• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kanyouku dalam Novel Tobe! Senbazuru Karya Teshima Yuusuke dan Padanannya dalam Bahasa Bali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kanyouku dalam Novel Tobe! Senbazuru Karya Teshima Yuusuke dan Padanannya dalam Bahasa Bali"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

153

Kanyouku dalam Novel Tobe! Senbazuru Karya Teshima Yuusuke dan

Padanannya dalam Bahasa Bali

Ni Made Terry Andikayani1*, Ni Putu Luhur Wedayanti2, I Gede Oeinada3 [123]

Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya

1

[email: andikayaniterry@gmail.com] 2 [email: l_wedayanti@yahoo.co.jp] 3[email: gede.oeinada@gmail.com]

*Corresponding Author

Abstract

This research is titled “Idiom in Tobe! Senbazuru Novel by Teshima Yuusuke and the equivalent of the meaning in Balinese language”. The aim of this research are understanding the meaning of Japanese idiom and these equivalent meaning in Balinese. This research used the classification of idiom based on part of speech theory by Yutaka (1990), meaning theory by Muneo (1992), and description of meaning idiom relations by Momiyama (in Sutedi, 2008:160). The results of this research are the 33 idiom in Tobe! Senbazuru Novel by Teshima Yuusuke of which 32 idiom formed by verb, 1 idiom formed by adjective, and noun of idiom not founded. Based on meaning, it is divided into : 1) idiom that show feeling and emotion, 2) idiom that show body, character, and attitude, 3) idiom that show conduct, movement, and action, 4) idiom that show condition, grade, and value, 5) idiom that show society, culture, and life. Description of the relation between meaning in idiom are metaphor, metonymy, and synecdoche. Idiom in Tobe! Senbazuru Novel by Yuusuke (2015), based on idiom of formation is dominantly formed by verb. Japanese language idiom can be paired with more than one idiom in Balinese language because the way of disclosure of idiom is different, but the meaning has the same purpose.

Key words : idiom, the meaning of idiom, Balinese language idiom

1. Latar Belakang

Kanyouku adalah satuan ujaran

yang maknanya tidak dapat “diramalkan” dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal (Chaer, 2014:296). Makna kanyouku tidak dapat dipahami dengan mudah meskipun mengetahui makna setiap kata yang membentuk frasa tersebut (Sutedi, 2009:96). Seperti contoh 鼻が高い hana ga takai memiliki makna leksikal

„hidung tinggi‟ namun makna idiomnya adalah „terlalu bangga, sombong‟.

Kanyouku terkadang dapat dipadankan

dengan bahasa lain seperti kanyouku dalam bahasa Jepang 腹が立つ hara ga

tatsu secara leksikal berarti „perut berdiri‟

namun secara idiom berarti „marah‟ memiliki padanan makna dalam bahasa Bali yaitu basang bawak yang secara leksikal berarti „perut pendek‟ dan secara idiom berarti „marah‟. Kedua

kanyouku tersebut sama-sama

menggunakan kata perut untuk mengungkapkan kemarahan.

(2)

154 2. Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, adapun rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut :

1. Bagaimanakah penggunaan kanyouku berdasarkan klasifikasi kelas kata, makna, dan hubungan antar makna

kanyouku dengan gaya bahasa yang

terdapat dalam novel Tobe! Senbazuru karya Teshima Yuusuke?

2. Bagaimanakah padanan makna

kanyouku bahasa Jepang dalam novel Tobe! Senbazuru karya Teshima

Yuusuke dalam bahasa Bali?

3. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memahami kanyouku yang terdapat pada novel dan menambah penelitian dalam bidang semantik. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui penggunaan kanyouku dilihat berdasarkan kelas kata, berdasarkan makna, hubungan antar makna kanyouku serta padanan makna

kanyouku bahasa Jepang dalam bahasa

Bali.

