MAKNA HIDUP DOA DALAM KARYA PELAYANAN PARA SUSTER FRANSISKUS DINA
A. Sejarah Berdirinya Kongregasi SFD
Para pengikut St. Fransiskus Asisi terdiri dari tiga kelompok (Ordo); Ordo Pertama, Ordo Kedua dan Ordo Ketiga. Kelompok yang termasuk Ordo Pertama ialah Saudara-Saudara Dina (Ordo Fratrum Minorum, OFM), Saudara-Saudara Dina Conventual (Ordo Fratrum Minorum OFM Conv) dan Saudara-Saudara Dina Capusin (Ordo Fratrum Minorum OFM Cap). Meskipun berbeda nama, namun secara praktis cara hidup mereka tidaklah jauh berbeda satu dengan yang lain. Di antara mereka tetap terjalin hubungan kekeluargaan. Mereka ialah para biarawan Fransiskan (sebutan untuk para pengikut St. Fransiskus) yang diutus untuk mewartakan Injil kepada segala bangsa (biarawan aktif kontemplatif).
Ordo Kedua adalah para Klaris, yaitu para rubiah (pertapa perempuan) yang hidup dalam komunitas dan terikat klausura (tertutup). Karena berciri
kontemplatif, komunitas ini membaktikan hidup mereka kepada Allah dan tinggal sepenuhnya dalam biara. Sementara itu, Ordo Ketiga terdiri dari dua kelompok, yaitu Ordo Ketiga Sekular dan Ordo Ketiga Regular. Ordo Ketiga Sekular ialah sekelompok wanita atau pria yang hidup di luar komunitas dan tidak mengucapkan kaul-kaul religius (kemiskinan, ketaatan dan kemurnian). Mereka hidup sebagai awam yang berkeluarga.
Kelompok lain yang juga termasuk dalam Ordo Ketiga ialah Ordo Ketiga Regular. Ordo ini merupakan kelompok aktif yang hidup di tengah-tengah dunia dan dalam komunitas yang ingin mengabdi Allah dan dengan saksama menuruti tiga nasihat Injil dalam penghayatan kaul-kaul religius mereka. Di antara ketiga ordo ini, Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina termasuk dalam kelompok Ordo Ketiga Regular, suatu kongregasi yang aktif dan kontemplatif, yang berkarya dan tetap menjalankan hidup doa secara berkala (Dister, 2008: 8).
Pada awalnya kelompok SFD ini menamakan diri sebagai tertiaris peniten (anggota ordo ketiga yang menghayati anggaran dasar laku tapa atau mati raga). Komunitas ini berciri kontemplatif dan mengabdikan diri sepenuhnya untuk berdoa dan tinggal dalam biara. Hanya beberapa suster yang diberi kesempatan untuk mengabdikan diri pada sesama melalui karya sosial, selebihnya tinggal dalam biara secara penuh. Untuk menjernihkan situasi dan memberikan kedudukan resmi kepada kelompok ordo ketiga yang berkaul, pada tahun 1521 Paus Leo X meresmikan suatu Anggaran Dasar khusus bagi mereka yang berkaul, rohaniwan maupun awam (Dister, 2008: 10).
Sejarah berdirinya ordo ketiga regular dimulai dari ordo ketiga sekulir yaitu orang-orang yang berkeluarga (awam) dan mempunyai kewajiban dalam mengurus
rumah tangga mereka. Mereka rindu menjalani hidup Kristiani secara lebih mantap sesuai dengan semangat Injil. Bentuk hidup seperti ini sudah ada di sejumlah kota sebelum Fransiskus tampil. Orang-orang ini menyebut dirinya sebagai “orang pertapa”. Mereka dikenal dari cara hidup mereka yang baik dan cara berpakaian yang sederhana. Pada abad ke-XIII, sebagian besar dari mereka dipengaruhi cara hidup Saudara Dina Kapusin (Ordo Fratrum Minorum OFM Cap). Dari sinilah dibentuk ordo ketiga sekular; yaitu kelompok pria dan wanita. Dalam waktu yang singkat, dibuatlah peraturan-peratuan untuk kelompok ini sehingga muncullah ordo ketiga regular. Pendiri pertama ordo ketiga regular ialah Beata Angelina de Marciano di kota Foligno pada tahun 1397. Hidup mereka didukung oleh kaul kebiaraan, kepatuhan terhadap peraturan, ibadat harian, hidup bersama dan lain sebagainya (Dister, 2008; 10).
