• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian terhadap makna hidup doa dalam karya pelayanan para Suster Fransiskus Dina (SFD)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian terhadap makna hidup doa dalam karya pelayanan para Suster Fransiskus Dina (SFD)"

Copied!
159
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN TERHADAP MAKNA HIDUP DOA DALAM KARYA PELAYANAN

PARA SUSTER FRANSISKUS DINA (SFD)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Berliana Simbolon NIM: 091124037

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN

KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

ii

SKRIPSI

KAJIAN TERHADAP MAKNA HIDUP DOA DALAM KARYA PELAYANAN

(3)

iii

SKRIPSI

KAJIAN TERHADAP MAKNA HIDUP DOA DALAM KARYA PELAYANAN PARA SUSTER FRANSISKUS DINA (SFD)

Dipersiapkan dan ditulis oleh Berliana Simbolon

(4)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada:

Seluruh anggota Kongregasi Suster Fransiskus Dina,

yang telah memberi perhatian, cinta, doa, serta dukungan kepada saya selama menjalani kuliah di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sanata Dharma.

(5)

v

Motto

(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak menurut karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

(7)

vii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta:

Nama: Berliana Simbolon

Nim : 091124037

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah yang berjudul KAJIAN TERHADAP

MAKNA HIDUP DOA DALAM KARYA PELAYANAN PARA SUSTER

FRANSISKUS DINA (SFD). Dengan demikian saya memberi hak kepada

Universitas Sanata Dharma untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain demi kepentingan akademis tanpa meminta ijin dari penulis maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

(8)

viii

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul KAJIAN TERHADAP MAKNA HIDUP DOA DALAM KARYA PELAYANAN PARA SUSTER FRANSISKUS DINA (SFD). Penulis memilih judul ini bertolak dari kesan pribadi akan para SFD yang sedang berkarya pada saat ini, yakni kurang menghayati makna doa dalam hidup hariannya. Hal ini dapat disebabkan oleh kesibukan dalam berkarya sehingga ada kecenderungan untuk memprioritaskan pekerjaan dari pada doa.

Para SFD mesti bercermin pada hidup Kristus yang selalu menyediakan waktu untuk berdoa. St. Fransiskus dan Sr. Pendahulu (Muder Yohanna Yesus, dan Muder Constantia van der Linden) juga meneladan hidup Yesus. Mereka meneladani hidup Yesus yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Allah lewat sikap dan tindakannya dalam karya pelayanan-Nya. Untuk menimba kekuatan dari hidup doa, para SFD diharapkan berusaha terus-menerus meneladani Yesus, Sang Pendoa.

Menanggapi situasi dan permasalahan di atas, penulis menggunakan kajian pustaka dengan metode deskriptif. Penulis mempelajari dan mendalami buku-buku spiritualitas yang diterbitkan oleh kongregasi dalam membantu menghayati hidup doa berdasarkan spiritualitas SFD. Selain itu, penulis juga menggunakan buku-buku dari sumber lain yang relevan untuk memperkaya dan memperdalam gagasan-gagasan dan refleksi rohani guna membantu para SFD untuk semakin memaknai hidup doa dalam karya pelayananya.

Maka, untuk membantu para SFD dalam meningkatkan hidup doa, penulis mengusulkan program pendalaman iman dalam bentuk katekese dengan model SCP. Model ini dianggap relevan karena menggarisbawahi peran-keberadaan peserta sebagai subyek yang bebas dan bertanggungjawab. Berdasar pada refleksi kritis atas pengalaman hidupnya dalam kaitannya dengan situasi konkret, peserta sebagai subyek secara aktif dan kreatif menghayati imannya dan dapat mewujudkan dalam pelayanannya. Melalui katekese ini, para SFD diharapkan terbantu dalam menghayati dan meningkatkan makna hidup doa dalam karya pelayanan melalui tugas perutusan yang sudah dipercayakan kepada masing-masing anggota SFD.

(9)

ix

ABSTRACT

This writing entitled KAJIAN TERHADAP MAKNA HIDUP DOA DALAM KARYA PELAYANAN PARA SUSTER FRANSISKUS DINA (SFD) (The Explanation of Purpose of the Life of Prayer in the Mission of Sisters Franciscan Minor). The author chose this title based on the personal impression towards the sisters who are now in their ministries, it seems that they have such a lack of “awareness” of the purpose of prayer in their daily lives. This might be caused by their businesses in ministries that they have such a tendency to give priority for the work than the prayer.

The sisters have to reflect to Christ’s life who always spares his time to pray. St. Francis of Asisi and the Former Sister (Sr. Yohanna of Jesus and Sr. Constantia van der Linden) also imitated that Jesus’ lifestyle. This thing became real in surrendering His will according to God’s through his actions in His missions. To have such power from the life of prayer, the Sisters continuously are suggested to able to imitate Jesus, the Man of Prayer.

To respond the situation and problem above, the author (in this writing) uses descriptive method that needs some literatures. The author learned and studied some spirituality books which are published by the order in helping the Sisters to live the life of prayer according to the spirituality of SFD. The author also uses some books from another sources which are relevant to enrich and deepen the thought and spiritual reflection to help the Sisters to define the life of prayer in their ministries.

(10)
(11)

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah yang mahabaik, berkat bimbingan-Nya penulis dapat menyelesaikan tulisan skripsi ini dengan judul KAJIAN TERHADAP

MAKNA HIDUP DOA DALAM KARYA PELAYANAN PARA SUSTER

FRANSISKUS DINA (SFD). Penulisan skripsi ini untuk memenuhi salah satu syarat

kelulusan sarjana sastra 1 pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis menghadapi kesulitan, tantangan kegembiraan sukacita dan semua pengalaman teresebut memperkaya wawasan penulis. Pengalaman-pengalaman tersebut dapat dilalui karena bantuan dan dukungan serta doa-doa dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menghaturkan banyak terimakasih kepada:

(12)

iii

2. Bpk. FX. Dapiyanta, SFK., M.Pd, selaku dosen penguji kedua sekaligus dosen pembimbing akademik yang telah memberikan perhatian, dukungan, semangat kepada penulis sampai penyelesaian penulisan sikripsi ini.

3. Bpk. Yoseph Kristianto, SFK., M.Pd, selaku dosen penguji ketiga yang telah mendukung dan memotivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan sikripsi ini. 4. Segenap Staf Dosen dan karyawan Prodi IPPAK yang telah mendampingi,

membekali, pengetahuan dan ketrampilan kepada penulis selama menjalani masa studi hingga akhir penyelesaian sikripsi ini.

5. Sr. Adriana Turnip SFD, selaku pemimpin kongregasi SFD yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menjalani studi di Program studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma. 6. Para saudariku komunitas Fonte Colombo serta semua suster yang pernah tinggal

bersama dengan penulis selama studi di Yogyakarta yang memberi dukungan, perhatian dan doa selama menempuh studi.

7. Teman-teman mahasiswa angkatan 2009/2010 (Fery Fredericus, Sr. Felisitas, PIJ, Sr. Verena, SSps, Tri Agnes, Bernadetta Linda Kusumawati, Maria Herlina Nahak, Yosefina Serfiana Mea) yang telah memberi perhatian, dukungan dan bantuan kepada penulis dalam studi dan atas kerjasama yang baik selama perjalanan studi. 8. Sahabat dan kenalan serta siapa saja yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu

(13)

iv

9. Orang tua dan seluruh anggota keluarga yang dengan setia memberikan dukungan, doa, cinta, perhatian dan motivasi selama ini.

10.Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan namanya yang selama ini memberikan perhatian dan dukungan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis terbuka untuk menerima kritikan dan saran dari pembaca demi perbaikan lebih lanjut. Penulis berharapa semoga sikripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya bagi para suster SFD.

(14)

v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR SINGKATAN ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penulisan ... 5

D. Manfaat Penulisan ... 5

E. Metode Penulisan ... 5

(15)

vi

A. Doa dalam Hidup Religius ... 8

1. Pengertian Doa ... 9

2. Fungsi doa ... 12

3. Bentuk-bentuk Doa ... 13

a. Doa Lisan ... 14

b. Doa Renung ... 15

c. Doa Batin ... 15

4. Ciri-ciri Doa Kristen ... 17

a. Doa kepada Allah Bapa ... 17

b. Doa dalam Nama Yesus ... 18

c. Doa Pengantaraan Yesus Kristus ... 19

d. Doa dalam Roh Kudus ... 20

5. Persoalan Doa ... 21

a. Kesukaran-kesukaran Doa ... 22

b. Pergumulan dalam Doa ... 23

6. Peran Doa dalam Hidup Religius ... 24

a. Doa Berakar dalam Hidup Religius... 25

b. Hidup Berakar dalam Doa ... 26

B. Karya Pelayanan Religius ... 27

1. Misi Pelayanan Religius ... 27

2. Pelayanan yang Profetis ... 29

3. Macam-macam Karya Pelayanan Religius... 30

a. Liturgi ... 31

b. Pewartaan ... 31

c. Persekutuan ... 32

d. Pelayanan ... 32

e. Kesaksian ... 33

C. Hubungan Doa dan Karya Pelayanan ... 34

(16)

vii

2. Peran Doa dalam Pelayanan Religius ... 35

3. Pelayanan sebagai Wujud Doa ... 36

a. Hubungan yang Akrab dengan Tuhan ... 37

b. Relasi terhadap Sesama ... 38

BAB III. MAKNA HIDUP DOA DALAM KARYA PELAYANAN PARA SUSTER FRANSISKUS DINA A. Sejarah Awal Berdirinya Kongregasi SFD ... 40

