DENGAN DIFFUSOL CB SECARA RENDAMAN PANAS DINGIN
NUR AISYAH KOMALASARI
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KETERAWETAN DAN SIFAT MEKANIS KAYU KECAPI, KAYU RAMBUTAN DAN KAYU NANGKA YANG DIAWETKAN DENGAN DIFFUSOL CB SECARA RENDAMAN PANAS DINGIN
NUR AISYAH KOMALASARI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada
Departemen Hasil Hutan
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Preservative Treatability and Mechanical Properties of Kecapi, Rambutan, and Nangka Woods Preserved with Hot and Cold
Soaking of Diffusol CB
Nur Aisyah K1, Trisna Priadi2
INTRODUCTION : Various types of wood from the forests and lands owned by community, hopefully can be used as commercial timbers for constructions or furnitures. However, it should be supported by technology that can improve the properties of woods, one of them is preservation which makes wood more resistant to biodeterioration. The objective of this research was to determine the effect of temperatures and periods of soaking on the retention and penetration of preservative Diffusol CB and their influence to the mechanical properties of kecapi wood (Sandoricum koetjape), rambutan wood (Nephelium lappaceum), and nangka wood (Arthocarpus heterophyllus).
METHOD : In this research mechanical properties and preservative treatibility of kecapi wood, rambutan wood, and nangka wood were tested. Cold soaking and hot-cold soaking preservation methods were applied using Diffusol CB 5% to the wood samples. The cold soaking method use 24 and 48 hours periods with 30°C temperature, while hot-cold preservation method use 24 and 48 hours total soaking periode including 4 and 8 hours hot soaking prior to the cold soaking. The temperature of hot soaking were 50 °C and 75 °C. Data were analyzed using Complete Randomized Design (CRD) two factors, one factor was the type of wood and B factor was preservation methods.
RESULT : This research showed that the hot-cold soaking methods resulted in highly retention and penetration about 2-3 times compared to the cold soaking method. The highest retention found in rambutan wood, while the highest penetration of boron and copper occured in kecapi wood. The 48 hours soaking periods increased the retention and penetration nearly 2 times compared to the 24 hours soaking period. The increase of hot soaking periods 4 to 8 hours caused the increase of retension and penetrasion of boron and copper about 1,25 to 1,5 times. While the increase of temperature from 50 °C to 75 °C raised the retention and penetration of boron and copper about 1,25-2 times. Preservation 8 hours hot soaking and 40 hours cold soaking at 75 °C met the wood preservatives ISO 03-5010.1-1999 standard retension and penetrasion. In this research the increase of
soaking times and temperature didn’t significantly influence wood mechanical properties (MOE and MOR).
KEYWORDS : kecapi wood, rambutan wood, nangka wood, preservative treatability, mechanical properties, Diffusol CB
1
.Student of Forest Products Departement, Faculty of Forestry IPB 2
RINGKASAN
Nur Aisyah Komalasari. E24080026. Keterawetan dan Sifat Mekanis Kayu Kecapi, Kayu Rambutan dan Kayu Nangka yang Diawetkan dengan Diffusol CB secara Rendaman Panas Dingin. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Trisna Priadi, M.Eng, Sc.
Berbagai jenis kayu dari hutan yang berasal dari lahan milik rakyat di harapkan, dapat dimanfaatkan sebagaimana kayu komersil untuk konstruksi atau furniture. Namun, untuk itu perlu didukung oleh teknologi yang dapat memperbaiki sifat-sifatnya, salah satunya adalah pengawetan kayu sehingga lebih tahan terhadap biodeteriorisasi yang dapat merusak kayu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perbedaan suhu dan waktu perendaman panas dingin terhadap retensi dan penetrasi bahan pengawet Diffusol CB serta sifat mekanis kayu kecapi (Sandoricum koetjape), kayu rambutan (Nephelium Lappaceum), dan kayu nangka (Arthocarpus heterophyllus).
Dalam penelitian ini dilakukan uji keterawetan dan sifat mekanis kayu kecapi, kayu rambutan dan kayu nangka yang diawetkan dengan metode rendaman dingin dan metode rendaman panas dingin dengan pengawet Diffusol CB konsentrasi 5%. Respon yang diamati adalah nilai retensi dan penetrasi bahan pengawet, serta sifat mekanis (MOE dan MOR) kayu. Pengawetan rendaman dingin dilakukan selama 24 dan 48 jam dengan suhu perendaman 30 °C. Sedangkan rendaman panas dingin dilakukan selama 24 dan 48 jam dengan lama perendaman panas 4 dan 8 jam suhu 50 °C dan 75 °C yang kemudian dilakukan perendaman dingin dengan suhu 30 °C. Data dianalisis menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua faktor, faktor A adalah jenis kayu dan faktor B adalah metode pengawetan sebagai perlakuan.
Hasil penelitian membuktikan bahwa metode pengawetan rendaman panas dingin menghasilkan nilai retensi dan penetrasi bahan pengawet yang lebih baik dengan peningkatan sekitar 2-3 kali dibandingkan pada pengawetan rendaman dingin. Retensi tertinggi terjadi pada kayu rambutan, sedangkan penetrasi boron dan tembaga tertinggi terjadi pada kayu kecapi. Total lama perendaman selama 48 jam meningkatkan nilai retensi dan penetrasi hampir 2 kalinya dibandingkan perendaman selama 24 jam. Peningkatan perendaman panas 4 jam menjadi 8 jam pada pengawetan rendaman panas-dingin meningkatkan retensi dan penetrasi boron, tembaga sekitar 1,25 kali hingga 1,5 kali dibandingkan dengan pengawetan rendaman dingin. Sedangkan peningkatan suhu dari 50 °C menjadi 75 °C pada rendaman panas-dingin meningkatkan retensi dan penetrasi boron, tembaga sekitar 1,25 kali hingga 2 kali. Kayu rambutan yang diawetkan dengan perendaman panas 8 jam suhu 75 °C lalu dilanjutkan rendaman dingin selama 40 jam telah memenuhi standar retensi dan penetrai bahan pengawet kayu SNI 03-5010.1-1999. Peningkatan lama dan suhu rendaman dalam penelitian ini tidak berpengaruh secara nyata terhadap nilai MOE dan MOR kayu.
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Keterawetan dan
Sifat Mekanis Kayu Kecapi, Kayu Rambutan dan Kayu Nangka yang Diawetkan dengan Diffusol CB secara Rendaman Panas Dingin” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan
belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga
manapun. Sumber informasi yang berasal dari karya yang diterbitkan maupun
yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2012
Nur Aisyah Komalasari
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Keterawetan dan Sifat Mekanis Kayu Kecapi, Kayu
Rambutan dan Kayu Nangka yang Diawetkan dengan
Diffusol CB secara Rendaman Panas Dingin
Nama Mahasiswa : Nur Aisyah Komalasari
NRP : E24080026
Program Studi : Hasil Hutan
Menyetujui:
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Trisna Priadi, M.Eng, Sc.
NIP. 19670425 199302 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Hasil Hutan
Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc.
NIP. 19660212 199103 1 002
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Indramayu pada tanggal 27 September 1990 sebagai
anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Asep Komariat dan Sri Mulyati.
Penulis memulai jenjang pendidikan formal di SDN 2 Karangampel, Kecamatan
Karangampel, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat (TA 1997-2002),
selanjutnya penulis melanjutkan ke SLTP Negeri 2 Sindang Indramayu,
Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat (TA
2002-2005). Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMA Negeri 1 Sindang
Indramayu, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat
(TA 2005-2008). Pada tahun 2008 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor
melalui jalur USMI dengan memilih mayor Teknologi Hasil Hutan Fakultas
Kehutanan IPB.
Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi
kemahasiswaan yakni sebagai staf HIMASILTAN bagian Kimia Hasil Hutan
tahun 2009-2010, kepanitian Forester Cup 2009, Bina Desa 2009, kepanitiaan
Forest Product Expo (FORTEX), kepanitiaan KOMPAK THH 2010. Penulis
melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cilacap – Baturaden,
Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Gunung Walat serta melakukan Praktek
Kerja Lapang (PKL) di Madani Corp, Pati-Kudus. Penulis juga lolos PKM yang
didanai oleh dikti tahun 2011.
Dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis
menyelesaikan skripsi berjudul “Keterawetan dan Sifat Mekanis Kayu Kecapi,
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, karunia serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Keterawetan dan Sifat Mekanis Kayu Kecapi, Kayu Rambutan, dan Kayu Nangka yang Diawetkan
dengan Diffusol CB secara Rendaman Panas Dingin”.
Penelitian ini dapat diselesaikan karena bantuan dari berbagai pihak, oleh
karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Trisna Priadi, M.Eng, Sc. selaku pembimbing yang telah meluangkan
waktu serta senantiasa memberikan bimbingan, saran dan koreksi kepada
penulis sejak perencanaan penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini.
