• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA IDEASIONAL KATA ‘CINTA’ DALAM NOVEL LONDON KARYA WINDRY RAMADHINA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "MAKNA IDEASIONAL KATA ‘CINTA’ DALAM NOVEL LONDON KARYA WINDRY RAMADHINA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

MAKNA IDEASIONAL KATA ‘CINTA’ DALAM NOVEL

LONDON

KARYA WINDRY RAMADHINA DAN

IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA

INDONESIA DI SMA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1) Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah

Oleh

RIRIN WAHYUNINGSIH E1C013037

PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA DAN DAERAH

PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MATARAM

(2)
(3)

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS MATARAM

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN Jln. Majapahit Mataram NTB, 83125 Telp. (0370) 623873

HALAMAN PENGESAHAN

MAKNA IDEASIONAL KATA ‘CINTA’ DALAM NOVEL LONDON

KARYA WINDRY RAMADHINA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA

Telah Diuji dan Dipertahankan di Depan Panitia Ujian Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Pada, Senin, 17 Juli 2017

Ketua Penguji

Dra. Syamsinas Jafar, M.Hum. NIP. 195912311980692001 Anggota,

Ratna Yulida Ashriany, M.Hum. NIP. 198101082009122002

Anggota,

Drs. Khairul Paridi, M.Hum. NIP. 196012311987031018 Mengetahui,

Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram

(4)

MOTTO

“Hidup ini seperti sepeda. Agar tetap seimbang, kau harus

terus bergerak.”

PERSEMBAHAN

Dengan segenap kerendahan hati dan rasa syukur kepada Allah SWT, skripsi ini penulis persembahkan untuk:

1. Kedua pahlawanku, ayahanda tercinta (Bahrudin) dan ibunda tercinta (Sare’ah). Terima kasih yang tiada henti-hentinya karena telah mengajarkanku arti kesabaran dan perjuangan, atas semua pengorbanan yang telah engkau lakukan untukku dan kedua adikku, atas doa yang selalu engkau panjatkan untuk ananda serta dukungan semangat, dorongan-dorongan yang engkau berikan, baik moril maupun materiil.

2. Adik-adik tersayang (Hazratul Nisa dan Aulia Zahra Firdaus) yang selalu memberi doa dan semangat.

3. Sahabat-sahabat terbaikku (Zahratun Aini, Nia Sari, Izzatul Hilmi, dan Dian Huriatun Husna) yang selalu melukiskan kebahagiaan sebagai motivasi untukku.

4. Teman terbaikku (Sumiati dan Fardha Ilman) yang tidak pernah henti memberikan semangat serta meluangkan waktu untuk berdiskusi dan memberi masukan dalam proses penulisan skripsi ini.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, karunia, serta hidayah-Nya, sehingga skripsi yang berjudul Makna Ideasional Kata ‘Cinta’ dalam Novel London Karya Windry Ramadhina dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA, dapat terselesaikan. Shalawat serta salam semoga senantiasa selalu tercurahkan kepada baginda Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya, serta pengikutnya yang senantiasa istikomah di atas sunah-sunah dan ajaran yang beliau bawa sampai hari kiamat kelak.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis dihadapkan oleh berbagai macam permasalahan, tetapi dengan adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, skripsi ini bisa terselesaikan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, ucapan terima kasih dan rasa hormat disampaikan kepada:

1. Dr. H. Wildan, M.Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram.

2. Dra. Siti Rohana Hariana Intiana, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram. 3. Drs. I Nyoman Sudika, Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra

Indonesia dan Daerah.

4. Dra. Syamsinas Jafar, M.Hum., Dosen Pembimbing I, yang telah banyak memberikan arahan, serta bimbingan selama proses penyusunan skripsi ini. 5. Ratna Yulida Ashriany, M.Hum., Dosen Pembimbing II, yang telah banyak

(6)

6. Dosen-dosen yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu, serta tenaga kependidikan dan administrasi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram.

7. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukugan dalam penyelesaian skripsi ini.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya atas semua bantuan dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis. Penulis menyadari skripsi ini masih kurang sempuran. Oleh karena itu, dengan senang hati penulis akan menerima kritik dan sara yang bersifat membangun. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

(7)

DAFTAR ISI

3.4 Metode Penyajian Hasil Analisis Data……….. 40

BAB IV PEMBAHASAN……….. 42

4.1 Bentuk Lingual Kata Cinta……… 42

4.2 Makna Ideasional Kata Cinta………. 56

4.3 Implikasi………. 78

BAB V PENUTUP……… 80

5.1 Kesimpulan………. 80

(8)
(9)

ABSTRAK

Rumusan masalah dalam penelitian ini (1) bagaimanakah bentuk lingual kata

cinta yang memiliki makna ideasional dalam novel London karya Windry Ramadhina, (2) bagaimanakah makna ideasional kata cinta dalam novel London

karya Windry Ramadhina, dan (3) bagaimanakah implikasi makna ideasional kata

cinta dalam novel London karya Windry Ramadhina dengan pembelajaran bahasa Indonesia di SMA. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan bentuk lingual kata cinta yang memiliki makna ideasional dalam novel London karya Windry Ramadhina, (2) menafsirkan makna ideasional kata cinta dalam novel

London karya Windry Ramadhina, dan (3) mendeskripsikan implikasi makna ideasional kata cinta dalam novel London karya Windry Ramadhina dengan pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA. Data dalam penelitian ini berupa kata. Data diperoleh dengan menggunakan metode simak dan dengan teknik catat. Analisis data yang digunakan adalah deskripsi kualitatif. Data disajikan dalam bentuk formal dan informal. Hasil analisis data dalam penelitian ini ditemukan dalam bentuk morfologi dan sintaksis. Bentuk morfologi ditemukan bentuk dasar dan bentuk turunan. Bentuk kata dasar yang ditemukan hanya kategori sifat dan bentuk kata turunan yang ditemukan adalah kata berafiksasi dan kata majemuk. Kata berafiksasi yang ditemukan yaitu kata cinta berprefiks, bersufiks, dan berkonfiks. Kemudian bentuk sintaksis yang ditemukan adalah kata cinta dalam bentuk frasa dan kalimat. Kemudian pemaknaan ideasional dianalisis sesuai dengan makna leksikal dan kotekstualnya. Makna ideasional berupa makna leksikal ditemukan kata cinta bermakna kasih sayang, menaruh kasih sayang,

ketertarikan terhadap suatu objek, rasa sayang yang sebenar-benarnya, dan

hubungan romantic yang melibatkan tiga orang. Lalu, makna ideasional berupa makna kontekstual ditemukan kata cinta bermakna kecenderungan terhadap sesuatu, cairan, kesedihan, imajinasi, dan harapan. Adapun implikasi makna ideasional terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di SMA adalah dalam kurikulum 2013 (K13), sesuai dengan silabus K13 kelas XII pada kompetensi dasar (KD) 4.1, yaitu “Menginterpretasi makna teks novel baik secara lisan maupun tulisan”.

(10)

ABSTRACT

The research question of this study are (1) what is a lingual form of word love

which has ideational meaning in the novel London by Windry Ramadhina, (2) what the ideational meaning of word love in the novel London by Windry Ramadhina, and (3) what is the implication of the ideational meaning of word love

in the novel London by Windry Ramadhina in teaching and learning Bahasa Indonesia in Senior High School. This research is aimed, (1) to describe lingual form of word love which has ideational meaning in the novel Londonby Windry Ramadhina, (2) to describe ideational meaning of word love in the novel London

by Windry Ramadhina, and (3) to describe the implication of the ideational meaning of word lovein the novel Londonby Windry Ramadhina in teaching and learning Bahasa Indonesia in Senior High School. The data of this study is in form of words. The data is collected by using simak method and catat technique. The method of analysis is using qualitative description. The data is presented in formal and informal. The result of this study is in form of morphology and syntactics. In morphology form has found that there are basic form and root form. In basic form has found adjective category only and in derivation form has found affixation and compound form. Kinds of affixation words found are in form of prefix, suffix, confix. Therefore, in syntactics form has found word of love in phrase and sentences form. Morefore, the analysis of meaning based on the lexical and contextual meaning. In the part of ideational meaning, which related to it’s lexical meaning has found word of love means affection, giving affection, anxiety of certain object, the real affection, and romantic relation which involve three humans. After that, ideational meaning in form of it’s contextual meaning words

lovewhich mean tendency of secrtain thing, fluid, sadness, imagination, and hope

are found. Meanwhile, the implication of ideational meaning towards teaching and learning Bahasa Indonesia in Senior High School is in the curriculum of 2013, based on it’s syllabus in third grade of SMA in standar competency 4.1, is

“Interpretation of text meaning in novel both in oral and written form.”

