• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lama penyimpanan dan mutu buah sawo (Achras zapota, L) kultivar sukatali st1 yang dilapisi lilin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Lama penyimpanan dan mutu buah sawo (Achras zapota, L) kultivar sukatali st1 yang dilapisi lilin"

Copied!
154
0
0

Teks penuh

(1)

LAMA PENYIMPANAN DAN MUTU BUAH SAWO (Achras zapota, L)

KULTIVAR SUKATALI ST1 YANG DILAPISI LILIN

SKRIPSI

RYANDRA ERLANGGA RAMADHAN

F14070011

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

(2)

Ryandra Erlangga Ramadhan. F14070011. LAMA PENYIMPANAN DAN MUTU BUAH SAWO

(Achras zapota, L) KULTIVAR SUKATALI ST1 YANG DILAPISI LILIN. Di bawah bimbingan

Prof. Dr. Ir. Hadi K Purwadaria, M.Sc. 2011.

RINGKASAN

Sawo (Achras zapota, L) merupakan salah satu dari berbagai jenis buah-buahan tropis yang banyak dihasilkan di Indonesia. Rasa buahnya yang manis membuat buah ini banyak penggemarnya. Harga jual untuk sawo yang matang penuh cukup tinggi, akan tetapi harga akan turun secara drastis apabila sawo terlalu matang. Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan teknologi pasca panen untuk memperpanjang umur simpan buah sawo, yang mudah diterapkan dan tidak memerlukan biaya yang mahal. Pelapisan lilin merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk memperpanjang umur simpan produk-produk hortikultura dengan biaya yang relatif murah.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pelapisan lilin pada buah sawo, menentukan konsentrasi emulsi lilin untuk lapisan buah sawo utuh, serta menentukan umur simpan buah sawo utuh pada berbagai suhu penyimpanan. Lilin yang digunakan pada penelitian ini adalah lilin lebah, sedangkan buah sawo yang digunakan adalah buah sawo sukatali ST1 yang didapatkan langsung dari petani sawo di Sumedang, Jawa Barat.

Beberapa konsentrasi lilin yang digunakan pada penelitian awal adalah 0%, 2%, 4%, 6%, 8%, 10%, dan 12% dengan menggunakan suhu ruang, hasil dari penelitian ini, sawo yang dilapisi lilin dengan konsentrasi 10% mempunyai umur simpan yang paling lama yaitu 5 hari. Pada tahap penelitian selanjutnya, untuk mengetahui umur simpan pada tingkat konsentrasi pelilinan diatas dan dibawah konsentrasi lilin 10%, maka pelapisan lilin menggunakan konsentrasi lilin 9%, 10%, serta 11%, serta buah sawo tanpa pelapisan lilin sebagai kontrol. Selain suhu ruang, pada penelitian ini juga digunakan suhu 15°C agar dapat membandingkan umur simpan pada kondisi suhu yang lebih rendah,

Untuk mengamati perubahan mutu buah sawo selama penyimpanan dalam berbagai konsentrasi lilin maupun suhu penyimpanan, maka dilakukan juga pengamatan terhadap susut bobot, total padatan terlarut, kekerasan, organoleptik pada buah sawo setiap 2 hari sekali, Serta pengukuran laju respirasi setiap hari selama penyimpanan. Hasil pada penelitian ini adalah konsentrasi pelilinan dan suhu berpengaruh nyata pada susut bobot namun secara umum tidak berpengaruh nyata pada perubahan kekerasan, total padatan terlarut, serta organoleptik. Interaksi antara suhu dan konsentrasi pelilinan tidak berpengaruh nyata pada susut bobot, kekerasan, serta total padatan terlarut.

Hasil pengukuran laju respirasi pada suhu ruang adalah konsentrasi pelilinan 11% memiliki rata-rata laju respirasi terendah yaitu 8.37 mlCO2/kg/jam dan 5.29 mlO2/kg/jam dibandingkan

dengan konsentrasi pelilinan 10% yaitu 9.83 mlCO2/kg/jam dan 6.42 mlO2/kg/jam, buah sawo kontrol

12.82 mlCO2/kg/jam dan 7.73 mlO2/kg/jam , serta buah sawo dengan pelilinan 9% 13.25

mlCO2/kg/jam dan 7.95mlO2/kg. Sedangkan pada suhu 15°C konsentrasi pelilinan 9% menghasilkan

rata-rata laju respirasi terendah, yaitu sebesar 3.07 mlCO2/kg/jam dan 2.83 mlO2/kg/jam, pada

konsentrasi pelilinan 10% yaitu 3.17 mlCO2/kg/jam dan 2.75 mlO2/kg/jam, buah sawo kontrol 3.74

mlCO2/kg/jam dan 2.93 mlO2/kg/jam, serta pada buah sawo dengan pelilinan 11% 4.09

mlCO2/kg/jam dan 3.22 mlO2/kg/jam.

(3)

SHELF LIFE AND QUALITY OF SAPOTA CULTIVAR SUKATALI ST1

COATED BY WAX

Ryandra Erlangga Ramadhan

Department of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Technology Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia.

e-mail : ryandraerlangga@ymail.com

ABSTRACT

Waxing is one way that can be used to extend the shelf life of horticultural products with a relatively low cost. By doing waxing on sapota, it was expected to increase the shelf life of the fruit, so in marketing, sapota quality could be improved. The material used to coat the sapota was beeswax, Sapota cultivar Sukatali ST1 was obtained from the farmers at Sumedang, Jawa Barat. Several concentrations of wax were applied in the preliminary experiment, i.e, 0%, 2%, 4%, 6%, 8%, 10%, and 12% at room temperature. The results indicated that sapota coated with a wax concentration of 10% had longer shelf life of 5 days.

In the next stage, the wax applied in the treatments were 9%, 10% , 11%, and without wax coating as control. In addition to room temperature, 15°C storage temperature was also applied as treatment. Observations were made on the respiration rate, weight losses, total soluble solids, hardness, and organoleptic for every 2 days.

The results of this experiment saw that sapota coated with a wax concentration of 10% and 11% at room temperature achieved the longest shelf life for 5 days. At 15 ° C storage temperature, longer shelf life of sapota was performed by sapota coated with 9% wax with a shelf life of 11 days.

(4)

LAMA PENYIMPANAN DAN MUTU BUAH SAWO (Achras zapota, L)

KULTIVAR SUKATALI ST1 YANG DILAPISI LILIN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

RYANDRA ERLANGGA RAMADHAN

F14070011

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Lama Penyimpanan dan Mutu Buah Sawo (

Achras zapota, L

)

Kultivar Sukatali ST1 yang Dilapisi Lilin

Nama

: Ryandra Erlangga Ramadhan

NIM

: F14070011

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

(Prof. Dr. Ir. Hadi K. Purwadaria. M.Sc)

NIP. 19460821 197106 1 001

Mengetahui :

Ketua Departemen Teknik Mesin dan Biosistem,

(Dr. Ir. Desrial. M.Eng.)

NIP.19661201 199103 1 004

(6)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Lama Penyimpanan dan Mutu Buah Sawo (Achras zapota, L) Kultivar Sukatali ST1 yang Dilapisi Lilin adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain terlah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2011 Yang membuat pernyataan

(7)

RIWAYAT HIDUP

(8)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT atas berkatNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Lama Penyimpanan dan Mutu Buah Sawo (Achras zapota, L) Kultivar Sukatali ST1 yang Dilapisi Lilin dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian sejak bulan Februari sampai Juli 2011.

Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Hadi K. Purwadaria, M.Sc sebagai dosen pembimbing yang selalu memberikan perhatian dan bimbingannya.

2. Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, MSi dan Dr.Ir. Dyah Wulandani, M.Si sebagai dosen penguji. 3. Orang tua dan adik yang telah memberikan doa, dana, nasihat, dan kasih sayangnya. 4. Bapak Sulyaden yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian.

5. Teman satu bimbingan yang telah memberikan banyak dukungan dan bantuan. 6. Teman-teman seperjuangan Departemen Teknik Mesin dan Biosistem Angkatan 44

7. Seluruh pihak yang turut membantu, baikdalam segi moral maupun material, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dibidang pengolahan pangan dan hasil pertanian.