2. Bapak (Asep Komariat) dan Ibu (Sri Mulyati) tercinta atas seluruh kasih
sayang, cinta, doa dan semangat yang selalu mengalir tanpa henti. Adikku
tersayang Rizal atas semangat, dukungan, doa dan perbincangan ringan yang
membuat percaya diri.
3. Dosen-dosen dan staf Fakultas Kehutanan atas ilmu dan pengalaman yang
telah diberikan.
4. Ahmad Jamhari Rahmawan yang selalu memotivasi, memberi semangat,
dukungan dan doa.
5. Teman-teman satu bimbingan yang selalu berbagi semangat, bantuan serta
dukungan : Ari Suhardianto, dan Silva Dwika Maretha.
6. Teman-teman THH 45 yang selalu memberikan dukungan dan semangat
selama penulis melakukan penelitian hingga penulisan skripsi, serta
teman-teman THH 43, 44, dan 46, dan teman-teman-teman-teman Fahutan 45.
7. Teman-teman kosan iscer crew yang selalu memberikan semangat dan
dukungan: Nisa, Vany, Mimi, dan Rima.
8. Seluruh pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga
segala bantuan dan dukungan dicatat sebagai pahala oleh Allah SWT.
Bogor, September 2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
penyusunan skripsi yang berjudul “Keterawetan dan Sifat Mekanis Kayu
Kecapi, Kayu Rambutan, dan Kayu Nangka yang Diawetkan dengan Diffusol CB secara Rendaman Panas Dingin” yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan suhu dan waktu perendaman panas dingin terhadap retensi
dan penetrasi bahan pengawet Diffusol CB serta sifat mekanis kayu kecapi
(Sandoricum koetjape), kayu rambutan (Nepheliumlappaceum), dan kayu nangka
(Arthocarpus heterophyllus).
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam proses penyusunan skripsi mulai dari awal hingga akhir. Penulis
sepenuhnya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Harapan
penulis semoga skripsi ini dapat memenuhi tujuan penyusunan serta memberikan
manfaat bagi pembaca sekalian.
Bogor, September 2012
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... iv
DAFTAR LAMPIRAN ... v
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan Penelitian ... 2
1.3 Manfaat Penelitian ... 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3
2.1 Kayu dari Hutan Rakyat ... 3
2.1.1 Kayu Rambutan (Nephelium lappaceum L.) ... 3
2.1.2 Kayu Nangka (Arthocarpus heterophyllus) ... 4
2.1.3 Kayu Kecapi (Sandoricum koetjape) ... 5
2.2 Keawetan Kayu ... 5
2.3 Keterawetan Kayu ... 7
2.4 Pengawetan Kayu ... 8
2.5 Metode Pengawetan Kayu... 8
2.5.1 Pelaburan / penyemprotan ... 9
2.5.2 Pencelupan ... 9
2.5.3 Rendaman ... 10
2.5.4 Rendaman dingin ... 10
2.5.5 Rendaman panas-dingin ... 10
2.5.6 Metode pengawetan dengan tekanan ... 11
2.5.7 Metode difusi ... 12
2.5.8 Metode sap-replacement ... 12
2.6 Bahan Pengawet ... 13
2.6.1 Bahan pengawet berupa minyak (kreosot) ... 13
2.6.2 Bahan pengawet larut minyak ... 13
2.6.3 Bahan pengawet larut air... 14
2.7 Sifat Mekanis Kayu ... 16
2.7.2 Keteguhan tekan (compressive strength) ... 17
2.7.3 Keteguhan tarik (tensile strength) ... 17
2.7.4 Keteguhan geser (shearing strength) ... 17
2.7.5 Kekerasan (hardness) ... 17
2.7.6 Keteguhan pukul dan keuletan (toughness) ... 18
2.7.7 Keteguhan belah (cleavage resistance) ... 18
BAB III. METODE PENELITIAN ... 19
3.1 Waktu dan Tempat ... 19
3.2 Alat dan Bahan ... 19
3.3 Prosedur Penelitian ... 19
3.3.1 Persiapan bahan baku... 20
3.3.2 Pengujian keterawetan kayu ... 20
3.4 Pengujian Sifat Mekanis ... 23
3.5 Analisis Data ... 24
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25
4.1 Keterawetan Kayu ... 25
4.1.1 Retensi Bahan Pengawet ... 25
4.1.2 Penetrasi Bahan Pengawet ... 28
4.2 Pengujian Mekanis Kayu ... 34
4.2.1 Modulus of Elasticity (MOE) ... 34
4.2.2 Modulus of Rupture (MOR) ... 36
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 39
5.1 Kesimpulan... 39
5.2 Saran ... 39
DAFTAR PUSTAKA ... 40
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Klasifikasi keawetan kayu di Indonesia ... 6
2. Kelas keterawetan kayu ... 8
3. Persyaratan retensi dan penetrasi bahan pengawet ... 11
4. Formulasi Difussol CB ... 20
5. Analisis sidik ragam pengaruh jenis kayu dan metode pengawetan terhadap retensi bahan pengawet. ... 27
6. Analisis sidik ragam pengaruh jenis kayu dan metode pengawetan terhadap penetrasi boron ... 30
7. Analisis sidik ragam pengaruh jenis kayu dan metode pengawetan terhadap penetrasi tembaga. ... 33
8. Analisis sidik ragam pengaruh jenis kayu dan metode pengawetan terhadap nilai MOE ... 35
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Kayu rambutan (a) kayu nangka (b) dan kayu kecapi (c) yang digunakan
dalam penelitian. ... 20
2. Pengambilan contoh uji untuk uji penetrasi. ... 21
3. Penampang contoh uji yang telah diberikan larutan pereaksi. ... 22
4. Alat uji mekanis merk Instron. ... 23
5. Nilai retensi (kg/m3) bahan pengawet dalam kayu kecapi, kayu rambutan dan kayu nangka dengan variasi waktu rendaman panas/dingin 4/20…8/40 dan variasi suhu 50 °C/ 30 °C (a), 30 °C (b), dan 75 °C (c). ... 26
6. Nilai penetrasi boron (mm) bahan pengawet dalam kayu kecapi, kayu rambutan dan kayu nangka dengan variasi waktu rendaman panas/dingin 4/20…8/40 dan variasi suhu 50 °C/ 30 °C (a), 30 °C (b), dan 75 °C (c). ... 29
7. Penetrasi boron ... 31
8. Penetrasi tembaga ... 31
9. Nilai penetrasi tembaga (mm) bahan pengawet dalam kayu kecapi, kayu rambutan dan kayu nangka dengan variasi waktu rendaman panas/dingin 4/20…8/40 dan variasi suhu 50 °C/ 30 °C (a), 30 °C (b), dan 75 °C (c). ... 32
10. Nilai MOE (kg/cm2) kayu kecapi, kayu rambutan dan kayu nangka dengan variasi waktu rendaman panas/dingin 4/20…8/40 dan variasi suhu 50 °C/ 30 °C (a), 30 °C (b), dan 75 °C (c). ... 35
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Rata-rata nilai retensi bahan pengawet, penetrasi boron dan tembaga
pada berbagai perlakuan pengawetan pada kayu kecapi, kayu rambutan dan kayu nangka. ... 44
2. Rata-rata nilai MOE dan MOR kayu kecapi, kayu rambutan dan kayu nangka pada berbagai perlakuan perendaman bahan pengawet. ... 47
3. Analisis sidik ragam jenis kayu, metode pengawetan terhadap retensi bahan pengawet... 50
4. Analisis sidik ragam jenis kayu, metode pengawetan terhadap penetrasi boron. ... 52
5. Analisis sidik ragam jenis kayu, metode pengawetan terhadap penetrasi tembaga. ... 54
6. Analisis sidik ragam jenis kayu, metode pengawetan terhadap nilai MOE. ... 56
7. Analisis sidik ragam jenis kayu, metode pengawetan terhadap nilai MOR. ... 58
8. Uji lanjut Duncan interaksi jenis kayu, metode pengawetan terhadap retensi. ... 60
9. Uji lanjut Duncan interaksi jenis kayu dan metode pengawetan terhadap penetrasi boron. ... 63
10. Uji lanjut Duncan interaksi jenis kayu dan metode pengawetan terhadap penetrasi tembaga. ... 66
11. Uji lanjut Duncan nilai MOE terhadap pengaruh jenis kayu dan metode pengawetan. ... 69
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hutan merupakan sumberdaya alam yang memberikan manfaat besar bagi
kesejahteraan manusia, baik manfaat secara tangible yang dirasakan secara
langsung, maupun intangible yang dirasakan secara tidak langsung. Salah satu
manfaat hutan yang bisa dimanfaatkan secara langsung adalah kayu. Seiring
menurunnya pasokan kayu komersial dari hutan alam dan tingginya kebutuhan
kayu, maka masyarakat semakin menyadari pentingnya hutan rakyat dan hutan
tanaman sebagai sumber bahan baku kayu. Kebutuhan kayu bulat selama 2008
adalah 46 juta m3, sedangkan total produksi yang mampu dihasilkan dari berbagai kawasan hutan hanya sekitar 32 juta m3 (BPS 2009 dalam Mulyadi 2011). Djajapertjunda (2003) dalam Rachman et al. (2006) mengemukakan bahwa luas
hutan rakyat sampai dengan tahun 2003 mencapai 1.265.000 ha yang tersebar di
24 provinsi, sedangkan di Pulau Jawa sekitar 500.000 ha. Potensi tegakan hutan
rakyat tersebut diperkirakan mencapai 43 juta m3, dengan jenis kayu utama sengon, jati, akasia, mahoni, sonokeling dan jenis buah-buahan. Oleh karena itu
diperkirakan untuk saat ini dan masa yang akan datang pemenuhan kebutuhan
kayu untuk berbagai keperluan terutama untuk industri sebagian besar berasal dari
Hutan Tanaman Industri (HTI) dan hutan rakyat.
