• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Petani Sayuran dalam Penggunaan Pestisida di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Petani Sayuran dalam Penggunaan Pestisida di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

P

PETAN

DI KECA

PENGET

NI SAYUR

AMATAN

DEPA

IN

TAHUAN

RAN DAL

N BATUR

NA

ARTEMEN FAKULT STITUT P

, SIKAP,

LAM PEN

R, KABUP

ADHIRO

N PROTEK TAS PER PERTANI

BOGOR 2013

DAN TIN

NGGUNA

PATEN B

OH

KSI TANA TANIAN IAN BOGO

NDAKAN

AAN PES

BANJARN

AMAN

OR

N

STISIDA

(2)

ABSTRAK

NADHIROH. Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Petani Sayuran dalam Penggunaan Pestisida di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara. Dibimbing oleh DADANG dan ALI NURMANSYAH.

Penggunaan pestisida pada tanaman sayuran umumnya dilakukan secara intensif. Salah satu cara menekan penggunaan pestisida adalah dengan menerapkan pengendalian hama terpadu (PHT), yang diperkenalkan oleh pemerintah kepada petani melalui sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SLPHT). Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi perbedaan pengetahuan, sikap, dan tindakan antara petani SLPHT dan non SLPHT dalam penggunaan pestisida, serta hubunganya dengan karakteristik petani. Data penelitian diperoleh langsung dengan cara wawancara menggunakan kuesioner terstruktur di tujuh desa di Kecamatan Batur, dengan 105 petani SLPHT dan 105 petani non SLPHT, pada bulan Februari hingga April 2013. Data kemudian diolah menggunakan uji Mann-Withney dan khi-kuadrat. Hasil uji menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara pengetahuan, sikap, dan tindakan petani SLPHT dan non SLPHT, dan memiliki hubungan satu sama lain. Pengetahuan dan sikap petani non SLPHT, serta sikap petani SLPHT memiliki hubungan dengan pendidikan petani, sedangkan tindakan petani SLPHT memiliki hubungan dengan status kepemilikan lahan dan penghasilan total.

Kata kunci: PHT, SLPHT, non SLPHT

ABSTRACT

NADHIROH. Vegetable Farmer’s Knowledge, Attitude, and Practice in Using Pesticides in the District of Batur, Banjarnegara Regency. Under supervised by DADANG and ALI NURMANSYAH.

The use of pesticides in vegetables is done intensively. One strategy in order to reduce the use of pesticides is by implementation of the concept of Integrated Pest Management (IPM) which it has been introduced by government through the Integrated Pest Management Field School (IPMFS). This study aimed to identify differences in knowledges, attitudes, and practices IPMFS and non IPMFS farmers in the use of pesticides, as well as the relation to the characteristics of the farmers. The research data obtained directly by interviews using a structured questionnaire in seven villages in District of Batur, with 105 IPMFS farmers and 105 non IPMFS farmers from February to April 2013. The data was then analyzed using the Mann-Whitney test and chi-square. The results show that there is a difference between knowledges, attitudes, and practices at IPMFS and non-IPMFS farmers, and have relationship with each other. Knowledges and attitudes of non IPMFS farmers, as well as the attitudes of IPMFS farmers have a relationship with the farmer education, while practices IPMFS farmers have a relationship with the land ownership status and total income

(3)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(4)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Proteksi Tanaman

PENGETAHUAN, SIKAP, DAN TINDAKAN

PETANI SAYURAN DALAM PENGGUNAAN PESTISIDA

DI KECAMATAN BATUR, KABUPATEN BANJARNEGARA

NADHIROH

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(5)
(6)

Judul Skripsi : Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Petani Sayuran dalam Penggunaan Pestisida di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara

Nama Mahasiswa: Nadhiroh NIM : A34090005

Disetujui oleh

Prof. Dr. Ir. Dadang, MSc Pembimbing I

Dr. Ir. Ali Nurmansyah, MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi Ketua Departemen

(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Petani Sayuran dalam Penggunaan Pestisida di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Dadang, MSc. dan Dr. Ir. Ali Nurmansyah, MSi., selaku dosen pembimbing atas bimbingan dan arahannya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada kepala desa dan aparat desa Dieng kulon, Karang Tengah, Bakal, Kepakisan, Pekasiran, Sumberejo, dan Batur atas kesediannya mengijinkan penulis mengambil data penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Dul Sukur, Ibu Sobiyah, dan keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Selain itu, ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Ibu Soipah dan Freddiyan Rosyid, yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama proses pengambilan data, serta teman-teman PTN46 dan kost 3RRR, atas masukan dan dukungannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2013

(8)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN xi

PENDAHULUAN 1 

Latar Belakang 1 

Hipotesis 2 

Tujuan Penelitian 2 

Manfaat Penelitian 3 

BAHAN DAN METODE 4 

Waktu dan Tempat 4 

Pengambilan Contoh Petani dan Pengumpulan Data 4 

Analisis Data 4 

HASIL DAN PEMBAHASAN 5 

Gambaran Umum 5 

Karakteristik Petani 5 

Karakteristik Budidaya Sayuran 6 

Permasalahan Hama dan Penyakit 9 

Pengetahuan Penggunaan Pestisida 11 

Sikap terhadap Penggunaan Pestisida 14 

Tindakan Penggunaan Pestisida 16 

Hubungan antara Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan 21 

SIMPULAN DAN SARAN 25 

Simpulan 25 

Saran 25 

DAFTAR PUSTAKA 26 

LAMPIRAN 28 

(9)

DAFTAR TABEL

1 Pendapatan petani 6 

2 Status kepemilikan dan luas lahan 7 

3 Varietas tanaman sayuran yang dibudidayakan 8  4 Hubungan karakteristik petani terhadap pengetahuan mengenai

penggunaan pestisida 13 

5 Hubungan karakteristik petani terhadap sikap tentang penggunaan

pestisida 16 

6 Volume semprot yang digunakan oleh petani SLPHT dan non SLPHT 19  7 Hubungan karakteristik petani terhadap tindakan penggunaan  

pestisida 21

DAFTAR GAMBAR

1 Jenis tanaman yang dibudidayakan oleh petani 7 

2 Pola tanam yang dilakukan oleh petani 9 

3 Perbedaan pengetahuan tentang pestisida antara petani SLPHT

dan non SLPHT 12 

4 Sumber informasi dalam penggunaan pestisida 14  5 Perbedaan sikap pada penggunaan pestisida antara petani

SLPHT dan non SLPHT 15 

6 Perbedaan tindakan dalam penggunaan pertisida antara petani

SLPHT dan non SLPHT 17 

7 Perbedaan intensitas aplikasi pestisida pada tanaman kentang

pada musim hujan dan musim kemarau 18 

8 Hubungan tingkat pengetahuan terhadap tingkat sikap petani

SLPHT dalam penggunaan pestisida 22 

9 Hubungan tingkat pengetahuan terhadap tingkat tindakan petani

SLPHT dalam penggunaan pestisida 22 

10 Hubungan tingkat sikap terhadap tingkat tindakan petani SLPHT

dalam penggunaan pestisida 23 

11 Hubungan tingkat pengetahuan terhadap tingkat sikap petani

non SLPHT dalam penggunaan pestisida 23 

12 Hubungan tingkat pengetahuan terhadap tingkat tindakan petani

non SLPHT dalam penggunaan pestisida 24 

13 Hubungan tingkat sikap terhadap tingkat tindakan petani

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuesioner penelitian 28

2 Rincian skoring pengetahuan, sikap, dan tindakan petani dalam

penggunaan pestisida 33

3 Rekapitulasi karakteristik petani 35

4 Rekapitulasi permasalahan hama tanaman sayuran di Kecamatan

Batur 36 5 Rekapitulasi permasalahan penyakit tanaman sayuran di Kecamatan

Batur 37 6 Rekapitulasi data pengetahuan dalam penggunaan pestisida oleh petani 38

7 Hasil uji perbedaan pengetahuan petani SLPHT dan non SLPHT

menggunakan uji Mann-Whitney 39

8 Tabel kontingensi dan hasil olah data khi-kuadrat hubungan pengetahuan dengan karekteristik petani 40 9 Rekapitulasi data sikap dalam penggunaan pestisida oleh petani 45 10 Hasil uji perbedaan sikap petani SLPHT dan non SLPHT

menggunakan uji Mann-Whitney 46

11 Tabel kontingensi dan hasil olah data khi-kuadrat hubungan

sikap dengan karekteristik petani 47

12 Hasil uji perbedaan tindakan petani SLPHT dan non SLPHT

menggunakan uji Mann-Whitney 52

13 Rekapitulasi data tindakan dalam penggunaan pestisida oleh petani 53 14 Tabel kontingensi dan hasil olah data khi-kuadrat hubungan

tindakan dengan karekteristik petani 54

15 Tabel kontingensi dan hasil olah data khi-kuadrat hubungan

pengetahuan dan sikap petani SLPHT 59

16 Tabel kontingensi dan hasil olah data khi-kuadrat hubungan

pengetahuan dan tindakan petani SLPHT 60

17 Tabel kontingensi dan hasil olah data khi-kuadrat hubungan

sikap dan tindakan petani SLPHT 61

18 Tabel kontingensi dan hasil olah data khi-kuadrat hubungan

pengetahuan dan sikap petani non SLPHT 62

19 Tabel kontingensi dan hasil olah data khi-kuadrat hubungan pengetahuan dan tindakan petani non SLPHT 63 20 Tabel kontingensi dan hasil olah data khi-kuadrat hubungan

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sayuran merupakan salah satu kelompok tanaman hortikultura yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Menurut BPS dan Direktorat Jenderal Hortikultura (2012), terdapat 25 jenis sayuran yang dibudidayakan di Indonesia. Sistem budidaya tanaman di Indonesia, termasuk sayuran, sebenarnya diatur dalam Undang-Undang nomor 12 tahun 1992. Penyelenggaraan budidaya tanaman menekankan aspek keamanan lingkungan, khususnya pada pengolahan lahan, pembuatan media tumbuh, dan pemeliharaan tanaman. Pemeliharaan tanaman yang tertulis pada Undang-Undang tersebut tepatnya pasal 28 ayat 2, menyatakan bahwa dalam pemeliharaan tanaman, setiap orang atau badan hukum dilarang menggunakan sarana dan atau cara yang mengganggu kesehatan dan atau mengganggu kesehatan manusia, menimbulkan gangguan dan kerusakan sumberdaya alam dan atau lingkungan hidup. Salah satu cara pemeliharaan tanaman yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan lingkungan adalah dengan melakukan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) menggunakan pestisida sintetik secara tidak bijaksana.