Bogor, Juli 2011

(9)

ii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ...i

DAFTAR ISI ...ii

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 2

II.TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A. SAWO ... 3

B. SAWO SUKATALI ST1 ... 4

C. PASCA PANEN BUAH ... 5

D. PELILINAN... 6

E. PENYIMPANAN SAWO ... 7

III.METODE PENELITIAN ... 8

A. WAKTU DAN TEMPAT ... 8

B. BAHAN DAN ALAT ... 8

C. PROSEDUR PENELITIAN... 8

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 12

A. HASIL PENELITIAN PENDAHULUAN ... 12

B. MUTU SAWO BERLAPIS LILIN PADA BERBAGAI KONSENTRASI LILIN DAN SUHU PENYIMPANAN ... 14

1. Laju Respirasi suhu ruang dan 15°C ... 14

2. Susut Bobot ... 16

3. Kekerasan ... 18

4.Total Padatan Terlarut ... 19

5. Organoleptik ... 20

VI. SIMPULAN DAN SARAN... 35

A. SIMPULAN ... 35

B. SARAN... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36

(10)

iii

DAFTAR TABEL

(11)

iv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Bagan alir pelilinan buah sawo ... 9

Gambar 2 . Sawo pada penyimpanan suhu ruang hari ke 0 ... 12

Gambar 3 . Sawo pada penyimpanan suhu ruang hari ke 2 ... 13

Gambar 4 . Sawo pada penyimpanan suhu ruang hari ke 4 ... 13

Gambar 5 . Sawo dengan konsentrasi pelapisan lilin 10% pada penyimpanan suhu ruang hari ke 5 ... 14

Gambar 6 . Laju produksi CO2 buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu ruang ... 14

Gambar 7 . Laju Konsumsi O2 buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu ruang ... 15

Gambar 8. Laju produksi CO2 buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu 15C ... 15

Gambar 9. Laju Konsumsi O2 buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu 15C ... 16

Gambar 10. Susut bobot buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu ruang ... 17

Gambar 11. Susut bobot buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu 15°C ... 17

Gambar 12. Kekerasan buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu ruang ... 18

Gambar 13. Kekerasan buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu 15°C ... 19

Gambar 14. Sidik ragam dan uji lanjut organoleptik aroma buah sawo selama penyimpanan suhu ruang ... 20

Gambar 15. Kekerasan buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu 15°C ... 20

Gambar 16. Organoleptik warna buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu ruang ... 21

Gambar 17. Organoleptik warna buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu 15°C ... 21

Gambar 18. Organoleptik aroma buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu ruang ... 23

Gambar 19. Organoleptik aroma buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu 15°C ... 23

Gambar 20. Organoleptik kekerasan buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu ruang ... 24

Gambar 21. Organoleptik kekerasan buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu 15°C ... 24

Gambar 22. Organoleptik rasa buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu ruang ... 25

(12)

v

Gambar 24. Total organoleptik buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa

pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu ruang ... 27 Gambar 25. Total organoleptik buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa

(13)

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Laju respirasi pada buah sawo selama penyimpanan suhu ruang ... 37

Lampiran 2. laju respirasi pada buah sawo selama penyimpanan suhu 15°C ... 37

Lampiran 3. Perubahan susut sawo selama penyimpanan suhu ruang ... 37

Lampiran 4. Perubahan susut sawo selama penyimpanan suhu 15°C ... 37

Lampiran 5. Kekerasan sawo selama penyimpanan suhu ruang ... 38

Lampiran 6. Kekerasan sawo selama penyimpanan suhu 15°C ... 38

Lampiran 7. Total padatan terlarut sawo selama penyimpanan suhu ruang... 38

Lampiran 8. Total padatan terlarut sawo selama penyimpanan suhu 15°C ... 38

Lampiran 9. Sidik ragam dan uji lanjut perubahan susut bobot buah sawo ... 39

Lampiran 10. Sidik ragam dan uji lanjut kekerasan buah sawo ... 43

Lampiran 11. Sidik ragam dan uji lanjut total padatan terlarut buah sawo ... 48

Lampiran 12. Sidik ragam dan uji lanjut organoleptik warna buah sawo selama penyimpanan suhu ruang ... 53

Lampiran 13. Sidik ragam dan uji lanjut organoleptik warna buah sawo selama penyimpanan suhu 15°C ... 55

Lampiran 14. Sidik ragam dan uji lanjut organoleptik aroma buah sawo selama penyimpanan suhu ruang ... 57

Lampiran 15. Sidik ragam dan uji lanjut organoleptik aroma buah sawo selama penyimpanan suhu15°C... 58

Lampiran 16. Sidik ragam dan uji lanjut organoleptik kekerasan buah sawo selama penyimpanan ruang ... 60

Lampiran 17. Sidik ragam dan uji lanjut organoleptik kekerasan buah sawo selama penyimpanan suhu 15°C ... 62

Lampiran 18. Sidik ragam dan uji lanjut organoleptik rasa buah sawo selama penyimpanan suhu ruang ... 63

Lampiran 19. Sidik ragam dan uji lanjut organoleptik rasa buah sawo selama penyimpanan suhu 15°C ... 64

Lampiran 20. Sidik ragam dan uji lanjut organoleptik keseluruhan buah sawo selama penyimpanan suhu ruang ... 66

Lampiran 21. Sidik ragam dan uji lanjut organoleptik keseluruhan buah sawo selama penyimpanan suhu 15°C ... 67

(14)

1

I.

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Sawo merupakan salah satu dari berbagai jenis buah-buahan tropis yang banyak dihasilkan dan cukup dikenal masyarakat di Indonesia. Baunya harum dan rasanya manis lezat. Dalam bahasa Inggris, sawo disebut sapodilla, chikoo, atau sapota. Di India, sawo disebut chikoo, di Filipina dikenal sebagai tsiko, dan di Malaysia ciku. Masyarakat Tionghoa menyebut buah sawo sebagai hong xiêm. Salah satu kultivar unggulan adalah sawo Sukatali ST1. Sawo sukatali disebut juga sawo apel kapas, karena bentuknya yang bulat, besar, dan daging buahnya yang tidak terlalu coklat. Selain itu, sawo ini terasa tidak lembek jika ditekan sehingga membuat konsumen sering terkecoh karena menyangka buah sawo masih mentah.

Kuantitas buah yang melimpah harus diimbangi dengan kualitas yang baik, namun mutu buah sawo yang dijual dipasaran belum optimal. Hal ini disebabkan oleh penanganan pasca panen sawo yang masih kurang baik, sehingga mutu buah sawo setelah panen terus menurun. Buah sawo yang dipetik terlalu awal dari ketuaan fisiologis akan lambat matang dan tingkat kemanisan rendah, rasa lebih sepet, serta adanya akumulasi getah yang menempel disekitar biji. Sebaliknya apabila buah yang dipetik terlalu tua, buah akan cepat matang 2-3 hari.

Sawo yang siap dikonsumsi adalah sawo matang. Buah mentah tidak enak dimakan karena keras. Rasanya pahit dan kelat disebabkan tingginya kandungan tanin dan kaustik. Sawo yang berkualitas baik adalah sawo yang empuk dan berwarna coklat tua.

Harga jual untuk sawo yang matang penuh cukup tinggi, akan tetapi harga akan turun secara drastis apabila sawo terlalu matang , hal ini dikarenakan buah setelah matang tidak dapat bertahan lama, akan cepat rusak dan membusuk, hal ini akan menyulitkan penanganan maupun transportasinya. Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan teknologi pasca panen untuk memperpanjang umur simpan, yang mudah diterapkan dan tidak memerlukan biaya yang mahal.

Beberapa metode yang diketahui untuk memperpanjang umur simpan komoditas hortikultura segar antara lain penyimpanan suhu dingin, penyimpanan udara yang dimodifikasi, pelapisan lilin, pemakaian bahan kimia, penyimpanan hipobarik, irradiasi maupun kombinasi dari dua atau lebih cara-cara tersebut.

Pelapisan lilin merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk memperpanjang umur simpan produk-produk hortikultura dengan biaya yang relatif murah. Mekanisme dari proses pelapisan lilin sebenarnya merupakan usaha untuk menggantikan lapisan lilin alami yang dimiliki oleh buah itu sendiri, yang sebagian besar hilangakibat adanya proses penanganan lepas panen seperti pencucian, sortasi, dan pengangkutan.

(15)

2

B.

Tujuan

Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari penggunaan lapisan lilin pada buah sawo kultivar Sukatali ST1 yang dapat memperpanjang umur simpan buah selama penyimpanan.

Tujuan khusus pada penelitian ini adalah :

1. Menentukan konsentrasi emulsi lilin untuk lapisan buah sawo utuh.

(16)

3

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sawo (Achras zapota, L)

Buah sawo berasal dari Amerika Tengah, yakni meksiko dan Hindia Barat. Kini tanaman sawo telah menyebar luas didaerah tropik, termasuk Indonesia. Dulu, sawo dikenal dengan nama

Achras zapota, L atau Manilkara achras . Pohon sawo dapat mencapai 20 m. Batangnya berwarna

cokelat dengan tajuk yang rimbun. Percabangannya rendah dan biasa condong horizontal. Bunganya tunggal, berbulu kecoklatan, keluar dari ketiak pada ujung cabang. Buahnya bulat sampai lonjong dengan permukaan kasar berwarna kecoklatan berdaging lunak, manis, berair, dan berbiji hitam kecoklatan sebanyak sampai 6 buah (Sunarjono, 1998).

Di kalangan ilmiah, sawo dikelompokkan kedalam divisi Spermatophyta, tumbuhan berbiji. Oleh karena bijinya yang tertutup daun buah, lebih lanjut sawo dimasukkan kedalam subdivisi Angiospermae, dan oleh karena keping bijinya yang berjumlah dua, tanaman sawo dimasukkan kedalam kelas Dicotyledonae. Secara lebih terperinci, sawo masih dikelompokkan lagi ke dalam bangsa Ebenales, keluarga Sapotaceae (Tim Penulis Penebar Swadaya 1993).

Di Indonesia, sentra produksi buah sawo yang terkenal antara lain, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Sumatra Barat, Nusa Tenggara Barat dan Bali (Sunarjono 2008). Masa berbuah sawo adalah bulan Maret sampai November, sedangkan masa berbuah banyak adalah pada bulan Januari dan Februari (Satuhu, 2004). Produksi buah sawo di dalam negeri pun menunjukkan statistik yang terus meningkat sepanjang tahun, hingga tahun 2009, seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Produksi Buah Sawo

Tahun Produksi (Ton)

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

54.990 46.759 44.664 53.275 63.011 69.479 83.877 88.031 83.787 10.169 10.263 10.772 127.876

Sumber : Badan Pusat Statistik (2011)

(17)

1.500-4

2.500 mm/tahun (beriklim basah). Tanaman sawo tahan terhadap kekeringan dengan 5 bulan musim kemarau. Perakarannya cukup kuat, hingga tanaman sawo ini cukup baik untuk daerah erosi (Sunarjono, 1998).

