51

SIMPULAN DAN SARAN ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 59

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Persyaratan mutu dan keamanan pangan udang segar ... 6

2 Persyaratan mutu dan keamanan pangan udang beku ... 6

3 Batasan pertumbuhan Salmonella ... 11

4 Karakteristik biokimia Salmonella... 11

5 Batasan rentang pertumbuhan Salmonella ... 13

6 Insiden Salmonella pada beberapa produk udang di Asia ... 16

7 Perkiraan HACCP untuk produksi udang budidaya ... 17

8 Beberapa serotipe Salmonella yang diisolasi dari seafood ... 18

9 Penyakit yang ditimbulkan Salmonella ... 20

10 Kemampuan bertahan berbagai serovar Salmonella pada suhu pembekuan ... 21

11 Hasil fitting terhadap data pertumbuhan S. Typhimurium pada beberapa perlakuan ... 51

12 Contoh hasil perhitungan jumlah mikroba pada waktu t dengan fitting dan perhitungan berdasarkan model Baranyi ... 53

13 Perbandingan nilai µ hasil pengamatan dengan model Baranyi (DMFit) untuk pertumbuhan S. Typhimurium pada beberapa perlakuan ... 55

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Udang putih (Litopenaeus vannamei) ... 5 2 Contoh kurva pertumbuhan dari model Baranyi dan McKellar ... 24 3 Alur metode pola pertumbuhan S. Typhimurium ATCC 14028 pada

suhu optimum 35-37 °C selama 24 jam ... 29 4 Alur metode pola pertumbuhan S. Typhimurium pada media

BHIB dengan penyimpanan suhu dingin ... 30 5 Alur metode pola pertumbuhan S. Typhimurium pada udang

dengan penyimpanan suhu dingin ... 31 6 Metode pengujian sifat antibakteri dengan metode kontak ... 32 7 Alur metode pertumbuhan dan ketahanan S. Typhimurium pada

BHIB dengan dan tanpa penambahan sodium metabisulfit ... 33 8 Alur metode pertumbuhan dan ketahanan S. Typhimurium pada

udang dengan dan tanpa penambahan sodium metabisulfit ... 34 9 Pola pertumbuhan S. Typhimurium ATCC 14028 pada suhu

optimum pertumbuhan 35-37 °C selama 24 jam ... 37 10 Pertumbuhan S. Typhimurium pada BHIB dan penyimpanan suhu

dingin (8+2 °C) dengan jumlah mikroba awal 103 cfu ml-1 (a) dan 106 cfu ml-1 (b) ... 39 11 Pertumbuhan S. Typhimurium pada penyimpanan suhu dingin

(8+2 °C) pada udang (a) dan media BHIB (b) ... 41 12 Sifat antimikroba sodium metabisulfit dengan metode kontak ... 43 13 Ketahanan S. Typhimurium pada BHIB tanpa penambahan

Na2S2O5 (a), BHIB + Na2S2O5 0.4% (b); BHIB + Na2S2O5 1.25% (c); BHIB + Na2S2O5 1.5% (d), udang tanpa penambahan Na2S2O5 (e), udang + Na2S2O5 0,4% (f); udang + Na2S2O5 1.25% (g); udang

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Analisis Salmonella pada bahan baku udang ... 64 2 Hasil dokumentasi pengamatan pengamatan minimum inhibitory

concentration (MIC) dan minimum bactericidal concentration

(MBC) ... 67 3 Hasil kurva fitting pertumbuhan S. Typhimurium pada suhu

optimum pertumbuhan 35-37°C selama 24 jam menggunakan

DMFit ... 67 4 Hasil kurva fitting pertumbuhan S. Typhimurium pada media BHIB

dengan penyimpanan suhu dingin dan jumlah awal 103 cfu ml-1 menggunakan DMFit ... 67 5 Hasil kurva fitting pertumbuhan Salmonella Typhimurium pada

media

BHIB dengan penyimpanan suhu dingin dan jumlah awal 105 cfu

ml-1 menggunakan DMFit ... 68 6 Hasil kurva fitting pengamatan pengaruh penyimpanan suhu dingin

tanpa penambahan sodium metabisulfit terhadap pertumbuhan S. Typhimurium pada media BHIB menggunakan DMFit ... 68 7 Hasil kurva fitting pengamatan pengaruh penyimpanan suhu dingin

dan penambahan sodium metabisulfit 0.4% (b/v) terhadap pertumbuhan S. Typhimurium pada media BHIB menggunakan

DMFit ... 68 8 Hasil kurva fitting pengamatan pengaruh penyimpanan suhu dingin

dan penambahan sodium metabisulfit 1.25% (b/v) terhadap pertumbuhan S. Typhimurium pada media BHIB menggunakan

DMFit ... 69 9 Hasil kurva fitting pengamatan pengaruh penyimpanan suhu dingin

dan penambahan sodium metabisulfit 1.5% (b/v) terhadap pertumbuhan S. Typhimurium pada media BHIB menggunakan

DMFit ... 69 10 Hasil kurva fitting pengamatan pengaruh penyimpanan suhu dingin

tanpa penambahan sodium metabisulfit terhadap pertumbuhan S. Typhimurium yang dikontaminasikan pada udang menggunakan

DMFit ... 69 11 Hasil kurva fitting pengamatan pengaruh penyimpanan suhu dingin

dan penambahan sodium metabisulfit 0.4% (b/v) terhadap pertumbuhan S. Typhimurium yang dikontaminasikan pada udang

(17)

Halaman 12 Hasil kurva fitting pengamatan pengaruh penyimpanan suhu dingin

dan penambahan sodium metabisulfit 1.25% (b/v) terhadap pertumbuhan S. Typhimurium yang dikontaminasikan pada udang

menggunakan DMFit ... 70 13 Hasil kurva fitting pengamatan pengaruh penyimpanan suhu dingin

dan penambahan sodium metabisulfit 1.5% (b/v) terhadap pertumbuhan S. Typhimurium yang dikontaminasikan pada udang

menggunakan DMFit ... 70 14 Hasil analisis statistik pengujian antimikroba sodium metabisulfit

dengan metode kontak ... 71 15 Hasil analisis statistik pengamatan pengaruh penyimpanan suhu

dingin dan penambahan sodium metabisulfit terhadap pertumbuhan S. Typhimurium yang dikontaminasikan pada udang dan BHIB ... 72 16 Persamaan garis, max, (fase lag) dan R2 dari data pertumbuhan

S. Typhimurium ATCC 14028 pada suhu optimum ... 74 17 Persamaan garis, max, (fase lag) dan R2 dari data pertumbuhan

S. Typhimurium pada BHIB dan penyimpanan suhu dingin (8+2°C)

dengan jumlah mikroba awal 103 cfu ml-1 (a) dan 106 cfu ml-1 ... 74 18 Persamaan garis, max, (fase lag) dan R2 dari data pertumbuhan

S. Typhimurium Pertumbuhan S. Typhimurium pada penyimpanan

suhu dingin (8+2 °C) pada udang dan media BHIB ... 74 19 Persamaan garis, max, (fase lag) dan R2 dari data pertumbuhan

S. Typhimurium pada BHIB dan udang dengan dan tanpa

penambahan sodium metabisulfit yang disimpan dingin (8+2 °C) ... 74

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salmonella telah diisolasi dari ikan air tawar yang di budidaya pada beberapa negara. Bakteri tersebut diduga dapat mencapai lingkungan akuatik melalui kontaminasi fekal, karena habitat alami Salmonella spp. adalah saluran pencernaan mamalia, burung dan reptil. Sebuah survei di Jepang menunjukkan bahwa Salmonella spp. ditemukan pada kolam budidaya belut dan kolam ikan jenis catfish. Beberapa penelitian juga menyebutkan kontaminasi oleh Salmonella pada beberapa produk seafood.

