MAKNA IDEASIONAL KATA ‘CINTA’ DALAM NOVEL
LONDON
KARYA WINDRY RAMADHINA DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA
INDONESIA DI SMA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1) Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah
Oleh
RIRIN WAHYUNINGSIH E1C013037
PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MATARAM
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS MATARAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN Jln. Majapahit Mataram NTB, 83125 Telp. (0370) 623873
HALAMAN PENGESAHAN
MAKNA IDEASIONAL KATA ‘CINTA’ DALAM NOVEL LONDON
KARYA WINDRY RAMADHINA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA
Telah Diuji dan Dipertahankan di Depan Panitia Ujian Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Pada, Senin, 17 Juli 2017
Ketua Penguji
Dra. Syamsinas Jafar, M.Hum. NIP. 195912311980692001 Anggota,
Ratna Yulida Ashriany, M.Hum. NIP. 198101082009122002
Anggota,
Drs. Khairul Paridi, M.Hum. NIP. 196012311987031018 Mengetahui,
Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram
MOTTO
“Hidup ini seperti sepeda. Agar tetap seimbang, kau harus
terus bergerak.”
PERSEMBAHAN
Dengan segenap kerendahan hati dan rasa syukur kepada Allah SWT, skripsi ini penulis persembahkan untuk:
1. Kedua pahlawanku, ayahanda tercinta (Bahrudin) dan ibunda tercinta (Sare’ah). Terima kasih yang tiada henti-hentinya karena telah mengajarkanku arti kesabaran dan perjuangan, atas semua pengorbanan yang telah engkau lakukan untukku dan kedua adikku, atas doa yang selalu engkau panjatkan untuk ananda serta dukungan semangat, dorongan-dorongan yang engkau berikan, baik moril maupun materiil.
2. Adik-adik tersayang (Hazratul Nisa dan Aulia Zahra Firdaus) yang selalu memberi doa dan semangat.
3. Sahabat-sahabat terbaikku (Zahratun Aini, Nia Sari, Izzatul Hilmi, dan Dian Huriatun Husna) yang selalu melukiskan kebahagiaan sebagai motivasi untukku.
4. Teman terbaikku (Sumiati dan Fardha Ilman) yang tidak pernah henti memberikan semangat serta meluangkan waktu untuk berdiskusi dan memberi masukan dalam proses penulisan skripsi ini.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, karunia, serta hidayah-Nya, sehingga skripsi yang berjudul Makna Ideasional Kata ‘Cinta’ dalam Novel London Karya Windry Ramadhina dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA, dapat terselesaikan. Shalawat serta salam semoga senantiasa selalu tercurahkan kepada baginda Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya, serta pengikutnya yang senantiasa istikomah di atas sunah-sunah dan ajaran yang beliau bawa sampai hari kiamat kelak.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis dihadapkan oleh berbagai macam permasalahan, tetapi dengan adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, skripsi ini bisa terselesaikan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, ucapan terima kasih dan rasa hormat disampaikan kepada:
1. Dr. H. Wildan, M.Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram.
2. Dra. Siti Rohana Hariana Intiana, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram. 3. Drs. I Nyoman Sudika, Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra
Indonesia dan Daerah.
4. Dra. Syamsinas Jafar, M.Hum., Dosen Pembimbing I, yang telah banyak memberikan arahan, serta bimbingan selama proses penyusunan skripsi ini. 5. Ratna Yulida Ashriany, M.Hum., Dosen Pembimbing II, yang telah banyak
6. Dosen-dosen yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu, serta tenaga kependidikan dan administrasi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram.
7. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukugan dalam penyelesaian skripsi ini.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya atas semua bantuan dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis. Penulis menyadari skripsi ini masih kurang sempuran. Oleh karena itu, dengan senang hati penulis akan menerima kritik dan sara yang bersifat membangun. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
DAFTAR ISI
3.4 Metode Penyajian Hasil Analisis Data……….. 40
BAB IV PEMBAHASAN……….. 42
4.1 Bentuk Lingual Kata Cinta……… 42
4.2 Makna Ideasional Kata Cinta………. 56
4.3 Implikasi………. 78
BAB V PENUTUP……… 80
5.1 Kesimpulan………. 80
ABSTRAK
Rumusan masalah dalam penelitian ini (1) bagaimanakah bentuk lingual kata
cinta yang memiliki makna ideasional dalam novel London karya Windry Ramadhina, (2) bagaimanakah makna ideasional kata cinta dalam novel London
karya Windry Ramadhina, dan (3) bagaimanakah implikasi makna ideasional kata
cinta dalam novel London karya Windry Ramadhina dengan pembelajaran bahasa Indonesia di SMA. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan bentuk lingual kata cinta yang memiliki makna ideasional dalam novel London karya Windry Ramadhina, (2) menafsirkan makna ideasional kata cinta dalam novel
London karya Windry Ramadhina, dan (3) mendeskripsikan implikasi makna ideasional kata cinta dalam novel London karya Windry Ramadhina dengan pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA. Data dalam penelitian ini berupa kata. Data diperoleh dengan menggunakan metode simak dan dengan teknik catat. Analisis data yang digunakan adalah deskripsi kualitatif. Data disajikan dalam bentuk formal dan informal. Hasil analisis data dalam penelitian ini ditemukan dalam bentuk morfologi dan sintaksis. Bentuk morfologi ditemukan bentuk dasar dan bentuk turunan. Bentuk kata dasar yang ditemukan hanya kategori sifat dan bentuk kata turunan yang ditemukan adalah kata berafiksasi dan kata majemuk. Kata berafiksasi yang ditemukan yaitu kata cinta berprefiks, bersufiks, dan berkonfiks. Kemudian bentuk sintaksis yang ditemukan adalah kata cinta dalam bentuk frasa dan kalimat. Kemudian pemaknaan ideasional dianalisis sesuai dengan makna leksikal dan kotekstualnya. Makna ideasional berupa makna leksikal ditemukan kata cinta bermakna kasih sayang, menaruh kasih sayang,
ketertarikan terhadap suatu objek, rasa sayang yang sebenar-benarnya, dan
hubungan romantic yang melibatkan tiga orang. Lalu, makna ideasional berupa makna kontekstual ditemukan kata cinta bermakna kecenderungan terhadap sesuatu, cairan, kesedihan, imajinasi, dan harapan. Adapun implikasi makna ideasional terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di SMA adalah dalam kurikulum 2013 (K13), sesuai dengan silabus K13 kelas XII pada kompetensi dasar (KD) 4.1, yaitu “Menginterpretasi makna teks novel baik secara lisan maupun tulisan”.
ABSTRACT
The research question of this study are (1) what is a lingual form of word love
which has ideational meaning in the novel London by Windry Ramadhina, (2) what the ideational meaning of word love in the novel London by Windry Ramadhina, and (3) what is the implication of the ideational meaning of word love
in the novel London by Windry Ramadhina in teaching and learning Bahasa Indonesia in Senior High School. This research is aimed, (1) to describe lingual form of word love which has ideational meaning in the novel Londonby Windry Ramadhina, (2) to describe ideational meaning of word love in the novel London
by Windry Ramadhina, and (3) to describe the implication of the ideational meaning of word lovein the novel Londonby Windry Ramadhina in teaching and learning Bahasa Indonesia in Senior High School. The data of this study is in form of words. The data is collected by using simak method and catat technique. The method of analysis is using qualitative description. The data is presented in formal and informal. The result of this study is in form of morphology and syntactics. In morphology form has found that there are basic form and root form. In basic form has found adjective category only and in derivation form has found affixation and compound form. Kinds of affixation words found are in form of prefix, suffix, confix. Therefore, in syntactics form has found word of love in phrase and sentences form. Morefore, the analysis of meaning based on the lexical and contextual meaning. In the part of ideational meaning, which related to it’s lexical meaning has found word of love means affection, giving affection, anxiety of certain object, the real affection, and romantic relation which involve three humans. After that, ideational meaning in form of it’s contextual meaning words
lovewhich mean tendency of secrtain thing, fluid, sadness, imagination, and hope
are found. Meanwhile, the implication of ideational meaning towards teaching and learning Bahasa Indonesia in Senior High School is in the curriculum of 2013, based on it’s syllabus in third grade of SMA in standar competency 4.1, is
“Interpretation of text meaning in novel both in oral and written form.”