Menurut Sulistiyono (2012), penggunaan pestisida harus didasarkan pada nilai ambang ekonomi (AE), namun kenyataan di lapangan penggunaan pestisida masih menjadi prioritas utama. Penggunaan pestisida untuk mengendalikan OPT sayuran sudah umum dilakukan oleh petani sayuran di Indonesia. Hasil penelitian Gusfi (2002) menyatakan bahwa 86.0% petani sayuran di Cipanas melakukan penyemprotan secara terjadwal dan 92.7% segera melakukan penyemprotan sebelum gejala serangan hama atau penyakit muncul. Petani sayuran di Cianjur mengaplikasikan pestisida sintetik secara terjadwal yang dimulai seawal mungkin saat hama menyerang (Irfan 2008). Sebanyak lebih dari 63% petani kentang di Pengalengan, Bandung melakukan pengendalian OPT menggunakan pestisida (kimiawi) (Eslita 2010). Di Desa Sumber Rejo, Kecamatan Ngablak, Magelang, Jawa Tengah, lebih dari sebagian petani sayuran melakukan pencampuran 2–5 jenis pestisida dalam satu kali aplikasi, dengan alasan agar tanaman terhindar dari hama dan menghemat biaya (Yuantari 2009), sedangkan di Jawa Timur, Sulistiyono (2012) menyatakan bahwa penggunan pestisida merupakan teknik pengendalian hama dan penyakit tanaman sayuran yang paling banyak dilakukan oleh petani sayuran di Jawa Timur. Penggunaan pestisida secara berlebihan dapat memberikan dampak yang merugikan bagi tanaman, manusia, dan lingkungan. Dampak tersebut diantaranya adalah resistensi, resurjensi, ledakan hama sekunder, terbunuhnya organisme bukan sasaran, keracunan pada manusia, dan pencemaran lingkungan. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menekan penggunaan pestisida sintetik adalah dengan menerapkan teknik pengendalian hama terpadu (PHT).

(12)

penggunaan pestisida yang bijaksana termasuk dalam konsepsi PHT yang telah dikembangkan dan diterapkan secara luas di Indonesia baik untuk mengendalikan hama tanaman pangan (padi, palawija, sayuran dataran rendah dan tinggi), maupun untuk tanaman perkebunan. PHT diperkenalkan oleh pemerintah Indonesia melalui program Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT).

SLPHT merupakan salah satu usaha pokok dalam mencapai tujuan program nasional PHT, dalam hal mengembangkan sumberdaya manusia (Kementan 1994). SLPHT merupakan cara yang sangat efektif untuk mencapai pertanian yang berkelanjutan dalam kaitannya dengan PHT (Korani 2012). Berg dan Jiggins (2007) meninjau bukti dari studi tentang investasi pendidikan yang dirancang untuk memberi hak kepada petani untuk menerapkan PHT, menyimpulkan bahwa SLPHT menunjukkan manfaat secara langsung dalam praktek PHT. Hasil penelitian Rambe (2012) menyatakan bahwa pengalaman petani sayuran di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor yang mengikuti SLPHT berpengaruh pada keputusan dalam melakukan pengendalian. Hasil penelitian Sulistiyono (2012), menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara petani sayuran di Jawa Timur yang telah mengikuti SLPHT dan tidak dalam penggunaan pestisida, dilihat dari nilai distribusi frekuensi bahwa petani SLPHT lebih sedikit dalam penggunaan macam pestisida jika dibandingkan dengan petani non SLPHT.

Beberapa petani sayur di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, telah mengikuti program SLPHT yang diselenggarakan oleh pemerintah. Kegiatan SLPHT di kecamatan ini sudah dilakukan sejak tahun 1991 hingga 2010, yang tersebar di 8 desa dan diikuti oleh 17 kelompok tani (PHP Banyumas 2012a). Pada tahun 2011, LPHP Banyumas mengadakan kegiatan training of trainer

(TOT) SLPHT untuk alumni dan SLPHT kentang untuk alumni di Desa Bakal, dan SLPHT kentang di Desa Karangtengah, Kecamatan Batur (PHP Banyumas 2012b). Berdasarkan data tersebut, seharusnya terdapat perbedaan pengetahuan, sikap, dan tindakan petani sayuran di daerah tersebut dalam penggunaan pestisida antara petani yang telah mengikuti SLPHT dan yang tidak mengikuti SLPHT. Penelitian mengenai perbedaan hal tersebut perlu dilakukan, mengingat Kabupaten Banjarnegara merupakan salah satu kabupaten sentra produksi sayuran dataran tinggi di Indonesia (Rauf 1999).

Hipotesis

Ada perbedaan dan hubungan pengetahuan, sikap, dan tindakan petani sayuran SLPHT dan non SLPHT, serta karakteristik yang mempengaruhinya dalam penggunaan pestisida di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara.

Tujuan Penelitian

(13)

Manfaat Penelitian

(14)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada tanggal 13 Februari hingga 10 April 2013, di Desa Dieng Kulon, Karang Tengah, Bakal, Kepakisan, Pekasiran, Sumber Rejo, dan Batur, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Penentuan desa contoh dilakukan secara terpilih berdasarkan adanya petani alumni SLPHT di Kecamatan Batur.

Pengambilan Contoh Petani dan Pengumpulan Data

Setiap desa contoh diambil 30 petani, yang terdiri dari 15 petani SLPHT dan 15 petani non SLPHT, sehingga terdapat 105 petani SLPHT dan 105 petani non SLPHT. Petani kemudian diwawancarai secara langsung menggunakan kuesioner terstruktur (Lampiran 1) di rumah atau di lapang, untuk mendapatkan data primer. Pertanyaan di dalam kuesioner yang diajukan secara umum meliputi keberadaan organisme bukan sasaran, pengertian pestisida, 5 tepat aplikasi pestisida, serta pengelolaan pestisida dan alat semprot setelah aplikasi. Data sekunder diperoleh dari desa contoh berupa profil desa dan informasi langsung yang diperoleh dari aparat desa setempat.

Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif untuk menjelaskan pengetahuan, sikap, dan tindakan dalam penggunaan pestisida. Hasil wawancara kemudian diskoring (Lampiran 2) dan ditentukan karegorinya dengan kriteria rendah (skor terendah – (skor terendah + 33% dari jarak skor tertinggi–terendah)), sedang ((skor terendah + 33% dari jarak skor tertinggi–terendah) – (skor terendah + 67% dari jarak skor tertinggi–terendah), dan tinggi ((skor terendah + 67% dari jarak skor tertinggi–terendah) – skor tertinggi), kemudian diolah menggunakan uji jumlah-peringkat Wilcoxon atau uji Mann-Whitney, menurut Supangat (2007):

Z ∑ R n N

n n

N N ∑ R ∑ R n 4 Nn N

Keterangan: N : nx + ny

nx : Banyaknya petani SLPHT ny : Banyaknya petani non SLPHT

Rx : Rangking keseluruhan untuk variabel SLPHT saja Ry : Rangking keseluruhan untuk variabel non SLPHT saja

(15)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum

Kecamatan Batur terletak di Kabupaten Banjarnegara, dengan batas wilayah sebelah utara Kabupaten Batang, sebelah timur Kabupaten Wonosobo, sebelah selatan Kecamatan Pejawaran, dan sebelah barat Kecamatan Wanayasa. Kecamatan ini berada di Dataran Tinggi Dieng, dengan suhu udara 11–20 oC, kecuali pada bulan Juni–Agustus mencapai kurang dari 5 oC, dan sering terjadi embun upas/Frost. Curah hujan rata-rata 10 tahun terakhir (terhitung hingga tahun 2011) 3 046 mm, dengan jumlah hari hujan 182 hari/tahun. Luas wilayahnya 4 717.100 ha, yang sebagian besar difungsikan sebagai lahan pertanian (64.6%) dan hutan negara (22.5%). Jumlah penduduk sebanyak 21 153 jiwa. Sebanyak 15 319 jiwa memiliki mata pencaharian sebagai petani tanaman hortikultura. Tanaman hortikultura yang dibudidayakan adalah kentang, kubis, bawang daun, wortel, dan kacang merah, dengan luas panen terbesar pada tanaman kentang seluas 3 846 ha.

Kecamatan ini terdiri dari 8 desa, yaitu desa Batur, Sumberejo, Pasurenan, Pekasiran, Kepakisan, Bakal, Karangtengah, dan Dieng Kulon. Pada setiap desa terdapat kelompok tani. Jumlah kelompok tani di Kecamatan Batur sebanyak 74 kelompok tani, dan 8 Gapoktan.

Karakteristik Petani

Petani SLPHT maupun non SLPHT adalah laki-laki dan perempuan dengan persentase laki-laki lebih besar daripada perempuan. Petani memiliki kisaran umur yang relatif sama, yang berkisar antara 25 hingga lebih dari 44 tahun. Jenjang pendidikan yang ditempuh petani SLPHT sebagian besar SD hingga SLTA, sedangkan non SLPHT sebanyak 50% petani hanya menamatkan SD. Meskipun demikian, petani non SLPHT yang menempuh pendidikan hingga S1 lebih besar dibanding dengan SLPHT. Jumlah tanggungan keluarga dapat dilihat dari banyaknya anggota keluarga. Lebih dari 50% petani baik SLPHT maupun non SLPHT memiliki jumlah anggota keluarga sebanyak 4–6 orang (Lampiran 3), dengan rata-rata jumlah anggota keluarga yang sama yaitu 4 orang.

