INDONESIA YAYASAN ADMINISTRASIINDONESIA
SALEMBAJAKARTAPUSAT
Oleh MUKHTAR
NIM. 102070025916
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
YAYASAN ADMINISTRASI INDONESIA SALEMBA JAKARTA PUSAT
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Oleh
MUKHTAR NIM 102070025916
Oi Bawah Bimbingan
Pembimbing I
M.Si
Pembimbing II
p
hazy Salem, M.Si
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Kelompok Antara Mahasiswa Universitas Kristen Indonesia Dan
Mahasiswa Universitas Persada Indonesia Yayasan Administrasi
Indonesia Salemba Jakarta Pusat"
telah
diujikan
dalam
Sidang
Munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta pada :
Tanggal 31 Januari 2007 skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar sarjana psikologi.
Jakarta, 04 Februari 2007
SIDANG MUNAQASYAH
Sekretaris Merangkap Anggota
Anggota Penguji I
セZセ
bセ、ゥLpィNd
NIP. 150326891
Pembimbing I
M.Si azy Salom, M.Si
Peru6alian fiaafali 'Kfniscayaan, 'Te6arlWn
Senyuman, SemailWn 'Kfaamaian
(])an 'Ta6urlWn 1(asili Sayang
Setiap detifi.pun (j)ia sefalu me1l{jawasi,
tanpa dlmintapun (j)ia seCafu mem6eri, mestinya setiap udara
ya1lfJ kjta fiirup dan setetes air ya1lfJ kjta minum
」オセー
mem6uat
kjta me1l{jenafdan mencintai-:Nya
1(arya seaerliana ini ltupersem6alikgn teruntult
ayali aan i6ultu tercinta serta
i_ァャ_ァセ
(C)
Mukhtar(0) Perbedaan Kemampuan Mengatasi Konflik Antar Kelompok antara Mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan Mahasiswa Universitas Persada Indonesia Yayasan Administrasi Indonesia (UPI YAI) Salemba Jakarta Pusat
(E) xi + 90
(F) Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang tidak terlepas berinteraksi
dengan orang lain atau dengan masyarakat sekitarnya. Demikian pula dalam kelompok, setiap anggota kelompok dapat berinteraksi sesama anggota kelompok maupun antar kelompok. Namun hidup di kota-kota besar/metropolitan yang memiliki beragam tatanan nilai, perbedaan latar belakang sosial-budaya dan ekonomi, serta persaingan yang cukup tinggi. Hal ini merupakan potensi terjadinya konflik, baik konflik psikologis, konflik antar pribadi dan konflik antar kelompok. Parahnya ketika terjadi konflik antar kelompok pihak kelompok sendiri (mahasiswa UKI dan Mahasiswa YAI) dan perangkatnya belum mampu meredam konflik yang terjadi puluhan tahun yang lalu, bahkan hampir menjadi tradisi tahunan.
Dengan melihat potensi kemampuan mengatasi konflik yang dimiliki oleh mahasiswa, melalui gambaran pola interaksi, komunikasi dan cara mereka mengatasi konflik akan diketahui secara jelas aspek-aspek yang mempengaruhi proses penyelesaian konflik selama ini.
Penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran perbedaan kemampuan mengatasi konflik antar kelompok antara mahasiswa UKI dengan
mahasiswa YAI Salemba Jakarta Pusat. Pendekatan penelitian yang
dipakai adalah kuantitatif dengan metode deskriptif. Populasi penelitian ini adalah mahasiswa UKI dan YAI salemba Jakarta Pusat, sedangkan sampellresponden yang dipakai sebanyak 60 mahasiswa dengan rincian mahasiswa Universitas Kristen (UKI) 30 orang dan Yayasan Administrasi Indonesia (YAI) 30 orang.
Pengambilan sampellresponden dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan desain sampling tetap (fixed sampling design), metode
yang digunakan yaitu restricted random sample, artinya sampel yang
dipilih dari populasi dikelompokkan terlebih dahulu. Teknik pengambilan
menggunakan instrumen berupa skala model Likert dengan 4 alternatif jawaban. Skala kemampuan mengatasi konflik antar kelompok berjumlah 41 item dengan nilai realibilitas 0.9409.
