• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon genotipe sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] terhadap pemupukan P pada berbagai taraf kejenuhan aluminium di tanah masam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Respon genotipe sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] terhadap pemupukan P pada berbagai taraf kejenuhan aluminium di tanah masam"

Copied!
196
0
0

Teks penuh

(1)

RESPON GENOTIPE SORGUM [Sorghum bicolor (L.) Moench]

TERHADAP PEMUPUKAN P PADA BERBAGAI TARAF

KEJENUHAN ALUMINIUM DI TANAH MASAM

RAHMANSYAH DERMAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Respon Genotipe Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] terhadap Pemupukan P pada Berbagai Taraf Kejenuhan Aluminium di Tanah Masam adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2011

(3)

ABSTRACT

(4)

RINGKASAN

RAHMANSYAH DERMAWAN. Respon Genotipe Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] terhadap Pemupukan P pada Berbagai Taraf Kejenuhan Aluminium di Tanah Masam (Di bawah bimbingan Didy Sopandie dan Trikoesoemaningtyas). Sorgum merupakan salah satu tanaman serelia unggul yang dapat dikembangkan sebagai bahan pangan dan sumber energi alternatif. Biji sorgum dapat dimanfaatkan untuk pangan dan bahan baku bioetanol untuk sumber energi alternatif. Batang dan daun tanaman sorgum dapat dimanfaatkan sebagai hijauan pakan ternak. Oleh karena itu, sorgum mampu mengatasi krisis pangan dan energi dalam satu waktu dan tempat.

Sorgum juga toleran terhadap kekeringan sehingga sangat sesuai dikembangkan di lahan kering Indonesia. Lahan marjinal berupa lahan kering sangat luas di Indonesia mencapai 148 juta ha dan 102.8 juta ha dari lahan kering tersebut bertanah masam. Pengembangan sorgum di lahan masam terkendala oleh tingginya toksisitas aluminium (Al3+). Taraf kejenuhan Al tinggi mampu menurunkan produktivitas tanaman karena bersifat racun dan menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Selain itu, aluminium juga membentuk kompleks jerapan Al-P sehingga hara P menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Hal tersebut berdampak pada defisiensi P bagi tanaman. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan informasi mengenai respon tanaman sorgum terhadap pemupukan P pada berbagai taraf kejenuhan Al di tanah masam. Tujuan utama penelitian ini adalah mendapatkan informasi mengenai perbedaan respon tanaman sorgum terhadap pemupukan P pada berbagai taraf kejenuhan Al. Penelitian ini terbagi menjadi 2 percobaan. Percobaan pertama dilakukan di Lahan Percobaan UPTD Lahan Kering, Tenjo, Jasinga. Rancangan yang digunakan adalah Split Plot RKLT dengan petak utama dosis pemupukan P yang terdiri dari 4 dosis pemupukan yaitu P-25%, P-50%, P-75%, dan P-100%. Penentuan dosis pemupukan P berdasarkan erapan P hasil uji tanah. Anak petak terdiri dari 4 genotipe sorgum yaitu genotipe Numbu (toleran), Kawali (toleran), B-69 (peka) dan B-75 (peka). Taraf kejenuhan Al terdiri dari 2 taraf yaitu Al-tinggi (74.78%) dan Al-rendah (25.51%).

Percobaan kedua menggunakan rhizotron yang bertujuan untuk mengetahui respon pertumbuhan dan perkembangan akar genotipe sorgum terhadap pemupukan P pada berbagai taraf kejenuhan Al di tanah masam. Percobaan kedua ini dilaksanakan di rumah kaca University Farm IPB, Cikabayan, Darmaga, Bogor. Rancangan yang digunakan adalah Split Plot RAL dengan petak utama adalah 2 dosis pemupukan yaitu P-25% dan P-100% sedangkan anak petak berupa 4 genotipe sorgum seperti yang digunakan pada percobaan pertama.

(5)

Pada taraf kejenuhan Al-rendah, genotipe Numbu juga menghasilkan nilai yang tertinggi pada setiap peubah yang diamati kecuali panjang malai. Hal ini menunjukkan bahwa genotipe Numbu memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap berbagai taraf kejenuhan Al di tanah masam. Pada taraf kejenuhan Al-rendah, pemupukan P berpengaruh nyata terhadap bobot malai, bobot biji per malai, bobot total, dan bobot batang genotipe B-69. Dosis pemupukan P-25% (P-kurang) sudah cukup untuk menghasilkan bobot malai, bobot biji per malai, bobot total, dan bobot batang B-69 yang tinggi. Pada percobaan pertama, genotipe Kawali menunjukkan respon yang mendekati sifat genotipe peka baik pada taraf kejenuhan Al-tinggi maupun Al-rendah. Nilai rata-rata yang dihasilkan gneotipe Kawali pada setiap peubah yang diamati cenderung mendekati nilai rata-rata genotipe peka B-69 dan B-75. Hal ini menunjukkan bahwa genotipe Kawali masih tercekam Al pada taraf kejenuhan Al 25.51%.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

(7)

RESPON GENOTIPE SORGUM [Sorghum bicolor (L.) Moench] TERHADAP PEMUPUKAN P PADA BERBAGAI TARAF

KEJENUHAN ALUMINIUM DI TANAH MASAM

Response of Sorghum [Sorghum bicolor (L.) Moench] Genotypes to Phosphorus Fertilizer in Different Aluminum Saturation Levels in Acid Soil

RAHMANSYAH DERMAWAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Sains pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Respon Genotipe Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] terhadap Pemupukan P pada Berbagai Taraf Kejenuhan Aluminium di Tanah Masam

Nama Mahasiswa : Rahmansyah Dermawan

NIM : A252080101

Program Studi : Agronomi dan Hortikultura (AGH)

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr. Ketua

Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc. Anggota

Diketahui, Ketua Mayor

Agronomi dan Hortikultura

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS.

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT., atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis dengan judul ―Respon Genotipe Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] terhadap Pemupukan P pada Berbagai Taraf Kejenuhan Aluminium di

Tanah Masam‖.

Ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr., selaku ketua komisi pembimbing kami yang telah banyak memberikan bimbingan, pelajaran hidup, dan motivasi kepada penulis mulai dari ide penelitian, perencanaan, pelaksanaan hingga penyelesaian penulisan tesis ini.

2. Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc., selaku komisi pembimbing atas waktu yang diberikan selama memberikan bimbingan, arahan, dan masukan mulai dari penelitian hingga penulisan tesis ini.

3. Dr. Ir. Suwarto, MSi., selaku dosen penguji luar komisi pada ujian akhir tesis atas kritik, koreksi, dan saran untuk perbaikan tesis ini.

4. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS., selaku penguji dari perwakilan Mayor Agronomi dan Hortikultura atas saran untuk perbaikan tesis ini.

5. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjendikti Depdiknas) melalui Program Hibah Penelitian Tim Pascasarjana (HPTP) 2009—2010 yang telah memberikan bantuan biaya penelitian selama penulis melaksanakan penelitian.

6. Kepala dan staf UPTD Lahan Kering Tenjo, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor dan University Farm, Kebun Percobaan Cikabayan, IPB atas bantuan selama pelaksanaan penelitian.

7. Dosen-dosen Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB atas ilmu dan pengetahuan yang diberikan selama menempuh ilmu di IPB.

(11)

9. Istri tercinta, Desy Saraswati SP., dan anak-anakku tercinta Ahmad Rais Fardin dan Ahmad Tsaqiif atas cinta, dan kasih sayang yang diberikan selama ini.

10. Bapak dan Ibu mertua, Ismet Janis dan Yohani Johan atas dukungan yang diberikan selama menempuh pendidikan di IPB.

11. Adik-adikku tercinta, Alamsyah Kurniawan, ST. dan Nielma Auliah, SSi., Apt., atas dorongan semangat dan motivasi.

12. Sahabat dan rekan seperjuangan: Sungkono, Karlin Agustina, Sumiyati, Arif, dan Siti Marwiyah, atas bantuan yang diberikan selama melaksanakan penelitian.

13. Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan pendidikan, penelitian, dan penyusunan tesis ini yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk kemaslahatan hidup umat manusia dan dapat memberikan sumbangan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pertanian. Amin.

Bogor, Mei 2011

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 1 Maret 1981. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari ayah Drs. H. Alimin Umar, MPd dan ibu Dra. Hj. Nurbaya Kaco, MSi. Penulis telah menikah dengan Desy Saraswati pada tahun 2007 dan telah dikaruniai dua orang putra bernama Ahmad Rais Fardin (3 tahun) dan Ahmad Tsaqiif (2 bulan).

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri IKIP I Makassar, Sulawesi Selatan dan sekolah lanjutan tingkat pertama di SMP Negeri 6 Makassar, Sulawesi Selatan. Pada tahun 1996, penulis melanjutkan sekolah menengah atas di SMA Negeri 5 Bandung, Jawa Barat. Pada tahun 2004 penulis menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) di Program Studi Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... xv DAFTAR GAMBAR ... xvii DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

PENDAHULUAN

Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 5 Hipotesis ... 5 TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] ... 6 Toksisitas Aluminium (Al3+) pada Lahan Kering Bertanah Masam .. 9 Peran Fosfor (P) pada Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman di Lahan Masam ... 11 METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian ... 14 Bahan dan Alat ... 14 Bagan Alir Penelitian ... 15 HASIL DAN PEMBAHASAN ...