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa merupakan kumpulan gagasan yang memiliki makna. Bahasa hidup di

dalam masyarakat dan dipakai oleh warganya untuk berkomunikasi. Saat

berkomunikasi menggunakan bahasa, gagasan memiliki potensi makna yang

bermacam-macam. Artinya, saat kita berkomunikasi menggunakan perangkat

bentuk bahasa dengan berbagai macam karakteristik individu, maka akan semakin

beragam makna yang ditangkap oleh individu-individu yang terlibat dalam

komunikasi tersebut.

Seperangkat bentuk bahasa memiliki makna, tidak hanya kata, frasa, dan

kalimat, wacana pun mengandung makna. Bentuk-bentuk kebahasaan tersebut

memiliki makna yang berfungsi untuk mengungkapkan gagasan atau ide.

Seseorang menyampaikan ide dan gagasannya dengan berbahasa, sehingga bahasa

dan gagasan memiliki keterkaitan yang sangat erat, bahkan tidak dapat

dipisahkan. Karena itulah, sebuah gagasan juga erat kaitannya dengan makna.

Gagasan yang disampikan oleh seorang partisipan dalam tuturan tentu saja

memiliki makna, baik tuturan lisan maupun tulisan.

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa gagasan memiliki potensi

makna yang bermacam-macam saat berada dalam komunikasi. Dari satu kalimat

yang dituturkan oleh seorang penutur, setiap pendengar memiliki pemahaman

(12)

yang mereka tangkap dari satu kalimat tersebut berbeda-beda. Sehingga makna

dapat dikatakan datang dari ungkapan gagasan seseorang.

Begitupun dengan kata, setiap kata atau leksem memiliki arti atau makna.

Ketika sebuah kata memiliki acuan yang pasti atau konkret, kata tersebut akan

lebih mudah dimengerti oleh individu. Namun, tidak semua kata memiliki acuan

yang konkret dan tidak sedikit pula kata yang tidak memiliki acuan yang konkret.

Pertanyaannya adalah, bagaimana setiap individu dapat memahami kata yang

tidak memiliki acuan yang pasti? Penutur atau penulis dan pendengar atau

pembaca dapat memahami setiap kata yang diucapkan atau ditulis meskipun kata

tersebut tidak memiliki acuan yang konkret. Hal ini dapat kita buktikan dalam

berinteraksi pada kehidupan sehari-hari. Contohnya, kata cinta tidak memiliki

acuan yang konkret, namun memiliki ide, gagasan atau konsep yang terkandung di

dalamnya, yakni istilah cinta: (1) terpikat (antara laki-laki dan perempuan); (2)

perasaan yang dimiliki oleh seorang manusia untuk saling memiliki. Jadi, cinta

memiliki konsep, sebuah perasaan terpikat (antara laki-laki dan perempuan) untuk

saling memiliki satu sama lain.

Dalam ilmu semantik, kata cinta termasuk dalam kata yang memiliki makna

ideasional atau makna konsep. Kata yang dapat dicari konsepnya atau ide yang

terkandung dalam satuan kata-kata, baik bentuk dasar maupun turunan. Oleh

karena itu, penelitian ini berfokus pada pemaknaan kata ‘cinta’ saja.

Pemaknaan bukan hanya terjadi dalam tuturan lisan, tetapi juga dalam tulisan,

contohnya pemaknaan dalam karya sastra. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa

(13)

kehidupan. Salah satunya adalah novel. Sehingga, tidak heran jika banyak peneliti

yang meneliti makna dalam karya sastra, khususnya novel.

Salah satu novel yang dapat dijadikan objek penelitian adalah novel karya

Windry Ramadhina yang berjudul “London”. Novel ini merupakan salah satu

novel roman yang sangat digemari para remaja, sehingga diduga dalam novel

tersebut terdapat banyak kata cintayang akan menjadi fokus permasalahan dalam

penelitian ini.

Kata cinta, sering kita dengar dan baca. Bahkan karya sastra tidak bisa

terlepas dari kata tersebut. Tetapi, pernahkah kita berpikir bagaimanakah wujud

konkret dari cinta? Kita tidak akan tahu bagaimana wujud nyata dari cinta karena

cinta memang abstrak, tidak memiliki wujud konkret. Tetaapi, saat kita

mendengar atau membaca kata tersebut, kita akan memberikan respon positif

ataupun negatif terhadap cinta. Pada kenyataannya, cinta tidak memiliki acuan

yang konkret, tapi masih dapat dimengerti oleh pendengar maupun pembaca.

Kata cinta dapat kita lihat dalam kamus, dan kita perhatikan pula

hubungannya dengan unsur lain dalam pemakaian kata tersebut, lalu kita tentukan

konsep yang menjadi ide kata tersebut. Dengan mencari makna ideasional yang

terkandung dalam kata tersebut, kita dapat melihat paham yang terkandung dalam

makna suatu kata.

Banyak kita temukan dalam berbagai macam kasus, suatu kata yang berada

dalam beberapa kalimat yang berbeda memiliki makna yang sama. Hal ini

disebabkan oleh kata yang memiliki konsep yang sama namun dalam redaksi yang

(14)

(1) “Demi cinta.” (38).

(2) “Maka atas nama cinta yang membebaskan, aku membiarkan gadisku

terbang mengejar mimpinya.” (87).

Cinta dalam dua kalimat di atas memiliki konsep yang sama, yaitu cinta

diumpamakan sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan tertinggi, sehingga orang

berani bersumpah dengan kata cinta.

Dalam kasus yang berbeda, cinta dapat saja memiliki makna yang berbeda

dalam kalimat yang berbeda pula. Ketika seorang pembaca membaca novel,

beberapa di antara mereka terkadang menyimpulkan makna suatu kalimat ketika

mereka baru membaca satu kalimat saja, sebelum membaca kalimat selanjutnya.

Hal ini seringkali membuat para pembaca kurang tepat dalam memberikan makna

suatu kalimat. Contohnya,

(1) “Rupanya, bukan hanya aku lelaki di Fitzrovia yang tengah kehilangan

akal sehat karena dimabuk cinta.” (121).

(2) “Ilusi, itulah cinta.” (132).

Cinta dalam kalimat pertama memiliki konsep bahwa cinta itu seperti narkotika

yang dapat membuat orang mabuk dan kehilangan akal. Namun, pada kalimat

kedua, cinta memiliki konsep bahwa cinta itu hanyalah ilusi atau imajinasi.

Seperti yang sudah diungkapkan pada paragraf sebelumnya, semua kata

memiliki makna, tidak terkecuali kata cinta. Kata cinta mengandung makna dan

makna yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan itu dapat dipahami oleh

adanya kerja pikir, benak, atau hasil gagasan atau ide seseorang atau penutur

(15)

pasti atau minus (-) acuan. Mereka tidak dapat diukur, tidak dapat dipegang,

namun hanya bisa dirasakan. Mereka ada dan dimengerti oleh penutur maupun

pendengarnya tanpa melihat wujud nyatanya. Hal inilah yang kemudian

melatarbelakangi penulis untuk mengangkat masalah ini sebagai bahan kajian.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis mengangkat judul “Makna Ideasional

Kata ‘Cinta’ dalam Novel “London” Karya Windry Ramadhina dan Implikasinya

Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini akan meneliti makna

ideasional kata ‘cinta’ dalam novel “London”karya Windry Ramadhina. Berikut

rumusan masalahnya.

1) Bagaimanakah bentuk lingual kata cinta yang memiliki makna ideasional

dalam novel “London” karya Windry Ramadhina?

2) Bagaimanakah makna ideasional kata cinta dalam novel “London” karya

Windry Ramadhina?

3) Bagaimanakah implikasi makna ideasional kata cinta dalam novel “London”

karya Windry Ramadhina terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di SMA?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah.

1) Mendeskripsikan bentuk lingual kata cinta yang memiliki makna ideasional

dalam novel “London” karya Windry Ramadhina.

2) Menafsirkan makna ideasional kata cintadalam novel “London” karya Windry

(16)

3) Mendeskripsikan implikasi makna ideasional kata cinta dalam novel “London”

karya Windry Ramadhina terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA.

1.4 Manfaat Penelitian

1) Manfaat Teoritis

Adapun manfaat penelitian ini secara teoritis yaitu, dapat dijadikan referensi

pada kajian semantik selanjutnya agar lebih maksimal dan dapat menambah

wawasan tentang makna ideasional.

2) Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran

(17)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Relevan

Penelitian yang relevan dengan penelitian ini di antaranya adalah penelitian

yang dilakukan oleh Yulia Sani Wulandari (2012) yang berjudul “Analisis Makna

Denotasi dan Konotasi dalam Ungkapan Bahasa Sasak Dialek Meno-Mene

Masyarakat Bagik Polak dan Hubungannya dengan Pembelajaran Bahasa

Indonesia di SMP” Universitas Mataram. Dalam penelitiannya, peneliti mengkaji

tentang makna denotasi dan konotasi dalam ungkapan bahasa sasak dialek

meno-mene serta bagaimana hubungannya dengan pembelajaran bahasa Indonesia di

SMP yang merupakan jenis penilitan kualitatif dengan menggunakan teori bahasa

secara umum, fungsi bahasa, bahasa sasak, macam-macam dialek di Lombok,

pengertian semantik, denotasi, konotasi, makna ungkapan bahasa sasak,

pembelajaran bahasa Indonesia di SMP, dan dengan menggunakan metode

wawancara, pencatatan, dan kajian perpustakaan sebagai metode pengumpulan

data.

Penelitian yang mengkaji tentang makna denotasi dan konotasi ini sudah

sangat jelas berbeda dengan penelitian yang diteliti dalam penelitian ini.

Perbedaannya juga terletak pada teori yang digunakan, di antaranya adalah fungsi

bahasa, bahasa sasak, macam-macam dialek di Lombok, denotasi, konotasi, dan

makna ungkapan bahasa sasak. Di samping pengertian semantik yang sama

dengan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Hal yang berbeda dari

(18)

pengumpulan data yang juga menggunakan metode wawancara di samping

metode pencatatan dan kajian perpustakan yang sama dengan penelitian dalam

proposal ini.

Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh Indah Purnamasari (2014) yang

berjudul “Makna Cerita Rakyat Bima ‘Oi Mbora’ dan Kaitannya Terhadap

Pembelajaran Sastra di SMP”. Penelitian ini meneliti tentang sebuah cerita rakyat

dari Bima yang berjudul “Oi Mbora” yang memiliki keindahan makna yang

tersimpan di dalamnya. Objek dari penelitian ini adalah tentu saja cerita rakyat

Bima yang berjudul “Oi Mbora”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan

makna yang terkandung dalam cerita rakyat Bima “Oi Mbora” dan

mendeskripsikan kaitan cerita “Oi Mbora” dengan pembelajaran sastra di SMP.

Dikarenakan penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, maka data dalam

penelitian ini berwujud informasi tentang makna cerita rakyat Bima Oi Mboradi

Desa Oi Mbo, kelurahan Kumbe. Data yang menunjang penelitian ini didapatkan

dari narasumber, yaitu masyarakat Oi Mbo kaum tua (berumur 35 tahun ke atas)

dan kaum muda (berumur 14-25 tahun) berjumlah sepuluh orang yang menjadi

informan, peristiwa, dan tingkah laku, dokumen atau arsip-arsip benda lain. Data

yang didapatkan dari informan-informan tersebut dikumpulkan dengan

menggunakan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. Kemudian, data

yang sudah dikumpulkan untuk menunjang penelitian tersebut dianalisis dengan

menggunakan metode analisis data kualitatif. Lalu, data tersebut disajikan dengan

(19)

Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Lindri Agustiani (2015) yang

berjudul “Makna Kontekstual Kata dalam Wacana Rubrik Berita Utama Surat

Kabar Lombok Post dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia

Berbasis Teks di SMP/SMA”Universitas Mataram. Penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan bentuk kata yang memiliki makna kontekstual dalam wacana

rubrik berita utama surat kabar Lombok Post, kemudian menafsirkannya serta

mendeskripsikan implikasinya.

Penelitian ini membahas bagaimana suatu kata yang sama dalam wacana

yang berbeda memiliki makna yang berbeda (sesuai dengan konteksnya).

Dikarenakan penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, maka data dalam

penelitian ini berupa kata, klausa, kalimat, maupun paragraf atau penggalan

wacana yang memuat makna kontekstual. Kemudian, sumber datanya adalah

wacana tulis yang terdapat dalam rubrik berita utama surat kabar Lombok Post

edisi April dan September 2014, khususnya pada tanggal 2, 11, 13, 14, 17, 20, 21,

23, 25, 28 April 2014 dan tanggal 10, 16, 18, 27, 29 September 2014.

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini

adalah metode observasi dan dokumentasi. Dalam menganalisis data yang

didapatkan, penelitian ini menggunakan metode analisis wacana bersifat kualitatif.

Metode analisis wacana bersifat kualitatif ini merujuk pada pendekatan kualitatif

yang proses penelitian dan pemahamannya berdasarkan pada metodelogi yang

menyelidiki suatu fenomena. Dengan pendekatan tersebut, penelitian ini

membuat suatu gambaran kompleks dalam meneliti wacana khususnya pada aspek

(20)

dan September 2014. Metode penyajian data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah metode informal dan formal.

Penelitian ini memiliki kesimpulan bahwa bentuk kata bermakna kontekstual

yang ditemukan dalam wacana rubrik berita utama surat kabar Lombok Post edisi

April dan September 2014 ialah kata dasar dan kata turunan. Kata dasar dalam

wacana rubric berita utama yang ditemukan dalam surat kabar Lombok Post

tersebut yaitu makna dukungan, pemimpin, anggota, bagian, calon, tersebar,

bergabung, kecurangan, dan malu. Kata turunan dalam wacana rubrik berita

utama yang ditemukan dalam surat kabar Lombok Post tersebut yaitu pada kata

berimbuhan ialah makna menjadi, mencapai, mengalahkan, dikalahkan,

memerlukan, edaran, perbedaan, banyaknya, tersebarnya, dan kecurangan. Kata

keturunan yang ditemukan dalam surat kabar Lombok Postyaitu makna menyuap,

kecurangan, berharap, kekayaan lain, club kuat, tanggapan negative, korupsi,

dan strategi permainan.

Berdasarkan gambaran penelitian yang pernah dilakukan di atas, belum ada

yang mengangkat tentang makna ideasional, itulah alasan mengapa penelitian ini

penting. Banyak karya sastra yang mengungkapkan ungkapan-ungkapan yang

tidak memiliki acuan yang konkret atau minus (-) acuan, namun kemungkinan

besar pembaca serta penulisnya tidak mengetahui, mengapa mereka bisa

sama-sama saling mengerti. Itu sebabnya para linguis menggali dan menemukan teori

(21)

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Semantik

Verhaar mengungkapkan bahwa semantik adalah cabang linguistik

yang membahas arti atau makna. Senada dengan pengertian yang

dikemukakan oleh Verhaar, Palmer (dalam Aminuddin, 2015: 15)

menjelaskan bahwa semantik yang semula berasal dari bahasa Yunani

mengandung maknato signifyatau memaknai. Sebagai istilah teknis, semantik

mengandung pengertian “studi tentang makna”. Dengan anggapan bahwa

makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik merupakan bagian dari

linguistik.

Seperti halnya bunyi dan tata bahasa, komponen makna dalam hal ini

juga menduduki tingkatan tertentu. Apabila komponen bunyi umumnya

menduduki tingkat pertama, tata bahasa pada tingkat kedua, maka komponen

makna menduduki tingkatan paling akhir. Hubungan ketiga komponen itu

sesuai dengan kenyataan bahwa, (a) bahasa pada awalnya merupakan

bunyi-bunyi abstrak yang mengacu pada adanya lambang-lambang tertentu, (b)

lambang-lambang merupakan seperangkat sistem memiliki tataan dan

hubungan tertentu, dan (c) seperangkat lambang yang memiliki bentuk dan

hubungan itu mengasosiasikan adanya makna tertentu.

Suhardi (2015: 19) mengatakan bahwa ada dua istilah yang sangat

esensial berkaitan dengan makna. Kedua istilah tersebut adalah (1) bermakna

(being meaningful) dan (2) mempunyai makna (having a meaning). Keuda

(22)

diterjemahkan sesuatu yang memberikan efek berupa makna, sementara

mempunyai makna dapat diterjemahkan sesuatu yang mengandung mana.

Lahirnya kedua istilah ini tidak lepas dari perbedaan pandangan antara para

linguis dan tokoh filsafat. Menurut para filsuf, kata-kata adalah sesuatu yang

sudah semestinya. Sementara menurut para linguis tidaklah demikian,

kata-kata dan kalimat tercipta tidak lepas dari adanya proses gramatikal atau sebuah

gramatikal. Terlepas dari perbedaan pandangan kedua ahli tersebut, kajian

tentang makna merupakan kajian yang sangat menarik. Terutama di kalangan

dunia linguistik dan filsafat.

Berbagai pendekatan yang dikemukakan banyak yang membingungkan.