Teknik analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 11.5
yang meliputi korelasi Pearson untuk menguji validitas item,Alpha
Cronbachuntuk menguji reliabilitas instrumen pengumpul data, dan uji-t (t-test) untuk pengujian hipotesis penelitian.
Data yang didapat diolah dengan prosedur statistik dengan menggunakan SPSS versi 11.5 Dari uji hipotesis diketahui bahwa nilai t-hitung yang didapat adalah sebesar -1,645 sedangkan t-tabel untuk N=60 adalah 2,021 dengan taraf signifikansi 5% (-1,645 < 2,021). Dengan demikian t hitung lebih keeil dari pada t tabel, artinya tidak ada perbedaan yang signifikan antara kemampuan mengatasi konflik antar mahasiswa UKI dengan mahasiswa YAI Salemba Jakarta Pusat.
Penelitian ini dilakukan pada dua kampus/universitas yaitu Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan Yayasan Administrasi Indonesia (YAI) Salemba Jakarta Pusat. Akan lebih lengkap dan detail apabila penelitian ini dilakukan dengan penambahan metode kualitatif dan dengan mengikut sertakan universitas-universitas lainnya yang pernah terlibat konflik
dengan UKIIYAI seperti Universitas Bung Karno (UBK). Penelitian ini hanya mengukur satu aspek yaitu untuk melihat perbedaan kemampuan mengatasi konflik antar-kelompok saja, untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat meneari pengaruh atau peranan dari kerjasama antar universitas, adanya kegiatan bersama dan institusi masyarakat sekitar dalam meneegah konflik antar kelompok sehingga adanya satu komitmen bersama dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Dzatyang selalu memberi kepada makhlukNya meski tanpa diminta, Dzat
yang mengetahui segala gerak-gerik kita, shalawatdansalam senantiasa
tercurahkan kepada sosok pribadi mengesankan (Muhammad) SAW. yang
menjadi panutan dan tauladan umat manusia.
Perubahan adalah keniscayaan ada siang ada ma..lam, ada kehidupan ada
kematian, ada perjumpaan ada perpisahan, setelah sekian lama berada di
Iingkungan Fakultas Psikologi, namun tak terasa rasanya begitu sebentar,
akhirnya untuk mengakhiri pendidikan ini penulis menyelesaikan skripsi ini
dengan judul "Perbedaan Kemampuan Mengatasi Konflik Antar
Kelompok Antara Mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI) Dan Mahasiswa Universitas Persada Indonesia Vayasan Administrasi Indonesia (UPI VAl) Salemba Jakarta Pusat".
Skripsi ini dapat selesai karena adanya dukungan dari semua pihak. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ora. Netty Hartati, M.Si (Oekan
Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
sekaligus Oosen Penasehat Akademik), terima kasih kepada Oosen
Pembimbing Skripsi dan Pembantu Oekan Bidang Akademik, Ibu Ora.
Zahrotun Nihayah, M.Si, yang ditengah-tengah kesibukannya selalu
memberikan semangat, senyuman dan dorongan yang tulus kepada penulis,
demikian juga kepada dosen pembimbing skripsi yaitu Bapak Ghozy Salom,
M.Si yang telah mengarahkan penulis menyelesaikan skripsi ini, tidak lupa
kepada semua dosen psikologi yang telah banyak memberikan makna hidup.
Ayah dan Ibu tercinta, terima kasih atas semuanya. Cinta, kasih sayang,
Bambang Budiarso, MM, Bapak Adang Karyana S.SST dan lainnya) yang
telah mendidik dan membinaku, kepada arek-arekFORMALA, WASIAT,
kepada sahabat-sahabatku di Fakultas Psikologi khususnya angkatan 2002,
Ikhwan Jatibening conection, adik-adikku yang selama ini telah setia
menemaniku, untuk sahabat, ternan dan kawan-kawanku seperjuangan,
penulis mengucapkan terima kasih karena kalian telah menjaga, membantu
dan memberi banyak pelajaran hidup kepada penulis.
Untuk kawan-kawanku di UKI dan YAI dari BEMF (Badan Eksekutif
Mahasiswa Fakultas) Ekonomi, IImu Komunikasi, Psikologi. IImu Sosial dan
Politik serta Hukum, yang tidak pernah bosan membantu penulis. Terima
kasih atas kerjasamanya dalam proses penyelesaian skripsi ini.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi
ini yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu. Penulis hanya dapat
mengucapkan Jazakumullah khairan katsira, semoga Allah membalas yang
lebih baik bagi kalian semua. Penulis berharap semoga karya ini bermanfaat
bagi semuanya. Amien.