4. Metode Penelitian

Metode dan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah metode simak dan teknik catat menurut Mahsun

(2013:92), metode kuesioner setengah tertutup menurut Fathoni (2006:110-111) dan teknik sampling purposive menurut Sugiyono (2014:156). Pada tahap analisis data digunakan metode deskriptif menurut Sudaryanto (1993:62) dan penyajian hasil analisis digunakan metode informal menurut Sudaryanto (1993:145). Penelitian ini menggunakan teori klasifikasi kanyouku berdasarkan kelas kata menurut Yutaka (1990), berdasarkan makna menurut Muneo (1992), dan hubungan antar makna dalam kanyouku menurut Momiyama (dalam Sutedi, 2008:160). Kanyouku bahasa Jepang diperoleh dari novel

Tobe! Senbazuru karya Teshima Yuusuke dan dalam memadankan maknanya ke dalam bahasa Bali menggunakan kuesioner.

5. Hasil dan Pembahasan

Klasifikasi kanyouku berdasarkan makna dibagi menjadi 5 dan kanyouku yang diklasifikasikan berdasarkan kelas kata, dilihat dari kelas kata yang ada di belakang.

(3)

155 5.1 Kanyouku yang menunjukkan

perasaan dan emosi (kankaku,

kanjou wo arawasu kanyouku) Alwi (2005:932) menyatakan perasaan adalah tanggapan indra terhadap rangsangan saraf, tanggapan hati terhadap sesuatu, hasil atau perbuatan merasakan dengan panca indra. (1) Aru toki, byouin ni kita okaasan wa,

[atama ga itai] to itte mainichi no tsukare kara, hojo beddo de nemutteshimatta.

„Waktu itu Ibu datang ke rumah sakit mengatakan kepalanya pusing, dan ketiduran di tempat tidur yang tersedia karena merasa kelelahan setiap hari‟

(Tobe! Senbazuru, 2015:158)

Kanyouku 頭が痛い atama ga itai

merupakan keiyoushi kanyouku „idiom kata sifat‟ karena dibentuk oleh kata

atama „kepala‟ yang tergolong meishi

„kata benda‟ dan itai „sakit‟ yang tergolong keiyoushi „kata sifat‟ serta dihubungkan oleh kakujoushi „partikel‟

ga yang merupakan kata bantu penegas

subjek. Jadi secara leksikal, atama ga

itai memiliki arti „kepala sakit‟. Muneo

(1992:48) menyatakan bahwa atama ga

itai memiliki makna idiom sebagai

berikut.

Shinpai goto ya mikaiketsu no mondai nado wo kakaete komatteiru.

„Sulit menanggung kekhawatiran dan masalah yang belum terpecahkan‟

Kanyouku data (1) yaitu atama ga itai mempunyai dua makna di antaranya

secara leksikal bermakna „kepala sakit‟ dan secara idiom bermakna „pusing‟. Alwi (2005:911) menyatakan bahwa pusing berarti kondisi yang tidak nyaman sehingga dapat mengganggu keseimbangan tubuh. Hubungan antar makna yang terkandung di dalam

kanyouku atama ga itai merupakan

perluasan makna yang terjadi secara metafora karena mempunyai kesamaan yaitu bagian kepala digunakan sebagai objek yang merasakan rasa sakit apabila seseorang merasa pusing. Atama ga itai „pusing‟ memiliki kesamaan makna dengan kanyouku bahasa Bali yaitu baat sirahe. Hal tersebut tercermin dari 17 orang responden yang menjawab baat

sirahe dan 8 orang responden yang

menjawab peteng kenehe. a) Baat sirahe, secara idiom, baat sirahe memiliki makna „sakit kepala‟. Seseorang merasa sakit kepala karena keadaan keseimbangan terganggu, pening, tidak dapat berpikir sehingga menimbulkan rasa pusing. b) Peteng kenehe, dilihat dari makna leksikal peteng berarti „gelap‟ dan kenehe berarti „hatinya‟ sehingga memiliki makna „gelap hatinya‟. Namun,

(4)

156

secara idiom peteng kenehe memiliki makna „bingung‟ (Warna, 1990:521).

5.2 Kanyouku yang menunjukkan keadaan tubuh, sifat, dan tingkah laku (karada, seikaku, taido wo

arawasu kanyouku)

Alwi (2005:1062) menyatakan sifat adalah rupa dan keadaan yang tampak pada suatu benda, ciri khas yang ada pada sesuatu (untuk membedakan dari yang lain).