Contohnya saja pendekatan yang membedakan antara makna emotif dan

kognitif; antara significance (berarti) dan signification (penandaan); antara

makna performatif dan deskriptif; antara arti (sense) dan acuan (reference);

antara denotasi dan konotasi; antara tanda dan lambang; antara ekstensi dan

intensi; antara implikasi, perikutan (entailment) dan pengandaian

(presupposition); antara analitik dan sintetik; dan lain sebagainya. Dari satu

sisi, teori yang dikemukakan para ahli tersebut kaya dengan istilah, tetapi dari

sisi lain membingungkan karena beragamnya teori yang dikemukakan dan

digunakan para linguis.

Dalam Tata Bahasa Tradisional, kata (leksem) adalah satuan dasar

Sintaksis dan Semantik. Kata adalah tanda yang terdiri dari dua bagian, yaitu

(1) bentuk dan (2) makna. Adapun hubungan kedua bentuk tersebut bersifat

(23)

2.2.2 Teori Makna

Aminuddin (2015: 50) mengatakan bahwa dalam pemakaian

sehari-hari, kata makna digunakan dalam berbagai bidang maupun konteks

pemakaian. Apakah pengertian khusus kata makna tersebut serta

perbedaannya dengan ide, misalnya, tidak begitu diperhatikan. Sebab itu,

sudah sewajarnya bila makna juga disejajarkan pengertiannya dengan arti,

gagasan, konsep, pernyataan, pesan, informasi, maksud, firasat, isi, dan

pikiran. Berbagai pengertian itu disejajarkan begitu saja dengan kata makna

karena keberadaannya memang tidak pernah dikenali secara cermat dan

dipilahkan secara tepat.

Grice dan Bolinger (dalam Aminuddin, 2015: 52-53) mengungkapkan

bahwa kata maknasebagai istilah mengacu pada pengertian yang sangat luas.

Sebab itu, tidak mengeherankan bila Ogden & Richard dalam bukunya The

Meaning of Meaning (1923), mendaftar enam belas rumusan pengertian

makna yang berbeda-beda antara yang satu dengan lainnya. Adapun batasan

pengertian makna dalam pembahasan ini, makna ialah hubungan antara bahasa

dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh para pemakai bahasa

sehingga dapat saling dimengerti. Dari batasan itu dapat diketahui adanya tiga

unsur pokok yang tercakup di dalamnya, yakni (1) makna adalah hasil

hubungan antara bahasa dengan dunia luar, (2) penentuan hubungan terjadi

karena kesepakatan para pemakai, serta (3) perwujudan makna itu dapat

(24)

Ada tiga pandangan mengenai bentuk hubungan antara makna dengan

dunia luar, yakni (1) realisme, (2) nominalisme, dan (3) konseptualisme.

Realisme beranggapan bahwa terhadap wujud dunia luar, manusia selalu

memiliki jalan pikiran tertentu. Misalnya, kata mendungselain dapat diacukan

pada benda, juga dapat diacukan ke dalam suasana sedih.

Dalam nasionalisme, hubungan antara makna kata dengan dunia luar

semata-mata bersifat arbitrer meskipun sewenang-wenang, penentuan

hubungannya oleh para pemakai dilatari oleh adanya konvensi. Sebab itulah

penunjukkan makna kata bukan bersifat perseorangan, melainkan memiliki

kebersamaan.

Bagi konseptualisme, pemaknaan sepenuhnya ditentukan oleh adanya asosiasi

dan konseptualisasi pemakai bahasa, lepas dari dunia luar yang diacunya.

Ada tiga bentuk pendekatan dalam teori makna yang memiliki dasar

pusat pandang berbeda-beda. Aminuddin (2015: 55) mengatakan bahwa tiga

bentuk pendekatan yang oleh Harman (1968) dianggap lebih tepat disikapi

sebagai tiga tataran makna, menurut Alston meliputi pendekatan (1)

referensial, (2) ideasional, dan (3) behavioral.

a. Pendekatan Referensial

Menurut Aminuddin (2015: 55) dalam pendekatan referensial, makna

diartikan sebagai label yang berada dalam kesadaran manusia untuk menunjuk

dunia luar. Sebagai label atau julukan, makna itu hadir karena adanya

kesadaran pengamatan terhadap fakta dan penarikan kesimpulan yang

(25)

dalam kesadaran individual itu, lebih lanjut memungkinkan manusia untuk

menyusun dan mengembangkan skema konsep.

Suhardi (2015: 22) menjelaskan bahwa teori referensial adalah teori

yang menyatakan hubungan antara reference, referent, dan symbol

sebagaimana yang dikemukakan Odgen dan Richard dalam bentuk segitiga

sama sisi. Menurut teori ini, makna adalah sesuatu yang terbentuk dari hasil

hubungan antara reference dengan referentsehingga membentuk simbol bunyi

bahasa (berupa kata, frasa, dan kalimat).

b. Pendekatan Ideasional

Dalam pendekatan ideasional, makna adalah gambaran gagasan dari

suatu bentuk kebahasaan yang bersifat sewenang-wenang tetapi memiliki

konvensi sehingga dapat saling dimengerti (Aminuddin, 2015: 58). Kemudian,

menurut Sarwiji (2011: 87), makna ideasional merupakan makna yang muncul

sebagai akibat penggunaan leksem yang mempunyai konsep. Jadi, kata yang

tidak memiliki acuan yang konkret dapat dipahami oleh pengguna bahasa, itu

disebabkan oleh kata tersebut memiliki konsep yang sudah dipahami oleh

masing-masing pengguna bahasa. Hal tersebut erat kaitannya dengan segitiga

semantik Odgen & Richard, yaitu hubungan antara simbol, konsep, dan acuan.

Simbol merupakan semua bentuk kebahasaan (kata, frasa, klausa, dan

kalimat), tetapi tidak semua bentuk kebahasaan memiliki acuan yang konkret.

Ketika bentuk kebahasaan tidak memiliki acuan yang konkret, maka dia

memiliki konsep yang sudah dipahami oleh pengguna bahasa sehingga

(26)

c. Pendekatan Behavioral

Dalam dua pendekatan yang telah diuraikan di depan, dapat diketahui

bahwa (1) pendekatan referensial dalam mengkaji makna lebih menekankan

pada fakta sebagai objek kesadaran pengamatan dan penarikan kesimpulan

secara individual, dan (2) pendekatan ideasional lebih menekankan pada

keberadaan bahasa sebagai media dalam mengolah pesan dan menyampaikan

informasi. Keberatan dari pendekatan behavioral terhadap kedua pendekatan

tersebut, salah satunya adalah, kedua pendekatan itu telah mengabaikan

konteks sosial dan situsional yang oleh kaum behavioral dianggap berperanan

penting dalam menentukan makna.

2.2.3 Jenis-jenis Makna

Fatimah menjelaskan berbagai jenis makna dalam bukunya

(2013:7-20). Makna-makna tersebut adalah sebagai berikut.

1. Makna Sempit

Makna sempit (narrowed meaning) adalah makna yang lebih sempit dari

keseluruhan ujaran.

2. Makna Luas

Makna luas (widened meaning atau extended meaning) adalah makna yang

terkandung pada sebuah kata lebih luas dari yang diperkirakan.

3. Makna Kognitif

Makna kognitif juga disebut dengan makna deskriptif atau denotatif yang

(27)

antara konsep dengan dunia kenyataan (bandingkanlah dengan makna

konotatif dan emotif).

4. Makna Konotatif dan Emotif

Makna konotatif adalah makna yang muncul dari makna kognitif

(lewat makna kognitif), ke dalam makna kognitif tersebut ditambahkan

komponen makna lain. Kemudian, makna emotif (emotive meaning) adalah

makna yang melibatkan perasaan (pembicara dan pendengar; penulis dan

pembaca) ke arah yang positif.

5. Makna Referensial

Makna referensial adalah makna yang berhubungan langsung dengan

kenyataan atau referent (acuan), makna referen juga disebut makna kognitif,

karena memiliki acuan.

6. Makna Konstruksi

Makna konstruksi (construction meaning) adalah makna yang terdapat di

dalam konstruksi, misalnya makna milik yang diungkapkan dengan urutan

kata di dalam bahasa Indonesia.

7. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal

Makna leksikal (lexical meaning, semantic meaning, external meaning)

adalah makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dan

lain-lain. Kemudian makna gramatikal (grammatical meaning, functional meaning,

structural meaning, internal meaning) adalah makna yang menyangkut

hubungan intra-bahasa, atau makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya

(28)

8. Makna Ideasional

Makna idesional (ideational meaning) adalah makna yang muncul sebagai

akibat penggunaan kata yang berkonsep.

9. Makna Proposisi

Makna proposisi (propositional meaning) adalah makna yang muncul bila kita

membatasi pengertian tentang sesuatu.