Respon Genotipe Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] terhadap Pemupukan P pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi di Lahan Masam 24

Hubungan Antar Peubah Pengamatan pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi ... 37

Respon Genotipe Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] terhadap Pemupukan P pada Taraf Kejenuhan Al-Rendah di Lahan Masam ... 42

Hubungan Antar Peubah Pengamatan pada Taraf Kejenuhan Al-Rendah... 53

Respon Pertumbuhan dan Perkembangan Akar Genotipe Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] terhadap Pemupukan P pada Berbagai Taraf Kejenuhan Al di Rhizotron ... 57

(14)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 71

Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 73

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Rekapitulasi Sidik Ragam di Lahan Taraf Kejenuhan Al-Tinggi ... 25 2. Rata-rata Tinggi Tanaman (cm) pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi ... 26 3. Rata-rata Bobot Malai (g) pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi ... 28 4. Rata-rata Panjang Malai (cm) pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi ... 29 5. Rata-rata Bobot 100 Butir (g) pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi ... 31 6. Rata-rata Bobot Biji per Malai (g) pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi 32 7. Rata-rata Bobot Batang (g) pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi ... 33 8. Rata-rata Bobot Total (g) pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi ... 34 9. Rata-rata Kadar Kemanisan Batang (% briks) pada Berbagai Dosis

Pemupukan P di Taraf Kejenuhan Al-Tinggi ... 36 10. Rata-rata Pertumbuhan dan Produksi Genotipe Sorgum [Sorghum

bicolor (L.) Moench] pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi ... 39

11. Nilai Korelasi Hubungan Antar Peubah pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi ... 40 12. Rekapitulasi Sidik Ragam di Lahan Taraf Kejenuhan Al-Rendah .... 42 13. Rata-rata Tinggi Tanaman (cm) pada Taraf Kejenuhan Al-Rendah . 44 14. Rata-rata Bobot Malai (g) pada Berbagai Dosis Pemupukan P di

Taraf Kejenuhan Al-Rendah ... 46 15. Rata-rata Panjang Malai (cm) pada Taraf Kejenuhan Al-Rendah ... 46 16. Rata-rata Bobot 100 Butir (g) pada Taraf Kejenuhan Al-Rendah ... 47 17. Rata-rata Bobot Biji per Malai (g) pada Berbagai Dosis Pemupukan

P di Taraf Kejenuhan Al-Rendah ... 49 18. Rata-rata Bobot Batang (g) pada Taraf Kejenuhan Al-Rendah ... 50 19. Rata-rata Bobot Total (g) pada Taraf Kejenuhan Al-Rendah ... 52 20. Rata-rata Kadar Kemanisan Batang (% briks) pada Taraf

Kejenuhan Al-Rendah ... 53 21. Rata-rata Pertumbuhan dan Produksi Genotipe Sorgum [Sorghum

(16)

22. Nilai Korelasi Hubungan Antar Peubah pada Taraf Kejenuhan Al-Rendah ... 56 23. Hasil Sidik Ragam Panjang Akar, Sebaran Akar, Bobot Basah

Akar, Bobot Kering Akar, dan Kadar P Daun Genotipe Sorgum di Rhizotron ... 58 24. Rata-rata Panjang Akar (cm) pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi dan

Al-Rendah ... 60 25. Rata-rata Sebaran Akar (cm) pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi dan

Al-Rendah ... 62 26. Rata-rata Bobot Basah Akar (g) pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi ... 63 27. Rata-rata Bobot Basah Akar (g) pada Berbagai Dosis Pemupukan P

di Taraf Kejenuhan Al-Rendah ... 63 28. Rata-rata Bobot Kering Akar (g) pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi

dan Al-Rendah ... 65 29. Rata-rata Kadar P Daun (mg/100 mg) pada Taraf Kejenuhan

Al-Tinggi dan Al-Rendah ... 66 30. Rata-rata Pertumbuhan dan Perkembangan Akar Genotipe Sorgum

[Sorghum bicolor (L.) Moench] pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi dan Al-Rendah ... 69 31. Nilai Korelasi Hubungan Antar Peubah Pengamatan Pertumbuhan

(17)
(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Bagan alir penelitian Respon Genotipe Sorgum [Sorghum bicolor

(L.) Moench] terhadap Pemupukan P pada Berbagai Taraf Kejenuhan Al di Tanah Masam ... 15 2. Kondisi Tanaman pada Lahan Taraf Kejenuhan Al-Tinggi (6 MST) 27 3. Kondisi Tanaman pada Lahan Taraf Kejenuhan Al-Rendah

(6 MST) ... 43 4. Kondisi Tanaman Sorgum di Dalam Rhizotron (3 MST) ... 59 5. Sebaran Akar Genotipe Sorgum pada Kondisi Kejenuhan Al Tinggi

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Tabel Rekapitulasi Taraf Kejenuhan Al ... 81 2. Pemeriksaan Curah Hujan Tahun 2010 (UPTD Pengembangan

Teknologi Lahan Kering Tenjo, 2010) ... 82 3. Hasil Analisis Contoh Tanah UPTD Lahan Kering Tenjo,

Kabupaten Bogor (Balai Penelitian Tanah 2010) ... 83 4. Hasil Uji Tanah Berdasarkan P erapan untuk Penetapan Dosis

(20)
(21)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Negara-negara maju dan berkembang kini dihadapkan pada persoalan krisis pangan dan energi. Indonesia sebagai negara berkembang tak luput dari kedua persoalan tersebut. Kebutuhan beras sebagai pangan utama sumber karbohidrat masyarakat Indonesia terus meningkat seiring laju pertambahan penduduk. Menurut Badan Litbang Departemen Pertanian (2005) pada tahun 2025 jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 316 juta jiwa dengan konsumsi beras rata-rata 125 kg/kapita/tahun. Diprediksi bahwa pada saat itu kebutuhan beras mencapai 39,5 juta ton (Badan Ketahanan Pangan Deptan, 2008).

Krisis pemenuhan kebutuhan pangan nasional kini menjadi masalah yang serius. Kebutuhan beras yang tinggi seiring dengan penambahan penduduk yang pesat tidak didukung oleh produksi beras nasional yang memadai. Sekitar 95% produksi beras nasional dipenuhi oleh padi sawah (Suwarno et al., 2004) yang telah mengalami leveling off (Sopandie, 2006). Kondisi tersebut diperparah oleh penyusutan luasan penanaman akibat alih fungsi lahan selain pertanian.

(22)

Selain krisis kebutuhan pangan, negara-negara maju dan berkembang termasuk Indonesia juga mengalami krisis energi khususnya energi berbahan fosil. Pada tahun 2004 produksi minyak bumi Indonesia berkisar 1,12 juta barrel/hari sedangkan kebutuhannya mencapai 1,15 juta barrel/hari (Iman dan Nurcahyo, 2005). Peningkatan produksi minyak berbasis fosil sangat sulit dilakukan karena bersifat takterbarukan.

Kelangkaan sumber energi memicu setiap negara untuk mencari dan mengembangkan sumber energi terbarukan sebagai sumber energi alternatif. Salah satunya adalah mengembangkan sumber energi yang berasal dari tanaman (bioenergi). Energi tersebut berupa bioetanol yang dapat diproduksi dari tanaman penghasil gula melalui proses fermentasi (Grassi, 2005). Pemanfaatan bioetanol sebagai sumber energi juga berdampak positif terhadap lingkungan. Bioetanol ramah lingkungan karena mampu mengurangi emisi gas rumah kaca. Emisi gas buang dari anhydrous etanol lebih bersih dibandingkan bahan bakar fosil (Biomass Conversion Comitte of CAREL, 2006), sehingga dapat mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 12% (Reddy dan Dar, 2007).

Salah satu tanaman yang dikembangkan untuk menghasilkan bioetanol adalah tanaman sorgum. Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] adalah tanaman serealia yang dapat memenuhi kebutuhan pangan dan energi. Biji sorgum dapat dijadikan sebagai bahan pangan sumber karbohidrat dan tidak berkompetisi dengan tanaman pangan dan biaya produksinya juga rendah (Medco Energi, 2007).

(23)

Tanaman sorgum juga mampu meningkatkan nilai ekonomi lahan marjinal khususnya lahan kering bertanah masam. Saat ini pemanfaatan lahan kering bertanah masam untuk bercocok tanam terkendala pada tingkat kesuburan tanah yang rendah dan kurangnya ketersediaan air. Tingginya kelarutan Al dan Mn, kapasitas tukar kation yang rendah, pH rendah, dan ketersediaan P yang rendah menjadikan produktivitas lahan masam sangat rendah (Hardjowigeno, 2003). Komoditas pertanian yang cocok dikembangkan di lahan kering bertanah masam pun menjadi sangat terbatas. Oleh karena itu diperlukan genotipe yang adaptif terhadap lingkungan kering bertanah masam tetapi mampu berproduksi tinggi. Tanaman sorgum mempunyai kesesuaian dan daya adaptasi yang tinggi di lahan kering (FAO, 2002; Toure et al., 2004; Borrel et al., 2005; dan Hoeman, 2007).

Beberapa karakter penting yang terdapat pada tanaman sorgum menurut SFSA (2003) adalah: (1) menghasilkan akar yang lebih banyak dibandingkan tanaman serealia lainnya, (2) daun memiliki lapisan lilin sehingga meningkatkan efisiensi transpirasi, (3) dapat dorman selama kekeringan dan tumbuh kembali ketika kondisi lingkungan sesuai untuk pertmbuhannya, (4) bagian tajuk tanaman akan tumbuh hanya setelah sistem perakaran berkembang dengan baik, (5) mampu berkompetisi dengan berbagai jenis gulma, dan (6) mempunyai laju fotosintesis yang lebih tinggi dibandingkan tanaman serealia lainnya.