Seluruh petani yang diwawancarai memiliki pekerjaan utama sebagai petani, dengan pengalaman bertani berkisar antara 1 hingga lebih dari 20 tahun, dengan rata-rata pengalaman bertani yang sama, yaitu 14.3 tahun. Lebih dari 75% petani tidak memiliki pekerjaan sampingan namun beberapa diantara mereka memiliki pekerjaan sampingan (Lampiran 3). Pekerjaan sampingan yang paling banyak dipilih adalah pedagang dan pegawai swasta paruh waktu. Pedagang merupakan salah satu pekerjaan yang menjanjikan mengingat sebagian besar desa di Kecamatan Batur merupakan kawasan wisata Dataran Tinggi Dieng. Di beberapa desa di kecamatan ini juga terdapat pabrik jamur merang dan pembangkit listrik tenaga panas bumi yang memberikan kesempatan kepada masyarakat di sekitarnya untuk menjadi pegawai paruh waktu, tanpa harus meninggalkan pekerjaan utamanya.

(16)

besar memiliki pendapatan kurang dari 2 juta rupiah (Tabel 1). Salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya pendapatan bertani masyarakat di Kecamatan Batur adalah luas lahan yang dimiliki. Pendapatan bertani per bulan per ha rata-rata petani SLPHT lebih besar dibandingkan dengan petani non SLPHT. Petani SLPHT memiliki rata-rata pendapatan sebesar Rp5 685 283/bulan/ha, sedangkan petani non SLPHT hanya sebesar Rp4 237 729/bulan/ha. Pendapatan dari pekerjaan sampingan tidak sebesar pendapatan dari bertani. Pendapatan yang didapatkan dari pekerjaan sampingan petani SLPHT maupun non SLPHT sebagian besar kurang dari Rp500 000.

Tabel 1 Pendapatan petani

Pendapatan Petani (%)

SLPHT Non SLPHT

Pendapatan dari bertani (Rp)

<=2000000 33.33 47.62

2000001 – 4000000 22.86 18.10

4000001 – 6000000 14.29 16.19

6000001 – 8000000 2.86 3.81

8000001 – 10000000 9.52 6.67

> 10000000 17.14 7.62

Pendapatan dari pekerjaan sampingan (Rp)

<=500000 41.18 33.33

500001 – 1000000 17.65 29.17

1000001 – 1500000 17.65 12.50

1500001 – 2000000 5.88 12.50

> 2000000 17.65 12.50

Karakteristik Budidaya Sayuran

Status Kepemilikan dan Luas Lahan

Status kepemilikan lahan di Kecamatan Batur hampir semuanya berstatus milik sendiri (Tabel 2). Pemilik lahan dan penyewa memiliki kuasa penuh atas pengelolaan lahan, mulai dari perencanaan hingga pasca panen. Berbeda dengan pemilik lahan dan penyewa, penggarap tidak memiliki hak pengambilan keputusan pengelolaan atau hanya memiliki hak sebagian saja. Luas lahan yang dimiliki petani SLPHT lebih besar dibandingkan dengan petani non SLPHT (Tabel 2). Sebanyak 26.67% petani SLPHT memiliki luas lahan lebih dari 1 ha, dengan luas lahan tertinggi 20 ha. Petani non SLPHT sebagian besar hanya memiliki luas lahan kurang dari 1000 m2 hingga 5000 m2. Rata-rata luas lahan petani non SLPHT adalah 1 ha, sedangkan petani SLPHT adalah 1.2 ha.

Jenis dan Varietas Tanaman Sayuran yang Dibudidayakan

(17)

menyatakan bahwa menanam kentang sudah menjadi kebiasaan yang diajarkan oleh orang tua mereka secara turun-temurun. Mereka juga berpendapat bahwa kentang memiliki nilai ekonomi yang tinggi, serta cocok ditanam di wilayah tersebut. Selain kentang, petani juga menanam wortel dan kubis, dengan persentase jumlah petani yang menanam hampir sama, sedangkan bawang daun hanya ditanam oleh seorang petani non SLPHT (Gambar 1).

Tabel 2 Status kepemilikan dan luas lahan

Status kepemilikan dan luas lahan Petani (%)

SLPHT Non SLPHT

Status kepemilikan lahan

Milik sendiri 96.19 94.29

Gambar 1 Jenis tanaman yang dibudidayakan oleh petani

Varietas kentang yang ditanam oleh petani SLPHT sebagian besar adalah granola, sedangkan petani non SLPHT lebih memilih menanam granola MZ (Tabel 3). Granola MZ sebenarnya adalah varietas yang belum terdaftar di Pusat Perlindungan Varietas Tanaman (PPVT) Kementan. Varietas ini merupakan hasil seleksi dari varietas granola oleh seorang petani di Desa Karang Tengah yang bernama Muhzoto, dan menempatkan bibit hasil seleksinya di keranjang yang terdapat singkatan namanya (MZ). Varietas granola dan granola MZ memiliki perbedaan pada tinggi tajuk, besar umbi, bentuk akar, lama hidup, dan ketahanan

0

kentang kubis wortel bawang daun

Petani responden (%)

Tanaman yang dibudidayakan

(18)

terhadap penyakit. Varietas tanaman wortel yang ditanam petani terdiri dari varietas new curoda dan varietas lokal, dengan prevalensi varietas new curoda

lebih tinggi daripada lokal. Alasan mereka lebih memilih varietas new curoda

daripada varietas lokal adalah umur tanam varietas new curoda lebih singkat daripada lokal. Selain itu, hasil produksinya lebih besar dan memiliki penampilan lebih menarik meskipun harga benih lebih mahal. Semua varietas kubis yang dibudidayakan petani adalah grand 11, sedangkan varietas bawang daun tidak diketahui (Tabel 3).

Tabel 3 Varietas tanaman sayuran yang dibudidayakan

Varietas tanaman Petani (%)

SLPHTa Non SLPHTb Varietas kentang

Granola 71.74 40.86

Granola MZ 27.17 54.84

Varietas bawang daun

(tidak diketahui) 0.00 100.00

a

Jumlah petani SLPHT kentang = 92, petani kubis = 6, petani bawang daun = 0, petani wortel = 7. b

Jumlah petani non SLPHT kentang = 93, petani kubis = 5, petani bawang daun = 1, petani wortel = 6.

Pola Tanam yang Digunakan

Sebanyak 75.24% petani SLPHT melakukan rotasi tanaman. Petani non SLPHT yang melakukan rotasi tanaman sebanyak 46.67%, namun tidak berbeda jauh dengan jumlah petani yang masih menerapkan pola monokultur (43.81%) (Gambar 2). Jumlah petani yang melakukan rotasi tanaman lebih tinggi daripada monokultur karena sebagian dari mereka menyadari bahwa melakukan pola tanam monokultur secara terus menerus menyebabkan hasil panen berkurang. Baik petani SLPHT maupun non SLPHT yang menanam kentang melakukan rotasi tanaman menggunakan tanaman kubis dan atau wortel, sedangkan yang menanam kubis atau wortel melakukan rotasi tanaman menggunakan tanaman kentang. Alasan penggunaan pola rotasi sebagian besar petani SLPHT adalah untuk memutus siklus OPT. Pola tanam monokultur hanya dilakukan oleh petani yang menanam kentang dan beberapa petani SLPHT yang menanam wortel dengan tujuan menurunkan jumlah sista NSK. Alasan penggunaan pola monokultur kentang sebagian besar petani non SLPHT adalah karena kebiasaan yang sudah diajarkan secara turun-temurun.

(19)

kebutuhan konsumsi sehari-hari. Jumlah petani yang melakukan bera juga sama antara petani SLPHT dan non SLPHT. Alasan mereka melakukannya untuk memutus siklus OPT dan berdasarkan pangalaman mereka, melakukan bera dapat mencegah penyakit layu bakteri.

Gambar 2 Pola tanam yang dilakukan oleh petani Permasalahan Hama dan Penyakit

Permasalahan Hama

Sebagian besar hama yang menyerang tanaman kentang di Kecamatan Batur adalah trips, Liriomyza sp., kutu daun, dan kutu kebul (Lampiran 4). Tingkat keempat serangan hama tersebut antara sedang hingga berat. Trips dan Liriomyza

sp. adalah hama yang menyerang seluruh tanaman kentang di kecamatan ini. Tingkat serangan hama ini umumnya sedang. Kutu daun juga menjadi masalah pada budidaya tanaman kentang. Hama ini juga menjadi vektor virus pada tanaman kentang. Tingkat serangan berat paling banyak dikeluhkan petani akibat serangan kutu kebul (Bemisia tabaci). Berdasarkan pengalaman mereka, B. tabaci

agak sulit dikendalikan karena ketika disemprot hama tersebut terbang, kemudian kembali lagi beberapa saat setelah disemprot, sehingga harus menggunakan perekat yang banyak pada saat penyemprotan.

Hama uret hanya menjadi masalah pada tanaman kentang di beberapa desa saja, yaitu di Desa Dieng Kulon, Karang Tengah, dan beberapa di Desa Bakal. Hama tersebut menyerang pada musim kemarau dan menyebabkan kerusakan yang cukup tinggi. Selain itu, terdapat juga hama vertebrata, yaitu musang dan babi hutan. Kedua hama tersebut juga menyebabkan kerusakan tinggi, terutama pada lahan-lahan di perbatasan lahan masyarakat dan lahan gunung (bekas hutan). Hama yang lain, baik oleh petani SLPHT maupun non SLPHT, dirasa tidak menimbulkan kerusakan yang cukup berarti.