Jakarta,4 Januari2007
MOnO... iv
ABSTRAKSI.... v
KATA PENGANTAR... vi
DAFTAR ISI... viii
DAFTAR TABEL... x
DAFTAR LAMPIRAN xi BAB 1 PENDAHULUAN :... 01-09 1.1. Latar Belakang Masalah... 1
1.2. Identifikasi Masalah.. 6
1.3. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 6
1.3.1. Pembatasan masalah penelitian... 6
1.3.2. Perumusan masalah penelitian... 7
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 7
1.4.1. Tujuan penelitian... 7
1.4.2. Manfaat penelitian... 7
1.5. Sistematika Penulisan... 8
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA... 10-59 2.1. Konflik... 10
2.1.1. Pengertian Konflik... 10
2.1.2. Pengertian Konflik Antar kelompok 11 2.1.3. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Konflik... 15
2.1.4. Resolusi Konflik... 24
2.1
Skema Penyebab Konfiik Antar Kelompok...
24
2.1
Cara mendiagnostik konfiik
,
52
2.2
Bentuk pendekatan konfiik...
53
2.2
Skema kerangka berpikir.
,.
58
BAB3
3.1
Bobot nilai skala...
66
3.2
Blue print skala kemampuan mengatasi konfiik antar kelompok...
67
3.3
Rel/abel/tas skala mengatasi konfiik...
70
BAB4
4.1
Jumlah sampel.
72
4.2
Gambaran umum responden berdasarkan jenis kelamin, usia,
fakultas, agama, dan suku bangsa...
73
4.3
Gambaran umum responden berdasarkan alasan konfiik dan Tingkal
kemampuan mengatasi konfiik...
76
4.4
Uji normalitas...
79
4.1
Grafik penyebaran item-item skala kemampuan mengatasi konfiik...
79
4.5
Uji homogenitas
'"
,.
80
[image:10.522.34.450.167.626.2]• Foto Tawuran • Angket penelitian
• Blue print hasil tryout kemampuan mengatasi konflik • Blue print revisi kemampuan mengatasi ォッョヲャゥセ
1.1. Latar Belakang Masalah
Hidup di tengah-tengah kota metropolitan yang memiHki beragam tata nilai (nilai sosial dan agama), latar belakang sosial dan.budaya yang berbeda, kesenjangan ekonomi yang semakin melebar dan tingkat persaingan hidup cukup tinggi, hal ini merupakan salah satu potensi pemicu terjadinya konflik. Berbagai pemicu konflik lainnya yang sering terjadi seperti tidak terpenuhinya kebutuhan (psikologis/sosial) seseorang, harapan yang terlalu besar, konsep diri yang labil dan ketidak-seimbangan dalam menghadapi realitas hidup.
berbeda atau akibat dari prasangka social dari anggota kelompok yang
merasa identitasnya terancam (www.suaramerdeka.com/harian).
Konflik antar kelompok ini banyak terjadi pada usia muda (ramaja &dewasa
dini), pemicunya lebih banyak pada perilaku kompensasi-kompensasi,
kompensasi ini bisa dari dalam diri individu (internal) atau dari luar individu
(eksternal), kompensasi terhadap perasaan-perasaan inferior, merupakan
salah satu pemicu terjadinya konflik ini (Kartono, 2002: 104).
Fenomena konflik mahasiswa UKI dengan mahasiswa VAl Salemba Jakarta
sepertinya menjadi "tradisi" tahunan, hampir setiap tahun terjadi konflik.
Liputan 6 menyebutkan alasan terjadi konflik tidak diketahui penyebabnya
secara jelas. namun yang memicu timbulnya konflik ini biasanya masalah
sepeleh yang bersifat individual yang dapat memicu dan mampu
menyebabkan perkelahian massal seperti ejekan antar mahasiswa (UKIIYAI),
kejadian ini sempat membuat tertutupnya jalan raya dan mengganggu
keberadaan masyarakat sekitarnya. (http://www.kompas.co.id). Tetapi dalam
(www.suarapembaruan.com) disebutkan alasan konflik adalah akibat dendam
lama. "Tawuran antar mahasiswa UKI dengan VAl dipicu dendam lama.
