• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Penerapan Prinsip Dasar Masyarakat Dan Pola Masyarakat Sunda Pada Atribut Busana Pernikahan Adat Sunda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Penerapan Prinsip Dasar Masyarakat Dan Pola Masyarakat Sunda Pada Atribut Busana Pernikahan Adat Sunda"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

Daftar Riwayat Hidup

Data Pribadi

Nama : Emmi Kurnianingsih

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat, Tanggal Lahir : Bandung, 7 September 1987

Agama : Islam

Kewarganegaraan : Indonesia Status Perkawinan : Belum Menikah Tinggi, Berat badan : 155 cm, 42 kg

Kesehatan : Sangat Baik

Alamat : Jln Cingcin Kolot No.33 RT 01/17, Desa Cingcin Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung.

Telepon, HP : (022) 91792838, 085624080502

e-mail

Pendidikan

1996-2001 : SDN Simpang Baru, Bandung. 2001-2003 : SLTPN 1 Katapang, Bandung. 2003-2005 : SMAN 1 Margahayu, Bandung.

(2)

Kemampuan

1. Kemampuan menggunakan program Adobe Photoshop CS3, Adobe Illustrator CS3, Adobe InDesign CS3, Adobe Flash CS3, Adobe Dreamweaver CS3, CorelDRAW X4.

2. Microsoft Office, (MS Word, MS Excel, MS Power Point, MS Access, MS Outlook).

3. Kemampuan Internet.

Pengalaman Kerja

2005-2006 : ADM Alexandra SPA

2006 : Part time SPG Nutrilon

2006 : Part time SPG Esia

2007 : ADM Skizophonic Design

Bandung, 30 Agustus 2010

(3)

ABSTRAK

Emmi Kurnianingsih. Kajian Penerapan Prinsip Dasar Masyarakat dan Pola Masyarakat Sunda Pada Atribut Busana Pernikahan Adat Sunda. Skripsi : Program studi Desain Komunikasi Visual, Universitas Komputer Indonesia. 2010

Salah satu bagian yang berpengaruh pada prosesi pernikahan adat Sunda adalah busana dan atribut. Bahasa-bahasa simbolik yang digunakan dalam busana dan atribut memiliki keunikan tersendiri. Selain kaya identitas budaya Sunda, bentuk-bentuk dalam atribut juga memiliki berbagai macam makna tersembunyi yang jika diselami mengandung norma-norma dan nilai-nilai luhur.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana peran busana dan atribut dalam upacara pernikahan adat Sunda, dan bagaimanakah nilai-nilai yang terkandung dalam busana dan atribut dalam upacara pernikahan adat Sunda.

Untuk kepentingan tersebut, dalam penelitian ini penulis menggunakan metode Semantik yang dipandang sebagai salah satu metode mendasar untuk memahami makna-makna dari simbol-simbol baik dalam bentuk budaya maupun dalam bentuk visualisasi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya, busana dan atribut memiliki peran mendasar dalam prosesi pernikahan adat Sunda, bahkan dipandang sebagai media pendidikan dan nasihat yang secara khusus ditujukan kepada mempelai dan hal ini dapat dilihat dari nilai-nilai yang dikemukakannya. Kemudian, makna filosofis digambarkan dengan nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup masyarakat Sunda itu sendiri. Secara umum, dimensi-dimensi yang dikandung terdapat tiga dimensi-dimensi besar yakni; (1) dimensi-dimensi ketuhanan, (2) dimensi kemanusiaan, dan (3) dimensi kealaman

Kesimpulannya penggunaan atribut pada busana pengantin adat Sunda pada dasarnya cerminan dari bentuk-bentuk yang menginterpretasikan apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh masyarakat Sunda itu sendiri. Pengaruhnya terdapat pada prinsip dasar masyarakat Sunda yang Silih Asih, Silih Asuh, dan Silih Asah serta pola-pola masyarakat Sunda itu sendiri.

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kebudayaan suatu bangsa tidak hanya merupakan suatu aset, namun juga jati diri. Itu semua muncul dari khasanah kehidupan yang sangat panjang, yang merupakan hasil perpaduan oleh batin maupun pemikiran nenek moyang ataupun keturunannya, setelah mereka beradaptasi dengan alam dan jajaran makhluk hidup di dalamnya. Sebagai bangsa, Indonesia bisa berlega hati karena nenek moyang telah mewarisi kebudayaan yang sangat tinggi, beragam, dan sangat bermutu. Salah satu peninggalan leluhur yang masih terpelihara dengan apik hingga saat ini adalah upacara pernikahan adat.

Salah satu upacara pernikahan adat Nusantara yang banyak meramaikan pesta-pesta pernikahan saat ini adalah pernikahan adat Sunda. Dahulunya, upacara adat ini hanya diselenggarakan oleh para bangsawan atau ningrat di lingkungan tembok-tembok keraton. Belakangan, adat budaya itu mulai merambah ke luar tembok keraton lewat para pegawai dan punggawa keraton. Ketika zaman keemasan kerajaan-kerajaan itu semakin pudar, adat budaya keraton itu sudah dikenal luas di masyarakat.

(5)

beragam gaya busana pengantin Sunda. Namun, yang paling dikenal ada dua gaya yaitu busana pengantin Sunda Putri dan busana pengantin Sunda Siger.

Sebagai peristiwa yang diharapkan hanya terjadi sekali dalam seumur hidup, semua pasangan hidup tentu mengharapkan agar semua rangkaian upacara itu bisa terlaksana dengan sukses dan sesuai dengan apa yang diharapkan. Sukses tidaknya upacara perhelatan pernikahan itu, selain tergantung tersediannya daya dan dana, juga pengetahuan serta pendalaman tentang bagaimana menyelenggarakan upacara yang sakral dan agung itu. Paduan pakaian dan perhiasan pengantin Sunda atau atribut yang sudah bercampur dengan serangkaian tata upacara adat yang rumit, menyebabkan bukan merupakan tugas yang mudah bagi siapa pun untuk menyelenggarakan pesta pernikahan adat ini, karena atribut dan peralatan lainnya merupakan satu-kesatuan dan terdapat korelasi dengan pola masyarakat Sunda serta prinsip dasar masyarakat Sunda itu sendiri.

Menyiapkan pesta pernikahan, lebih-lebih pesta pernikahan adat, sangatlah tidak mudah. Terdapat tahapan-tahapan upacara disertai perangkat upacara yang harus hadir dalam pelaksanaan upacara adat secara utuh, karena masyarakat akan menilai bentuk pernikahan yang dilakukan tersebut. Maka Sebagai suatu upacara yang sakral, agung, dan monumental, upacara pernikahan ini perlu dipersiapkan dengan matang dan cermat, karena tahapan dan pernak-pernik untuk menyertai pesta pernikahan adat itu memiliki makna ritual sendiri-sendiri. Selain rangkaian upacara itu harus lengkap, urutan upacaranya pun harus runtun.

(6)

Semua adat-istiadat ini merupakan rambu-rambu moral bahwa sejak gadis dan perjaka keduanya harus menjaga kehormatannya sebagai perempuan dan laki-laki. Selayaknya adat-istiadat, semua itu disampaikan secara simbolis yang sangat indah. Dan pada prinsipnya upacara prosesi pernikahan adat Sunda itu sendiri merupakan satu-kesatuan, utuh, dan tidak untuk diambil makna-makna yang perlu saja. Masalahnya adalah kondisi masyarakat sekarang yang lebih melihat dari nilai fungsi, sehingga yang dinilai rendah fungsinya akan diabaikan.

1.2 Identifikasi Masalah

1. Prosesi pernikahan adat Sunda yang ada dan terjadi secara turun-temurun pada saat ini tidak digunakan lagi secara utuh.

2. Adanya keterkaitan antara pola masyarakat Sunda dan prinsip dasar masyarakat Sunda dengan atribut pada busana pengantin adat Sunda.

3. Adanya perubahan nilai strata (terutama pada pelaku), dan penurunan nilai (lebih bersifat profan) pada prosesi pernikahan adat Sunda yang berkembang saat ini.

1.3 Rumusan Masalah

Dari uraian tersebut diatas, maka dapat diketahui titik permasalahannya yaitu sebagai berikut :

1. Mengetahui modifikasi atribut yang digunakan pada pengantin adat Sunda, baik Sunda Putri maupun Sunda Siger, serta nilai-nilai yang terkandung didalamnya.

(7)

1.4 Batasan Masalah

Dari masalah yang sudah diuraikan maka batasan masalahnya adalah: 1. Dibatasi pada nilai-nilai yang terkandung di dalam atribut pernikahan adat

Sunda.

2. Dibatasi pada bentuk-bentuk yang mencerminkan prinsip dasar masyarakat Sunda dan pola masyarakat Sunda.

Untuk itu penelitian ini membahas atribut pada dua pernikahan adat Sunda yaitu pernikahan adat Sunda Putri dan adat Sunda Siger. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pernikahan adat Sunda yang paling populer adalah Sunda Putri dan Sunda Siger, menjadi panutan atau referensi bagi banyak calon pengantin asal Sunda.

1.5 Metode Penelitian

Metode berasal dari kata “Yunani purba” yang artinya Methodo, jalan kearah ilmu pengetahuan atau cara kerja, dapat juga berarti sebagai pangkal haluan, maka demikian metode berarti kata penyelidikan untuk memperoleh pengertian ilmiah terhadap suatu objek sehingga dapat dicapai kebenaran yang objektif.

Untuk memperoleh gambaran yang objektif harus dibantu oleh teknik penelitian itu sendiri. Adapun teknik penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut :

A. Pengumpulan data kepustakaan.

Maksudnya untuk mengumpulkan dan mencari data tersebut melalui buku-buku literatur, asas-asas dan susunan hukum adat Sunda yang ada relevansinya dengan penulisan ini.

(8)

B. Pengumpulan data lapangan. 1. Metode Observasi.

Pada metode observasi peneliti melakukan pengamatan dan pencatatan secara cermat dan sistematik terhadap gejala atau fenomena yang diselidiki tanpa mengajukan pertanyaan-pertanyaan, meskipun objeknya orang.