Kayu yang berasal dari hutan rakyat sebagian besar digunakan masyarakat
untuk berbagai keperluan terutama untuk bahan bangunan. Kayu buah-buahan
seperti kayu rambutan, kayu kecapi, dan kayu nangka merupakan salah satu
alternatif kayu rakyat yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk konstruksi
bangunan terutama disaat pohon sudah tidak produktif berbuah. Keunggulan dari
kayu buah-buahan adalah mudah didapat di lingkungan masyarakat dengan harga
yang relatif murah. Dibandingkan kayu dari hutan alam, banyak kayu rakyat yang
memiliki kelemahan dari segi keawetan dan kekuatannya terutama yang berasal
dari pohon yang cepat tumbuh. Pohon yang cepat tumbuh pada umumnya
menghasilkan kayu dengan kandungan ekstraktif dan kerapatan kayu yang lebih
rendah serta dinding sel yang lebih tipis. Agar kayu-kayu tersebut dapat
dalam pemakaiannya perlu didukung oleh teknologi yang dapat memperbaiki
sifat-sifat kayu, salah satunya adalah pengawetan kayu.
Pengawetan kayu merupakan suatu proses memasukkan bahan pengawet ke
dalam kayu dengan tujuan untuk meningkatkan masa pakai kayu. Proses
pengawetan ini sangat bervariasi mulai dari yang sederhana (tanpa tekanan)
hingga yang lebih modern dengan menggunakan tekanan dan vakum. Pengawetan
dengan metode pemberian tekanan dan vakum menghasilkan nilai retensi dan
penetrasi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pengawetan tanpa tekanan.
Namun mengingat teknik pengawetan dengan menggunakan vakum tergolong
mahal sehingga sulit diterapkan di masyarakat, maka penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan metode rendaman panas dingin dengan modifikasi suhu dan
waktu.
Hasil penelitian pengawetan rendaman panas-dingin oleh Kurnia (2009)
pada tiga jenis kayu rakyat dengan konsentrasi Diffusol CB sebesar 5% dengan
waktu perendaman panas selama 4 jam dan dingin selama 20 jam, berkisar antara
3,71-4,15 kg/m3. Nilai retensi yang dicapai dalam penelitian tersebut belum memenuhi standar SNI 03-5010.1-1999 karena syarat retensi yaitu sebesar 8
kg/m3 untuk penggunaan di bawah atap dan 11 kg/m3 untuk penggunaan di luar atap. Sehingga penelitian ini dilakukan dengan memodifikasi suhu dan waktu
rendaman panas-dingin yang diharapkan dapat memenuhi Standar Nasional
Indonesia (SNI) pengawetan kayu.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan suhu dan
waktu perendaman panas dingin terhadap retensi dan penetrasi bahan pengawet
Diffusol CB serta sifat mekanis kayu kecapi (Sandoricum koetjape), kayu
rambutan (Nepheliumlappaceum), dan kayu nangka (Arthocarpus heterophyllus).
1.3 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan berbagai pihak
khususnya pengguna kayu rakyat dalam rangka pemanfaatan kayu secara efektif
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kayu dari Hutan Rakyat
Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan luas
minimal 0,25 ha, dengan penutupan tajuk didominasi oleh tanaman perkayuan
(lebih dari 50%), dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 batang
(Dephutbun 1999). Djajapertjunda (2003) dalam Rachman et al. (2006)
mengemukakan bahwa luas hutan rakyat sampai dengan tahun 2003 mencapai
1.265.000 ha yang tersebar di 24 provinsi, sedangkan di Pulau Jawa mencapai
500.000 ha. Untuk Jawa Barat perkembangan luas dan produksi hutan rakyat terus
meningkat setiap tahunnya. Data terakhir dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa
Barat (2007) dalam Rachman et al. (2006) diperoleh angka luasan sebesar
185.547,63 ha dengan produksi kayu sebesar 1.336.006,30 m3, dengan jenis kayu utama sengon, mahoni, jati, afrika dan kayu buah-buahan. Kayu rambutan, nangka
dan kecapi merupakan salah satu jenis kayu buah-buahan yang termasuk di
dalamnya.
2.1.1 Kayu Rambutan (Nephelium lappaceum L.)
Rambutan (Nephelium lappaceum L.) merupakan tanaman buah
hortikultural berupa pohon dengan famili Sapindaceae. Tanaman buah tropis ini
dalam bahasa inggrisnya disebut hairy fruit berasal dari Indonesia (Deptan 2000).
Tanaman rambutan di Indonesia tumbuh menyebar dari dataran rendah sampai
ketinggian 600 meter diatas permukaan laut. Tetapi hasil yang baik akan diperoleh
pada lahan-lahan yang lebih rendah yakni antara 0-250 meter. Penyebaran tumbuh
tanaman di beberapa wilayah tumbuh Indonesia bagian barat dan merata ke
hampir semua pulau besar di Indonesia. Taksonomi untuk rambutan adalah
sebagai berikut (Anonim 2011) :
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Sapindales
Genus : Nephelium
Species : Nephelium lappaceum L.
Kayu rambutan termasuk ke dalam kayu hardwood. Kayu dalam kelompok
ini mengandung sejumlah tipe sel dan terspesialisasi untuk fungsi yang berbeda,
antara lain sel-sel libriform mempunyai dinding yang tebal dengan rongga-rongga
kecil mengandung beberapa noktah sederhana. Kayu rambutan mempunyai berat
jenis 0,8-0,91 kelas kuat I-II dan kelas awet III (Seng 1990). Kayu pohon
rambutan cukup keras dan kering, tetapi mudah retak sehingga kurang baik untuk
bahan bangunan. Namun, kayu rambutan bagus sekali untuk kayu bakar dan arang
(Anonim 2005).
2.1.2 Kayu Nangka (Arthocarpus heterophyllus)
Nangka memiliki nama botani A. heterophyllus Lamk. Menurut Verheij dan
coronel (1992) dalam Nurmawan (2011), Nangka memiliki nama lain seperti
Jackfruit (Inggris), Jacquier (Prancis), Nongko (Jawa), Langka (Filipina), Khanun
(Thailand). Nama daerah untuk Nangka pun bermacam-macam seperti nangko
atau nangka (Jawa), anaane (Ambon), panaih (Aceh), lumasa dana malasa
(Lampung), dan nama lainnya. Verheij dan coronel (1992) dalam Nurmawan
(2011), mengklasifikasikan Nangka sebagai berikut:
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Rosales
Famili : Moraceae
Genus : Artocarpus
Species : Artocarpus heterophyllus
Menurut Burgess (1989) dalam Nurmawan (2011), kayu nangka memiliki
struktur anatomi antara lain porinya tersebar secara tata baur, 30-80% berpori
soliter dan sisanya bergabung secara radial. Porinya berbentuk bulat sampai oval
Menurut Isrianto (2007) dalam Nurmawan (2011), kayu nangka memiliki
berat jenis maksimum 0,71 dan berat jenis minimum adalah 0,55 dengan berat
jenis rata-rata 0,61 sehingga masuk ke dalam kelas kuat II. Kayu yang masuk
dalam kelas kuat II-III baik digunakan untuk tujuan struktural. Kayu nangka dapat
digunakan untuk pembuatan meubel, konstruksi bangunan pembubutan, tiang
kapal, dayung, perkakas, dan alat musik. Di jawa banyak digunakan sebagai tiang
bangunan, kentongan, dan lesung.
2.1.3 Kayu Kecapi (Sandoricum koetjape)
Pohon kecapi termasuk ke dalam pohon buah-buahan, tingginya dapat
mencapai 25 – 30 m dengan diameter 70 – 90 cm, di Jawa tumbuh di bawah 1000
m di atas permukaan laut dan ditanam oleh penduduk. Kayu kecapi mempunyai
kayu teras berwarna putih-kelabu sampai cokelat muda, gambar polos, dan tektur
agak kasar (Mandang 2005). Menurut Martawijaya et al. (1983) kayu ini
mempunyai BJ 0,29-0,59 dengan kelas awet IV – V, dan kelas kuat III – IV .