Sebagai tanaman yang toleran terhadap kekeringan, sorgum mempunyai keunggulan untuk dikembangkan di Indonesia. Lahan kering mencapai 148 juta ha di Indonesia dapat dimaksimalkan dengan budidaya tanaman sorgum. Lahan kering di Indonesia didominasi oleh tanah masam yang diperkirakan mencapai 102.8 juta ha. Tanah masam tersebut tersebar 43.5% di Sumatera, 29.9% di Kalimantan, 9.6% di Irian Jaya dan 8.0% di Sulawesi (Hidayat dan Mulyani, 2002). Kondisi ini menyebabkan budidaya sorgum terkendala pada tanah masam yang dapat menjadi faktor pembatas utama produktivitas karena adanya toksisitas Al (Kochian, 1995; Ryan et al., 1997; Anas dan Yoshida, 2000; Sungkono, 2010).

(24)

mencapai 28—63% tergantung tingkat toksisitasnya (Sierra et al., 2005). Aluminium membentuk kompleks jerapan Al-P sehingga ketersediaan dan penggunaan P terbatas bagi tanaman. Akibatnya, tanaman mengalami stres cekaman Al dan defisiensi P. Hal tersebut berdampak pada produksi biomassa dan bioetanol yang tidak maksimal.

Selain mengembangkan varietas sorgum yang toleran terhadap cekaman Al dan defisiensi hara P melalui program pemuliaan tanaman, perlu juga dikembangkan teknik budidaya khusus tanaman sorgum di lahan kering bertanah masam. Salah satunya adalah perbaikan kualitas tanah masam dengan mengatur kondisi kejenuhan Al yang masih dapat ditolerir oleh tanaman sorgum. Pengaturan kondisi kejenuhan Al tersebut dapat dilakukan dengan pengapuran. Pengapuran masih merupakan teknik yang cock dilakukan untuk menurunkan kondisi kejenuhan Al karena murah, mudah dilakukan dan ketersediaannya banyak (Hardjowigeno, 2003). Kapur yang diaplikasikan di daerah perakaran tanaman dapat meningkatkan pH tanah sekaligus menurunkan kondisi kejenuhan Al. Ion Ca2+ yang berasal dari kapur tersebut dapat mendesak Fe dari senyawa ferofosfat sehingga terbentuk kalsium fosfat (Ca

3PO4) yang lebih mudah tersedia

bagi tanaman (Ispandi dan Munip, 2005). Namun, pemberian kapur yang berlebihan sehingga pH > 7 mengakibatkan kadar Cu dan Zn tanah menurun, P tidak tersedia karena terbentuk kompleks Ca-fosfat yang tidak larut dalam air, dan mengganggu serapan dan penggunaan P oleh tanaman (Soepardi, 1983).

Selain pengaturan kondisi kejenuhan Al, peningkatan ketersediaan fosfor melalui pemupukan P juga perlu diperhatikan dalam budidaya sorgum di lahan masam. Fosfor dibutuhkan dalam jumlah banyak karena fungsi hara tersebut dalam tanaman tidak dapat digantikan oleh hara yang lain. Kecukupan kebutuhan unsur hara P mutlak diperlukan untuk pertumbuhan tanaman yang optimum. Unsur P dibutuhkan dalam jumlah besar untuk pembentukan dan perkembangan awal akar tanaman dan pada masa pembentukan buah atau biji (Hardjowigeno, 2003; Susila, 2004).

(25)

Sopandie et al., 2006). Dengan penambahan P maka diharapkan ketersediaan P bagi tanaman dapat terpenuhi meskipun terdapat P yang terjerap oleh aluminium.

Pemupukan P perlu dikaji efisiensi penggunaannya terutama di lahan masam. Pemupukan P yang berlebihan di kondisi kejenuhan Al tinggi akan menjadi sia-sia karena adanya fiksasi Al. Demikian pula sebaliknya, pemupukan P yang rendah dapat menyebabkan tanaman mengalami defisiensi P. Oleh karena itu, penelitian ini menjadi penting dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai pengaruh pemupukan P pada berbagai tingkat kejenuhan Al di tanah masam. Dengan demikian diharapkan budidaya sorgum di lahan masam lebih efisien dalam penggunaan biaya produksi khususnya biaya pemupukan tetapi tetap menghasilkan produksi sorgum yang maksimal.

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. memperoleh informasi mengenai perbedaan respon genotipe sorgum terhadap pemupukan P pada berbagai taraf kejenuhan Al di tanah masam. 2. memperoleh informasi mengenai pengaruh pemupukan P terhadap

pertumbuhan dan perkembangan akar genotipe sorgum pada berbagai taraf kejenuhan Al di tanah masam.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. terdapat perbedaan respon genotipe sorgum terhadap dosis pemupukan P pada taraf kejenuhan Al-tinggi maupun Al-rendah di tanah masam.

(26)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench]

Pemanfaatan tanaman sorgum sebagai sumber pangan alternatif belum maksimal dilakukan masyarakat Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah pengetahuan masyarakat mengenai tanaman sorgum yang belum memadai. Di Indonesia, tanaman sorgum memiliki beberapa nama daerah. Masyarakat Jawa Barat menyebutnya gandrung, gandrung kampay, gandrung trigu, degem, dan jagung cantrik. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut jagung pari, jagung

cantel, dan jagung oncel. Di Sulawesi, orang-orang menyebut sorgum dengan

istilah bata; masyarakat Sumba mengenalnya dengan istilah wataru hamu. Selain itu sorgum juga memiliki beragam nama asing seperti Sorgo, Zahina, dan Milulo (Spanyol), Gierst (Belanda), Jowar (India), dan Kaoliang (China).

Tanaman sorgum merupakan tanaman pangan yang termasuk Famili Gramineae atau rerumputan. Dalam sistem taksonomi tumbuhan, tanaman sorgum diklasifikasikan dalam Divisi Angiospermae, Kelas Monocotyledoneae dengan sub-kelas Liliopsida, Ordo Poales, Famili Gramineae, Genus Sorghum. Tanaman sorgum memiliki banyak spesies, tetapi yang populer dan menjadi tanaman komersial di dunia adalah spesies Sorghum bicolor (L.) Moench (Sungkono, 2010). Spesies tersebut tersebar hampir ke seluruh dunia dan dimanfaatkan sebagai tanaman pangan, pakan ternak, dan bahan baku berbagai industri termasuk industri biofuel (bioetanol).

(27)

Tanaman sorgum mempunyai batang berbentuk silinder, beruas-ruas (internodes) dan berbuku-buku (nodes) (ICRISAT 1996). Setiap ruas memiliki alur yang berselang-seling. Diameter dan tinggi batang bervariasi. Ukuran diameter pangkal batang berkisar 0,5—5,0 cm dan tingginya berkisar 0,5—4,0 m tergantung varietasnya. Tinggi batang sorgum manis yang dikembangkan di China dapat mencapai 5 m sehingga sangat ideal dikembangkan untuk pakan ternak dan penghasil gula (FAO, 2002).

Dari setiap buku pada batang akan keluar daun. Daun tanaman sorgum mirip dengan daun jagung, berbentuk pita dengan struktur daun bendera di atas helai daun dan tangkai daun. Daun bendera muda bentuknya kaku dan tegak. Daun bendera (leaf blades) muncul terakhir bersamaan dengan inisiasi malai. Daun sorgum dilapisi oleh sejenis lilin yang agak tebal dan berwarna putih. Lapisan lilin tersebut berfungsi mengurangi penguapan air dari dalam tanaman sehingga mendukung resistensi tanaman sorgum terhadap kekeringan

Posisi daun berlawanan sepanjang batang dengan pangkal daun menempel pada buku. Daun sorgum rata-rata memiliki panjang 85—90 cm. Jumlah daun pada tanaman sorgum berkisar 13—14 helai tergantung jenis dan varietas (Gardner et al, 1991). Hasil penelitian Bullard dan York (1985) dan Sungkono (2010) menunjukkan bahwa banyaknya daun tanaman sorgum berkorelasi tinggi dengan panjang periode vegetatif yang dibuktikan oleh setiap penambahan satu helai daun memerlukan waktu sekitar 3—4 hari.

(28)

Malai sorgum dapat dipanen saat tanaman berumur rata-rata 90—120 hari (Rismunandar, 1989). Bentuk biji sorgum beraneka ragam, ada yang agak bulat hingga pipih. Kulit biji sorgum warnanya putih abu-abu, merah hingga cokelat tua, kuning atau kehitam-hitaman. Biji sorgum berbentuk kernel yaitu buah berbiji tunggal dengan kulit buah (pericarp) yang bersatu dengan kulit biji.

Berdasarkan bentuk bulir (tipe spikelet), S. bicolor dibagi menjadi 5 ras dasar, yaitu bicolor, kafir, guinea, caudatum, dan durra. Ras bicolor dicirikan bentuk bulir yang panjang menyerupai bulir padi, bulir guinea bulat, bulir caudatum tidak simetris, bentuk bulir kafir mendekati simetris, dan durra

memiliki bulir bulat pada bagian atas dengan bagian dasar menyempit.

Tanaman sorgum mampu tumbuh di daerah tropis maupun subtropis, dari dataran rendah hingga dataran tinggi sampai ketinggian 1500 m di atas permukaan laut). Kondisi optimum untuk tanaman sorgum adalah pada daerah bersuhu 20— 300C dengan curah hujan 375—425 mm selama tanaman masih muda hingga berumur 4—5 minggu (Rismunandar, 1989.