Buah sawo pada umumnya disantap dalam bentuk buah segar, jarang yang diawetkan. Sesudah diperam beberapa hari, buah sawo tersebut akan matang dan beraroma. Buah sawo yang matang daging buahnya lunak dan rasanya manis sekali, karena mengandung gula yang cukup tinggi, yaitu sebesar 14%. Dari jumlah itu, 7.02% berupa sukrose, 3.7% berupa dekstrose dan sisanya 3.5% adalah levulose (Ashari, 2006).

Menurut BAPPENAS (2005), kerabat dekat sawo dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: 1) Sawo Liar atau Sawo Hutan

Kerabat dekat sawo liar diantaranya adalah sawo kecik dan sawo tanjung. Sawo kecik atau sawo jawa (Manilkara kauki L. Dubard.) dimanfaatkan sebagai tanaman hias atau tanaman peneduh halaman. Tinggi pohon mencapai 15 – 20 meter, merimbun dan tahan kekeringan. Kayu pohonnya sangat bagus untuk dibuat ukiran dan harganya mahal. Sawo tanjung (Minusops elingi) memiliki buah kecil-kecil berwarna kuning keungu-unguan, jarang dimakan, sering digunakan sebagai tanaman hias atau tanaman pelindung di pinggir-pinggir jalan.

2) Sawo Budidaya

Berdasarkan bentuk buahnya, sawo budidaya dibedakan menjadi dua yaitu : a. Sawo Manila

Buah sawo manila berbentuk lonjong, daging buahnya tebal, banyak mengandung air dan rasanya manis. Termasuk dalam kelompok sawo manila antara lain adalah : sawo kulon, sawo betawi, sawo karat, sawo malaysia, sawo maja dan sawo alkesa.

b. Sawo Apel

Sawo apel dicirikan oleh buahnya yang berbentuk bulat atau bulat telur mirip buah apel, berukuran kecil sampai agak besar dan bergetah banyak. Termasuk dalam kelompok sawo apel adalah : sawo apel kelapa, sawo apel lilin dan sawo duren.

Selain jenis sawo yang telah diuraikan, masih ada jenis sawo yang tidak begitu dikenal, diantaranya sawo duren, sawo alkesa, dan sawo kecik. Menurut sosrodiharjo dan Margono (1985), ,buah sawo memerlukan waktu 180 hari mencapai kematangan setelah bunga mekar.

B. Buah Sawo Sukatali ST1

(18)

5

Sebagai kultivar unggulan, sawo Sukatali ST1 harus ditingkatkan produksi dan penanganan pasca panennya, agar dapat memenuhi permintaan pasar dan dapat bersaing dengan varietas lainnya. Sawo hasil perkebunan rakyat Sukatali dipasarkan ke kota-kota di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jakarta (Ashari, 2008).

C. Pasca Panen Buah

Penurunan kualitas dari buah-buahan yang telah dipanen biasanya diikuti dengan meningkatnya kepekaan produk tersebut terhadap infeksi mikroorganisme sehingga akan semakin mempercepat kerusakan atau menjadi busuk, dengan demikian maka mutu serta nilai jualnya menjadi rendah bahkan tidak bernilai sama sekali.

Selama pemasakan, buah segar mengalami perubahan nyata dalam warna, tekrtur dan bau yang menunjukkan telah terjadinya perubahan susunan bahan. Menurut Winarno dan Wirakartakusumah (1981), perubahan umum yang terjadi adalah perubahan tekanan turgor sel, dinding sel, zat pati, senyawa turunan fenol, dan asam-asam organik.

Pada dasarnya peubahan-perubahan yang terjadi tidak dapat diperbaiki, tetapi yang dapat dilakukan adalah hanya usaha untuk mencegah laju kemundurannya atau mencegah proses kerusakan tersebut berjalan lambat. Aktivitas metabolisme yang terjadi pada buah-buahan adalah sebagai berikut :

1. Respirasi

Pada umumnya umur simpan berbagai komoditi pertanian berbanding terbalik dengan adanya laju respirasi dari komoditi itu sendiri. Bahan yang memiliki sifat umur simpan pendek adalah yang mempunyai laju respirasi yang besar atau tinggi. Kecepatan resprasi pada buah meningkat dengan meningkatnya suplai oksigen. Tetapi bila konsentrasi O2 lebih besar dari 20 persen respirasi hanya sedikit berpengaruh, konsentrasi CO2 yang cukup tinggi dapat memperpanjang masa simpan buah dengan cara menghambat proses respirasi (Muchtadi, 1991).

2. Susut Bobot

Kehilangan berat buah-buahan yang disimpan terutama disebabkan oleh kehilangan air. Kehilangan air yang disimpan tidak hanya menurunkan berat, tetapi juga dapat menurunkan mutu dan menimbulkan kerusakan. Susut bobot dapat juga disebabkan oleh kehilangan karbon selama respirasi, namun hal ini kurang berpengaruh (Muchtadi, 1992).

Produk buah-buahan tidak layak dipasarkan jika mengalami susut bobot sekitar 5-10%, karena kehilangan bobot 5% sudah cukup untuk menimbulkan pengeriputan buah, yang menyebabkan buah tidak menarik konsumen pada saat penjualan (Pantastico, 1986).

3. Perubahan Kekerasan

Selama pematangan, buah akan melalui suatu seri perubahan termasuk perubahan kekerasan. Pelunakkan buah dapat disebabkan oleh terjadinya pemecahan propektin yang tidak larut menjadi pektin yang larut, maupun oleh karena terjadinya hidrolisis pati atau lemak. Sintesis lignin dalam beberapa macam buah juga dapat mempengaruhi tekstur (Muchtadi, 1992).

4. Perubahan Total Padatan Terlarut

(19)

6

meliputi tiga macam gula utama yaitu glukosa, fruktosa, dan sukrosa. kandungan gula akan meningkat melalui pematangan dan pemasakkan buah.

Waspodo (1985) menyatakan bahwa sawo yang tidak diberi perlakuan, dilakukan pengasapan dan dengan pemberian karbit, setelah 5 hari disimpan menunjukkan bahwa sawo yang tidak dikenai perlakuan mempunyai kadar total padatan terlarut yang lebih tinggi dari sawo yang dikenai perlakuan pada suhu, 25°C, 15°C, dan 10°C.

5. Perubahan Warna

Perubahan warna kulit sawo menuju pematangan yaitu warna kulit sedikit hijau, lalu berubah menjadi coklat muda, dan menjadi tua saat matang (Kader, 2006). Quiping et al. (2006) menyatakan bahwa kandungan klorofil pada jaringan kulit buah sawo menurun pada penyimpanan suhu 20°C. Kandungan klorofil selama pematangan buah menurun perlahan, klorofil tersebut mengalami degradasi, hal ini mengakibatkan warna sayur dan buah yang hijau berubah menjadi kuning (Winarno dan Aman, 1979). Umumnya sejumlah tertentu pigmen ini tetap ada dalam buah, terutama dalam jaringan internal (Muchtadi, 1992).

D. Pelilinan

Buah-buahan dan sayur-sayuran segar mempunyai selaput lilin alami dipermukaan luar yang sebagian hilang oleh pencucian. Suatu lapisan lilin tambahan yang tidak bersinambungan dengan kepekatan dan ketebalan yang cukup diberikan dengan sengaja (secara artifisial), untuk menghindari keadaan anaerobik dalam buah, dan memberikan perlindungan yang diperlukan terhadap organism-organisme pembusuk. Pelapisan lilin penting sekali, khususnya bila terdapat luka dan goresan-goresan kecil pada permukaan buah dan sayuran. Kerusakan-kerusakan itu dapat ditutupi oleh lapisan lilin. Keuntungan yang jelas dari pelapisan lilin adalah mengkilapnya buah-buahan atau sayuran. Dengan demikian kenampakannya menjadi lebih menarik dan menjadikan buah-buahan dapat diterima oleh konsumen (Pantastico, 1973).

Pemberian lapisan lilin dapat dilakukan dengan pembusaan, penyemprotan, pencelupan atau pengolesan (Pantastico, 1973). Beberapa formula lilin telah dikembangkan dan diuji secara eksperimental. Zat-zat pengemulsi yang cocok dicampurkan untuk mendapatkan emulsi lilin dalam air. Emulsi-emulsi lilin dalam air lebih aman digunakan daripada pelarut-pelarut lilin yang mudah sekali terbakar. Emulsi lilin dalam air dapat digunakan tanpa harus mengeringkan buah terlebih dahulu. Untuk lilin yang dilarutkan, permukaan buah harus bebas dari air untuk mendapatkan kilap yang baik. Trietanolamin dan asam oleat biasanya digunakan untuk pegemulsi (Pantastico, 1973).

Berikut adalah beberapa hasil penelitian mengenai pelilinan buah. Fatimah (1996) menyatakan bahwa pelilinan lebih menghambat proses respirasi dibandingkan kontrol. Pada penelitian ini konsentrasi 10% dengan waktu pencelupan 30 detik laju respirasinya relatif lebih dihambat selama penyimpanan.