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa merupakan kumpulan gagasan yang memiliki makna. Bahasa hidup di
dalam masyarakat dan dipakai oleh warganya untuk berkomunikasi. Saat
berkomunikasi menggunakan bahasa, gagasan memiliki potensi makna yang
bermacam-macam. Artinya, saat kita berkomunikasi menggunakan perangkat
bentuk bahasa dengan berbagai macam karakteristik individu, maka akan semakin
beragam makna yang ditangkap oleh individu-individu yang terlibat dalam
komunikasi tersebut.
Seperangkat bentuk bahasa memiliki makna, tidak hanya kata, frasa, dan
kalimat, wacana pun mengandung makna. Bentuk-bentuk kebahasaan tersebut
memiliki makna yang berfungsi untuk mengungkapkan gagasan atau ide.
Seseorang menyampaikan ide dan gagasannya dengan berbahasa, sehingga bahasa
dan gagasan memiliki keterkaitan yang sangat erat, bahkan tidak dapat
dipisahkan. Karena itulah, sebuah gagasan juga erat kaitannya dengan makna.
Gagasan yang disampikan oleh seorang partisipan dalam tuturan tentu saja
memiliki makna, baik tuturan lisan maupun tulisan.
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa gagasan memiliki potensi
makna yang bermacam-macam saat berada dalam komunikasi. Dari satu kalimat
yang dituturkan oleh seorang penutur, setiap pendengar memiliki pemahaman
yang mereka tangkap dari satu kalimat tersebut berbeda-beda. Sehingga makna
dapat dikatakan datang dari ungkapan gagasan seseorang.
Begitupun dengan kata, setiap kata atau leksem memiliki arti atau makna.
Ketika sebuah kata memiliki acuan yang pasti atau konkret, kata tersebut akan
lebih mudah dimengerti oleh individu. Namun, tidak semua kata memiliki acuan
yang konkret dan tidak sedikit pula kata yang tidak memiliki acuan yang konkret.
Pertanyaannya adalah, bagaimana setiap individu dapat memahami kata yang
tidak memiliki acuan yang pasti? Penutur atau penulis dan pendengar atau
pembaca dapat memahami setiap kata yang diucapkan atau ditulis meskipun kata
tersebut tidak memiliki acuan yang konkret. Hal ini dapat kita buktikan dalam
berinteraksi pada kehidupan sehari-hari. Contohnya, kata cinta tidak memiliki
acuan yang konkret, namun memiliki ide, gagasan atau konsep yang terkandung di
dalamnya, yakni istilah cinta: (1) terpikat (antara laki-laki dan perempuan); (2)
perasaan yang dimiliki oleh seorang manusia untuk saling memiliki. Jadi, cinta
memiliki konsep, sebuah perasaan terpikat (antara laki-laki dan perempuan) untuk
saling memiliki satu sama lain.
Dalam ilmu semantik, kata cinta termasuk dalam kata yang memiliki makna
ideasional atau makna konsep. Kata yang dapat dicari konsepnya atau ide yang
terkandung dalam satuan kata-kata, baik bentuk dasar maupun turunan. Oleh
karena itu, penelitian ini berfokus pada pemaknaan kata ‘cinta’ saja.
Pemaknaan bukan hanya terjadi dalam tuturan lisan, tetapi juga dalam tulisan,
contohnya pemaknaan dalam karya sastra. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa
kehidupan. Salah satunya adalah novel. Sehingga, tidak heran jika banyak peneliti
yang meneliti makna dalam karya sastra, khususnya novel.
Salah satu novel yang dapat dijadikan objek penelitian adalah novel karya
Windry Ramadhina yang berjudul “London”. Novel ini merupakan salah satu
novel roman yang sangat digemari para remaja, sehingga diduga dalam novel
tersebut terdapat banyak kata cintayang akan menjadi fokus permasalahan dalam
penelitian ini.
Kata cinta, sering kita dengar dan baca. Bahkan karya sastra tidak bisa
terlepas dari kata tersebut. Tetapi, pernahkah kita berpikir bagaimanakah wujud
konkret dari cinta? Kita tidak akan tahu bagaimana wujud nyata dari cinta karena
cinta memang abstrak, tidak memiliki wujud konkret. Tetaapi, saat kita
mendengar atau membaca kata tersebut, kita akan memberikan respon positif
ataupun negatif terhadap cinta. Pada kenyataannya, cinta tidak memiliki acuan
yang konkret, tapi masih dapat dimengerti oleh pendengar maupun pembaca.
Kata cinta dapat kita lihat dalam kamus, dan kita perhatikan pula
hubungannya dengan unsur lain dalam pemakaian kata tersebut, lalu kita tentukan
konsep yang menjadi ide kata tersebut. Dengan mencari makna ideasional yang
terkandung dalam kata tersebut, kita dapat melihat paham yang terkandung dalam
makna suatu kata.
Banyak kita temukan dalam berbagai macam kasus, suatu kata yang berada
dalam beberapa kalimat yang berbeda memiliki makna yang sama. Hal ini
disebabkan oleh kata yang memiliki konsep yang sama namun dalam redaksi yang
(1) “Demi cinta.” (38).
(2) “Maka atas nama cinta yang membebaskan, aku membiarkan gadisku
terbang mengejar mimpinya.” (87).
Cinta dalam dua kalimat di atas memiliki konsep yang sama, yaitu cinta
diumpamakan sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan tertinggi, sehingga orang
berani bersumpah dengan kata cinta.
Dalam kasus yang berbeda, cinta dapat saja memiliki makna yang berbeda
dalam kalimat yang berbeda pula. Ketika seorang pembaca membaca novel,
beberapa di antara mereka terkadang menyimpulkan makna suatu kalimat ketika
mereka baru membaca satu kalimat saja, sebelum membaca kalimat selanjutnya.
Hal ini seringkali membuat para pembaca kurang tepat dalam memberikan makna
suatu kalimat. Contohnya,
(1) “Rupanya, bukan hanya aku lelaki di Fitzrovia yang tengah kehilangan
akal sehat karena dimabuk cinta.” (121).
(2) “Ilusi, itulah cinta.” (132).
Cinta dalam kalimat pertama memiliki konsep bahwa cinta itu seperti narkotika
yang dapat membuat orang mabuk dan kehilangan akal. Namun, pada kalimat
kedua, cinta memiliki konsep bahwa cinta itu hanyalah ilusi atau imajinasi.
Seperti yang sudah diungkapkan pada paragraf sebelumnya, semua kata
memiliki makna, tidak terkecuali kata cinta. Kata cinta mengandung makna dan
makna yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan itu dapat dipahami oleh
adanya kerja pikir, benak, atau hasil gagasan atau ide seseorang atau penutur
pasti atau minus (-) acuan. Mereka tidak dapat diukur, tidak dapat dipegang,
namun hanya bisa dirasakan. Mereka ada dan dimengerti oleh penutur maupun
pendengarnya tanpa melihat wujud nyatanya. Hal inilah yang kemudian
melatarbelakangi penulis untuk mengangkat masalah ini sebagai bahan kajian.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis mengangkat judul “Makna Ideasional
Kata ‘Cinta’ dalam Novel “London” Karya Windry Ramadhina dan Implikasinya
Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini akan meneliti makna
ideasional kata ‘cinta’ dalam novel “London”karya Windry Ramadhina. Berikut
rumusan masalahnya.
1) Bagaimanakah bentuk lingual kata cinta yang memiliki makna ideasional
dalam novel “London” karya Windry Ramadhina?
2) Bagaimanakah makna ideasional kata cinta dalam novel “London” karya
Windry Ramadhina?
3) Bagaimanakah implikasi makna ideasional kata cinta dalam novel “London”
karya Windry Ramadhina terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di SMA?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah.
1) Mendeskripsikan bentuk lingual kata cinta yang memiliki makna ideasional
dalam novel “London” karya Windry Ramadhina.
2) Menafsirkan makna ideasional kata cintadalam novel “London” karya Windry
3) Mendeskripsikan implikasi makna ideasional kata cinta dalam novel “London”
karya Windry Ramadhina terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA.
1.4 Manfaat Penelitian
1) Manfaat Teoritis
Adapun manfaat penelitian ini secara teoritis yaitu, dapat dijadikan referensi
pada kajian semantik selanjutnya agar lebih maksimal dan dapat menambah
wawasan tentang makna ideasional.
2) Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini di antaranya adalah penelitian
yang dilakukan oleh Yulia Sani Wulandari (2012) yang berjudul “Analisis Makna
Denotasi dan Konotasi dalam Ungkapan Bahasa Sasak Dialek Meno-Mene
Masyarakat Bagik Polak dan Hubungannya dengan Pembelajaran Bahasa
Indonesia di SMP” Universitas Mataram. Dalam penelitiannya, peneliti mengkaji
tentang makna denotasi dan konotasi dalam ungkapan bahasa sasak dialek
meno-mene serta bagaimana hubungannya dengan pembelajaran bahasa Indonesia di
SMP yang merupakan jenis penilitan kualitatif dengan menggunakan teori bahasa
secara umum, fungsi bahasa, bahasa sasak, macam-macam dialek di Lombok,
pengertian semantik, denotasi, konotasi, makna ungkapan bahasa sasak,
pembelajaran bahasa Indonesia di SMP, dan dengan menggunakan metode
wawancara, pencatatan, dan kajian perpustakaan sebagai metode pengumpulan
data.
Penelitian yang mengkaji tentang makna denotasi dan konotasi ini sudah
sangat jelas berbeda dengan penelitian yang diteliti dalam penelitian ini.
Perbedaannya juga terletak pada teori yang digunakan, di antaranya adalah fungsi
bahasa, bahasa sasak, macam-macam dialek di Lombok, denotasi, konotasi, dan
makna ungkapan bahasa sasak. Di samping pengertian semantik yang sama
dengan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Hal yang berbeda dari
pengumpulan data yang juga menggunakan metode wawancara di samping
metode pencatatan dan kajian perpustakan yang sama dengan penelitian dalam
proposal ini.
Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh Indah Purnamasari (2014) yang
berjudul “Makna Cerita Rakyat Bima ‘Oi Mbora’ dan Kaitannya Terhadap
Pembelajaran Sastra di SMP”. Penelitian ini meneliti tentang sebuah cerita rakyat
dari Bima yang berjudul “Oi Mbora” yang memiliki keindahan makna yang
tersimpan di dalamnya. Objek dari penelitian ini adalah tentu saja cerita rakyat
Bima yang berjudul “Oi Mbora”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
makna yang terkandung dalam cerita rakyat Bima “Oi Mbora” dan
mendeskripsikan kaitan cerita “Oi Mbora” dengan pembelajaran sastra di SMP.
Dikarenakan penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, maka data dalam
penelitian ini berwujud informasi tentang makna cerita rakyat Bima Oi Mboradi
Desa Oi Mbo, kelurahan Kumbe. Data yang menunjang penelitian ini didapatkan
dari narasumber, yaitu masyarakat Oi Mbo kaum tua (berumur 35 tahun ke atas)
dan kaum muda (berumur 14-25 tahun) berjumlah sepuluh orang yang menjadi
informan, peristiwa, dan tingkah laku, dokumen atau arsip-arsip benda lain. Data
yang didapatkan dari informan-informan tersebut dikumpulkan dengan
menggunakan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. Kemudian, data
yang sudah dikumpulkan untuk menunjang penelitian tersebut dianalisis dengan
menggunakan metode analisis data kualitatif. Lalu, data tersebut disajikan dengan
Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Lindri Agustiani (2015) yang
berjudul “Makna Kontekstual Kata dalam Wacana Rubrik Berita Utama Surat
Kabar Lombok Post dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia
Berbasis Teks di SMP/SMA”Universitas Mataram. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan bentuk kata yang memiliki makna kontekstual dalam wacana
rubrik berita utama surat kabar Lombok Post, kemudian menafsirkannya serta
mendeskripsikan implikasinya.
Penelitian ini membahas bagaimana suatu kata yang sama dalam wacana
yang berbeda memiliki makna yang berbeda (sesuai dengan konteksnya).
Dikarenakan penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, maka data dalam
penelitian ini berupa kata, klausa, kalimat, maupun paragraf atau penggalan
wacana yang memuat makna kontekstual. Kemudian, sumber datanya adalah
wacana tulis yang terdapat dalam rubrik berita utama surat kabar Lombok Post
edisi April dan September 2014, khususnya pada tanggal 2, 11, 13, 14, 17, 20, 21,
23, 25, 28 April 2014 dan tanggal 10, 16, 18, 27, 29 September 2014.
Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini
adalah metode observasi dan dokumentasi. Dalam menganalisis data yang
didapatkan, penelitian ini menggunakan metode analisis wacana bersifat kualitatif.
Metode analisis wacana bersifat kualitatif ini merujuk pada pendekatan kualitatif
yang proses penelitian dan pemahamannya berdasarkan pada metodelogi yang
menyelidiki suatu fenomena. Dengan pendekatan tersebut, penelitian ini
membuat suatu gambaran kompleks dalam meneliti wacana khususnya pada aspek
dan September 2014. Metode penyajian data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode informal dan formal.
Penelitian ini memiliki kesimpulan bahwa bentuk kata bermakna kontekstual
yang ditemukan dalam wacana rubrik berita utama surat kabar Lombok Post edisi
April dan September 2014 ialah kata dasar dan kata turunan. Kata dasar dalam
wacana rubric berita utama yang ditemukan dalam surat kabar Lombok Post
tersebut yaitu makna dukungan, pemimpin, anggota, bagian, calon, tersebar,
bergabung, kecurangan, dan malu. Kata turunan dalam wacana rubrik berita
utama yang ditemukan dalam surat kabar Lombok Post tersebut yaitu pada kata
berimbuhan ialah makna menjadi, mencapai, mengalahkan, dikalahkan,
memerlukan, edaran, perbedaan, banyaknya, tersebarnya, dan kecurangan. Kata
keturunan yang ditemukan dalam surat kabar Lombok Postyaitu makna menyuap,
kecurangan, berharap, kekayaan lain, club kuat, tanggapan negative, korupsi,
dan strategi permainan.
Berdasarkan gambaran penelitian yang pernah dilakukan di atas, belum ada
yang mengangkat tentang makna ideasional, itulah alasan mengapa penelitian ini
penting. Banyak karya sastra yang mengungkapkan ungkapan-ungkapan yang
tidak memiliki acuan yang konkret atau minus (-) acuan, namun kemungkinan
besar pembaca serta penulisnya tidak mengetahui, mengapa mereka bisa
sama-sama saling mengerti. Itu sebabnya para linguis menggali dan menemukan teori
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Semantik
Verhaar mengungkapkan bahwa semantik adalah cabang linguistik
yang membahas arti atau makna. Senada dengan pengertian yang
dikemukakan oleh Verhaar, Palmer (dalam Aminuddin, 2015: 15)
menjelaskan bahwa semantik yang semula berasal dari bahasa Yunani
mengandung maknato signifyatau memaknai. Sebagai istilah teknis, semantik
mengandung pengertian “studi tentang makna”. Dengan anggapan bahwa
makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik merupakan bagian dari
linguistik.
Seperti halnya bunyi dan tata bahasa, komponen makna dalam hal ini
juga menduduki tingkatan tertentu. Apabila komponen bunyi umumnya
menduduki tingkat pertama, tata bahasa pada tingkat kedua, maka komponen
makna menduduki tingkatan paling akhir. Hubungan ketiga komponen itu
sesuai dengan kenyataan bahwa, (a) bahasa pada awalnya merupakan
bunyi-bunyi abstrak yang mengacu pada adanya lambang-lambang tertentu, (b)
lambang-lambang merupakan seperangkat sistem memiliki tataan dan
hubungan tertentu, dan (c) seperangkat lambang yang memiliki bentuk dan
hubungan itu mengasosiasikan adanya makna tertentu.
Suhardi (2015: 19) mengatakan bahwa ada dua istilah yang sangat
esensial berkaitan dengan makna. Kedua istilah tersebut adalah (1) bermakna
(being meaningful) dan (2) mempunyai makna (having a meaning). Keuda
diterjemahkan sesuatu yang memberikan efek berupa makna, sementara
mempunyai makna dapat diterjemahkan sesuatu yang mengandung mana.
Lahirnya kedua istilah ini tidak lepas dari perbedaan pandangan antara para
linguis dan tokoh filsafat. Menurut para filsuf, kata-kata adalah sesuatu yang
sudah semestinya. Sementara menurut para linguis tidaklah demikian,
kata-kata dan kalimat tercipta tidak lepas dari adanya proses gramatikal atau sebuah
gramatikal. Terlepas dari perbedaan pandangan kedua ahli tersebut, kajian
tentang makna merupakan kajian yang sangat menarik. Terutama di kalangan
dunia linguistik dan filsafat.