Tanaman sorgum termasuk tanaman C4. Tanaman C4 umumnya memiliki sel mesofil dan sel seludang berkas (bundle sheath cell) yang keduanya bekerja efektif dalam penambatan CO2. Kondisi ini menguntungkan dalam efisiensi

fotosintesis. Sel seludang berkas pada tanaman C4 memiliki lebih banyak kloroplas, mitokondria, dan organel penting dalam proses fotosintesis (Taiz dan Zeiger, 2002). Dengan demikian, tanaman C4 seperti tanaman sorgum mampu menghasilkan biomassa lebih banyak dibandingkan tanaman C3. Tanaman C4 lainnya seperti jagung juga mampu menghasilkan biomassa yang tinggi meskipun pada kondisi penyinaran tinggi dan suhu tinggi (Salisbury dan Ross 1992; Hoeman 2007).

Menurut Borrel et al. 2005 tanaman sorgum efisien dalam penggunaan radiasi dan transpirasi karena memiliki gen pengendali stay-green sejak fase pengisian biji. Gen pengendali tersebut berhubungan dengan kandungan nitrogen daun spresifik. Kondisi tersebut mengakibatkan terhambatnya proses senescen pada daun dan batang sorgum.

(29)

Toksisitas Aluminium (Al+3 ) pada Lahan Kering Bertanah Masam Tanah masam didefinisikan sebagai tanah mineral yang mempunyai reaksi tanah masam (pH < 5,5) dan nilai kejenuhan basa (KB) < 50%, dan khususnya yang berada pada lahan kering (Prosiding Simposium Nasional Pendayagunaan Tanah Masam, 2003). Tanah-tanah masam tersebut umumnya termasuk ordo Ultisols, Oxisols, Spodosols dan sebagian Entisols dan Inceptisols yang berkernbang di daerah beriklim basah dengan curah hujan tinggi.

Lahan-lahan bertanah masam umumnya mempunyai tingkat kesuburan tanah dan produktivitas yang rendah. Hal tersebut diakibatkan oleh tingginya konsentrasi aluminium khususnya bentuk ion Al3+ yang sangat beracun pada tanaman (Marschner, 1995). Keracunan Al merupakan faktor pembatas utama pada lahan kering bertanah masam karena menyebabkan terganggunya pertumbuhan akar. Akar tanaman menjadi pendek dan tidak berkembang sehingga tanaman mengalami hambatan dalam penyerapan air dan hara (Kochian et al., 2004).

Menurut Sungkono (2010) kemasaman tanah akibat konsentrasi Al dapat terjadi secara alamiah maupun akibat praktek budidaya tanaman. Secara alamiah, curah hujan yang tinggi menyebabkan tercucinya kation-kation basa yaitu Ca2+, Mg2+, K+, dan Na+ dari komplek jerapan tanah. Selanjutnya komplek jerapan tersebut diisi oleh kation-kation asam yaitu H+ dan Al3+ yang menyebabkan tanah menjadi bereaksi masam. Proses pemasaman tanah seperti ini banyak terjadi di daerah tropis yang mempunyai curah hujan dan suhu tinggi. Sedangkan proses pemasaman tanah akibat budidaya tanaman terjadi karena pemupukan secara intensif sehingga terjadi deposit nitrogen (NO2-) yang kronik (Kelly et al., 2005).

(30)

kandungannya di dalam tanaman berkurang yang mengakibatkan tanaman mengalami defisiensi unsur tersebut (Marschner, 1995).

Aluminium juga mengakibatkan kebocoran pada membran sel akar, mengurangi K dalam jaringan akar, dan merusak viabilitas protoplasma (Yamamoto et al. 1992). Kerusakan berupa penebalan (pembengkakan) juga terjadi pada ujung akar dan cabang akar. Fenomena tersebut mengakibatkan terganggunya proses penyerapan hara sehingga pertumbuhan tajuk tertekan akibat kurangnya ketersediaan hara (Maschner, 1995), sehingga tanaman tumbuh kerdil dan produktivitasnya menurun. Respon fisiologi yang ditunjukkan tanaman yang tercekam aluminium antara lain pembentukan kompleks Al-asam organik. Asam organik yang terbentuk pada batang ditransportasikan ke akar sehingga kandungan asam organik pada akar tanaman meningkat (Matsumoto et al., 2003)

Selain cekaman Al, kendala produksi di lahan bertanah masam adalah defisiensi P akibat terikatnya P oleh Al. Fiksasi Al-P menyebabkan P tidak tersedia bagi tanaman. Menurut Doumbia et al. (1993) penyebab utama rendahnya produktivitas sorgum di tanah masam Afrika Barat lebih disebabkan oleh defisiensi P dibandingkan oleh keracunan Al. Salah satu upaya untuk mengurangi toksisitas Al di tanah masam yaitu dengan memasukkan bahan pembenah tanah (ameliorasi) berupa teknik pengapuran dan aplikasi pupuk P dosis tinggi. Pendekatan ini dikenal sebagai pendekatan bermasukan tinggi (high input aproach). Namun, kelemahannya adalah berlangsung untuk jangka waktu singkat

dan memerlukan biaya yang tinggi sehingga sistem usahatani tidak sustainable (Marschner, 1995; Sierra et al., 2005).

(31)

varietas padi gogo seperti Gadih Anih, Cempo, Sibatung, Siputiah, dan Lembulut (Sopandie, 2006).

Upaya lain yang dapat dilakukan untuk menghindari toksisitas Al yaitu melalui pendekatan bermasukan rendah atau low input aproach (Marschner, 1995). Salah satunya dengan menggunakan tanaman toleran Al sehingga dapat berlangsung dalam jangka waktu lama dan tidak memerlukan biaya tinggi (Goni et al., 1985; Sierra et al., 2005). Penggunaan tanaman toleran Al sangat

menguntungkan baik secara ekologis maupun ekonomis sehingga sistem usahatani dapat sustainable (Zheng et al., 1998). Namun, upaya mendapatkan tanaman toleran Al tidak mudah karena titik kritis konsentrasi Al yang dapat meracuni tanaman mempunyai rentang yang sangat lebar yaitu antara 1,8 µM sampai 150 µM tergantung jenis tanaman dan varietas (Marschner, 1995).

Sistem perakaran merupakan salah satu karakter yang dapat digunakan oleh tanaman untuk mengurangi toksisitas Al dan meningkatkan kemampuan tanaman dalam memanfaatkan unsur hara. Kim et al. (2001) melaporkan bahwa tanaman gandum, triticale, dan rye yang toleran Al mempunyai sistem perakaran yang lebih baik daripada tanaman yang peka terhadap Al. Hasil penelitian Ma et al. (2002) menunjukkan bahwa tanaman padi toleran Al mempunyai perakaran yang lebih panjang dan kandungan Al pada akar lebih rendah dibandingan tanaman padi yang peka terhadap Al. Lebih lanjut, penelitian Sungkono (2010) menunjukkan bahwa perakaran sorgum yang toleran Al lebih baik dibandingkan perakaran sorgum yang peka. Selain itu pertumbuhan dan produktivitas tanaman juga lebih baik meski ditanam di lahan kering bertanah masam.

Peran Fosfor (P) terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman di Lahan Masam

(32)

intermediet pada jalur biosintesis dan senyawa degradasi pada beberapa proses metabolisme) (Salisbury and Ross, 1985).

Fosfor berperan penting pada sistem penyimpanan dan transfer energi. Fosfor merupakan penyusun Adenosin Monophosphate (AMP), Adenosin Disphosphate (ADP), dan Adenosin Triphosphate (ATP) yang merupakan sumber

energi. Energi yang berasal dari ATP digunakan oleh tanaman dalam melakukan proses metabolisme seperti pengaturan fotosintesis, respirasi, penyimpanan dan transfer energi, pembelahan dan perkembangan sel tanaman. Pada proses fotosintesis, cahaya yang ditangkap oleh bagian klorofil tanaman digunakan untuk pembentukan gula dari CO2 dan air dengan memanfaatkan energi dari ATP. Gula

atau fotosintat hasil fotosintesis akan digunakan oleh tanaman untuk pembentukan organ-organ tanaman. Fosfor juga merupakan salah satu unsur pembentuk phytin yaitu bentuk senyawa P utama yang disimpan dalam tanaman. Phytin terdapat sekitar 50% pada tanaman legume dan 60—70% pada tanaman biji-bijian. Fosfor disimpan dalam bentuk phytin di dalam tanaman (Maschner, 1995).

Energi bebas yang digunakan selama proses glikolisis, respirasi atau proses metabolisme yang lain berasal dari fosforilasi ATP menjadi ADP (ATP ADP + Pi), dimana Pi baik sebagai subtrat dan/atau produk akhir mengontrol beberapa reaksi enzim. Selain itu ATP juga dibutuhkan sebagai tenaga penggerak berbagai reaksi kimia pada tanaman. Energi dari fosforilasi ATP juga dibutuhkan pada proses transport aktif hara menembus membran sebagai aktivator protein dan pada proses primary active transport dan secondary active transport untuk pompa proton (H+ pump) (Maschner, 1995; Nagy et al., 2005)

Fosfor di dalam tanah berbentuk P organik dan P inorganik (Hardjowigeno, 2003). P organik di dalam tanah terdapat sekitar 50% dari P total tanah dan bervariasi sekitar 15—80% pada kebanyakan tanah. Kebanyakan senyawa P organik adalah ester dari asam fosfat (H2PO4) dan telah diidentifikasi

(33)

Senyawa P organik yang tertinggal di dalam tanah berasal dari mikroorganisme, terutama berasal dari dinding sel bakteri yang diketahui mengandung sejumlah ester yang sangat stabil. Fosfor organik dalam tanah juga bersumber dari residu tanaman dan hewan, yang didegradasi oleh mikroorganisme menghasilkan senyawa P organik dan melepaskan P inorganik. Proses perubahan P organik dan P inorganik yang disebut dengan mineralisasi dan immobilisasi terjadi secara terus menerus di dalam tanah, dan merupakan proses yang berhubungan dengan mikroba (Havlin et al., 1999).