Pembaruan dalam Gereja yang diserukan dan dirintis oleh Konsili Trente (1545-1563) berpengaruh juga dalam “biara”. Selain itu dalam Gereja muncul juga suatu kerinduan untuk lebih “mengasingkan” diri dari dunia dan menjaga ketat komunitas sebagai “tempat tertutup” untuk mencapai kontemplasi yang lebih mendalam. Pada tahun 1604 Johanna-Babtista Neerinck bergabung dengan suster-suster Tertiaris Peniten di kota Gent (Belgia). Ia mengadakan pembaruan dalam komunitasnya tetapi usaha tersebut tidak berhasil. Pada tahun 1623 Johanna-Babtista Neerinck dengan beberapa suster yang merindukan kesunyian dan suasana kontemplasi meninggalkan biara Gent dan menetap di Limburg (Belgia). Mereka mengundurkan diri dari keramaian dunia. Johanna-Babtista Neerinck menekankan agar para suster harus menjalani hidup penuh mawas diri, meditasi dan doa. Dia
mempertahankan tradisi klausura agar dapat mengarahkan diri kepada doa, kehidupan batin dan rohani (Raat, 2000: 17).
Secara historis, keberadaan kelompok Suster Peniten Rekolek ini memiliki pengaruh terhadap lahirnya kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina. Kongregasi Suster-Suster Fransiskus Dina lahir dari situasi dan perkembangan Kongregasi suster Fransiskan Dongen yang telah berusia 200 tahun. Kongregasi Suster-suster Fransiskan Dongen mulai terbentuk pada tahun 1789 akibat Revolusi Perancis. Sejak pecahnya Revolusi Perancis, Gereja dan hidup religius mengalami kekacauan. Tarekat Religius dibubarkan, semua religius secara paksa diusir ke luar dari biara mereka. Pada tanggal 8 Nopember 1796 pukul 11.00 para Suster Peniten Rekolek diusir dari biara mereka di Leuven. Semua harta benda disita. Mereka menyaksikan sendiri mebel mereka dijual oleh pemerintah (Clementina, 1983:8).
Pada tanggal 12 Nopember 1796, Pastor J. Proost memberi surat-surat resmi, juga untuk Muder Constantia van der Linden dan Sr. Coletta Coopmans. Surat itu menyebutkan bahwa mereka benar-benar suster profes dari biara Leuven dan sekaligus menjadi surat rekomendasi untuk setiap orang yang dimintai pertolongan oleh para suster itu.
Dalam situasi keterpecahan (porak-poranda), Roh Pemersatu tetap berbicara dalam lubuk hati Muder Constantia van der Linden, Sr. Coletta Coopmans, Sr. Agustine Janssens dan Sr. Francoise Timmermants. Kerinduan yang besar untuk tetap hidup di dalam persekutuan religius mendorong keempat suster itu untuk bersatu. Maka Sr. Francoise dan Sr. Agustine dari Tarekat Agustines membina hubungan baik dengan Muder Constantia dan Sr. Coletta Coopmans dari Peniten Rekolek. Mereka sering bertemu di rumah keluarga
Timmermants untuk berbicara dan mencari kesempatan untuk meneruskan hidup membiara di luar negeri. Muder Constantia menjadi penggerak utama dalam usaha ini.
Pastor Antonius van Gills dari Tilburg dan Pater Kapusin, Linus van Oederode, Gardian di Leuven sangat berperan bagi mulainya kembali Reformasi Limburg di Belanda. Para suster yakin meskipun situasi politik negeri sedang kacau, namun hidup religius harus tetap hidup, bila tidak mungkin di Belgia, di Belanda saja. Sebagaimana Abraham meninggalkan negeri, sanak saudara dan rumah bapanya untuk pergi ke tanah yang akan ditunjukkan oleh Tuhan, demikian pula para pendiri SFD meninggalkan tanah kelahiran mereka dan melanjutkan `perjalanan` menuju tempat yang akan ditunjukkan oleh Tuhan.
Pada tahun 1798, Muder Constantia van der Linden tiba di Belanda. Karena tidak memiliki biara, untuk sementara itu dia tinggal di Pastoran Bokhoven sebagai pembantu rumah. Tidak lama kemudian, Nyonya Olifers de Bruyn (saudari kandung Pastor de Bruyn) mengundang para Suster pergi ke Waalwijk untuk mencari rumah yang mungkin dapat dipakai sebagai tempat tinggal.
Dalam keadaan amat miskin, mereka hanya mendiami sebuah kamar besar terbuat dari kayu di desa Besooyen. Mereka tidak mempunyai apa-apa, tidak ada kursi, meja, tempat tidur atau pun selimut. Mereka tidur di lantai tanpa selimut. Namun mereka membuat banyak orang kagum karena kesabaran, ketabahan, dan cara mereka menerima kemiskinan ini dengan gembira. Segera Muder Constantia van der Linden mulai mengajar anak-anak dengan tenaga yang ada dan segala kebutuhan yang serba kurang. Akan tetapi, meskipun hidup dalam kekurangan dan kemiskinan, masyarakat Waalwijk sungguh mencintai para Suster.