Berbagai pendekatan yang dikemukakan banyak yang membingungkan.
Contohnya saja pendekatan yang membedakan antara makna emotif dan
kognitif; antara significance (berarti) dan signification (penandaan); antara
makna performatif dan deskriptif; antara arti (sense) dan acuan (reference);
antara denotasi dan konotasi; antara tanda dan lambang; antara ekstensi dan
intensi; antara implikasi, perikutan (entailment) dan pengandaian
(presupposition); antara analitik dan sintetik; dan lain sebagainya. Dari satu
sisi, teori yang dikemukakan para ahli tersebut kaya dengan istilah, tetapi dari
sisi lain membingungkan karena beragamnya teori yang dikemukakan dan
digunakan para linguis.
Dalam Tata Bahasa Tradisional, kata (leksem) adalah satuan dasar
Sintaksis dan Semantik. Kata adalah tanda yang terdiri dari dua bagian, yaitu
(1) bentuk dan (2) makna. Adapun hubungan kedua bentuk tersebut bersifat
2.2.2 Teori Makna
Aminuddin (2015: 50) mengatakan bahwa dalam pemakaian
sehari-hari, kata makna digunakan dalam berbagai bidang maupun konteks
pemakaian. Apakah pengertian khusus kata makna tersebut serta
perbedaannya dengan ide, misalnya, tidak begitu diperhatikan. Sebab itu,
sudah sewajarnya bila makna juga disejajarkan pengertiannya dengan arti,
gagasan, konsep, pernyataan, pesan, informasi, maksud, firasat, isi, dan
pikiran. Berbagai pengertian itu disejajarkan begitu saja dengan kata makna
karena keberadaannya memang tidak pernah dikenali secara cermat dan
dipilahkan secara tepat.
Grice dan Bolinger (dalam Aminuddin, 2015: 52-53) mengungkapkan
bahwa kata maknasebagai istilah mengacu pada pengertian yang sangat luas.
Sebab itu, tidak mengeherankan bila Ogden & Richard dalam bukunya The
Meaning of Meaning (1923), mendaftar enam belas rumusan pengertian
makna yang berbeda-beda antara yang satu dengan lainnya. Adapun batasan
pengertian makna dalam pembahasan ini, makna ialah hubungan antara bahasa
dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh para pemakai bahasa
sehingga dapat saling dimengerti. Dari batasan itu dapat diketahui adanya tiga
unsur pokok yang tercakup di dalamnya, yakni (1) makna adalah hasil
hubungan antara bahasa dengan dunia luar, (2) penentuan hubungan terjadi
karena kesepakatan para pemakai, serta (3) perwujudan makna itu dapat
Ada tiga pandangan mengenai bentuk hubungan antara makna dengan
dunia luar, yakni (1) realisme, (2) nominalisme, dan (3) konseptualisme.
Realisme beranggapan bahwa terhadap wujud dunia luar, manusia selalu
memiliki jalan pikiran tertentu. Misalnya, kata mendungselain dapat diacukan
pada benda, juga dapat diacukan ke dalam suasana sedih.
Dalam nasionalisme, hubungan antara makna kata dengan dunia luar
semata-mata bersifat arbitrer meskipun sewenang-wenang, penentuan
hubungannya oleh para pemakai dilatari oleh adanya konvensi. Sebab itulah
penunjukkan makna kata bukan bersifat perseorangan, melainkan memiliki
kebersamaan.
Bagi konseptualisme, pemaknaan sepenuhnya ditentukan oleh adanya asosiasi
dan konseptualisasi pemakai bahasa, lepas dari dunia luar yang diacunya.
Ada tiga bentuk pendekatan dalam teori makna yang memiliki dasar
pusat pandang berbeda-beda. Aminuddin (2015: 55) mengatakan bahwa tiga
bentuk pendekatan yang oleh Harman (1968) dianggap lebih tepat disikapi
sebagai tiga tataran makna, menurut Alston meliputi pendekatan (1)
referensial, (2) ideasional, dan (3) behavioral.
a. Pendekatan Referensial
Menurut Aminuddin (2015: 55) dalam pendekatan referensial, makna
diartikan sebagai label yang berada dalam kesadaran manusia untuk menunjuk
dunia luar. Sebagai label atau julukan, makna itu hadir karena adanya
kesadaran pengamatan terhadap fakta dan penarikan kesimpulan yang
dalam kesadaran individual itu, lebih lanjut memungkinkan manusia untuk
menyusun dan mengembangkan skema konsep.
Suhardi (2015: 22) menjelaskan bahwa teori referensial adalah teori
yang menyatakan hubungan antara reference, referent, dan symbol
sebagaimana yang dikemukakan Odgen dan Richard dalam bentuk segitiga
sama sisi. Menurut teori ini, makna adalah sesuatu yang terbentuk dari hasil
hubungan antara reference dengan referentsehingga membentuk simbol bunyi
bahasa (berupa kata, frasa, dan kalimat).
b. Pendekatan Ideasional
Dalam pendekatan ideasional, makna adalah gambaran gagasan dari
suatu bentuk kebahasaan yang bersifat sewenang-wenang tetapi memiliki
konvensi sehingga dapat saling dimengerti (Aminuddin, 2015: 58). Kemudian,
menurut Sarwiji (2011: 87), makna ideasional merupakan makna yang muncul
sebagai akibat penggunaan leksem yang mempunyai konsep. Jadi, kata yang
tidak memiliki acuan yang konkret dapat dipahami oleh pengguna bahasa, itu
disebabkan oleh kata tersebut memiliki konsep yang sudah dipahami oleh
masing-masing pengguna bahasa. Hal tersebut erat kaitannya dengan segitiga
semantik Odgen & Richard, yaitu hubungan antara simbol, konsep, dan acuan.
Simbol merupakan semua bentuk kebahasaan (kata, frasa, klausa, dan
kalimat), tetapi tidak semua bentuk kebahasaan memiliki acuan yang konkret.
Ketika bentuk kebahasaan tidak memiliki acuan yang konkret, maka dia
memiliki konsep yang sudah dipahami oleh pengguna bahasa sehingga
c. Pendekatan Behavioral
Dalam dua pendekatan yang telah diuraikan di depan, dapat diketahui
bahwa (1) pendekatan referensial dalam mengkaji makna lebih menekankan
pada fakta sebagai objek kesadaran pengamatan dan penarikan kesimpulan
secara individual, dan (2) pendekatan ideasional lebih menekankan pada
keberadaan bahasa sebagai media dalam mengolah pesan dan menyampaikan
informasi. Keberatan dari pendekatan behavioral terhadap kedua pendekatan
tersebut, salah satunya adalah, kedua pendekatan itu telah mengabaikan
konteks sosial dan situsional yang oleh kaum behavioral dianggap berperanan
penting dalam menentukan makna.
2.2.3 Jenis-jenis Makna
Fatimah menjelaskan berbagai jenis makna dalam bukunya
(2013:7-20). Makna-makna tersebut adalah sebagai berikut.
1. Makna Sempit
Makna sempit (narrowed meaning) adalah makna yang lebih sempit dari
keseluruhan ujaran.
2. Makna Luas
Makna luas (widened meaning atau extended meaning) adalah makna yang
terkandung pada sebuah kata lebih luas dari yang diperkirakan.
3. Makna Kognitif
Makna kognitif juga disebut dengan makna deskriptif atau denotatif yang
antara konsep dengan dunia kenyataan (bandingkanlah dengan makna
konotatif dan emotif).
4. Makna Konotatif dan Emotif
Makna konotatif adalah makna yang muncul dari makna kognitif
(lewat makna kognitif), ke dalam makna kognitif tersebut ditambahkan
komponen makna lain. Kemudian, makna emotif (emotive meaning) adalah
makna yang melibatkan perasaan (pembicara dan pendengar; penulis dan
pembaca) ke arah yang positif.
5. Makna Referensial
Makna referensial adalah makna yang berhubungan langsung dengan
kenyataan atau referent (acuan), makna referen juga disebut makna kognitif,
karena memiliki acuan.