Mereka sudah sering tawuran". kata Wandi (35) pedagang aksesori
handphone,"Mungkin yang seniomya ingin meneruskan kebiasaan buruk itu
Konflik antar mahasiswa UKIdan YAI memunculkan perilaku agresif dan cenderung pada perilaku kriminal. Diantara mereka ada yang membawa
potongan besi dan senjata tajam lainnya yang digunakan dalam tawuran itu.
Perbedaan ideologi dan keyakinan (agama) merupakan potensi timbulnya
konflik antar kelompok. Demikian juga perbedaan kebudayaan dan eksistensi
diri sebagai kelompok mayoritas atau minoritas juga rawan menimbulkan
konflik (Sanusi, 1999 : 88).
Menurut Pickering (2001) konflik bisa terjadi bila kebutuhan psikologis
seseorang terhambat, yaitu kebutuhan untuk dihargai dan memiliki harga diri.
Hal ini rawan menimbulkan konflik antar individu dan kelompok. Pada masa
dewasa dini, menurut Hurlock (1980) mereka memasuki ambang dunia
pekerjaan kehidupan (dewasa), mereka banyak mengalami ketegangan
emosional, dan kebingungan. Masa ini mereka sering melihat kehidupan
nyata orang dewasa dari sisi idealis, mereka berkeinginan kuat untuk
mengubahnya. Sedangkan menurut Robby (1992) secara psikologis, individu
berada pada tahapan dewasa dini, memiliki peluang konflik yang cukup
besar, dimana individu memiliki kebutuhan yang beragam, khususnya
kebutuhan psikologis manusia terutama pada kebutuhan sosial, sebagai motif
yang mempengaruhi perilaku individu, maka ketika kebutuhan psikologis tidak
Beragamnya pemicu konflik antar kelompok yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat perkotaan merupakan persoalan yang layak untuk diperhatikan.
Karena secara langsung atau tidak langsung merupakan masalah sosial yang
memiliki pengaruh besar pada berbagai aspek kehidupan di lingkungan
masyarakat. Masa dewasa dini merupakan masa peralihan dan masa yang
menentukan bagi masa depan selanjutnya. Apalagi bila konflik yang terjadi
pada mahasiswa UKI dan YAI dibiarkan terus menerus akan berdampak lebih
buruk pada perilaku mahasiswa yang mengalami konflik dan pada
mahasiswa lainnya serta dapat memicu prilaku agresif.
Solusi yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak mampu meredam gejolak
konflik yang lebih besar (etniklras/agama), namun nampaknya belum berhasil
menyelesaikan permasalahan secara menyeluruh. Dari sinilah diperlukan
pemecahan konflik dari potensi mahasiswa sendiri. Modal sosial yang dimiliki
mereka serta potensi kerjasama dalam membangun kegiatan bersama masih
terbuka lebar. Disamping itu banyak pihak sebenarnya yang bisa terlibat
dalam mengatasi konflik ini, misalnya keterlibatan pihak orang tua, teman
dekat, kelompok kegiatan, pihak universitas dan masyarakat sekitarnya.
Pengaruh lingkungan pergaulan dan lingkungan universitas merupakan salah
satu faktor motif perilaku mahasiswa. Konflik yang terjadi antar kelompok
mahasiswa merupakan konflik yang sudah lama terjadi dan hampir terjadi
Pola interaksi dan komunikasi yang menjadi tolak ukur sepertinya belum
dilakukan secara sistematis oleh kedua kelompok.
Modal sosial yang tersisa, tentu bisa dijadikan sebagai mekanisme integrasi
sosial, dan yang terpenting adalah cara menyelesaikan konflik yang mereka
gunakan. Sebenarnya apa yang diinginkan oleh mahasiswa sendiri dan
bagaimana pola penyelesaian konflik yang telah dilakukan selama ini?
bagaimana peran serta pihak universitas sendiri dalam menyelesaikan
konflik? apakah mereka (mahasiswa) memahami orang di luar kelompoknya
sebagai ancaman atau ada penyebab lain yang kemudian merembet pada
konflik antar kelompok seperti pada kasus-kasus akhir-akhir ini yang ada di
Indonesia [konflik Poso/Maluku] (http://www.hamline.edu).