Kayunya dapat digunakan untuk konstruksi bangunan, kerajinan kayu, untuk
perabotan rumah tangga serta peralatan lainnya (Verbeij & Coronel dalam
Nurmawan 2011). Taksonomi untuk kecapi adalah sebagai berikut (Anonim
2011):
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Sapindales
Famili : Meliaceae
Genus : Sandoricum
Species : Sandaricum koetjape (Burm.F.) Merr
2.2 Keawetan Kayu
Keawetan merupakan salah satu faktor utama yang menentukan kegunaan
jenis kayu. Penggunaan kayu akan menjadi terbatas jika keawetannya rendah.
Salah satu kekurangan kayu adalah dapat dirusak oleh organisme hidup seperti
jamur, serangga, dan binatang laut yang dapat merombak komponen utama
(Batubara 2006). Organisme tersebut merusak kayu karena menjadikan sumber
makanan maupun sebagai tempat tinggalnya.
Menurut Dumanau (2001), keawetan kayu ialah daya tahan suatu jenis kayu
terhadap organisme perusak yang datang dari luar kayu tersebut. Zat ekstraktif
merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap keawetan alami, meskipun
tidak semua zat ekstraktif kayu bersifat racun terhadap organisme perusak.
Umumnya semakin tinggi kandungan ekstraktif dalam kayu, maka keawetan
alami kayu cenderung meningkat (Wistara et al. 2002).
Oey Djoen Seng (1951) dalam Syarif (2010), membagi kayu dalam lima
kelas keawetan di Indonesia berdasarkan usia pakai kayu pada berbagai kondisi
tempat pemakaian, tanpa menyebutkan secara spesifik jenis organisme yang
menyebabkan kerusakan kayu tersebut. Klasifikasi keawetan kayu di Indonesia
disajikan pada Tabel 1. Sumber: Oen Djoen Seng (1990) dalam Kurnia (2009)
Barly (2009) menyatakan bahwa beberapa kayu tropis mempunyai keawetan
alami yang tinggi, namun di Indonesia sebagian kecil saja kayu-kayu yang
mempunyai keawetan yang tinggi sehingga umur pakai kayu tersebut pendek.
Dari 4000 jenis kayu yang terdapat di Indonesia diperkirakan hanya 15 % sampai
20 % saja yang sifat keawetannya baik, sisanya merupakan jenis-jenis yang sifat
2.3 Keterawetan Kayu
Keterawetan kayu adalah kemampuan kayu untuk ditembus oleh bahan
pengawet, sampai mencapai retensi dan penetrasi tertentu yang secara ekonomis
menguntungkan dan efektif untuk mencegah faktor perusak kayu (Batubara 2006).
Menurut Tobing (1977), keterawetan kayu sangat bervariasi. Kayu gubal
mempunyai keterawetan yang lebih tinggi karena bagian ini sebelumnya berfungsi
sebagai penyalur air dan hara dari akar ke daun. Kayu teras mempunyai sifat
keterawetan yang kurang baik karena sudah memiliki deposit-deposit lain
termasuk ekstraktif yang menutupi sel-sel kayu.
Menurut Martawijaya dan Barly (1982), ada 4 faktor yang mempengaruhi
keterawetan kayu, yaitu :
1. Jenis kayu, karena adanya perbedaan struktur anatomi dan kerapatan serta
lainnya.
2. Keadaan atau kondisi kayu pada saat diawetkan, seperti kadar air dan arah
penembusan. Peranan kadar air terhadap keterawetan kayu tergantung pada
bahan pengawet yang digunakan dan jenis kayu tersebut.
3. Metode pengawetan. Metode pengawetan dan skema pengawetan dalam
metode yang sama memberikan pengaruh yang berlainan terhadap
keterawetan kayu. Pengaruh sangat nyata bila proses tidak sesuai dengan sifat
bahan pengawet.
4. Bahan pengawet. Jenis dan konsentrasi bahan pengawet sangat
mempengaruhi keberhasilan dalam mengawetkan kayu, yaitu retensi dan
penetrasi bahan pengawet.
Hasil studi Martawijaya dan Barly (1982) terhadap penentuan klasifikasi
keterawetan kayu mendapatkan hubungan yang erat antara retensi dan penetrasi
artinya jenis kayu yang mudah diawetkan cenderung memiliki retensi yang tinggi,
sebaliknya jenis kayu yang sukar diawetkan cenderung memiliki retensi yang
rendah. Klasifikasi keterawetan kayu yang digunakan untuk metode vakum tekan
Tabel 2 Kelas keterawetan kayu
Kelas Keterawetan (Treatability) Dalamnya Penetrasi
I Mudah (Permeable) >90
II Sedang (Moderately resistant) 50-90
III Sukar (Resistant) 10-50
IV Sangat Sukar (Extremely resistant) <10 Sumber: Martawijaya 1981
Berdasarkan tim ELSPPAT (1997) dalam Kurnia (2009) retensi bahan
pengawet merupakan kemampuan kayu untuk menyerap bahan pengawet yang
dinyatakan dalam kg/m3. Penetrasi adalah penembusan bahan pengawet yang masuk kedalam kayu. Paling tidak besarnya retensi serta penetrasi bahan
pengawet harus dapat melindungi bagian-bagian sebelah dalam kayu yang tidak
dimasuki oleh bahan pengawet tersebut.
2.4 Pengawetan Kayu
Menurut Hunt dan Garrat (1986), pengawetan kayu adalah proses
memasukkan bahan pengawet ke dalam kayu untuk melindungi kayu atau
memperpanjang masa pakai kayu sehingga dapat mengurangi frekuensi
penggantian kayu pada bangunan konstruksi permanen atau bangunan semi
permanen, sedangkan Dumanau (2001) mengartikan pengawetan kayu adalah
proses memasukkan bahan racun ke dalam kayu, sebagai pelindung dari
kerusakan oleh makhluk-makhluk perusak kayu yang datang dari luar seperti
rayap, jamur dan binatang laut.
Menurut Nandika et al. (1996), manfaat yang dapat diraih melalui
penerapan pengawetan kayu antara lain :
1. Nilai guna jenis-jenis kayu kurang awet dapat meningkat secara nyata, sejalan
dengan peningkatan umur pakainya.
2. Biaya untuk perbaikan dan penggantian kayu dalam suatu penggunaan akan
berkurang.
3. Dalam jangka panjang, kelestarian hutan lebih terjamin karena konsumsi
kayu per satuan waktu lebih rendah.
2.5 Metode Pengawetan Kayu
Efektifitas bahan pengawet tidak hanya ditentukan oleh daya racunnya saja,
Hunt dan Garrat (1986) menyatakan metode pengawetan dibagi atas 4 golongan
yaitu:
1. Metode pengawetan tanpa tekanan, kayu-kayu diawetkan secara
pelaburan/penyemprotan, pencelupan, rendaman, rendaman dingin dan
rendaman panas-dingin.
2. Metode pengawetan dengan tekanan atau vakum, kayu-kayu diawetkan dalam
silinder tertutup dan diberi tekanan atau diberi vakum.
3. Metode difusi, kayu-kayu basah atau kayu segar diawetkan dengan
bahan-bahan pengawet yang berkonsentrasi tinggi.
4. Sap replacement method, cara ini digunakan hanya untuk batang yang baru
ditebang.
Metode pengawetan tanpa tekanan yang terdiri dari pelaburan/
penyemprotan (brushing dan spraying); pencelupan (dipping), rendaman
(steeping); rendaman dingin (cold soaking); dan rendaman panas-dingin (hot and
cold bath). Metode dengan tekanan dan vakum tekan terdiri dari metode sel penuh
(full cell) dan sel kosong (empty cell).
2.5.1 Pelaburan / penyemprotan
Dalam cara ini, bahan pengawet dilaburkan/disemprotkan ke permukaan
kayu yang telah dikeringkan lebih dahulu dan dibiarkan dalam beberapa waktu.
Dalam penggunaan cara pelaburan atau penyemprotan, bahan pengawet haruslah
menutupi seluruh permukaan kayu dan dibiarkan masuk ke dalam kayu sebanyak
mungkin, jangan dilaburkan terlalu tipis seperti cat. Hasilnya dipengaruhi oleh
mudah tidaknya kayu dipenetrasi dan jumlah bahan pengawet yang dilaburkan.
Biasanya digunakan bahan pengawet minyak/larut minyak. Dapat juga
menggunakan bahan pengawet larut air yang tidak mudah berfiksasi. Penetrasi
yang dicapai dangkal sehingga perlindungan kayu tidak maksimal (Hunt & Garrat
1986).