6. Makna Konstruksi
Makna konstruksi (construction meaning) adalah makna yang terdapat di
dalam konstruksi, misalnya makna milik yang diungkapkan dengan urutan
kata di dalam bahasa Indonesia.
7. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Makna leksikal (lexical meaning, semantic meaning, external meaning)
adalah makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dan
lain-lain. Kemudian makna gramatikal (grammatical meaning, functional meaning,
structural meaning, internal meaning) adalah makna yang menyangkut
hubungan intra-bahasa, atau makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya
8. Makna Ideasional
Makna idesional (ideational meaning) adalah makna yang muncul sebagai
akibat penggunaan kata yang berkonsep.
9. Makna Proposisi
Makna proposisi (propositional meaning) adalah makna yang muncul bila kita
membatasi pengertian tentang sesuatu.
10. Makna Pusat
Makna pusat (central meaning) adalah makna yang dimiliki setiap kata yang
menjadi inti ujaran.
11. Makna Piktoral
Makna piktoral adalah makna suatu kata yang berhubungan dengan perasaan
pendengar atau pembaca.
12. Makna Idiomatik
Makna idiomatik adalah makna leksikal terbentuk dari beberapa kata.
2.2.4 Makna Ideasional
Makna ideasional merupakan salah satu jenis makna. Dalam
pendekatan ideasional, makna adalah gambaran gagasan dari suatu bentuk
kebahasaan yang bersifat sewenang-wenang, tetapi memiliki konvensi
sehingga dapat saling dimengerti (Aminuddin, 2015: 58). Artinya, teori ini
menganggap bahwa makna terjadi oleh kerja pikir, benak, atau hasil gagasan
atau ide seseorang atau penutur bahasa, pemilik bahasa yang bersangkutan.
lawan bicara penutur. Kenapa bisa seperti itu? Inilah yang dibahas oleh cara
pandang teori ideasional mengenai makna.
Sarwiji (2011: 87) mengatakan bahwa makna ideasional adalah makna
yang muncul sebagai akibat penggunaan leksem yang memiliki konsep. Kita
tidak saja perlu mencari makna leksem tersebut di dalam kamus, tetapi kita
juga perlu mengetahui penggunaannya dalam masyarakat bahasa, konsep, dan
idenya. Contohnya pada leksem partisipasi mengandung ide “aktivitas
maksimal seseorang untuk ikut dalam suatu kegiatan”.
Teori-teori baru dari para ahli itu berawal dari segitiga semantik yang
dikemukakan oleh Odgen & Richard, yaitu hubungan antara simbol, konsep,
dan acuan. Simbol berupa semua bentuk kebahasaan (kata, frasa, klausa,
kalimat). Konsep berupa gagasan, ide, atau pikiran. Kemudian acuan berupa
wujud konkret dari simbol dan konsep. Tetapi tidak semua leksem memiliki
wujud yang konkret. Ada banyak leksem yang tidak memiliki wujud konkret,
tetapi memiliki konsep. Inilah yang kemudian melahirkan teori ideasional dan
makna konseptual.
Makna konseptual juga disebut sebagai makna denotasi. Denotasi
makna kata yang dihasilkan dari koseptual para pemakainya. Ketika seorang
penutur menuturkan leksem /mobil/, yang dibenak pendengar adalah sebuah
benda yang memiliki roda empat. Ini merupakan konsep dari makna
referensial yang langsung mengacu pada referennya. Sebaliknya, dalam
makna konseptual, pendengar (di dalam pikirannya) memiliki konsep bahwa
Makna konseptual sebuah leksem dapat saja berubah atau bergeser
setelah ditambah atau dikurangi unsurnya, misal leksem cinta. Makna
konspetual leksem tersebut kita ketahui, tetapi jika leksem ini kita perluas
unsurnya menjadi cinta segitiga, jatuh cinta, cinta sejati, maka makna
konspetual leksem tersebut berubah. Sama halnya dengan makna konseptual,
makna ideasional suatu leksem juga akan berubah apabila ditambahkan atau
dikurangi unsurnya. Kata cinta yang ditemukan dalam novel London karya
Windry Ramadhina berupa kata dasar dan kata turunan. Kata cinta juga
ditemukan dalam frasa dan dalam kalimat.
Penggunaan kalimat (bahasa) yang dihasilkan oleh panca indera
haruslah bertumpu pada akal pikiran (ide). Akal itulah yang menentukan
maksud dari bahasa itu. Semua bahasa yang telah diproduksi itu sesungguhnya
dapat dipahami oleh akal pikiran manusia. Semua bahasa yang tidak memiliki
wujud konkret hanya dapat dipahami oleh akal pikiran.
Hal ini serupa dengan teori makna kognitif. Teori tersebut mengatakan
bahwa aspek-aspek makna satuan bahasa yang berhubungan dengan ciri-ciri
dalam alam di luar bahasa atau penalaran (Kridalaksana dalam Sarwiji, 2011:
86). Artinya bahwa makna ditunjukkan oleh acuannya, makna unsur bahasa
yang sangat dekat hubungannya dengan dunia luar bahasa, objek, atau gagasan
dan dapat dijelaskan berdasarkan analisis komponen.
Sebagaimana yang sudah dipaparkan sebelumnya bahwa seseorang
dapat memahami suatu kata akibat adanya kerja pikir dalam benak individu
Makna yang dimiliki oleh sebuah leksem atau kata bertalian leksem itu
dengan keadaan di luar bahasa. Sebagai contoh, leksem /putih/ berasosiasi
dengan makna ‘suci’, ‘kesucian’, ‘baik’, atau ‘benar’; /merah/ berasosiasi
dengan makna ‘berani’. Contoh tersebut menjelaskan bahwa makna yang akan
ditangkap oleh pendengar bergantung pada bagaimana kemampuan kerja pikir
individu dalam memaknai suatu kata. Teori makna asosiastif ini tentunya
mendukung teori makna ideasional.
Teori ideasional merupakan teori yang meneliti arti suatu kata atau
ungkapan dengan gagasan-gagasan yang berhubungan dengan ungkapan.
Dalam teori ini, bahasa digunakan sebagai media perantara untuk
mengungkapkan ide atau memasukkan bentuk dari luar ide ke dalam ide.
Sebuah bahasa tidak akan ditemukan maknanya apabila tidak ada pengetahuan
yang luas dalam ide. Akal pikiran lebih mendominasi daripada perasaan yang
hanya sangat sedikit diakui keberadaannya. Bahkan fungsi perasaan dalam
bahasa pun sangatlah sedikit. Menghapal apapun pastinya dengan akal pikiran
dan itu sangat memungkinkan untuk memperbanyak dan memperkaya bahasa
yang kita gunakan. Teori ini juga ditunjukkan dengan adanya hubungan antara
pengguna bahasa. Antara penutur dan pendengar harus memiliki pikiran dan
pemahaman yang sama.
Terlihat sangat jelas bahwa teori ini memusatkan pada pikiran atau ide,
yakni bentuk yang ada dalam ide penutur dan pendengar bertujuan untuk
membatasi makna sebuah kalimat. Penutur harus menggunakan bahasa pada
dan pendengar dapat berjalan dengan baik atau dengan kata lain dapat saling
memahami satu sama lain.
2.2.5 Bentuk Kebahasaan
2.2.5.1 Morfologi
Kridalaksana (dalam Mulyono, 2013: 1) megatakan bahwa
morfologi adalah ilmu bahasa yang mempelajari seluk-beluk wujud
morfem. Batasan lain, yang tertuang dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, berbunyi bahwa morfologi adalah cabang linguistik tentang
morfem dan kombinasi-kombinasinya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa,
morfologi adalah cabang linguistik yang mempelajari sleuk-beluk
morfem beserta kombinasi-kombinasinya.
A. Kata
Kata adalah bentuk bebas yang terkecil, yang tidak dapat dibagi
menjadi bentuk bebas yang lebih kecil lagi (Wijana, 2009: 33).
Kridalaksana (1993: 98) juga menjelaskan bahwa kata adalah
morfem-morfem yang oleh bahasawan dianggap sebagai satuan terkecil yang
dapat diajarkan sebagai bentuk yang bebas, satuan bahasa yang dapat
berdiri sendiri. Chaer (1995: 162) mendefinisikan kata sebagai satuan
bahasa yang memiliki pengertian.
Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kata adalah
satuan bahasa terkecil yang dapat berdiri sendiri dan memiliki arti.