Fosfat inorganik dalam larutan yang tidak diserap oleh akar tanaman atau diimmoblisasi oleh mikroorganisme dapat terjerap pada permukaan mineral (P labil) atau diendapkan sebagai senyawa P sekunder. Kebanyakan fiksasi P inorganik tergantung pada beberapa faktor, yang paling penting adalah pH tanah. Pada tanah-tanah masam, P inorganik diendapkan sebagai mineral sekunder Fe/Al-P dan atau terjerap di permukaan oksida hidroksida Fe/Al dan mineral fiat (Willet et al., 1996; Tan, 1998).

Pada tanah-tanah masam, permukaan mineral mempunyai muatan positif, dan segera menarik H2PO4 dan anion-anion lain. Ion-ion P terjerap pada

permukaan Fe/Al oksida oleh interaksi dengan kelompok OH- dan atau OH2+ pada

permukaan mineral (Wiliet et al., 1996; Havlin et al., 1999). Bila ion orthofosfat terikat melalui satu ikatan Al-O-P, H2PO4 disebut labil dan dapat segera

dilepaskan dari permukaan mineral ke larutan tanah. Bila dua ikatan Al-O dengan H2PO4 terjadi akan terbentuk ikatan stabil, akibatnya pelepasan menjadi lebih sulit

dan H2PO4 disebut non labil.

Tananan umumnya hanya menyerap P inorganik dalam bentuk ion H2PO4

-atau HPO42-. Kelarutan ion-ion tersebut sangat tergantung pada pH tanah, dimana kelarutannya semakin meningkat dengan meningkatnya pH tanah. Ketersediaan ion H2PO4

atau HPO4

(34)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitan

Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan UPTD Lahan Kering, Dinas Pertanian dan Kehutanan, Tenjo, Kabupaten Bogor. Pengujian laboratorium dan rumah kaca dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Research Group on Crop Improvement (RGCI), Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas

Pertanian, IPB dan Kebun Percobaan University Farm-IPB, Cikabayan, Dramaga, Bogor. Penelitian dilaksanakan Desember 2009 – November 2010.

Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan adalah 2 genotipe toleran yaitu Numbu dan Kawali dan 2 genotipe peka cekaman aluminium yaitu B-69 dan B-75. Numbu dan Kawali merupakan sorgum varietas nasional yang dilepas oleh Balai Penelitian Serelia (Balitsereal), Maros, Sulawesi Selatan melalui Departemen Pertanian RI (Lampiran 6). Genotipe B-69 dan B-75 merupakan genotipe sorgum yang berasal dari Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) yang telah diseleksi di lahan kering bertanah masam di B2TP, BPPT Lampung oleh Sungkono (2010).

Percobaan pertama dilakukan di kebun percobaan UPTD Lahan Kering, Dinas Pertanian dan Kehutanan Tenjo, Kabupaten Bogor. Pembukaan dan pembersihan lahan menggunakan hand-tractor sedangkan pembentukan petakan percobaan menggunakan cangkul. Percobaan ini menggunakan kapur pertanian (CaCO3), pupuk urea, KCl, SP-18, dan sungkup (penangkal serangan hama

burung).

Percobaan kedua dilakukan di rumah kaca Kebun Percobaan University Farm-IPB, Cikabayan, Dramaga, Bogor. Alat yang digunakan adalah rhizotron.

(35)

Alur penelitian ditunjukkan dalam bagan alir di bawah ini.

Gambar 1. Bagan alir penelitian Respon Genotipe Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] terhadap Pemupukan P pada Berbagai Taraf Kejenuhan Al di Tanah Masam

Uji Daya Hasil Pendahuluan (UDHP) (Sungkono, 2010)

2 Genotipe Toleran Aluminium

2 Genotipe Peka Aluminium

Percobaan 1. Uji Respon Genotipe Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] terhadap Pemupukan P pada Berbagai Taraf Kejenuhan Al di LahanMasam (Percobaan Lapang)

Informasi Respon Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Sorgum terhadap Pemupukan P pada Berbagai

Taraf Kejenuhan Al di Lahan Masam

Percobaan 2. Uji Respon Pertumbuhan dan Perkembangan Akar Genotipe Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] terhadap Pemupukan P pada Berbagai Taraf Kejenuhan Al di Rhizotron (Percobaan rumah kaca)

Informasi Tentang Pengaruh Pemupukan P terhadap Pertumbuhan dan

(36)

Percobaan 1. Uji Respon Genotipe Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] terhadap Pemupukan P pada Berbagai Taraf Kejenuhan Al di Lahan Masam (Percobaan lapang)

Percobaan ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai perbedaan respon genotipe sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] terhadap dosis pemupukan P pada berbagai taraf kejenuhan Al di lahan masam. Penelitian ini dilaksanakan pada Desember 2009 – April 2010 di Kebun Percobaan UPTD Lahan Kering, Dinas Pertanian dan Kehutanan, Tenjo, Kabupaten Bogor.

Percobaan ini dilakukan di 2 lahan yang berbeda kondisi kemasaman tanahnya. Untuk percobaan di lahan bertaraf kejenuhan Al-tinggi, kondisi tanah sebelum percobaan yaitu pH tanah 4.26 dengan Al-dd 11.12. Untuk percobaan di lahan bertaraf kejenuhan Al-rendah, kondisi tanah sebelum percobaan yaitu pH tanah 3.9 dengan Al-dd 4.62 (Lampiran 1 dan Lampiran 3). Kondisi iklim dan curah hujan di lokasi penelitian selama penelitian berlangsung disajikan pada Lampiran 2.

Bahan dan Alat

Percobaan pertama dilakukan di kebun percobaan UPTD Lahan Kering, Dinas pertanian dan Kehutanan Tenjo, Kabupaten Bogor. Bahan tanaman yang digunakan dalam percobaan ini adalah 2 genotipe toleran yaitu Numbu dan Kawali sedangkan genotipe peka digunakan tanaman sorgum genotipe B-69 dan B-75. Peneliti mendapatkan keempat genotipe sorgum tersebut baik toleran maupun peka dari Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). Keempat genotipe tersebut telah diseleksi di lahan kering bertanah masam di B2TP, BPPT Lampung oleh Sungkono (2010). Percobaan ini juga menggunakan kapur pertanian (CaCO3), pupuk urea, KCl, dan

SP-18, dan sungkup (penangkal serangan hama burung). Sebelum diaplikasikan ke lahan, dilakukan pengujian laboratorium terhadap kandungan P2O5 pada pupuk

(37)

Metode Penelitian

Percobaan pertama dilakukan pada 2 taraf kejenuhan aluminium. Dua taraf kejenuhan Al pada percobaan ini yaitu kejenuhan Al-tinggi dan Al-rendah. Untuk mendapatkan taraf kejenuhan Al yang diinginkan digunakan kapur pertanian (CaCO3). Taraf kejenuhan Al-tinggi setara dengan 0-Aldd atau tanpa pengapuran

(kejenuhan Al 74.78%) sedangkan taraf kejenuhan Al-rendah setara dengan 1-Aldd atau dengan pengapuran 4.6 ton/ha (kejenuhan Al 25.51%). Dengan pengapuran 4.6 ton/ha maka dosis pengapuran per petak (ukuran 2 x 2 m) adalah 1.8 kg per petak.

Dosis pupuk dasar yang digunakan adalah 150 kg/ha urea, 100 kg/ha KCl, dan pupuk SP-18 sesuai dengan perlakuan. Pupuk urea diberikan 2 kali yaitu 2/3 bagian diberikan saat tanam dan sisanya pada saat tanaman berumur 7 minggu setelah tanam (MST). Pada saat penanaman diberikan insektisida furadan.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Split Plot RKLT dengan 3 ulangan. Taraf kejenuhan Al dan dosis P ditentukan berdasarkan analisis Al-dd dan

erapan P hasil uji tanah (Lampiran 4). Petak utama yaitu 4 dosis pemupukan P berdasarkan erapan P. Anak petak adalah genotipe sorgum yaitu Numbu (toleran), Kawali (toleran), B-69 (peka) dan B-75 (peka). Pada lahan taraf kejenuhan Al-rendah digunakan dosis P yaitu P-25% (2250 kg 18/ha setara 900 g SP-18/petak), P-50% (4500 kg SP-18/ha setara 1800 g SP-SP-18/petak), P-75% (6750 kg SP-18/ha setara 2700 g SP-18/petak), dan P-100% (9000 kg SP-18/ha setara 3600 g SP-18/petak).

Pada lahan taraf kejenuhan Al-tinggi digunakan dosis P yaitu P-25% (2875 kg SP-18/ha setara 1150 g SP-18/petak), P-50% (5750 kg SP-18/ha setara 2300 g Sp-18/petak), P-75% (8625 kg SP-18/ha setara 3450 g SP-18/petak), dan P-100% (11500 kg SP-18/ha setara 4600 g SP-18/petak).

(38)

dianalisis menggunakan sidik ragam dan uji lanjut DMRT pada taraf kepercayaan

α = 5%.

Prosedur Percobaan

Pelaksanaan awal adalah persiapan lahan. Lahan yang digunakan merupakan lahan bukaan baru. Oleh karena itu, digunakan mesin pertanian hand-tractor untuk membuka lahan sekaligus membersihkan dari tanaman-tanaman liar.