Hama kubis yang banyak dikeluhkan petani adalah ulat tanah, Plutella sp., dan Crocidolomia sp.. Tingkat serangan keempat hama tersebut rendah–sedang.

Crocidolomia sp. atau ulat krop dikeluhkan oleh semua petani SLPHT yang menanam kubis. Ulat tersebut dapat menyebabkan kerugian yang nyata bagi petani. Pada bawang daun, hama yang menjadi masalah bagi petani adalah kutu kebul dan kutu daun, sedangkan hama pada wortel adalah ulat daun (Lampiran 4).

(20)

Permasalahan Penyakit

Permasalahan penyakit yang paling utama pada kentang di Kecamatan Batur adalah busuk daun, layu, dan nematoda sista kentang (NSK) (Lampiran 5). Busuk daun yang disebabkan oleh Phytophthora infestans merupakan penyakit tanaman kentang yang umum ada di Kecamatan Batur. Penyakit ini umumnya terjadi pada musim hujan dengan intensitas serangan sedang hingga berat. Keadaan cuaca seperti suhu dan curah hujan di wilayah ini memang mendukung untuk perkembangan patogen tersebut. Menurut Semangun (2007), pada suhu 10–25 oC, dan jika tersedia air, konidium akan membentuk zoospora dalam waktu ½-2 jam, dan zoospora tersebut akan membentuk pembuluh kecambah dalam waktu 2–2 ½ jam. Penyakit layu atau sering disebut ‘lier’ oleh masyarakat sekitar, merupakan penyakit yang tidak jarang menyebabkan kerugian besar, terutama pada tanah dengan drainase yang buruk. Penyakit layu ini terdiri dari layu bakteri dan layu fusarium. Namun, yang sering ditemui di wilayah ini adalah layu bakteri. Penyakit ini termasuk yang sangat dikhawatirkan karena belum ada cara yang efektif untuk mengendalikannya, dan menjadi masalah di hampir seluruh desa di kecamatan ini. Berbeda dengan busuk daun dan layu, penyakit akibat NSK dengan serangan berat hanya terjadi di sekitar Desa Dieng Kulon, Karangtengah, dan Bakal. Ketiga desa tersebut adalah desa tertinggi di Kecamatan Batur. Berdasarkan hasil penelitian Lestari (2012), semakin tinggi suatu lokasi, semakin tinggi juga jumlah sista NSK yang ditemukan.

Penyakit utama pada kubis di kecamatan ini adalah akar gada dan busuk hitam (Lampiran 5). Penyakit akar gada dikeluhkan oleh seluruh petani yang menanam kubis. Tingkat serangan penyakit termasuk berat, dan juga merupakan kendala utama bagi petani yang ingin menanam kubis. Penyakit ini sering menjadi penyebab gagal panen kubis. Penyakit busuk hitam dikeluhkan dengan tingkat serangan sedang hingga berat, dan terjadi pada musim hujan. Kerugian langsung yang dirasakan petani adalah menurunnya nilai jual. Pada wortel, penyakit yang menyerang adalah penyakit busuk daun (Lampiran 5). Baik penyakit maupun hama pada wortel hanya dirasakan oleh petani yang sudah lama menanam wortel, dan serangan keduanya tidak dirasa berat.

Cara perhitungan beratnya serangan hama maupun penyakit petani non SLPHT dilakukan berdasarkan tingkat kesulitan pengendaliannya. Petani SLPHT juga melakukan hal yang sama, namun beberapa dilakukan atas dasar perkiraan gejala secara keseluruhan dan perhitungan gejala per 10 tanaman terserang. Perhitungan gejala per 10 tanaman terserang merupakan cara yang dipelajari pada saat SLPHT berlangsung. Meskipun demikian, terdapat juga petani non SLPHT yang melakukan perhitungan tersebut. Tiga petani dari 4 petani yang melakukan perhitungan tersebut mengetahui dari keikutsertaan mereka pada pelatihan-pelatihan pertanian.

Cara Pengendalian

(21)

pestisida sintetik lebih efektif dalam mengendalikan hama dan penyakit dibandingkan dengan pengendalian lain dan sudah menjadi kebiasaan yang sulit untuk dihilangkan.

Sebanyak 74.29% petani SLPHT kembali menggunakan pestisida sintetik sebagai alternatif utama pengendalian OPT. Mereka menyatakan bahwa jika mereka menggunakan pestisida sintetik sebagai alternatif terakhir pengendalian pada budidaya sayurannya, kemungkinan hasil panen tidak memuaskan atau sekedar menutupi modal. Sementara itu, 27 petani SLPHT (25.71%) menjadikan pengendalian kimiawi sebagai cara pengendalian utama. Mereka menyatakan bahwa mereka mengetahui cara pengendalian lain seperti pengendalian fisik, mekanik, biologi, dan nabati dari SLPHT. Beberapa petani melakukan pengendalian secara biologi dan nabati terutama untuk mengendalikan hama, dan secara mekanik untuk mengendalikan penyakit, terutama layu bakteri. Tanaman yang digunakan sebagai insektisida nabati adalah bawang putih, daun sambiloto, daun sirsak, daun mimba, serai, dan tembakau. Bawang putih dan tembakau digunakan untuk mengendalikan kutu kebul. Beberapa diantaranya juga memanfaatkan tanaman lokal yaitu daun gigil (Gynura procumbens) sebagai insektisida nabati untuk mengendalikan uret. Pengendalian penyakit menggunakan ekstrak tanaman dilakukan oleh 2 petani SLPHT menggunakan kunyit, untuk mengendalikan busuk daun. Alasan petani SLPHT melakukan pengendalian non pestisida sintetik sebagian besar karena untuk mengurangi residu.

Sebanyak 17 petani non SLPHT juga melakukan tindakan pengendalian selain menggunakan pestisida sintetik. Pengendalian lain yang mereka lakukan adalah pengendalian nabati dan pengendalian mekanik. Tanaman yang digunakan sebagai pengendali nabati umumnya sama dengan yang digunakan petani SLPHT. mereka mengetahui cara pengendalian tersebut dari pelatihan-pelatihan yang mereka ikuti, salah satunya pelatihan dari mahasiswa KKP/KKN. Pengendalian secara mekanik juga mereka lakukan dengan pencabutan tanaman sakit untuk penyakit layu bakteri. Alasan pengendalian secara mekanik untuk layu bakteri ini baik petani non SLPHT maupun SLPHT adalah karena tidak ada alternatif pengendalian lain.

Pengetahuan Penggunaan Pestisida

Perbedaan Pengetahuan Petani SLPHT dan Non SLPHT

(22)

pengetahuan ini terlihat pada pengetahuan petani mengenai keberadaan organisme bukan sasaran, cara aplikasi pestisida yang baik, dan 5 tepat aplikasi pestisida (Lampiran 6).

Gambar 3 Perbedaan pengetahuan tentang pestisida antara petani SLPHT dan non SLPHT

Jumlah petani non SLPHT yang mengetahui keberadaan organisme bukan sasaran besar, namun lebih rendah dibandingkan dengan petani SLPHT. Pengetahuan petani non SLPHT tersebut berdasarkan pengamatan yang mereka lakukan. Organisme bukan sasaran menurut mereka adalah binatang yang tidak mengganggu tanaman mereka. Sebagian besar petani non SLPHT menyatakan bahwa laba-laba dan cacing adalah organisme bukan sasaran, namun mereka tidak mengetahui bahwa laba-laba adalah musuh alami hama. Petani SLPHT mengetahui keberadaan musuh alami di ladang mereka berdasarkan yang telah mereka pelajari di SLPHT.

Seluruh petani SLPHT mengetahui bahwa pestisida adalah zat kimia yang mengandung racun, sedangkan petani non SLPHT yang mengetahuinya sebanyak 95.24%, meskipun mereka menyebutkan pestisida sebagai obat. Sebagian besar petani SLPHT dan non SLPHT juga mengetahui jenis-jenis pestisida (Lampiran 6). Hampir seluruh petani di wilayah ini menyebutkan insektisida sebagai racun, dan fungisida kontak sebagai tepung. Sebagian besar dari mereka tidak mengetahui adanya bakterisida dan nematisida, serta fungsinya. Mereka mengetahui bahwa insektisida digunakan untuk mengendalikan hama berupa serangga, dan fungisida untuk mengendalikan penyakit. Namun, sebagian besar tidak mengetahui bahwa penyakit disebabkan oleh beberapa patogen yang berbeda. Beberapa petani menyebutkan bahwa nematisida digunakan untuk mengendalikan semua hama yang ada di dalam tanah, termasuk uret, orong-orong, dan ulat tanah.

Sebagian besar petani non SLPHT mengetahui cara aplikasi pestisida berdasarkan pengetahuan turun temurun dari orang tua mereka. Terdapat beberapa petani yang mendapatkan pengetahuan dari orang lain yang mereka anggap sukses dalam bertani. Pengetahuan cara aplikasi yang menurut mereka benar namun pada

(23)

kenyataannya kurang tepat adalah penyemprotan searah bedengan, tekanan semprot rendah, tidak mengganti bahan aktif, penyemprotan dilakukan secara terjadwal, dan pengulangan penyemprotan hingga 3 kali semprot. Beberapa petani non SLPHT juga mengetahui cara aplikasi pestisida yang baik seperti tepat waktu, sesuai petunjuk kemasan, pengabutan, searah angin, dan penggunaan pakaian pelindung, walaupun tidak sebanyak petani SLPHT. Meskipun demikian, baik petani SLPHT maupun non SLPHT masih banyak yang menyatakan bahwa penyemprotan yang baik adalah penyemprotan yang merata, tanpa mempedulikan cara penyemprotannya. Sebagian besar petani yang beranggapan demikian adalah petani pemilik lahan atau penyewa yang tidak melakukan aplikasi pestisida sendiri.