Keraf (1991: 4) mengelompokkan kata berdasarkan bentuknya
Sedangkan kata berimbuhan terdiri atas kata yang berprefiks
(berawalan), kata yang berinfiks (bersisipan), kata yang bersufiks
(berakhiran), dan kata yang berkonfiks (berawalan dan berakhiran).
Senada dengan Keraf, Santoso, dkk (2008: 4, 15) menyatakan
bahwa kata menurut bentuknya dikelompokkan menjadi kata dasar dan
kata jadian/turunan. Kata jadian terbagi lagi menjadi kata berimbuhan,
kata ulang (reduplikasi), dan kata majemuk. Kata berimbuhan meliputi
kata berawalan (prefiks), kata bersisipan (infiks), kata berakhiran
(sufiks), dan kata yang berkonfiks (berawalan dan berakhiran).
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kata
berdasarkan bentuknya terdiri dari kata dasar dan kata turunan. Kata
turunan terdiri dari kata imbuhan, kata ulang, dan kata majemuk.
1. Kata Dasar
Kata dasar adalah kata yang belum diberi imbuhan. Dengan kata
lain, kata dasar adalah kata yang menjadi dasar awal pembentukan
kata yang lebih besar. Contohnya, makan, minum, lari, tidur, tulis,
dengar, dan lain-lain.
2. Kata Turunan
Kata turunan merupakan kata yang dibentuk melalui proses
pengafiksasian, reduplikasi (pengulangan), atau pemajemukan.
a. Kata Imbuhan (Afiks)
Menurut Keraf (1991: 121) mengemukakan bahwa afiks atau
diletakkan pada kata dasar atau bentuk dasar untuk membentuk
kata-kata baru. Dengan kata-kata lain, afiks atau imbuhan melekat pada kata-kata
dasar. Afiks atau imbuhan yang melekat pada kata dasar ini akan
membentuk kata baru sehingga makna dan fungsinya menjadi berbeda
dengan kata dasarnya.
Afiks juga dibagi berdasarkan tempat unsur itu diletakkan pada
kata dasar. Dalam hal ini, Keraf (1991: 121) membaginya menjadi
prefiks (awalan), infiks (sisipan), sufiks (akhiran), dan konfiks
(awalan dan akhiran).
1. Kata Berprefiks (Awalan)
Prefiks (awalan) adalah sebuah morfem nondasar yang secara
struktural diletakkan pada awal sebuah kata dasar atau bentuk dasar
(Keraf, 1991: 122). Dengan kata lain, prefiks atau imbuhan yang
letaknya di awal kata. Bahkan, dalam sebuah kata bisa diletakkan
dua prefiks sekaligus, misalnya mem-per-satukan.
Bentuk prefiks (awalan) yang ada dalam bahasa Indonesia
yaitu prefiks ber-, per-, me-, di-, ter-, ke-, se-, dan pe-. Conoth kata
berprefiks adalah berbuat, perlambat, meminum, dibuat, terbuat,
kekasih, segelas, pelari, dan sebagainya.
2. Kata Berinfiks (Sisipan)
Infiks atau sisipan adalah morfem nondasar yang diletakkan di
kata dengan vokal berikutnya (Keraf, 1991: 136). Ada tiga macam
infiks dalam bahasa Indonesia, yaitu –el-, -em-, dan –er-.
Infiks (sisipan) –el-, -em-, dan -er- tidak memiliki variasi
bentuk dan bukan merupakan imbuhan yang produktif, maksudnya
adlaah tidak digunakan lagi untuk membentuk kata-kata baru dan
hanya berlangsung pada kata-kata tertentu saja. Pengimbuhannya
dilakukan dengan cara menyisipkan di antara konsonan dan vokal
suku pertama pada sebuah kata dasar. Contoh kata berinfiks antara
lain telapak yang berasal dari kata tapak, gerigi yang berasal dari
kata gigi, temali yang berasal dari kata dasar tali, dan lain
sebagainya.
3. Kata Bersufiks (Akhiran)
Sufiks atau akhiran merupakan morfem nondasar yang
dilekatkan pada akhir sebuah kata dasar. Sufiks yang ada dalam
bahasa Indonesia adalah –kan, -i, -an, dan –nya.
Sufiks atau akhiran –kan, -i, -an, dan –nya tidak mempunyai
variasi bentuk, sehingga untuk situasi dan kondisi manapun
bentuknya sama. Ada dua macam –nya dalam bahasa Indonesia yang
perlu diperhatikan sebagai kata ganti orang ketiga tunggal yang
berlaku objek atau pemilik dan –nya sebagai akhiran. Contoh kata
4. Kata Berkonfiks (Awalan dan akhiran)
Konfiks merupakan gabungan prefiks dan sufiks yang
membentuk suatu kesatuan (Alwi, 2003: 32). Dengan demikian, kata
yang mendapatkan prefiks (awalan) dan sufiks (akhiran) disebut
dengan kata yang berkonfiks. Konfiks dalam bahasa Indonesia terdiri
dari ber-an, ber-kan, per-kan, per-I, me-kan, memper-kan, memper-I,
di-kan, di-i, diper-kan, diper-i, ter-kan, ter-i, ke-an, se-nya, pe-an,
dan per-an. Contoh kata berkonfiks antara lain, menaiki,
memberdayakan, menyuapi, membangunkan, dan lain sebagainya.
3. Kata Ulang (Reduplikasi)
Reduplikasi disebut juga bentuk ulang atau kata ulang. Keraf
(1991: 149) mendefinisikan bentuk ulang sebagai sebuah bentuk
gramatikal yang berwujud penggandaan sebagian atau seluruh bentuk
dasar sebuah kata. Dalam bahasa Indonesia terdapat bermacam-macam
bentuk ulang. Pengulangan dapat dilakukan terhadap kata dasar, kata
berimbuhan, maupun kata gabung.
Kata yang terbentuk dari hasil proses pengulangan dikenal
dengan nama kata ulang. Chaer (2006: 286) membagi kata ulang
berdasarkan hasil pengulangannya.
a) Kata Ulang Utuh atau Murni
Kata ulang utuh atau murni merupakan kata ulang yang bagian
perulangannya sama dengan kata dasar yang diulangnya. Dengan kata
mengalami perulangan seutuhnya. Misalnya pada kata rumah-rumah,
pohon-pohon, pencuri-pencuri, dan anak-anak.
b) Kata Ulang Berubah Bunyi
Kata ulang berubah bunyi merupakan kata ulang yang bagian
pengulangannya mengalami perubahan bunyi, baik itu perubahan bunyi
vokal maupun konsonan. Kata ulang jenis ini terjadi apabila ada
pengulangan pada seluruh bentuk dasar, namun terjadi perubahan bunyi.
Kata ulang perubahan bunyi yang mengalami perubahan vokal misalnya
pada kata bolak-balik, gerak-gerik, dan kelap-kelip. Sedangkan kata
ulang berubah bunyi yang mengalami perubahan bunyi konsonan,
misalnya pada kata sayur-mayur, lauk-pauk, dan ramah-tamah.
c) Kata Ulang Sebagian
Kata ulang sebagian merupakan pengulangan yang dilakukan
atas suku kata pertama dari sebuah kata. Dalam pengulangan jenis ini,
vokal suku kata pertama diganti dengan vokal e pepet. Kata-kata yang
mengalami pengulangan sebagian antara lain, lelaki, leluhur, pepohonan,
dan tetangga.
d) Kata Ulang Berimbuhan
Kata ulang berimbuhan merupakan bentuk perulangan yang
disertai dengan pemberian imbuhan. Chaer (2006: 287) membagi kata
ulang berimbuhan berdasarkan proses pembentukannya menjadi tiga,
yaitu: (1) sebuah kata dasar mula-mula diberi imbuhan, kemudian baru
diulang kemudian baru diberi imbuhan, misalnya kata lari yang
mula-mula diulang sehingga menjadi lari-lari, kemudian diberi imbuhan ber-,
sehingga menjadi berlari-lari; (3) sebuah kata diulang sekaligus diberi
imbuhan, umpanya kata meter yang sekaligus diulang dan beri awalan
ber-, sehingga menjadi bentuk bermeter-meter.