2.5.2 Pencelupan
Dalam cara ini kayu-kayu diawetkan dengan mencelupkannya ke dalam
larutan bahan pengawet selama beberapa detik atau beberapa menit. Umumnya
memerlukan lebih banyak alat dan bahan pengawet yang lebih banyak, dan tidak
cocok untuk mengawetkan kayu yang jumlahnya sedikit, terutama bila dilakukan
di tempat langsung. Tetapi dibandingkan dengan metode pelaburan, metode ini
memiliki nilai penetrasi yang lebih baik. Meskipun dalam penggunaannya, tingkat
perlindungan yang ingin dicapai tidak jauh berbeda dengan pelaburan, karena
penetrasinya dangkal dan retensinya rendah (Hunt & Garrat 1986).
2.5.3 Rendaman
Dalam cara ini kayu-kayu direndam di dalam tanki-tanki yang berisi bahan
pengawet larut air selama beberapa hari atau beberapa minggu. Umumnya lama
perendaman maksimum 2 minggu. Retensi yang cepat terjadi dalam 2-3 hari
pertama, setelah itu retensi berjalan sangat lambat. Karena retensi yang rendah
maka konsentrasi bahan pengawet harus lebih tinggi dibanding untuk proses
tekanan. Salah satu cara rendaman yang mendapat paten di Inggris pada tahun
1832 disebut Kyanizing. Disini kayu direndam selama 7-10 hari dalam larutan
mercuric chloride (sublimat) 0,67%. Kyanizing ini mengalami modifikasi dan
cara baru ini disebut improved Kyanizing dimana bahan pengawet yang digunakan
adalah campuran mercuric chloride 0,67% dengan NaCl 1%. Dalam kedua cara
ini, digunakan peralatan-peralatan yang tahan karat. Saat ini senyawa merkuri
sudah tidak digunakan lagi mengingat dampak negatif yang dapat ditimbulkannya
(Hunt & Garrat 1986).
2.5.4 Rendaman dingin
Metode ini banyak digunakan menggunakan larutan minyak, umumnya
digunakan bahan pengawet pentachlorophenol. Lebih dari separuh retensi terjadi
pada hari pertama (24 jam pertama), tetapi absorpsi akan berlangsung terus
dengan lebih lambat selama beberapa hari. Penetrasi pada kayu-kayu yang tidak
mengalami pengeringan lebih dulu biasanya sangat dangkal. Juga cara ini kurang
baik hasilnya bila dilakukan terhadap jenis-jenis kayu daun lebar karena retensi
dan penetrasinya dangkal (Hunt & Garrat 1986).
2.5.5 Rendaman panas-dingin
Cara ini mendapat paten dalam tahun 1867 atas nama C.A. Seely dan
kayu-kayu yang telah dikeringkan direndam di dalam bahan pengawet panas, kemudian
dipindahkan ke dalam bahan pengawet dingin (Hunt & Garrat 1986).
Berdasarkan Nandika et al. (1996), untuk melaksanakan proses rendaman
panas dan rendaman dingin ada beberapa cara yaitu:
1. Memindahkan kayu-kayu yang telah direndam dalam bahan pengawet yang
dipanaskan ke tanki lain dimana bahan pengawet relatif dingin.
2. Dengan mengeluarkan bahan pengawet panas dan segera diganti dengan bahan
pengawet dingin.
3. Dengan menghentikan pemanasan dan membiarkan kayu serta bahan pengawet
tadi menjadi dingin bersama-sama.
Untuk cara 1 dan 2, pemindahan harus dilakukan secara cepat supaya tidak
dingin oleh udara. Dalam metode pengawetan ini sebaiknya digunakan bahan
pengawet larut minyak, karena suhu sangat berpengaruh terhadap absorbsi dan
penetrasi. Berdasarkan SNI 03-5010.1-1999, persyaratan retensi dan penetrasi
bahan pengawet disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Persyaratan retensi dan penetrasi bahan pengawet
Jenis Bentuk/Formulasi Retensi (Kg/m3) Penetrasi
Pada umumnya dilakukan di dalam suatu tabung silinder tertutup.
Dibandingkan dengan metode-metode lain, metode tekanan mempunyai beberapa
keuntungan yaitu a) proses pengawetan relatif lebih cepat, b) proses pengawetan
dapat dikontrol sehingga retensi/penetrasi dapat diatur sesuai dengan keinginan
dan dengan sendirinya pemakaian bahan pengawet menjadi lebih efisien, c)
retensi lebih tinggi serta penetrasinya lebih dalam dan merata. Adapun
sehingga investasinya tinggi, b) kayu-kayu yang akan diawetkan harus diangkut
sehingga menambah biaya dalam transportasi, dan c) alat-alat yang dipergunakan
harus tahan tekanan, vakum dan tahan karat (Hunt & Garrat 1986).
2.5.7 Metode difusi
Sesuai dengan namanya maka dalam metode ini seluruh/sebagian besar
masuknya bahan pengawet ke dalam kayu adalah berdasarkan prinsip difusi. Agar
hasil retensi dan penetrasi cukup dalam maka kadar air kayu yang diawetkan
harus cukup tinggi serta konsentrasi bahan pengawet yang tinggi. Biasanya bahan
pengawet yang digunakan adalah berbentuk pasta atau cream, yang tidak mudah
berfiksasi (Hunt & Garrat 1986).
Beberapa metode difusi yang dikenal antara lain adalah (Hunt & Garrat
1986):
a. Double diffusion process. Tujuan utama dari metode ini adalah untuk
membentuk endapan didalam kayu yang tahan terhadap pelunturan.
b. Osmose process. Dalam cara ini, bahan pengawet yang digunakan adalah
berbentuk pasta atau cream dan disapukan ke seluruh permukaan kayu setelah
kayu dilapisi dengan bahan yang waterproof. Kemudian dibiarkan selama ±
30 hari. Lamanya proses ini tergantung pada ukuran dan jenis kayu yang
diawetkan. Retensi minimum yang disarankan adalah 1/2-1/4 . lb per cu.ft.
(4-8 kg/m3).
2.5.8 Metode sap-replacement
Metode ini mendapat paten pada tahun 1838 atas nama penemunya yaitu Dr.
Boucheri dari Perancis. Semula metode ini dilakukan terhadap pohon-pohon yang
baru ditebang, dimana cabang-cabang, ranting-ranting dan daunnya masih
lengkap. Bahan pengawet diberikan dari pangkal batang dan mengalir keseluruh
pohon (pada kayu gubal) karena adanya transpirasi oleh daun. Metode ini
mengalami perubahan yang dibuat oleh Mathis (Inggris) dimana sekarang ini,
proses ini hanya dilakukan untuk log atau poles yang baru ditebang. Bahan
pengawet disimpan pada sebuah bak setinggi 10 m dari tanah, dan dialirkan ke
pangkal batang melalui slang atau pipa. Proses ini selesai apabila bahan pengawet
Biasanya digunakan bahan pengawet copper sulfate (blue vitriol), karena
mempunyai keuntungan dibandingkan bahan-bahan pengawet larut air yang tidak
berwarna, dimana mudah dilihat apakah proses sudah cukup apa belum (Hunt &
Garrat 1986).
2.6 Bahan Pengawet
Bahan pengawet adalah bahan kimia yang bila dimasukkan
(diimpregnasikan) ke dalam kayu akan menyebabkan kayu menjadi tahan
terhadap serangan faktor-faktor perusak kayu golongan biologis (Syarif 2010).
Menurut Tsoumis (1991), bahan pengawet dibagi dalam tiga golongan
yaitu: (a) bahan pengawet berupa minyak, (b) bahan pengawet larut minyak, dan
(c) bahan pengawet larut air.
2.6.1 Bahan pengawet berupa minyak (kreosot)
Kreosot dihasilkan dari destilasi batubara dan bahan ini mengandung
berbagai macam senyawa yang beberapa diantaranya sangat efektif terhadap
faktor-faktor perusak kayu. Bahan pengawet ini telah digunakan lebih dari 100
tahun dan memberikan hasil yang baik. Kreosot mempunyai sifat-sifat yang
menguntungkan antara lain sangat beracun terhadap cendawan, serangga dan
marine borer, permanen, juga didalam air asin, dapat digunakan dalam berbagai
metode pengawetan, tidak bersifat korosif terhadap metal, penetrasi mudah
dikontrol, dan harganya murah. Disamping sifat-sifat yang menguntungkan,
kreosot juga mempunyai kekurangan-kekurangan seperti baunya tidak enak,
mempunyai tendensi meleleh terutama bila disingkapkan terhadap sinar matahari,
kayu menjadi tidak dapat dicat, merangsang kulit dan komposisi kimianya sangat
bervariasi.
2.6.2 Bahan pengawet larut minyak
Banyak yang bersifat sangat beracun terhadap organisme perusak kayu,
akan tetapi umumnya sangat mahal serta tidak baik digunakan secara tunggal.