B. Visi dan Misi SFD ... 47

C. Spiritualitas Kongregasi Suster Fransiskus Dina ... 50

1. Semangat Cinta Kasih ... 51

2. Kesederhanaan Kristiani yang Sejati ... 53

3. Semangat Rajin dan Giat ... 54

4. Lepas Bebas ... 55

5. Semangat Doa ... 56

D. Doa dan Karya Pelayanan dalam Kongregasi SFD ... 60

1. Doa dalam Kongregasi SFD ... 60

2. Pengertian Pelayanan ... 61

3. Pelayanan dalam Gereja ... 62

4. Pelayanan sebagai Fransiskan ... 63

5. Tujuan Pelayanan ... 64

a. Demi Terwujudnya Nilai-nilai Kerajaan Allah ... 65

b. Mendampingi dan Memberdayakan Orang-orang Kecil ... 66

6. Tantangan dalam Pelayanan Kongregasi SFD ... 67

a. Tantangan Internal ... 68

b. Tantangan Eksternal ... 68

7. Jenis-jenis Karya Pelayanan dalam Kongregasi SFD ... 70

a. Karya Pelayanan di Bidang Pendidikan ... 70

b. Karya Pelayanan di Bidang Kesehatan ... 71

(17)

viii

d. Karya Pelayanan di Bidang Pastoral ... 73

E. Makna Doa dalam Karya Pelayanan Para SFD ... 73

1. Doa sebagai Penopang dalam Pelayanan Para SFD ... 74

2. Doa sebagai Sumber Kekuatan bagi Para SFD dalam Berkarya ... 75

3. Doa sebagai Sumber Cinta Kasih dalam Pelayanan Para SFD ... 76

4. Doa sebagai Sumber Persatuan dengan Umat dalam Mewartakan Kerajaan Allah ... 77

BAB IV KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS SEBAGAI USAHA MENINGKATKAN HIDUP DOA PARA SUSTER SFD DALAM KARYA PELAYANAN A. Komponen pokok dalam Katekese Shared Christian Praxis (SCP) ... 78

1. Praksis ... 78

2. Kristiani ... 79

3. Shared ... 80

4. Langkah-langkah Shared Christian Praxis (SCP) ... 81

a. Langkah I: Pengungkapan Pengalaman Hidup Faktual ... 82

b. Langkah II: Refleksi Kritis atas Sharing Pengalaman Hidup Faktual .... 83

c. Langkah III: Mengusahakan supaya Tradisi dan Visi Kristiani Lebih Terjangkau ... 84

d. Langkah IV: Interpretasi/Tafsir Dialektis antara Tradisi dan Visi Kristiani dengan Tradisi dan Visi Peserta ... 85

e. Langkah V: Keterlibatan Baru demi makin Terwujudnya Kerajaan Allah di Dunia ini ... 86

B. Alasan Katekese Shared Christian Praxis (SCP) Digunakan sebagai Usaha Meningkatkan Hidup Doa dalam Karya Pelayanan Para SFD ... 87

C. Usulan Program Katekese ... 90

1. Pengertian program ... 90

2. Tujuan Program ... 91

(18)

ix

4. Petunjuk Pelaksanaan Program Kegiatan Katekese Umat Model SCP ... 93 5. Matriks Program ... 94 6. Contoh Persiapan Katekese Model SCP ... 98

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 121 B. Saran ... 123 DAFTAR PUSTAKA ... 125 DAFTAR LAMPIRAN

(19)

x

DAFTAR SINGKAT

A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam sikripsi ini mengikuti Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang diselenggarakan oleh Lembaga Alkitab Indonesia ditambah dengan Kitab-kitab Deuterokanonika yang diselenggarakan oleh Lembaga Biblika Indonesia.

Ams : Amsal Ef : Efesus Flp : Filipi

Kid : Kidung Agung Kis : Kisah Para Rasul Luk : Lukas

(20)

xi

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohannes Paulus II

kepada para uskup, klerus, dan segenap umat beriman tentang katekese masa kini, 16 Oktober 1979.

GS : Gaudium Et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II mengenai tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, 7 Desember 1965.

KGK : Katekismus Gereja Katolik KHK : Kitab Hukum Kanonik

KWI : Konfrensis Wali Gereja Indonesia

RM : Redemptoris Missio. Enssiklik (Surat Edaran) Bapa Suci Yohannes paulus II tentang Amanat Misioner Gereja, 7 Desember 1990

VC : Vita Consecrata, Anjuran Apostolik Paus Yohannes Paulus II tentang Hidup Bakti bagi para religius, 25 Maret 1996.

C. Singkatan Lain

AD : Anggaran Dasar dan cara hidup ordo ketiga regular Santo Fransiskus Asisi. diberikan di Roma oleh Paus Yohannes Paulus II pada 8 Desember 1982 AngTBul : Anggaran Dasar tanpa bulla

Art : Artikel

(21)

xii Konst : Konstitusi.

SCP : Shared Christian Praxis

SEKAFI : Sekretariat Keluarga Fransiskan Indonesia

SFD : Suster Fransiskus Dina

(22)
(23)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam Konstitusi SFD (2007 art, 30-31) dirumuskan:

Keyakinan penuh kepercayaan bahwa Allah adalah dasar penopang hidup dan bahwa dia adalah basis yang diandalkan oleh persekutuan kita, membutuhkan bentuk ungkapan yang nyata. Karena itu doa pribadi dan doa bersama pada hakekatnya termasuk cara hidup kita. Dalam injil kita berjumpa dengan Yesus yang pada banyak saat kehidupan-Nya bersatu dengan Bapa dalam doa (Luk 11:1-4) Fransiskus dalam memuji dan bersyukur tidak mempunyai cukup perkataan untuk melagukan cinta kasih Tuhan terhadap manusia dan seluruh ciptaan-Nya (AngTBul 23). Tentang pendiri kongregasi kita tertulis, bahwa dalam hidup membiara mereka yang diperbaharui dan aktif, doa tetap mendapat tempat yang penting. Semua karya mereka ditopang oleh doa dan dalam segala kebutuhan mereka, doa itu menjadi pernaungan mereka yang besar.

Pernyataan di atas menegaskan tentang betapa pentingnya doa bagi kehidupan para SFD. Doa menjadi penopang dan dasar hidup para SFD dalam seluruh hidup dan karyanya. Seperti Yesus atau juga seperti para kudus, pendiri dalam kongregasi SFD yang menjadikan doa sebagai sumber kekuatan spiritualnya, demikian juga doa merupakan kekuatan dan nafas hidup bagi para SFD.

Dalam doa, umat beriman mempererat relasinya dengan yang ilahi. Dalam doa, umat beriman berjumpa dengan Allahnya. Hayon (1987:125) menyatakan “Doa adalah pengalaman perjumpaan dengan Allah dan sesama”. Dalam doa, para

SFD mengungkapkan dirinya di hadapan Allah dan sekaligus menerima pernyataan diri Allah kepadanya. Dalam doa, para SFD mendengar sabda Tuhan dan menaruh perhatian terhadap karya-Nya. “Bersabdalah Tuhan, sebab hambamu

(24)

Darminta (1983: 38-41) merumuskan:

Doa merupakan gerak Allah menuju kepada manusia dan manusia menuju kepada Allah. Dalam doa ada ritme pertemuan yang terdiri dari sapaan dan jawaban. Dalam doa manusia diajak untuk melihat Allah, mengalami Allah dalam kemuliaan-Nya. Doa baru sungguh berarti bila berdampak dalam kehidupan nyata. Doa membuat orang lebih efektif dalam berkarya di tengah dunia. Doa mendorong kita untuk semakin mengusahakan perkembangan dan pembebasan manusia sepenuhnya, baik secara material maupun spiritual.

Kutipan tersebut menegaskan bahwa hubungan personal antara manusia dengan Allah yang terbina melalui doa akan meningkatkan efektivitas hidup para SFD, serta menjadikan hidup seseorang memiliki dampak positif, baik bagi dirinya maupun bagi sesamanya. Melalui doa, para SFD didorong untuk semakin melibatkan diri dalam karya pembebasan dan penyelamatan sesama. Disadari atau tidak, hidup doa dan karya pelayanan saling mendukung dan menyuburkan. Hidup doa merupakan tiang dan tempat menimba kekuatan bagi pengabdian kepada Tuhan lewat pelayanan kepada sesama.

Penulis, sebagai salah satu anggota Kongregasi Suster Fransiskus Dina (SFD), berusaha terus-menerus mengikuti Yesus seturut teladan dan semangat Santo Fransiskus Asisi, Muder Yohanna Yesus dan pendiri kongregasi dalam hal mendasarkan karya kerasulan pada doa. Santo Fransiskus berusaha keras untuk menyerupakan hidupnya dengan hidup Yesus Kristus sendiri dengan mencintai kemiskinan dan kerendahan hati serta melalui semangat doa yang tak kunjung putus. Santo Fransiskus menyadari bahwa berkat doa, ia dimampukan untuk melihat karya Allah dalam dirinya, serta diteguhkan untuk mengikuti Yesus secara total.

(25)

Doa yang dihidupi oleh ibu pendiri sungguh memberi makna dalam pelayanan dan dalam hidup para suster Peniten Rekolek pada waktu itu. Bagi Muder Yohanna Yesus, doa adalah hal yang wajib dilakukan pada setiap jam doa yang sudah ditentukan dalam aturan komunitas.