Lima tepat dalam aplikasi pestisida memang tidak umum diketahui oleh petani, bahkan petani SLPHT pun tidak banyak yang mengetahui konsep tersebut. Terdapat 48.57% petani SLPHT yang mengetahui konsep 5 tepat, sedangkan petani non SLPHT yang mengetahui hanya 18.10%. Sebanyak 47.37% petani non SLPHT (dari total petani yang mengetahui 5 tepat) mengetahui konsep tersebut dari formulator pestisida yang melakukan penyuluhan produknya. Sumber informasi lain didapatkan dari pendidikan formal, penyuluhan dari dinas pertanian, kemasan pestisida, teman, dan membaca buku. Sebanyak 84.31% petani SLPHT (dari total petani yang mengetahui 5 tepat) mengetahui konsep ini pada saat pelatihan SLPHT, sedangkan lainnya berasal dari formulator dan teman. Hubungan Pengetahuan Penggunaan Pestisida dengan Karakteristik Petani

Berdasarkan hasil uji khi-kuadrat (Lampiran 8), terdapat karakteristik petani yang berkorelasi dengan pengetahuan dalam penggunaan pestisida, yaitu pendidikan. Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai-P hasil uji khi-kuadrat pada karakteristik pendidikan petani non SLPHT kurang dari 0.05 yang artinya ada hubungan antara pendidikan terhadap pengetahuan dalam penggunaan pestisida, pada taraf nyata 5%.

Tabel 4 Hubungan karakteristik petani terhadap pengetahuan mengenai penggunaan pestisida

Karakteristik Nilai-P

a

SLPHT Non SLPHT

Umur 0.637 0.141

Status kepemilikan lahan 0.257 0.109

Pendidikan 0.124 0.033b

Pengalaman bertani 0.520 0.187

Penghasilan total 0.264 0.986

a

Berdasarkan hasil uji khi-kuadrat b

Tolak H0 pada taraf nyata 5%.

(24)

pestisida (Gambar 4), sedangkan secara keseluruhan petani SLPHT telah mendapatkan pengetahuan dari kegiatan SLPHT.

Gambar 4 Sumber informasi dalam penggunaan pestisida Sikap terhadap Penggunaan Pestisida

Perbedaan Sikap Petani SLPHT dan Non SLPHT

Pernyataan mengenai sikap dalam penggunaan pestisida yang diajukan kepada petani SLPHT dan non SLPHT adalah pernyataan mengenai peran musuh alami hama, dampak penggunaan pestisida yang terlalu sering, tepat jenis pestisida, penggunaan dan dosis pestisida sesuai kemasan, waktu semprot, arah semprot, penggunaan pakaian pelindung, tempat pencucian alat semprot, tempat penyimpanan pestisida yang aman, dan penggantian bahan aktif pestisida (Lampiran 9).

Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney, ada perbedaan antara sikap petani SLPHT dan non SLPHT dalam penggunaan pestisida, pada taraf nyata 1% dengan nilai-P sebesar 0.001 (Lampiran 10). Pada Gambar 5 terlihat bahwa sikap petani SLPHT terhadap penggunaan pestisida lebih baik dibandingkan dengan petani non SLPHT. Hampir keseluruhan hasil dari pernyataan petani mengenai sikap juga menunjukkan bahwa sikap petani SLPHT lebih baik daripada petani non SLPHT. Perbedaan sikap yang paling besar adalah pada pernyataan peran musuh alami. Meskipun demikian, sikap petani non SLPHT dalam penyimpanan pestisida lebih baik daripada petani SLPHT (Lampiran 9). Mereka menyadari dampak negatif yang mungkin terjadi jika pestisida dapat dijangkau anak-anak. Namun beberapa petani menyatakan bahwa pestisida harus disimpan di tempat

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Petani responden (%)

Sumber informasi penggunaan pestisida

(25)

yang aman, tidak hanya aman dari jangkauan anak-anak, tetapi juga aman dari pencuri.

Gambar 5 Perbedaan sikap pada penggunaan pestisida antara petani SLPHT dan non SLPHT

Sikap yang positif dari petani SLPHT terhadap keberadaan musuh alami merupakan hasil dari kegiatan SLPHT. Mereka mendapat informasi mengenai keberadaan dan peran musuh alami, serta melihat sendiri di lapangan sehingga pola pikir mereka mengenai musuh alami berubah dari hanya sekedar tahu menjadi peduli. Petani non SLPHT cenderung tidak mempercayai bahwa terdapat musuh alami hama karena mereka tidak melihat langsung kegiatan memangsa hama oleh musuh alami. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh beberapa petani SLPHT, musuh alami memang sudah jarang mereka temukan karena ikut mati akibat aplikasi pestisida, sejak mereka belum mengikuti SLPHT.

Petani SLPHT dan non SLPHT banyak yang meragukan dan tidak menyetujui pernyataan bahwa tanaman yang sering disemprot dapat mengandung racun, meskipun mereka mengetahui bahwa pestisida adalah zat kimia yang mengandung racun. Menurut petani non SLPHT, tidak ada racun yang tersimpan dalam tanaman mereka, karena tidak ada kasus kematian atau keracunan makanan akibat konsumsi hasil panen mereka. Beberapa petani kentang menyatakan bahwa tidak ada hubungannya antara aplikasi pestisida dengan terdapatnya racun pestisida di dalam umbi kentang. Berdasarkan keyakinan mereka, aplikasi pestisida yang umumnya dengan cara penyemprotan pada tajuk tidak dapat menembus masuk hingga ke umbi, sehingga umbi tidak terkontaminasi oleh racun pada pestisida. Berbeda dengan petani non SLPHT, petani SLPHT meragukan dan tidak menyetujui pernyataan tersebut karena belum pernah mengetahui adanya penelitian mengenai hal tersebut.

Sebagian besar petani SLPHT dan non SLPHT menyetujui bahwa masing-masing jenis pestisida seharusnya hanya digunakan untuk mengendalikan jenis hama atau penyakit tertentu saja. Meskipun demikian, masih ada petani yang meragukan bahkan tidak menyetujui pernyataan tersebut. Alasan mereka tidak menyetujuinya karena menurut mereka ada juga insektisida yang dapat

0

Sikap pada penggunaan pestisida

(26)

mengendalikan semua hama yang ada di lahan mereka, dan beberapa insektisida ada yang dapat mengendalikan hama tertentu, yang tidak tercantum dalam kemasan.

Sebagian besar petani juga menyetujui bahwa sebelum melakukan penakaran, seharusnya terlebih dahulu membaca label kemasan. Namun, masih banyak juga petani yang tidak menyetujui penggunaan konsentrasi atau dosis pestisida sesuai kemasan. Beberapa alasannya adalah penggunaan konsentrasi atau dosis kurang dari yang dianjurkan sudah dapat membunuh hama. Alasan lain adalah karena mereka melakukan pencampuran beberapa pestisida, sehingga seharusnya konsentrasi atau dosis yang digunakan dibawah konsentrasi atau dosis yang dianjurkan.

Petani masih banyak yang ragu dan tidak menyetujui pernyataan bahwa alat semprot seharusnya tidak dicuci di sungai. Mereka beranggapan bahwa tindakan mereka tidak membahayakan karena sungai tersebut tidak mengalir ke pemukiman warga. Mereka kurang mengetahui bahwa sungai di Dataran Tinggi Dieng merupakan hulu dari beberapa sungai di bawahnya, dan ada kemungkinan masyarakat di sekitar aliran sungai tersebut memanfaatkannya untuk kehidupan sehari-hari.

Hubungan Sikap Terhadap Penggunaan Pestisida dengan Karakteristik Petani

Selain berkorelasi dengan tingkat pengetahuan, pendidikan juga berpengaruh terhadap tingkat sikap petani SLPHT maupun non SLPHT. Berdasarkan uji khi-kuadrat (Lampiran 11), pendidikan memiliki hubungan yang nyata terhadap sikap petani dalam penggunaan pestisida pada petani SLPHT maupun non SLPHT pada taraf nyata 1% (Tabel 5). Semakin tinggi jenjang pendidikan petani SLPHT maupun non SLPHT, semakin rasional dalam menyikapi pernyataan yang diajukan mengenai penggunaan pestisida. Mereka menyadari bahwa penggunaan pestisida seharusnya dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Tabel 5 Hubungan karakteristik petani terhadap sikap tentang penggunaan pestisida

Karakteristik Nilai-P

a

SLPHT Non SLPHT

Umur 0.818 0.545

Status kepemilikan 0.677 0.318

Pendidikan 0.000b 0.011b

Pengalaman bertani 0.202 0.274

Penghasilan total 0.341 0.712

a

Berdasarkan hasil uji khi-kuadrat b

Tolak H0 pada taraf nyata 1%.

Tindakan Penggunaan Pestisida

(27)

sebesar 0.000 (Lampiran 12). Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 6. Petani SLPHT melakukan tindakan penggunaan pestisida lebih baik dari petani non SLPHT. Jumlah petani non SLPHT dengan tingkat tindakan sedang hampir sama dengan yang memiliki tingkat tindakan tinggi. Berdasarkan data yang diperoleh, secara keseluruhan tindakan petani SLPHT lebih baik dibandingkan dengan petani non SLPHT (Lampiran 13).

Gambar 6 Perbedaan tindakan dalam penggunaan pertisida antara petani SLPHT dan non SLPHT

Petani SLPHT dan non SLPHT banyak yang melakukan pengamatan sebelum aplikasi pestisida, meskipun waktu aplikasi pestisida umumnya tetap dilakukan secara terjadwal. Waktu aplikasi pestisida secara terjadwal didasarkan pada pengalaman mereka dan atau orang tua mereka, mengenai OPT yang biasanya menyerang pada umur tanaman dan kondisi cuaca tertentu. Baik petani SLPHT maupun non SLPHT, sebagian besar melakukan pengamatan sehari sebelum waktu aplikasi terjadwal. Alasan petani non SLPHT melakukan pengamatan adalah untuk menentukan pestisida yang akan digunakan sesuai dengan OPT yang ada di lapangan dan hampir sebagian petani SLPHT juga menyatakan alasan yang sama. Sebagian lainnya beralasan untuk menentukan waktu pengendalian, dan mengetahui perkembangan OPT sekaligus perkembangan tanaman. Jika OPT pada tanaman terutama hama, dirasa belum begitu merugikan, mereka akan menunda aplikasi pestisida sintetik, dan melakukan aplikasi insektisida nabati.