USFDA mencatat kejadian kontaminasi oleh Salmonella sebanyak 7.2% pada sampel seafood impor (n = 11.312) dan 1.3% pada sampel seafood domestik (n = 768) selama periode 1990-1998. Selain itu, Salmonella juga ditemukan pada udang mentah (tiger shrimp) yaitu pada raw peeled tail-on 2.5%, raw peeled tail-off 6.4%,dan raw headless shell-on 7.5% (Kumar 2003).

Salmonella merupakan bakteri yang menjadi indikator keamanan pangan (food safety) karena keberadaannya dalam bahan pangan dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh industri udang baik budidaya maupun pengolahan adalah keamanan pangan produk udang tersebut. Beberapa industri seringkali mengalami penolakan terhadap produk udang yang sudah diekspor karena terkontaminasi Salmonella dan Listeria. Bakteri patogen ini sangat berpengaruh terhadap perdagangan udang, terbukti setiap tahunnya Indonesia mengalami penolakan dari Uni Eropa maupun Amerika. Pada tahun 2011, USFDA mencatat 2 kasus cemaran Salmonella pada produk udang dari 2 perusahaan pengolahan udang di Indonesia. Terlepas dari masalah perdagangan udang, masalah cemaran patogen pun dapat terjadi pada lingkungan rumah tangga, baik dari masalah penanganan udang segar, penyimpanan dan sampai sebelum dikonsumsi.

(19)

proses melanosis (black spot) pada bagian tubuh udang. Januario dan Dykes (2005) menyebutkan bahwa sodium metabisulfit secara tradisional digunakan untuk mengendalikan kebusukan non-mikrobiologis pada udang yang disebut blackspot. Penelitian yang dilakukan oleh Januario dan Dykes (2005) bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari beberapa konsentrasi sodium metabisulfit untuk mengendalikan blackspot dan ketahanan dari Vibrio cholera selama penyimpanan dingin dan beku. Pada beberapa industri pembesaran maupun pengolahan udang juga menggunakan sodium metabisulfit untuk mencegah proses melanosis pada udang setelah panen tetapi belum diketahui pengaruhnya terhadap pertumbuhan Salmonella.

Mikrobiologi prediktif (predictive microbiology) telah digunakan untuk merancang atau membuat model dinamika populasi dari sejumlah bakteri patogen dan pembusuk pada makanan. Mikroorganisme memiliki sifat alami untuk memperbanyak diri yang dipengaruhi lingkungannya. Hasil dari kondisi terkontrol pada skala laboratorium dapat diaplikasikan ke lingkungan terkontrol pada proses distribusi produksi atau proses industri. Kemudian, hasil aplikasi tersebut dapat digunakan untuk evaluasi keamanan pangan dan mempertahankan masa simpan makanan. Nilai dari mikrobiologi prediktif menjadi bukti dalam menilai kecepatan berkembang biak, batas pertumbuhan atau kecepatan inaktivasi untuk mengukur kondisi pengolahan atau penyimpanan jika dibandingkan dengan cara tradisional yang membutuhkan waktu inkubasi lebih lama.

(20)

Delignette-Muller (2004) menyebutkan bahwa diantara model yang digunakan, model Baranyi merupakan model yang paling konstan karena menghasilkan fit terbaik dengan memberikan pendugaan yang tepat terhadap (fase lag).

Menduga pertumbuhan dan ketahanan hidup terhadap pencemaran atau kontaminasi mikroba patogen dan pembusuk merupakan alat dasar untuk memprediksi keamanan pangan dan kemunduran mutu suatu produk makanan akibat bakteri pada rantai makanan. Pertumbuhan atau ketahanan Salmonella dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor termasuk suhu, pH dan aktivitas air, dimana suhu merupakan faktor kontrol utama pada operasi pengolahan, pengawetan dan distribusi pada udang segar (seafood). Pada beberapa industri pembesaran maupun pengolahan udang sodium metabisulfit sering digunakan untuk mencegah proses melanosis pada udang setelah panen, tetapi belum diketahui pengaruhnya terhadap pertumbuhan Salmonella. Untuk itu, sangat penting untuk mengerti dan mengetahui respon pertumbuhan maupun ketahanan Salmonella pada penyimpanan suhu dingin dengan penambahan sodium metabisulfit untuk menghubungkan jumlah mikroba kontaminan dan kondisi suhu penyimpanan sehingga dapat menyediakan dasar untuk memperkuat strategi manajemen suhu dan menyediakan informasi keamanan yang berharga untuk produsen dan konsumen.

Tujuan Penelitian

(21)

Hipotesis

1. Sodium metabisulfit dapat menurunkan dan menghambat pertumbuhan S. Typhimurium.

2. Kombinasi penyimpanan suhu dingin dengan sodium metabisulfit dapat menurunkan jumlah S. Typhimurium.

Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini antara lain:

1. Dapat mengetahui pola pertumbuhan S. Typhimurium pada penyimpanan suhu dingin sehingga dapat digunakan untuk penentuan lama penyimpanan udang mentah pada lingkungan rumah tangga.

2. Dapat mengetahui pengaruh penambahan sodium metabisulfit terhadap pertumbuhan dan ketahanan S. Typhimurium pada BHIB dan udang.

3. Hasil dari model ini dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan perkiraan yang

(22)

j jenis udang termasuk ka merupakan s komersial. L blanco, lang kulit beku da kulit dan ek pada Gamba

Gam

Ada ekstensif da input sumbe dilakukan o pelaksanaan

Ud ng putih atau

yang banya ategori udang salah satu d L. vannamei

gostino, uda Udang beku uhu pusat ud

an tetap –18 ° h konsumen ah beku. Uda

an udang me kornya tetapi

ar 1.

mbar 1. Udan

3 tipe budid an intensif. K

er daya dan oleh petani nnya. Budida

TINJA

dang Putih u white shrimp

ak terdapat g laut dan dari 80 jenis juga diken ang berkaki u adalah udan

dang menca °C selama pr n. Udang bek

ang mentah entah kupas b

i ususnya tid

ng putih (Lito

daya udang d Ketiga tipe t

sistem man tradisional aya semi inte

AUAN PUST putih, creve ng yang dib apai –18 °C roses penyim ku dibedaka beku dibeda beku. Udang dak diambil

openaeus van

ia. Menurut didayakan di

aeid yang te west coast w

ette pattes b

bekukan mel C atau lebih mpanan dan d

an menjadi u akan menjadi g beku yang (peeled und

nnamei) pee

a yaitu tradis ategorikan b ng diterapka gunakan sis ya dilakukan

i)

ei) merupakan habitatnya, i tambak. U elah diusaha white shrimp

blanches dan alui proses p h rendah. S distribusi, hin udang masak

i udang men g telah dibua deveined) da

eled undevein

sional (ekste berdasarkan an. Budiday stem poliku n oleh perusa

n salah satu udang ini Udang putih akan secara p, camaron

n camaron pembekuan uhu udang ngga produk

k beku dan ntah dengan ang kepala, apat dilihat

ned

(23)

mampu melakukan 3 kali panen tiap tahunnya, serta memiliki fasilitas hatchery dan cold storage. Budidaya intensif dillakukan oleh perusahaan terintegrasi yang memiliki fasilitas-fasilitas pendukung seperti hatchery, perusahaan pakan, pengelolaan udang, serta fasilitas ekspor. Persyaratan mutu dan keamanan udang segar dan beku dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Persyaratan mutu dan keamanan pangan udang segar

Jenis uji Satuan Persyaratan

a. Organoleptik Angka (1-9) Minimal 7

b. Cemaran mikroba* - ALT

- Escherichia coli - Salmonella - Vibrio cholerae

Koloni/g c. Cemaran kimia*

- Kloramfenikol - Nitrofuran - Tetrasiklin

µg/kg µg/kg µg/kg

Maksimal 0 Maksimal 0 Maksimal 100

d. Filth - Maksimal 0

CATATAN* Bila diperlukan Sumber: SNI 01-27281-2006

Tabel 2. Persyaratan mutu dan keamanan pangan udang beku

Jenis uji Satuan Persyaratan

a. Organoleptik Angka (1-9) Minimal 7

b. Cemaran mikroba* - ALT

- Escherichia coli - Salmonella - Vibrio cholera

- Vibrio parahaemolyticus (kanagawa positif)*

c. Cemaran kimia* - Kloramfenikol - Nitrofuran - Tetrasiklin

µg/kg µg/kg µg/kg

Maksimal 0 Maksimal 0 Maksimal 100 d. Fisika

Suhu pusat, maks ºC Maksimal -18

e. Filth Jenis/jumlah Maksimal 0

CATATAN* Bila diperlukan Sumber: SNI 01-27051-2006

(24)

hypoxic atau bahkan anoxic karena respirasi organisme dan dekomposisi bahan organik dari sisa pakan dan feses, terutama pada malam hari. Kondisi hypoxic dapat membahayakan hidup udang (Le Moullac et al. 1998).