Semangat doa yang diwariskan oleh Santo Fransiskus dan Muder Yohanna Yesus dan pendiri SFD menjadi inspirasi yang menjiwai para Suster Fransiskus Dina, sebab doa yang tulus akan mengubah cara pandang para Suster Fransiskus Dina untuk berpikir pada hal-hal yang positif bagi perkembangan kongregasi melalui karya pelayanan. Doa menjadi dasar yang pertama dan utama dalam hidup Para Suster Fransiskus Dina.

Di lain pihak, dalam situasi sekarang ini, penulis melihat dan merasakan, bahwa semangat doa Santo Fransiskus, Muder Yohanna Yesus dan pendiri SFD (Muder Constantia van der Linden) mengalami kemunduran dalam diri para Suster Fransiskus Dina. Waktu-waktu doa yang disepakati dalam komunitas sering dilanggar/tidak ditepati dengan alasan karena tugas pelayanan. Kerap kali doa dianggap hanya sebagai rutinitas saja; bahkan ada yang menjalankan doa karena merasa terpaksa atau bahkan supaya dilihat orang hadir waktu berdoa padahal hati dan pikiran entah kemana-mana. Doa seakan-akan hanya suatu tradisi yang harus dilakukan tanpa ada maknanya.

(26)

karya pelayanan SFD harus dilandaskan pada doa. Sayangnya, keheningan doa sebagai dasar, sering berubah menjadi kegaduhan karya. Akibatnya bisa fatal dan berdampak negatif bagi panggilan, pelayanan dan juga dalam persaudaraan. St. Yohanes dari salib berkata bahwa siapa menjauhi doa, menjauhi segala yang baik.

Berangkat dari keprihatinan tersebut penulis terdorong untuk menyumbangkan suatu pemikiran penting lewat karya tulis ini untuk menemukan kembali makna luhur kehidupan doa yang mendasari karya. Kehidupan doa para SFD turut memengaruhi karya pelayanan mereka. Doa merupakan hal pokok yang perlu mereka hidupi, sebagaimana semangat awal para pendahulunya yang sungguh-sungguh mengutamakan doa dalam hidup mereka. Apabila doa dihayati dengan baik, maka doa akan menjadi daya yang mengembangkan persaudaraan dan karya pelayanan para SFD. Buku Konstitusi SFD (2007 art 31) menegaskan bahwa semua karya para SFD harus ditopang oleh doa, dan dalam segala kebutuhan, doa itu menjadi pernaungan para SFD yang besar.

Dalam rangka penemuan kembali makna hidup doa seperti yang telah diteladankan oleh para pendahulu SFD, maka penulis membuat karya tulis ini

dengan judul: “KAJIAN TERHADAP MAKNA HIDUP DOA DALAM KARYA

PELAYANAN PARA SUSTER FRANSISKUS DINA (SFD)

A. RUMUSAN MASALAH

Secara garis besar penulis merumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam karya tulis ini sebagai berikut:

(27)

2. Unsur-unsur apa saja yang perlu dipahami, dimengerti dan dihayati untuk dapat memaknai hidup doa dalam karya pelayanan para SFD?

3. Apa yang dapat disumbangkan untuk meningkatkan semangat hidup doa dalam karya pelayanan para suster SFD untuk zaman sekarang ini?

B. TUJUAN PENULISAN

1. Menguraikan/menjelaskan pengertian hidup doa dan karya pelayanan dalam hidup kaum beriman /religius.

2. Memaparkan unsur-unsur hidup doa dan karya pelayanan para suster SFD sesuai dengan semangat pelayanan St. Fransiskus dari Asisi dan para suster pendahulu (Muder Yohanna Yesus dan Sr. Constantia van der Linden).

3. Memberikan sumbangan pemikiran bagi para suster SFD dalam usaha meningkatkan doa dalam karya pelayanan.

C. MANFAAT PENULISAN

Adapun manfaat penulisan ini adalah sebagai berikut

1. Memberi masukan kepada tarekat SFD agar semakin memahami dan memaknai betapa pentingnya doa dalam karya pelayanan.

2. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis betapa pentingnya hidup doa dalam karya pelayanan untuk zaman sekarang ini.

3. Menambah wawasan para pembaca tentang makna doa dalam karya pelayanan.

(28)

Metode penulisan skripsi ini menggunakan kajian pustaka dengan metode deskriptif. Penulis mempelajari dan mendalami buku-buku spiritualitas dan hasil kapitel yang diterbitkan oleh kongregasi untuk membantu dan menghayati hidup doa berdasarkan spiritualitas SFD. Dalam penulisan ini penulis memaparkan tentang spiritualitas para suster pendahulu. Artinya supaya setiap anggota kembali kepada semangat awal, bertanggung jawab dalam tugas perutusan dengan meneladani cara hidup para suster pendahulu dan Yesus sebagai pendoa. Penulis juga mengamati, mengalami sendiri bagaimana para suster yang sedang berkarya menghayati hidup doanya kemudian penulis memberi sumbangan kepada para SFD dalam usaha meningkatkan hidup doa supaya seimbang dengan pelayanannya. Selain itu, penulis juga menggunakan buku-buku dari sumber lain yang relevan untuk memperkaya dan memperdalam gagasan-gagasan dan refleksi rohani guna membantu para SFD untuk semakin memaknai hidup doa dalam karya pelayanan para religius.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

(29)
(30)
(31)

BAB II

DOA DAN KARYA PELAYANAN DALAM HIDUP RELIGIUS

Pada bab II ini, penulis akan membahas tentang doa dan karya dalam kehidupan para religius. Pembahasan dimulai dengan menjelaskan doa dalam hidup religius, yang mencakup tentang pengertian doa, fungsi doa, bentuk-bentuk doa, ciri-ciri doa Kristen, persoalan doa dan peran doa dalam hidup religius. Pembahasan dilanjutkan dengan penjelasan mengenai karya pelayanan religius, yang mencakup tentang misi pelayanan religius, pelayanan yang profetis (sebagai nabi) dan macam-macam karya pelayanan religius. Pembahasan selanjutnya ialah mengenai hubungan doa dan karya pelayanan. Juga akan dibahas mengenai praktek doa di tengah-tengah pelayanan religius, peran doa dalam pelayanan religius dan pelayanan sebagai wujud doa.

A. Doa dalam Hidup Religius

Hidup doa para religius merupakan sebuah warisan dari Yesus Kristus. Dalam Injil Markus dikatakan bahwa Yesus mengawali kegiatan-Nya dengan

berdoa. “Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Ia

pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana” (Mrk 1:35). Di tengah-tengah kesibukan-Nya, Yesus tetap menyediakan waktu hening untuk berdoa kepada Bapa-Nya. Yesus sungguh menghayati hidup doa dalam keseharian-Nya.

(32)

untuk Allah dan pelayanan seumur hidup pada sesama. Pelayanan yang dilakukan oleh para religius sungguh terkait dengan hidup doa yang dihayatinya.

Ada beberapa bentuk hidup doa yang bisa dilakukan oleh para religius misalnya; dengan menciptakan waktu hening sejenak, membaca Kitab Suci, merenungkan teks doa dan lain sebagainya. Dalam suasana doa tersebut, para religius diharapkan dengan rendah hati mampu mengungkapkan berbagai suasana hati atau perasaan yang sedang dialaminya. Perasaan tersebut bisa berupa ungkapan syukur, permohonan atau pun kegelisahan. Inilah yang menjadi persembahannya bagi Allah. Di sinilah juga tampak peran serta Allah dalam kehidupan para religius. Dalam doa, setiap religius dengan bantuan Allah, mampu merasakan campur tangan Allah dalam setiap tindakannya. Dengan kata lain, setiap pengalaman hidup manusia akan menjadi bermakna apabila dihubungkan dengan Allah melalui doa.

1. Pengertian Doa

(33)

Doa merupakan bagian hidup keagamaan yang sentral atau penting dalam hidup Kristiani karena merupakan bentuk kerinduan manusia untuk berjumpa dengan Allah (Harjawiyata, 1979: 63-64). Kesatuan relasi antara Allah dan manusia tersebut kemudian tampak nyata dalam pelaksanaan kehendak Allah dalam hidup manusia. Inilah yang dipandang sebagai buah dari doa.

Sebagai bentuk percakapan jiwa manusia dengan Allah, doa dipahami juga sebagai jalan persatuan jiwa manusia dengan Allah. Melalui persatuannya dengan Allah, manusia selanjutnya terdorong untuk melakukan kehendak Allah yang telah memenuhi dirinya (Lukasik, 1991:26). Muder Teresa (1994:13), sebagai salah seorang pribadi yang memiliki kedekatan yang intim dengan Kristus berpendapat bahwa doa adalah penyerahan diri seluruhnya, kesatuan yang menyeluruh dengan Kristus. Melalui doa, setiap orang diajak untuk menyerahkan hidupnya kepada penyelenggaraan Ilahi dan melalui doa, setiap orang secara penuh bersatu bersama dengan Kristus menjalin relasi dengan Allah. Doa dipandang sebagai suatu dorongan hati untuk mengungkapkan pengalaman-pengalaman iman yang menyertai perjalanan hidup keseharian seseorang berhadapan dengan orang-orang di sekitar. Melalui pengalaman tersebut, dia diajak untuk bersyukur kepada Allah.