2. Wawancara dengan para ahli.

Wawancara yaitu suatu proses tanya jawab lisan yang merupakan alat pengumpulan informasi yang langsung tentang data yang erat kaitannya dengan objek penelitian dari para pihak yang berkompeten dibidangnya. Wawancara yang dilakukan yaitu terhadap Ketua HARPI melati Jawa Barat H. Yadi Kesumawijaya. Dan beberapa ahli rias pengantin di Kota Bandung Tati Sarmilin, di Kabupaten Bandung Enung Nurhayati. Pertanyaan disampaikan secara lisan kepada para ahli dan peneliti mencatat dan menjadikannya sebagai resume dan sumber bahan kajian.

Untuk mengkaji makna yang terkandung pada atribut pernikahan adat Sunda maka menggunakan metode yang berhubungan dengan filsafat yaitu metode pendekatan Semantik dan pemaknaan, dimana metode ini berusaha untuk menafsirkan simbol-simbol yang terdapat pada atribut pernikahan adat Sunda.

Semantik adalah filsafat atau ilmu tentang penafsiran secara ilmiah. Dimana dalam kehidupan, manusia terus menerus dituntut untuk menafsirkan berbagai gejala, fakta dam teks.

(9)

1.6 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan:

1. Mengetahui perbedaan atribut yang digunakan pada pengantin adat Sunda Putri dan pengantin adat Sunda Siger.

2. Mengetahui nilai-nilai atau pemaknaan yang terdapat pada atribut pengantin adat Sunda.

1.7. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: a. Manfaat umum:

1. Menjadi sumber referensi budaya atau warisan nenek moyang berupa prosesi pernikahan adat Sunda.

2. Mempertahankan eksistensi nilai budaya Sunda dalam penelitian yang menjelaskan pernikahan adat Sunda.

b. Manfaat DKV:

1. Memberikan informasi tentang bentuk, motif, warna serta penggayaan estetika yang digunakan pada pernikahan adat Sunda.

c. Manfaat Profesi:

(10)

1.8. Sistematika Penulisan

Pada sistematika tulisan ini dibagi menjadi lima bab utama yaitu:

Bab I PENDAHULUAN

Berisikan pendahuluan yang membahas tentang permasalahan yang berkembang pada masyarakat Sunda tentang prosesi pernikahan, dimana mengidentifikasikan beberapa masalah yang kemudian terdapat rumusan masalah yang dibatasi pada motif, bentuk serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Bab II PERNIKAHAN PADA ADAT SUNDA

Dalam bab ini merupakan bab yang membahas dan mendeskripsikan pernikahan secara utuh serta beberapa teori yang berhubungan langsung dengan pembahasan mengenai tata cara pernikahan dan nilai-nilai yang terkandung di dalam suatu pernikahan.

Bab III ARTI SIMBOL PADA ATRIBUT PERNIKAHAN ADAT SUNDA Disini menguraikan data yang mendasari objek penelitian. Uraian data ini meliputi tentang dua konsep pernikahan yang ada pada pernikahan adat Sunda, atribut-atribut yang digunakan pada pernikahan tersebut, serta pemaknaannya terhadap filosofis hidup.

Bab IV KAJIAN RELEVANSI ATRIBUT PADA BUSANA PENGANTIN ADAT SUNDA DENGAN PRINSIP DAN POLA MASYARAKAT SUNDA. Bab ini membahas uraian permasalahan dari objek penelitian yaitu atribut pada pernikahan adat Sunda yang mencerminkan makna silih asih, silih asah, dan silih asuh.

Bab V SIMPULAN

(11)

BAB II

PERNIKAHAN ADAT SUNDA

2.1 Konsep Pernikahan

Pernikahan adalah upacara pengikatan janji dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan suatu ikatan secara hukum agama, hukum negara, dan hukum adat.

Adapun beberapa pengertian Pernikahan antara lain sebagai berikut :

1. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Pernikahan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri. Pernikahan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Pernikahan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena menikah/kawin adalah sesuatu yang sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang (Adhim, 2002:4).

3. Pernikahan adalah sebuah kebersamaam dan persahabatan. Hidup bersama, bekerjasama, melakukan banyak hal bersama dan tak menginginkan yang lain (Musa, 2006:10).

4. Pernikahan artinya pengertian, biasanya buta terhadap kesalahan pasangan, biasanya penuh pengertian atas setiap hal-hal atas waktu, perasaan dan keinginan pasangannya (Goodman, 2003:7).

(12)

suku satu dan yang lain pada satu bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Penggunaa aturan atau hukum Pernikahan sebagai peristiwa penting bagi dan dikenang sehingga perlu adanya upacara.

Pernikahan merupakan suatu peristiwa yang sangat sakral dan dinantikan setiap pasangan. Sakral yaitu memanifestasikan diri sebagai sebuah realitas yang secara keseluruhan berbeda tingkatannya dari realitas-realitas “alami” (Eliade, 2002 : 2). Sakral sendiri bagi masyarakat Sunda yaitu sebagai sarana manusia berhubungan dengan yang Illahi. Oleh karena itu tidak sedikit pasangan yang melakukan persiapan pernikahan jauh hari sebelumnya, dan yang paling penting dilakukan oleh pasangan menjelang pernikahan adalah mendekatkan diri kepada Tuhan dan memohon restu-Nya agar pernikahan yang akan dilangsungkan sukses, lancar, dan bahagia lahir batin selamanya.

Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat dokumen tertulis yang mencatatkan pernikahan ditanda-tangani. melakukan upacara berdasarkan adat-istiadat yang berlaku, dan kesempatan untuk merayakannya bersama teman dan keluarga. Wanita dan pria yang sedang melangsungkan pernikahan dinamaka upacaranya selesai kemudian mereka dinamaka

(13)

2.2 Pernikahan dalam Masyarakat Sunda

Untuk terlaksananya hubungan antara manusia di dalam suatu masyarakat diciptakan norma-norma seperti: cara, kebiasaan, tatakelakuan, dan adat-istiadat. Sejalan dengan itu, adat istiadat pernikahan masyarakat Sunda di Parahiyangan Jawa Bara pada umumnya sama. Namun ada beberapa kekhasan di tiap daerah dalam pelaksanaannya meskipun jelas-jelas bahwa pelaksanaan adat istiadat pernikahan masyarakat Sunda zaman dahulu berbeda dengan adat istiadat pernikahan pada zaman sekarang. Demikian juga dalam masalah perjodohannya. Pada zaman dahulu adakalanya seorang anak perempuan dijodohkan oleh orang tuanya dengan anak sahabat atau rekannya tanpa sepengetahuan dan persetujuan anaknya, karena pernikahan juga dianggap sebagai status yang akan berpengaruh terhadap kehidupan dan nama baik keluarga. Maka dari itu, meskipun belum cukup umur, anak perawannya tersebut sudah dinikahkan.

Di dalam prosesi pernikahan adat Sunda, ada beberapa ritual yang perlu dipahami maknanya bersama, karena dalam pernikahan atau perkawinan yang ada di Indonesia khususnya penghormatan kepada Tuhan Sang Pencipta maupun kepada orang tua. Pernikahan adat Sunda sangat kental dengan penghormatan kaum wanita, Suasana pernikahan dilaksanakan dengan suasana yang penuh bahagia, penuh humor. jadi perasaan bahagia akan selalu mengiringi upacara pernikahan ini. Menurut masyarakat Sunda, laki-laki dan perempuan diciptakan oleh Tuhan agar bersatu menjadi loro-loroning atunggal. Dengan pernikahan, laki-laki dan perempuan dipersatukan oleh Sang Pencipta menjadi satu roh, satu jiwa. Karena filosofi pernikahan bagi masyarakat Sunda adalah demikian, maka perceraian tidak boleh dilakukan, kecuali oleh kehendak Tuhan atau salah satunya meninggal (Harsojo, 2003: 45).

(14)

Demikian pula pada upacara pernikahan adat Sunda di Jawa Barat, ada hal-hal yang masih tetap dipertahankan, namun ada pula yang sudah mulai dihilangkan atau dikurangi intensitasnya. Hal itu disebut Profan, menurut Mircea Eliade dalam Sakral dan Profan (2002:7) Profan berarti ruang dan waktu bersifat homogen, tidak ada ruang istimewa, dan tidak ada waktu istimewa atau bisa dikatakan dengan pengingkaran terhadap adanya sesuatu yang sakral. Misalnya saja tata cara adat sewaktu melamar, atau nanyaan, nyawer, huap lingkung, seserahan dan sebagainya. Kalaulah ada, tapi sudah mengalami perubahan atau setidak-tidaknya disesuaikan dengan dengan lingkungan jaman, kemampuan pemangku hajat, serta situasi dan kondisi setempat. Namun pada dasarnya masyarakat Sunda merupakan masyarakat yang terbuka (open society) dalam menghadapi proses globalisasi di semua bidang. Menurut Agus Sachari dalam Budaya Visual Indonesia (2007:10) masyarakat terbuka merupakan masyarakat madani yang selalu berjuang untuk memperbaiki dirinya sendiri melalui pemikiran kreatif warganya dalam menghadapi berbagai tuntutan yang selalu meningkat dan berubah. Meskipun masyarakat Sunda masyarakat yang kreatif namun masyarakat Sunda masih menerapkan sistem kekerabatan yang ada secara turun-temurun dan semua ini tercermin dalam upacara pernikahan adat Sunda, pada hari perkawinan atau pernikahan, calon pengantin pria diantar dengan iring-iringan dari suatu tempat yang telah ditentukan menuju ke rumah calon pengantin wanita. Bila pengantin pria berdekatan rumah dengan pengantin wanita maka calon pengantin pria langsung menuju ke rumah calon pengantin wanita.

2.3 Prinsip Dasar Masyarakat Sunda.

(15)

demikian, karena ini merupakan produk berpikir manusia Sunda, maka ungkapan ini tetap relevan bagi masyarakat Sunda sekarang.