10. Makna Pusat

Makna pusat (central meaning) adalah makna yang dimiliki setiap kata yang

menjadi inti ujaran.

11. Makna Piktoral

Makna piktoral adalah makna suatu kata yang berhubungan dengan perasaan

pendengar atau pembaca.

12. Makna Idiomatik

Makna idiomatik adalah makna leksikal terbentuk dari beberapa kata.

2.2.4 Makna Ideasional

Makna ideasional merupakan salah satu jenis makna. Dalam

pendekatan ideasional, makna adalah gambaran gagasan dari suatu bentuk

kebahasaan yang bersifat sewenang-wenang, tetapi memiliki konvensi

sehingga dapat saling dimengerti (Aminuddin, 2015: 58). Artinya, teori ini

menganggap bahwa makna terjadi oleh kerja pikir, benak, atau hasil gagasan

atau ide seseorang atau penutur bahasa, pemilik bahasa yang bersangkutan.

(29)

lawan bicara penutur. Kenapa bisa seperti itu? Inilah yang dibahas oleh cara

pandang teori ideasional mengenai makna.

Sarwiji (2011: 87) mengatakan bahwa makna ideasional adalah makna

yang muncul sebagai akibat penggunaan leksem yang memiliki konsep. Kita

tidak saja perlu mencari makna leksem tersebut di dalam kamus, tetapi kita

juga perlu mengetahui penggunaannya dalam masyarakat bahasa, konsep, dan

idenya. Contohnya pada leksem partisipasi mengandung ide “aktivitas

maksimal seseorang untuk ikut dalam suatu kegiatan”.

Teori-teori baru dari para ahli itu berawal dari segitiga semantik yang

dikemukakan oleh Odgen & Richard, yaitu hubungan antara simbol, konsep,

dan acuan. Simbol berupa semua bentuk kebahasaan (kata, frasa, klausa,

kalimat). Konsep berupa gagasan, ide, atau pikiran. Kemudian acuan berupa

wujud konkret dari simbol dan konsep. Tetapi tidak semua leksem memiliki

wujud yang konkret. Ada banyak leksem yang tidak memiliki wujud konkret,

tetapi memiliki konsep. Inilah yang kemudian melahirkan teori ideasional dan

makna konseptual.

Makna konseptual juga disebut sebagai makna denotasi. Denotasi

makna kata yang dihasilkan dari koseptual para pemakainya. Ketika seorang

penutur menuturkan leksem /mobil/, yang dibenak pendengar adalah sebuah

benda yang memiliki roda empat. Ini merupakan konsep dari makna

referensial yang langsung mengacu pada referennya. Sebaliknya, dalam

makna konseptual, pendengar (di dalam pikirannya) memiliki konsep bahwa

(30)

Makna konseptual sebuah leksem dapat saja berubah atau bergeser

setelah ditambah atau dikurangi unsurnya, misal leksem cinta. Makna

konspetual leksem tersebut kita ketahui, tetapi jika leksem ini kita perluas

unsurnya menjadi cinta segitiga, jatuh cinta, cinta sejati, maka makna

konspetual leksem tersebut berubah. Sama halnya dengan makna konseptual,

makna ideasional suatu leksem juga akan berubah apabila ditambahkan atau

dikurangi unsurnya. Kata cinta yang ditemukan dalam novel London karya

Windry Ramadhina berupa kata dasar dan kata turunan. Kata cinta juga

ditemukan dalam frasa dan dalam kalimat.

Penggunaan kalimat (bahasa) yang dihasilkan oleh panca indera

haruslah bertumpu pada akal pikiran (ide). Akal itulah yang menentukan

maksud dari bahasa itu. Semua bahasa yang telah diproduksi itu sesungguhnya

dapat dipahami oleh akal pikiran manusia. Semua bahasa yang tidak memiliki

wujud konkret hanya dapat dipahami oleh akal pikiran.

Hal ini serupa dengan teori makna kognitif. Teori tersebut mengatakan

bahwa aspek-aspek makna satuan bahasa yang berhubungan dengan ciri-ciri

dalam alam di luar bahasa atau penalaran (Kridalaksana dalam Sarwiji, 2011:

86). Artinya bahwa makna ditunjukkan oleh acuannya, makna unsur bahasa

yang sangat dekat hubungannya dengan dunia luar bahasa, objek, atau gagasan

dan dapat dijelaskan berdasarkan analisis komponen.

Sebagaimana yang sudah dipaparkan sebelumnya bahwa seseorang

dapat memahami suatu kata akibat adanya kerja pikir dalam benak individu

(31)

Makna yang dimiliki oleh sebuah leksem atau kata bertalian leksem itu

dengan keadaan di luar bahasa. Sebagai contoh, leksem /putih/ berasosiasi

dengan makna ‘suci’, ‘kesucian’, ‘baik’, atau ‘benar’; /merah/ berasosiasi

dengan makna ‘berani’. Contoh tersebut menjelaskan bahwa makna yang akan

ditangkap oleh pendengar bergantung pada bagaimana kemampuan kerja pikir

individu dalam memaknai suatu kata. Teori makna asosiastif ini tentunya

mendukung teori makna ideasional.

Teori ideasional merupakan teori yang meneliti arti suatu kata atau

ungkapan dengan gagasan-gagasan yang berhubungan dengan ungkapan.

Dalam teori ini, bahasa digunakan sebagai media perantara untuk

mengungkapkan ide atau memasukkan bentuk dari luar ide ke dalam ide.

Sebuah bahasa tidak akan ditemukan maknanya apabila tidak ada pengetahuan

yang luas dalam ide. Akal pikiran lebih mendominasi daripada perasaan yang

hanya sangat sedikit diakui keberadaannya. Bahkan fungsi perasaan dalam

bahasa pun sangatlah sedikit. Menghapal apapun pastinya dengan akal pikiran

dan itu sangat memungkinkan untuk memperbanyak dan memperkaya bahasa

yang kita gunakan. Teori ini juga ditunjukkan dengan adanya hubungan antara

pengguna bahasa. Antara penutur dan pendengar harus memiliki pikiran dan

pemahaman yang sama.

Terlihat sangat jelas bahwa teori ini memusatkan pada pikiran atau ide,

yakni bentuk yang ada dalam ide penutur dan pendengar bertujuan untuk

membatasi makna sebuah kalimat. Penutur harus menggunakan bahasa pada

(32)

dan pendengar dapat berjalan dengan baik atau dengan kata lain dapat saling

memahami satu sama lain.

2.2.5 Bentuk Kebahasaan

2.2.5.1 Morfologi

Kridalaksana (dalam Mulyono, 2013: 1) megatakan bahwa

morfologi adalah ilmu bahasa yang mempelajari seluk-beluk wujud

morfem. Batasan lain, yang tertuang dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia, berbunyi bahwa morfologi adalah cabang linguistik tentang

morfem dan kombinasi-kombinasinya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa,

morfologi adalah cabang linguistik yang mempelajari sleuk-beluk

morfem beserta kombinasi-kombinasinya.

A. Kata

Kata adalah bentuk bebas yang terkecil, yang tidak dapat dibagi

menjadi bentuk bebas yang lebih kecil lagi (Wijana, 2009: 33).

Kridalaksana (1993: 98) juga menjelaskan bahwa kata adalah

morfem-morfem yang oleh bahasawan dianggap sebagai satuan terkecil yang

dapat diajarkan sebagai bentuk yang bebas, satuan bahasa yang dapat

berdiri sendiri. Chaer (1995: 162) mendefinisikan kata sebagai satuan

bahasa yang memiliki pengertian.

Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kata adalah

satuan bahasa terkecil yang dapat berdiri sendiri dan memiliki arti.

Keraf (1991: 4) mengelompokkan kata berdasarkan bentuknya

(33)

Sedangkan kata berimbuhan terdiri atas kata yang berprefiks

(berawalan), kata yang berinfiks (bersisipan), kata yang bersufiks

(berakhiran), dan kata yang berkonfiks (berawalan dan berakhiran).

Senada dengan Keraf, Santoso, dkk (2008: 4, 15) menyatakan

bahwa kata menurut bentuknya dikelompokkan menjadi kata dasar dan

kata jadian/turunan. Kata jadian terbagi lagi menjadi kata berimbuhan,

kata ulang (reduplikasi), dan kata majemuk. Kata berimbuhan meliputi

kata berawalan (prefiks), kata bersisipan (infiks), kata berakhiran

(sufiks), dan kata yang berkonfiks (berawalan dan berakhiran).

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kata

berdasarkan bentuknya terdiri dari kata dasar dan kata turunan. Kata

turunan terdiri dari kata imbuhan, kata ulang, dan kata majemuk.