4. Kata Majemuk
Kata majemuk adalah gabungan dari dua kata atau lebih yang
membentuk satu kesatuan arti (Keraf, 1991: 154). Masing-masing kata
yang membentuk kata majemuk sebenarnya mempunyai makna
sendiri-sendiri. Tetapi setelah kata tersebut bersatu, maka akan terbentuk kata
baru yang memiliki makna berbeda dengan kata sebelumnya. Misalnya
pada kata orang tua, sapu tangan, dan matahari.
Ramlan (1987: 76) mengatakan bahwa kata majemuk adalah
gabungan dua kata yang menimbulkan suatu kata baru. Misalnya, rumah
sakit, meja makan, kepala batu, keras hati, dan lai-lain. Ciri-ciri kata
majemuk, yaitu (1) salah satu unsurnya berupa pokok kata. Maksudnya,
satuan gramatik yang tidak dapat beridir sendiri dalam tuturan biasa dan
secara gramatik tidak memiliki sifat bebas, yang dapat dijadikan bentuk
dasar bagi suatu kata. Misalnya, juang, temu, alir, lomba, tempur, tenaga,
masa, lomba masak, jual beli, simpan pinjam, dan lain-lain. (2)
unsur-unsurnya tidak mungkin dipisahkan, atau tidak mungkin diubah
strukturnya. Misalnya, satuan anak buah berbeda dengan anak orang
orang, unsur anak dan orang dapat dipisahkan, misalnya dengan
menambahkan unsur jumlah di muka kata orang, menjadi anak kedua
orang (itu pandai-pandai), atau dapat diubah strukturnya menjadi orang
(itu) anak (-nya lima). Tetapi, unsur-unsur pada anak buah tidak dapat
dipisahkan dan juga tidak dapat diubah strukturnya. Anak kedua buah
dan buah (itu) anak (-nya lima)tidak terdapat dalam pemakaian bahasa.
Maka, dapat disimpulkan bahwa anak buah merupakan kata majemuk,
sedangkan anak orangtidak merupakan kata majemuk, melainkan frase.
Dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia 2000 dijelaskan
bahwa satu kata yang dapat berproses sebagai kata majemuk dapat
berupa verba atau sering disebut kata kerja, nomina atau sering disebut
kata benda, dan adjektiva atau sering disebut kata sifat. Istilah ini dapat
disebut sebagai verba majemuk, nomina majemuk, dan adjektiva
majemuk.
1) Verba Majemuk
Verba majemuk adalah verba yang terbentuk melalui proses
penggabungan satu kata dengan kata lain. Dalam verba majemuk,
penjejeran dua kata atau lebih itu menimbulkan makna yang secara
langsung masih bisa ditelusuri dari makna yang masing-masing kata
yang tergabung. Missal, kata terjun dan kata payung dapat
digabungkan menjadi terjun payung.
Salah satu ciri dari verba majemuk adalah bahwa urutan
dipertukarkan tempatnya. Misalnya, bentuk temu wicara tidak bisa
digantikan dengan bentuk wicara temu, bentuk siap tempurtidak bisa
digantikan dengan bentuk tempur siap, dan bentuk tatap muka tidak
bisa digantikan dengan muka tatap.
Verba majemuk juga tidak dapat dipisahkan oleh kata lain.
Misalnya, bentuk temu wicara, siap tempur, dan tatap muka, tidak
dapat diubah menjadi temu untuk wicara, siap guna tempur, dan tatap
dengan muka.
Verba majemuk dapat dibagi berdasarkan bentuk morfologis dan
hubungan komponennya. Berdasarkan morfologisnya, verba majemuk
terbagi menjadi (1) verba majemuk dasar, (2) verba majemuk berafiks,
(3) verba majemuk berulang.
Berdasarkan hubungan komponennya, verba majemuk terbagi menjadi
(1) verba majemuk bertingkat, dan (2) verba majemuk setara.
2) Nomina Majemuk
Seperti halnya dengan verba, nomina juga dapat dimajemukkan.
Ciri yang dimiliki oleh nomina majemuk, yaitu (1) makna nomina
majemuk masih dapat ditelusuri secara langsung dari kata-kata yang
digabungkan. Kata unjuk rasa misalnya, masih dapat ditelusuri dari
makna kata unjuk dan rasa, yakni melakukan unjuk atau aksi karena
adanya perasaan atau rasa di dalam hati, (2) urutan komponennya
seolah-olah telah menjadi satu sehingga tidak dapat ditukar tempatnya.
nomina majemuk terdiri atas dua kata dan tidak lebih. Oleh karena
hanya terdiri dari dua kata, maka nomina majemuk akan mudah
dikenali dan mudah dibedakan dengan bentuk gabungan kata lain yang
bukan kategori nomina majemuk.
Nomina majemuk dapat dibedakan dari segi bentuk morfologis
dan hubungan komponen. Berdasarkan bentuk morfologis, nomina
majemuk terdiri dari (1) nomina majemuk dasar, (2) nomina majemuk
berafiks, dan (3) nomina majemuk dari bentuk bebas dan bentuk
terikat.
Dari segi hubungan komponennya, nomina majemuk terbagi menjadi
(1) nomina majemuk setara, dan (2) nomina majemuk bertingkat.
3) Adjektiva Majemuk
Dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (1998:
191-193), adjektiva majemuk dimaknai sebagai bentuk majemuk yang
merupakan gabungan dari morfem terikat dengan morfem bebas dan
ada yang merupakan gabungan dua morfem bebas (atau lebih).
5. Morfem
Wijana (2009: 33) mengatakan bahwa morfem adalah satuan
gramatikal terkecil yang berperan sebagai pembentuk kata. Sebagai
pembentuk kata, morfem merupakan satuan kebahasaan yang terkecil
yang maknanya secara relatif stabil dan tidak dapat dibagi atas bagian
bermakna yang lebih kecil (Kridalaksana, 2008: 157). Dalam bahasa
Dalam morfem dikenal istilah morfem dasar yaitu morfem yang
dapat berdiri sendiri seperti lari, datang, makan, minum, dan lain-lain.
Ada juga morfem terikat yaitu morfem yang tidak dapat berdiri sendiri
seperti awalan ber-, me(N)-, akhiran –kan, -i, dan sebagainya. Selain itu
dikenal juga istilah morfem dasar yaitu bentuk yang merupakan dasar
pembentukan kata polimorfemik (kata yang terdiri dari lebih dari satu
morfem), misalnya rumah, alat, meja, dan sebagainya.
Sebuah morfem dasar dengan sendirinya sudah membentuk kata.
Namun sebaliknya, konsep kata tidak saja meliputi morfem dasar tetapi
juga meliputi semua bentuk gabungan antara morfem dasar dengan
morfem terikat atau morfem dasar dengan morfem dasar.
6. Kategori Kata
Kridalaksana membagi kata menjadi beberapa kategori, yaitu verba,
ajektiva, nomina, pronomina, numeralia, adverbial, interogativa,
demonstrative, artikula, preposisi, konjungsi, kategori fatis, dan
interjeksi.
a. Verba
Secara sintaksis sebuah satuan gramatikal dapat diketahui berkategori
verba dari perilakunya dalam satuan yang lebih besar; jadi sebuah kata
dapat dikatakan berkategori verba hanya dari perilakunya dalam frase,
yakni dalam hal kemungkinannya satuan itu didampingi partikel tidak
dengan partikel di, ke, dari, atau dengan partikel seperti sangat, lebih,
atau agak (Kridalaksana, 2005: 51).
b. Ajektiva
Menurut Kridalaksana (2005: 59) ajektiva adalah kategori yang
ditandai oleh kemungkinannya untuk (1) bergabung dengan partikel
tidak, (2) mendampingi nomina, atau (3) didampingi partikel seperti
lebih, sangat, agak, (4) mempunyai ciri-ciri morfologis seperti –er
(dalam honorer), -if (dalam sensitif), -i (dalam alami), atau (5)
dibentuk menjadi nomina dengan konfiks ke-an, seperti adil –
keadilan, halus – kehalusan, yakin – keyakinan (ciri terkahir ini
berlaku bagi sebagian besar ajektiva dasar dan bisa menandai verba
intransitif, jadi ada tumpang tindih di antaranya).
c. Nomina
Nomina adalah kategori yang secara sintaksis (1) tidak mempunyai
potensi untuk bergabung dengan partikel tidak, (2) mempunyai potensi
untuk didahului oleh partikel dari (Kridalaksana, 2005: 68).
d. Pronomina
Pronomina adalah kategori yang berfungsi untuk
menggantikan nomina. Apa yang digantikannya itu disebut anteseden.