Beberapa bahan pengawet ini sangat mudah menguap (volatile) sehingga tidak
tahan lama di dalam kayu. Selain itu karena bersifat korosif terhadap metal, tidak
stabil pada penyingkapan di udara terbuka, resistensinya rendah terhadap
sebagainya. Dari berbagai macam bahan pengawet golongan ini baru 3 macam
yang nyata-nyata efektif berdasarkan American Wood Preservers Association
(AWPA) Standard dalam Hunt dan Garrat (1986) yaitu pentachlorophenol (PCP),
coppernaphthenate, dan copper-8-guinalinolate. Sayangnya meskipun PCP
mempunyai sifat-sifat yang lebih baik, penggunaan PCP sudah sejak lama
dilarang karena sangat berbahaya bagi manusia dan lingkungan.
2.6.3 Bahan pengawet larut air
Sifat-sifat yang menguntungkan dari bahan pengawet kelompok ini antara
lain: a) dapat diangkut dalam bentuk padat atau dalam konsentrasi tertentu ke
tempat penggunaan, sedangkan bahan-bahan pelarutnya (air) harganya murah, b)
formulasinya mudah diatur agar bersifat racun terhadap cendawan atau serangga,
c) kayunya tetap bersih dan dapat dicat, d) umumnya tidak berbau, dan e) tidak
meninggikan sifat bakar kayu dan dapat dikombinasikan dengan bahan
penghambat api (fire retardant).
Keburukan dari bahan pengawet ini adalah bahan ini membasahkan kembali
kayu sehingga menimbulkan perubahan dimensi kayu. Karena itu diperlukan
pengeringan kembali setelah kayu diawetkan. Kelemahan lain bahan pengawet
larut air adalah pada umumnya mudah tercuci atau mudah luntur.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka bahan pengawet yang baik haruslah
memiliki sifat-sifat, diantaranya adalah:
a. Bersifat racun terhadap organisme perusak kayu walaupun dalam konsentrasi
yang sangat rendah.
b. Permanen.
c. Mudah diimpregnasikan (daya penetrasi tinggi) serta mudah dikontrol.
d. Aman didalam pengangkutan dan penggunaan.
e. Tidak bersifat korosif
f. Tersedia dalam jumlah yang banyak.
Bahan pengawet Diffusol CB adalah bahan pengawet kayu larut air yang
berbentuk garam yang terdiri dari asam borat, boraks, tembaga dan khromium
dengan formulasi CuSO4 (32,4%), H3BO3 (21,6%), dan Na2Cr2O7 (36,0%). Bahan
berbentuk pasta berwarna coklat gelap serta berbau. Menurut Hunt dan Garrat
Senyawa bor merupakan salah satu bahan yang dapat dipakai untuk
mempertinggi daya tahan kayu terhadap api. Selain itu senyawa bor juga dapat
pula mempertinggi daya tahan kayu terhadap jamur.
Beberapa sifat persenyawaan bor (Supriana 1978) adalah:
1. Beracun terhadap jamur dan serangga perusak kayu, tetapi tidak berbahaya
bagi manusia maupun ternak.
2. Dapat digunakan baik dengan proses tekanan maupun dengan proses difusi.
3. Tidak korosif terhadap logam, tidak berbau dan tidak merubah warna kayu
sehingga dapat digunakan untuk mengawetkan alat rumah tangga yang
terbuat dari kayu.
4. Kayu yang diawetkan dengan persenyawaan bor dapat dicat, diplitur atau
direkat dengan baik.
Senyawa tembaga yang digunakan sebagai bahan pengawet kayu larut air
pada umumnya dalam bentuk sulfat, biasanya pentahidrat (CuSO4.5H2O),
hidroksida (Cu(OH)2), oksida (CuO), dan dalam basa-basa karbonat terutama
Cu2(OH)2CO3. Cu(OH)2CO3 biasanya berbentuk bubuk yang berwarna hijau
dengan kandungan tembaga ± 55%. Diperoleh dengan menambahkan larutan
tembaga sulfat kepada larutan natrium karbonat. Tembaga sulfat adalah senyawa
tembaga yang paling penting dan merupakan sumber utama untuk kebanyakan
senyawa tembaga lainnya (Hatford 1973 dalam Mulyadi 2011).
Tembaga sulfat merupakan anti hama yang baik dan sangat baik untuk
melawan jamur. Kelemahan utama tembaga sulfat adalah adanya korosif yang
tinggi terhadap besi. Kelemahan lainnya adalah daya larutnya yang tinggi dalam
air sehingga mudah tercuci kembali. Tembaga sulfat sangat cocok untuk
mencegah serangan rayap apabila kayu yang diawetkan bebas dari pengaruh
pelunturan.
Senyawa khrom digunakan di dalam bahan pengawet kayu dalam bentuk
dikromat natrium (Na2Cr2O7.2H2O), potasium dichromat (K2Cr2O7), sodium
khromat (Na2CrO4) dan asam kromat (HCrO3). Dikhromat natrium berwarna
merah jingga, berbentuk garam kristal, sangat mudah larut dalam air, yaitu sekitar
69-70% (Hartford 1973 dalam Mulyadi 2011). Potasium dikhromat lebih mahal
digunakan sebagai campuran bahan pengawet. Senyawa khrom digunakan secara
luas sebagai campuran tambahan bahan pengawet kayu larut air. Senyawa khrom
tersebut dicampurkan dalam bentuk dikhromat, khromat, asam khromat, atau
trioksida khromium. Perkembangan selanjutnya digunakan khrom asetat sebagai
campuran celcure. Selanjutnya dikatakan bahwa garam khrom yang paling efektif
adalah yang mengandung trioksida khromium yang tinggi. Akan tetapi karena
harganya mahal dan juga daya larutnya rendah maka jarang digunakan.
2.7 Sifat Mekanis Kayu
Sifat mekanis kayu merupakan sifat yang berhubungan dengan kekuatan dan
merupakan ukuran kemampuan kayu untuk menahan gaya luar yang bekerja
padanya. Ketahanan terhadap perubahan bentuk menentukan banyaknya bahan
yang dimampatkan, terpuntir, dan terlengkungkan oleh suatu beban yang
mengenainya (Heygreen & Bowyer 1982).
Sifat mekanis kayu merupakan faktor terpenting yang harus diperhatikan
apabila kayu akan digunakan untuk bahan bangunan. Beberapa sifat mekanis yang
penting untuk menilai kekuatan kayu diantaranya adalah keteguhan lentur statis
(static bending strength), keteguhan tekan (compressive strength), keteguhan tarik
(tensile strength), keteguhan geser (shearing strength), kekerasan (hardness),
kekakuan (stiffness), keuletan (toughness), dan ketahanan belah (cleavage
resistance).
2.7.1 Keteguhan lentur statis (static bending strength)
Menurut Tsoumis (1991) kekuatan lentur statis merupakan salah satu sifat
mekanis yang sangat penting karena banyak penggunaan struktural kayu
mengalami tegangan sepeti ini. Apabila sebuah balok diberi beban dan bengkok,
pada dasarnya ada tiga tekanan yang bekerja pada balok itu yaitu tekanan tarik,
tekanan tekan, dan tekanan geser. Di bawah batas proporsi tedapat hubungan
positif antara tegangan dengan regangan, nilai perbandingan antara regangan dan
tegangan ini disebut modulus elastisitas (Modulus of Elasticity, MOE). Sementara
tegangan patah (Modulus of Repture, MOR) dihitung dari beban maksimum
2.7.2 Keteguhan tekan (compressive strength)
Menurut Tsoumis (1991) keteguhan tekan ialah kemampuan kayu untuk
menahan beban atau tekanan yang berusaha memperkecil ukurannya. Kekuatan
tekan longitudinal (sejajar serat) lebih besar dibandingkan dengan kekuatan tekan
tegak lurus serat (sampai 15 kali). Besarnya keteguhan ini sama dengan besarnya
beban maksimum dibagi dengan luas penampang dimana beban tersebut bekerja.
2.7.3 Keteguhan tarik (tensile strength)
Menurut Tsoumis (1991) kekuatan tarik kayu ialah kemampuan kayu untuk
menahan gaya yang berusaha menarik atau memanjangkan ukurannya. Kekuatan
tarik longitudinal (sejajar serat) jauh lebih tinggi dari kekuatan tarik transversal
(sampai 50 kali lipat). Keteguhan tarik dipengaruhi oleh ukuran atau dimensi
kayu, kekuatan serat-serat dan susunan serat kayu. Keteguhan tarik sangat penting
diketahui untuk suku bawah (busur) pada penopang kayu dan dalam rancangan
sambungan antara rangka kuda-kuda bangunan (Heygreen & Bowyer 1982).
2.7.4 Keteguhan geser (shearing strength)
Menurut Tsoumis (1991) kekuatan geser ialah kekuatan kayu untuk
menahan beban yang berusaha menggeser atau bagian dengan bagian lainnya pada
sepotong kayu. Dimana pergeseran dapat terjadi pada arah longitudinal (searah
serat) dan transversal (tegak lurus serat).