(34)

(Hendrik, 2003; 3). Dalam hal ini, baik permohonan maupun ungkapan syukur dipandang sebagai jalan untuk berkomunikasi dengan Allah. Manusia mencurahkan isi hatinya kepada Allah dan dalam keheningan mendengarkan sapaan dan jawaban Allah atas pengungkapan hatinya (Agudo, 1988; 176). Doa menjadi lambang kedekatan manusia dengan Allah. Kehadiran-Nya dirasakan ketika doa dipanjatkan dan dialamatkan kepada Allah sendiri (Joice, 1987; 221).

Dalam Konstitusi SFD (Suster-suster Fransiskus Dina) 2007 art 30 disebutkan bahwa doa merupakan cara hidup para suster SFD. “Keyakinan penuh

bahwa Allah adalah dasar penopang hidup dan bahwa Dia adalah basis yang diandalkan oleh persekutuan kita, membutuhkan bentuk ungkapan yang nyata, karena itu doa pribadi dan bersama pada hakekatnya termasuk cara hidup kita”.

Apa yang tertulis dalam artikel ini, selanjutnya ditegaskan lagi dalam artikel no. 34: “Pada waktu pagi dan malam kita berkumpul untuk menghaturkan puji dan syukur bagi Tuhan dan membawa kebutuhan kita sendiri dan kebutuhan semua orang ke hadapan-Nya. Dalam doa berkala tersebut, kita mengindahkan tradisi doa yang berabad-abad, dan mendengarkan apa yang sekarang ini hendak disampaikan Tuhan kepada kita”. Kedua artikel ini ingin menyatakan bahwa bagi para suster SFD, doa merupakan suatu bentuk keyakinan penuh dan kepercayaan bahwa Allah adalah dasar, pusat dan penopang kehidupan setiap hari.

(35)

dunia dalam karya penyelamatan-Nya. Di dalam doa, kita dituntut untuk senantiasa membangun relasi yang intim dengan Allah. Dengan demikian, doa akhirnya dipandang sebagai ungkapan kerinduan atau cinta manusia kepada Allah dan hidup di hadirat-Nya (Darminta, 1982; 49).

Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa doa merupakan suatu perjumpaan pribadi manusia dengan Allah. Perjumpaan itu menjadi kekuatan bagi manusia untuk mengubah dan mengolah hidupnya. Selain itu, doa juga dimengerti sebagai kebiasaan untuk menjalin relasi dengan Tuhan.

Doa dilakukan secara sadar dan dalam bimbingan Roh Kudus. Komunikasi yang terjalin antara manusia dengan Allah merupakan hakikat dari doa. Dari pihak Allah, Allah sendiri selalu berusaha menyapa manusia terlebih dahulu dan mengajak manusia untuk selalu bersatu dengan-Nya. Sementara itu, sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah, manusia berusaha untuk memohon, memuji, memuliakan Allah, menyerahkan diri pada-Nya dan menjawab sapaan Allah lewat pengalaman hidupnya.

2. Fungsi Doa

(36)

manusia. Hal ini mau menunjukkan bahwa dalam diri manusia ada kemampuan dan kemungkinan untuk berdoa mengembangkan hidup rohani dengan mempersatukan diri dengan Allah. Dengan demikian doa berfungsi sebagai penuntun dalam hidup manusia termasuk para religius (Darminta, 1983:29-30).

Doa tidak terpisahkan dari realita kerohanian manusia yang berhadapan dengan Allah. Doa berfungsi sebagai pengubahan rohani (transformasi) hidup dalam diri manusia yang dilandasi oleh iman yang realistis tahu akan “tanah” hati

sendiri, sehingga mampu membentuk kesadaran yang mendalam atas inti dan makna hidup manusia dengan Allah. Di sini Allah tampak sebagai suatu kekuatan yang memberi religius tanggung jawab untuk mengarahkan hidupnya kepada Allah, supaya semakin mengenal, dan bersatu dengan-Nya (Darminta, 1983:61-63).

Kekuatan dan semangat diperoleh dari doa. Dalam doa terdapat seribu macam jawaban atas apa yang dialami dan dipikirkan manusia. Pengalaman akan Allah dalam hidup membuat manusia semakin dewasa dalam mengatur, menata pribadi dan hidup manusia baik internal maupun eksternal. Fungsi doa mengungkapkan cinta, kepercayaan dan harapan kita dengan Tuhan. Doa menjadi penggerak dalam setiap langkah hidup religius. Dalam hal ini dapat dilihat bagaimana doa itu berfungsi dalam diri para religius yang memampukan mereka melihat dimensi baru dalam hidupnya. Di dalam doa-doanya, terpancar kasih Allah yang tidak berkesudahan.

(37)

Bentuk-bentuk doa dapat dilihat dari subyek dan cara mendoakannya. Bentuk doa dilihat dari cara mendoakannya dibagi menjadi tiga bentuk yaitu; doa lisan, doa renung, dan doa batin.

a. Doa Lisan

Doa lisan merupakan ungkapan spontan yang diungkapkan, sama seperti Yesus mengajar para murid-Nya tentang doa yang hendak disampaikan kepada Bapa. Kristus mengajar murid-murid-Nya dengan doa lisan yang bermakna dan menyentuh hati para murid ketika Dia mendoakannya. Doa itu ialah Doa Bapa Kami (KGK, 1995:2701). Dalam doa-Nya, Yesus menggunakan sebutan Bapa untuk menyapa Allah. Jika dilihat dari latar belakang doa dan hidup Yesus, sebutan ini mengungkapkan hubungan dan kedekatan Yesus dengan Bapa-Nya. Dengan meniru tindakan Yesus, yaitu dengan menyebut Allah sebagai Bapa, manusia dapat sepenuhnya menggantungkan dirinya pada kuasa Allah. Tujuan Yesus dalam mengajarkan para murid dengan menyebut Allah sebagai Bapa ialah untuk mengembalikan manusia ke dalam hubungan yang intim dengan Allah, yang telah dirusak oleh Adam.

(38)

b. Doa Renung

Doa renung biasa juga disebut sebagai doa hening. Dasar dari doa renung ialah pencarian kehendak Allah dalam Sabda-Nya. Doa renung atau doa hening bertujuan untuk mengajak kaum religius masuk dalam penyadaran diri dan merasakan campur tangan Tuhan dalam hidup sehari-hari. Penyadaran tersebut dapat dilakukan dengan merenungkan ayat-ayat Kitab Suci yang cocok atau menyentuh, teks-teks liturgi pada hari yang bersangkutan atau pun memandang ikon/gambar kudus. Doa renung disebut juga dengan meditasi, karena dalam meditasi, si pendoa dibawa masuk dalam keheningan yang sungguh-sungguh supaya benar-benar mampu menemukan dan menjawab apa yang dikehendaki Allah dalam dirinya.

Dalam keheningan, si pendoa diajak untuk bersatu dengan Allah. Dalam artian ini, keheningan batin perlu diperhatikan dan dijaga supaya si pendoa benar-benar bisa menemukan rencana Allah, melepaskan segala keterikatan dan keegoisan yang membuat diri larut dalam khayalan atau pikiran yang mengacau. Harapannya ialah bahwa dalam keheningan, kita dapat berbicara dengan Allah dari hati ke hati. Melalui cara inilah, para religius akan dengan mudah bermeditasi

tentang “misteri Kristus” dalam hidup manusia sejati (KGK; 1995: 2705-2708).

c. Doa Batin

Santa Theresia dari kanak-kanak Yesus menuliskan, “Doa batin tidak lain dari suatu pergaulan yang sangat ramah, di mana kita sering kali berbicara seorang diri dengan Dia, tentang siapa Dia, dan kita tahu bahwa Ia mencintai kita” (KGK,

(39)

1:7; 3: 1-4). Kita mencari Dia, karena secara rohani, hati kita rindu kepada-Nya. Kerinduan inilah yang menjadi awal cinta kasih kepada-Nya. Kita mencari Dia dalam iman yang murni, dan dalam iman juga kita dilahirkan dari Dia dan hidup di dalam Dia. Dalam doa batin, seluruh pandangan hidup kita diarahkan sepenuhnya kepada Tuhan.

Oleh karena menekankan kedekatan dengan Tuhan, maka doa batin, secara langsung membantu religius untuk menemukan campur-tangan Allah dalam hidupnya. Doa batin dapat diibaratkan sebagai doa seorang anak Allah, doa seorang pendosa yang dosanya sudah diampuni dan menghendaki supaya menerima cinta kasih Allah. Melalui doa batin, si pendoa merasa dicintai dan terdorong untuk membalasnya dengan cinta kasih yang lebih besar lagi. Akan tetapi, dia mengetahui bahwa cinta kasih balasannya itu berasal dari Roh Kudus, yang mencurahkannya ke dalam hatinya, karena segala-galanya ialah rahmat Allah. Doa batin berarti penyerahan diri secara rendah hati kepada Bapa Yang penuh cinta, dalam persatuan yang semakin dalam dengan Putera terkasih-Nya. (KGK, 1995: 2712).

Dalam doa batin, yang terpenting ialah mendengarkan Sabda Allah, merenungkan dan memandang Yesus dengan penuh iman dan mencintai-Nya tanpa banyak kata. Santa Teresa dari Avila berkata bahwa yang terpenting dalam doa bukanlah berkata banyak, tetapi mencintai banyak.