Setelah dibersihkan, lahan dibentuk menjadi petakan. Anak petak berbentuk bedengan berukuran 2 m x 2 m. Untuk lokasi penelitian yang menggunakan taraf kejenuhan Al-rendah dilakukan pengapuran 1-Aldd (dosis pengapuran 4.6 ton/ha setara 1.8 kg/petak). Pada taraf kejenuhan Al-tinggi tidak dilakukan pengapuran.

Penanaman dilakukan seminggu setelah pengapuran. Penanaman benih sorgum dilakukan dengan cara tugal. Jarak tanam yang digunakan adalah 70 x 15 cm sehingga diperoleh 36 tanaman per anak petak. Benih sebanyak 2 butir/lubang dimasukkan ke lubang tanam sedalam 2—3 cm bersama dengan furadan 1 g/petak. Lubang tanam ditutup dengan menggunakan sekam bakar.

Setelah penanaman dilakukan pemupukan. Pemupukan yang dilakukan adalah pupuk dasar yaitu 150 kg urea/ha (setara 60 g urea/petak) dan pemupukan fosfor sesuai dosis perlakuan. Pupuk urea diberikan 2 kali yaitu 2/3 bagian diberikan saat tanam dan sisanya pada saat tanaman berumur 7 minggu setelah tanam (MST). Pupuk KCl diberikan dengan dosis 100 kg KCl/ha (setara 40 g KCl/petak) pada saat tanaman berumur 10 MST.

Penjarangan dilakukan pada 2 MST sehingga menyisakan 1 tanaman/lubang tanam. Pemeliharaan seperti pengendalian gulma dilakukan secara manual menggunakan cangkul dan kored sekaligus pembumbunan. Pengendalian hama dan penyakit menggunakan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT).

Pengamatan pada komponen pertumbuhan dan hasil tanaman meliputi: 1. Tinggi tanaman (cm). Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah hingga

(39)

2. Bobot malai. Bobot malai diukur pada saat panen. Bobot malai yang diukur adalah bobot malai tanaman contoh. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan timbangan analitik.

3. Panjang malai diukur dari pangkal hingga ujung malai pada saat panen. Pengukuran panjang malai dilakukan pada 10 malai tanaman contoh.

4. Bobot basah total biomassa (g), dilakukan dengan menimbang bobot total tanaman segar yang terdiri dari akar, batang, daun, dan malai yang masih terdapat biji.

5. Bobot batang. Pengukuran bobot batang dilakukan saat panen. Batang sorgum dibersihkan terlebih dahulu dari daun-daun lalu ditimbang. Penimbangan menggunakan timbangan analitik.

6. Diameter batang. Pengukuran diameter batang dilakukan pada 9 MST. Pengukuran diameter batang menggunakan jangka sorong. Setiap tanaman contoh diukur diameter batang bagian tengahnya.

7. Bobot biji per malai (g), dilakukan dengan menimbang biji yang dihasilkan tanaman contoh pada setiap malai yang terdapat pada batang utama menggunakan timbangan analitis. Biji sorgum dipisahkan dari malainya dengan cara digerus. Biji yang telah terlepas dari malainya kemudian ditimbang. Penimbangan dilakukan pada akhir penelitian.

8. Bobot 100 biji. Diamati pada saat panen setelah penjemuran atau pada kadar air berkisar 14%. Bobot 100 biji didapatkan dengan cara menghitung 100 biji sorgum dari tanaman sampel kemudian ditimbang.

(40)

Percobaan 2. Uji Respon Pertumbuhan dan Perkembangan Akar Genotipe Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] terhadap Pemupukan P pada Berbagai Taraf Kejenuhan Al di Rhizotron (Percobaan rumah kaca)

Percobaan ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai respon pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] terhadap pemupukan P pada berbagai taraf kejenuhan Al di rhizotron. Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Kebun Percobaan Cikabayan, University Farm, IPB, Bogor. Waktu penelitian dari bulan September — Oktober 2010.

Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan adalah 2 genotipe toleran dan 2 genotipe peka cekaman aluminium yang digunakan pada uji lapang (Percobaan 1). Bahan dan alat yang digunakan adalah rhizotron, pupuk urea, pupuk KCl, pupuk SP-18, kapur pertanian, dan bahan-bahan yang digunakan untuk analisis tanah dan jaringan tanaman di laboratorium.

Metode penelitian

Percobaan kedua dilakukan di rumah kaca Kebun Percobaan University Farm-IPB, Cikabayan, Dramaga, Bogor. Alat yang digunakan adalah rhizotron.

Rhizotron adalah kotak kayu yang berukuran 30 x 30 x 40 cm yang diberi kaca di sisi depan dan belakang. Rhizotron digunakan sebagai pot untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan akar. Tanah yang digunakan sebagai media tanam adalah tanah yang berasal dari Kebun Percobaan UPTD Lahan Kering, Dinas Pertanian dan Kehutanan Tenjo, Kabupaten Bogor.

(41)

Media tanam yang digunakan adalah tanah masam dari Jasinga. Benih di tanam sebanyak satu benih per rhizotron. Setiap rhizotron berisi 9 kg tanah. Panen dilakukan setelah tanaman berumur enam minggu dengan membuka dua sisi kaca rhizotron, selanjutnya akar dibersihkan dan ditempelkan pada papan paku (pin board).

Pada lahan taraf kejenuhan Al-rendah 2 dosis pemupukan P yang digunakan yaitu 25% (2250 kg S18/ha setara 10.12 g S18/rhizotron) dan P-100% (9000 kg SP-18/ha setara 40.50 g SP-18/rhizotron). Pada lahan taraf kejenuhan Al-tinggi digunakan dosis P yaitu P-25% (2875 kg SP-18/ha setara 12.92 g 18/rhizotron) dan P-100% (11500 kg 18/ha setara 51.74 g SP-18/rhizotron).

Setiap taraf kejenuhan (Al-tinggi dan Al-rendah) terdapat 24 rhizotron sehingga terdapat total 48 rhizotron yang diamati. Setiap rhizotron terdapat 1 tanaman sorgum sebagai objek pengamatan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam dan uji lanjut DMRT pada taraf kepercayaan α = 5%.

Prosedur Percobaan

Percobaan dilakukan di rumah kaca dan laboratorium. Media tanam dalam rhizotron adalah tanah masam yang diambil dari tempat penelitian lapang di Tenjo, Jasinga. Setiap rhizotron diisi dengan tanah sebanyak 9 kg/rhizotron.

Benih sorgum ditanam 2 butir per rhizotron. Penanaman benih dilakukan dengan jarak 5 cm dari kaca bagian depan rhizotron. Tujuannya adalah agar akar dapat menempel pada kaca rhizotron sehingga memudahkan dalam pengamatan. Setelah penanaman dilakukan pemupukan. Pemupukan yang dilakukan adalah pupuk dasar yaitu 150 kg urea/ha (setara 0.7 g urea/rhizotron) dan pemupukan fosfor sesuai dosis perlakuan. Pupuk KCl diberikan dengan dosis 100 kg KCl/ha (setara 0.5 g KCl/rhizotron).

(42)

Panen dilakukan setelah tanaman berumur 5 MST. Panen dilakukan dengan membuka 2 sisi rhizotron, depan dan belakang. Selanjutnya akar dibersihkan dan ditempelkan pada papan paku (pin board). Peubah yang diamati pada percobaan ini adalah :

1. Panjang akar (cm). Panjang akar dihitung saat panen. Pengukuran panjang akar dilakukan di pin board. Pengukuran dilakukan dari pangkal batang hingga ujung akar.

2. Sebaran akar (cm). Pengukuran diameter sebaran akar dilakukan di atas pin-board yang berjarak 1 cm x 1 cm antar pin. Diameter sebaran akar diukur

pada lebar akar terbesar.

3. Bobot basah akar (g). Diamati pada akhir penelitian dengan menimbang langsung akar sesaat setelah panen. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan timbangan analitik.

4. Bobot kering akar (g). Diamati pada akhir penelitian dengan mengeringkan akar dalam oven pada suhu 700C selama 48 jam lalu ditimbang.

5. Kadar P daun. Pengukuran kadar P daun dilakukan di Services Laboratory, SEAMEO BIOTROP, Tajur, Bogor. Prosedur pengukuran kadar P daun adalah sebagai berikut. Timbang teliti 1,00 g contoh tanaman yang telah dihaluskan (fraksi 0.5) mm ke dalam labu digestion. Tambahkan 5 ml HNO3

dan 0,5 ml HClO4 lalu kocok dan biarkan semalam. Objek kemudian

dipanaskan pada block-digestor dengan suhu awal 1000C. Setelah uap kuning habis, suhu dinaikan hingga mencapai suhu 2000C. Destruksi diakhiri bila uap putih telah keluar dan cairan dalam labu tersisa 0,5 ml. Cairan didinginkan lalu diencerkan dengan HNO3 0.1 N. Volume ditepatkan

menjadi 50 ml. Kocok hingga homogen lalu dibiarkan semalam atau disaring dengan kertas saring W-41 agar didapat ekstrak jernih (ekstrak B). Pipet 1 ml ekstrak tanaman ke dalam tabung kimia volume 20 ml, begitupun masing-masing deret standar P. Tambahkan masing-masing 9 ml pereaksi pembangkit warna ke dalam setiap contoh dan deret standar, kocok dengan vortex mixer sampai homogen. Biarkan 30 menit, lalu diukur dengan

spektrophotometer pada panjang gelombang 693 nm dan dicatat nilai

(43)

warna) bila nilai absorban contoh melebihi nilai absorban standar P tertinggi.