Terdapat tiga macam bentuk geseran bila ditinjau dari arah geseran terhadap
serat kayu: (1) geser sejajar serat, (2) geser tegak lurus serat, (3) geser miring
serat. Tetapi yang lazim diperhitungkan adalah keteguhan geser sejajar serat
karena dalam penggunaan sehari-hari kerusakan kayu akibat geseran kebanyakan
berupa geseran sejajar serat. Keteguhan geser ini dipengaruhi oleh kekuatan ikatan
antar serat (sel kayu).
2.7.5 Kekerasan (hardness)
Menurut Tsoumis (1991) kekerasan adalah ukuran ketahanan kayu terhadap
benda luar yang berusaha masuk ke dalam massanya. Kekerasan lebih tinggi
sampai 2 kali lipat pada bidang longitudinal dibanding sisi yang lain, tetapi
perbedaan antara bidang radial dan tangensial tidak jauh berbeda. Kekerasan
berbagai bahan, serta mudah tidaknya dikerjakan dengan alat dan mesin. Sifat
kekerasan ini penting untuk berbagai penggunaan seperti lantai, furniture, alat
olahraga, pensil, dan lain-lain.
2.7.6 Keteguhan pukul dan keuletan (toughness)
Keteguhan pukul adalah ukuran kemampuan kayu untuk menahan pukulan
sampai kayu mengalami kerusakan, sedangkan menurut Tsoumis (1991) keuletan
berhubungan dengan kekuatan kayu terhadap beban statis atau beban yang
diaplikasikan secara perlahan-lahan. Energi yang diserap oleh kayu lebih tinggi
pada beban tiba-tiba dibandingkan dengan beban statis.
2.7.7 Keteguhan belah (cleavage resistance)
Tsoumis (1991) keteguhan belah ialah ketahanan kayu terhadap beban yang
berusaha memisahkan antara bagian kayu yang satu dengan bagian lainnya. Kayu
memiliki kekuatan belah yang rendah pada arah longitudinal sehingga
menguntungkan untuk penggunaan tertentu seperti untuk kayu bakar. Pada
umumnya kayu mudah dibelah sepanjang jari-jari (arah radial) daripada`arah
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April 2012-Juli 2012. Penelitian
dilaksanakan di Laboratorium Tekhnologi Peningkatan Mutu Kayu dan
Laboratorium Rekaya Desain Bangunan Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian teras 3 jenis kayu
dari hutan rakyat, yaitu kayu nangka, kayu rambutan, kayu kecapi. Dalam
penelitian ini dilakukan uji penetrasi, retensi dan uji mekanis pada ketiga jenis
kayu terhadap pengaruh waktu perebusan pada metode rendaman panas dingin
dan perbedaan suhunya. Adapun bahan pengawet yang digunakan adalah bahan
pengawet jenis CCB (Copper-Chromium-Boron) dengan merk dagang
Diffusol-CB dengan konsentrasi 5%. Pereaksi boron 1 (2 gram ekstrak curcuma, dan 100
ml alkohol), pereaksi boron 2 (80 ml alkohol, dan 20 ml HCl yang dijenuhkan
dengan asam salisilat), pereaksi tembaga 1 (1 bagian ammonia pekat, dan 6 bagian
air suling), dan pereaksi tembaga 2 (5 gram asam rubianat, 900 ml alkohol dan
100 ml aseton).
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi, (a) peralatan pengawetan
kayu yaitu bejana, gelas ukur, kompor, termometer, kaliper (b) peralatan untuk
pengujian retensi dan penetrasi yaitu timbangan analitik, sprayer, kuas, sarung
tangan, masker, cutter, koran bekas, kertas amplas dan alat tulis. (c) peralatan
pengujian mekanis menggunakan mesin UTM (Universal Testing Machine) merk
Instron.
3.3 Prosedur Penelitian
Penelitian ini terdiri dari beberapa prosedur yaitu persiapan bahan baku,
pengujian keterawetan kayu, uji penetrasi, retensi dan uji mekanis terhadap bahan
3.3.1 Persiapan bahan baku
Untuk uji keterawetan terhadap bahan pengawet yaitu kayu nangka, kayu
rambutan, kayu kecapi yang digunakan berupa balok berukuran 5 cm x 5 cm x 30
cm (Gambar 1). Jumlah seluruh contoh uji yang digunakan adalah sebanyak 5
ulangan x 3 jenis kayu x [(2 x 2 perbedaan waktu)+1] x 2 suhu = 150 buah contoh
uji. Uji keterawetan terhadap bahan pengawet Difussol-CB ini digunakan kayu
bagian teras pada ketiga kayu contoh uji.
a b c
Gambar 1 Kayu rambutan (a) kayu nangka (b) dan kayu kecapi (c) yang digunakan dalam penelitian.
3.3.2 Pengujian keterawetan kayu 3.3.2.1 Metode pengawetan kayu
Bahan pengawet yang digunakan dalam penelitian ini adalah dari golongan
CCB (Copper-Chromium-Boron) dengan merk dagang Diffusol-CB. Adapun
formulasi Diffusol-CB dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4 Formulasi Difussol-CB
No Chemical Name CAS No. Nominal Proportion (%) 1 Sodium Dichromate 10588-01-9 36.0
2 Copper Sulphate 7758-99-8 39.0
3 Boric Acid 10043-35-3 25.0
Sumber: Material Safety Data Sheet Diffusol CB 2004.
Sebelumnya dilakukan proses pengawetan, kayu terlebih dahulu dilakukan
perlakukan pengeringan sehingga mencapai kadar air sekitar 15%. Pada metode
rendaman panas dingin, contoh uji kayu direndam dalam bejana yang telah diisi
larutan Diffusol-CB dengan konsentrasi 5% lalu dipanaskan pada suhu 75 °C dan
dan 48 jam, dengan waktu perendaman panas selama 4 jam dan 8 jam. Kemudian
api dimatikan dan rendaman dingin berlangsung selama 20 dan 16 jam untuk
waktu perendaman total 24 jam, sedangkan 44 dan 40 jam untuk waktu
perendaman total 48 jam. Pada waktu merendam diusahakan seluruh contoh uji
tenggelam. Contoh uji yang telah diawetkan selanjutnya diangin-anginkan pada
suhu kamar sampai menjadi kering udara kembali.
3.3.2.2 Penentuan retensi bahan pengawet
Untuk menghitung besarnya retensi hasil pengawetan, dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Contoh uji yang telah diawetkan diangkat dari bak pengawetan.
b. Contoh-contoh uji diangin-anginkan sampai tidak ada tetesan larutan bahan
pengawet.
c. Contoh uji segera ditimbang beratnya.
d. Nilai retensi dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
R = Retensi bahan pengawet (kg/m³) A = Absorbsi (kg)
V = Volume contoh uji kayu (m³)
K = Konsentrasi larutan bahan pengawet yang digunakan (%)
3.3.2.3 Penentuan penetrasi bahan pengawet
Pengukuran penetrasi dilakukan pada contoh uji berukuran 5 cm x 5 cm x
30 cm (Gambar 2). Contoh uji dipotong masing-masing menjadi 2 bagian lalu
dilakukan uji penetrasi boron dan tembaga. Berikut ini adalah cara pemotongan
contoh uji untuk pengujian penetrasi setelah contoh uji diawetkan dengan metode
rendaman panas dingin.
30 cm
15 cm 15 cm
Pada uji penetrasi boron, permukaan bidang potong disemprot dengan
larutan yang terdiri dari 2 gram ekstrak curcuma dalam 100 ml alkohol. Setelah
permukaan bidang dipotong itu mengering, dilanjutkan dengan penyemprotan
dengan larutan yang terdiri dari 80 ml alkohol dan 20 ml HCl yang dijenuhkan
dengan asam salisilat. Adanya boron ditunjukan oleh timbulnya warna merah
jambu.
Sedangkan pada uji penetrasi tembaga, permukaan bidang potong
mula-mula disemprot dengan larutan yang terdiri dari 1 bagian ammonia pekat dan 6
bagian air suling. Setelah mengering, permukaan bidang potong ini disemprot
dengan larutan yang terdiri dari 5 gram asam rubianat, 900 ml alkohol dan 100 ml
aseton. Setelah kering maka bagian yang ditembus tembaga menjadi biru gelap.
Dengan terbentuknya warna yang menandakan terdapatnya unsur boron dan
tembaga, maka warna tersebut langsung ditandai dan digambar pada plastik
transparan. Tanda batas yang telah dipindahkan selanjutnya diukur kedalamannya.
Berikut ini adalah gambar penampang contoh uji yang telah dipotong menjadi 2
bagian dan telah disemprotkan larutan pereaksi boron atau tembaga.
X4
a b
X1 X3
X2
Gambar 3 Penampang contoh uji yang telah diberikan larutan pereaksi.