1. Kata Dasar

Kata dasar adalah kata yang belum diberi imbuhan. Dengan kata

lain, kata dasar adalah kata yang menjadi dasar awal pembentukan

kata yang lebih besar. Contohnya, makan, minum, lari, tidur, tulis,

dengar, dan lain-lain.

2. Kata Turunan

Kata turunan merupakan kata yang dibentuk melalui proses

pengafiksasian, reduplikasi (pengulangan), atau pemajemukan.

a. Kata Imbuhan (Afiks)

Menurut Keraf (1991: 121) mengemukakan bahwa afiks atau

(34)

diletakkan pada kata dasar atau bentuk dasar untuk membentuk

kata-kata baru. Dengan kata-kata lain, afiks atau imbuhan melekat pada kata-kata

dasar. Afiks atau imbuhan yang melekat pada kata dasar ini akan

membentuk kata baru sehingga makna dan fungsinya menjadi berbeda

dengan kata dasarnya.

Afiks juga dibagi berdasarkan tempat unsur itu diletakkan pada

kata dasar. Dalam hal ini, Keraf (1991: 121) membaginya menjadi

prefiks (awalan), infiks (sisipan), sufiks (akhiran), dan konfiks

(awalan dan akhiran).

1. Kata Berprefiks (Awalan)

Prefiks (awalan) adalah sebuah morfem nondasar yang secara

struktural diletakkan pada awal sebuah kata dasar atau bentuk dasar

(Keraf, 1991: 122). Dengan kata lain, prefiks atau imbuhan yang

letaknya di awal kata. Bahkan, dalam sebuah kata bisa diletakkan

dua prefiks sekaligus, misalnya mem-per-satukan.

Bentuk prefiks (awalan) yang ada dalam bahasa Indonesia

yaitu prefiks ber-, per-, me-, di-, ter-, ke-, se-, dan pe-. Conoth kata

berprefiks adalah berbuat, perlambat, meminum, dibuat, terbuat,

kekasih, segelas, pelari, dan sebagainya.

2. Kata Berinfiks (Sisipan)

Infiks atau sisipan adalah morfem nondasar yang diletakkan di

(35)

kata dengan vokal berikutnya (Keraf, 1991: 136). Ada tiga macam

infiks dalam bahasa Indonesia, yaitu –el-, -em-, dan –er-.

Infiks (sisipan) –el-, -em-, dan -er- tidak memiliki variasi

bentuk dan bukan merupakan imbuhan yang produktif, maksudnya

adlaah tidak digunakan lagi untuk membentuk kata-kata baru dan

hanya berlangsung pada kata-kata tertentu saja. Pengimbuhannya

dilakukan dengan cara menyisipkan di antara konsonan dan vokal

suku pertama pada sebuah kata dasar. Contoh kata berinfiks antara

lain telapak yang berasal dari kata tapak, gerigi yang berasal dari

kata gigi, temali yang berasal dari kata dasar tali, dan lain

sebagainya.

3. Kata Bersufiks (Akhiran)

Sufiks atau akhiran merupakan morfem nondasar yang

dilekatkan pada akhir sebuah kata dasar. Sufiks yang ada dalam

bahasa Indonesia adalah –kan, -i, -an, dan –nya.

Sufiks atau akhiran –kan, -i, -an, dan –nya tidak mempunyai

variasi bentuk, sehingga untuk situasi dan kondisi manapun

bentuknya sama. Ada dua macam –nya dalam bahasa Indonesia yang

perlu diperhatikan sebagai kata ganti orang ketiga tunggal yang

berlaku objek atau pemilik dan –nya sebagai akhiran. Contoh kata

(36)

4. Kata Berkonfiks (Awalan dan akhiran)

Konfiks merupakan gabungan prefiks dan sufiks yang

membentuk suatu kesatuan (Alwi, 2003: 32). Dengan demikian, kata

yang mendapatkan prefiks (awalan) dan sufiks (akhiran) disebut

dengan kata yang berkonfiks. Konfiks dalam bahasa Indonesia terdiri

dari ber-an, ber-kan, per-kan, per-I, me-kan, memper-kan, memper-I,

di-kan, di-i, diper-kan, diper-i, ter-kan, ter-i, ke-an, se-nya, pe-an,

dan per-an. Contoh kata berkonfiks antara lain, menaiki,

memberdayakan, menyuapi, membangunkan, dan lain sebagainya.

3. Kata Ulang (Reduplikasi)

Reduplikasi disebut juga bentuk ulang atau kata ulang. Keraf

(1991: 149) mendefinisikan bentuk ulang sebagai sebuah bentuk

gramatikal yang berwujud penggandaan sebagian atau seluruh bentuk

dasar sebuah kata. Dalam bahasa Indonesia terdapat bermacam-macam

bentuk ulang. Pengulangan dapat dilakukan terhadap kata dasar, kata

berimbuhan, maupun kata gabung.

Kata yang terbentuk dari hasil proses pengulangan dikenal

dengan nama kata ulang. Chaer (2006: 286) membagi kata ulang

berdasarkan hasil pengulangannya.

a) Kata Ulang Utuh atau Murni

Kata ulang utuh atau murni merupakan kata ulang yang bagian

perulangannya sama dengan kata dasar yang diulangnya. Dengan kata

(37)

mengalami perulangan seutuhnya. Misalnya pada kata rumah-rumah,

pohon-pohon, pencuri-pencuri, dan anak-anak.

b) Kata Ulang Berubah Bunyi

Kata ulang berubah bunyi merupakan kata ulang yang bagian

pengulangannya mengalami perubahan bunyi, baik itu perubahan bunyi

vokal maupun konsonan. Kata ulang jenis ini terjadi apabila ada

pengulangan pada seluruh bentuk dasar, namun terjadi perubahan bunyi.

Kata ulang perubahan bunyi yang mengalami perubahan vokal misalnya

pada kata bolak-balik, gerak-gerik, dan kelap-kelip. Sedangkan kata

ulang berubah bunyi yang mengalami perubahan bunyi konsonan,

misalnya pada kata sayur-mayur, lauk-pauk, dan ramah-tamah.

c) Kata Ulang Sebagian

Kata ulang sebagian merupakan pengulangan yang dilakukan

atas suku kata pertama dari sebuah kata. Dalam pengulangan jenis ini,

vokal suku kata pertama diganti dengan vokal e pepet. Kata-kata yang

mengalami pengulangan sebagian antara lain, lelaki, leluhur, pepohonan,

dan tetangga.

d) Kata Ulang Berimbuhan

Kata ulang berimbuhan merupakan bentuk perulangan yang

disertai dengan pemberian imbuhan. Chaer (2006: 287) membagi kata

ulang berimbuhan berdasarkan proses pembentukannya menjadi tiga,

yaitu: (1) sebuah kata dasar mula-mula diberi imbuhan, kemudian baru

(38)

diulang kemudian baru diberi imbuhan, misalnya kata lari yang

mula-mula diulang sehingga menjadi lari-lari, kemudian diberi imbuhan ber-,

sehingga menjadi berlari-lari; (3) sebuah kata diulang sekaligus diberi

imbuhan, umpanya kata meter yang sekaligus diulang dan beri awalan

ber-, sehingga menjadi bentuk bermeter-meter.

4. Kata Majemuk

Kata majemuk adalah gabungan dari dua kata atau lebih yang

membentuk satu kesatuan arti (Keraf, 1991: 154). Masing-masing kata

yang membentuk kata majemuk sebenarnya mempunyai makna

sendiri-sendiri. Tetapi setelah kata tersebut bersatu, maka akan terbentuk kata

baru yang memiliki makna berbeda dengan kata sebelumnya. Misalnya

pada kata orang tua, sapu tangan, dan matahari.

Ramlan (1987: 76) mengatakan bahwa kata majemuk adalah

gabungan dua kata yang menimbulkan suatu kata baru. Misalnya, rumah

sakit, meja makan, kepala batu, keras hati, dan lai-lain. Ciri-ciri kata

majemuk, yaitu (1) salah satu unsurnya berupa pokok kata. Maksudnya,

satuan gramatik yang tidak dapat beridir sendiri dalam tuturan biasa dan

secara gramatik tidak memiliki sifat bebas, yang dapat dijadikan bentuk

dasar bagi suatu kata. Misalnya, juang, temu, alir, lomba, tempur, tenaga,

masa, lomba masak, jual beli, simpan pinjam, dan lain-lain. (2)

unsur-unsurnya tidak mungkin dipisahkan, atau tidak mungkin diubah

strukturnya. Misalnya, satuan anak buah berbeda dengan anak orang

(39)

orang, unsur anak dan orang dapat dipisahkan, misalnya dengan

menambahkan unsur jumlah di muka kata orang, menjadi anak kedua

orang (itu pandai-pandai), atau dapat diubah strukturnya menjadi orang

(itu) anak (-nya lima). Tetapi, unsur-unsur pada anak buah tidak dapat

dipisahkan dan juga tidak dapat diubah strukturnya. Anak kedua buah

dan buah (itu) anak (-nya lima)tidak terdapat dalam pemakaian bahasa.