Konsep dasar silih asih yaitu wujud komunikasi dan interaksi religius sosial yang menekankan sapaan cinta kasih Tuhan dan merespons cinta kasih Tuhan tersebut melalui cinta kasih kepada sesama manusia. Dengan ungkapan lain, silih asih merupakan kualitas interaksi yang memegang teguh nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan. Semangat ketuhanan dan kemanusiaan inilah yang melahirkan moralitas egaliter (persamaan) dalam masyarakat. Dalam tradisi masyarakat silih asih, manusia saling menghormati, tidak ada manusia yang dipandang superior maupun imperior, sebab menentang semangat ketuhanan dan kemanusiaan. Mendudukan manusia pada kedudukan superior atau imperior merupakan praktek syirik sosial. Dalam masyarakat silih asih manusia didudukkan secara sejajar atau egaliter (Rakep dendeng papak sarua) satu sama lainnya.

Konsep dasar silih asah adalah masyarakat yang saling mengembangkan diri untuk memperkaya khazanah pengetahuan dan teknologi. Tradisi silih asah melahirkan etos dan semangat ilmiah dalam masyarakat religius merupakan upaya untuk menciptakan otonomi dan kedisiplinan sehingga tidak memiliki ketergantungan terhadap yang lain, sebab tanpa tradisi ilmu pengetahuan dan teknologi dan semangat ilmiah, suatu masyarakat akan mengalami ketergantungan sehingga mudah tereksploitasi, tertindas, dan terjajah. Silih asah adalah semangat interaksi untuk saling mengembangkan diri kearah penguasaan dan penciptaan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga masyarakat memiliki tingkat otonomi dan disiplin yang tinggi. Dalam masyarakat Sunda yang silih asah, ilmu pengetahuan dan teknologi mendapat bimbingan etis sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lagi angkuh, tetapi tampak anggung, bahkan memperkuat ketauhidan. Integrasi ilmu pengetahuan dan teknologi dan etika ini merupakan terobosan baru dalam kedinamisan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan membuka dimensi transenden, dimensi harapan, evaluasi kritis, dan tanggung jawab.

(16)

saling menasehati. Budaya silih asuh inilah yang kemudian memperkuat ikatan emosional yang telah dikembangkan dalam tradisi silih asih dan silih asah dalam masyarakat Sunda. Oleh karena itu, dalam masyarakat Sunda sangat jarang terjadi konflik dan kericuhan, tetapi ketika ada kelompok lain yang mencoba mengusik ketenangannya, maka mereka bangkit melawan secara serempak (simultan). Budaya silih asuh inilah yang merupakan manifestasi akhlak Tuhan Yang Maha Pembimbing dan Maha Menjaga. Hal inilah yang kemudian dilembagakan dalam silih amar ma’ruf nahi munkar. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa silih asuh merupakan etos pembebasan dalam masyarakat Sunda dari kebodohan, keterbelakangan, kegelisahan hidup, dan segala bentuk kejahatan.

Dengan demikian, busaya silih asih, silih asah, dan silih asuh tetap akan selalu relevan dalam menghadapi tantangan modernisasi. Melalui strategi budaya silih asih, silih asah, dan silih asuh, manusia modern akan dikembalikan citra dirinya sehingga akan terbatas dari kegelisahan, kebingungan, dan penderitaan serta ketegangan psikologis dan etis.

2.4 Pola Masyarakat Sunda.

Setiap suku di Indonesia mempunyai pola berpikir tetap, yakni bagaimana manusia dan Alam-Semesta serta Ketuhanan itu tersusun hubungan-hubungannya (Jakob Sumardjo, 2006 : 19). Pola tetap itu menjadi struktur yang khas untuk setiap suku. Struktur berpikir suku mengenai realitas itulah yang harus di cari kembali di balik semua artefak-artefaknya, termasuk artefak seni.

Pola dan struktur ini merupakan arkeologi pikiran dalam kehidupan manusia Indonesia, begitupun pada masyarakat Sunda. Struktur adalah sisi elastis pola, keduduannya antara berubah dan tidak berubah. Berubah oleh susunan strukturalnya, tida berubah karena setia pada pola dasarnya, struktur disusun berdasarkan pola tertentu yang pada dasarnya rasional.

(17)

a. Pola Dua.

Dasar berpikir pola dua adalah bahwa hidup itu pemisahan, persaingan, dan konflik. Dalam masyarakat berpola dua, jumlah kelompok sosial bukan semakin menyatu, tetapi semakin terpisah-pisah (Jakob Sumardjo, 2006 : 33). Dari sinilah lahir pembeda antara pria dan wanita, dimana pemujaan kaum pria mendapat tempat terhormat dalam etika sosial. Masyarakat berpola dua sering disebut masyarakat peramu, yaitu segala sesuatu bergantung pada Alam.

b. Pola Tiga.

Pola tiga dalam kebudayaan Indonesia berkembang di lingkungan masyarakat primordial yang hidup dengan cara berladang (Jakob Sumardjo, 2006 : 71). Hidup bagi masyarakat berpola tiga yaitu pemisahan tetapi saling melengkapi. Seperti halnya langit dan bumi dimana antara langit dan bumi ada manusia, karena masyarakat berpola tiga yakin pemisahan segala hal tidak baik. Menurut masyarakat pola tiga hidup adalah harmoni, dimana syarat hidup tentunya ada dua hal yang saling bertentangan tetapi saling melengkapi.

Pada masyarakat primordial atau berpola tiga, menempatkan dunia atas sebagai cerminan yang berasaskan perempuan dan dunia bawah berasaskan kaum pria, namun hasil pernikahan atau harmoni keduanya menempatkan dunia tengah manusia secara berbeda.

c. Pola Empat.

Dalam pola empat dikenal adanya pembagian hulu dan hilir, bagian hulu lebih sakral daripada bagian hilir yang bersifat profan (Jakob Sumardjo, 2006 : 149). Kosmologinya terdiri dari tanah, langit, laut, dan dunia manusia sendiri.

d. Pola Lima.

(18)

2.5 Struktur Masyarakat Sunda

Budaya Sunda dikenal denga sopan santun. Pada umumnya karakte (someah), murah senyum lemah lembut dan sangat menghormati Itul diajarkan bagaimana menggunaka antropologi-budaya dapat dikatakan bahwa yang disebut suku bangsa Sunda adalah orang-orang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa-ibu bahasa Sunda serta digunakannya dalam kehidupan sehari-hari, dan berasal serta bertempat tinggal di daerah Jawa Barat, daerah yang sering disebut Tanah Pasundan atau Tatar Sunda (Harsojo, 2003:32).

Pola masyarakat Sunda, pada umumnya, hidup dari ladang, yang berdasarkan pandangan ini, merupakan campuran antara mentalitas peramu dan sawah, sehingga melahirkan mentalitas ganda. Gambaran dasar mentalitas ganda tersebut adalah bersifat produktif (sawah) tetapi juga konsumtif alam (peramu) yaitu bersifat independen dan dependen secara sosial, sehingga hubungan pihak keluarga (dalam) dan masyarakat (luar) bersifat resiprokal atau saling berbalasan yang disebut juga komunikasi dua arah (Sumardjo, 2003:202).

(19)

kepentingan kehidupan dan perkembangan desa yang bersangkutan. Struktur masyarakat seperti ini disebut masyarakat suku atau agraris.

Sistem keluarga dalam suku Sunda bersifat parental, garis keturunan ditarik dari pihak ayah dan ibu bersama. Dalam keluarga Sunda, ayah yang bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dan peranan agama Islam yang sangat mempengaruhi adat istiadat mewarnai seluruh sendi kehidupan suku Sunda. Dalam suku Sunda dikenal adanya pancakaki yaitu sebagai istilah-istilah untuk menunjukkan hubungan kekerabatan. Contohnya pertama, saudara yang berhubungan langsung, ke bawah, dan vertikal. Yaitu anak, incu (cucu), buyut (piut), bao, canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau gantungsiwur. Kedua, saudara yang berhubungan tidak langsung dan horizontal seperti anak paman, bibi, atau uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak saudara piut. Ketiga, saudara yang berhubungan tidak langsung dan langsung serta vertikal seperti keponakan anak kakak, keponakan anak adik, dan seterusnya. Tentunya hal ini mempengaruhi hubungan kekerabatan seseorang dengan orang lain akan menentukan kedudukan seseorang dalam struktur kekerabatan keluarga besarnya, menentukan bentuk hormat menghormati, harga menghargai, kerjasama, dan saling menolong di antara sesamanya, serta menentukan kemungkinan terjadi atau tidaknya pernikahan di antara anggota-anggotanya guna membentuk keluarga inti baru. Dalam suatu pernikahan tentunya terdapat banyak tahapan dan urutan yang seharusnya dilakukan secara berurutan.

2.6 Tahapan-tahapan dalam Prosesi Pernikahan Adat Sunda 2.6.1. Tahap Penjajakan.

(20)

biasanya dilakukan serapi mungkin, dan sering secara tertutup. Diusahakan agar keluarga mendapat menantu yang baik, walaupun baik di sini mempunyai arti yang relatif. Untuk mengetahui makna baik, maka perlu diketahui sistem nilai-nilai budaya yang berlaku di daerah tersebut. Di daerah pedesaan yang kuat kehidupan agamanya, faktor orientasi agama memainkan peranan yang penting. Pada umumnya di daerah pedalaman telah dikenal pula moralitas pernikahan yang dapat dilihat dari bahasa dan pepatah dalam bahasa itu sendiri. Di Pasundan dikatakan misalnya, “lampu nyiar jodo kudu kapupus” Artinya, kalau mencari jodoh, harus kepada orang yang sesuai dalam segalanya, baik rupa, kekayaan, maupun keturunan. Atau, “lamun nyiar jodo, kudu kanu sajawa sabeusi” (mencari jodoh itu harus mencari yang sesuai dan cocok dalam segala hal). Hal ini merupakan bentuk pesan secara turun-temurun dari orang tua terhadap anaknya yang lebih bersifat wejangan atau amanat yang harus diperhatikan oleh sang mempelai wanita ataupun pria dalam memilih pasangan hidup agar kelak tidak terjadi sesuatu yang tidak diharapkan.