Riza (2004) menyatakan pelapisan lilin dapat menghambat laju respirasi pada penyimpanan manggis segar. Dari hasil pengamatan bahwa pada penyimpanan suhu ruang, buah manggis tanpa pelilinan mempunyai laju konsumsi O2 dan produksi CO2 yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan

buah manggis terlapis lilin 3%,6%, dan 12%.

(20)

7

Saptiono (1997) membuktikan pelilinan dengan konsentrasi emulsi lilin 2% ternyata mampu memperpanjang umur simpan paprika sampai hari ke-24 (paling lama).

Pada penelitian ini, akan digunakan lilin lebah sebagai lili pelapis buah sawo. Lilin adalah ester dari asam lemak berantai panjang dengan alkohol monohidrat berantai panjang atau sterol (Bennett, 1964). Lilin lebah merupakan lilin alami komersial yang merupakan hasil sekresi dari lebah madu (Apis mellifica) atau lebah lainnya. Madu yang diekstrak dengan sentrifusi sisir madunya dapat digunakan lagi, sedangkan yang diekstrak dengan pengepresan mengakibatkan sarang lebah hancur. Sarang yang hancur dapat dijadikan lilin atau dapat dibuat untuk sarang baru. Hasil sisa pengepresan dan sarang yang hancur dicuci dan dikeringkan, kemudian dipanaskan sehingga menjadi lilin atau malam (Winarno, 1981).

Lilin lebah pada umumnya digunakan sebagai bahan kosmetik, bahan pembuat lilin bakar, dan industri pemeliharaan. Lilin ini berwarna putih kekuningan sampai coklat, titik cairnya 62.8-70 oC dan massa jenisnya 0.952-0.975 g/cm3. Lilin lebah banyak digunakan untuk pelilinan komoditas hortikultura karena mudah didapat dan murah, digunakan dalam industri obat dan kosmetik (Pantastico, 1986).

E. PENYIMPANAN SAWO

Penyimpanan buah-buahan dan sayur-sayuran segar memperpanjang daya gunanya dan dalam keadaan tertentu memperbaiki mutunya, selain itu juga menghindarkan banjirnya produk kepasa, memberikesempatan yang luas untuk memilih buah-buahan dan sayur-sayuran sepanjang tahun, membantu pemasaran yang teratur, meningkatkan keuntungan produsen, dan mempertahankan mutu produk-produk yang masih hidup. Tujuan utama penyimpanan adalah pengendalian laju transpirasi, respirasi, dan mempertahankan produkdalam bentuk yang paling berguna bagi konsumen (Pantastico, 1986).

Umur simpan dapat diperpanjang dengan pengendalian penyakit-penyakit pasca panen, pengaturan atmosfer, perlakuan kimiawi, penyinaran dan pendinginan. Sampai sekarang, pendinginan merupakan satu-satunya cara yang ekonomis untuk penyimpanan jangka panjang bagi buah-buahan dan sayuran segar, cara-cara lain untuk mengendalikan pematangan dan kerusakan, paling banyak hanya merupakan pelengkap bagi suhu yang rendah. Sesungguhnya, cara-cara lain untuk mempertahankan mutu tidak akan dapat berhasil dengan memuaskan tanpa pendinginan (Pantastico, 1986).

Untuk mendapatkan umur simpan sawo yang baik perlu dilakukan penyimpanan dingin, Kader, 2011) mengemukakan bahwa suhu optimum penyimpanan sawo adalah 14°C ± 1°C (58°F ± 2°F) dan berpotensi disimpan selama 2-4 minggu tergantung kultivar dan tingkat ketuaan. Penyimpanan pada suhu dibawah 5°C selama lebih dari 10 hari mengakibatkan chilling injury dengan ciri-ciri noda coklat-hitam pada kulit, gagal untuk matang,dan meningkatnya kebusukan jika dipindah ke suhu yang lebih tinggi.

Penyimpanan sawo kulon pada suhu 10°C berlangsung kurang dari 8 hari karena pada hari ke-8 sudah terjadi kerusakan akibat pendinginan dengan ciri terdapat bintik-bintik hitam pada kulit buah (Fatimah, 1996).

(21)

8

III.

METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai April 2011 di laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunanakan dalam penelitian ini adalah buah sawo (Achras zapota, L), kultivar Sukatali ST1 yang segar, dengan jumlah 8 butir/kg, tidak cacat ataupun luka, ukuran yang relatif seragam, dengan umur petik 180 hari setelah bunga mekar. Buah sawo yang digunakan diperoleh dari perkebunan di desa Sukatali, Sumedang, Jawa Barat. Bahan pembuatan emulsi lilin terdiri dari lilin lebah, asam oleat, trietanolamin, serta aquades. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan digital, gelas ukur, rak peniris, stoples kaca, rheometer tipe, dan refraktometer.

C. Prosedur Penelitian

1. Penelitian Pendahuluan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pembuatan emulsi lilin 12% sebagai larutan stock dan menentukan konsentrasi pelilinan untuk penelitian tahap selanjutnya, kisaran konsentrasi emulsi lilin yang digunakan adalah 0%, 2%, 4%, 6%, 8%, 10%, dan 12% (berat/volume).

Untuk mendapatkan emulsi lilin dengan konsentrasi yang diinginkan, dilakukan pengenceran emulsi lilin 12% (larutan stock) dengan air tidak sadah. Formulasi pengencerannya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 . Formulasi Pengenceran Emulsi Lilin

% Emulsi

Perbandingan

Emulsi lilin 12% (ml) Air (ml)

2% 1 5

4% 1 2

6% 1 1

8% 2 1

10% 5 1

Sumber : Balai Penelitian Hortikultura

(22)

9

dilakukan + 10 menit. Emulsi yang terbentuk kemudian didinginkan untuk digunakan lebih lanjut (Balai Penelitian Hortikultura, 1985).

2. Perlakuan dan Rancangan Percobaan

Perlakuan pada penelitian ini ada dua macam, yaitu konsentrasi pelilinan yang terdiri dari 4 taraf dan suhu penyimpanan yang terdiri dari dua taraf. Perlakuan konsentrasi pelilinan akan ditentukan dari hasil penelitian pendahuluan. Perlakuan suhu penyimpanan adalah pada suhu ruang dan suhu 15°C. Ulangan dilakukan sejumlah 3 kali. Skema tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 1/

gg

P

Gambar 1. Bagan alir pelilinan buah sawo. Mempersiapkan

buah sawo (20kg)

Pencucian

Menunggu hingga sawo kering (10

menit)

Pencelupan kedalam emulsi lilin konsentrasi 9%, 10%, dan 11% (30

detik), suhu 15°C

Diangin-anginkan hingga kering (5 menit)

Penyimpanan pada suhu ruang

(23)

10

3. Pengamatan

Parameter-parameter yang akan diamati selama penyimpanan meliputi susut bobot, kekerasan buah, total padatan terlarut, laju respirasi,serta uji organoleptik terhadap kesegaran, warna, aroma, kekerasan, serta rasa.

a. Susut Bobot

Susut bobot ditentukan dengan cara menimbang berat bahan pada hari ke-n dan membandingkannya dengan berat bahan pada hari pertama. Rumus yang digunakan untuk mengukur susut bobot pada hari ke-n adalah :

Susut bobot = a = Bobot awal buah sawo b = Bobot buah pada hari ke-n

b. Kekerasan

Pengukuran kekerasan pada setiap selang lama penyimpanan digunakan dengan alat rheometer pada tiga bagian buah, yaitu pada pangkal buah, bagian tengah, dan pada ujung buah. Data yang diperoleh merupakan hasil rata-rata dari ketiga data pengukuran tersebut.

c. Total Padatan Terlarut

Pengukuran total padatan terlarut dilakukan dengan cara mengambil sebagian cairan dari daging buah sawo dan kemudian diletakkan pada refraktometer. Cairan diambil dari tiga bagian buah, yaitu pada pangkal buah, bagian tengah dan pada ujung buah. Data yang diperoleh merupakan hasil rata-rata dari ketiga data pengukuran tersebut. Total padatan terlarut buah dinyatakan dalam satuan °Brix.

d. Laju Respirasi

Pengukuran laju respirasi buah sawo selama penyimpanan dilakukan dengan menggunakan alat cosmotector dengan cara memasukkan komoditas kedalam stoples dan ditutup rapat, antara tutup dengan stoples dilapisi malam demikian juga dengan kedua pipa yang ada di tutup stoples untuk menghindari kebocoran. Untuk mengukur konsentrasi gas dalam stoples, dibuat dua lubang dan dihubungkan dengan selang plastik untuk memudahkan pengukuran kandungan gas dalam wadah.