Maka, dapat disimpulkan bahwa anak buah merupakan kata majemuk,

sedangkan anak orangtidak merupakan kata majemuk, melainkan frase.

Dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia 2000 dijelaskan

bahwa satu kata yang dapat berproses sebagai kata majemuk dapat

berupa verba atau sering disebut kata kerja, nomina atau sering disebut

kata benda, dan adjektiva atau sering disebut kata sifat. Istilah ini dapat

disebut sebagai verba majemuk, nomina majemuk, dan adjektiva

majemuk.

1) Verba Majemuk

Verba majemuk adalah verba yang terbentuk melalui proses

penggabungan satu kata dengan kata lain. Dalam verba majemuk,

penjejeran dua kata atau lebih itu menimbulkan makna yang secara

langsung masih bisa ditelusuri dari makna yang masing-masing kata

yang tergabung. Missal, kata terjun dan kata payung dapat

digabungkan menjadi terjun payung.

Salah satu ciri dari verba majemuk adalah bahwa urutan

(40)

dipertukarkan tempatnya. Misalnya, bentuk temu wicara tidak bisa

digantikan dengan bentuk wicara temu, bentuk siap tempurtidak bisa

digantikan dengan bentuk tempur siap, dan bentuk tatap muka tidak

bisa digantikan dengan muka tatap.

Verba majemuk juga tidak dapat dipisahkan oleh kata lain.

Misalnya, bentuk temu wicara, siap tempur, dan tatap muka, tidak

dapat diubah menjadi temu untuk wicara, siap guna tempur, dan tatap

dengan muka.

Verba majemuk dapat dibagi berdasarkan bentuk morfologis dan

hubungan komponennya. Berdasarkan morfologisnya, verba majemuk

terbagi menjadi (1) verba majemuk dasar, (2) verba majemuk berafiks,

(3) verba majemuk berulang.

Berdasarkan hubungan komponennya, verba majemuk terbagi menjadi

(1) verba majemuk bertingkat, dan (2) verba majemuk setara.

2) Nomina Majemuk

Seperti halnya dengan verba, nomina juga dapat dimajemukkan.

Ciri yang dimiliki oleh nomina majemuk, yaitu (1) makna nomina

majemuk masih dapat ditelusuri secara langsung dari kata-kata yang

digabungkan. Kata unjuk rasa misalnya, masih dapat ditelusuri dari

makna kata unjuk dan rasa, yakni melakukan unjuk atau aksi karena

adanya perasaan atau rasa di dalam hati, (2) urutan komponennya

seolah-olah telah menjadi satu sehingga tidak dapat ditukar tempatnya.

(41)

nomina majemuk terdiri atas dua kata dan tidak lebih. Oleh karena

hanya terdiri dari dua kata, maka nomina majemuk akan mudah

dikenali dan mudah dibedakan dengan bentuk gabungan kata lain yang

bukan kategori nomina majemuk.

Nomina majemuk dapat dibedakan dari segi bentuk morfologis

dan hubungan komponen. Berdasarkan bentuk morfologis, nomina

majemuk terdiri dari (1) nomina majemuk dasar, (2) nomina majemuk

berafiks, dan (3) nomina majemuk dari bentuk bebas dan bentuk

terikat.

Dari segi hubungan komponennya, nomina majemuk terbagi menjadi

(1) nomina majemuk setara, dan (2) nomina majemuk bertingkat.

3) Adjektiva Majemuk

Dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (1998:

191-193), adjektiva majemuk dimaknai sebagai bentuk majemuk yang

merupakan gabungan dari morfem terikat dengan morfem bebas dan

ada yang merupakan gabungan dua morfem bebas (atau lebih).

5. Morfem

Wijana (2009: 33) mengatakan bahwa morfem adalah satuan

gramatikal terkecil yang berperan sebagai pembentuk kata. Sebagai

pembentuk kata, morfem merupakan satuan kebahasaan yang terkecil

yang maknanya secara relatif stabil dan tidak dapat dibagi atas bagian

bermakna yang lebih kecil (Kridalaksana, 2008: 157). Dalam bahasa

(42)

Dalam morfem dikenal istilah morfem dasar yaitu morfem yang

dapat berdiri sendiri seperti lari, datang, makan, minum, dan lain-lain.

Ada juga morfem terikat yaitu morfem yang tidak dapat berdiri sendiri

seperti awalan ber-, me(N)-, akhiran –kan, -i, dan sebagainya. Selain itu

dikenal juga istilah morfem dasar yaitu bentuk yang merupakan dasar

pembentukan kata polimorfemik (kata yang terdiri dari lebih dari satu

morfem), misalnya rumah, alat, meja, dan sebagainya.

Sebuah morfem dasar dengan sendirinya sudah membentuk kata.

Namun sebaliknya, konsep kata tidak saja meliputi morfem dasar tetapi

juga meliputi semua bentuk gabungan antara morfem dasar dengan

morfem terikat atau morfem dasar dengan morfem dasar.

6. Kategori Kata

Kridalaksana membagi kata menjadi beberapa kategori, yaitu verba,

ajektiva, nomina, pronomina, numeralia, adverbial, interogativa,

demonstrative, artikula, preposisi, konjungsi, kategori fatis, dan

interjeksi.

a. Verba

Secara sintaksis sebuah satuan gramatikal dapat diketahui berkategori

verba dari perilakunya dalam satuan yang lebih besar; jadi sebuah kata

dapat dikatakan berkategori verba hanya dari perilakunya dalam frase,

yakni dalam hal kemungkinannya satuan itu didampingi partikel tidak

(43)

dengan partikel di, ke, dari, atau dengan partikel seperti sangat, lebih,

atau agak (Kridalaksana, 2005: 51).

b. Ajektiva

Menurut Kridalaksana (2005: 59) ajektiva adalah kategori yang

ditandai oleh kemungkinannya untuk (1) bergabung dengan partikel

tidak, (2) mendampingi nomina, atau (3) didampingi partikel seperti

lebih, sangat, agak, (4) mempunyai ciri-ciri morfologis seperti –er

(dalam honorer), -if (dalam sensitif), -i (dalam alami), atau (5)

dibentuk menjadi nomina dengan konfiks ke-an, seperti adil –

keadilan, halus – kehalusan, yakin – keyakinan (ciri terkahir ini

berlaku bagi sebagian besar ajektiva dasar dan bisa menandai verba

intransitif, jadi ada tumpang tindih di antaranya).

c. Nomina

Nomina adalah kategori yang secara sintaksis (1) tidak mempunyai

potensi untuk bergabung dengan partikel tidak, (2) mempunyai potensi

untuk didahului oleh partikel dari (Kridalaksana, 2005: 68).

d. Pronomina

Pronomina adalah kategori yang berfungsi untuk

menggantikan nomina. Apa yang digantikannya itu disebut anteseden.

Anteseden itu ada di dalam atau di luar wacana (di luar bahasa).

Sebagai pronominal kategori ini tidak bisa berafiks, tetapi beberapa di

(44)

beliau-beliau, mereka-mereka, dengan pengertian ‘meremehkan’ atau

‘merendahkan’.

Kata pronominal dapat dijadikan frase pronominal, seperti aku ini,

kamu sekalian, mereka semua.

e. Numeralia

Kridalaksana (2005: 79) mengatakan bahwa numeralia adalah

kategori yang dapat (1) mendampingi nomina dalam konstruksi

sintaksis, (2) mempunyai potensi untuk mendampingi numeralia lain,

dan (3) tidak dapat bergabung dengan tidak atau dengan sangat.

Numeralia mewakili bilangan yang terdapat dalam alam di luar bahasa.

f. Adverbia

Adverbia adalah kategori yang dapat mendampingi ajektiva,

numeralia, atau proposisi dalam konstruksi sintaksis. Dalam kalimat Ia

sudah pergi, kata sudah adalah adverbial, bukan karena mendampingi

verba pergi, tetapi karena mempunyai potensi untuk mendampingi

ajektiva, misalnya dalam Saatnya sudah dekat. Jadi, sekalipun banyak

adverbial dapat mendampingi verba dalam konstruksi sintaksis, namun

adanya verba itu bukan menjadi ciri adverbia.

Adverbia tidak boleh dikacaukan dengan keterangan, karena adverbial

merupakan konsep kategori; sedangkan keterangan merupakan konsep

(45)

Adverbia dapat ditemui dalam bentuk dasar dan bentuk

turunan. Bentuk turunan itu terwujud melalui afiksasi, reduplikasi,

gabungan proses, gabungan morfem (Kridalaksana, 2005: 81 – 82).