Disinilah peneliti tertarik untuk meneliti apakah ada perbedaan kemampuan
mengatasi konflik antar kelompok antara mahasiswa UKI dan mahasiswa YAI
1.2.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, identifikasi masalah yang dijelaskan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana tingkat kemampuan mengatasi konflik antar kelompok antara mahasiswa UKI dan mahasiswa YAI Jakarta Pusat?
2. Apa alasan mereka melakukan konflik ini, sehingga setiap tahun terjadi konflik antar kelompok?
3. Apakah ada perbedaan kemampuan mengatasi konflik antar kelompok antara mahasiswa UKI dan mahasiswa YAI Jakarta Pusat?
1.3.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar penelitian ini lebih spesifik dan terarah, maka peneliti membatasi dan merumuskan pada permasalahan utama.
1.3.1.
Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini peneliti membatasi masalah sebagai berikut : 1. Kemampuan mengatasi konflik antar kelompok
Yang dimaksud kemampuan mengatasi konflik antar kelompok adalah kemampuan mengatasi perselisihan atau pertentangan yang dialami oleh mahasiswa UKI dan YAI selama ini. Hal ini ditandai dengan kemampuan mahasiswa dalam pola interaksi (Supardi, 2002), pola komunikasi (Devito,
2. Mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan mahasiswa
Universitas Persada Indonesia Yayasan Administrasi Indonesia (UPI YAI) Salemba Jakarta Pusat.
Peneliti membatasi pada mahasiswa UKI dan YAI Salemba Jakarta Pusat. 3. Mahasiswa
Mahasiswa yang dimaksud di sini adalah yang masih berstatus mahasiswa UKI dan YAI Salemba Jakarta Pusat.
1.3.2.
Perumusan Masalah
Peneliti merumuskan masalah yaitu "Apakah ada perbedaan kemampuan mengatasi konflik antar kelompok antara mahasiswa UKI dan mahasiswa YAI Salemba Jakarta Pusat?."
1.4.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan tingkat kemampuan mengatasi konflik antar kelompok antara mahasiswa UKI dan mahasiswa YAI Salemba Jakarta Pusat.
1.4.2.
Manfaat Penelitian
berikut:
1. Secara Teoritis
Dapat bermanfaat bagi pengembangan teori psikologi, khususnya dalam pengembangan psikologi sosial.
2. Secara Praktis
a. Bisa memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat, khususnya bagi mahasiswa terkait (UKI dan YAI), pen€lelola universitas, dosen terkait dan pemerhati permasalahan sosial dan psikologi.
b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan dan perbandingan untuk peneliti yang tertarik di bidang psikologi sosial atau
permasalahan sosial serta untuk penelitian selanjutnya.
1.5. Sistematika Penulisan
Penulis menggunakan pedoman penyusunan penulisan skripsi Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Hasil penelitian ini disusun menjadi lima Bab, dengan sistematika penulisan sebagai berikut :
Bab 1 PENDAHULUAN, meliputi Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah Penelitian, Perumusan Masalah
Bab 2 KAJIAN PUSTAKA, meliputi landasan Teori Konflik, Pengertian
Konflik, Pengertian Konflik Antar Kelompok. Faktor-Faktor Yang
Menyebabkan Konflik Antar Kelompok, Resolusi Konflik.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemampuan Mengatasi Konflik,
Pola Interaksi, Pola Komunikasi Dan Gaya (Pendekatan) Mengatasi
Konflik.
Pola Mahasiswa Dalam Mengatasi Konflik
-Kerangka Berfikir, dan Hipotesa.
Bab 3 METODE PENELITIAN, meliputi Pendekatan dan Metode Penelitian,
Populasi dan Sampel, Teknik Pengambilan Sampel, Instrumen
Pengumpulan Data, Teknik Pengolahan dan Analisa Data, Prosedur
Penelitian.
Bab 4 HASIL PENELITIAN, meliputi Gambaran Umum Subyek, Presentasi
Data, dan Uji Hipotesis.