Natrium Metabisulfit (Na2S2O5)

Natrium metabisulfit atau natrium pirosulfit adalah senyawa anorganik dengan rumus kimia Na2S2O5. Nama ini kadang-kadang disebut sebagai dinatrium, metabisulfit, dan lain-lain. Senyawa ini digunakan pada makanan sebagai antioksidan, terutama sebagai pengawet, dengan kode E223. Sodium metabisulfit melepaskan sulfur dioksida (SO2) ketika dicampur dengan air dan menimbulkan bau gas yang tidak menyenangkan sehingga dapat menyebabkan kesulitan bernapas pada beberapa orang dan menyebabkan reaksi alergi pada orang-orang yang sensitif terhadap sulfida. Sulfur dioksida dan garam sulfit merupakan bahan pengawet yang tidak berbahaya bagi tubuh manusia, senyawa ini akan dioksidasi menjadi sulfat yang kemudian diekskresikan bersama urin (Furia 1968). Sodium metabisulfit umumnya tersedia dalam bentuk bubuk.

Sulfit merupakan salah satu bahan pengawet yang sudah umum digunakan. Menurut Winarno (1984) sulfit digunakan dalam bentuk gas SO2, garam Na atau K-sulfit (Na2SO3 atau K2SO3), garam Na atau K-sulfit bisulfit (NaHSO3 atau KHSO3) dan garam Na atau K-sulfit metabisulfit (Na2S2O5 atau K2S2O3). Natrium metabisulfit ini lebih stabil daripada sulfit dan bisulfit selama penyimpanan. Bentuk efektifnya sebagai pengawet adalah asam sulfit yang tak terdisosiasi dan terutama terbentuk pada tingkat keasaman dibawah 3 (pH < 3).

Natrium metabisulfit merupakan suatu senyawa yang berbentuk kristal atau bubuk berwarna putih. Natrium metabisulfit larut dalam air dan sedikit larut dalam alkohol. Salah satu fungsi natrium metabisulfit adalah menghambat pertumbuhan mikroorganisme bakteri, kapang dan khamir (Furia 1968). Menurut Jay (2000) mekanisme secara pasti dari SO2 tidak diketahui, diduga bahwa asam sulfur yang tidak terdisosiasi atau molekul SO2 mempengaruhi aktivitas mikroba.

(25)

k berikatan m kemampuan yang sangat kemungkina bagi enzim, enzim esens an sulfur dio menyebabkan n antimikrob pat mengham a larutan air

sebagai beri

tuk yang be dengan air. N sikan asam s (1985) dal baik terhad an aktivitas a at glikolisis, m ktifitas pengh a beberapa k ulfit dengan

miliki aktivi oksida. Dav

n sifat ant bial dalam mbat respiras r, sulfur dio ikut:

erada didala Nilai pKa un lemah (Seg lam Davidso dap kemungk i oksigen pa at pertumbuh ga dipakai pa zimatis (brow a ikatan disu

ruh dan pros kolam pemb i dari kapan oksida (SO2)

am kurung ntuk sulfur d

al 1968 dal on et al. (200

kinan aktifita tersebut ant trisi, dan me odium metab ah. Menurun uan untuk m mikroba yang

da sistem en han mikroor

i tertentu. N

lebih rend . (2004) me tereduksi as. Namun g.

) dapat ditu

mengindika dioksida adal lam Davidso 04) dalam m as antimikro tara lain me enghambat si bisulfit terha nkan pH pa memperoleh p g terjadi ada nzim. SO2 ju rganisme den

ngan makan matic). Hal gga dapat d mbatan berlan

ng (tambak Na-metabisu

dah terhada enjelaskan s tetapi mem

pada beber

ulis dengan

asikan sulfu adap bakteri

ada makana pengawetan

alah bahwa uga dapat ber ngan cara m nan untuk m ini dikaren iduga bahw ngsung (Jay

udang), me ulfit digunak

ap kapang sulfur yang miliki 1/30

rapa kasus

persamaan

ur dioksida 7.20, yang 04). Beech

penjelasan 2. Beberapa m transport,

olisme. yang lebih an tertentu

yang lebih komposisi rsifat racun menghambat menghambat akan sulfit a beberapa

(26)

pemanenan dan pengolahan udang yang berfungsi untuk mencegah terjadinya proses melanosis (black spot) pada bagian tubuh udang.

Melanosis pada udang, biasanya disebut “black-spot”, adalah perubahan warna permukaan yang disebabkan oleh pembentukan enzim prekursor polimerisasi senyawa secara spontan dan/atau bereaksi dengan konstituen seluler untuk membentuk pigmen tidak larut (McEvily et al. 1991). Hasil ini terjadi juga pada pencoklatan apel atau kentang yang dapat mengurangi nilai komersial dan penerimaan konsumen terhadap produk udang (Camber et al. 1957 dalam McEvily et al. 1991). Enzim endogen udang, polyphenol oxidase (PPO), yang mengkatalisis tahap awal dalam pembentukan titik hitam, tetap aktif sepanjang pengolahan pasca panen kecuali udang dibekukan atau dimasak. Aktivitas PPO dapat berlanjut pada udang mentah selama proses thawing. Demikian pula, pigmen hitam yang merugikan ini bertahan pada pengolahan (processing) dan preparasi (preparation) kecuali telah dibleaching (diputihkan) atau masking. Beberapa unsur utama yang terlibat dalam proses melanosis (FAO 2011) antara lain:

1. Enzim tirosinase dengan spesifitas yang sangat ketat dan diklasifikasikan sebagai fenoloksidase. Aksi dari enzim tirosinase pada tirosine dihambat pada pH 3 tetapi derajat keasaman dapat menyebabkan daging udang terdenaturasi. 2. Oksigen akan bertindak langsung pada semua reaksi oksidasi. Pada level

inilah antioksidan dapat berfungsi atau bekerja.

3. Adanya satu atau lebih substrat yang tersedia seperti tirosine, DOPA, dan lainnya.

4. Pengaruh dari faktor eksternal yaitu biotik (tahap molting), spesies dan abiotik (suhu, luka, dan sebagainya). Bagaimanapun juga, suhu rendah memperlambat reaksi enzimatik tetapi tidak menghentikannya. Namun, hal tersebut merupakan salah satu aspek yang penting setelah udang dipanen.

(27)

mampu menurunkan jumlah bakteri, jumlah bakteri jumlah bakteri penghasil H2S, koliform dan Staphylococcus pada udang dengan kepala maupun udang tanpa kepala.