Anteseden itu ada di dalam atau di luar wacana (di luar bahasa).
Sebagai pronominal kategori ini tidak bisa berafiks, tetapi beberapa di
beliau-beliau, mereka-mereka, dengan pengertian ‘meremehkan’ atau
‘merendahkan’.
Kata pronominal dapat dijadikan frase pronominal, seperti aku ini,
kamu sekalian, mereka semua.
e. Numeralia
Kridalaksana (2005: 79) mengatakan bahwa numeralia adalah
kategori yang dapat (1) mendampingi nomina dalam konstruksi
sintaksis, (2) mempunyai potensi untuk mendampingi numeralia lain,
dan (3) tidak dapat bergabung dengan tidak atau dengan sangat.
Numeralia mewakili bilangan yang terdapat dalam alam di luar bahasa.
f. Adverbia
Adverbia adalah kategori yang dapat mendampingi ajektiva,
numeralia, atau proposisi dalam konstruksi sintaksis. Dalam kalimat Ia
sudah pergi, kata sudah adalah adverbial, bukan karena mendampingi
verba pergi, tetapi karena mempunyai potensi untuk mendampingi
ajektiva, misalnya dalam Saatnya sudah dekat. Jadi, sekalipun banyak
adverbial dapat mendampingi verba dalam konstruksi sintaksis, namun
adanya verba itu bukan menjadi ciri adverbia.
Adverbia tidak boleh dikacaukan dengan keterangan, karena adverbial
merupakan konsep kategori; sedangkan keterangan merupakan konsep
Adverbia dapat ditemui dalam bentuk dasar dan bentuk
turunan. Bentuk turunan itu terwujud melalui afiksasi, reduplikasi,
gabungan proses, gabungan morfem (Kridalaksana, 2005: 81 – 82).
2.2.5.2 Bentuk Sintaksis
Tarigan (2009: 4) menjelaskan bahwa sintaksis adalah salah
satu cabang dari tata bahasa yang membicarakan struktur-struktur
kalimat, klausa, dan frase. Kemudian Ramlan (dalam Tarigan, 2009: 4)
mengatakan bahwa sintaksis adalah bagian dari tata bahasa yang
membicarakan struktur frasa dan kalimat. Jadi, dapat ditarik
kesimpulan bahwa sintaksis adalah salah satu bagian dari tata bahasa
yang membicarakan struktur frasa, klausa, dan kalimat.
A. Frasa
Pada dasarnya, frasa adalah gabungan kata. Namun, tak semua
gabungan kata merupakan frasa. Frasa merupakan gabungan kata yang
tidak melewati batas fungsi. Yang dimaksud dengan fungsi ialah
seperti subjek, predikat, objek, dan keterangan (Wijana: 2009: 46).
Menurut Gorys Keraf, frasa merupakan gabungan dua atau lebih
kata dan masing-masing kata tetap mempertahankan makna dasar
katanya dan setiap kata pembentuknya tidak berfungsi sebagai subjek
dan predikat dalam konstruksi itu. Hal ini penting untuk membedakan
frasa dengan kata majemuk dan frasa dengan kalimat atau klausa. Kata
majemuk juga merupakan gabungan kata, namun kata-kata yang
tidak lagi mempertahankan maknanya. Misalnya, kambing hitam
sebagai kata majemuk bukan berarti kambing yang hitam melainkan
orang yang dipersalahkan, sedangkan sebagai frasa kambing hitam
berarti kambing yang hitam.
Dari dua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa frasa adalah
gabungan kata yang saling mempertahankan makna dan tidak melewati
batas fungsi.
Pada penelitian ini, kata cintajuga ditemukan dalam frasa. Contohnya,
pada halaman 293 yang berbunyi, “Aku bahkan tidak tahan melihat
ekspresi cinta yang—aku tahu—bukan untukku di mata Ning.” Kata
ekspresi cinta di sini merupakan frasa. Itu adalah salah satu contoh
kata cintadalam frasa yang ditemukan.
B. Klausa
Klausa adalah satuan kebahasaan yang bersifat predikatif.
Maksudnya, satuan lingual ini melibatkan predikat sebagai unsur
intinya (Wijana, 2009: 54). Oleh karena itu, klausa
sekurang-kurangnya terdiri atas dua kata yang mengandung hubungan
fungsional subjek-predikat dan secara fakultatif dapat diperluas dengan
beberapa fungsi yang lain seperti objek dan keterangan (Keraf, 1991:
181).
Secara sederhana, kamus linguistik mengatakan bahwa klausa
predikat dan berpotensi sebagai kalimat (Kridalaksana, 2008: 124).
Contoh klausa: ibu pergi, setelah aku belajar.
C. Kalimat
Wijana (2009: 56) menjelaskan bahwa kalimat adalah satuan
lingual yang diakhiri oleh lagu akhir selesai baik lagu akhir selesai
turun maupun naik. Kemudian, Kridalakasana (2008: 103) mengatakan
bahwa kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri,
mempunyai pola intonasi final dan secara actual maupun potensial
terdiri dari klausa.
Pada novel London, ditemukan beberapa data kata cintadalam kalimat,
salah satunya yang ditemukan pada halaman 57, yaitu
“Mengungkapkan cinta lewat YM.”
2.2.6 Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA
Implikasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
hubungan atau keterlibatan. Dengan kata lain, implikasi merupakan akibat
langsung atau dampak yang ditimbulkan dari temuan atau hasil suatu
penelitian. Secara bahasa, implikasi diartikan sebagai sesuatu yang telah
disimpulkan terlebih dahulu dalam penelitian. Dalam konteks penelitian,
implikasi bisa dilihat jika peneliti memiliki kesimpulan yang nantinya
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif
kualitatif. Bogdan dan Taylor (dalam Esti, 2011: 10) mendefinisikan penelitian
kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan pelaku yang dapat diamati;
pendekatan ini diarahkan pada lataran individu secara holistik (utuh). Dalam
penelitian ini, metode deskriptif pada penelitian makna ideasional kata ‘cinta’
dalam novel London karya Windry Ramadhina adalah metode yang
menggambarkan secermat mungkin makna ideasioal kata ‘cinta’ dalam novel
tersebut.
3.2 Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah metode simak.
Mahsun (2014: 92) mengatakan bahwa metode penyediaan data ini diberi nama
metode simak karena cara yang digunakan untuk memperoleh data dilakukan
dengan menyimak penggunaan bahasa. Istilah menyimak di sini tidak hanya
berkaitan dengan penggunaan bahasa secara lisan, tetapi juga penggunaan bahasa
secara tertulis. Dalam pengumpulan data ini, objek kajian yang akan disimak
adalah novel Londonkarya Windry Ramadhina, karena terdapat banyak kata yang
mengandung makna ideasional yang selanjutnya akan menjadi data dalam
Metode ini memiliki beberapa teknik dasar. Teknik yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik catat. Mahsun (2014:93) mengatakan bahwa teknik
catat adalah teknik lanjutan yang dilakukan ketika menerapkan metode simak.
Setelah menyimak objek kajian (novel), peneliti mencatat kata-kata yang
berpotensi menjadi data.
Dalam penelitian ini, metode simak dengan teknik catat bekerja dalam waktu
yang bersamaan. Saat peneliti menyimak novel yang akan menjadi sumber data
dalam penelitian ini, kemudian menemukan data-data yang mendukung, peneliti
akan segera mencatat data tersebut yang kemudian akan dikaji maknanya.
3.3 Metode Analisis Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan
intralingual dan metode padan ekstralingual. Mahsun (2015: 117-118)
menjelaskan bahwa padan merupakan kata yang bersinonim dengan kata banding
dan sesuatu yang dibandingkan mengandung makna adanya keterhubungan
sehingga padan di sini diartikan sebagai hal menghubung-bandingkan; sedangkan
intralingualmengacu pada makna unsur-unsur yang berada dalam bahasa (bersifat
lingual), yang dibedakan dengan unssur yang berada di luar bahasa
(ekstralingual), seperti hal-hal yang menyangkut makna, informasi, konteks
tuturan dan lain-lain. Jadi, metode padan intralingualmetode analisis dengan cara
menguhubung-bandingkan unsur-unsur yang bersifat lingual, baik yang terdapat
dalam satu bahasa maupun dalam beberapa bahasa yang berbeda. Cara kerja