• Tidak ada hasil yang ditemukan

Langkah-langkah ( Shared Christian Praxis ) SCP

SUSTER SFD DALAM KARYA PELAYANAN

A. Komponen Pokok dalam Katekese Shared Christian Praxis (SCP)

3. Langkah-langkah ( Shared Christian Praxis ) SCP

Katekese dengan model SCP dimulai dari langkah pendahuluan. Langkah ini merupakan langkah untuk mendorong peserta menemukan topik berdasarkan

pengalaman hidup konkret. Diharapkan agar topik pertemuan sungguh-sungguh mencerminkan pengalaman hidup peserta, sehingga mendorong mereka untuk semakin terlibat aktif.

Groome, (1997) mengatakan bahwa lima langkah katekese model Shared Christian Praxis (SCP) yang saling berurutan, dalam prakteknya bisa tumpang tindih, terulang kembali, atau langkah satu tergabungkan dengan langkah lainnya.

a. Langkah Pertama: Pengungkapan Pengalaman Hidup Faktual

Kekhasan dalam langkah pertama ini yaitu mengajak peserta mengungkapkan pengalaman hidupnya, bisa pengalaman diri sendiri ataupun permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Pengungkapan pengalaman ini dapat diungkapkan dalam bentuk cerita, puisi, tarian, nyanyian, maupun dalam gambar sehingga mempermudah peserta untuk menghayatinya (Groome, (1997: 10). Ketika peserta membagikan pengalaman hidupnya semua peserta mendengarkan. Dalam proses pengungkapan itu, peserta dapat menjelaskan perasaan mereka, nilai, sikap dan keyakinan yang melatarbelakanginya. Dengan cara demikian peserta diharapkan menjadi sadar dan bersikap kritis atas pengalaman hidupnya sendiri dan juga pengalaman orang lain. Langkah ini bertujuan untuk membantu dan mendorong peserta supaya menyadari pengalaman mereka dan dapat membagikannya pada peserta lainnya. Hasil sharing yang sungguh dialami peserta akan memperkaya satu sama lain sehingga dapat saling meneguhkan (Groome, 1997: 11).

Pada langkah ini peran pendamping berperan sebagai fasilitator yang menciptakan suasana pertemuan yang menjadi hangat dan mendukung peserta

dalam membagikan pengalaman hidupnya. Pendamping membagikan pertanyaan-pertanyaan yang jelas, terarah, tidak menyinggung harga diri seseorang, sesuai dengan latar belakang peserta, bersifat terbuka dan obyektif. Langkah ini bersikap obyektif, yakni mengungkapkan apa yang sesungguhnya tejadi. Guna membantu jalanya dialog, pendamping perlu bersikap ramah, sabar, hormat, bersahabat dan peka dengan situasi peserta.

b. Langkah kedua: Refleksi Kritis atas Sharing Pengalaman Hidup Faktual

Kekhasan dalam langkah ini adalah bahwa peserta diajak merefleksikan secara kritis, praksis faktual yang telah mereka komunikasikan. Peserta kembali mempertajam dan mengolah pengalaman mereka bersama. Adapun maksud utama dari refleksi kritis adalah mendorong peserta supaya sampai pada suatu proses dialektis dari refleksi pengalaman hidup mereka.

Refleksi kritis ini membantu peserta untuk mengetahui dan menggali secara lebih dalam pemahaman mereka bersama (pertimbangan, alasan, asumsi, ideologi), segi kenangan (mempertanyakan tentang sejarah hidup, keberadaan sebagai subyek mendapat bentuk dan wujudnya dari perbuatan yang dilakukan), dan segi imajinasi (menyadari konsekwensi, kemungkinan, dan tanggung jawab dari praksis faktual yang bersifat personal maupun sosial). Dengan kata lain refleksi kritis bukan semata-mata aktivitas rasio/pikiran saja, tetapi mencakup seluruh keberadaan peserta sebagai subyek.

Segi kenangan membantu peserta untuk sampai pada analisa kritis akan sumber dan faktor historis dari fraksis factual mereka. Refleksi kritis membantu

peserta menyadari konsekwnsi pengalaman hidupnya, dan mendorong mereka untuk menentukan pertimbangan dan alasan praksisnya (Groome, 1997: 14-18).

Adapun tujuan dari langkah ini adalah mengajak para peserta untuk memperdalam refleksi dan mengantar peserta pada suatu kesadaran kritis akan keterlibatan peserta untuk menemukan makna dari pengalaman hidupnya, serta memiliki visi hidup baru yang lebih jelas. Satu hal pokok yang tidak dapat dilupakan oleh peserta dan pendamping pada langkah kedua ini adalah tercapainya kesadaran kritis dan kreatif. Berdasarkan tema utama, refleksi kritis diarahkan supaya peserta mengadakan penegasan bersama sehingga memperoleh suatu kesadaran akan Tradisi dan visi praksis faktual mereka.