Keterangan:
a = Bagian yang ditembus bahan pengawet b = Bagian yang tidak ditembus bahan pengawet X1 = Penetrasi pada sisi 1 (mm)
X2 = Penetrasi pada sisi 2 (mm) X3 = Penetrasi pada sisi 3 (mm) X4 = Penetrasi pada sisi 4 (mm) Z = Penetrasi rata-rata (mm)
Pada keempat sisi diukur penembusan bahan pengawet lalu nilai penetrasi
3.4 Pengujian Sifat Mekanis
Pengujian sifat mekanis yang dilakukan untuk mengetahui kekuatan lentur
(bending strength) statis. Pengujian berdasarkan BS-373:1957. Pengujian
keteguhan lentur statis dilakukan dengan memberikan beban tunggal di tengah
bentang (centre loading) tegak lurus arah serat menggunakan alat uji mekanis
merk Instron pada jarak sangga 28 cm (Gambar 4). Data yang diperoleh berupa
beban dan defleksi yang terjadi. Beban maksimum diperoleh sampai contoh uji
mengalami kerusakan. Hasil pengujian ini dapat ditentukan besarnya Modulus of
Elasticity (MOE)dan Modulus of Rupture (MOR).
Gambar 4 Alat uji mekanis merk Instron.
Besarnya nilai Modulus of Elastisity (MOE) dan Modulus of Rupture
(MOR) dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut :
Keterangan :
MOE = Modulus of Elasticity (kg/cm2) MOR = Modulus of Rupture (kg/cm2)
Δ P = Perubahan beban yang terjadi di bawah batas proporsi (kg)
P = Beban maksimum pada saat contoh uji mengalami kerusakan (Kg) L = Panjang bentang (cm)
3.5 Analisis Data
Analisis data untuk pengujian keterawetan kayu pada penelitian ini adalah
analisis faktorial dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua faktor yakni jenis
kayu (kecapi, rambutan, nangka) dan metode pengawetan. Setiap perlakuan terdiri
dari tiga kali ulangan. Model persamaan yang digunakan sebagai berikut:
Yijk= μ + Ai+ Bj+ (AB)ij+ Cij
Keterangan:
Yijk = Respon percobaan pada unit percobaan yang dikenai perlakuan ke-I
dan ulangan ke-j
μ = Rata-rata umum
Ai = Pengaruh perlakuan ke-i
Bj = Pengaruh perlakuan ke-j
ABij = Pengaruh interaksi dari unit percobaan yang mendapatkan kombinasi
perlakuan ke-I dan perlakuan ke-j Cij = Galat percobaan
Data yang diperoleh diolah dengan program MS Excel dan SAS 9.1. Untuk
mengetahui pengaruh dari perlakuan-perlakuan yang digunakan, maka dilakukan
analisis keragaman (ANOVA). Perlakuan yang dinyatakan berpengaruh terhadap
respon dalam analisis ragam kemudian diuji lanjut dengan menggunakan uji
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keterawetan Kayu
4.1.1 Retensi Bahan Pengawet
Keberhasilan pengawetan kayu ditentukan oleh tinggi rendahnya retensi
bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu. Rata-rata nilai retensi bahan
pengawet pada berbagai perlakuan pengawetan pada kayu kecapi, kayu rambutan,
dan kayu nangka disajikan pada Gambar 5, sedangkan rekapitulasi hasil
pengukuran disajikan pada Lampiran 1. Tabel 5 memuat hasil analisis sidik
ragamnya.
Kayu rambutan memiliki nilai retensi yang lebih tinggi bila dibandingkan
dengan kayu kecapi maupun kayu nangka hampir di semua perlakuan
pengawetan, sehingga dapat dikatakan kayu rambutan memiliki sifat keterawetan
yang lebih baik. Hasil analisis ragam menunjukkan jenis kayu berpengaruh sangat
nyata terhadap retensi bahan pengawet. Jenis kayu berpengaruh terhadap
keterawetan kayu karena setiap jenis kayu mempunyai struktur anatomi yang
beragam. Struktur anatomi penyusun kayu daun lebar yang mempengaruhi retensi
bahan pengawet adalah sel pembuluh, sel serabut, sel parenkim, sel trakeida, dan
sel ephitel (Pandit & Kurniawan 2008).
Pengawetan rendaman panas-dingin dengan lama perendaman 24 dan 48
jam menghasilkan retensi bahan pengawet yang lebih tinggi dibandingkan dengan
rendaman dingin pada ketiga jenis kayu. Hal tersebut diduga perendaman panas
mempengaruhi retensi masuknya bahan pengawet. Menurut Nandika et al. (1996),
tujuan pemanasan pada metode rendaman panas-dingin berfungsi untuk
mengeluarkan udara dan uap air dari rongga sel kayu. Sedangkan pendinginan
menyebabkan seolah-olah terjadi vakum dalam rongga sel kayu yang dengan
sendirinya menarik larutan bahan pengawet masuk. Untuk mengatasi kevakuman
Gambar 5 Nilai retensi (kg/m3) bahan pengawet dalam kayu kecapi, kayu rambutan dan kayu nangka dengan variasi waktu rendaman
panas/dingin 4/20…8/40 dan variasi suhu 50 °C/ 30 °C (a), 30 °C (b), dan 75 °C (c).
Pada pengawetan rendaman dingin maupun rendaman panas-dingin selama
48 jam dibandingkan dengan perendaman 24 jam. Pada pengawetan rendaman
panas-dingin 24 jam digunakan perendaman panas selama 4 dan 8 jam.
Peningkatan lama rendaman panas tersebut menyebabkan peningkatan retensi
sekitar hampir 1,5 kalinya pada suhu 50 ºC, dan sekitar 1,25 kalinya terjadi pada
suhu 75 ºC. Sedangkan pada perendaman panas-dingin 48 jam, peningkatan lama
perendaman panas tersebut menyebabkan peningkatan retensi sekitar 1,25 kali
pada suhu 50 ºC dan hampir 1,5 kali pada suhu 75 ºC. Sebagaimana yang telah
diungkapkan oleh Abdurrohim dan Martawijaya (1983) semakin lama
perendaman panas maka retensi bahan pengawet semakin besar. Panas dapat
meningkatkan permeabilitas membran noktah sehingga pergerakan larutan
pengawet lebih mudah menembus ke dalam kayu.
Peningkatan suhu pada proses pengawetan rendaman panas-dingin juga
mempengaruhi retensi bahan pengawet. Peningkatan suhu dari 50 ºC menjadi 75
ºC menyebabkan peningkatan retensi sekitar hampir 1,5 kali pada perendaman
panas 4 jam yang dilanjutkan perendaman dingin 20 jam yang selanjutnya akan
panas-dingin 4/44 jam. Adapun pada perendaman panas-dingin 8/16 jam
mengalami peningkatan retensi sekitar 1,25 kali sedangkan pada perendaman
panas dingin 8/40 jam peningkatan retensi pengawetan sekitar hampir 2 kali.
Tabel 5 Analisis sidik ragam pengaruh jenis kayu dan metode pengawetan terhadap retensi bahan pengawet.
Sumber Keragaman DF Anova SS Mean Square F value
Pr > F
Jenis Kayu *** 2 223,8318582 111,9159291 141,55 <,0001 Pengawetan *** 9 239,5349874 26,6149986 33,66 <,0001 Jenis Kayu_Pengawetan *** 18 88,7461045 4,9303391 6,24 <,0001 Keterangan : * = tidak nyata ; ** = nyata ; *** = sangat nyata
Metode pengawetan berpengaruh sangat nyata terhadap nilai retensi bahan
pengawet, demikian pula halnya jenis kayu (Tabel 5). Selain itu interaksi antara
jenis kayu dan metode pengawetan juga berpengaruh sangat nyata. Hasil uji lanjut
Duncan menunjukkan bahwa kayu rambutan, kayu kecapi, dan kayu nangka
memberikan nilai retensi yang berbeda nyata hampir di semua perlakuan
pengawetan, sedangkan untuk metode pengawetan rendaman panas-dingin nilai
retensinya berbeda nyata dengan rendaman dingin. Pada lama perendaman yang
sama dengan suhu yang berbeda nilai retensinya berbeda nyata hampir di sebagian
besar perlakuan pengawetan rendaman panas-dingin pada ketiga jenis kayu,
sedangkan pada suhu yang sama dengan peningkatan lama perendaman tersebut
menghasilkan nilai retensi tidak berbeda nyata. Hasil uji lanjut Duncan disajikan
pada Lampiran 8.
Nilai retensi yang dicapai dalam penelitian ini belum sepenuhnya memenuhi
standar SNI 03-5010.1-1999 karena syarat retensi sebesar 8 kg/m3 untuk penggunaan di bawah atap dan 11 kg/m3 untuk penggunaan di luar atap. Sedangkan retensi yang dicapai dalam penelitian ini hanya berkisar antara
3,435-5,950 kg/m3 untuk kayu kecapi; 3,921-12,488 kg/m3 untuk kayu rambutan; dan 1,853-3,782 kg/m3 untuk kayu nangka. Hanya kayu rambutan dengan perendaman panas-dingin selama 8/40 jam suhu 75 °C saja yang memenuhi standar dengan
nilai retensi 12,488 kg/m3.
Produsen pengawet Diffusol CB juga merekomendasikan retensi kayu