Pada musim penghujan, petani kentang biasanya tetap melakukan aplikasi pestisida secara terjadwal untuk menghindari serangan P. infestans, dengan atau tanpa pengamatan. Intensitas aplikasi pestisida pada musim penghujan pun lebih besar dibandingkan dengan musim kemarau (Gambar 7). Pada musim penghujan, rata-rata petani kentang non SLPHT melakukan aplikasi hingga 22 kali pada satu musim tanam, sedangkan petani kentang SLPHT hingga 20 kali aplikasi. Petani yang menanam varietas kentang granola MZ melakukan aplikasi hingga 25 kali pada musim tersebut karena waktu panennya lebih lama dibandingkan dengan yang lain. Petani rata-rata melakukan aplikasi pestisida 2–3 hari sekali pada

(28)

musim ini, dengan menggunakan fungisida yang kebanyakan berbahan aktif mankozeb dan simoksanil.

Gambar 7 Perbedaan intensitas aplikasi pestisida pada tanaman kentang pada musim hujan dan musim kemarau

Petani sering melakukan penggantian jenis pestisida yang mereka gunakan dalam satu musim tanam. Penggantian tersebut disesuaikan dengan jenis OPT dan cuaca. Terdapat 115 merek dagang pestisida yang digunakan petani SLPHT dan non SLPHT. Mereka menyatakan bahwa mereka sering melakukan penggantian merek dagang pestisida. Alasan penggantian merek dagang agar tidak terjadi resistensi, meskipun masih banyak yang melakukan penggantian merek dagang pestisida namun bahan aktifnya sama.

Sebelum menggunakan pestisida, hampir seluruh petani SLPHT membaca label yang tertera pada kemasan, begitu juga dengan petani non SLPHT, meskipun tidak sebanyak petani SLPHT (Lampiran 13). Tindakan membaca label kemasan pestisida dilakukan jika merek dagang pestisida yang akan digunakan baru mereka kenal. Setelah itu, petani biasanya hafal dengan isi label, terutama konsentrasi atau dosis, dan OPT sasaran. Meskipun demikian, masih terdapat petani yang menggunakan pestisida tidak tepat sasaran, terutama untuk mengendalikan hama. Dalam mengendalikan hama, masih terdapat petani yang menggunakan satu merek insektisida untuk mengendalikan semua hama yang ada di tanamannya. Terdapat juga petani yang menggunakan konsentrasi atau dosis tidak sesuai dengan yang dianjurkan seperti penggunaan di bawah konsentrasi atau dosis untuk mengendalikan P. infestans dan karena melakukan pencampuran pestisida. Terdapat 85.71% petani SLPHT yang melakukan pencampuran pestisida, sedangkan petani non SLPHT 92.38%. Banyaknya pestisida yang dicampurkan rata-rata 2–5 merek dagang, yang terdiri dari insektisida dan fungisida. Alasan melakukan pencampuran karena dianggap lebih efektif, praktis, dan spektrum lebih luas. Beberapa petani SLPHT yang tidak melakukan pencampuran pestisida beralasan agar pestisida lebih tepat sasaran sesuai dengan yang dianjurkan dalam kemasan pestisida. Selain itu, volume semprot yang digunakan juga tidak seperti yang dianjurkan pada kemasan. Banyaknya volume

(29)

semprot pada kemasan pestisida umumnya 300–1 000 l/ha. Pada kenyataannya, volume semprot yang dipergunakan petani SLPHT maupun non SLPHT sebagian besar lebih dari ketentuan tersebut. Pada petani kentang, rata-rata menggunakan volume semprot 1 001-2 000 l/ha, dengan volume semprot terbesar hingga lebih dari 2 500 l/ha (Tabel 6).

Tabel 6 Volume semprot yang digunakan oleh petani SLPHT dan non SLPHT Volume semprot (l/ha) Jumlah petani (%)

SLPHTa Non SLPHTb

Jumlah petani SLPHT kentang = 92, petani kubis = 6, petani bawang daun = 0, petani wortel = 7. b

Jumlah petani non SLPHT kentang = 93, petani kubis = 5, petani bawang daun = 1, petani wortel = 6.

Sebagian besar petani melakukan pengukuran konsentrasi atau dosis pestisida menggunakan kemasan dan tutup kemasan pestisida. Pengukuran dengan kemasan biasanya dilakukan jika pestisida yang digunakan dalam bentuk tepung, sedangkan pengukuran menggunakan tutup kemasan jika pestisida dalam bentuk cair. Pengukuran menggunakan kemasan dilakukan dengan cara memperkirakan banyaknya pestisida yang dibutuhkan berdasarkan berat bersih pestisida tersebut. Pengukuran menggunakan tutup kemasan disesuaikan dengan volume tutup yang biasanya tertulis pada tutup kemasan tersebut. Penggunaan kemasan dan tutup kemasan sebagai alat ukur dirasa lebih praktis dibandingkan dengan yang lain, meskipun kurang tepat digunakan sebagai alat ukur. Selain kemasan dan tutup kemasan, 7 petani SLPHT dan 2 petani non SLPHT menggunakan gelas ukur sebagai alat ukur konsentrasi atau dosis. Gelas ukur tersebut mereka dapatkan dari salah satu pestisida yang mereka gunakan. Meskipun demikian, masih terdapat petani SLPHT yang menggunakan sendok untuk alat ukur pestisida (Lampiran 13).

(30)

power sprayer. Hampir secara keseluruhan petani menggunakan alat semprot milik sendiri. Alat semprot berupa power sprayer biasanya tidak dicuci setelah melakukan aplikasi. Hand sprayer biasanya dicuci hanya jika telah digunakan untuk aplikasi herbisida dan akan digunakan untuk aplikasi insektisida atau fungisida. Pencucian alat semprot kebanyakan dilakukan di penampungan air yang berada di lahan mereka. Umumnya petani memiliki penampungan air sendiri di lahan mereka yang dipergunakan sebagai sumber air untuk penyiraman dan mencuci alat-alat pertanian, termasuk alat semprot. Pencucian alat semprot di sungai masih banyak dilakukan petani non SLPHT, terutama yang memiliki lahan dekat dengan sungai

Waktu aplikasi atau waktu semprot pestisida dilakukan pada pagi hari. Penentuan waktu semprot pada pagi hari sudah menjadi kebiasaan petani sayuran di kecamatan ini secara turun-temurun. Meskipun demikian, masih juga terdapat petani non SLPHT yang melakukan penyemprotan pada siang hari (Lampiran 13). Selain itu, terdapat juga waktu penyemprotan yang tidak menentu. Hal tersebut biasanya terjadi karena petani menunggu hilangnya kabut pada pagi hari, sehingga penyemprotan dilakukan pada siang atau sore harinya.

Petani SLPHT melakukan penyemprotan dengan arah semprot yang lebih baik daripada petani non SLPHT. Pada Lampiran 13 terlihat bahwa petani SLPHT lebih banyak menyemprot mengikuti arah angin dibandingkan petani non SLPHT. Sebaliknya, jumlah petani SLPHT yang melakukan penyemprotan dengan arah angin sembarang lebih sedikit daripada petani non SLPHT. Maksud dari penyemprotan dengan arah angin sembarang ini adalah penyemprotan yang menyesuaikan arah bedengan atau searah jalur semprot yang sudah mereka buat sebelumnya, sehingga tidak mempedulikan arah angin. Pada umumnya, petani di wilayah ini memang melakukan penyemprotan searah bedengan atau searah jalur semprot dengan alasan memudahkan petani untuk menarik ulur selang dan penambahan cairan semprot jika kehabisan. Dampak dari penyemprotan dengan arah semprot tidak searah dengan arah angin berupa penyemprot terkena paparan pestisida pun dianggap biasa oleh beberapa petani non SLPHT. Sebagian besar petani SLPHT menggunakan pakaian pelindung untuk menghindari paparan pestisida.

Persentase banyaknya petani SLPHT yang menggunakan pakaian pelindung pada saat aplikasi pestisida lebih besar daripada petani non SLPHT (Lampiran 13). Pakaian pelindung yang sering digunakan adalah sepatu, penutup kepala, dan pakaian lengan panjang. Masker dan sarung tangan jarang digunakan oleh beberapa petani karena dirasa mempersulit pada saat aplikasi. Sebagai ganti masker, petani biasanya menggunakan penutup kepala yang sekaligus menutupi mulut dan hidung. Alasan penggunaan pakaian pelindung oleh beberapa petani non SLPHT lebih cenderung untuk melindungi diri dari suhu dingin daripada menghindari paparan pestisida, meskipun beberapa petani menyatakan bahwa mereka pernah merasa pusing dan mual setelah melakukan aplikasi insektisida. Petani tersebut kemudian meminum susu dan istirahat untuk mengobati dampak terpaparnya insektisida. Selain penggunaan pakaian pelindung, penyimpanan pestisida di tempat yang aman juga dapat menghindarkan petani dari keracunan pestisida.

(31)

menyimpan pestisida jauh dari jangkauan anak-anak, terutama pestisida yang sudah terbuka. Penyimpanan pestisida yang masih baru oleh beberapa petani non SLPHT ditempatkan di kamar tidur. Beberapa petani juga ada yang menempatkannya di dapur dan tempat penyimpanan makanan.

Hubungan Tindakan Penggunaan Pestisida dengan Karakteristik Petani Berdasarkan uji khi-kuadrat (Lampiran 14), status kepemilikan lahan dan penghasilan total berpengaruh terhadap tindakan petani SLPHT (Tabel 7). Petani SLPHT yang memiliki lahan sendiri dan penghasilan total yang tinggi lebih baik dalam tindakan penggunaan pestisida. Mereka menggunakan penghasilannya untuk menerapkan PHT pada lahan yang dimilikinya.