Pada penelitian Rahayu et al. (1999) mengenai profil cemaran mikrobiologis pada udang segar di DKI dan Jawa Barat menunjukkan bahwa ditemukan Salmonella. Pada beberapa sampel udang segar yang dipakai untuk penelitian terkontaminasi Salmonella dan lainnya tercemar E. coli dan Staphylococcus. Adanya Salmonella pada udang segar dapat menunjukkan terjadinya cemaran pada lingkungan habitat udang oleh feses atau kotoran hewan dan manusia karena Salmonella merupakan bakteri yang berasal dari saluran pencernaan (Jenie 1987 dalam Rahayu 1999).

Salmonella

(28)

Tabel 3. Batasan pertumbuhan Salmonella Parameter

(kondisi lain dianggap optimal)

Minimum Optimum Maksimum

Suhu (°C)

pH

Toleransi garam (%) Aktivitas air (aw)

5.2 (kebanyakan serotipe tidak akan tumbuh < 7.0)

-* : tidak dilaporkan

Sumber: diadaptasi dari Jay, Diane, Dundas, Frankish & Lightfoot 2003 dalam Wan Norhana et al. 2010)

Umumnya strain Salmonella, kecuali S. Typhi, tergolong ke dalam aerogenik, menggunakan sitrat sebagai sumber karbon, lisin dekarboksilat, arginin dan arnitin, dan memproduksi hidrogen sulfida. Hasil reaksi metil red adalah positif, uji Voges-Proskauer dan indol adalah negatif. Salmonella tidak mendeaminasi fenilalanin dan tidak menghidrolisis urea, gelatin tidak mencair (liquify) secara cepat dalam nutrisi pada media begitu pula dengan DNAase dan produksi lipase (ICMSF 1996). Dibawah ini adalah beberapa karakteristik biokimia dari Salmonella (Tabel 4.).

Tabel 4. Karakteristik biokimia Salmonella

Karakteristik Reaksi Katalase

Oksidase

Produksi asam dari laktosa Produksi gas dari glukosaa Indol

Produksi urease

Produksi H2S dari TSIA (Triple Sugar Iron Agar) Sitrat sebagai satu-satunya sumber karbona Metil merah

Voges-Proskauer Lisin dekarboksilase Ornitin dekarboksilase

+

a = pengecualian bagi S. Typhi

Sumber: Bell dan Kyriakides (2002) dalam Bell dan Kyriakides (2003)

(29)

Arizona seringkali diisolasi dari hewan berdarah dingin. Subgenus IV dan V umumnya ditemukan dilingkungan tidak tergolong sebagai bakteri patogen terhadap manusia (ICMSF 1996).

Strain Salmonella secara antigen dapat dibedakan berdasarkan reaksi aglutinasinya (pembentukan agregat) dengan antisera homolog dan kombinasi dari masuknya antigen pada setiap strain Salmonella, berdasarkan pada formula antigenik, yang unik pada masing-masing serotipe Salmonella (Bell dan Kyriakides (2003).

Pertumbuhan dan kelangsungan hidup

Salmonella tumbuh pada kisaran suhu 8 °C sampai 45 °Cpada rentang pH 4-9 dan membutuhkan aw diatas 0.94. Salmonella tumbuh optimum pada suhu 35-37 °C, mengkatabolisme bermacam karbohidrat menjadi asam dan gas, menggunakan sitrat sebagai sumber tunggal karbon, memproduksi H2S dan dapat mendekarboksilasi lysine menjadi cadaverin dan ornithine menjadi putrescine (D’Aoust 2000).

Salmonella umumnya tidak mampu memfermentasi laktosa, sukrosa, dan salicin, akan tetapi mampu memfermentasi glukosa dan monosakarida lainnya dengan menghasilkan gas (Jay 2000). Menurut Hanes (2003), Salmonella mampu menggunakan sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon saat genus lainnya membutuhkan sumber karbon kompleks sebagai sumber nutrisinya. Salmonella umumnya memanfaatkan asam amino sebagai sumber N, namun beberapa strain Salmonella seperti S. Typhimurium memanfaatkan nitrit, nitrat, dan NH3 sebagai sumber nitrogen. Walaupun fermentasi laktosa umumnya tidak dapat dilakukan oleh mikroorganisme ini, beberapa serovars dapat memanfaatkan gula ini sebagai sumber karbon.

(30)

menjadi lebih tinggi. Selain itu, meningkatnya aerasi juga ternyata mampu mempengaruhi pertumbuhan Salmonella pada pH yang lebih rendah (Jay 2000). Optimum pH berkisar antara 6.5-7.5 untuk pertumbuhan Salmonella. Beberapa serovar mampu tumbuh pada pH mendekati 9.5 dan 4.5. Salmonella mampu tumbuh pada kadar garam maksimal 8% (D’Aoust 2000).

Bell dan Kyriakides (2003) menjelaskan bahwa Salmonella umumnya cepat dibunuh dengan panas dalam bahan pangan dengan aktivitas air (aw) yang tinggi, aw > 0.98 namun jika bahan pangan dengan aktivitas air yang rendah, butuh suhu yang lebih tinggi untuk membunuhnya. Salmonella memiliki rentang kondisi lingkungan yang cukup jauh, seperti pada suhu, pH, dan aktivitas air. Tabel 5 menunjukkan rentang untuk pertumbuhan Salmonella.

Tabel 5. Batasan rentang pertumbuhan Salmonella

Parameter Minimum Maksimum Suhu (°C)

pH

Aktivitas air (aw)

5.2a 3.8b 0.94

46.2 9.5 > 0.99 Keterangan: a kebanyakan serotipe tidak tumbuh pada suhu < 7.0 °C

b

kebanyakan serotipe tidak tumbuh pada pH < 4.5 Sumber: Bell dan Kyriakides (2002) dan ICMSF (1996)

Salmonella tidak dapat dibedakan dengan E. coli jika dilihat dengan mikroskop ataupun dengan menumbuhkannya pada media yang mengandung nutrien yang umum. Salmonella sp. dapat tumbuh optimum pada media pertumbuhan yang sesuai dan memproduksi koloni yang tampak oleh mata dalam jangka waktu 24 jam pada suhu 37 °C. Salmonella sp. dapat tumbuh pada kisaran pH dan aw yang lebih luas jika tumbuh pada substrat yang lebih baik (Jay 2000).

Salmonella sensitif terhadap panas, sehingga dapat mati pada suhu pasteurisasi. Akan tetapi, bakteri ini relatif tahan pada suhu rendah. Matches dan Liston (1968) dalam Jay (2000) melaporkan bahwa suhu terendah yang masih memungkinkan pertumbuhan adalah 5.3 °C untuk Salmonella Heidelberg dan 6.2 °C untuk Salmonella Typhimurium.

(31)

stabil terhadap panas, resisten terhadap alkohol dan larutan asam. Antigen H berhubungan dengan flagela petrikus. Antigen H ini tidak tahan terhadap panas.

Sumber kontaminasi dan penyebaran

Salmonella secara luas tersebar pada hampir semua habitat ekologi, diisolasi dari tanah, air, makanan dan saluran pencernaan dari manusia dan hewan. Kecenderungan pada semua Salmonella yang dapat menyebabkan infeksi sistemik maupun enterik pada manusia dan hewan menjadikan Salmonella sebagai patogen yang sangat penting. Meskipun banyak perkembangan higienis pada produksi makanan, tetapi Salmonella tetap menjadi sangat penting sebagai bakteri yang menyebabkan penyakit foodborne (Hui et al. 2001).

Salmonella banyak tersebar di alam terutama pada udara yang tercemar. Namun habitat utamanya adalah saluran usus binatang dan manusia. Bakteri ini dapat diisolasi dari sampel feses, makanan, dan sampel dari lingkungan. Salmonella pada makanan terdapat pada kacang-kacangan, salad, mayonaise, susu dan lain-lain (Jay 2000).