Kadar P (%) dihitung dengan menggunakan rumus :

Kadar P (%) = (ppm kurva) x (ml ekstrak 1.000 ml-1) x (mg contoh-1) x (fp) x (31/95) x (fk) x (100)

Keterangan:

ppm kurva = kadar contoh dari kurva regresi hubungan antara kadar deret standar dengan pembacaannya setelah dikurangi

blanko.

fp = faktor pengenceran (bila ada)

fk = faktor koreksi kadar air = 100/(100 – % kadar air) 100 = faktor konversi ke %

(44)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian dilakukan pada 2 kondisi lahan yang memiliki taraf kejenuhan aluminium yang berbeda, yaitu taraf kejenuhan Al-tinggi (74.78%) dan Al-rendah (25.51%). Untuk mendapatkan taraf kejenuhan Al sesuai dengan kebutuhan penelitian, digunakan kapur pertanian (CaCO3). Pada lahan kejenuhan Al-rendah

dilakukan pengapuran 1-Aldd atau setara dengan dosis pengapuran 4.6 ton/ha (1.8 kg CaCO3/petak). Pada lahan taraf kejenuhan Al-tinggi tidak dilakukan

pengapuran. Untuk mengetahui respon genotipe sorgum terhadap pemupukan P di lahan Al-tinggi maupun Al-rendah, digunakan 4 dosis pemupukan P. Penentuan dosis pemupukan P berdasarkan hasil uji erapan P (Lampiran 4).

Respon Genotipe Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] terhadap Pemupukan P pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi di Lahan Masam

(45)

Tabel 1. Rekapitulasi Sidik Ragam di Lahan Taraf Kejenuhan Al-Tinggi

Peubah Sumber

Keragaman

Kuadrat

Tengah Pr > F Tinggi tanaman Dosis pupuk P 1307.55 0.49tn

Genotipe 2841.83 0.04* Bobot Biji per Tanaman Dosis pupuk P 153.80 0.64tn

Genotipe 1518.70 0.00**

Dosis*Genotipe 105.32 0.76tn

Bobot Total Dosis pupuk P 427.33 0.98tn

Genotipe 256541.59 0.00** Dosis*Genotipe 5560.87 0.39tn

Bobot Batang Dosis pupuk P 717.93 0.91tn

Genotipe 151345.84 0.00** Dosis*Genotipe 2964.99 0.26tn Kadar Kemanisan Batang Dosis pupuk P 3.57 0.05*

Genotipe 38.64 0.00**

Dosis*Genotipe 0.73 0.96tn Ket : *) berbeda nyata pada kondisi 5%; **) berbeda sangat nyata pada kondisi 1%; tn = tidak berbeda nyata

Tinggi Tanaman (9 MST)

(46)

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa karakter tanaman yang tinggi dimiliki oleh genotipe Numbu dengan tinggi tanaman sekitar 187 cm. Varietas ini juga mempunyai kandungan total sugar sekitar 14,81% berdasarkan hasil uji Laboratorium B2TP, BPPT, Lampung Tengah pada tahun 2007 (Rahmi et al., 2009).

Pada taraf kejenuhan Al-tinggi, tinggi tanaman genotipe Numbu menghasilkan nilai tertinggi yaitu 188.78 cm sedangkan genotipe peka B-69 adalah yang terendah yaitu 154.83 (Tabel 2). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya. Pada penelitian Sungkono (2010), tinggi tanaman Numbu mencapai 183.83 cm pada taraf kejenuhan Al 30—33% sedangkan pada penelitian ini tinggi tanaman Numbu mencapai 188.78 cm pada taraf kejenuhan Al 74.78%. Hal ini menunjukkan bahwa genotipe Numbu mampu mempertahankan pertumbuhan vegetatifnya meskipun berada pada taraf kejenuhan yang sangat tinggi. Hasil ini membuktikan bahwa genotipe Numbu memiliki tingkat toleransi yang luas terhadap cekaman Al dalam menghasilkan pertumbuhan vegetatif yang baik.

Tabel 2. Rata-rata Tinggi Tanaman (cm) pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi Genotipe Rata-rata Tinggi Tanaman (cm) pada

Taraf Kejenuhan Al-Tinggi

Numbu (toleran) 188.78 a

Kawali (toleran) 157.65 ab

B-69 (peka) 154.83 b

B-75 (peka) 167.73 ab

Ket : angka yang diikuti huruf kecil yang sama dalam satu kolom menyatakan

tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf kepercayaan α =5%

(47)

Genotipe peka B-69 mengalami pertumbuhan yang terhambat akibat cekaman Al. Terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan genotipe peka disebabkan oleh cekaman aluminium yang tinggi. Tanah masam bercekaman Al tinggi dan defisiensi unsur hara menyebabkan tanaman menjadi kerdil (Kochian et al., 2004; Ma et al., 2005).

Gambar 2. Kondisi Tanaman pada Lahan Taraf Kejenuhan Al-Tinggi (6 MST)

Bobot Malai

Bobot malai merupakan salah satu parameter produksi pada tanaman sorgum manis. Malai yang berat menunjukkan kemampuan tanaman untuk mengubah zat hara yang tersedia menjadi produk ekonomi. Namun, tidak semua tanaman mampu mempertahankan potensi hasil yang tinggi pada lingkungan tercekam aluminium. Pengamatan pada bobot malai penting untuk mengetahui kemampuan setiap genotipe tanaman sorgum mempertahankan potensi hasil di lingkungan bercekaman aluminium.

(48)

kondisi tercekam Al-tinggi. Hal ini diduga karena pada kondisi Al-tinggi fiksasi Al terhadap P yang sangat kuat sehingga penambahan pupuk P tidak menyebabkan perbedaan bobot malai.

Tabel 3. Rata-rata Bobot Malai (g) pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi Genotipe Rata-rata Bobot Malai (g) pada

Taraf Kejenuhan Al-Tinggi

Numbu (toleran) 128.76 a

Kawali (toleran) 59.74 b

B-69 (peka) 63.57 b

B-75 (peka) 67.88 b

Ket : angka yang diikuti huruf kecil yang sama dalam satu kolom menyatakan

tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf kepercayaan α =5%

Tabel 3 menunjukkan bahwa genotipe toleran Numbu menghasilkan bobot malai yang tertinggi dibandingkan genotipe peka. Hal ini menunjukkan bahwa genotipe Numbu mampu mempertahankan hasil meskipun tercekam Al-tinggi. Genotipe Numbu dan Kawali merupakan genotipe toleran, tetapi keduanya menunjukkan bobot malai yang berbeda nyata. Bobot malai genotipe Kawali terendah dibandingkan dengan genotipe lain. Nilai bobot malai genotipe Kawali cenderung mendekati bobot malai genotipe peka bahkan lebih rendah (Tabel 3).

(49)

Panjang Malai

Panjang malai adalah komponen penting pada sorgum karena berkorelasi dengan hasil, karena malai merupakan ruang tempat biji sorgum tumbuh dan berkembang (sink). Menurut Sungkono (2010) semakin panjang malai maka jumlah biji akan semakin banyak yang akan diikuti dengan peningkatan bobot biji per malai. Panjang malai juga merupakan bagian tanaman sorgum yang penting dalam mendukung besaran bobot malai.

Genotipe berpengaruh sangat nyata terhadap panjang malai sedangkan perlakuan dosis pemupukan P tidak berpengaruh nyata terhadap panjang malai pada taraf kejenuhan Al-tinggi (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa panjang malai lebih ditentukan oleh genotipe. Pada taraf kejenuhan Al-tinggi, genotipe Kawali menghasilkan panjang malai yang tertinggi dan berbeda nyata dengan panjang malai genotipe lain termasuk Numbu (Tabel 4). Penelitian sebelumnya oleh Sungkono (2010) pada taraf kejenuhan Al 30—33%, panjang malai Kawali sebesar 27.9 cm sedangkan pada penelitian ini (kejenuhan Al 74.78%) panjang malai Kawali turun menjadi 21.87 cm. Hal ini membuktikan bahwa selain faktor genotipe, panjang malai juga dipengaruhi oleh cekaman Al. Pada cekaman Al yang lebih tinggi, perkembangan panjang malai menjadi terhambat.

Tabel 4. Rata-rata Panjang Malai (cm) pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi Genotipe Rata-rata Panjang Malai (cm) pada

Taraf Kejenuhan Al-Tinggi

Numbu (toleran) 19.44 b

Kawali (toleran) 21.87 a

B-69 (peka) 19.36 b

B-75 (peka) 19.30 b

Ket : angka yang diikuti huruf kecil yang sama dalam satu kolom menyatakan

tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf kepercayaan α = 5%

(50)

akibat toksisitas Al yang tinggi. Hasil ini sesuai dengan hasil uji korelasi yang dilakukan. Berdasarkan uji korelasi ditemukan bahwa panjang malai berkorelasi tidak nyata dan negatif terhadap bobot malai (r=-0.395tn) (Tabel 11). Perbedaan ini menunjukkan bahwa pada kondisi cekaman Al yang lebih tinggi, Kawali tidak mampu menghasilkan fotosintat yang cukup untuk mengisi sink yang besar. Hal ini disebabkan terhambatnya perkembangan tanaman oleh cekaman Al.

Bobot 100 Butir

Karakter bobot 100 butir biji merupakan ukuran yang menggambarkan ukuran biji yang dihasilkan oleh tanaman serealia. Pada percobaan ini, genotipe berpengaruh nyata terhadap bobot 100 butir pada taraf kejenuhan Al-tinggi tetapi perlakuan dosis pemupukan P tidak berpengaruh nyata. terhadap bobot 100 butir sorgum (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa pada taraf kejenuhan Al-tinggi, genotipe tidak responsif terhadap pemupukan P dalam menghasilkan bobot 100 butir. Hal ini diduga karena fiksasi Al terhadap P yang sangat kuat sehingga penambahan pupuk P tidak menyebabkan perbedaan bobot 100 butir. Menurut Marschner (1995) P berperan penting dalam proses biokimia tanaman yaitu sebagai penyusun makro molekul dan sebagai unsur pembentuk senyawa penyimpan.