Pengukuran laju respirasi dilakukan dengan mengukur jumlah CO2 yang dihasilkan. Satuan yang digunakan ml/kg jam. Rumus yang digunakan untuk menghitung laju respirasi dari buah adalah sebagai berikut (Mannapperuma dan Singh, 1994) :

R =

R = Laju respirasi CO2 (ml/kg jam) V = Volume Bebas (ml)

(24)

11

dx = Perubahan Konsentrasi Gas CO2 dt = Perubahan Waktu (Jam)

e. Uji Organoleptik

Uji organoleptik dilakukan terhadap kesegaran, warna, aroma, kekerasan, dan rasa daging buah sawo selama penyimpanan. Pengujian dilakukan dengan mengambil beberapa panelis (10 orang) untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap parameter yang akan dianalisa dengan menggunakan skala hedonik. Penilaian berdasarkan criteria suka dan tidak suka dan kemudian dikonversikan dalam bentuk angka. Selang angka yang digunakan adalah sebagai berikut :

1 = Sangat tidak suka 2 = tidak suka 3 = kurang suka 4 = suka 5 = sangat suka

(25)

12

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian Pendahuluan

Pada penelitian ini dilakukan percobaan pembuatan emulsi lilin dan pelapisan lilin terhadap buah sawo dengan konsentrasi 0%, 2%,4%,6%,8%,10%, dan 12%. Pengamatan hanya dilakukan secara visual terhadap lama simpan masing-masing perlakuan pelilinan pada suhu ruang (25-31°C), sehingga dari penelitian pendahuluan ini akan ditentukan konsentrasi yang paling baik terhadap daya simpan buah sawo. Untuk menentukan lama simpan buah sawo ini yaitu dengan melihat parameter kesegaran dan warna dari buah sawo.

Hasil yang didapatkan pada penelitian ini adalah buah sawo dengan perlakuan konsentrasi emulsi lilin 10% mempunyai daya simpan yang paling baik, yaitu selama 5 hari. Untuk mengetahui pengaruhnya pada tingkat konsentrasi dibawah dan diatas 10%, maka penelitian selanjutnya menggunakan selang konsentrasi 9%, 10%, dan 11%. Selain itu juga digunakan buah sawo tanpa pelapisan lilin sebagai kontrol. Buah sawo selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 2, 3, 4 dan 5.

Kontrol Sawo dengan lapisan lilin 2%

Sawo dengan lapisan lilin 4% Sawo dengan lapisan lilin 6%

Sawo dengan lapisan lilin 8% Sawo dengan lapisan lilin 10%

(26)

13

Kontrol Sawo dengan lapisan lilin 2%

Sawo dengan lapisan lilin 4% Sawo dengan lapisan lilin 6%

Sawo dengan lapisan lilin 8% Sawo dengan lapisan lilin 10%

Sawo dengan lapisan lilin 12%

Gambar 3 . Sawo pada penyimpanan suhu ruang hari ke 2

Sawo dengan lapisan lilin 6% Sawo dengan lapisan lilin 8%

(27)

14

Gambar 5 . Sawo dengan konsentrasi pelapisan lilin 10% pada penyimpanan suhu ruang hari ke 5

B. Mutu Sawo Pada Berbagai Konsentrasi Pelilinan dan Suhu Penyimpanan

Pada penelitian ini dilakukan pelilinan buah sawo dengan konsentrasi 9%, 10%, dan 11%, serta buah sawo tanpa lapisan lilin sebagai kontrol. Secara umum, Setiap penurunan suhu 100 C akan mengurangi laju reaksi kerusakan bahan pangan setengah kalinya. Untuk mengetahui perbedaan umur simpan buah sawo pada tingkat suhu yang lebih rendah, maka dilakukan juga pelilinan dan pengukuran laju respirasi, kekerasan, susut bobot, total padatan terlarut, serta organoleptik pada buah sawo di suhu ruang dan 15°C.

1. Laju Respirasi Suhu Ruang dan 15°C

Laju respirasi merupakan petunjuk yang baik untuk daya simpan buah sesudah dipanen. Intensitas respirasi dianggap sebagai ukuran laju jalannya metabolism oleh karena itusering dianggap petunjuk mengenai potensi daya simpan buah. Laju respirasi yang tinggi biasanya disertai oleh umur simpan pendek (Pantastico, 1986)

Laju respirasi dihitung dari perubahan konsentrasi CO2 dan O2 pada dua suhu yang berbeda, yaitu suhu ruang dan suhu 15°C dan suhu ruang dengan satuan ml/kg/ jam. Berdasarkan pengukuran, diperoleh laju produksi CO2 dan laju konsumsi O2 berbeda. Perubahan laju produksi CO2 dan laju konsumsi O2 buah sawo suhu ruang dan 15C dapat dilihat pada Gambar 6 dan 7 dan tabel pada Lampiran 1 dan 2.

Gambar 6. Laju produksi CO2 buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin sebagai kontrol) pada suhu ruang.

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22

1 2 3 4 5

(28)

15

Gambar 7. Laju Konsumsi O2 buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu ruang.

Pada Gambar 6 dan Gambar 7, dapat dilihat buah sawo dengan pelilinan 10% dan 11% mempunyai umur simpan yang lebih lama dibandingkan dengan buah sawo kontrol dan buah sawo dengan pelilinan 9% dan kontrol, yaitu selama 5 hari. Hal ini diakibatkan oleh laju respirasi yang lebih rendah. Pada pelilinan konsentrasi pelilinan 11% memiliki rata-rata laju respirasi terendah yaitu 8.37 mlCO2/kg/jam dan 5.29 mlO2/kg/jam dibandingkan dengan konsentrasi pelilinan 10% yaitu 9.83

mlCO2/kg/jam dan 6.42 mlO2/kg/jam, buah sawo kontrol 12.82 mlCO2/kg/jam dan 7.73 mlO2/kg/jam,

serta buah sawo dengan pelilinan 9% 13.25 mlCO2/kg/jam dan 7.95 mlO2/kg/jam.

Gambar 8. Laju produksi CO2 buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu 15C.

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22

1 2 3 4 5

La ju k o n su m si O 2 (m l O 2 /k g ja m ) Penyimpanan (Hari) kontrol lilin 9% lilin 10% lilin 11% 0 1 2 3 4 5 6 7

0 2 4 6 8 10 12

(29)

16

Gambar 9. Laju Konsumsi O2 buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu 15C

Pada grafik Gambar 8 dan 9, dapat dilihat bahwa buah sawo dengan konsentrasi pelilinan sebesar 9% memiliki umur simpan yang lebih lama dibandingkan dengan buah sawo dengan buah sawo kontrol, dengan pelapisan lilin 10%, serta buah sawo dengan pelapisan lilin 11%. Hal ini juga disebabkan karena buah sawo dengan pelilinan 9% memiliki laju respirasi yang lebih rendah dibandingkan dengan buah sawo kontrol, pelilinan 10%, dan pelilinan 11%. Konsentrasi pelilinan 9% menghasilkan rata-rata laju respirasi terendah, yaitu sebesar 3.07 mlCO2/kg/jam dan 2.83

mlO2/kg/jam, pada konsentrasi pelilinan 10% yaitu 3.18 mlCO2/kg/jam dan 2.75 mlO2/kg/jam, buah

sawo kontrol 3.74 mlCO2/kg/jam dan 2.93 mlO2/kg/jam, serta pada buah sawo dengan pelilinan 11%

4.09 mlCO2/kg/jam dan 3.22 mlO2/kg/jam.

Faktor-faktor yang mempengaruhi respirasi ada dua: faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi tingkat perkembangan, susunan kimia jaringan, ukuran produk, pelapis alami dan jenis jaringan. Sedangkan faktor eksternal antara lain suhu, etilen, O2 yang tersedia, zat-zat pengatur

pertumbuhan dan kerusakan buah (Pantastico, 1986). Dari hasil penelitian, terlihat bahwa pelapisan lilin lebih menghambat laju respirasi buah sawo dibandingkan kontrol, hanya saja suhu penyimpanan, mempengaruhi ketebalan lilin yang digunakan untuk mencapai umur simpan yang optimal. Pada suhu ruang umur simpan maksimum yang dapat dicapai adalah selama 5 hari, sedangkan pada suhu 15°C umur simpan maksimum yang dapat dicapai adalah selama 11 hari.

2. Susut Bobot

Selama penyimpanan pada suhu ruang dan suhu 15°C, presentase susut bobot yang dialami oleh buah sawo dengan perlakuan pelapisan lilin lebih rendah dibandingkan dengan buah sawo tanpa pelapisan lilin. Pada buah sawo dengan pelapisan lilin, jumlah air yang hilang dalam proses transpirasi lebih sedikit, karena sebagian pori-pori kulit buah tertutup oleh lilin. Sedangkan pada buah sawo tanpa pelapisan lilin, pori-pori terbuka sehingga jumlah air yang hilang lebih banyak. Menurut (kader, 1992), kehilangan air ini tidak saja berpengaruh langsung terhadap kehilangan kuantitatif (susut bobot), tetapi juga menyebabkan kerusakan tekstur (kelunakan, kelembekan), kerusakan kandungan gizi, dan kerusakan lain (kelayuan, pengerutan). Pengukuran susut bobot dilakukan sebanyak tiga kali

0 1 2 3 4 5 6 7

0 2 4 6 8 10 12

(30)

17

pengulangan. Data yang didapat dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4, dan disajikan pada Gambar 10 dan 11.

Gambar 10. Susut bobot buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu ruang.