2.2.5.2 Bentuk Sintaksis

Tarigan (2009: 4) menjelaskan bahwa sintaksis adalah salah

satu cabang dari tata bahasa yang membicarakan struktur-struktur

kalimat, klausa, dan frase. Kemudian Ramlan (dalam Tarigan, 2009: 4)

mengatakan bahwa sintaksis adalah bagian dari tata bahasa yang

membicarakan struktur frasa dan kalimat. Jadi, dapat ditarik

kesimpulan bahwa sintaksis adalah salah satu bagian dari tata bahasa

yang membicarakan struktur frasa, klausa, dan kalimat.

A. Frasa

Pada dasarnya, frasa adalah gabungan kata. Namun, tak semua

gabungan kata merupakan frasa. Frasa merupakan gabungan kata yang

tidak melewati batas fungsi. Yang dimaksud dengan fungsi ialah

seperti subjek, predikat, objek, dan keterangan (Wijana: 2009: 46).

Menurut Gorys Keraf, frasa merupakan gabungan dua atau lebih

kata dan masing-masing kata tetap mempertahankan makna dasar

katanya dan setiap kata pembentuknya tidak berfungsi sebagai subjek

dan predikat dalam konstruksi itu. Hal ini penting untuk membedakan

frasa dengan kata majemuk dan frasa dengan kalimat atau klausa. Kata

majemuk juga merupakan gabungan kata, namun kata-kata yang

(46)

tidak lagi mempertahankan maknanya. Misalnya, kambing hitam

sebagai kata majemuk bukan berarti kambing yang hitam melainkan

orang yang dipersalahkan, sedangkan sebagai frasa kambing hitam

berarti kambing yang hitam.

Dari dua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa frasa adalah

gabungan kata yang saling mempertahankan makna dan tidak melewati

batas fungsi.

Pada penelitian ini, kata cintajuga ditemukan dalam frasa. Contohnya,

pada halaman 293 yang berbunyi, “Aku bahkan tidak tahan melihat

ekspresi cinta yang—aku tahu—bukan untukku di mata Ning.” Kata

ekspresi cinta di sini merupakan frasa. Itu adalah salah satu contoh

kata cintadalam frasa yang ditemukan.

B. Klausa

Klausa adalah satuan kebahasaan yang bersifat predikatif.

Maksudnya, satuan lingual ini melibatkan predikat sebagai unsur

intinya (Wijana, 2009: 54). Oleh karena itu, klausa

sekurang-kurangnya terdiri atas dua kata yang mengandung hubungan

fungsional subjek-predikat dan secara fakultatif dapat diperluas dengan

beberapa fungsi yang lain seperti objek dan keterangan (Keraf, 1991:

181).

Secara sederhana, kamus linguistik mengatakan bahwa klausa

(47)

predikat dan berpotensi sebagai kalimat (Kridalaksana, 2008: 124).

Contoh klausa: ibu pergi, setelah aku belajar.

C. Kalimat

Wijana (2009: 56) menjelaskan bahwa kalimat adalah satuan

lingual yang diakhiri oleh lagu akhir selesai baik lagu akhir selesai

turun maupun naik. Kemudian, Kridalakasana (2008: 103) mengatakan

bahwa kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri,

mempunyai pola intonasi final dan secara actual maupun potensial

terdiri dari klausa.

Pada novel London, ditemukan beberapa data kata cintadalam kalimat,

salah satunya yang ditemukan pada halaman 57, yaitu

“Mengungkapkan cinta lewat YM.”

2.2.6 Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA

Implikasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah

hubungan atau keterlibatan. Dengan kata lain, implikasi merupakan akibat

langsung atau dampak yang ditimbulkan dari temuan atau hasil suatu

penelitian. Secara bahasa, implikasi diartikan sebagai sesuatu yang telah

disimpulkan terlebih dahulu dalam penelitian. Dalam konteks penelitian,

implikasi bisa dilihat jika peneliti memiliki kesimpulan yang nantinya

(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif

kualitatif. Bogdan dan Taylor (dalam Esti, 2011: 10) mendefinisikan penelitian

kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan pelaku yang dapat diamati;

pendekatan ini diarahkan pada lataran individu secara holistik (utuh). Dalam

penelitian ini, metode deskriptif pada penelitian makna ideasional kata ‘cinta’

dalam novel London karya Windry Ramadhina adalah metode yang

menggambarkan secermat mungkin makna ideasioal kata ‘cinta’ dalam novel

tersebut.

3.2 Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah metode simak.

Mahsun (2014: 92) mengatakan bahwa metode penyediaan data ini diberi nama

metode simak karena cara yang digunakan untuk memperoleh data dilakukan

dengan menyimak penggunaan bahasa. Istilah menyimak di sini tidak hanya

berkaitan dengan penggunaan bahasa secara lisan, tetapi juga penggunaan bahasa

secara tertulis. Dalam pengumpulan data ini, objek kajian yang akan disimak

adalah novel Londonkarya Windry Ramadhina, karena terdapat banyak kata yang

mengandung makna ideasional yang selanjutnya akan menjadi data dalam

(49)

Metode ini memiliki beberapa teknik dasar. Teknik yang digunakan dalam

penelitian ini adalah teknik catat. Mahsun (2014:93) mengatakan bahwa teknik

catat adalah teknik lanjutan yang dilakukan ketika menerapkan metode simak.

Setelah menyimak objek kajian (novel), peneliti mencatat kata-kata yang

berpotensi menjadi data.

Dalam penelitian ini, metode simak dengan teknik catat bekerja dalam waktu

yang bersamaan. Saat peneliti menyimak novel yang akan menjadi sumber data

dalam penelitian ini, kemudian menemukan data-data yang mendukung, peneliti

akan segera mencatat data tersebut yang kemudian akan dikaji maknanya.

3.3 Metode Analisis Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan

intralingual dan metode padan ekstralingual. Mahsun (2015: 117-118)

menjelaskan bahwa padan merupakan kata yang bersinonim dengan kata banding

dan sesuatu yang dibandingkan mengandung makna adanya keterhubungan

sehingga padan di sini diartikan sebagai hal menghubung-bandingkan; sedangkan

intralingualmengacu pada makna unsur-unsur yang berada dalam bahasa (bersifat

lingual), yang dibedakan dengan unssur yang berada di luar bahasa

(ekstralingual), seperti hal-hal yang menyangkut makna, informasi, konteks

tuturan dan lain-lain. Jadi, metode padan intralingualmetode analisis dengan cara

menguhubung-bandingkan unsur-unsur yang bersifat lingual, baik yang terdapat

dalam satu bahasa maupun dalam beberapa bahasa yang berbeda. Cara kerja

Gambar

Tabel 1: Bentuk Kata Dasar ‘Cinta’ yang Memiliki Makna Ideasional dalam
Tabel 2: Bentuk Kata Turunan ‘Cinta’ yang Memiliki Makna Ideasional
Tabel 3: Bentuk Sintaksis Kata ‘Cinta’ yang Memiliki Makna Ideasional
Tabel 4: Makna Ideasional Kata Cinta Berupa Makna Leksikal dalam Novel
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia menyerap unsur dari pelbagai bahasa lain, baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing seperti Sansekerta, Arab, Portugis, Belanda,

Novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara memiliki pengaluran dan penokohan, hal tersebut dapat dilihat dari kutipan-kutipan yang dituliskan oleh pengarang

Kita menyaksikan saat ini, ada begitu banyak peristiwa sosial-ekonomi- politik yang negatif seperti korupsi yang semakin merajalela, perang yang membawa kehancuran

Kita menyaksikan saat ini, ada begitu banyak peristiwa sosial-ekonomi- politik yang negatif seperti korupsi yang semakin merajalela, perang yang membawa kehancuran

Nilai rasa yang mengandung disfemia pada berita politik koran Solopos dapat ditemukan lima nilai rasa yaitu konotasi ramah dengan jumlah 33 temuan, konotasi kasar dengan

perluasan makna yang terjadi secara metafora karena mempunyai kesamaan yaitu bagian kepala digunakan sebagai objek yang merasakan rasa sakit apabila seseorang merasa

Lestari, Gita Tri. “Diskriminasi dalam Novel Anak Semua Bangsa Karya Pramoedya Ananta Toer dan Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA”. Pendidikan Bahasa

Gusriani 2022 menyatakan, “Idiom adalah satuan-satuan bahasa bisa berupa kata, frasa, maupun kalimat yang maknanya tidak dapat “ditarik” dari kaidah umum gramatikal yang berlaku dalam