Menurut Artati Agoes (2003:6) ada beberapa tahapan dalam melaksanakan prosesi pernikahan yaitu sebagai berikut :

1. Neundeun Omong.

Di tanah Pasundan, “pencarian jodoh” ini bisa dilakukan oleh si muda-mudi itu sendiri atau pihak keluarga mereka. Di beberapa kota di daerah Jawa Barat ada waktu-waktu tertentu yang memungkinkan terwujudnya pertemuan di antara muda-mudi. Misalnya di daerah Indramayu di saat-saat bulan purnama tiba, di Karawang dan Ciamis usai masa panen padi tiba. Di kota-kota itu muda-mudi berkumpul untuk saling mengenal, mendekatkan diri, dan siapa tahu suatu saat bisa menjadi pasangan hidup.

(21)

Tempat pembicaraannya tidak ditetapkan dan bisa dimana saja, kalau kebetulan bertemu, misalnya di mesjid, pasar, sawah, kebun, dan sebagainya. Ada juga orangtua laki-laki yang sengaja datang ke rumah orangtua sang gadis. Tapi, saat pertama kali datang itu pun cara bicaranya tidak serius. Tepatnya ngobrol sambil bercanda, yang maksudnya menyakan apakah sang gadis masih sendiri atau sudah ada yang “punya”. Biasanya jawaban dari orangtua sang gadis pun juga tidak serius, sambil bercanda-canda.

Apabila anak gadis itu belum bertunangan dan kedua orangtuanya setuju atas usul kedua orangtua pemuda itu, maka perembukan itu dinamakan neundeun omong yang artinya menaruh perkataan. Antara neundeun omong dan nyeureuhan (melamar) terjadi amat-mengamati dan selidik-menyelidiki secara sebaik-baiknya. Sekiranya terdapat kesepakatan antara kedua belah pihak, maka dilakukanlah pinangan.

2. Bibit, Bobot, Bebet.

Di daerah Tanah Pasundan zaman dulu, hampir setiap orangtua yang memiliki anak yang sudah dewasa nalingakeun (mengamati) pasangan gadis dan pemuda mana yang pantas menjadi pasangan hidup anak-anak mereka. Pengamatan tersebut untuk mendapatkan menantu yang seprima mungkin, sehingga mereka perlu mengadakan penelitian yang mendalam tentang bibit, bobot, dan bebet bagi calon menantu tersebut.

Bibit artinya asal-usul. Maksudnya, calon pasangan itu anak-cucu siapa, mereka sehat jasmani-rohani atau tidak, berasal dari mana, dan sebagainya.

(22)

Bebet artinya bobot/kualitas perilaku orangtua calon mempelai. Maksudnya, bagaimana perilaku keseharian kedua orangtua calon mempelai, agama/budi pekertinya, dan sebaginya. Maksud semua ini adalah bahwa bagaimanapun anak adalah keturunan kedua orangtua mereka, sehingga watak dan keseharian orangtua akan sangat berpengaruh pada anak-anak mereka.

3. Hari-hari Baik.

Selain bibit, bobot, dan bebet, dalam menentukan jodoh, orangtua muda-mudi suku Sunda “tempo doeloe” juga memperhitungkan calon jodoh bagi putra-putri mereka lewat perhitungan hari. Dengan perhitungan khusus yang menghasilkan jumlah nilai tertentu, akhirnya berhasil diramalkan apakah muda-mudi itu tepat untuk berjodoh atau tidak. Dalam menentukan jodoh, masyarakat Sunda selalu berusaha menghindari perhitungan jumlah calon suami dan istri itu mendapatkan angka 10. Di tanah Pasundan hal itu dikenal dengan istilah pisang punggel. Maksudnya perjodohan yang baru saja dibina itu akan cepat lunglai (berakhir) sebagaimana layaknya batang pisang yang ditengahnya hancur akibat terserang suatu penyakit atau tertusuk.

4. Periksa Kesehatan.

Calon pasangan muda-mudi masa kini tentu tidak bisa mengandalkan hanya bibit, bobot, bebet. Ada satu hal lagi yang perlu menjadi pertimbangan kedua pihak sebelum akhirnya melangkah ke jenjang pernikahan. Langkah penting itu adalah pemeriksaan kesehatan ke dokter, yang dikenal sebagai pre-merital medical examination (pemeriksaan kesehatan pra nikah).

(23)

pemeriksaan ini pula pasangan itu bisa mendapatkan penyuluhan dari ahli, baik dokter maupun psikolog. Bagaimanapun pernikahan adalah “alam baru” bagi mereka yang belum pernah merasakannya.

2.6.2. Tahap Persiapan

Menurut Ketua HARPI melati Jawa Barat H. Yadi Kesumawijaya, ada beberapa tahapan dalam persiapan untuk pernikahan diantaranya sebagai berikut :

1. Menerima dan melaksanakan Lamaran.

Acara Nyeureuhan, Narosan atau Lamaran adalah kelanjutan dari Neundeun Omong atau masa-masa penjajakan yang dilakukan pihak orangtua laki-laki. Hal ini baru akan terwujud kalau pihak orangtua sang gadis menerima lamaran dan sang gadis belum ada yang punya. Acara lamaran ini juga bisa terwujud kalau diantara muda-mudi itu sudah saling menjalin hubungan, sementara kedua orangtua mereka juga sudah saling merestui hubungan itu.

Lamaran ini adalah awal kesepakatan untuk menjalin hubungan lebih jauh lagi. Saat inilah kedua keluarga besar yang akan saling berbesanan itu untuk pertama kali bersilaturahmi secara formal.

2. Hal-hal yang perlu dipersiapkan pihak keluarga calon pengantin pria :

• Satu/beberapa perangkat pakaian wanita.

• Satu/beberapa set perhiasan wanita.

• Cincin nikah.

• Uang yang jumlahnya sepersepuluh dari jumlah uang yang akan diserahkan saat Upacara Seserahan/Nyandakeun.

• Pengikat janji.

(24)

Makna-makna yang terkandung (Usamah, 2003:9):

a. Buah tangan. Buah tangan atau oleh-oleh ala kadarnya dibawa semata-mata sebagai tanda kasih sayang, untuk saling mengakrabkan kedua keluarga besar yang akan berbesanan.

b. Cincin meneng. Bulat pada cincin ini melambangkan kecintaan, kemantapan, dan keabadian yang bulat tanpa batas. Ini adalah salah satu budaya Barat yang mempengaruhi pernikahan adat Sunda. Ada yang membawa cincin saat melamar, tapi ada juga yang menyerahkan saat Mawakeun atau Seserahan.

c. Uang. Jumlah uang yang dibawa ini relatif. Tapi, jumlah ini akan menjadi ukuran bagi besar-kecilnya jumlah uang yang akan diserahkan saat Mawakeun atau Seserahan. Umumnya uang yang diserahkan keluarga calon pengantin pria kepada keluarga calon pengantin wanita saat Seserahan jumlahnya 10 kali lipat saat Narosan atau melamar.

d. Sirih lengkap. Ini dimaksudkan sebagai simbol kesepakatan bersatunya dua keluarga besar yang diharapkan akan membawa berkah dan kebahagiaan bagi kedua belah pihak. Sirih lengkap itu selain bisa dimakan juga bermanfaat sebagai obat.

3. Hal-hal yang perlu dipersiapkan keluarga calon pengantin wanita:

• Sebagai tuan rumah yang akan menerima tamu istimewa, sebaiknya pihak keluarga calon pengantin wanita mempersiapkan hidangan yang pantas bagi calon besan.

(25)

• Baik keluarga calon pengantin pria maupun calon pengantin wanita mempersiapkan sesepuh yang memimpin rombongan sekaligus mengajukan/menerima lamaran. Sebagai tanda kasih, ada baiknya keluarga calon pengantin wanita juga mempersiapkan tali kasih yang nantinya bisa dibawa pulang keluarga calon pengantin pria.

• Rangkaian acara perlu dibicarakan sebelumnya apakah acara yang berlangsung hari itu hanya lamaran, atau ada acara lain.

2.6.3. Tahap pelaksanaan Prosesi Pernikahan. 1. Prosesi Siraman.

Seminggu atau tiga hari menjelang peresmian pernikahan, di rumah kedua calon mempelai berlangsung sejumlah persiapan yang mengawali prosesi pernikahan, yaitu Ngebakan atau Siraman. Berupa acara memandikan calon pengantin wanita agar bersih lahir dan batin. Acara berlangsung siang hari di kediaman masing-masing calon mempelai. Bagi umat muslim, acara terlebih dulu diawali dengan pengajian dan pembacaan doa khusus. Menurut ahli rias pengantin di Kota Bandung Tati Sarmilin, ada beberapa tahapan dalam acara siraman yaitu :

• Ngecagkeun Aisan

Calon pengantin wanita keluar dari kamar dan secara simbolis digendong oleh sang ibu, sementara ayah calon pengantin wanita berjalan di depan sambil membawa lilin menuju tempat sungkeman.

• Ngaras

(26)

Gambar 2.1. pencucian kaki orangtua (Sumber : pribadi)

• Pencampuran air siraman

Kedua orangtua menuangkan air siraman ke dalam bokor dan mengaduknya untuk upacara siraman.

Gambar 2.2. Pencampuran air siraman (Sumber : pribadi)

• Siraman

(27)

satu helai selendang batik, satu helai handuk, pedupaan, baju kebaya, payung besar, dan lilin.

Gambar 2.3. Siraman pertama Gambar 2.4. Siraman kedua oleh ibu. oleh ayah.

(Sumber : pribadi) (Sumber : pribadi)

• Potong rambut

Calon mempelai wanita dipotong rambutnya oleh kedua orangtua sebagai lambang memperindah diri lahir dan batin. Dilanjutkan prosesi ngeningan (dikerik dan dirias), yakni menghilangkan semua bulu-bulu halus pada wajah, kuduk, membentuk amis cau/sinom, membuat godeg, dan kembang turi. Perlengkapan yang dibutuhkan: pisau cukur, sisir, gunting rambut, pinset, air bunga setaman, lilin atau pelita, padupaan, dan kain mori/putih.

(28)

• Rebutan Parawanten

Sambil menunggu calon mempelai dirias, para tamu undangan menikmati acara rebutan hahampangan dan beubeutian. Juga dilakukan acara pembagian air siraman.