Doa batin adalah puncak doa, karena di dalamnya Allah mempersatukan kita dengan kekuatan Roh-Nya, supaya “manusia batin” diperkuat di dalam diri setiap manusia, sehingga Kristus tinggal di dalam hati manusia oleh iman, dan

(40)

dalam kasih dibutuhkan Roh Tuhan di dalam batin hingga si pendoa dikuatkan dan diteguhkan menurut kekayaan kemuliaan-Nya, mengijinkan Kristus tinggal dalam hati dan menguasai seluruh bidang kehidupannya, dan memahami serta mengenal kasih Kristus. Oleh karena itulah dalam doa batin tidak dibutuhkan kata-kata yang panjang lebar, melainkan suasana hening untuk merenung (Hetu, 2007:29-31)

Katekismus Gereja Katolik memberikan cara atau langkah untuk masuk dalam doa batin. Adapun langkah itu dijelaskan sebagai berikut: di bawah dorongan Roh Kudus, kita “mengarahkan” hati dan seluruh diri kita, hidup dengan

penuh kesadaran dalam kediaman Tuhan, dan menghidupkan iman untuk masuk ke hadirat-Nya yang menantikan kita. Dalam proses ini, kita diajak untuk membuka topeng kita dan mengarahkan kembali hati kepada Tuhan yang telah mencintai kita dan menyerahkan diri kepada-Nya (KGK, 1995:2711 ).

4. Ciri-ciri Doa Kristiani

Yesus pernah bersabda kepada para murid-Nya, “Jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu, dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Dia akan membalasnya kepada-Mu” (Mat 6:6). Melalui perkataan ini, Yesus ingin menyampaikan kepada para pengikut-Nya bagaimana cara berdoa. Yesus menyebutkan sejumlah ‘kriteria’ atau ciri yang hendak

dilakukan ketika berdoa. Dalam berdoa dibutuhkan sikap dan kesungguhan hati yang mendalam. Doa orang Kristen hendaknya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

(41)

Doa Kristen selalu bergerak dalam dua lingkup; lingkup obyektif yang berarti masuk dalam hidup Kristus dan lingkup subyektif yang berarti bahwa doa itu digerakkan oleh rahmat-Nya. Dalam hal ini, Roh Kudus sendirilah yang mempertemukan kedua lingkup itu menjadi satu realita hidup. Roh Kudus itu pula yang mengarahkan manusia kepada Allah Bapa. Doa kepada Allah Bapa itu berasal dari Bapa dan menuju kepada Bapa (Ef 1:4-14). Allah Bapa merupakan sumber kehidupan, segala kebaikan sekaligus tujuan akhir dari kerinduan manusia (Darminta, 1982; 21).

Doa kepada Allah Bapa ini juga merupakan suatu bentuk ungkapan syukur sekaligus harapan atas tindakan Allah (Bapa) yang mau menyelamatkan manusia melalui Yesus Kristus Putera-Nya dalam Roh Kudus. Hal ini dihadirkan dan dinyatakan dalam bentuk doa yang dialamatkan kepada Allah Bapa. Doa berarti pengangkatan, penyerahan, pengungkapan hati manusia kepada kehendak Allah, agar manusia mengalami kemerdekaan sebagai anak-anak Allah (Darminta, 1983: 23).

Dalam arti tertentu, doa kepada Allah Bapa merupakan sebuah bentuk sapaan yang intim antara Bapa dengan Anak, yang tidak dapat dipisahkan melainkan suatu kesatuan yang utuh. Berkat Yesus yang menyebut Allah sebagai Bapa-Nya, kita juga ikut dipersatukan atau diikutsertakan dalam keputeraan-Nya, sehingga setiap orang (Kristen) disebut sebagai anak Allah (Bapa) juga.

b. Doa dalam Nama Yesus

(42)

Yesus. Yesus menghendaki agar doa dalam nama-Nya dilandasi oleh semangat cinta Kasih. Tanpa cinta kasih doa tidaklah bermakna.

Sebagai seorang religius yang mau hidup selaras dengan Kristus, seseorang perlu menekuni apa yang dikehendaki-Nya seperti ditulis dalam Kitab Suci. “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul

salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk 9:23). Mengikut Yesus berarti menyesuaikan dan menyatukan pilihan hidup religius dengan pilihan-Nya dan menghidupi nilai-nilai yang Ia wariskan. Dalam hal ini, doa dalam nama Yesus mengungkapkan kesatuan orang Kristen dengan Yesus Kristus. Orang-orang Kristen selalu berdoa dengan menyebut nama Yesus Kristus (Kis 7:59; 9:14). Mereka berkumpul dalam nama Yesus dan berdoa dalam nama-Nya. Yesus ada di tengah-tengah mereka (Mat 18:20). Dengan demikian, sebagai pengikut Kristus, seorang religius perlu menghayati hidup doa sebagai kesatuan iman dengan Yesus Kristus (Darminta, 1982: 20).

c. Doa dengan Pengantaraan Yesus Kristus

(43)

kesatuan dengan-Nya. Oleh karena itu, sebagai pengikut Yesus, orang Kristen perlu menyatukan diri dengan Allah melalui Yesus Kristus sebagai penyelamat dunia.

Keberadaan Yesus sebagai pengantara merupakan sebuah amanat yang pernah disampaikan oleh Yesus sendiri. Dia berkata, “Di luar Aku, kamu tak dapat

berbuat apa-apa” (Yoh 15: 5). Ia adalah satu-satunya jalan untuk sampai pada Allah (Yoh 14: 6). Itulah sebabnya, dalam setiap doa termasuk doa-doa dalam perayaan Ekaristi (doa pembuka, persiapan persembahan, sesudah komuni) atau pun doa-doa pribadi lainnya, Yesus disebut sebagai pengantara. Hal ini diungkapkan dengan jelas dalam perumusan, “Kami menghaturkan doa ini dengan

pengantaraan Yesus Kristus Juru Selamat kami” (KWI, 2005: 61). Rumusan ini

menjelaskan identitas Yesus sebagai pengantara. Yesus bertindak sebagai utusan Bapa yang menyelamatkan manusia dari dosa (KWI, 1996: 196).

d. Doa dalam Roh Kudus

(44)

yang dicurahkan atas diri mereka masing-masing, sehingga mereka berani untuk bersaksi tentang kebangkitan Yesus.

Dalam Surat Rasul Paulus kepada umat di Roma (8: 26-27) dikatakan; Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita: sebab kita tidak tahu, bagaimana harus berdoa: tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan. Dan Allah yang menyelidiki hati nurani, mengetahui maksud Roh itu, yaitu bahwa Ia, sesuai dengan kehendak Allah, berdoa untuk orang-orang kudus.

Orang-orang Kristen termasuk para religus diminta untuk selalu tekun berdoa dalam Roh Kudus, sebab Roh Kudus adalah Roh Kristus dan jiwa dari tubuh mistik-Nya, yaitu Gereja. Roh Kudus membantu untuk menyempurnakan doa yang dipanjatkan kepada Allah. Ia mempersatukan kita dengan Kristus, dan dalam Kristus satu dengan yang lainnya (Jacobs, 1988: 119).

Sebagaimana telah dijelaskan, seorang religius tidak lepas dari doa, sebab dalam doa, orang menerima kekuatan yang tidak pernah habis. Kekuatan itu berasal dari Roh Kudus. Kekuatan bisa bertahan apabila Roh Allah menjadi penggerak di dalamnya. Roh Kudus membimbing seorang religius agar sadar akan hidupnya secara mendalam. Roh Kudus membimbing dan mengajar religius dalam menanti saat terjadinya keselamatan (Darminta, 1983: 22). Oleh karena itu agar sampai pada penghayatan doa, dibutuhkan suatu pengosongan diri dan sikap keterbukaan akan datangnya Roh Kudus dalam dirinya. Dengan demikian, seluruh gerak dan langkah hidup religius selalu diprakarsai oleh Roh Kudus.

5. Persoalan dalam Doa

(45)

menyebabkannya. Persoalan-persoalan tersebut bisa muncul karena banyaknya pekerjaan, pergulatan atau masalah pribadi, kesulitan untuk hening, tempat berdoa kurang nyaman, dan lain sebagainya. Kejadian-kejadian seperti ini perlu diperhatikan dan disadari supaya doa tidak menjadi sesuatu yang sulit dihidupi, melainkan suatu ungkapan cinta yang menggembirakan dan menyenangkan untuk berjumpa dengan Allah.

a. Kesukaran-kesukaran Doa

Setiap orang mempunyai pengalaman yang berbeda-beda dalam menghadapi kesukaran dalam berdoa. Banyaknya pikiran atau pekerjaan terkadang bisa menyulitkan si pendoa untuk masuk dalam suasana doa yang tenang. Tidak jarang juga banyaknya pikiran dan juga pekerjaan sering mengganggu kita dalam berdoa, sehingga yang muncul bukanlah ketenangan melainkan kekhawatiran. Secara khusus, kekhawatiran di sini lebih dipandang sebagai ketidakmampuan serta kekurangberanian si pendoa menenangkan pikirannya. Dia lebih memberikan dirinya dikuasai oleh pikiran-pikiran yang tidak membangun dalam berdoa.

Dalam arti tertentu, orang sulit berdoa karena jiwa dan badannya dirasa belum terintegrasikan atau menyatu sepenuhnya (Darminta, 1983: 50). Dia kurang sadar bahwa doa itu membutuhkan ketenangan batin. Dia masih mengikuti kecenderungan-kecenderungan pribadi yang tidak mendukung dalam berdoa.