Gambar 11. Susut bobot buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu 15°C

Dari hasil uji analisis sidik ragam diperoleh bahwa konsentrasi pelapisan lilin dan suhu penyimpanan, yang diujikan berpengaruh nyata terhadap susut bobot, namun interaksi antara suhu dan konsentrasi pelilinan tidak berpengaruh nyata pada susut bobot. Uji analisis sidik ragam susut bobot buah sawo pada suhu ruang dan 15°C dapat dilihat pada Lampiran 9. Dari grafik susut bobot buah sawo yang disimpan pada suhu ruang, terlihat bahwa buah sawo dengan konsentrasi 11% memiliki susut bobot paling rendah, lalu diikuti dengan buah sawo dengan konsentrasi 10% dan konsentrasi 9%, dan buah sawo kontrol memiliki susut bobot paling tinggi. Pada grafik susut bobor buah sawo

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26

2 4 6

S u su t B o b o t (g /1 0 0 g ) Penyimpanan (Hari)

Kontrol lilin 9% lilin 10% lilin 11%

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26

2 4 6 8 10 12

S u su t B o b o t (g/1 0 0 g) Penyimpanan (Hari)

(31)

18

dengan suhu penyimpanan 15°C, susut bobot paling rendah dialami oleh buah sawo dengan konsentrasi 10%, lalu diikuti dengan buah sawo dengan konsentrasi 9%, dan 11%, dan buah sawo kontrol memiliki tingkat susut bobot paling tinggi.

3. Kekerasan

[image:31.595.137.492.231.456.2]

Salah satu perubahan pada penyimpanan buah-buahan dan sayur-sayuran adalah menjadi lunaknya jaringan buah dan sayuran tersebut. Pada suhu ruang buah sawo yang diberi perlakuan pelapisan lilin mengalami perubahan kekerasan yang lebih rendah disbanding yang tanpa pelapisan lilin (buah kontrol). Perubahan kekerasan buah sawo selama penyimpanan pada suhu ruang dan 15°C dapat dilihat pada Lampiran 5 dan 6, serta dapat diamati pada Gambar 12 dan 13.

Gambar 12. Perubahan kekerasan buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) selama penyimpanan pada suhu ruang.

Dari Gambar 12 dapat dilihat bahwa kekerasan terendah yaitu buah sawo kontrol, diikuti dengan sawo dengan perlakuan pelapisan lilin 9% dan perlakuan sawo 11%, hingga kekerasan tertinggi adalah sawo yang diberi perlakuan pelapisan lilin 10%. Namun, dari hasil uji statistik, menunjukan bahwa konsentrasi lilin dan suhu penyimpanan tidak berpengaruh nyata terhadap kekerasan buah sawo, begitupula dengan interaksi antara suhu dan konsentrasi pelilinan tidak berpengaruh nyata pada kekerasan buah sawo. Uji analisis sidik ragam kekerasan buah sawo pada suhu ruang dapat dilihat pada Lampiran 10.

Pada suhu 15°C perlakuan pelapisan lilin pada buah sawo memberikan hasil yang berbeda dengan penyimpanan buah sawo pada suhu ruang. Grafik kekerasan buah sawo dengan pelilinan dan kontrol yang disimpan pada suhu 15°C dapat dilihat pada gambar 13.

0 1 2 3 4 5 6

0 1 2 3 4 5 6 7

Kek

e

ra

sa

n

(N

e

w

to

n

)

Penyimpanan (Hari)

(32)
[image:32.595.120.521.90.273.2]

19

Gambar 13. Perubahan kekerasan buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) selama penyimpanan pada suhu 15°C

Pada Gambar 13, dapat dilihat bahwa dari hari ke 0 sampai hari ke 2, buah sawo dengan perlakuan pelapisan lilin 9% memiliki tingkat kekerasan yang lebih tinggi daripada ketiga perlakuan buah sawo lainnya, namun pada hari berikutnya, buah sawo dengan perlakuan pelilinan 9% nilai kekerasannya terus menurun hingga hari ke 5, sedangkan pada buah sawo kontrol, pada hari ke 5 nilainya cenderung naik. Hal ini diakibatkan oleh buah sawo kontrol pada hari ke 5 telah mengalami pengeriputan kulit luar, sehingga terjadi peningkatan nilai kekerasan.

4. Total Padatan Terlarut

Selama penyimpanan buah sawo, selain terjadinya perubahan fisik, juga terjadi perubahan non fisik. Perubahan non fisik tersebeut terutama pada rasa manis daging buahnya yang dapat ditunjukkan melalui total padatan terlarut. Perubahan total padatan terlarut buah sawo selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 14 dan 15 serta pada Lampiran 7 dan 8.

Uji statistik dengan analisis sidik ragam dapat dilihat pada Lampiran 11. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa secara umum konsentrasi lilin dan suhu penyimpanan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar total padatan terlarut buah sawo pada tiap tahap penyimpanan. Hal ini menunjukkan bahwa semua perlakuan konsentrasi lilin dan suhu penyimpanan memiliki nilai total padatan terlarut yang tidak jauh berbeda, begitupula dengan interaksi antara suhu dan konsentrasi pelilinan tidak berpengaruh nyata pada total padatan terlarut buah sawo.

0 1 2 3 4 5 6

0 2 4 6 8 10 12 14

Kek

e

ra

sa

n

(N

e

w

to

n

)

Penyimpanan (Hari)

(33)
[image:33.595.131.509.89.318.2]

20

Gambar 14. Total padatan terlarut buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) selama penyimpanan pada suhu ruang.

Gambar 15. Total padatan terlarut sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu 15°C

5. Organoleptik

Uji Organoleptik akan sangat relatif hasilnya karena setiap orang mempunyai kepekaan indra yang berbeda-beda terutama jika panelisnya tidak terlatih khusus untuk keperluan ini (Winarno, 1973). Uji Organoleptik yang dilakukan adalah uji organoleptik warna, aroma, kekerasan, rasa, dan organoleptik keseluruhan (total organoleptik).

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

0 1 2 3 4 5 6 7 8

T o ta l p a d a ta n t e rl a ru t (% B ri x ) Penyimpanan (Hari) kontrol lilin 9% lilin 10% lilin 11% 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

0 2 4 6 8 10 12 14

[image:33.595.124.514.372.572.2]
(34)

21

a. Warna

[image:34.595.120.512.168.374.2]

Warna merupakan salah satu parameter pembelian yang dapat dikenali oleh panelis, sehingga berpengaruh dalam pengambilan keputusan untuk membeli. Tingkat kesukaan panelis terhadap warna buah sawo selama penyimpanan menunjukkan nilai yang berbeda-beda untuk setiap perlakuan.

Gambar 16. Nilai organoleptik warna buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu ruang.

Perubahan nilai kesukaan terhadap warna buah sawo dapat dilihat pada Gambar 16 dan 17. Dari kedua grafik dapat dilihat bahwa secara umum, buah sawo kontrol memiliki nilai organoleptik warna yang paling rendah dibandingkan sawo yang xdilapisi lilin dengan konsentrasi 9%, 10%, dan 11%.

Gambar 17. Nilai organoleptik warna buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu 15°C

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0

0 1 2 3 4 5 6 7

N il a i O rg a n o le p ti k W a rn a Penyimpanan (Hari) Kontrol lilin 9% lilin 10% lilin 11% 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0

0 2 4 6 8 10 12 14

(35)

22

Pada Gambar 16, dapat dilihat buah sawo kontrol mempunyai nilai organoleptik warna yang cenderung menurun dimulai hari ke 2, sedangkan untuk buah sawo pada konsentrasi lainnya mempunyai nilai organoleptik cenderung meningkat dimulai dari hari ke 2, mungkin ini disebabkan karena palilinan pada buah sawo yang mempertahankan warna buah sawo sehingga dapat tetap disukai konsumen. Buah sawo yang terlihat konsisten berada diantara nilai 3.50-4.49 adalah sawo dengan pelapisan lilin 10%, yang berarti panelis suka terhadap warna buah sawo hingga hari ke 6. Namun, pada buah sawo dengan konsentrasi pelilinan 9% dan 11%, terjadi penurunan yang cukup tajam dimulai dari hari ke 0, dan mengalami kenaikan pada hari ke 2 hingga hari ke 6. Secara keseluruhan, nilai organoleptik buah sawo pada penyimpanan suhu ruang dengan hanya konsentrasi 10% memiliki nilai organoleptik warna yang konsistern berada diatas 3.50-4.49, artinya, panelis suka hingga hari ke 6.

Pada Gambar 17, dapat dilihat buah sawo kontrol mempunyai nilai organoleptik yang cenderung menurun dari hari ke 0 hingga hari ke 10, dan buah sawo yang paling stabil berada pada selang suka dengan nilai organoleptik warna antara 3.50-4.49 adalah buah sawo dengan pelilinan konsentrasi 10%, namun pada hari ke 10 telah kurang disukai oleh panelis. Pada buah sawo dengan konsentrasi pelilinan 11%, terlihat terus mengalami penurunan dan mulai kurang disenangi panelis pada hari ke 8. Buah sawo dengan konsentrasi pelilinan 9% masih diterima oleh konsumen hingga hari ke 10, namun pada hari ke 6 dan 8 kurang disukai oleh panelis, mungkin hal ini disebabkan terbatasnya sensitivitas indrawi dari panelis yang melaksanakan uji organoleptik ini.

Analisis statistik yang digunakan adalah metode Kruskal Wallis yang menyatakan bahwa pelilinan terhadap perubahan warna pada buah sawo selama penyimpanan suhu ruang berpengangaruh nyata pada hari ke 2 dan hari ke 4, sedangkan pada buah sawo yang disimpan pada suhu 15°C, berpengaruh nyata pada hari ke 8, 10, dan 12. Hasil analisis metode Kruskall Wallis perubahan warna buah sawo selama penyimpanan suhu ruang dan 15°C dapat dilihat pada Lampiran 12 dan 13..

b. Aroma

(36)
[image:36.595.131.505.91.305.2]

23

Gambar 18. Organoleptik aroma buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu ruang.

Gambar 19. Organoleptik aroma buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu 15°C.