Pada tanggal 9 Nopember 1800, Muder Constantia dan Sr. Francoise berangkat dari Waalwijk ke Breda untuk mencari rumah yang agak besar. Pada saat itu, cuaca sangat buruk tetapi kedua suster telah merencanakan perjalanan itu maka harus terjadi. Taufan dan badai yang mengamuk selama perjalanan tidak menjadi penghalang bagi mereka. Ketika sampai di Dongen, roda kereta kuda yang mereka tumpangi putus. Kusir tidak sanggup lagi meneruskan perjalanan. Melalui peristiwa taufan dan badai yang mengamuk dalam perjalanan itu Allah berbicara. Kedua Suster berdiri di pinggir jalan waktu hujan lebat. Beberapa orang setempat menunjukkan rumah pastor paroki. Para suster pun menemui pastor paroki, menceritakan siapa mereka, dari mana tempat asalnya dan apa maksud tujuan perjalanan mereka. Mendengar kisah para suster ini, sang pastor, Pastor van Gils kemudian mengucapkan kata-kata yang bersejarah ini, "Suster-suster tidak perlu pergi lebih jauh. Tempat ini sangat cocok untuk suster. Aku membutuhkan orang seperti kalian. Di sini ada kemungkinan yang sesuai dengan rencana suster" (Clementina, 1983: 9-11).
Pada tanggal 26 Maret 1801, saat Gereja merayakan Pesta Tujuh Kedukaan Maria, keempat suster bersama seorang novis, seorang postulan dan tujuh anak asrama berangkat ke Dongen. Pada saat itulah kongregasi berdiri di Dongen. Kongregasi hidup menurut Peraturan Reformasi Limburg dari tahun 1634. Terdorong oleh keyakinan bahwa para suster harus tetap memperbarui hidup dalam roh, maka para pendiri kongregasi tidak hanya berpedoman pada apa saja yang telah mendarah daging bagi mereka, melainkan juga menjadi peka terhadap kebutuhan masyarakat zaman mereka, sampai mereka malah mengorbankan cara hidup kontemplatif yang sangat mereka cintai.
Setelah melewati masa-masa sulit penuh pergulatan dan perjuangan yang berat selama beberapa puluh tahun, kongregasi mulai lebih leluasa memberikan pelayanan kepada masyarakat melalui pendidikan. Selain itu, kongregasi juga mendapat peluang untuk menyebarkan hidup religius dengan membuka komunitas di Etten pada tahun 1920. Karena dituntut oleh situasi saat itu, komunitas yang baru itu menjadi komunitas mandiri, terlepas dari induknya di Dongen. Didukung oleh dana yang ada, kongregasi sanggup mengutus para Suster untuk mewartakan iman Katolik ke daerah misi, termasuk ke Indonesia (Clementina, 1983: 12-15).
Pada tanggal 17 Maret 1923 para suster berangkat dari Dongen dan sebulan kemudian, pada tanggal 17 April 1923 mereka tiba di Medan, Sumatera Utara. Beberapa tahun kemudian, novisiat dibuka di Kabanjahe pada tahun 1954. Empat belas tahun kemudian Kongregasi mulai melebarkan sayapnya ke Kalimantan. Pada tanggal 11 Oktober 1937, para suster tiba di Banjarmasin. Keinginan untuk mengikutsertakan pemudi-pemudi pribumi dalam pelayanan di Kalimantan mendorong pemimpin kongregasi untuk membuka novisiàt di Jawa Tengah. Pati merupakan kota pilihan tempat para calon akan dididik dan dipersiapkan. Pada tanggal 14 Juli 1958 tiga suster datang dari Banjarmasin ke Pati untuk membuka novisiat. Dengan penyebaran dan perkembangan di Indonesia, maka pada tahun 1969 status komunitas-komunitas di Indonesia ditingkatkan menjadi regio, yaitu regio Sumatera Utara dan regio Jawa-Kalimantan. Masing-masing pemimpin regio bertanggungjawab langsung kepada Pemimpin Umum di Dongen.
Selama beberapa tahun di Dongen, jumlah suster tidak bertambah karena tidak ada anggota baru. Suster-suster yang masih ada semakin lanjut usia. Mengingat situasi yang demikian dan karena regio-regio di Indonesia telah
dianggap mampu untuk mandiri, maka Dewan Pimpinan Umum mempersiapkan para suster Indonesia agar siap untuk menangani sendiri otoritas kepemimpinan kongregasi di Indonesia (Konst, 2007: 13)
Roh Pemersatu yang menjiwai para pendiri kongregasi mendorong terwujudnya unifikasi Regio Sumatera Utara dan Regio Jawa-Kalimantan. Penyatuan regio dimulai pada tanggal 15 Juli 1998. Sebagai persiapan kemandirian, pada tanggal yang sama ditetapkan nama baru bagi kongregasi di Indonesia, meski kharisma dan spritualitas tetap sama. Nama yang mengungkapkan spiritualitas kongregasi seturut teladan St. Fransiskus Assisi adalah Suster-suster Fransiskus Dina.
Pada tanggal 17 April 2007, Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina di Indonesia resmi menjadi kongregasi mandiri di bawah wewenang yurisdiksi Keuskupan Agung Semarang dan dinyatakan dalam dekrit dari Tahta Suci di Roma melalui kongregasi untuk Evangelisasi Bangsa-Bangsa, Prot. N. 1534/ 07 tertanggal 31 Maret 2007 (Konst, 2007; 14).