Tabel 7 Hubungan karakteristik petani terhadap tindakan penggunaan pestisida

Karakteristik Nilai-P

a

SLPHT Non SLPHT

Umur 0.416 0.599

Status Kepemilikan 0.091b 0.313

Pendidikan 0.211 0.663

Pengalaman bertani 0.984 0.677

Penghasilan total 0.013c 0.238

a

Berdasarkan hasil uji khi-kuadrat b

Tolak H0 pada taraf nyata 10% c

Tolak H0 pada taraf nyata 5%

Hubungan antara Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan

Petani SLPHT

Berdasarkan hasil uji khi-kuadrat, terdapat hubungan yang nyata antara pengetahuan dengan sikap petani SLPHT, pada taraf nyata 1%, dengan nilai-P 0.00 (Lampiran 15). Hubungan tersebut dapat dilihat pada Gambar 8. Pada Gambar 8 terlihat bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan petani SLPHT, tingkat sikapnya juga relatif lebih tinggi.

Pada kegiatan SLPHT, petani tidak hanya diberi pengetahuan secara teori saja, namun juga melihat langsung dan praktek di lapang. Martono (2006) menjelaskan bahwa model pelatihan dengan metode sekolah lapangan (SL) menggunakan 8 asas penting sebagai landasan, yaitu (1) sarana belajar utama ada di lahan, bukan dalam kelas, (2) peserta belajar dan pengalaman sendiri untuk menyelesaikan masalah, (3) kajian ekosistem dilakukan untuk pengambilan keputusan pengelolaan, (4) metode dan bahan yang dipergunakan praktis dan tepat guna, (5) kurikulum disusun berdasar keterampilan yang dibutuhkan dan kondisi ekosistem setempat, (6) pemandu lapangan berfungsi sebagai teman belajar dan fasilitator, (7) petani adalah pengambil keputusan di lahannya sendiri, dan (8) petani menerapkan empat prinsip PHT di lahannya. Sistem pembelajaran tersebut menyebabkan perubahan pola pikir mereka.

(32)

Gambar 8 Hubungan tingkat pengetahuan terhadap tingkat sikap petani SLPHT dalam penggunaan pestisida

Gambar 9 Hubungan tingkat pengetahuan terhadap tingkat tindakan petani SLPHT dalam penggunaan pestisida

Berdasarkan uji khi-kuadrat (Lampiran 17), ada hubungan antara tingkat sikap dengan tingkat tindakan pada taraf nyata 1%. Terlihat pada Gambar 10 bahwa semakin tinggi tingkat sikap petani, tingkat tindakannya relatif lebih tinggi juga. Sebagian petani dengan tingkat sikap rendah–sedang memiliki tingkat tindakan yang tinggi. Hal ini terjadi karena kemungkinan petani tersebut tidak mengikuti kegiatan SLPHT dengan baik, sehingga tingkat pengetahuan yang diperoleh rendah–sedang, dan tingkat pengetahuan tersebut berpengaruh terhadap tingkat sikapnya.

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00

rendah-sedang tinggi

T

ingkat sikap petani SLPHT

(%)

Tingkat pengetahuan petani SLPHT

rendah - sedang tinggi

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

rendah - sedang tinggi

T

ingkat tindakan petani SLPHT

(%)

Tingkat pengetahuan petani SLPHT

(33)

Gambar 10 Hubungan tingkat sikap terhadap tingkat tindakan petani SLPHT dalam penggunaan pestisida

Petani Non SLPHT

Ada hubungan antara pengetahuan dengan sikap pada petani non SLPHT pada taraf nyata 1%, berdasarkan uji khi-kuadrat (Lampiran 18). Hubungan tersebut dapat dilihat pada Gambar 11, yaitu semakin tinggi tingkat pengetahuan petani non SLPHT, tingkat sikapnya juga relatif semakin tinggi. Semua petani dengan tingkat pengetahuan yang rendah, memiliki tingkat sikap yang rendah– sedang pula.

Gambar 11 Hubungan tingkat pengetahuan terhadap tingkat sikap petani non SLPHT dalam penggunaan pestisida

Seperti pada petani SLPHT, pengetahuan petani non SLPHT juga berpengaruh terhadap tindakan mereka. Hasil uji khi-kuadrat menunjukkan tingkat pengetahuan memiliki hubungan dengan tindakan petani non SLPHT, pada taraf nyata 5% (Lampiran 19). Adanya hubungan tersebut tergambar pada Gambar 12. Terlihat bahwa petani dengan tingkat pengetahuan yang tinggi

0

rendah - sedang tinggi

T

ingkat tindakan petani SLPHT

(%)

Tingkat sikap petani SLPHT

rendah-sedang

ingkat sikap non

SLPHT

(%)

Tingkat pengetahuan non SLPHT

(34)

memiliki tingkat tindakan yang relatif lebih tinggi juga. Tindakan juga berhubungan dengan sikap petani non SLPHT. Menurut hasil uji khi-kuadrat, terdapat hubungan yang nyata antara sikap dengan tindakan petani non SLPHT, pada taraf nyata 1% (Lampiran 20). Semakin tinggi tingkat sikap, tingkat tindakannya juga relatif semakin tinggi (Gambar 13).

Gambar 12 Hubungan tingkat pengetahuan terhadap tingkat tindakan petani non SLPHT dalam penggunaan pestisida

Gambar 13 Hubungan tingkat sikap terhadap tingkat tindakan petani non SLPHT dalam penggunaan pestisida

0.00

ingkat tindakan petani non

SLPHT

(%)

Tingkat pengetahuan petani non SLPHT

rendah-sedang

rendah - sedang tinggi

T

ingkat tindakan petani non

SLPHT

(%)

Tingkat sikap petani non SLPHT

(35)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan petani SLPHT dengan non SLPHT dalam penggunaan pestisida. Pengetahuan, sikap dan tindakan petani SLPHT umumnya lebih baik dibandingkan dengan petani non SLPHT. Kegiatan SLPHT memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap tingkat pengetahuan dan sikap petani sayuran di Kecamatan Batur.

Pendidikan memiliki hubungan dengan pengetahuan dan sikap petani SLPHT maupun non SLPHT, tapi tidak berhubungan dengan tindakannya. Karakteristik yang memiliki hubungan dengan tindakan adalah status kepemilikan lahan dan pengasilan total. Baik pada petani SLPHT maupun non SLPHT, terdapat hubungan antara pengetahuan dengan sikap, sikap dengan tindakan, dan pengetahuan dengan tindakan petani dalam penggunaan pestisida.

Saran

(36)

DAFTAR PUSTAKA

Berg HVD, Jiggins J. 2007. Investing in farmers-the impacts of farmer field schools in relation to integrated pest management. World Development. 35(4):663-686. doi:10.1016/j.worlddev.2006.05.004.

[BPS] Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura. 2012. Produksi sayuran di Indonesia tahun 2007-2011 [Internet]. Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura. [diunduh 2012 Nov 20]. Tersedia pada: http://www.deptan.go.id/infoeksekutif/horti/pdf-ATAP2011/Prod-Sayuran. pdf.

Eslita C. 2010. Pengendalian organisme pengganggu tumbuhan pada budidaya kentang di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, dan nilai ekonominya [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Gusfi V. 2002. Persepsi petani sayuran di Cipanas terhadap insektisida sintetis dan botani [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Irfan B. 2008. Kerasionalan petani sayuran dan padi daerah sentra dan non sentra di Jawa Barat terhadap penggunaan pestisida [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Lestari UR. 2012. Prevalensi spesies nematoda sista kentang (Globodera spp.) di Dataran Tinggi Dieng [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[Kementan] Kementrian Pertanian RI. 1994. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 390/Kpts/TP.600/5/1994 tentang Penyelenggaraan Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu. Jakarta (ID): Kementan.

Korani Z. 2012. Application of teaching methods, promoting integrated pest management on the farm school in order to achieve sustainable agriculture.

Procedia. 47 (2012):2187-2191.

Martono E. 2006. SLPHT sebagai lembaga pemberdayaan petani. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian. 2(1):1-5.

Oka IN. 2005. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

PHP Banyumas. 2012a. Data lokasi SLPHT dan SLI wilayah Banyumas [internet]. [Diunduh 2012 Nov 20]. Tersedia pada: http://www.laboratorium phpbanyumas.com/isiwebsite/DATA%20SLPHT%20FILE/DATA%20SLP HT%20LENGKAP%20KABUPATEN%20BANJARNEGARA.pdf.

PHP Banyumas. 2012b. Kegiatan LPHP Banyumas tahun anggaran 2011 [Internet]. [diunduh 2012 Nov 20]. Tersedia pada: http://www.laboratorium phpbanyumas.com/isiwebsite/lokasi%20kegiatan.pdf.

Rambe AY. 2012. Pengetahuan, sikap, dan tindakan petani sayuran di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor dalam mengendalikan hama dan penyakit tanaman [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Rauf A. 1999. Persepsi dan tindakan petani kentang terhadap lalat pengorok daun,

Liriomyza huidobrensis (Blanchard) (Diptera: Agromyzidae). Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan. 11(1):1-13.

(37)

[RI] Presiden Republik Indonesia. 1992. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Jakarta (ID): RI. Semangun H. 2007. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.

Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

Sulistiyono L. 2012. Model pengembangan implementasi kebijakan penggunaan pestisida pada tanaman sayuran di Provinsi Jawa Timur [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Supangat A. 2007. Statistika dalam Kajian Deskriptif, Inferensi, dan Nonparametrik. Jakarta (ID): Kencana Prenada Media Group.