Salmonella merupakan salah satu masalah penting bagi kesehatan manusia dan hewan karena dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan kematian. Infeksi Salmonella terutama disebabkan oleh penanganan yang buruk dan konsumsi pangan mentah ataupun kurang matang. Salmonellosis sangat mudah ditularkan dari hewan ke manusia baik secara langsung ataupun melalui perantara seperti produk makanan yang berasal dari hewan, tumbuhan dan lingkungan. Salmonella enterica Serovar Typhimurium dan Enteridis merupakan salah satu penyebab utama gastroenteritis (Jay dan Davey 1989).

(32)

kandungan bakteri E. coli maka semakin positif peluang bakteri Salmonella akan ditemukan dalam suatu perairan.

Bakteri Salmonella sebenarnya adalah bakteri dari air tawar, kehadirannya di laut disebabkan terbawa oleh aliran sungai atau air buangan. Keberadaannya di laut dapat menyebabkan banyak hasil laut seperti ikan, udang, kerang-kerangan dan lainnya terkontaminasi oleh bakteri Salmonella dan Shigella (Thayib 1982 dalam Farida 2005).

Tingkat prevalensi pada udang

Air laut umumnya bebas Salmonella, tetapi perairan pantai, estuaria dan karang dapat terkontaminasi dari air buangan manusia dan pertanian, sehingga Salmonella kadang ditemukan pada ikan mentah dan kerang. Kondisi lingkungan dan insiden Salmonella memang berkorelasi, hasil investigasi Martinez-Urtaza et al. (2003) menunjukkan bahwa 2.9% dari 381 sampel kerang yang diambil dari lokasi panen positif terinfeksi Salmonella dan hanya 1.6% dari 2599 sampel kerang yang telah didepurasi yang positif terinfeksi Salmonella.

Penggunaan air pencuci dan es yang berasal dari sumber yang terkontaminasi, higiene pekerja yang buruk dan penanganan manual produk mentah selama pemanenan dan pengepakan dapat menjadi penyebab tingginya kontaminasi Salmonella pada produk ikan dan kerang dari Asia. Asia merupakan penghasil separuh dari produk akuakultur dunia, studi isolat Salmonella menunjukkan salah satu potensi pembawa Salmonella pada manusia di Asia berasal dari ikan dan kerang (D’Aoust 2000).

Di Thailand hasil analisis terhadap air mendapatkan 984 isolat Salmonella

dengan serovar yang banyak ditemukan adalah S. Weltreveden (14.5%), S. Anatum (11.5%), S. Rissen (9.5%), dan S. Derby (7.2%). Sedangkan hasil

analisis pada seafood selama tahun 1993-2000, dari 1007 isolat yang didapat serovar S. Weltreveden juga merupakan serovar yang sering ditemukan dengan prevalensi sebesar 26% (Bangtrakulnonth et al. 2003).

(33)

lingkungan habitat udang yang tercemar oleh kotoran manusia dan hewan. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Slamet (2000) menunjukkan udang segar dari Tanjung Kait dan Gebang telah terkontaminasi oleh Salmonella dan diduga mikroorganisme tersebut adalah S.Paratyphi A.

D’Aoust (2000) melaporkan beberapa insiden Salmonella pada udang yang didapat dari beberapa negara Asia hingga tahun 1995 (Tabel 6). Prevalensi Salmonella terbesar sebanyak 30% ditemukan pada udang segar yang berasal dari India pada tahun 1990.

Tabel 6. Insiden Salmonella pada beberapa produk udang di Asia Negara Asal Produk Jumlah Sampel

yang Diuji

Jumlah Positf (%) 1.India

- 1989 - 1990 - 1995 2.Malaysia 3.Thailand

Udang beku Udang kering

Udang segar Udang beku Udang segar Udang segar Udang beku

560 25 30 16 500

16 3046

8 4 56 28 1 25 0.2 Sumber: D’Aoust (2000)

Studi yang dilakukan oleh Ruangpan et al. (1997) terhadap sedimen tambak udang windu selama 120 hari budidaya menunjukkan dalam sedimen terdapat sedikitnya 8 jenis bakteri dimana salah satunya adalah Salmonella. Tetapi dalam studi tersebut tidak dilakukan analisis terhadap udang tambak. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Southeast Asian Fisheries Development Centre (SEAFDEC) (Sunwanrangsi 1997) dalam rangka penyusunan rencana HACCP di Thailand untuk produksi udang budidaya, bahaya Salmonella (Tabel 7) pada produksi udang ditemukan pada suplai air, pakan dan panen, sehingga pengawasan terhadap ketiga titik tersebut harus dioptimalkan.

(34)

pada pakan ikan adalah S. Angona dan S. Monteviedo, sementara pada tepung ikan serovar yang terbanyak adalah S.Senftenberg.

Pada penerapan HACCP terutama pada industri budidaya perikanan, analisis dan data prevalensi Salmonella sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi potensi bahaya mikroorganisme yang dapat bertahan dan memperbanyak dalam produk budidaya, resiko dan tingkat keparahan bahaya yang teridentifikasi dan patogen yang dapat mengkontaminasi produk budidaya setelah pemanenan (Suwanrangsi 1997).

Tabel 7. Perkiraan HACCP untuk produksi udang budidaya

Tahapan Produksi Bahaya (Hazard) Pemantau

Pemilihan Lokasi

Pembesaran - Kondisi kolam - Suplai air - Pakan/pupuk

- Penggunaan bahan kimia atau obat-obatan

Panen

Kontaminasi kimia Kontaminasi biologi

Kontaminasi kimia Salmonella Salmonella

Kontaminasi Salmonella Kontaminasi kaca, kayu dll

Kelayakan dasar

CCP CCP CCP CCP

CCP CCP Sumber: Sunwanrangsi (1997)

(35)

Tabel 8. Beberapa serotipe Salmonella yang diisolasi dari seafood Subspesies Serotipe Nomor isolat Laktosa (lac) Sumber

I

Ikan, udang Ikan

Ikan, udang, mussel Ikan

Udang

Ikan, udang, clam Ikan Sumber: Kumar et al. (2009)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ponce et al. (2008) menyebutkan bahwa serovar paling banyak pada isolat dari seafood impor adalah Salmonella enterica serotipe Weltevreden. Salmonella tidak terlalu dianggap menjadi masalah pada produk seafood yang berasal dari perairan laut terbuka. Koonse et al. (2005) dalam Ponce et al., (2008) mengatakan bahwa beberapa laporan oleh USFDA menunjukkan bahwa seafood yang di budidaya cenderung lebih banyak terkontaminasi Salmonella dibandingkan dengan seafood yang berasal dari perairan terbuka.

Beberapa peneliti telah mempelajari lingkungan budidaya udang terutama di wilayah tropis. Salmonella diisolasi dari air tambak termasuk sumber air dan air penampungan, sedimen/lumpur, pakan, pupuk untuk kolam/tambak dan probiotik yang digunakan untuk mendukung kesehatan udang. Berdasarkan hasil dari sampel-sampel yang digunakan, dapat dikatakan bahwa Salmonella dapat ditemukan pada lingkungan pertanian/budidaya udang sesuai dengan metode budidaya yang diisolasi dari tambak udang ekstensif, semi-intensif, dan intensif (Reilly dan Twiddy 1992, Bhaskar et al. 1998 dalam Wan Norhana 2010).

(36)

tinggi (0.5–67.0%) dibandingkan pada udang (1.6–37.5%), pakan (alami dan formula) (5.0–31.2%) dan sedimen/lumpur (0.1–28.8%). Perlu dicatat bahwa terdapat beberapa laporan mengenai tidak adanya Salmonella pada lingkungan budidaya udang (Dalsgaard et al. 1995; DeLa Cruz et al. 1990; Fonseka, 1990 dalam Wan Norhana 2010). Namun, Dalsgaard (1998) dalam Wan Norhana (2010) memiliki argumen bahwa penelitian ini tidak dapat mewakili keadaan sebenarnya seperti pada beberapa penelitian bahwa sampel dan jumlah kolam yang digunakan rendah dan tidak terdapat pengulangan. Sumber awal Salmonella pada lingkungan budidaya udang sangat dipengaruhi oleh pupuk dan pakan, sedimen/lumpur dan air yang merupakan sumber kontaminasi.