2.1. Konflik
2.1.1. Pengertian Konflik
Dalam buku Chaplin (2000) konflik adalah adanya dua atau lebih motif secara bersamaan yang antagonis (saling bertentangan). Sudarsono (1993)
mengartikan konflik adalah pertentangan atau percekcokan. Satu keadaan dimana individu atau kelompok dihadapkan pada dua atau lebih pilihan atau tujuan dan individu tersebut harus memilih satu diantara beberapa pilihan. Dalam pandangan kedua tokoh di atas bahwa konflik berarti adanya
pertentangan atau perselisihan baik dalam diri seseorang. dengan orang lain maupun antar kelompok. Demikian juga menurut Caiman (2001) konflik adalah "the situation that exist when two contradictory tendencies oppose each other in aperson's mind". Caiman lebih cenderung mengartikan konflik pada pertentangan dalam diri seseorang sendiri. Sedangkan Webster yang dikutip oleh Pickering (2001) menjelaskan konflik sebagai berikut :
1. Persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain.
2.1.2. Pengertian Konflik Antar Kelompok
Menurut Irfan dan Chaeder (2006) konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih, baik individu maupun kelompok yang merasa memiliki
kepentingan-kepntingan yang tidak sejalan. Dengan demikian kepentingan kelompok yang berbeda akan timbul konflik. Sedangkan menurut Ritha F. (2003) konflik dapat berupa perselisihan (disagreement), akibat adanya ketegangan (the presenceoftension), atau munculnya kesulitan-kesulitan lain diantara dua pihak. Konflik sering menimbulkan sikap oposisi antara kedua belah pihak, sampai kepada tahap dimana pihak-pihak yang terlibat memandang satu sama lain sebagai penghalang dan pengganggu
tercapainya kebutuhan dan tujuan masing-masing.
Pickering (2001) sendiri mengartikan konflik adalah adanya beberapa pilihan yang saling bersaing atau tidak selaras. Di buku konflik dalam hidup
sehari-hari (1992) menurut Wehn bahwa konflik adalah suatu konsekuensi dari komunikasi yang buruk, salah pengertian, salah perhitungan dan proses-proses lain yang tidak disadari. Sedangkan Robby I. Chandra (1992) sendiri mengidentifikasi tipikal konflik sebagai berikut :
1. Ketegangan yang diekspresikan, konflik terjadi bila pihak-pihak yang terlibat melihat bentuk sikap atau tindakan dalam hubungan yang bisa diangap sebagai tindakan konflik.
tabrakan atau benturan tujuan atau cara pemenuhan kebutuhan.
3. Adanya penghambat, yaitu penghambat dari pihak lain dalam meneapai
tujuan, akan berakibat timbulnya konflik.
4. Saling ketergantungan dan saling mempengaruhi.
Pengertian kelompok menurut Bales dalam Hamdani Yasun (2003)
menyebutkan kelompok merupakan sejumlah orang yang menerima kesan
atau persepsi mengenai anggota yang lain berbeda-beda, sehingga reaksi
kepada setiap anggota yang lain akan berbeda pula meskipun kesan itu
berupa ingatan tentang keberadaan anggota lain.
Me. David dkk. (1968) mengartikan kelompok adalah suatu sistem yang
terorganisir yang terdiri dua orang atau lebih yang saling berhubungan
sehingga dapat melaksanakan fungsi dan peran anggotanya.
Soekanto (1986) memandang kelompok merupakan hubungan individu,
adanya kesadaran akan manfaat bersama. Sedangkan Hamdani Yasun
(2003) sendiri mengungkapkan kelompok terdiri dari dua orang atau lebih
yang saling berinteraksi atau saling mempengaruhi sehingga terjadi
perubahan perilaku.
Kelompok sosial menurut Biersted dalam Sunarto (2000) fenomena
dikategorikan sebagai kelompok asosiasi (associational group) kelompok ini
biasanya memiliki kesadaran jenis, persamaan kepentingan dan adanya
kontak dan komunikasi antar anggotanya.
Sumner (1940) memberikan identifikasi mengenai kelompok yaitu ada
in-groupdan out-group, ada kecenderungan dikalangan anggota kelompok
(in-group) ada kerjasama, persahabatan, keteraturan·namun ketika melihat
kelompok luar(out-group) cenderung ditandai dengan kebencian,
permusuhan dan konflik. Hal ini akibat dari berkembangnya perasaan
kelompok(in-group feeling) yang kuat, yang terwujud dalam solidaritas,
kesetiaan, pengorbanan namun sikap terhadap kelompok luar
mengembangkan sikap permusuhan.