• Suapan terakhir

Pemotongan tumpeng oleh kedua orangtua calon mempelai wanita, dilanjutkan dengan menyuapi sang anak untuk terakhir kali masing-masing sebanyak tiga kali.

Gambar 2.6. Suapan terakhir dari orangtua (Sumber : pribadi)

• Tanam rambut

Kedua orangtua menanam potongan rambut calon mempelai wanita di tempat yang telah ditentukan.

(29)

2. Prosesi Ngeuyeuk Seureuh

Ngeyeuk Seureuh. Kedua calon mempelai meminta restu pada orangtua masing-masing dengan disaksikan sanak keluarga. Lewat prosesi ini pula orangtua memberikan nasihat lewat lambang benda-benda yang ada dalam prosesi. Lazimnya, dilaksanakan bersamaan dengan prosesi seserahan dan dipimpin oleh Nini Pangeuyeuk (juru rias). Tata cara Ngeuyeuk Sereuh :

• Nini Pangeuyeuk memberikan 7 helai benang kanteh sepanjang 2 jengkal kepada kedua calon mempelai. Sambil duduk menghadap dan memegang ujung-ujung benang, kedua mempelai meminta izin untuk menikah kepada orangtua mereka.

• Pangeuyeuk membawakan Kidung berisi permohonan dan doa kepada Tuhan sambil nyawer (menaburkan beras sedikit-sedikit) kepada calon mempelai, simbol harapan hidup sejahtera bagi sang mempelai.

• Calon mempelai dikeprak (dipukul pelan-pelan) dengan sapu lidi, diiringi nasihat untuk saling memupuk kasih sayang.

• Kain putih penutup pangeuyeukan dibuka, melambangkan rumah tangga yang bersih dan tak ternoda. Menggotong dua perangkat pakaian di atas kain pelekat melambangkan kerjasama pasangan calon suami istri dalam mengelola rumah tangga.

• Calon pengantin pria membelah mayang jambe dan buah pinang. Mayang jambe melambangkan hati dan perasaan wanita yang halus, buah pinang melambangkan suami istri saling mengasihi dan dapat menyesuaikan diri. Selanjutnya calon pengantin pria menumbuk alu ke dalam lumping yang dipegang oleh calon pengantin wanita.

(30)

benang. Kedua orangtua dan tamu melakukan hal yang sama, melambangkan jika ada rezeki berlebih harus dibagikan.

• Diaba-abai oleh pangeuyeuk, kedua calon pengantin dan tamu berebut uang yang berada di bawah tikar sambil disawer. Melambangkan berlomba mencari rezeki dan disayang keluarga.

• Kedua calon pengantin dan sesepuh membuang bekas ngeyeuk seureuh ke perempatan jalan, simbolisasi membuang yang buruk dan mengharap kebahagiaan dalam menempuh hidup baru.

3. Upacara Prosesi Pernikahan

Penjemputan calon pengantin pria, oleh utusan dari pihak wanita.

Gambar 2.8. Penjemputan mempelai pria (Sumber : pribadi)

(31)

Gambar 2.9. Pengalungan bunga melati (Sumber : pribadi)

Akad nikah, petugas KUA, para saksi, pengantin pria sudah berada di tempat nikah. Kedua orang tua menjemput pengantin wanita dari kamar, lalu didudukkan di sebelah kiri pengantin pria dan dikerudungi dengan tiung panjang, yang berarti penyatuan dua insan yang masih murni. Kerudung baru dibuka saat kedua mempelai akan menandatangani surat nikah.

Gambar 2.10. Acara akad nikah (Sumber : pribadi)

(32)

Sungkeman

Gambar 2.12. Sungkeman kepada kedua orangtua (Sumber : pribadi)

Wejangan, oleh ayah pengantin wanita atau keluarganya.

Gambar 2.13. Wejangan oleh orangtua (Sumber : pribadi)

Saweran, kedua pengantin didudukkan di kursi. Sambil penyaweran, pantun sawer dinyanyikan. Pantun berisi petuah utusan orang tua pengantin wanita. Kedua pengantin dipayungi payung besar diselingi taburan beras kuning atau kunyit ke atas payung. Maknanya, adalah berlomba mencari rejeki dan disayang keluarga.

(33)

Meuleum harupat, pengantin wanita menyalakan harupat dengan lilin. Harupat disiram pengantin wanita dengan kendi air. Lantas harupat dipatahkan pengantin pria.

Gambar 2.15. Meuleum harupat (Sumber : pribadi)

Nincak endog (menginjak telur), pengantin pria menginjak telur dan elekan sampai pecah. Kemudian kakinya dicuci dengan air bunga dan dibersihkan oleh pengantin wanita.

Gambar 2.16. Nincak endog (Sumber : pribadi)

(34)

2.7 Busana Pernikahan Adat Sunda

Busana adalah segala sesuatu yang dikenakan pada tubuh, baik untuk melindungi tubuh maupun memperindah tubuh (Wasila Rusbani, 1983 : 1) busana juga dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dipakai pada tubuh dengan corak yang indah dan bahannya bagus (Daryanto SS, 1998 : 1).

Busana pernikahan tradisional biasanya kaya ornamen dengan nuansa warna yang mencolok. Seiring dengan perjalanan waktu, busana pernikahan tradisional mulai berubah sedikit demi sedikit. Perubahan busana pengantin modifikasi tidak terlalu banyak dibandingkan dengan gaun pengantin tradisional yang sesuai pakem. Menurut Ketua Asosiasi Ahli Rias Pengantin Modifikasi dan Modern Indonesia (Katelia) Kun Mulyo, perubahaan terlihat dari perbedaan tata rias wajah, sanggul dan bahan busana yang digunakan. Menurut Kun, pada desain busana tradisional dulu bahan busana pengantin itu menggunakan bahan beludru, kini boleh dirubah dan disesuaikan dengan lingkungan. Bahan busana pernikahan kini boleh menggunakan brokat. Namun, ornamen, bentuk busana, dan roncean bunga tidak boleh berubah. Harus mengikuti aturan yang sudah ditetapkan oleh tradisi masyarakat Sunda itu sendiri. Menurut Radias Saleh dan Aisyiah Jafar (1991:3) tujuan berbusana antara lain :

1. Memenuhi syarat-syarat peradaban atau kesusilaan. 2. Memenuhi kebutuhan kesehatan.

3. Memenuhi rasa keindahan.

Pada masyarakat Sunda, penggunaan atribut pada busana pengantin ada dua macam yaitu:

1. Pengantin Sunda Putri.

Tradisi busana di Tanah Pasundan ini terinspirasi dari busana putri-putri kerajaan Sunda di masa lampau. Meski terkesan sederhana, namun tidak kalah memikat dan indah untuk dipandang. Cantik dan elegan.

(35)

panjang. Pengantin wanita juga mengenakan cincin permata dan gelang permata sepasang. Di pinggang terdapat Benten Permata sebagai aksen dan memberi kesan elegan pada pengantin wanita.

Pada bagian bawah, pengantin wanita mengenakan kain batik dengan motif khusus yaitu Sido Mukti atau corak Lereng-eneng dan terdapat wiron (lipatan pada bagian depan kain). Tak ketinggalan yaitu selop yang terbuat dari bahan yang sama dan warna senada dengan kebaya pengantin. Untuk busana pengantin Sunda Putri, pengantin pria mengenakan Jas buka Prangwedana berwarna senada dengan pengantin wanita. Pengantin pria juga memakai bendo hiasan permata, Boro Sarangka (tempat menyimpan keris) dan Kewer. Sebagai pelengkap, pengantin pria mengenakan keris perlambang kegagahan..

Pengantin wanita juga mengenakan sanggul yang disebut sanggul Puspa Sari. Ada beberapa hiasan penting penghias sanggul yaitu 6 buah Kembang Tanjung dan 7 buah kembang goyang. Pengantin wanita Sunda Putri mengenakan ronce bunga yang terdiri dari Mangle Pasung, Mangle Susun, Mangle Sisir, Panetep, Mayangsari yang terbuat dari bunga sedap malam. Sebagai pelengkap adalah giwang atau subang.

2. Pengantin Sunda Siger.

(36)

buka Prangwedana berwarna sama dengan pengantin wanita. Demikian pula dengan kain batik yang dikenakan pengantin pria, harus sama dengan pengantin wanita, yaitu kain batik corak Lereng-eneng atau Sido Mukti.

Dalam berbusana tentunya perlu diperhatikan antara bentuk, motif dan warna.

1. Definisi Bentuk.

Menurut Agus Sachari dalam Kamus Desain (1998:21) Bentuk adalah unsur paling luar dari suatu benda. Dari definisi tersebut dapat diuraikan bahwa bentuk merupakan wujud rupa sesuatu, biasa berupa segi empat, segi tiga, bundar, elips, dan sebagainya. Seperti yang diungkapkan Plato, bahwa rupa atau bentuk merupakan bahasa dunia yang tidak dirintangi oleh perbedaan-perbedaan seperti terdapat dalam bahasa kata-kata. Namun teori Plato tersebut tidaklah mesti berlaku semestinya. Ada aspek lain yang mengakibatkan bahasa bentuk tidak selalu efektif. Seperti penerapan bentuk-bentuk internasional dengan khalayak sasaran tradisional atau sebaliknya. Dengan kata lain, bila khalayak sasaran tidak terbiasa dengan bahasa kasat mata tradisional, pergunakan bahasa kasat mata internasional demikian pula sebaliknya.

Bentuk adalah segala hal yang memiliki diameter tinggi dan lebar. Bentuk dasar yang dikenal orang adalah kotak (rectangle), lingkaran (circle), dan segitiga (triangle). Sementara pada kategori sifatnya, bentuk dapat dikategorikan menjadi tiga (Marcel, 2009:104), yaitu:

a. Huruf (Character): yang direpresentasikan dalam bentuk visual yang dapat digunakan untuk membentuk tulisan sebagai wakil dari bahasa verbal dengan bentuk visual langsung, seperti A, B, C, dsb.