Hatha et al. (2003) menyebutkan bahwa terdapat Salmonella pada udang segar dan beku yang dikumpulkan dari tempat penampungan, retail, penjualan, impor, tempat pengolahan dan lain-lain. Salmonella ditemukan pada udang yang diolah, peralatan dan lantai serta air yang digunakan selama proses pengolahan. Kejadian tersebut paling banyak pada produk udang segar (10–14%), diikuti dengan sampel swab lantai (4%), peralatan (2%) dan air untuk pengolahan (1%). Bagaimanapun juga, Salmonella tidak ditemukan pada produk udang masak.

(37)

Keracunan makanan akibat Salmonella

Penyakit yang timbul akibat bakteri ini adalah adanya gejala gastroenteritis, demam enteritika, bakteraemia, faecal infection, dan sequelae. Gastroenteritis memiliki periode inkubasi antara 5 jam - 5 hari, namun gejala ini sudah mulai nampak sekitar 12-36 jam setelah mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi. Singkatnya masa inkubasi biasanya berhubungan dengan tingginya jumlah bakteri yang terkonsumsi atau orang yang lemah yang rentan terhadap penyakit. Gejala penyakit ini antara lain diare, mual, nyeri pada perut (abdominal), demam ringan dan menggigil. Demam enteritika memiliki periode inkubasi antara 7-28 hari (tergantung banyaknya bakteri yang menginfeksi), namun rata-rata periode inkubasi adalah selama 14 hari. Gejala yang umumnya timbul adalah malaise, sakit kepala, demam tinggi, nyeri pada perut (abdominal) dan lain-lain. Bakteraemia adalah penyakit dimana Salmonella ada di dalam darah (ICMSF 1996). Beberapa penyakit yang ditimbulkan oleh Salmonella ditunjukkan pada Tabel 9.

Tabel 9. Penyakit yang ditimbulkan Salmonella

Penyakit Serotipe Salmonella

Gastroenteritis

Demam enteritika

Bakteraemia atau septicemia Sequelae

Umumnya anggota dari S. enterica subsp. enterica (serotipe utama yang menyebabkan ini adalah Agona, Dublin, Hadar, Enteridis, poona, Typhi, Typhimurium, Virchow) selain itu juga anggota S. enterica subsp. arizonae

S.Typhi dan S.Paratyphi

Anggota S. enterica subsp. enterica Anggota S. enterica subsp. enterica Sumber: ICMSF (1996)

(38)

terbatas seperti S. Typhi, S. Paratyphi a,b,c dan S. Sendai hanya menyebabkan penyakit pada manusia. S. Pullorum/Gallinarum pada babi, S. Abortusuis pada domba dan S. Abortusequis pada kuda. Serovar S. Dublin dan S. Cholerasuis dapat

menginfeksi manusia namun sangat jarang. Serovar S. Typhimurium dan S. Enteridis merupakan penyebab utama gastroenteritis dan dapat menyebabkan

penyakit pada manusia, unggas, domba, babi, kuda dan tikus.

Salmonella pada produk pangan bersuhu rendah

Bakteri memiliki kemampuan bertahan yang berbeda-beda terhadap suhu pendinginan. Menurut Georgala dan Hurst (1963) bakteri cocci umumnya lebih tahan terhadap pendinginan dibandingkan dengan bakteri gram negatif berbentuk batang. Untuk bakteri patogen, Salmonella relatif kurang resisten jika dibandingkan dengan Staphylococcus aureus atau sel vegetatif Clostridia, dimana endospora dan toksin tidak efektif pada suhu rendah.

Bell dan Kyriakides (2003) menyatakan bahwa dalam makanan beku atau pangan yang memiliki aktivitas air yang rendah, Salmonella dapat bertahan sampai berbulan-bulan, bahkan sampai bertahun-tahun. Tabel 10. menunjukkan ketahanan berbagai serovar Salmonella pada suhu pembekuan.

Tabel 10. Kemampuan bertahan berbagai serovar Salmonella pada suhu pembekuan

Kondisi Serotipe Pangan Suhu (°C) Waktu bertahan

Suhu pembekuan

Enteritidis Poultry -18 4 bulan

Cholerae-suis Minced Beef -18 4 bulan

Typhimurium Chowmein -25 9 bulan

Enteritidis

IceCream -23 7 bulan

Typhimurium

Sumber: D’Aoust (1989) dalam Blackburn dan McClure (2003)

(39)

Salmonella pada es batu. Hasilnya adalah jumlah Salmonella mengalami peningkatan sampai dua jam kemudian konstan.

Menurut D’Aoust (2000), ketahanan Salmonella selama penyimpanan beku tergantung jenis Salmonella dan jenis produk pangannya. Jumlah sel akan berkurang secara berangsur-angsur selama penyimpanan beku suhu -20 °C. Ketahanan Salmonella saat pembekuan juga tergantung kondisi fisiologis sel sebelum dibekukan. Adaptasi S. Enteritidis selama 30 menit pada suhu rendah (5 °C sampai 10 °C) sebelum pembekuan cepat (suhu -78 °C) akan mempertinggi jumlah sel yang bertahan. Kemampuan Salmonella untuk beradaptasi pada suhu rendah diinduksi oleh adanya sintesis gen csp-A yang disandi oleh cold shock protein. Gen ini belum diketahui pasti fungsi spesifiknya pada perlindungan Salmonella terhadap suhu pembekuan.

Hatha et al. (2003) telah melakukan penelitian kualitas bakteriologi dari produk udang IQF (individually quick frozen) dari tambak budidaya udang jenis tiger (Penaeus monodon) telah dianalisis terhadap Salmonella. Hasil dari serotypingSalmonella yang diisolasi hanya dari sampel udang kupas mentah (raw peeled tail-on) yaitu S.Typhimurium.

Model Prediktif

Pada dekade terakhir mikrobiologi pangan telah mengadopsi metode modern dan konsep baru. Banyak ahli mikrobiologi pangan menentukan masa simpan dan keamanan pangan mengikuti pendekatan konvensional dengan enumerasi mikroba pada berbagai tahap penyimpanan.

(40)

makanan, di mana bakteri patogen mungkin tumbuh, dalam pengembangan produk baru dan penilaian risiko (risk assessment).

Mikrobiologi prediktif dimulai sebagai ilmu empiris murni (meskipun kuantitatif). Esty dan Meyer pada tahun 1922 diduga sebagai peneliti yang mengawali munculnya mikrobiologi prediktif. Esty dan Meyer (1922) menggambarkan kematian akibat suhu pada spora Clostridium botulinum tipe A dengan model log-linear. Model tersebut masih digunakan untuk memperkirakan perkiraan panas pada pengolahan makanan kaleng rendah asam. Pengertian lain yaitu model ini menggambarkan laju kematian bakteri adalah konstan dengan waktu pada kondisi suhu tertentu. Dengan kata lain, persentase populasi sel tidak aktif dalam satuan waktu adalah konstan.

Saat ini, beberapa model yang menggambarkan pertumbuhan dan kematian dari mikroorganisme telah berkembang. Dalam model prediktif terdapat model primer, sekunder dan tersier. Model primer menggambarkan kurva pertumbuhan atau kematian, atau kemungkinan pertumbuhan. Model sekunder menggambarkan parameter kinetik dari model primer yang berhubungan degan konsisi lingkungan. Model tersier menggabungkan data untuk semua aspek respon dari mikroba pada lingkungannya terhadap sistem pendukung dalam mengambil keputusan.