Pada langkah ini, pendamping bertanggung jawab untuk menciptakan suasana saling menghormati, akrab dan mendukung setiap gagasan maupun sumbangan para peserta, agar peserta dapat sampai pada refleksi kritis atas pengalamannya. Selain itu, pendamping diharapkan mampu mendorong peserta supaya mengadakan dialog dan penegasan bersama guna memperdalam pemahaman dan imajinasi peserta. Pendamping perlu menyadari kondisi setiap peserta, terlebih mereka yang tidak bisa melakukan refleksi kritis terhadap pengalaman hidupnya.

c. Langkah Ketiga: Mengusahakan supaya Tradisi dan Visi Kristiani Lebih Terjangkau

Kekhasan dalam langkah ini adalah peserta diajak untuk mendialogkan “tradisi” dan “visi” hidup peserta dengan tradisi Gereja sepanjang sejarah dan visinya (Groome, 1997: 19). Langkah ini bertujuan untuk mengkomunikasikan nilai-nilai Tradisi dan Visi Kristiani supaya lebih terjangkau dan lebih mengena

untuk kehidupan setiap peserta. Pada langkah ini, pendamping diharapkan dapat membuka jalan sehingga para peserta mempunyai peluang untuk menemukan nilai-nilai dari Tradisi dan Visi Kristiani. Tradisi adalah iman Kristiani yang dihidupi dan diperkembangkan Gereja dalam sejarah. Tradisi tidak hanya sebatas pengajaran Gereja (dogma) tetapi juga berkaitan dengan Kitab Suci, spritualitas, devosi, kebiasaan hidup beriman, aneka kesenian Gereja, liturgi dan lain sebagainya. Sementara itu, visi merefleksikan harapan dan janji, mandat serta tanggung jawab yang muncul dari Tradisi yang bertujuan untuk mendorong dan meneguhkan iman peserta dalam keterlibatan mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah (Groome, 1997: 19).

Pada langkah ini, pendamping dituntut memiliki latarbelakang yang cukup untuk dapat menafsirkan Tradisi dan Visi Kristiani bagi kehidupan peserta. Secara singkat pada langkah ketiga ini, pendamping berperan menginterpretasi dan mengkomunikasikan aspek-aspek Tradisi dan Visi Kristiani dengan tradisi dan visi peserta. Pendamping menjadi jembatan penghubung antara nilai Tradisi dan visi kristiani dengan “tradisi dan visi” hidup peserta. Pendamping membuka jalan, menghilangkan segala hambatan, mendorong partisipasi aktif dan kreatif (Groome 1997: 28).

d. Langkah Keempat: Interpretasi/Tafsir Dialektis antara Tradisi dan Visi Kristiani dengan Tradisi dan Visi peserta

Kekhasan langkah keempat adalah bahwa peserta diajak untuk mendialogkan hasil pengolahan mereka pada pokok-pokok penting yang telah ditemukan pada langkah pertama dan kedua. Pokok-pokok penting tersebut dikonfrontasikan dengan hasil interprestasi terhadap Tradisi dan visi Kristiani dari langkah ketiga. Dasar dialog peserta adalah mempertanyakan bagaimana nilai-nilai

Tradisi dan visi Kristiani meneguhkan, mengkritik atau mengundang kesadaran peserta untuk melangkah pada kehidupan baru demi terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah di dunia (Groome, 1997: 29).

Tujuan utama dalam langkah ini yakni memampukan peserta untuk menghayati dan mensosialisasikan visi dan tradisi Kristiani menjadi miliknya sendiri atau milik peserta. Dengan demikian peserta sampai pada suatu perkembangan hidup yang lebih dewasa. Dalam langkah ini, pendamping berusaha menghargai hasil penegasan peserta serta meyakinkan bahwa mereka mampu mempertemukan nilai pengalaman hidupnya dengan visi dan tradisi Kristiani (Groome, 1997: 30). Dari langkah tersebut, peserta dapat secara aktif menemukan kesadaran atau sikap baru yang hendak diwujudkan. Dengan demikian para peserta lebih bersemangat dalam mewujudkan imanya, sehingga nilai-nilai kerajaan Allah makin dapat dirasakan di tengah-tengah kehidupan bersama. Yang menjadi pokok penting dalam langkah ini adalah wujud dari kesadaran iman yang baru, dapat memperkaya Tradisi dan Visi Kristiani sehingga peserta menjadi lebih aktif, dewasa dan misioner.

e. Langkah Kelima: Keterlibatan Baru demi Makin Terwujudnya Kerajaan Allah di Dunia ini

Kehasan langkah ini adalah terciptanya suatu dialog dan dinamika yang secara eksplisit mengundang peserta untuk sampai pada keputusan, baik secara pribadi maupun secara bersama sebagai puncak dan hasil nyata dari model SCP ini. Keterlibatan baru demi terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah mendorong peserta untuk sampai pada keputusan praktis yang dipahami sebagai tanggapan peserta terhadap pewahyuan Allah. Keputusan praktis berarti sampai pada suatu niat yang

akan diwujudkan secara pribadi maupun bersama ke dalam suatu tindakan konkret dan mudah dijangkau (Groome, 1997: 34). Langkah ini bertujuan membantu peserta dalam mengambil keputusan secara moral, konseptual, social dan politis sesuai dengan nilai iman Kristiani, sehingga peserta dapat mewujudkan nilai Kerajaan Allah ke dalam tindakan konkret dengan jalan melakukan pertobatan setiap hari.

Peran pendamping dalam langkah ini adalah mengusahakan lingkungan yang dialogis yang mendukung setiap peserta sehingga secara antusias bersedia saling menerima sumbangan dan menunjukkan sikap empati, mendengarkan dan mendukung setiap keputusan yang muncul (Groome, 1997: 37).

A. Alasan Pemilihan Shared Christian Praxis (SCP) Sebagai Model Katekese