(37)

orang, bintang, matahari dalam bentuk sederhana (simbol), bukan dalam bentuk nyata (dengan detail).

c. Bentuk Nyata (Form): bentuk ini betul-betul mencerminkan kondisi fisik dari suatu objek. Seperti gambar manusia secara detil, hewan atau benda lainnya.

2. Definisi Motif.

Menurut Agus Sachari dalam Kamus Desain (1998:122) Dalam seni, motif adalah ide yang berulang, Visual adalah bahasa untuk mengkomunikasikan ide-ide visual.

3. Definisi Warna.

Pemahaman tentang warna dibagi dalam dua bagian (Marcel, 2010:97) berdasarkan sifat warna antara lain sebagai berikut :

a. Warna menurut ilmu Fisika. Adalah sifat cahaya yang bergantung dari panjang gelombang yang dipantulkan benda tersebut. Benda yang memantulkan semua panjang gelombang terlihat putih, benda yang sama sekali tidak memantulkan terlihat hitam. Dispersi terjadi apabila sinar matahari melalui prisma kaca yang berbentuk spektrum dan kecepatan menjalarnya tergantung pada panjang gelombangnya. Warna utama dari cahaya atau spektrum adalah biru, kuning dan merah dengan kombinasi-kombinasi yang dapat membentuk segala warna.

(38)

2.8 Simbol

Dalam semua kegiatan manusia umumnya melibatkan simbolisme, oleh sebab itu manusia bukan saja animal rationale, tetapi juga animal simbolicum atau makhluk yang bermain dengan simbol-simbol (Cassirer,1990: 40). Disamping itu manusia adalah homo estheticus, disadari atau tidak setiap manusia memiliki rasa indah, dan manusia selalu bermain dengan simbol yang sesuai dengan pengalaman keindahan dan simbol tiap-tiap orang tersebut.

2.8.1. Pengertian Simbol

Pada halaman Wikipedia (21 April 2010) mengemukakan bahwa Simbol berasal dari kata symballo yang berasal dari bahasa Yunani. Symballo artinya ”melempar bersama-sama”, melempar atau meletakkan bersama-sama dalam satu ide atau konsep objek yang kelihatan, sehingga objek tersebut mewakili gagasan. Simbol dapat menghantarkan seseorang ke dalam gagasan atau konsep masa depan maupun masa lalu. Simbol adalah gambar, bentuk, atau benda yang mewakili suatu gagasan, benda, ataupun jumlah sesuatu. Meskipun simbol bukanlah nilai itu sendiri, namun simbol sangatlah dibutuhkan untuk kepentingan penghayatan akan nilai-nilai yang diwakilinya. Bentuk simbol tak hanya berupa benda kasat mata, namun juga melalui gerakan dan ucapan. Simbol juga dijadikan sebagai salah satu infrastruktur etimologis, simbol berasal dari kata kerja Yunani sumballo (sumballein) (symbolos) yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Bentuk simbol adalah penyatuan dua hal luluh menjadi satu. Dalam simbolisasi, subjek menyatukan dua hal menjadi satu (Dibyasuharda,1990:11).

(39)

Simbol merupakan tanda yang menyiratkan pesan khas suatu fenomena sosial, kekuasaan, gagasan ataupun orientasi.

2.8.2. Jenis Simbol

Susanne Langer membuat dua macam cara pembedaan simbol, pertama simbol diskursif (discursive symbol) dan kedua simbol presentasional atau penghadir (presentational symbol).

1. Simbol diskursif adalah simbol yang cara penangkapannya mempergunakan nalar atau intelek, oleh sebab itu disebut juga simbol nalar. Penyampaian hal apa yang akan diungkapkan berlangsung secara berurutan, tidak spontan. Simbol dengan logika modern menganalisis pertanyaan-pertanyaan. Bahasa adalah satu-satunya yang tergolong dalam simbol diskursif, baik itu bahasa sehari-hari (languange of ordinary thought), bahasa ilmu (languange of scientific knowledge) ataupun bahasa filsafat (languange of philosophical thought). Keempat bahasa ini memiliki konstruksi secara konsekuen. Dalam simbol diskursif terkandung suatu struktur yang dibangun oleh kata-kata menurut hukum tata bahasa dan sintaksis. Pengabaian terhadap hukum tersebut menyebabkan kalimat kehilangan maknanya atau tak dapat dipahami, terjadi kekaburan makna.

(40)

langsung. Bentuk kesenian tidak berupa suatu konstruksi atau susunan yang biasa diuraikan unsur-unsurnya, melainkan suatu kesatuan yang utuh. Tarian atau lukisan itu ditangkap hanya melalui arti keseluruhan, melalui hubungan antara elemen-elemen simbol dalam struktur keseluruhan. Sebagai suatu kesatuan yang bulat dan utuh, bentuk representasional berbicara langsung kepada indra manusia. Hal ini pertama-tama dan terutama adalah kehadiran langsung dari suatu objek individual, oleh sebab itu simbol ini tidak dapat diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk yang lain.

2.8.3. Proses Simbolisasi

Kata simbolisasi mengacu kepada suatu proses atau kegiatan, ada gerak pemikiran manusia yang dinamis. Karena merupakan proses, terjadi suatu proses perubahan secara gradual atau bertahap menuju suatu goal (sasaran). Terjadinya simbolisasi karena adanya peralihan dari dunia pasif impresi semata-mata menuju suatu dunia yang lain merupakan ekspresi murni dari ide manusia. Proses simbolisasi menampakkan terjadinya kontak antara manusia sebagai subjek dengan dunia atau realitas. Sasaran dari proses ini menampakkan ide baru dari wadah simbol (suatu realitas baru) yang muncul dari interaksi antara akal manusia dengan bahan mentah yang dipikirkannya.

(41)

2.8.4. Metode Penelaahan Simbol

(42)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Dari hasil pencarian dan pengumpulan data untuk menulis skripsi,

maka diperoleh data tentang pernikahan yang dilaksanakan pada masyarakat

Sunda ada dua model pernikahan yang digunakan yaitu pernikahan adat

Sunda Putri dan pernikahan adat Sunda Siger, dimana keduanya memiliki

nilai filosofis dan makna tersendiri, namun pada dasarnya pernikahan yang

ada sekarang pada masyarakat Sunda tidak lagi digunakan secara utuh karena

adanya perubahan nilai fungsi. Kemudian penggunaan atribut pada busana

pengantin adat Sunda pada dasarnya cerminan dari bentuk-bentuk yang

menginterpretasikan apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh masyarakat

Sunda itu sendiri. Pengaruhnya terdapat pada prinsip dasar masyarakat Sunda

yang Silih Asih, Silih Asuh, dan Silih Asah serta pola-pola masyarakat dulu

sampai sekarang yang mana semuanya dapat terlihat dari bentuk-bentuk

artefak yang merupakan warisan dari pola masyarakat dulu. Tentunya semua

itu mempunyai makna dan fungsi masing-masing yang seharusnya digunakan

sesuai dengan tempat dan kedudukannya.

Prinsip dasar masyarakat Sunda Silih Asih, Silih Asuh, dan Silih Asah

yang ada pada atribut busana pengantin adat Sunda diwakili dengan

bentuk-bentuk dari atribut itu sendiri. Silih Asih yang merupakan bentuk-bentuk kasih atau

saling mengasihi, Silih Asuh yaitu saling menasihati dan tegur sapa,

sedangkan Silih Asah adalah saling bertanggung jawab dengan kodratnya

masing-masing sekiranya perlu disadari peran, fungsi, dan kedudukannya

agar warisan budaya ini tetap terjaga khasanahnya. Begitupun pada pola

masyarakat Sunda, pola-pola yang ada tentunya tidak lepas dari hasil

pemikiran budaya masyarakat Sunda, pola-pola tersebut setidaknya harus

ajeg karena awal-mulanya tercipta kehidupan yang berkesinambungan

(43)

Sebagai salah satu contoh atribut yang digunakan pada pernikahan

adat Sunda seperti Siger terdapat makna yang berhubungan dengan pola

masyarakat serta prinsip dasar masyarakat Sunda yaitu termasuk ke dalam

pola tiga, karena ada pembagian antara bentuk sebelah kanan, tengah, dan

kiri. Sedangkan untuk prinsip termasuk kedalam Makna silih asih, karena

Siger sebagai simbol dari kedudukan tertinggi mencerminkan bahwa siger

sebagai bentuk saling menjaga nama baik keluarga baru. Hal ini diterapkan

sebagai bentuk pesan dan pedoman bagi masyarakat Sunda dalam berbudaya

dan berbusana tentunya.

Dalam berbusana sama halnya dengan menunjukkan suatu bangsa,

dimana cara berpakaian itu sendiri menunjukkan sifat tabiat seseorang baik

dalam tingkah laku sehari-hari, tata krama, selera maupun pandangan hidup.

Busana, dalam hal ini khususnya kain batik dan kebaya, memiliki nilai estetis

dan filosofis, selalu disesuaikan dengan lingkungan. Dengan itu pula

masyarakat Sunda memproduksi karya-karya budaya baru, termasuk seni

tradisi. Maka, untuk bisa mengapresiasi dan menghayati serta menikmati seni

budaya tradisi harus pula memiliki pengetahuan dan berdasarkan pada

penghayatan terhadap paradigma mitologisnya. Untuk itu, untuk menjadikan

kebudayaan dan seni tradisi harus pula diiringi dengan sosialisasi dan

internalisasi tradisi mitologi sebagai dasar kosmologiya. Bila tidak, maka,

kalau pun seni tradisi masih tetap hadir dalam masyarakat, termasuk seni

tradisi Sunda, tak lebih hanya sebagai karya seni yang tidak memiliki

kekuatan dan daya hidup masyarakatnya. Seni tradisi, tak lebih seperti

bayang-bayang yang bergerak tanpa memiliki daya hidup.