(41)

d dikatakan b eksponensia densitas sel modifikasi G µmax dan .

a sigmoid u liki titik per bahwa kurv al pertumbuh l terhadap Gompertz te

a beberapa alkan suatu fase lag ber tu q yang s an dengan li al sampai bat

r 2. Contoh k

dasarkan mo lkan untuk m rsamaan lain

untuk mengg rubahan (infl va sigmoid han. Tetapi waktu adal tas medium p

kurva pertum

odel Baranyi membuat su n (McKellar

gambarkan k flection poin

d tidak tep jelas bahwa lah linear. sikan secara

elitian, Bara yang mekan dengan kebu s terhadap p barunya, mak pertumbuhan

mbuhan dari

i dan McKe uatu kurva p dan Lu 2004

kurva mode t). Berdasar pat untuk a hubungan Keterbatasa a luas terhad

anyi dan be nis untuk utuhan sintes pertumbuhan ka sel terseb

nnya.

i model Bara

ellar terdapa pertumbuhan

4).

l pertumbuh rkan hal ters menggamba antara logar an pengguna dap overestim

eberapa oran pertumbuha sis suatu sub n. Jika suatu but akan tum

anyi dan McK

at beberapa n yang didas

han bakteri sebut dapat arkan fase

ritmik dari aan model mation dari

ng lainnya an bakteri.

bstrat tidak u sel telah mbuh secara

Kellar

(42)

d

Nilai awal d Suatu bentuk

Parameter m m = 1 fung dari model memiliki em ini adalah s Model Baran

dimana y(t) yang secara

Sejak

m mengkara sinya berkur yang sering mpat paramet suatu hubun nyi juga tela

= ln x(t), y umum diasu

k awal mula lah banyak

h sel pada wa g dianggap s

ter: x0, jumla anya model digunakan

aktu t, xmax a

ng berubah te

kuran dari ta stabil dapat

ngkungan s di kurva log sebagai asum n secara ek

adalah maksi erhadap wak

ahap awal fi didefinisika

ebelum fase gistik (log), msi. Sampai an sebagai:

e stasioner. suatu penye i saat ini, m n µmax. Hasil

u versi yang

enaikan (laju

r tahun 1990 ntuk membu

tas sel, dan

ri suatu sel.

Pada saat ederhanaan model akhir

dari model g jelas dari

u) substrat,

0an, model uat model

(43)

pertumbuhan mikroba. Kepopuleran model ini telah difasilitasi dengan adanya dua program yaitu DMFit (Excell add-in) dan MicroFit, suatu program fitting yang independen. Model fitting tersebut telah digunakan untuk membuat model pertumbuhan dari banyak mikroorganisme. Beberapa aplikasi telah dilakukan terkait Listeria monocytogenes, Bacillus cereus, Escherichia coli, Yersinia enterocolitica, peningkatan diameter koloni dari fungi yang resisten terhadap panas, serta kebusukan pada asparagus dan selada. Dalam bukunya, McKellar dan Lu (2004) menyebutkan salah satu keuntungan model Baranyi adalah model ini sudah tersedia sebagai suatu persamaan yang memudahkan untuk membuat model dalam suatu lingkungan yang dinamis.

DMFit adalah Excell add-in, dapat digunakan pada Windows 98 dan Excel 97 keatas, untuk membuat fit suatu kurva dimana fase linear didahului dan diikuti oleh fase diam. Perbedaan utama antara model ini dan kurva sigmoid lainnya seperti Gompertz, Logistic, dan lain-lain adalah bahwa fase-mid (mid-phase) sangat dekat dengan linear, tidak seperti kurva sigmoid klasik yang dinyatakan dengan kelengkungan. DMFit adalah bagian dari sistem yang digunakan in-house di Institute of Food Research untuk membuat model waktu-variasi logaritma dari konsentrasi sel pada sejumlah kultur bakteri (DM: Dynamic Modelling).

MicroFit juga tersedia dari situs web (www.ifr.ac.uk/microfit/). Hal ini berdasarkan pada model yang sama (Baranyi dan Roberts, 1994) tetapi hanya cocok untuk kurva pertumbuhan. Namun, juga membandingkan parameter-parameter berdasarkan F-test, yang tidak termasuk dalam prosedur DMFit. Model dari program Growth Predictor, didukung oleh UK Food Standards Agency, di download dari situs web yang sama http://www.ifr.ac.uk/safety/GrowthPredictor, yang dikembangkan oleh DMFit.

(44)

METODOLOGI

Waktu dan Tempat Penelitian

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2010 sampai dengan Januari 2011, di Laboratorium Mutu dan Keamanan Pangan SEAFAST Center, FATETA IPB, Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel udang putih (Litopenaeus vannamei) yang diperoleh dari industri pengolahan udang di wilayah Jakarta. Udang yang digunakan adalah udang beku yang telah dibuang kepala, kulit dan ekornya tetapi ususnya tidak diambil (peeled undeveined). Bahan baku yang digunakan merupakan udang beku yang telah diberi perlakuan carnal 1.5% dan garam 1.5%. Bakteri referensi uji yang digunakan adalah spesies Salmonella Typhimurium ATCC 14028. Media-media yang digunakan untuk analisis Salmonella antara lain: Brain Heart Infusion Broth (BHIB), Lactose Broth (LB) (Pre-enrichment media), Tetrathionate Broth (TTB) dan Rappaport Vassiliadis (RV) Broth (Pengayaan selektif media), Hectoen Enteric Agar (HEA), Xylose Lysin Desoxycholate Agar (XLDA) dan Bismuth Sulfite Agar (BSA) (Agar Selektif), Triple Sugar Iron (TSI) dan Lysine Iron Agar (LIA) media konformasi biokimia, Nutrient Agar (NA), dan Urea Broth. Bahan-bahan kimia yang digunakan yaitu Na2S2O5 (natrium metabisulfit/ sodium metabisulfit), larutan pengencer KH2PO4 (buffer fosfat), NaOH, bahan tambahan media TTB yaitu larutan I2KI, disinfektan yaitu alkohol 70%, akuades (air bebas ion), spiritus.

(45)

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan melalui dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan terdiri dari mempelajari pola pertumbuhan S. Typhimurium ATCC 14028 pada suhu optimum 35-37 °C selama 24 jam, mempelajari pola pertumbuhan S. Typhimurium pada media BHIB

dengan penyimpanan suhu dingin, mempelajari pola pertumbuhan S. Typhimurium pada udang dengan penyimpanan suhu dingin, dan pengujian

sifat antimikroba sodium metabisulfit (Na2S2O5) dengan metode kontak. Penelitian utama terdiri dari mempelajari ketahanan S. Typhimurium pada BHIB dan udang dengan penyimpanan suhu dingin dan penambahan sodium metabisulfit, kemudian menganalisis pendugaan pertumbuhan atau ketahanan S. Typhimurium pada BHIB dan udang dengan model Baranyi.