(2) Netsuppoi Kawamoto san no hanashi buri ni, Nomura sensei wa,

kokoro wo ugokasareta.

„Guru Nomura terguncang hatinya terhadap cara bicara

Kawamoto yang menggebu-gebu‟ (Tobe! Senbazuru, 2015:186)

Kanyouku 心を動かされた kokoro

wo ugokasareta bentuk dasarnya adalah

kokoro wo ugokasu merupakan doushi kanyouku „idiom kata kerja‟ karena

dibentuk oleh kata kokoro „hati‟ yang tergolong meishi „kata benda‟ dan

ugokasu „bergerak‟ yang tergolong doushi „kata kerja‟ serta dihubungkan

oleh kakujoushi „partikel‟ wo yang merupakan kata bantu untuk menunjukkan objek. Jadi secara leksikal,

kokoro wo ugokasu memiliki arti

„menggerakkan hati‟. Muneo (1992:173) menyatakan bahwa kokoro wo ugokasu memiliki makna idiom sebagai berikut.

Kimochi ya kangaekata ni henka wo shoujiru. Aru monogoto ni kyoumi wo daitari, kandou shitari, douyou shitarisuru.

„Terjadi perubahan pada perasaan dan cara berpikir. Mendekap perhatian, terharu, merasakan perasaan yang terguncang atau terombang-ambing terhadap sesuatu‟

Kanyouku data (2) yaitu kokoro wo ugokasu diartikan „terguncang hatinya‟

atau terombang-ambing. Alwi (2005:375) menyatakan bahwa kondisi yang terguncang berarti adanya gangguan keseimbangan pada hati, bimbang atau khawatir. Hubungan antar makna yang terkandung di dalam

kanyouku kokoro wo ugokasu

merupakan perluasan makna yang terjadi secara metonimi yang menyatakan sebagian dari keseluruhan. Kokoro wo

ugokasu „terguncang hatinya‟ memiliki

kesamaan makna dengan kanyouku bahasa Bali yaitu kenehne onyah. Hal tersebut tercermin dari 12 orang responden yang menjawab kenehne

onyah, 8 orang responden yang menjawab nengkulak anyud, 4 orang responden yang menjawab obah ngaba

keneh, dan 1 orang responden menambahkan jawaban lain yaitu

kambang batise matindakan. a) Kenehne onyah, dilihat dari makna leksikal kenehne berarti „hatinya‟ dan onyah

(5)

157

berarti „tidak tenang‟ sehingga memiliki makna „pikirannya tidak teguh‟ (Warna, 1990:478). Jika seseorang berada dalam situasi pikiran yang tidak teguh, dapat dikatakan jika sedang dalam mengkhawatirkan sesuatu. b) Nengkulak

anyud, secara leksikal nengkulak berarti

„batok kelapa dibelah dua yang masih bersabut‟ dan anyud berarti „hanyut‟. Secara idiom memiliki makna „terlunta-lunta‟. c) Obah ngaba keneh memiliki makna „goyah pendirian‟. Pendirian yang goyah disebabkan karena perasaan yang tidak keruan sehingga dapat membuat hati terguncang. d) Kambang

batise matindakan, mempunyai arti

„mengambang kakinya dalam melangkah‟. Hal tersebut sama halnya dengan tidak ada sesuatu yang dijalankan dengan pasti.

5.3 Kanyouku yang menunjukkan kelakuan, gerak, dan tindakan (koui, dousa, koudou wo arawasu

kanyouku)

Alwi (2005:1195) menyatakan tindakan adalah gerak-gerik, ulah atau perbuatan yang dilakukan seseorang yang dalam keadaan diam hingga melakukan suatu tindakan.

(3) Kusunda aoi suutsu ni, kichinto shimerareta nekutai. Midashinami

no ii sensei da. Megane ga hikatte sensei ga kuchi wo hiraita.