Pada Gambar 18 pelilinan buah sawo dengan penyimpanan suhu ruang, buah kontrol dan buah sawo dengan konsentrasi pelilinan 10% terlihat mempunyai nilai organoleptik yang meningkat hingga hari ke dua lalu cenderung menurun panelis hingga hari ke 6. Pada Gambar 19, nilai organoleptik warna secara keseluruhan tidak begitu tinggi, secara umum hanya pada selang nilai 2.60-3.49 yaitu kurang disukai oleh panelis, mungkin hal ini karena efek dari perlakuan pelilinan dan pendinginan, sehingga aroma buah sawo tidak begitu terasa secara indrawi oleh panelis.

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0

0 1 2 3 4 5 6 7

N il a i O rg a n o le p ti k A ro m a Penyimpanan (Hari) Kontrol lilin 9% lilin 10% lilin 11% 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0

0 2 4 6 8 10 12 14

[image:36.595.126.522.367.585.2]
(37)

24

c. Kekerasan

[image:37.595.94.519.45.837.2]

Perubahan nilai kesukaan kekerasan buah sawo dapat dilihat pada Gambar 20 dan 21. Analisis statistik yang digunakan adalah metode Kruskal Wallis yang menyatakan bahwa pelilinan terhadap perubahan kekerasan pada buah sawo selama penyimpanan suhu ruang berpengaruh nyata pada hari ke 2 sampai hari ke 6, sedangkan pada buah sawo yang disimpan pada suhu 15°C, berpengaruh nyata pada hari ke 12. Hasil analisis metode Kruskall Wallis perubahan warna buah sawo selama penyimpanan suhu ruang dan 15°C dapat dilihat pada Lampiran 16 dan Lampiran 17.

Gambar 20. Nilai organoleptik kekerasan buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu ruang.

Gambar 21. Nilai organoleptik kekerasan buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu 15°C.

Pada Gambar 20, secara umum dapat dilihat bahwa buah sawo kontrol dan buah sawo dengan konsentrasi pelilinan 11% memiliki nilai organoleptik yang disukai panelis hingga hari ke 5,

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0

0 1 2 3 4 5 6 7

N il a i O rg a n o le p ti k K e k e ra s a n Penyimpanan (Hari) Kontrol lilin 9% lilin 10% lilin 11% 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0

0 2 4 6 8 10 12 14

(38)

25

namun telah kurang disukai oleh penelis hingga hari ke 6, buah sawo pada konsentrasi pelilinan 10%, telah kurang disukai oleh panelis pada hari ke 4, sedangkan buah sawo yang tetap disukai panelis hingga hari ke 6 adalah buah sawo dengan konsentrasi pelilinan 9%.

Pada Gambar 21, nilai organoleptik kekerasan secara umum cenderung meningkat dari hari ke 0, hari ke 2, hingga hari ke 4, hal ini mungkin disebabkan oleh karena buah sawo pada hari ke 0 dan hari ke 2, belum mencapai tingkat kematangan yang maksimal, terlalu keras sehingga panelis memberi nilai organoleptik yang rendah, namun pada hari ke 4, secara umum sudah dapat dilihat peningkatan nilai organoleptik dari masing-masing konsentrasi. Hingga hari ke 11 buah sawo dengan konsentrasi pelilinan 9% masih disukai oleh konsumen (dalam selang nilai organoleptik 3.50-4.49).

d.Rasa

Rasa merupakan parameter konsumsi yang sangat berpengaruh pada tingkat kesukaan panelis ketika mengkonsumsi produk. Tingkat kesukaan panelis terhadap rasa buah sawo selama penyimpanan menunjukkan nilai yang berbeda-beda untuk setiap perlakuan. Perubahan nilai kesukaan terhadap rasa buah sawo selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 22 dan 23..

Gambar 22. Nilai organoleptik rasa buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu ruang.

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0

0 1 2 3 4 5 6 7

N

il

a

i

O

rg

a

n

o

le

p

ti

k

R

a

s

a

Penyimpanan (Hari)

(39)

26

Gambar 23. Nilai organoleptik rasa buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu 15°C.

Pada Gambar 22 dapat dilihat secara umum, sawo kontrol dan sawo dengan konsentrasi pelilinan 9% memiliki nilai organoleptik rasa yang terus meningkat dimulai dari hari ke 0 hingga tetap disukai oleh panelis sampai pada hari ke 6, pada sawo dengan pelilinan 10% nilai organoleptik rasa mulai kurang disukai oleh panelis pada hari ke 4, sedangkan buah sawo dengan konsentrasi pelilinan 11% disukai oleh panelis sampai hari ke 5.

Pada Gambar 23, sawo kontrol dan sawo dengan konsentrasi pelilinan 9% memiliki nilai organoleptik rasa yang meningkat dihari kedua, sedangkan pada buah sawo dengan konsentrasi pelilinan 10% dan 11% mulai meningkat pada hari ke 4, hal ini mungkin saja disebabkan buah sawo dkontrol dan dengan konsentrasi pelilinan 9% lebih dahulu mencapai tingkat kematangan dibandingkan dengan sawo pada konsentrasi lapisan lilin 10% dan 11%. Pada hari ke 10, hanya sawo dengan konsentrasi 10% dan 11% memiliki nilai organoleptik yang disukai oleh panelis.

Analisis statistik yang digunakan adalah metode Kruskal Wallis yang menyatakan bahwa pelilinan terhadap perubahan rasa pada buah sawo selama penyimpanan suhu ruang berpengaruh nyata pada hari ke 2, sedangkan pada buah sawo yang disimpan pada suhu 15°C, berpengaruh nyata pada hari ke 8 dan 12. Hasil analisis metode Kruskall Wallis perubahan rasa buah sawo selama penyimpanan suhu ruang dan 15°C dapat dilihat pada Lampiran 18 dan Lampiran 19.

e. Total Organoleptik

Perubahan nilai total organoleptik buah sawo dapat dilihat pada Gambar 24 dan 25. Pada penyimpanan buah sawo suhu 15°C, tingkat kesukaan panelis terhadap buah sawo kontrol selama penyimpanan cenderung menurun lebih cepat dibandingkan perlakuan lain. Secara umum pada grafik dapat dilihat bahwa buah sawo kontrol memiliki nilai organoleptik terendah baik pada suhu ruang, maupun pada suhu 15°C.

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0

0 2 4 6 8 10 12 14

(40)

27

[image:40.595.133.505.94.296.2]

Gambar 24. Total organoleptik buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu ruang.

Gambar 25. Total organoleptik buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin (sebagai kontrol) pada suhu 15°C

Pada Gambar 25 dapat dilihat bahwa nilai total organoleptik pada pelilinan dengan konsentrasi 11% meningkat setelah hari ke 6, hal ini mungkin disebabkan karena pada hari ke 6, sawo dengan konsentrasi lapisan lilin 11% baru saja mencapai tahap kematangan yang mengakibatkan penilaian panelis secara keseluruhan memberikan nilai yang tinggi untuk sawo dengan kosentrasi pelapisan lilin 11%. Sedangkan untuk konsentrasi lilin lainnya, tingkat kematangan terjadi setelah hari ke 2, setelah itu, nilai yang diberikan panelis terhadap organoleptik keseluruhan cenderung menurun..

Analisis statistik yang digunakan adalah metode Kruskal Wallis yang menyatakan bahwa pelilinan terhadap perubahan total organoleptik pada buah sawo selama penyimpanan suhu ruang berpengaruh nyata pada hari ke 6, sedangkan pada buah sawo yang disimpan pada suhu 15°C, berpengaruh nyata pada hari ke 10 dan 12. Hasil analisis metode Kruskall Wallis perubahan total organoleptik buah sawo selama penyimpanan suhu ruang dan 15°C dapat dilihat pada Lampiran 20 dan Lampiran 21. Berikut ini ditampilkan gambar buah sawo selama penyimpanan suhu ruang dan

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0

0 1 2 3 4 5 6 7

N il a i O rg a n o le p ti k T o ta l Penyimpanan (Hari) Kontrol lilin 9% lilin 10% lilin 11% 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0

0 2 4 6 8 10 12 14

(41)

28

suhu 15°C, pada Gambar 25 dan 26. Perhitungan biaya pelilinan buah sawo utuh/kg dapat dilihat pada lampiran 22.

Kontrol Dengan Pelapisan Lilin 9%

Hari

ke 0

Hari ke 1

Hari

ke 2

Hari

(42)

29

Hari ke 4

Hari ke 5

Hari

ke 6

Dengan pelapisan lilin 10% Dengan pelapisan lilin 11%

Hari

(43)

30

Hari ke 1

Hari

ke 2

Hari

ke 3

(44)

31

Hari ke 5

Hari

[image:44.595.126.516.83.341.2]

ke 6

Gambar 26. Buah sawo pada penyimpanan suhu ruang

Kontrol Dengan pelapisan lilin 9%

Hari

ke 0

Hari

(45)

32

Hari ke 4

Hari

ke 6

Hari ke 8

Hari

(46)

33

Dengan pelapisan lilin 10% Dengan pelapisan lilin 11%

Hari ke 0

Hari ke 2

Hari

ke 4

(47)

34

Hari ke 8

[image:47.595.116.522.82.355.2]

Hari ke 11

(48)

35

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN

1. Pengingkatan konsentrasi lilin pada suhu ruang, menghasilkan penurunan laju respirasi sebesar 4.45 mlCO2/kg/jam dan 2.44 mlO2/kg/jam. Pada suhu 15°C penurunan laju respirasi

sebesar 1.02 mlCO2/kg/jam dan 0.39 mlO2/kg/jam.