(51)

Tabel 5. Rata-rata Bobot 100 Butir (g) pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi Genotipe Rata-rata Bobot 100 Butir (g) pada

Taraf Kejenuhan Al-Tinggi

Numbu (toleran) 3.51 a

Kawali (toleran) 2.34 b

B-69 (peka) 2.51 b

B-75 (peka) 2.72 b

Ket : angka yang diikuti huruf kecil yang sama dalam satu kolom menyatakan

tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf kepercayaan α =5%

Hasil berbeda ditunjukkan oleh genotipe Kawali. Bobot 100 butir genotipe Kawali tidak berbeda nyata dengan genotipe peka (Tabel 5). Pada taraf kejenuhan Al yang rendah (kejenuhan Al 30—33%), bobot 100 butir Kawali mencapai 3.09 g. Namun, pada penelitian ini pada taraf kejenuhan Al yang lebih tinggi bobot 100 butir Kawali turun menjadi 2.34 g. Hal ini membuktikan bahwa Kawali lebih bersifat peka pada kondisi cekaman Al yang lebih tinggi sehingga bobot 100 butir yang dihasilkan lebih mendekati bobot 100 butir genotipe peka.

Genotipe peka B-69 dan B-75 menghasilkan bobot 100 butir yang rendah. Hal ini diduga disebabkan oleh cekaman Al-tinggi yang menghambat proses penyerapan hara penting untuk pembentukan fotosintat. Menurut Hardjowigeno (2003) konsentrasi Al terlarut yang tinggi menyebabkan penyerapan hara penting terhambat sehingga tanaman dapat mengalami defisiensi hara Ca, P, K, dan Mg. Akibatnya, proses metabolisme untuk menghasilkan fotosintat juga terhambat.

Bobot Biji per Malai

(52)

tanaman terhadap cekaman Al di lapang ditunjukkan oleh kemampuan tanaman mempertahankan daya hasil (Wang et al., 2006).

Tabel 6. Rata-rata Bobot Biji per Malai (g) pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi Genotipe Rata-rata Bobot Biji per Malai (g) pada

Taraf Kejenuhan Al-Tinggi

Numbu (toleran) 70.68 a

Kawali (toleran) 38.13 b

B-69 (peka) 37.97 b

B-75 (peka) 45.81 b

Ket : angka yang diikuti huruf kecil yang sama dalam satu kolom menyatakan

tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf kepercayaan α =5%

Genotipe berpengaruh sangat nyata terhadap bobot biji per malai pada taraf kejenuhan Al-tinggi sedangkan perlakuan dosis pemupukan P tidak berpengaruh nyata terhadap bobot biji per malai setiap genotipe (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa bobot biji per malai lebih dipengaruhi oleh faktor perbedaan genotipe. Setiap genotipe menjadi tidak responsif terhadap pemupukan P pada taraf kejenuhan Al-tinggi dalam menghasilkan bobot biji per malai.

Pada taraf kejenuhan Al-tinggi, genotipe Numbu menghasilkan bobot biji per malai yang tertinggi yaitu 70.68 g (Tabel 6). Pada penelitian sebelumnya, bobot biji per malai Numbu pada taraf kejenuhan Al 30—33% mencapai 75.00 g (Sungkono, 2010). Hal ini menunjukkan toleransi genotipe Numbu yang tinggi meski berada pada taraf kejenuhan Al terbukti genotipe Numbu mampu menghasilkan bobot biji per malai yang tinggi.

(53)

ini menunjukkan bahwa pada taraf kejenuhan Al-tinggi, genotipe Kawali lebih bersifat peka.

Bobot Batang

Bobot batang merupakan salah satu parameter pengamatan yang penting diamati di lahan masam. Bobot batang terkait dengan produktivitas bioetanol yang bersumber dari nira batang. Bobot batang yang tinggi diharapkan mampu menghasilkan produktivitas bioetanol yang tinggi pula. Oleh karena itu diperlukan informasi mengenai respon genotipe sorgum terhadap bobot batang tanaman sorgum bila ditanam pada kondisi tercekam Al di tanah masam.

Pada percobaan ini, genotipe berpengaruh nyata terhadap bobot batang pada taraf kejenuhan Al-tinggi sedangkan perlakuan dosis pemupukan P tidak berpengaruh nyata terhadap bobot batang setiap genotipe (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa setiap genotipe tidak responsif terhadap pemupukan P dalam pembentukan bobot batang bila tercekam Al-tinggi.

Tabel 7. Rata-rata Bobot Batang (g) pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi Genotipe Rata-rata Bobot Batang (g) pada

Taraf Kejenuhan Al-Tinggi

Numbu (toleran) 427.47 a

Kawali (toleran) 187.88 b

B-69 (peka) 142.08 b

B-75 (peka) 151.49 b

Ket : angka yang diikuti huruf kecil yang sama dalam satu kolom menyatakan

tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf kepercayaan α = 5%

(54)

Bobot Total

Bobot total merupakan parameter pengamatan yang penting di lahan masam. Bobot total merupakan salah satu indikator toleransi tanaman terhadap cekaman aluminium. Tanaman yang tercekam Al cenderung menghasilkan bobot total yang rendah. Bobot total juga merupakan karakter yang menentukan produktivitas bioetanol yang bersumber dari nira batang. Bobot total yang tinggi akan menghasilkan nira yang banyak sehingga bioetanol yang dihasilkan dari nira batang tersebut juga akan tinggi (Sungkono, 2010).

Tabel 8. Rata-rata Bobot Total (g) pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi Genotipe Rata-rata Bobot Total (g) pada

Taraf Kejenuhan Al-Tinggi

Numbu (toleran) 624.50 a

Kawali (toleran) 290.03 b

B-69 (peka) 241.48 b

B-75 (peka) 258.28 b

Ket : angka yang diikuti huruf kecil yang sama dalam satu kolom menyatakan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf kepercayaan α = 5%

(55)

Respon berbeda ditunjukkan genotipe toleran Kawali dalam menghasilkan bobot total. Pada taraf kejenuhan Al-tinggi, bobot total Kawali rendah dan tidak berbeda nyata dengan bobot total genotipe peka. Hal ini menunjukkan bahwa Kawali bersifat lebih peka pada cekaman Al-tinggi sehingga menghasilkan bobot total yang mendekati bobot total genotipe peka. Bobot total genotipe Kawali dan peka (B-69 dan B-75) menunjukkan nilai yang rendah diduga disebabkan oleh toksisitas aluminium yang sangat kuat sehingga pertumbuhan dan perkembangan tanaman sangat terhambat.

Pada fase pertumbuhan, genotipe Kawali mengalami keterhambatan pertumbuhan. Hal ini terlihat pada rendahnya nilai rata-rata tinggi tanaman dan bobot batang sehingga nilai rata-ratra bobot total juga menjadi rendah (Tabel 10). Berdasarkan uji korelasi ditemukan bahwa bobot total dipengaruhi oleh bobot batang sehingga bila bobot batang rendah maka bobot total yang dihasilkan juga akan rendah (Tabel 11).

Kadar Kemanisan Batang (KKB)

Kadar kemanisan batang merupakan indikator penting untuk menghasilkan bioetanol yang berasal dari batang tanaman sorgum. Dengan mengetahui kadar kemanisan batang maka diperoleh data-data yang menunjang dalam pembuatan bioetanol yang berasal dari nira batang sorgum (stem juice). Pengukuran kadar kemanisan batang dilakukan pada ruas batang bagian tengah. Kadar kemanisan diukur dengan menggunakan hand-refraktometer.

Gambar

Gambar 1. Bagan alir penelitian Respon Genotipe Sorgum [Sorghum bicolor (L.)
Tabel 1. Rekapitulasi Sidik Ragam di Lahan Taraf Kejenuhan Al-Tinggi
Gambar 2. Kondisi Tanaman pada Lahan Taraf Kejenuhan Al-Tinggi (6 MST)
Tabel 10. Rata-rata Pertumbuhan dan Produksi Genotipe Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] pada Taraf Kejenuhan Al-Tinggi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keseluruhan layout buku kamus percakapan visual untuk turis ini dibuat untuk memahami bahasa dengan cepat dan menyenangkan, layout ilustrasi akan mendampingi konten teks

Dari beberapa penelitian yang ada, penulis membuat pengembangan penelitian perancangan lampu penerangan otomatis, yang mana dari penelitian tersebut diharapkan dapat

Hal tersebut dikarenakan ada beberapa hal yang mempengaruhi motivasi siswa dalam memilih kegiatan ekstrakurikuler atletik di MTs Ali Maksum Yogyakarta, misalnya

i Rencana Strategis R RI 2015-2019 secara keseluruhan yang berkaitan dengan pelaksanaan gagasan dalam kurun waktu 2015-2019 yang mengandung koordinasi dan identiikasi

Dalam hal ini mengenai kelengkapan dalam memenuhi Peta WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan) yang dilengkapi oleh batas koordinat geografis lintang dan bujur sesuai

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dilakukan penelitian mengenai pengaruh substitusi tepung tempe terhadap tekstur dan kandungan gizi sosis dengan bahan pengisi

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalis pengaruh geometri muka dan kontrol aktif hisapan terhadap koefisien hambatan pada reversed Ahmed model

ATmega8535 digunakan sebagai controller rangkaian, memproses ketika telah terdeteksi adanya penggunaan sinyal handphone dalam ruangan yang akan dikirimkan pada IC