Elemen estetika yang banyak digunakan pada atribut pernikahan adat

Sunda yaitu bentuk bunga, sehingga masyarakat Sunda memaknai bunga

sebagai sesuatu yang erat hubungannya dengan masyarakat Sunda dan secara

(44)

5.2 Saran

Dalam melakukan pernikahan, khususnya pernikahan adat Sunda

dilakukan sesuai dengan aturan dan adat yang ada pada masyarakat Sunda itu

sendiri, karena adat dan aturan yang berlaku pada masyarakat Sunda

merupakan hasil pemikiran dari nenek moyang yang sepatutnya terjaga dan

dilestarikan keberadaannya selain itu juga akan memiliki nilai yang lebih

bermakna. Makna ini bisa dihayati baik dari tata cara maupun nilai yang

terdapat didalamnya.

Agar lebih terjaga hendaknya ada bimbingan dari para budayawan

Sunda yang lebih paham dengan budaya dan nilai-nilai pernikahan Sunda itu

sendiri kepada para juru rias pengantin, adanya seminar-seminar yang

membahas secara utuh tentang pernikahan dan tata cara yang sebenarnya

harus dilakukan. Selain itu bisa di adakan sosialisasi-sosialisasi kepada

masyarakat, karena pengetahuan yang mendalam akan memunculkan

pemahaman atas upacara tersebut, tidak saja dari urutan tetapi penghayatan

akan nilai yang ada. Bila ini dikuasai oleh berbagai pihak, termasuk yang

berhubungan dengan profesi juru rias pengantin maka informasi ini akan bisa

(45)

KAJIAN PENERAPAN PRINSIP DASAR MASYARAKAT

DAN POLA MASYARAKAT SUNDA PADA ATRIBUT

BUSANA PERNIKAHAN ADAT SUNDA

DK 38315 Skripsi Semester II 2009/2010

Disusun oleh : Emmi Kurnianingsih 51906117

Program Studi Desain Komunikasi Visual

FAKULTAS DESAIN

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG

(46)

DAFTAR ISI

1.1 Latar belakang masalah……..………..……….. 1 1.2 Identifikasi masalah………..……..……… 3 1.3 Rumusan masalah... 3 1.4 Batasan masalah... 4 1.5 Metode penelitian……… 4 1.6 Tujuan penelitian... 6 1.7 Manfaat penelitian... 6 1.8 Sistematika penulisan... 7 BAB II : PERNIKAHAN PADA ADAT SUNDA

2.1Konsep Pernikahan……….……… 8 2.2Pernikahan dalam masyarakat Sunda………. 10 2.3Prinsip dasar Masyarakat Sunda... 11 2.4Pola Masyarakat Sunda... 13 2.5Struktur Masyarakat Sunda... 15 2.6Tahapan-tahapan dalam Prosesi Pernikahan Adat Sunda…….. 16 2.6.1 Tahap Penjajakan…………..………. 16 2.6.2 Tahap Persiapan………. 20 2.6.3 Tahap Pelaksanaan prosesi pernikahan…………... 22 2.7Busana pernikahan adat Sunda………... 31

2.8Simbol………..…. 35

(47)

2.8.3 Proses Simbolisasi………..….. 37 2.8.4 Metode Penelaahan Simbol……….……. 38 BAB III : ARTI SIMBOL PADA ATRIBUT PERNIKAHAN ADAT SUNDA

3.1 Pernikahan adat Sunda……….………. 39 3.1.1 Busana dan Atribut Sunda putri………..….. 43 3.1.2 Busana dan Atribut Sunda siger………..….. 50 3.2Arti simbol pada atribut pernikahan adat Sunda…………... 52 3.3Pengaruh elemen-elemen estetika terhadap atribut Pengantin.. 61 BAB IV : KAJIAN RELEVANSI ATRIBUT PADA BUSANA PENGANTIN ADAT SUNDA DENGAN PRINSIP DAN POLA MASYARAKAT SUNDA… 62 BAB V : SIMPULAN DAN SARAN

(48)

DAFTAR PUSTAKA

• A, Chaedar. Alwasilah. (2006). Pokoknya Sunda. Bandung: Karawitan

• Abu Hafsh, Usamah. (2003). Panduan Lengkap Nikah. Jakarta:

Gunapratama Intermedia.

• Agoes, Artati. (2003). Kiat-kiat sukses melaksanakan pernikahan adat

Sunda. Jakarta: Buana printing.

• Amir P, Yasraf. (2003). Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas

Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra,

• Cassirer, Ernst. (1990). Manusia dan Kebudayaan, Sebuah Esei Tentang

Manusia, (DiTerjemahkan oleh; Alois A. Nugroho), cetakan kedua,

Gramedia, Jakarta.

• Danesi, Marcel. (2009). Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra.

• Dibyasuharda. (1990). Dimensi Metafisik Dalam simbol , Ontologi

Mengenai Akar simbol, Disertasi, Gadjah Mada, Yogyakarta.

• Fauzil, Adhim. (2002). Indahnya Pernikahan Dini. Jakarta: Gema Insani Pres(GIP)

• Harsojo. (2003). Antropologi dan Budaya. Jakarta: Aurora Baru.

• Hendrix, Harville. (2006). Getting The Love You Want. Surabaya: Java Pustaka Group.

• Jonathan Herrick, Goodman. (2003). Hubungan Hati. Jakarta: Karya

Jaya.

• Kamil, Musa. (2006).Suami Istri islami. Bandung: Remaja Rosdakarya

• Langer, Susanne, K. (1957). Problems Of Arts, edition-6, Charles

Seribners Sons, NewYork.---1976 Philosophy in a New Key A Study

In the Symbolism of reason, Rite, andArt: third edition, Harvard.

• Mircea, Eliade. (2002). The Sacred and the Profane. Yogyakarta:

Banguntapan.

• Sachari, Agus. (2007). Budaya Visual Indonesia. Jakarta: Erlangga.

• Sachari, Agus dan Suranti Trisnawati. (1998). Catatan Kuliah Kamus

(49)

• Sumarjo, Jakob. (2006). Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu.

• Suryakusuma. (2003). Kebaya Sebagai Identitas Wanita. Yogyakarta:

Jalasutra.

• Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Pernikahan.

• Wibisono, I. Wibowo, 1977, simbol Menurut Susanne K. Langer, dalam

seriDriyarkara 4, Dari Sudut-sudut Filsafat, Kanisius, Yogyakarta.

• Wiryanto, Frans. Jomo. (1986). Membangun Masyarakat. Bandung:

Offset Alumni.

Sumber dari internet :

Alexandra Dewi. 2009 (13 April). Pernikahan yang bahagia.

Tersedia di:

(50)

DAFTAR TABEL

(51)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan makalah skripsi ini dapat diselesaikan sebagaimana yang telah diharapkan.

Melalui karya ilmiah ini, maksudnya ingin mengkaji dan mendalami lebih lanjut tanda-tanda tentang atribut yang digunakan pada busana pengantin adat Sunda. Pendekatan yang dilakukan dalam analisis ini adalah melalui metode semantik.

Skripsi ini disusun sebagai sebuah karya ilmiah yang ditempuh sebagai syarat untuk memperoleh gelar S-1 pada Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Desain dan Seni, Universitas Komputer Indonesia.

Motivasi yang mendorong untuk memilih penulisan judul pada pokok penulisan ini, adalah dengan pertimbangan bahwa baik bagi kepentingan mahasiswa di Fakultas Desain maupun pembaca dari kalangan umum dan kalangan Profesi yang khususnya berada di ruang lingkup budaya Sunda.

Seiring dengan penulisan makalah skripsi ini, tidak lupa penulis ingin menghaturkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Drs. Hary Lubis, selaku Dekan di Fakultas Desain Komunikasi Visual. 2. Ibu Yully Ambarsih Ekawardhani, M.Sn. selaku pembimbing selama

membimbing penulisan makalah skripsi ini dengan penuh keikhlasan dan kesabaran serta selalu memberikan petunjuk dan arahan bahan-bahan dan materi dengan tekun dan sabar, semoga amal baik dan ketulusan hati beliau mendapat pahala dari Allah SWT. Amien.

3. Bapak Taufan Hidayatullah, M.Ds. selaku Ketua program studi Desain Komunikasi Visual.

4. Bapak Kankan Kasmana, S.Sn.selaku dosen wali semoga amal baiknya selalu mendapat imbalan dari Allah SWT.

5. Bapak-bapak dan Ibu-ibu dosen di Fakultas Desain Unikom. 6. Ibu-ibu bagian Sekretariat di Fakultas Desain Unikom.

(52)

8. Firman Budiman yang telah memberikan dukungan moriil dan materiil semoga mendapatkan imbalan dari Allah SWT. Amien.

9. Kepada semua rekan-rekan yang tidak tercantum dalam daftar ini yang memberikan dukungan moriil semoga amal baik dari rekan-rekan mendapat imbalan dari Allah SWT. Amien

Hal ini tentunya tidak lepas dari bantuan dosen pembimbing dan dosen mata kuliah serta semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah skripsi ini. Tentunya skripsi ini masih jauh dari sempurna dengan segala kekurangannya. Untuk itu diharapkan adanya kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan makalah skripsi ini.

Akhir kata semoga makalah skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bandung , Juli 2010

(53)

Lembar Pengesahan

KAJIAN PENERAPAN PRINSIP DASAR MASYARAKAT DAN

POLA MASYARAKAT SUNDA PADA ATRIBUT BUSANA

PERNIKAHAN ADAT SUNDA

DK 38315 Skripsi Semester II 2009/2010

Disusun oleh : Emmi Kurnianingsih 51906117

Program Studi Desain Komunikasi Visual

Disahkan Oleh : Pembimbing

Ambarsih Ekawardhani, M.Sn.

Koordinator TA/Skripsi

(54)

Lampiran

Pertanyaan wawancara.