2. Suhu penyimpanan pada suhu 15°C mampu menekan laju respirasi dari 12.82 mlCO2/kg/jam

dan 7.73 mlO2/kg/jam menjadi 3.74 mlCO2/kg/jam dan 2.93 mlO2/kg/jam.

3. Pada suhu ruang konsentrasi pelilinan 11% memiliki rata-rata laju respirasi terendah yaitu 8.37 mlCO2/kg/jam dan 5.29 mlO2/kg/jam dibandingkan dengan konsentrasi pelilinan 10%

yaitu 9.83 mlCO2/kg/jam dan 6.42 mlO2/kg/jam, buah sawo kontrol 12.82 mlCO2/kg/jam dan

7.73 mlO2/kg/jam , serta buah sawo dengan pelilinan 9% 13.25 mlCO2/kg/jam dan

7.95mlO2/kg.

4. Pada suhu 15°C konsentrasi pelilinan 9% menghasilkan rata-rata laju respirasi terendah, yaitu sebesar 3.07 mlCO2/kg/jam dan 2.83 mlO2/kg/jam, pada konsentrasi pelilinan 10% yaitu 3.18

mlCO2/kg/jam dan 2.75 mlO2/kg/jam, buah sawo kontrol 3.74 mlCO2/kg/jam dan 2.93

mlO2/kg/jam, serta pada buah sawo dengan pelilinan 11% 4.09 mlCO2/kg/jam dan 3.22

mlO2/kg/jam.

5. Berdasarkan perbandingan laju respirasi, susut bobot, kekerasan, total padatan terlarut, dan pengamatan secara visual konsentrasi pelilinan yang paling baik dibandingkan perlakuan lain. untuk penyimpanan suhu ruang adalah 11% dan pada suhu 15°C adalah 9%.

6. Pada suhu ruang konsentrasi pelilinan 11% memiliki susut bobot yang paling rendah dengan susut bobot selama 6 hari penyimpanan adalah 33.06 g/100g, pada konsentrasi 10% susut bobot selama 6 hari penyimpanan adalah 36.78 g/100g, pada konsentrasi 9% sebesar 45.49 g/100g, dan buah sawo kontrol dengan susut bobot 75.59 g/100g.

7. Pada suhu 15°C susut bobot yang paling rendah adalah buah sawo dengan pelapisan 10% dengan susut bobot selama 10 hari penyimpanan adalah 16.28 g/100g, pada konsentrasi 9% susut bobot selama 10 hari adalah 22.04 g/100g, pada konsentrasi 11% 34.24 g/100g, dan buah sawo kontrol dengan susut bobot 49.04 g/100g.

8. Umur simpan buah sawo dengan mutu yang dapat diterima oleh konsumen pada suhu ruang adalah 6 hari dengan konsentrasi pelilinan 11% dan umur simpan buah sawo dengan mutu yang dapat diterima oleh konsumen pada suhu 15°C adalah 10 hari dengan konsentrasi lapisan lilin 11%

B. SARAN

1. Untuk pengelolaan pasca panen buah sawo kultivar Sukatali ST1 dengan penyimpanan suhu ruang, sebaiknya dilakukan pelilinan dengan konsentrasi lilin 11%, namun untuk penyimpanan dengan suhu 15°C, sebaiknya pelilinan dilakukan dengan kosentrasi lilin 9%. 2. Perlu dilakukan penelitian dengan bahan pelapis lain selain bahan lilin lebah, seperti lilin

(49)

36

DAFTAR PUSTAKA

Ashari, S. 2006. Meningkatkan Keunggulan Buah Tropis. Malang : Penerbit Andi Biro Pusat Statistik. 1993. Produksi buah-buahan di Indonesia. Jakarta : Penerbit BPS

Fatimah, N. 1996. Pengaruh pelapisan Lilin dan Lama penyimpanan Terhadap Sifat Fisik Sawo

(Achras zapota, L.) Pada Suhu Ruang dan Suhu Dingin. [skripsi]. Bogor. Fakultas Teknologi

Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Kader .2011. . Sapotes : (Sapodilla & Mamey Sapote) Recommendations for .Maintaining Postharves Quality). University of California.http://postharvest.ucdavis.edu/PFfruits/Sapotes/?email=yes . (25 Juli 2011).

Seftina, Heppy .2002. Pengaruh pelapisan Lilin dan Lama penyimpanan Terhadap Kualitas Buah Belimbing (Averrhoa carambola, L.) Pada Penyimpanan Suhu Ruang.[skripsi]. Bogor.: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Muchtadi. 1992 Fisiologi Pasca Panen Sanyuran dan Buah-Buahan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian. Bogor.Bogor.

Nurcahyo E M, Setyowati R N. 1993. Menanam Sawo di Pot dan di Kebun. Penebar Swadaya.Jakarta. Pantastico E B. 1986. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan, dan Pemanfaatan Buah-buahan dan Sayur

sayuran Tropika dan Subtropika. Penerjemah Kamariyani. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Riza, I.D .2004. Kajian Pelilinan dalam Penyimpanan Buah Manggis Segar (Garcinia mangostalana L).[skripsi]. Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Rufiarti, R.K.1990. Pengaruh Pelapiasan Lilin Terhadap Daya Tahan Simpan Mangga (Mangifera

indica L).[skripsi]. Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Saptiono, Uji .1997. Kajian Pengaruh Pelilinan Terhadap Sifat-Sifat Fisikokimia Buah Paprika (

Capsium frutescens, L var. esculentum) Selama Penyimpanan.[skripsi]. Bogor. Fakultas

Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Satuhu, S. 2004. Penanganan dan Pengolahan Buah. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sosrodiharjo. 1985. Pengaruh Kalsium dalam Menghambat Proses Kematangan Buah Sawo. Bull. LPH Pasarminggu, Jakarta.

Sumoprastowo, R.M. 2000. Memilih dan Menyimpan Sayur Mayur, Buah- buahan, dan Bahan Makanan. Bumi Aksara. Bogor.

Sunarjono, H. 1998. Prospek Berkebun Buah. Penebar Swadaya. Jakarta.

Ulhayat, L.A.2008. Pengendalian Pematangan Buah Sawo (Achras Zapota, L) Varietas Sukatali ST1 dengan Berbagai Konsentrasi dan Lama Perlakuan Pemberian Etilen [skripsi]. Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Verheij, E dan Coronel, R.E. 1997. Sumberdaya Nabati Asia Tenggara 2 Buah buahan yang dapat dimakan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Waspodo, M. 1985. Mempelajari Ketahanan Simpan Buah Sawo (Achras zapota) masak pada berbagai suhu. Sub BPPHP Pasarminggu. Jakarta.

(50)

37

Lampiran 1. Tabel laju respirasi pada buah sawo selama penyimpanan suhu ruang.

waktu (hari)

Laju respirasi (ml/kg/jam)

Kontrol 9% 10% 11%

O2 CO2 O2 CO2 O2 CO2 O2 CO2

1 8.99 10.99 11.22 14.22 6.48 11.37 3.83 10.06 2 11.05 16.59 11.32 17.63 7.57 10.44 7.58 10.77 3 8.99 16.59 8.92 18.03 13.32 19.34 10.87 16.22 4 1.87 7.08 0.37 3.13 1.73 6.61 3.65 4.49

5 3.01 1.42 0.55 0.35

Lampiran 2. Tabel laju respirasi buah sawo selama penyimpanan suhu 15°C Laju respirasi (ml/kg/jam)

waktu

(hari) Kontrol

waktu (hari) 9%

waktu (hari) 10%

waktu

(hari) 11%

O2 CO2 O2 CO2 O2 CO2 O2 CO2

1 4.65 5.53 1 4.53 4.02 1 2.55 3.

Gambar

Gambar 12. Perubahan kekerasan buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin
Gambar 13. Perubahan kekerasan buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin       (sebagai kontrol) selama penyimpanan pada suhu 15°C
Gambar 14. Total padatan terlarut buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan lilin       (sebagai kontrol) selama penyimpanan pada suhu ruang
Gambar 16. Nilai organoleptik warna buah sawo dengan pelapisan lilin dan tanpa pelapisan
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Berdasarkan kadar amonia yang terdapat dalam lateks pekat kita mengenal : Lateks pekat amonia rendah ( Low Ammonia ) adalah lateks pekat yang mengandung

Berdasarkan informasi dan data tersebut, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan terjadinya persepsi pasangan usia subur tentang

Pada sebuah penelitian disebutkan bahwa kebersihan mulut yang jelek berisiko 2,3 kali menderita kanker rongga mulut, dalam penelitian tersebut yang

pola retak yang terjadi. Retak pada beton beralih/terjadi ke posisi yang tidak ada perkuatan GFRP. Hal tersebut membuat beton bertambah kedaktailanya. Dilihat dari pola

Hasil yang diperoleh dari penelitian dengan pengaruh C/N ratio berbeda terhadap efesiensi pemanfaatan pakan dan pertumbuhan udang windu ( Penaeus monodon ) pada media bioflok

‘You look up,’ continued the Doctor, ‘you see in front of you the very thing you came here to get, the micro-circuit!’ Barbara rose and looked into the broken cabinet..

kemerosotan  karena  usia,  sering  diimbangi  oleh   keunggulan  karena