Dalam Katekismus Gereja Katolik disebutkan, “kita juga harus menghadapi

sikap-sikap mental “dunia ini”, kalau tidak berjaga-jaga, sikap itu akan merembes masuk

ke dalam kita” (KGK, 1995: 2727). Doa seringkali juga dipersulit oleh pikiran

(46)

kata-kata (KGK, 1995: 2729). Penyebab kesulitan lainnya ialah mengenai ‘kekeringan’ yang dialami. Kekeringan ini, dalam doa batin, terjadi oleh karena hati kita seakan-akan terpisah dari Allah dan tanpa kerinduan seakan-akan pikiran, kenangan dan perasaan rohani (KGK, 1995: 2731).

Sebagai religius yang selalu memperhatikan hidup doa, penyebab atau sumber dari kesukaran-kesukaran tersebut perlu disadari. Tanpa penyadaran, kesukaran dalam berdoa tersebut bisa melumpuhkan si pendoa (seorang religius) dan bahkan membuat putus asa karena dalam doa, dia seolah-olah “tidak

menemukan” apa-apa. Untuk mengatasi kesukaran tersebut, seorang religius perlu

meninggalkan kecenderungan-kecenderungan yang tidak membangun dalam kehidupan rohani religius. Kedewasaan diri dalam bersikap dan bertindak sangat membantu untuk keluar dari kesukaran tersebut. Dibutuhkan kerja keras dan juga kreativitas pribadi dalam mendisiplinkan diri serta membagi waktu dan mencari keheningan dalam berdoa, serta terus berusaha dan berjuang dalam doa.

b. Pergumulan dalam Doa

(47)

Berhadapan dengan situasi di atas, pada dasarnya ada satu jalan yang kiranya bisa membuat si pendoa berhasil mengalahkan pergumulan-pergumulan dalam doa tersebut. Si pendoa dianjurkan untuk berani menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, termasuk pergumulan yang dialaminya. Penyerahan diri tersebut, juga dapat dipandang sebagai persembahannya kepada Allah, dan dapat membantu para religius menghadapi serta mengurangi kesulitan-kesulitan dalam hidup doa. Kepasrahan diri seutuhnya, yang dibarengi dengan ketekunan dalam keheningan batin, dapat memperkuat kesatuannya dengan Allah (Breemen, 1983: 66). Kesadaran semacam ini, secara tidak langsung mengajak si pendoa kembali untuk ‘mencari’ Allah sebagai sumber hidupnya.

6. Peran Doa dalam Hidup Religius

Doa selalu dihubungkan dengan jalinan hubungan antara Allah dan manusia, maka, doa selalu bersifat rohani. Doa menjadi salah satu lambang pertumbuhan dan perkembangan rohani setiap orang (Darminta, 1983: 86). Perkembangan hidup rohani religius berhubungan langsung dengan jalinan relasi bersama Allah. Allah menjadikan hidup rohaninya bertumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu sehingga semakin mendalam.

Dalam kehidupan religius doa memegang peranan penting untuk menata kelangsungan dan keutuhan dalam perjalanan hidupnya. Para religius mengakui ketergantungan hidupnya kepada Allah sehingga mampu mengagumi ciptaan-Nya dan kebaikan Allah dalam hidupnya. Melalui doa para religius mengungkapkan

(48)

tersebut para religius semakin sadar akan tugas dan tanggung jawabnya kepada Tuhan dan sesama.

Doa juga berperan dalam menghadapi masalah atau persoalan dalam kehidupan religius. Dalam injil Matius 11: 28-30 disebutkan

Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan.

Di sini Yesus mengajak para religius untuk mau diikat dengan kuk bersama Dia untuk menyatukan hidup kita dengan hidup-Nya, kehendak kita dengan kehendak-Nya, dan hati kita dengan hati-Nya. Diikat dan disatukan dengan Yesus artinya bersatu dengan Dia dalam hubungan cinta, kepercayaan, dan ketaatan di dalam doa. Jadi tidak ada beban yang terlalu berat jika dipanggul dengan kasih dan dibawa dalam cinta. Oleh sebab itu peran doa dalam hidup religius sangat penting.

a. Doa Berakar dalam Hidup Religius

(49)

campur tangan Allah dalam setiap bentuk kehidupan. Dalam Kisah Para Rasul disebutkan bahwa Allah tidak jauh dari umat-Nya. “Dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada” (Kis 17:27-28). Setiap peristiwa selalu berbicara tentang tindakan Allah, dan para religius diharapkan mampu untuk mengenal dan mendengarkan Dia.

Melalui doa, seorang religius dapat dibantu untuk memandang secara positif segala kenyataan yang terjadi, menyadari cinta dan bimbingan Allah dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam kesusahan sekali pun. Dalam doa, setiap religius membiarkan diri dicintai oleh Allah. Dia dapat merasakan kehadiran Allah dalam diri orang lain. Dalam doa, seorang religius bertindak sebagai penerima rahmat, karunia, dan bimbingan Allah dengan hati terbuka di hadapan-Nya. Keterbukaan hati ini membuat para religius membiarkan dirinya dicintai oleh Allah.

b. Hidup Berakar dalam Doa

(50)

Pengalaman jatuh bangun dalam menjalin relasi dengan Allah tentu dialami oleh setiap manusia termasuk religius. Untuk membina hubungan dengan Allah dibutuhkan perjuangan dan niat dari diri sendiri untuk bangkit lagi bila jatuh. Dalam doa, seseorang tekun mengisi diri dalam keheningan untuk menemukan Tuhan dalam hidupnya. Dia menyadari bahwa Allah selalu setia kepada umat-Nya. Oleh karena itu, dalam situasi apa pun, seseorang juga dituntut untuk tetap setia kepada Dia. Dalam kesetiaan inilah tampak kehadiran Allah yang nyata (Breemen, 1983: 64). Seorang religius menjadi tanda kehadiran Allah bagi orang lain melalui kesaksian hidupnya sebagai buah dari doanya. Hidup yang berakar dalam doa dapat dirasakan melalui pelayanan para religius kepada orang lain.

A. Karya Pelayanan Religius

Pada dasarnya, hidup religius ditandai dengan kaul-kaul dan hidup bersama yang merupakan saksi kehidupan dalam tubuh Gereja di dunia. Kehadiran tarekat religius bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk mengembangkan Gereja di dunia. Hidup religius ikut ambil bagian dalam tugas Gereja, yakni menyebarkan iman dan memperjuangkan keadilan bagi orang yang lemah dan tertindas. Para religius menghadirkan cinta melalui karya pelayanan terhadap masyarakat. Dasar dari pelayanan itu adalah bahwa hidup religius merupakan hidup yang mengikuti Kristus, yaitu hidup bersama Yesus dan hidup berjuang bersama Yesus (Darminta, 1982: 25).

(51)

Setiap religius mempunyai tanggung jawab dan kewajiban dalam membangun keutuhan ciptaan Allah. Dengan kewajiban tersebut, semua orang mempunyai tanggung jawab masing-masing dalam melayani dan memperhatikan orang yang lemah. Keadilan dalam dunia sekarang ini mulai mengendor, sebab sikap mementingkan diri sendiri semakin tinggi. Tingginya perhatian kepada diri sendiri secara langsung akan mengurangi semangat pelayanan dalam diri seseorang.

Dalam Gaudium et Spes dikatakan: “Keadilan yang lebih sempurna, persaudaraan yang lebih luas, cara hidup sosial yang lebih manusiawi, semua itu

lebih berharga dari pada kemajuan di bidang tehnologi” (GS, art 35). Ini

dimaksudkan untuk menyadarkan manusia, bahwa sebagai mahluk sosial dia dipanggil untuk melakukan kegiatan yang terarah kepada kehidupan yang lebih manusiawi. Bila dia bekerja, dia bukan hanya mengubah hal-hal tertentu dalam masyarakat, melainkan ikut juga menyempurnakan dirinya sendiri. Ia banyak belajar dalam mengembangkan bakat dan kemampuannya, serta berani keluar dari dirinya (melampaui diri). Semuanya itu dilakukan demi sebuah misi atau pelayanan bagi sesamanya. Pengembangan diri dan bakat-bakatnya pertama-tama bukan digunakan demi kemuliannya semata, tetapi demi membantu orang lain ‘keluar’ dari persoalan hidupnya. Hal ini tentu terkait dengan hakikat manusia

sebagai makhluk sosial. Demikian juga, misi dan pelayanan para religius ditujukan pertama-tama pada pengabdiannya kepada sesamanya, bukan kepada dirinya.

Dalam Injil Lukas, Yesus berkata, “Apabila kamu telah melakukan segala

(52)

lakukan” (Luk 17: 10). Hal ini menegaskan keberadaan para murid Kristus yang harus hadir untuk melayani. Pelayanan yang dilakukan bukan sesuatu yang sangat istimewa melainkan pengorbanan dan perjuangannya sebagai pengikut Kristus (KWI, 1996: 450). Melayani berarti mengikuti dan meneladani jejak Kristus yang melayani dengan penuh ketulusan dan rela mengorbankan diri-Nya demi sesama-Nya.

2. Pelayanan yang Profetis

Gereja mengakui dan menyadari bahwa manusia termasuk para religius tidak sendirian di dunia untuk mewartakan keselamatan. Melainkan, Gereja mengharapkan ada pihak-pihak lain baik dalam Gereja maupun di luar Gereja yang melayani dengan tulus. Pelayanan profetis/kenabian secara hakiki bersifat terbuka bagi siapa saja.