1. Pernikahan adat Sunda ada berapa gaya?

2. Bagaimanakah tata cara pernikahan adat Sunda Putri?

3. Bagaimanakah tata cara pernikahan adat Sunda Siger?

4. Alat-alat apa saja yang digunakan dalam prosesi pernikahan adat Sunda?

5. Atribut apa saja yang digunakan oleh pengantin adat Sunda Putri dan Siger?

6. Kenapa disebut pernikahan adat Sunda Putri?

7. Kenapa disebut pernikahan adat Sunda Siger?

8. Apa perbedaan antara pernikahan adat Sunda sekarang dengan dulu?

9. Hal apa saja yang membedakan antara pernikahan adat Sunda dulu dan sekarang?

10.Apa pengaruhnya bagi kebudayaan Sunda sendiri dengan adanya perbedaan

(55)
(56)

BAB IV

KAJIAN RELEVANSI ATRIBUT PADA BUSANA PENGANTIN ADAT SUNDA DENGAN PRINSIP DAN POLA MASYARAKAT SUNDA

Masyarakat Sunda merupakan masyarakat yang lebih memiliki afektif dominan, maksudnya, sensitif terhadap tata krama atau sopan santun dan perasa. Hal ini tercermin dari tata cara masyarakat Sunda memandang busana dan segala hal yang menyangkut atribut di dalamnya. Ketika seseorang berbusana dan mengenakan atribut pakaian adat Sunda maka secara tidak langsung orang tersebut mewakili dari pesan yang ingin disampaikan oleh masyarakat Sunda itu sendiri, tentunya semua ini berhubungan erat dengan prinsip dasar masyarakat Sunda secara utuh serta pola masyarakat Sunda yang hadir dan ada dalam sendi-sendi kehidupan masyarakatnya. Dibawah ini adalah klasifikasi atribut pada pengantin adat Sunda dan makna pada silih asih, silih asah, dan silih asuh dan penerapannya dalam pola masyarakat Sunda.

Tabel 4.1 Kajian Atribut serta pemaknaannya. Atribut Makna silih asih, silih

asah, dan silih asuh.

Pola masyarakat Sunda

1. Kembang goyang Makna silih asah, yaitu kreativitas serta mampu

(57)

2. Mahota

3. Panetep

4. Kembang tanjung

5. Bunga sedap malam

Makna silih asih, yaitu sebagai bentuk untuk

Makna silih asih, yaitu saling mengasihi dan menjaga agar terhindar dari bahaya.

Makna silih asih, Yaitu ketika sumpah ijab

Pola tiga, dimana ada tiga

undukan yang mencerminkan cipta, karsa,

rasa atau lebih dikenal dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah.

Pola empat, dimana ada pembagian empat yang menandakan langit, bumi, darat, dan laut.

Pola dua, bentuk hati yang tebalik menggambarkan berhadapan tetapi terpisah, yang artinya penyatuan antara wanita dan pria dengan konsep pria lebih berkuasa.

(58)

6. Perhiasan

Ini ada pola juga sama seperti kembang goyang.

Pola tiga, karena ada pembagian antara bentuk sebelah kanan, tengah, dan kiri.

Pola empat, karena

(59)

9. Keris

(60)

12.Samping lereng eneng

13.Samping sidomukti

Makna silih asuh, yaitu adanya usaha dalam menempuh suatu tujuan, maka silih asuh disini yaitu saling mendukung antara pasangan untuk mencapai suatu tujuan

hidup.

Makna silih asih, saling mengasihi agar tercapai harapan akan masa depan yang baik dan penuh kebahagiaan untuk kedua mempelai.

Pola dua, yaitu bertentangan.

(61)

BAB III

ARTI SIMBOL PADA ATRIBUT PERNIKAHAN ADAT SUNDA

Pada pernikahan adat Sunda, baik pengantin Sunda Putri maupun Sunda Siger, jenis simbol yang ada adalah jenis simbol presentasional. Dimana simbol-simbol yang hadir melalui artefak atribut pengantin adat Sunda ini mencerminkan satu kesatuan yang utuh dengan prinsip dasar masyarakat dan pola masyarakat Sunda.

3.1 Pernikahan Adat Sunda a. Pengantin Sunda Putri

Gambar 3.1 Pengantin Sunda putri (Sumber : pribadi)

(62)

Sama halnya dengan pernikahan adat Sunda lainnya hanya yang membedakan pada penggunaan busana dan aksesorisnya, namun hal itu tidak merubah kesakralan dalam pernikahan itu sendiri hanya ada perbedaan pada makna dan simbolisasi.

Pada pengantin Sunda Putri mengenakan kebaya dan kain batik. Kebaya yang dikenakan pengantin Sunda Putri terbuat dari brokat berwarna putih model Kartini. Kebaya yang digunakan adalah kebaya panjang hingga hampir mencapai lutut pengantin. Pada kebaya terpasang kalung permata panjang. Pengantin wanita juga mengenakan cincin permata dan gelang permata sepasang. Di pinggang terdapat Benten Permata sebagai aksen dan memberi kesan elegan pada pengantin wanita.

Pada bagian bawah, pengantin wanita mengenakan kain batik dengan motif khusus yaitu Sido Mukti atau corak Lereng-Eneng dan terdapat wiron (lipatan pada bagian depan kain). Tak ketinggalan yaitu selop yang terbuat dari bahan yang sama dan warna senada dengan kebaya pengantin. Hal ini membuat penampilan pengantin semakin cantik mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki.

Untuk busana pengantin Sunda Putri, pengantin pria mengenakan Jas buka Prangwedana berwarna senada dengan pengantin wanita. Demikian pula dengan kain batik yang dikenakan pengantin pria, harus sama dengan pengantin wanita, yaitu kain batik corak Lereng-eneng atau Sido Mukti. Pengantin pria juga memakai bendo hiasan permata, Boro Sarangka (tempat menyimpan keris) dan Kewer. Sebagai pelengkap, pengantin pria mengenakan keris perlambang kegagahan. Keris yang diberi hiasan bunga diselipkan di bagian depan yaitu di Boro Sarangka.

(63)

berwarna cerah. Yang terpenting adalah daun sirih berbentuk wajik. Ini menjadi ciri khas pengantin Sunda. Daun sirih dikenakan di kening pengantin wanita sebagai simbol penolak bala.

Pengantin wanita juga mengenakan sanggul yang disebut sanggul Puspa Sari. Ada beberapa hiasan penting penghias sanggul yaitu 6 buah Kembang Tanjung dan 7 buah kembang goyang. Pengantin wanita Sunda Putri mengenakan ronce bunga yang terdiri dari Mangle Pasung, Mangle Susun, Mangle Sisir, Panetep, Mayangsari yang terbuat dari bunga sedap malam. Sebagai pelengkap adalah giwang atau subang.

b. Pengantin Sunda Siger

Gambar 3.3 Pengantin Sunda Siger Gambar 3.4 Pengantin wanita (Sumber : pribadi) (Sumber : pribadi)

(64)

Pengantin wanita Sunda Siger mengenakan kebaya brokat kuning atau krem. Perhiasan yang dikenakan yaitu Kelat Bahu di kedua lengan, gelang permata, cincin permata dan dua buah kalung pendek dan panjang. Di bagian bawah, kain batik dengan motif khusus yaitu Lereng Eneng Prada atau Sido Mukti dengan wiron (lipatan pada bagian depan kain) sebagai pemanis. Sama halnya dengan pengantin Sunda Putri, pengantin Sunda siger biasanya mengenakan selop yang terbuat dari bahan yang sama dan warna senada dengan kebaya pengantin. Pengantin wanita akan terlihat cantik menyeluruh, mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sederhana namun tetap elegan.Sama halnya dengan pengantin Sunda Putri, pengantin pria pun mengenakan Jas buka Prangwedana berwarna sama dengan pengantin wanita. Demikian pula dengan kain batik yang dikenakan pengantin pria, harus sama dengan pengantin wanita, yaitu kain batik corak Lereng-eneng atau Sido Mukti. Pengantin pria juga memakai Bendo hiasan permata, Boro Sarangka (tempat menyimpan keris), dan keris sebagai pelengkap.

Tata rias wajah pengantin Sunda Siger seperti halnya pengantin Sunda lainnya sebagian besar menggunakan warna-warna kuning. Di wajah, pengantin wanita menggunakan bedak berwarna kuning. Biasanya pengantin wanita Sunda menggunakan pemerah pipi dengan warna merah muda samar-samar dan lipstik berwarna cerah. Daun sirih berbentuk wajik yang dikenakan di kening pengantin wanita sebagai simbol penolak bala.

(65)

pengantin. Sementara Pengantin pria Sunda Siger hanya mengenakan bendo yang dihiasi semacam perhiasan sebagai pelengkap bendo. Kendati demikian, pengantin pria tetap terlihat gagah meski tak banyak aksesoris yang dikenakan.

3.1.1. Busana dan Atribut Sunda Putri

Tabel 3.1 Bentuk pola pada atribut Sunda putri

Atribut Bentuk asal Perubahan

1. Kembang goyang Bunga kamboja

(sumber website)

Keterangan

Pada dasarnya bentuk bunga kamboja sederhana yaitu hanya terdapat 5 kelopak bunga, namun perubahan yang terjadi pada kembang goyang hanya mengacu pada bentuk bunga kamboja sehingga ada perubahan bentuk yang lebih kompleks.

Gambar

Gambar 2.3. Siraman pertama       Gambar 2.4. Siraman kedua
Gambar 2.15. Meuleum harupat  (Sumber : pribadi)
Tabel 4.1 Kajian Atribut serta pemaknaannya.
Gambar 3.1 Pengantin Sunda putri (Sumber : pribadi)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rasa marah yang diekspresikan secara destruktif, misalnya dengan perilaku agresif dan menantang biasanya cara tersebut justru menjadikan masalah berkepanjangan dan dapat

Hasil penelitian teridentifikasi enam tema yaitu bagi ibu, anak adalah segalanya; gizi buruk bukan prioritas ibu untuk konsultasi kesehatan; mendapat perlakuan tidak

The research aimed to: (1) Gain a description of the development of curriculum of local excellence-based education implemented in schools, covering orientation,

Universitas

This selectivity must be challenged on a regular basis to ensure ongoing validity of the database ; this is especia ll y necessary after any major change in a substance

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya, sehingga dapat terselesaikannya penyusunan laporan skripsi yang berjudul

Memiliki Surat Persetujuan Pemimpin Perguruan Tinggi Asal bahwa dosen tetap yang bersangkutan akan menjadi calon dosen tidak tetap pada PSDKU PT Pengusul, dilampiri

Peneliti akan menganalisis data hasil pengamatan untuk mengetahui tentang kemampuan siswa setelah diberikan tindakan dalam praktik keterampilan bercerita menggunakan model