„Guru Nomura berpakaian rapi, pada setelan biru yang kusam dasi diikatkan dengan rapi dan dengan kaca matanya yang bersinar lalu

berbicara‟

(Tobe! Senbazuru, 2015:7)

Kanyouku 口 を 開 い た kuchi wo

hiraita bentuk dasarnya adalah kuchi wo

hiraku merupakan doushi kanyouku

„idiom kata kerja‟ karena dibentuk oleh kata kuchi „mulut‟ yang tergolong meishi „kata benda‟ dan hiraku „membuka‟ yang tergolong doushi „kata kerja‟ serta dihubungkan oleh kakujoushi „partikel‟

wo yang merupakan kata bantu untuk

menunjukkan objek dari suatu perbuatan. Jadi secara leksikal, kuchi wo hiraku memiliki arti „membuka mulut‟. Muneo (1992:209) menyatakan bahwa kuchi wo

hiraku memiliki makna idiom sebagai

berikut.

Damatteita hito ga hanashi hajimeru.

„Orang yang berdiam diri mulai berbicara‟

Kanyouku data (3) yaitu kuchi wo hiraku diartikan „berbicara‟. Alwi (2005:148) menyatakan bahwa berbicara berarti berkata, bercakap, dan merundingkan berbagai persoalan dengan lawan bicara. Hubungan antar makna yang terkandung di dalam

(6)

158

perluasan makna yang terjadi secara metonimi karena mempunyai keterkaitan secara ruang. Ketika seseorang ingin menyampaikan sesuatu maka otomatis ia membuka mulutnya sehingga mulut digunakan untuk mewakili sebagian dari keseluruhan yaitu „berbicara‟. Kuchi wo

hiraku „berbicara‟ memiliki kesamaan

makna dengan kanyouku bahasa Bali yaitu muaban. Hal tersebut tercermin dari 21 orang responden yang menjawab

muaban, 3 orang responden yang

menjawab ngruntuhang wecana, dan 1 orang responden yang menjawab keles

cadike. a) Muaban, secara idiom

memiliki makna „berbicara‟ (Warna, 1990:759). Kanyouku bahasa Jepang sama halnya dengan kanyouku bahasa Bali yang apabila seseorang berbicara pasti membuka mulutnya. b)

Ngruntuhang wecana, dilihat dari makna

leksikal ngruntuhang berarti „menjatuhkan‟ dan wecana berarti „kata‟ sehingga memiliki makna „menjatuhkan kata‟. Namun, secara idiom ngruntuhang

wecana memiliki makna „mengucapkan

kata-kata‟ (Warna, 1990:589). „Mengucapkan kata-kata‟ berarti sama dengan „berbicara‟. c) Keles cadike juga memiliki makna berbicara namun arti berbicara dalam hal ini lebih cenderung

terlalu banyak bicara sehingga dapat diungkapkan dengan keles cadike „lelah berbicara‟ (Warna, 1990:48).

5.4 Kanyouku yang menunjukkan kondisi, tingkatan, dan nilai (joutai, teido, kachi wo arawasu

kanyouku)

Alwi (2005:586) menyatakan kondisi merupakan suatu keadaan yang dirasakan seseorang.

(4) Ukiukishita Sadako no yousu made,

me ni mieru you da.

„Sampai kegembiraan Sadako seperti terlihat dengan jelas‟ (Tobe! Senbazuru, 2015:32)

Kanyouku 目 に 見 え る me ni mieru merupakan doushi kanyouku „idiom kata kerja‟ karena dibentuk oleh kata me „mata‟ yang tergolong meishi „kata benda‟ dan mieru „terlihat‟ yang tergolong doushi „kata kerja‟ serta dihubungkan oleh kakujoushi „partikel‟

ni untuk menunjukkan objek yang

dipengaruhi. Jadi secara leksikal, me ni

mieru memiliki arti „terlihat oleh mata‟.

Muneo (1992:317) menyatakan bahwa

me ni mieru memiliki makna idiom

sebagai berikut.

Hakkiri mieru youni. Ichidan to kiwadatte.