Gereja menyadari bahwa pelayanan kenabian ini dapat juga mengalami ketidaksempurnaan sebagaimanan yang diharapkan, maka perlu membuka diri terhadap kritik dan tanggapan, entah dari berbagai pihak supaya arah pelayanan kenabiannya jelas. Pelayanan profetis ini dipahami sebagai sumbangan untuk berpartisipasi dalam usaha memajukan masyarakat dan Gereja (Dopo, 1992: 38-40).

Pelayanan yang dilakukan oleh para religius kerap dihubungkan dengan sikap untuk meneladani Yesus Kristus, Sang Guru. Salah satu tanggapan khalayak ramai ketika menyaksikan apa yang diperbuat Yesus ialah, “seorang nabi besar

(53)

16). Dia kemudian dikenal sebagai nabi, dan Yesus tidak keberatan jika orang banyak menyebut diri-Nya sebagai nabi.

Nabi adalah seorang utusan Allah yang mewartakan keselamatan dari Allah, membawa pembebasan, dan melepaskan orang-orang yang terbelenggu kesusahan dan kesengsaraan (Darminta, 1994; 31). Dalam konteks situasi sekarang, tampilnya para nabi sebagai penyambung lidah Allah, tampak dalam karya pelayanan yang mereka lakukan. Mereka berkarya demi kesejahteraan hidup manusia dan keadilan bagi mereka yang menjadi korban seperti para pengungsi, kelompok-kelompok minoritas dan tertindas. Dalam hal ini, para religius dan tokoh-tokoh Gereja Katolik, melalui pelayanan sosial mereka, bisa disebut sebagai nabi yang hadir dan berkarya sebagai penyambung lidah Allah, mewartakan Kerajaan Allah dan keselamatan-Nya.

3. Macam-macam Karya Pelayanan

Katekismus Gereja Katolik (1995: 777) merumuskan Gereja sebagai

“himpunan orang-orang yang digerakkan untuk berkumpul oleh Firman Allah,

(54)

a. Liturgi

Liturgi berarti ikut serta dalam perayaan ibadat resmi yang dilakukan Yesus Kristus dalam Gereja-Nya kepada Allah Bapa. Ini berarti mengamalkan tiga tugas pokok Kristus sebagai Imam, Guru dan Raja. Dalam kehidupan menggereja, peribadatan menjadi sumber dan pusat hidup beriman. Melalui bidang karya ini, setiap anggota menemukan, mengakui dan menyatakan identitas Kristiani mereka dalam Gereja Katolik. Partisipasi aktif umat beriman dalam bidang ini diwujudkan dalam memimpin perayaan liturgis tertentu seperti: memimpin ibadat Sabda/doa bersama; membagi komuni; menjadi: lektor, pemazmur, organis, mesdinar, paduan suara, penghias altar dan sakristi; dan mengambil bagian secara aktif dalam setiap perayaan dengan berdoa bersama, menjawab aklamasi, bernyanyi dan sikap badan.

b. Pewartaan

Pewartaan berarti ikut serta membawa kabar gembira bahwa Allah telah menyelamatkan dan menebus manusia dari dosa melalui Yesus Kristus, Putera-Nya (RM, 39). Melalui bidang karya ini, para religius diharapkan dapat membantu Umat Allah untuk mendalami kebenaran Sabda Allah, menumbuhkan semangat untuk menghayati hidup berdasarkan semangat Injil, dan mengusahakan pengenalan yang semakin mendalam akan pokok iman Kristiani supaya tidak mudah goyah dan tetap setia. Ensiklik (RM, 43) menegaskan:

(55)

Kehadiran para religius diharapkan turut serta dalam mewartakan Injil Yesus Kristus. Beberapa karya yang termasuk dalam bidang ini, misalnya: pendalaman iman, katekese para calon baptis dan persiapan penerimaan sakramen-sakramen lainnya.

c. Persekutuan

Persekutuan berarti ikut serta dalam persekutuan atau persaudaraan sebagai anak-anak Allah dengan pengantaraan Kristus dalam kuasa Roh Kudus-Nya. Sebagai orang beriman, kita dipanggil dalam persatuan erat dengan Allah Bapa dan sesama manusia melalui Yesus Kristus, Putera-Nya, dalam kuasa Roh Kudus. Bidang karya ini, dapat menjadi sarana untuk membentuk jemaat yang berpusat dan menampakkan kehadiran Kristus (RM, 26). Oleh karena itu, para religius diharapkan dapat menciptakan kesatuan: antar umat, umat dengan paroki/keuskupan dan umat dengan masyarakat. Paguyuban ini diwujudkan dalam menghayati hidup menggereja baik secara territorial (keuskupan, paroki, stasi /lingkungan, keluarga) maupun dalam kelompok-kelompok kategorial yang ada dalam Gereja.

d. Pelayanan

(56)

dibutuhkan adanya kerjasama dalam kasih, keterbukaan yang penuh empati, partisipasi dan keikhlasan hati untuk berbagi satu sama lain demi kepentingan seluruh jemaat (bdk. Kis 4: 32-35). Dasar pelayanan dalam Gereja adalah semangat pelayanan Kristus sendiri yang bertujuan demi kebaikan dan kebahagiaan umat pilihan-Nya.

Diakonia harus bersifat melupakan diri sendiri, yang berarti bahwa ia akan membantu setiap orang yang berada dalam kekurangan. Kehadiran para religius bergerak dalam berbagai bidang: bidang kebudayaan; bidang pendidikan: bidang kesejahteraan: bidang kesehatan: bidang politik dan hukum dan lain sebagainya (Conterius, 2001: 94-96).

e. Kesaksian

(57)

B. Hubungan Doa dan Karya Pelayanan

Doa dan karya merupakan dua hal yang akrab dalam hidup para religius. Hidup doa merupakan simbol keterbukaan hati dan jiwa kepada karya keselamatan; kepada rahmat Allah dan kekuatan-Nya. Sementara itu, karya pelayanan sendiri didasarkan pada kelekatan hati manusia kepada Allah dan karya-Nya (Darminta, 1982; 51-52). Dengan kata lain, hidup doa dan karya pelayanan dihubungkan dengan relasi terhadap sesama. Karya pelayanan merupakan buah atau hasil dari hidup doa. Hidup doa dan karya pelayanan seorang religius perlu diseimbangkan. Keduanya tidak boleh dipisahkan karena doa dan karya merupakan satu kesatuan. Dalam doa, para religius mampu mengarahkan diri kepada persatuan dengan Tuhan. Persatuan dengan Tuhan akan terlaksana apabila religius melaksanakan kehendak Allah yang menyelamatkan, sebab doa mengarahkan manusia kepada karya keselamatan Allah dalam Gereja. Dengan demikian, doa dan karya pelayanan merupakan satu kesatuan dalam memahami kehendak Allah dalam karya keselamatan (Darminta, 1982: 51-52).

1. Praktek Doa di Tengah-tengah Pelayanan

(58)

meluangkan waktu secara teratur dan penuh kesadaran. Dalam hal ini, hidup doa perlu disadari kegunaannya, terutama dalam hal pemeriksaan batin supaya motivasi pelayanan yang dilakukan senantiasan dimurnikan.

Tujuan dari doa dalam kehidupan para religius ialah melaksanakan kehendak Allah. Oleh karena itu, sangat penting bahwa para religius membina hidup doa terus-menerus untuk mendukung karya pelayananya. Kedalaman doa seorang religius akan terbukti juga dalam karya pelayanannya. Karena pelayanan yang sungguh-sungguh disertai dengan doa, tentu akan membawa keselamatan bagi banyak orang. Kesatuan antara doa dan karya pelayanan dapat terjadi apabila pelayanan yang dilakukan itu dilandasi oleh iman, pengharapan dan cinta kepada Allah.

2. Peran Doa dalam Pelayanan Religius

Apabila seorang religius melakukan tugas pelayananya hanya sekadar mengejar prestasi, ia hanya akan menjadi hamba dari karyanya. Tidak jarang juga ditemukan bahwa ada banyak religius yang bekerja dengan rela membaktikan diri dalam tugas sehari-hari, sehingga tidak memiliki waktu istirahat untuk hening dan berdoa. Di sisi lain, ada juga religius yang melakukan karya pelayanannya hanya sebagai rutinitas saja, tanpa ada usaha untuk memajukan karya tersebut.

(59)

doa itu sendiri. Oleh karena itu, tiap-tiap orang harus bertanggung jawab atas karya dan doa serta pengaturannya (Darminta, 1982: 54-55).

Dengan kata lain, doa berperan sebagai penggerak seluruh pelayanan para religius. Dalam keadaan apa pun, mereka perlu menyempatkan diri untuk merenung, meluangkan waktu untuk berdoa dan berefleksi di sela-sela pekerjaannya. Keseriusan dalam doa di tengah-tengah karya pelayanan akan membantu para religius menemukan kehendak Allah dalam karya pelayanannya.

Dalam Perjanjian Lama, kita bisa menemukan tokoh-tokoh yang tekun berdoa dalam melakukan tugas mereka; misalnya, Nabi Musa, Elia, Yeremia, dan nabi-nabi yang lain. Hidup dan karya mereka selalu disertai dengan doa. Sedangkan dalam Perjanjian Baru, yang menjadi teladan pendoa ialah: Bunda Allah dan Yesus Kristus. Mereka mengajarkan supaya setiap orang berjuang melawan diri sendiri dan godaan setan yang melakukan segala cara untuk mencegah supaya hubungan manusia dengan Tuhan tidak terwujud (KGK, 1995: 2725).