Penelitian Pendahuluan

Mempelajari pola pertumbuhan S. Typhimurium ATCC 14028 pada suhu optimum 35-37 °C selama 24 jam

(46)

G waktu jam k terhadap tota S. Typhimur dalam lema si dengan vo alam cawan

meratakan tar cawan m adat lalu diin ke-0, 0.5, 1,

al Salmonell

ri pola pert an suhu din a tahap ini,

adalah 103 B 40 ml rium sebany ari pendingi n total Salmo

e pola pertu um 35-37 °C ngamatan, S k dilakukan olume total n petri lalu d kultur hasil membentuk

nkubasikan p 2, 4, 6, 10, la dan total m

tumbuhan S

ngin

jumlah aw cfu ml-1 da

yang sud yak 103 cfu m

in (refriger onella dilaku

umbuhan S. dah steril, ml-1. Erlenm rator) pada ukan setiap 1

Typhimuriu jam

pada media an. Pengenc elah itu tabu n media TSA

an dan TSA pan, kemudi °C selama 24

dan 24 jam

urium pada

himurium y ml-1. Pertama kemudian eyer tersebu

suhu 8+2 12 jam sekal

um ATCC 1

a BHIB dia ceran dilaku ung reaksi pe A cair sekita A dalam caw ian didiamk 4-48 jam (du

dilakukan p

media BHI

yang diguna a disiapkan e

ditambahka ut selanjutny

°C selama li selama 14

4028 pada

ambil satu ukan pada engenceran ar 12-15ml. wan dengan kan sampai uplo). Pada pengamatan

IB dengan

akan untuk erlenmeyer an dengan ya disimpan

a 14 hari. 4 hari. Pada

(47)

k dilakukan a media BHIB S. Typhimur udang segar +4 °C). Uda dibiarkan se menempel p dalam lemar total Salmon kontrol, yan

awal Salm adalah sama B dengan pen

Alur metod dengan peny

ri pola pe an suhu din ap ini memp

yimpanan su gan penyim rium yang d r yang bera ang yang tela

elama 30 m pada sampel ri pendingin nella dilakuk ng dilakukan

monella 106 a. Alur meto

nyimpanan s

e pola pertu yimpanan su

ertumbuhan ngin

pelajari pola uhu dingin, mpanan suh digunakan ad ada di dalam ah dibersihk menit untuk l. Udang ya dengan suhu kan pada har n adalah men

cfu ml-1 y ode pola pe suhu dingin d

umbuhan S. uhu dingin

n S. Typh

a pertumbuh dan pola pe hu dingin dalah 105 cf m cool box kan dikontam k memberi ang telah dik

u (chilling)

himurium p

han S. Typh t pada Gamb

um pada me

pada udan

himurium p S. Typhimu ontrol. Jum tama, bebera gan akuades an S.Typhim n kepada ba i selanjutnya ma 7 hari. P

dan 7. Pada erisi BHIB 4

apan yang urium pada bar 4.

edia BHIB

ng dengan

pada udang urium pada mlah awal

apa sampel s (suhu air murium lalu

akteri agar a disimpan Pengamatan

a perlakuan 40 ml yang

(48)

s dan setelah media TSA Pemup media XL dan TS

, kemudian wal adalah 1

ari pending n total Salmo mbuhan S. Ty

t pada Gamb

Alur metode elama 24 jam

inkubasi se A kemudian

pukan pada LDA (Udang) SA (BHIB)

dikontamin 105 cfu ml -gin (refriger

onella dilak yphimurium bar 5.

e pola pertu an suhu ding

kroba sodiu dilakukan ngan beberap

6%, 0.65%, ertama-tama gga jumlah bahkan/dima nakan. Tabun m. Pengamat elama 24 jam

diinkubasi )

asi dengan 1

. Erlenmey rator) pada kukan setiap

pada udang ng tersebut tan sifat anti m, yaitu den pada suhu

S. Typhimu yer tersebut a suhu 8+2

hari selama dengan pen

Typhimuriu

ulfit dengan gujian antim asi (b/v) yait %, 0.8%, 0.8 berisi BHIB ba adalah 1 dium metab

um pada uda

n metode ko mikroba me

gga jumlah a disimpan ma 7 hari.

lur metode suhu dingin

ang dengan

ontak nggunakan trol), 0.4%, 0.95%, 1%, tambahkan 1

. Kedalam uai dengan

pada suhu da jam ke-0

pukan pada 4 jam dan

(49)

d

dilakukan p dengan meto

selama 24 ja pertumbuhan penambahan

penghitungan ode kontak d

bar 6. Metod

han dan keta an sodium m a tahap ini, alam lemari p

yimpanan da 3, 4, 5, 6 ate Agar (X am dan dila n dan ketah n sodium me

n jumlah k dapat dilihat

e pengujian

Pen ahanan S. T metabisulfit jumlah aw disiapkan 4 taminasi den urium terseb

tu 0%, 0.4% pendingin (r alam suhu di 6, dan 7 de

kemudian d hitungan jum Typhimurium

apat dilihat p

tode penguj ksi berisi BH yphimurium.

jian sifat a

n metode ko

HIB dengan

ang digunak agi pada suhu

spesifik. A

kan adalah yang sudah eaksi berisi lfit dengan itu tabung ama 7 hari. n pada hari ylose Lysin

u 35-37 °C lur metode dan tanpa

(50)

G analisis Sal dengan akua (perbanding yang diguna selama 3-5 sehingga jum 30 menit unt Kemudian d 7 hari.Selam ke- 0, 1, 2 dengan dan t

han dan ke mbahan sod anyak 10 ek lmonella dan ades (suhu a

an udang de akan adalah menit. Kem mlah awal un tuk member

etahanan S.

dium metab kor udang s n TPC. Seb pat dilihat pa

an dan ketah mbahan sodiu

S. Typhimu bisulfit

segar diamb bagian udan lu direndam n adalah 1:2 %, 1.25%, a uanya dikon matan adalah an kepada ba n pada suhu m suhu dingin dengan pemu mudian diink

jumlah kolo pada udan ada Gambar 8

hanan S. Typ um metabisu

rium pada

bil dari dala ng lainnya dalam laruta ). Konsentra atau 1.5%. P ntaminasi de

h 106 cfu ml -akteri agar m

dingin (chi n dilakukan upukan pad kubasi pada oni spesifik. ng dengan d

8. an sodium m asi sodium m Perendaman ngan S. Typ -1

dan dibiark menempel pa dan tanpa pe

pada BHIB

engan dan

x untuk di ntuk dicuci metabisulfit metabisulfit dilakukan phimurium kan selama ada sampel. °C selama n pada hari ylose Lysin

°C selama s ketahanan enambahan

(51)

G parameter m adalah fung dengan dan t

endugaan p udang deng lisis untuk

ktif dari Bar

= ln x(t) ad ang secara m mengkarak

gsi integral ln xmax. Ke

ain itu jika p uk umum da

= kelandaian = perpotong pukan pada

ia XLDA gan (intercep

an dan ketah mbahan sodiu

an atau ket Baranyi

pertumbuhan n persamaan

ln x0 adalah

sumsikan sa rva sebelum dan ymax a

anjutkan de n bersifat lin n linier, dap

y = a x + rva garis lur pt) kurva den n sebagai ber

at’atau sumbu

pada udang

rium pada

nggunakan

a kenaikan owth rate), au fase lag

log yang nggunakan kan regresi rikut:

Gambar

Tabel 1. Persyaratan mutu dan keamanan pangan udang segar
Tabel 4. Karakteristik biokimia Salmonella
Tabel 5. Batasan rentang pertumbuhan Salmonella
Tabel 6. Insiden Salmonella pada beberapa produk udang di Asia
+7

Referensi

Dokumen terkait

LUKIS KELUAR MASUK KELUAR SEPEDA MOTOR JALUR SERVICE RM. PERIKSA GIGI &amp;

Harus memilih dari pilihan yang tersedia Field terhubung dengan tabel Supplier Total Faktur Completeness Check.

Swanindo jaya akan melakukan pembelian barang kepada supplier dengan cara membuat PO terlebih dahulu, juka PO sudah diterima oleh supplier maka akan segera

PEMERINTAH KOTA BATU UNIT LAYANAN

POKJA KRESNA ULP pada Pemer intah Kota Batu akan melaksanakan Seleksi Seder hana dengan Pr akualifikasi untuk paket peker jaan pengadaan Jasa Konsultansi sebagai berikut

Jalan Cawas - Pakisan yang menghasilkan tidak ada peserta lelang yang memenuhi syarat sesuai ketentuan. dalam Standard Dokumen Pengadaan ( Berita Acara Evaluasi Penawaran

Data hasil inversi tersebut yang kemudian akan dianalisa untuk menjadi acuan dalam pembuatan peta rawan bencana tanah longsor berdasarkan zona water content

bahwa dengan telah ditetapkannya Peraturan Bupati Banjar Nomor 21 Tahun 2013 tentang Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Pemadam Kebakaran