„Agar terlihat dengan jelas. Lebih lanjut dan lebih menonjol‟

(7)

159

Kanyouku data (4) yaitu me ni mieru diartikan „terlihat dengan jelas‟

karena sesuatu yang terlihat oleh mata kebenarannya sangat jelas. Alwi (2005:981) menyatakan bahwa melihat secara saksama berarti melihat dengan teliti, cermat, dan tepat. Hubungan antar makna yang terkandung di dalam

kanyouku me ni mieru merupakan

perluasan makna yang terjadi secara metafora yang menunjukkan adanya kesamaan yaitu sesuatu yang terlihat oleh mata kebenarannya sudah jelas. Me

ni mieru „terlihat dengan jelas‟ memiliki

kesamaan makna dengan kanyouku bahasa Bali yaitu celang paningalanne. Hal tersebut tercermin dari 20 orang responden yang menjawab celang paningalanne, 2 orang responden yang

menjawab paningalan cureng, 1 orang responden yang menjawab paliatne

mrengang, dan 2 orang responden

menambahkan jawaban lain yaitu matiuk

talenan dan matane care clepuk. a) Celang paningalanne, dilihat dari makna

leksikal celang berarti „tajam indranya‟

dan paningalanne berarti

„penglihatannya‟. Warna (1990:126) menyatakan bahwa secara idiom, celang

paningalanne berarti „tajam

penglihatannya‟. Penglihatan yang tajam

berarti melihat dengan saksama dan jelas terlihat di depan mata. b) Paningalan

cureng, memiliki makna „pandang terus

menerus dengan mata tajam dan membelalak‟ (Warna, 1990:146). c)

Paliatne mrengang, memiliki makna

„penglihatannya liar‟ (Warna, 1990:450). Penglihatannya dikatakan liar karena sesuatu apapun yang terlintas di depan mata dilihat dengan saksama. d) Matiuk

talenan termasuk ke dalam bentuk beblabadan „metafora‟ yang memiliki

makna nlektek „memandangi dengan mata tajam‟. e) Matane care clepuk, secara leksikal berarti „matanya seperti burung hantu‟. Penglihatan burung hantu sangat tajam pada malam hari, maka dari itu diungkapkan dengan matane care

clepuk walaupun dalam keadaan yang

gelap namun dapat melihat dengan jelas.

5.5 Kanyouku yang menunjukkan masyarakat, kebudayaan, dan kehidupan (shakai, bunka, seikatsu wo arawasu kanyouku)

Alwi (2005:170) menyatakan bahwa kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat.

(5) Sorekara hantoshi hodo de,

(8)

160

„Kemudian kira-kira pertengahan tahun, Kuboyama

menghembuskan napas yang terakhir‟

(Tobe! Senbazuru, 2015:43)

Kanyouku 息を引き取った iki wo

hikitotta bentuk dasarnya adalah iki wo

hikitoru merupakan doushi kanyouku

„idiom kata kerja‟ karena dibentuk oleh kata iki „napas‟ yang tergolong meishi „kata benda‟ dan hikitoru „mengambil‟ yang tergolong doushi „kata kerja‟ serta dihubungkan oleh kakujoushi „partikel‟

wo untuk menunjukkan objek. Jadi

secara leksikal, iki wo hikitoru memiliki arti „mengambil napas‟. Muneo (1992:482) menyatakan bahwa iki wo

hikitoru memiliki makna idiom sebagai

berikut.

Kokyuu ga tomaru. Shinu.

„Berhenti bernapas. Meninggal‟

Kanyouku data (5) yaitu iki wo hikitoru diartikan „menghembuskan

napas yang terakhir‟ atau meninggal dunia, berhenti bernapas. Alwi (2005:396) menyatakan bahwa keadaan berhenti bernapas berarti keadaan tanpa gerak dan tidak meneruskan suatu kegiatan bernapas. Hubungan antar makna yang terkandung di dalam

kanyouku iki wo hikitoru merupakan

perluasan makna yang terjadi secara

metonimi yang menunjukkan sebagian dari keseluruhan. Napas adalah bagian dari kehidupan manusia sehingga „meninggal dunia‟ digunakan untuk menyatakan secara keseluruhan. Iki wo