Beberapa teladan pendoa, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, membantu si pendoa bagaimana berdoa dengan baik. Mereka berdoa dengan caranya masing-masing dan percaya bahwa Allah akan mendengarkan dan mengabulkan doanya. Religius yang mengabdikan diri untuk Tuhan dapat meneladani pendoa-pendoa tersebut sehingga dalam tugas pelayanan menghasilkan buah yang berlimpah.

(60)

Pengalaman hidup para religius yang dijiwai dengan doa akan berdampak pada karya-karya pelayanan yang sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah. Hidupnya akan menjadi bagian dari doanya dan doa menjadi kekuatan di dalam hidupnya, sehingga mampu melaksanakan kehendak Allah dalam hidup bersama maupun dalam karya pelayanannya (Darminta, 1997: 22-27).

Doa mengarahkan setiap orang kepada persatuan dengan Allah, dan dari kesatuan ini lahirlah cinta kepada sesama. Hidup doa merupakan ungkapan cinta manusia kepada Tuhan dengan tiada batasnya. Setiap manusia mempunyai kerinduan untuk hidup bahagia dalam hadirat Allah dan bersatu dengan Allah. Kerinduan tersebut akan terwujud dengan melaksankan kehendak Allah dengan penuh cinta kasih. Cinta kasih itu diungkapkan melalui pelayanan manusia kepada Allah sehingga menjadi sarana untuk mengabdikan diri kepada Tuhan dan sesama. Dalam VC art. 77 dikatakan bahwa, “Mereka yang mengasihi Allah, Bapa semua

orang tentu mengasihi sesamanya juga, yang mereka pandang sebagai saudara-saudari”. Artinya bahwa karya pelayanan didasarkan pada kedekatan dengan Allah,

sehingga pelayanannya turut mewartakan karya Kristus di tengah-tengah dunia. Pewartaan Kristus dalam karya pelayanan berarti memancarkan kasih dalam sikap dan perutusan dengan melayani orang-orang kecil dan sederhana.

a. Hubungan yang Akrab dengan Tuhan

Dalam Kitab Hukum Kanonik Kanon 657 art 2 disebutkan bahwa, ”Kegiatan kerasulan hendaknya selalu mengalir dari kesatuannya yang mesra

(61)

yang dimaksud adalah pengalaman akan penyertaan Allah yang bersumber pada doa yang dijalin terus-menerus. Dalam hal ini, para religius harus mendekatkan diri kepada Allah, Sang Pemberi kehidupan dan keselamatan bagi banyak orang.

Seluruh pelayanan yang dilakukan Yesus ingin mengajak para pengikut-Nya terlibat di dalam-pengikut-Nya dan masuk dalam keselamatan yang diwartakan-pengikut-Nya. Yesus datang tidak hanya untuk membebaskan kita dari dosa dan kematian, melainkan juga membawa kita kepada kehidupan. Segala milik Yesus diberikan kepada manusia/para religius untuk diterima dan dikerjakan. “Barang siapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku

lakukan” (Yoh 14: 12). Yesus menghendaki supaya kita bersama-Nya. Dalam

doa-Nya, Ia menjelaskan maksud-Nya; “… supaya mereka semua menjadi satu sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang mengutus Aku… (Yoh 17: 21-26). Kata-kata ini mengungkapkan hakikat pelayanan Yesus. Ia tidak hanya mempertahankan kesamaan-Nya dengan Allah saja tetapi Ia mau dan rela mengosongkan diri dan menjadi sama seperti kita sehingga kita dapat menjadi serupa dengan-Nya (Nouwen, 1986: 29-30).

b. Relasi terhadap Sesama

(62)

padanya tanpa mengabaikan yang lain. Dalam sabda-Nya, Yesus mengatakan “Apa yang kamu lakukan kepada salah yang terkecil dari saudaraku ini, kamu lakukan kepada-Ku” (Mat 25: 41). Ketidak-pedulian terhadap sesama akan merusak hubungan dengan Tuhan untuk melanjutkan karya pelayanan.

(63)
(64)

BAB III

MAKNA HIDUP DOA DALAM KARYA PELAYANAN PARA SUSTER FRANSISKUS DINA

Pada bab ini, penulis akan membahas tentang makna hidup doa dalam karya pelayanan para suster SFD. Pembahasan dimulai dengan pemaparan sejarah awal berdirinya kongregasi SFD, visi dan misi, serta spiritualitasnya. Selanjutnya akan dijelaskan tentang karya pelayanan dalam kongregasi SFD yang meliputi pengertian pelayanan, pelayanan dalam Gereja, pelayanan sebagai Fransiskan, tujuan pelayanan, tantangan dalam pelayanan kongregasi SFD dan jenis-jenis karya pelayanan. Bab ini ditutup dengan pemaparan tentang makna doa dalam karya pelayanan para suster SFD.

A. Sejarah Berdirinya Kongregasi SFD

Para pengikut St. Fransiskus Asisi terdiri dari tiga kelompok (Ordo); Ordo Pertama, Ordo Kedua dan Ordo Ketiga. Kelompok yang termasuk Ordo Pertama ialah Saudara-Saudara Dina (Ordo Fratrum Minorum, OFM), Saudara-Saudara Dina Conventual (Ordo Fratrum Minorum OFM Conv) dan Saudara-Saudara Dina Capusin (Ordo Fratrum Minorum OFM Cap). Meskipun berbeda nama, namun secara praktis cara hidup mereka tidaklah jauh berbeda satu dengan yang lain. Di antara mereka tetap terjalin hubungan kekeluargaan. Mereka ialah para biarawan Fransiskan (sebutan untuk para pengikut St. Fransiskus) yang diutus untuk mewartakan Injil kepada segala bangsa (biarawan aktif kontemplatif).

(65)

kontemplatif, komunitas ini membaktikan hidup mereka kepada Allah dan tinggal sepenuhnya dalam biara. Sementara itu, Ordo Ketiga terdiri dari dua kelompok, yaitu Ordo Ketiga Sekular dan Ordo Ketiga Regular. Ordo Ketiga Sekular ialah sekelompok wanita atau pria yang hidup di luar komunitas dan tidak mengucapkan kaul-kaul religius (kemiskinan, ketaatan dan kemurnian). Mereka hidup sebagai awam yang berkeluarga.

Kelompok lain yang juga termasuk dalam Ordo Ketiga ialah Ordo Ketiga Regular. Ordo ini merupakan kelompok aktif yang hidup di tengah-tengah dunia dan dalam komunitas yang ingin mengabdi Allah dan dengan saksama menuruti tiga nasihat Injil dalam penghayatan kaul-kaul religius mereka. Di antara ketiga ordo ini, Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina termasuk dalam kelompok Ordo Ketiga Regular, suatu kongregasi yang aktif dan kontemplatif, yang berkarya dan tetap menjalankan hidup doa secara berkala (Dister, 2008: 8).

Pada awalnya kelompok SFD ini menamakan diri sebagai tertiaris peniten (anggota ordo ketiga yang menghayati anggaran dasar laku tapa atau mati raga). Komunitas ini berciri kontemplatif dan mengabdikan diri sepenuhnya untuk berdoa dan tinggal dalam biara. Hanya beberapa suster yang diberi kesempatan untuk mengabdikan diri pada sesama melalui karya sosial, selebihnya tinggal dalam biara secara penuh. Untuk menjernihkan situasi dan memberikan kedudukan resmi kepada kelompok ordo ketiga yang berkaul, pada tahun 1521 Paus Leo X meresmikan suatu Anggaran Dasar khusus bagi mereka yang berkaul, rohaniwan maupun awam (Dister, 2008: 10).

(66)

rumah tangga mereka. Mereka rindu menjalani hidup Kristiani secara lebih mantap sesuai dengan semangat Injil. Bentuk hidup seperti ini sudah ada di sejumlah kota sebelum Fransiskus tampil. Orang-orang ini menyebut dirinya sebagai “orang pertapa”. Mereka dikenal dari cara hidup mereka yang baik dan cara berpakaian

yang sederhana. Pada abad ke-XIII, sebagian besar dari mereka dipengaruhi cara hidup Saudara Dina Kapusin (Ordo Fratrum Minorum OFM Cap). Dari sinilah dibentuk ordo ketiga sekular; yaitu kelompok pria dan wanita. Dalam waktu yang singkat, dibuatlah peraturan-peratuan untuk kelompok ini sehingga muncullah ordo ketiga regular. Pendiri pertama ordo ketiga regular ialah Beata Angelina de Marciano di kota Foligno pada tahun 1397. Hidup mereka didukung oleh kaul kebiaraan, kepatuhan terhadap peraturan, ibadat harian, hidup bersama dan lain sebagainya (Dister, 2008; 10).

Pembaruan dalam Gereja yang diserukan dan dirintis oleh Konsili Trente (1545-1563) berpengaruh juga dalam “biara”. Selain itu dalam Gereja muncul juga suatu kerinduan untuk lebih “mengasingkan” diri dari dunia dan menjaga ketat

komunitas sebagai “tempat tertutup” untuk mencapai kontemplasi yang lebih

(67)

mempertahankan tradisi klausura agar dapat mengarahkan diri kepada doa, kehidupan batin dan roh

Gambar

gambar sehingga mempermudah peserta untuk menghayatinya (Groome, (1997:

Referensi

Dokumen terkait