Wudianto R. 2008. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Ed ke-8. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

(38)

LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner penelitian

KUESIONER

PENGETAHUAN, SIKAP, DAN TINDAKAN PETANI SAYURAN DALAM PENGGUNAAN PESTISIDA

DI KECAMATAN BATUR, KABUPATEN BANJARNEGARA

I. INFORMASI UMUM

1. Desa : ...

2. Nama : ... Jenis kelamin: L/P 3. Umur : ... tahun

4. Status kepemilikan : a. Lahan sendiri b. Sewa

c. Penggarap 5. Pendidikan :

a. Tidak tamat SD d. SLTA

b. SD e. D3

c. SLTP f. S1

6. Pengalaman bertani : ... tahun 7. Pekerjaan sampingan :

a. Pedagang c. PNS

b. Pegawai swasta d. Lainnya ... 8. Jumlah anggota keluarga : ... orang

9. Penghasilan per bulan : a. Bertani Rp...

b. Lainnya Rp... 10.Apakah anda pernah mengikuti SLPHT?

a. Ya

b. Tidak (lanjut ke bagian budidaya)

11.Kapan anda mengikuti SLPHT? tahun ... 12.Pengetahuan apa yang anda dapatkan dari SLPHT tersebut?

a. ... b. ... c. ... d. ... 13.Setelah anda selesai mengikuti SLPHT, apakah anda masih merasa perlu

mengikuti pelatihan?

a. Ya, karena ... b. Tidak, karena ... 14.Setelah SLPHT selesai, apakah ada pemantauan kembali oleh PPL atau

pemerintah?

(39)

II. BUDIDAYA SAYURAN

15.Luas areal yang diusahakan : ... ha

16.Tanaman yang sedang ditanam : ... 17.Varietas tanaman : ... 18.Alasan pemilihan tanaman : ... 19.Pola tanam yang digunakan :

a. Satu jenis tanaman secara terus menerus (setiap musim)

b. Rotasi tanaman pada setiap musim dengan tanaman... c. Tumpangsari dengan tanaman... 20.Mengapa menggunakan pola tanam demikian?

... III. PERMASALAHAN HAMA DAN PENYAKIT

21.Jenis OPT dan tingkat serangannya:

Hama Serangana Penyakit Serangana

R / S / B R / S / B

22.Bagaimana cara anda menghitung tingkat serangan hama dan penyakit? ... ... 23.Tindakan apa yang anda lakukan untuk mengendalikan OPT tersebut?

a. Menggunakan pestisida sintetik, alasan ... ... b. Tindakan lainnya, sebutkan: ... ... Alasan ... ... IV. PENGETAHUAN PENGGUNAAN PESTISIDA

24.Apakah anda mengetahui bahwa tidak semua serangga pada tanaman merupakan hama?

a. Ya b. Tidak

25.Apakah anda mengetahui bahwa pestisida merupakan zat kimia yang berbahaya terhadap manusia dan lingkungan?

a. Ya b. Tidak

26.Apakah anda mengetahui perbedaan insektisida, fungisida, herbisida, dan bakterisida?

a. Ya b. Tidak

27.Menurut anda, bagaimana cara aplikasi pestisida yang baik dan benar? ... ... 28.Apakah anda mengetahui 5 tepat?

(40)

29.Apakah anda mengetahui bahwa alat semprot yang telah digunakan harus segera dicuci?

a. Ya b. Tidak

30.Apakah anda mengetahui tempat yang aman untuk menyimpan pestisida?

a. Ya b. Tidak

31.Apakah anda mengetahui bahwa penggunaan pestisida yang sama berturut-turut dapat menyebabkan hama dan penyakit kebal?

a. Ya b. Tidak

V. PERNYATAAN MENGENAI SIKAP TERHADAP PENGGUNAAN PESTISIDA

32.Serangga bukan hama pada tanaman adalah musuh alami hama, dan serangga tersebut membantu dalam pengendalian hama

a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Ragu-ragu

33.Tanaman yang sering disemprot pestisida dapat mengandung racun a. Sangat setuju d. Tidak setuju

b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Ragu-ragu

34.Masing-masing jenis pestisida seharusnya hanya digunakan untuk membunuh jenis hama atau penyakit tertentu saja

a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Ragu-ragu

35.Label pada kemasan pestisida seharusnya dibaca terlebih dahulu sebelum menakar

a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Ragu-ragu

36.Dosis pestisida seharusnya disesuaikan dengan yang dianjurkan pada kemasan

a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Ragu-ragu

37.Penyemprotan seharusnya dilakukan pada pagi atau sore hari a. Sangat setuju d. Tidak setuju

b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Ragu-ragu

38.Penyemprotan seharusnya dilakukan searah dengan arah angin a. Sangat setuju d. Tidak setuju

b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Ragu-ragu

39.Pada saat penyemprotan, seharusnya menggunakan pelindung tubuh (pakaian tertutup, masker, sarung tangan, penutup kepala, sepatu, dll) a. Sangat setuju d. Tidak setuju

(41)

40.Alat semprot seharusnya tidak dicuci di sungai/parit a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Ragu-ragu

41.Kemasan pestisida seharusnya disimpan jauh dari jangkauan anak-anak a. Sangat setuju d. Tidak setuju

b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Ragu-ragu

42.Seharusnya tidak menggunakan pestisida yang sama secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama

a. Sangat setuju d. Tidak setuju b. Setuju e. Sangat tidak setuju c. Ragu-ragu

VI. TINDAKAN DALAM PENGGUNAAN PESTISIDA

43.Dalam mengendalikan OPT, anda menggunakan pestisida apa saja? a. ... sebanyak ... (g/l; cc/l),

untuk mengendalikan ... b. ... sebanyak ... (g/l; cc/l),

untuk mengendalikan ... c. ... sebanyak ... (g/l; cc/l),

untuk mengendalikan ... d. ... sebanyak ... (g/l; cc/l),

untuk mengendalikan ... e. ... sebanyak ... (g/l; cc/l),

untuk mengendalikan ... 44.Apakah anda melakukan pengamatan?

a. Ya, kapan? ... Alasan ... b. Tidak, alasan ... 45.Apakah anda membaca label pestisida sebelum menggunakannya?

a. Ya b. Tidak

46.Alat apa yang anda gunakan untuk mengukur dosis pestisida? a. Tutup kemasan c. Gelas

b. Sendok d. Lainnya ... 47.Kapan anda melakukan penyemprotan?

a. Pagi b. Siang c. Sore

48.Pada kondisi berangin, bagaimana anda melakukan penyemprotan? a. Searah angin b. menentang arah angin c. Sembarang 49.Apakah anda menggunakan pakaian pelindung pada saat penyemprotan?

a. Ya, sebutkan ... b. Tidak

50.Di manakah anda mencuci alat semprot setelah selesai digunakan?

a. Sungai c. Lainnya ... b. Tempat cuci di rumah

51.Dimana anda menyimpan pestisida? a. Di bawah tempat tidur

(42)

c. Di ruang tamu d. Di gudang

e. Lainnya ... 52.Apakah anda sering mengganti-ganti pestisida dalam satu musim?

Ya/Tidak

Mengapa? ... VII. INFORMASI LAINNYA

53.Berapa kali anda melakukan penyemprotan pestisida dalam satu kali musim tanam? ... kali

54.Apakah anda sering mencampur beberapa jenis pestisida dalam setiap kali aplikasi? Ya/Tidak, Mengapa? ... 55.Darimana anda mengetahui cara penggunaan pestisida?

a. Membaca kemasan

b. Pelatihan dari ... c. Petugas PPL

d. Membaca buku/majalah e. Pengalaman

f. Teman

g. Lainnya ... 56.Apakah anda memerlukan pendampingan dalam penggunaan pestisida?

a. Ya, alasan ... b. Tidak, alasan ... 57.Alat apa yang anda gunakan untuk penyemprotan?

... 58.Siapa yang memiliki alat yang anda gunakan tersebut?

a. Sendiri d. Kelompok tani

b. Teman e. Lainnya ... c. keluarga

59.Khusus untuk petani alumni SLPHT yang masih menggunakan sistem pertanian konvensional: Mengapa anda kembali melakukan sistem pertanian konvensional dengan menggunakan pestisida sebagai pengendali utama hama?

Gambar

Tabel 1  Pendapatan petani
Tabel 2  Status kepemilikan dan luas lahan
Tabel 3  Varietas tanaman sayuran yang dibudidayakan
Gambar 3  Perbedaan pengetahuan tentang pestisida antara petani SLPHT dan non
+7

Referensi

Dokumen terkait

keracunan pestisida pada petani Dusun Banjarrejo Desa Kembang Kuning. Kecamatan Cepogo

Pengaruh Pemutaran Media Audio Visual (Video) terhadap Peningkatan Pengetahuan Tentang Keracunan Pestisida pada Petani Bawang Merah (Studi Kasus pada Petani di

Adapun Tujuan Penelitian adalah untu mengetahui aplikasi pestisida dan pupuk sesuai standar atau tidak, untuk mengetahui sikap petani terhadap penggunaan pestisida dan pupuk,

Frekuensi penyemprotan pestisida yang dilakukan petani hortikultura di Kecamatan Ngablak berkisar antara 1 hingga 3 kali per minggu, penyemprotan juga dilakukan setiap

Hasil , Sebanyak 14,3 % petani dari hasil pemeriksaan kadar kolinesterase pada petani desa Sumberejo di Kecamatan Ngablak mengalami keracunan pestisida dan 34,3%

Judul penelitian ini adalah Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Petani Bawang Merah yang menggunakan Pestisida dengan Kejadian Keracunan pada Petani di Kecamatan

Variabel-variabel tentang paparan pestisida yang berhubungan signifikan dengan kejadian BBLR di Desa Pandean dan Girirejo Kecamatan Ngablak Magelang Jawa Tengah Tahun 2011

Hasil, Sebanyak 14,3 % petani dari hasil pemeriksaan kadar kolinesterase pada petani desa Sumberejo di Kecamatan Ngablak mengalami keracunan pestisida dan 34,3%