hikitoru „menghembuskan napas yang

terakhir atau meninggal‟ memiliki kesamaan makna dengan kanyouku bahasa Bali yaitu pegat angkihanne. Hal tersebut tercermin dari 17 orang responden yang menjawab pegat angkihanne, dan 8 orang responden yang

menjawab mewali tanah wayah. a) Pegat

angkihanne, dilihat dari makna leksikal pegat berarti „putus‟ dan angkihanne

berarti „napasnya‟ sehingga dilihat dari kata pembentukannya memiliki makna „putus napasnya‟. Warna (1990:508) menyatakan bahwa secara idiom, pegat

angkihanne memiliki makna

„meninggal‟. b) Mewali tanah wayah, dilihat dari makna leksikal tanah berarti „tanah‟ dan wayah berarti „tua‟ sehingga memiliki makna „tanah tua‟. Secara idiom, tanah wayah memiliki makna kuburan (Warna, 1990:692). Kuburan berkaitan dengan orang yang telah meninggal.

6. Simpulan

Kanyouku lebih dominan dibentuk

(9)

161

menggunakan gaya bahasa metonimi dalam menghubungkan makna suatu

kanyouku dengan gaya bahasa.

Kanyouku bahasa Jepang dapat

dipadankan lebih dari satu kanyouku ke dalam bahasa Bali dan tidak semua

kanyouku bahasa Jepang dapat

dipadankan dengan kanyouku dalam bahasa Bali.

7. Daftar Pustaka

Alwi, Hasan dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Chaer, Abdul. 2014. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Fathoni, Abdurrahmat. 2006. Metodologi

Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi. Jakarta: Rineka Cipta.

Mahsun, Prof. Dr. 2013. Metode

Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya.

Jakarta: Rajawali Pers.

Muneo, Inoue. 1992. Kanyouku Jiten. Jepang: Sotakushashuppan.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka

Teknik Analisis Bahasa.

Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sugiyono. 2014. Metode Penelitian

Manajemen. Bandung: Alfabeta.

Sutedi, Dedi. 2008. Dasar-Dasar Linguistik Bahasa Jepang.

Bandung: Humaniora.

Sutedi, Dedi. 2009. Penelitian

Pendidikan Bahasa Jepang

(Panduan bagi Guru dan Calon Guru dalam Meneliti Bahasa Jepang dan Pengajarannya).

Bandung: Humaniora.

Warna, I Wayan dkk. 1990. Kamus Bali

Indonesia. Bali: Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Bali.

Yutaka, Miyaji. 1990. Kanyouku no Imi

to Youhou. Jepang: Meiji Shoin.

Yuusuke, Teshima. 2015. Tobe! Senbazuru. Tokyo: Koudansha.

Referensi

Dokumen terkait

Karyawan kontrak yang merupakan tenaga kerja yang digunakan sesuai dengan kontrak yang telah disepakati terdiri dari karyawan yang bekerja pada bagian produksi terdiri dari

yang berada di atas, peneliti ini akan memanfaatkan sebuah teknologi yang sudah berkembang, salah satunya solusi untuk mencari posisi ruangan pada gedung yang

[r]

Berbeda dengan metode-metode sebelumnya, pada penelitian ini diusulkan perancangan antena MIMO 2 x 2 mikrostrip lingkaran menggunakan parasitik substrat, seperti terlihat pada

Bagi mahasiswa yang telah diyudisium dan menyelesaikan administrasi lainnya, tetapi tidak dapat mengikuti prosesi wisuda pada tanggal yang telah ditentukan maka WAJIB membuat

Stadia kematangan menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap panjang buah, diameter buah, tebal daging buah, bobot buah, dan padatan terlarut total, namun tidak nyata

Hambatan yang terjadi dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di SLB Autis Mitra Ananda adalah kurikulum 2013 tidak dapat diterapkan sepenuhnya karena kondisi anak yang

PENGEMBANGAN MEDIA AUDIO VISUAL ADOBE FLASH BERBASIS CONTEXTUAL TEACHING LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN KREATIF PESERTA DIDIK MATERI KEARIFAN