Pengertian konflik antar kelompok merupakan konflik massal antara satu
kelompok dengan kelompok lain, hal ini memiliki arti penyesuaian diri
terhadap kelompoknya, dimana individu merasa aman dan terlindungi.
Individu merasa memiliki peranan yang diharapkan oleh kelompoknya,
kelompok dijadikan pijakan dasar sebagai martabat dan harga diri. Sehingga
kesadaran individu mamiliki arti, maka tumbuhlah proses identifikasi terhadap
kelompok sendiri, secara perlahan-Iahan dapat memunculkan rasa
aku-sosial, dengan bentuk sikap, kebiasaan, sentimen, cara berf/kir dan pola
Perkelahian mahasiswa
UKI-YAI
memang kerap terjadi antara kedua kampusyang saling berdekatan tersebut dan seperti menjadi kebiasaan tahunan pada
penerimaan mahasiswa baru, penyelesaian dan pemecahan masalah yang
dilakukan oleh pihak rektorat dari kedua belah pihak terbukti belum
menuntaskan konflik ini, bahkan polisi sudah dilibatkan dalam menangani
konflik ini, sebagai mana yang dikutip oleh (http://www.liputan6.com/view)
menyebutkan "sejauh ini polisi tefah bekerjasamadengan pihak rektorat dan
mahasiswa dari kedua universitas itu untuk menjaga keamanan dan
ketertiban".
Adanya satu kesatuan masing-masing kelompok dan pengakuan menyatu
dari suatu kelompok menjadi dukungan moril tersendiri bagi mahasiswa,
maka ketika terjadi konflik yang melibatkan kelompoknya, individu terpanggil
sebagai bagian dari komunitasnya, dan hal ini memberikan arti (memainkan
peranan kelompoknya), perkelahian massal antar kelompok merupakan
pengalaman yang memberikan semangat hidup tersendiri bagi mahasiswa,
khususnya mahasiswa yang merasa bangga akan peranan besar untuk
kelompoknya, lebih-Iebih bila ditonton oleh orang banyak.
Menurut Kartono (2002) kegemaran perkelahian massaI antar kelompok
mencerminkan dua peristiwa penting :
pada saat sekarang.
2. Sebagai pelampiasan dan peningkatan ambisi dan reaksi-frustrasi negatif,
juga pelampiasan tekanan psikologis.
Oari beberapa pendapat, maka pengertian konflik antar kelompok berarti
pertentangan kepentingan, kebutuhan dan motif yang melibatkan satu atau
lebih komunitas terhadap komunitas yang lain dalam bentuk sikap, ucapan
dan perilaku. Hal ini penulis gunakan merujuk pada konteks realitas konflik
(pertentangan) massal yang telah terjadi dari fenomena konflik antar
kelompok antara mahasiswa UKI dan YAI Salemba Jakarta Pusat dan dari
penelitian M. Hasballah (2003) yang meneliti perkelahian antar pelajar, potret
siswa SMU yang ada di OKI Jakarta.
2.1.3. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Konflik
Oalam pandangan Ichsan Malik (2005) teori tentang prasangka, dan
stereotip, pada dasarnya dapat menjelaskan tentang sumber terjadinya
konflik. Ketika interaksi antar individu, ada kecenderungan untuk mengambil
jalan pintas dalam mempersepsi seseorang atau kelompok, dengan cara
memberikan "label" tertentu kepada individu lain berkaitan dengan sifat-sifat
yang khas yang seakan-akan menempel pada individu atau kelompok.
stereotipyang memunculkan penilaian yang tidak memiliki dasar obyektif dan
pengambilan dengan cermat. Akibatnya terjadi penyimpangan pandangan
yang obyektif serta terjadi generalisasi. Kecenderungan generalisasi akan
memberikan dampak negatif jika sasaran prasangka adalah kelompok
minoritas, karena akibatnya adalah tindakan diskriminasi. Sedangkan
Realistic Conflict Theory(ReT) dari Muzafer Sherif (1970) menyatakan bahwa dalam hubungan antar dua kelompok selalu terdapat kepentingan
yang berbeda, akan terjadi upaya dari satu kelompok meraih keuntungan
yang sebesar-besarnya dengan mengorbankan kelompok lainnya.
Persaingan terjadi karena ada keterbatasan atau kelangkaan sumberdaya
yang diperebutkan oleh kelompok.
Konflik terjadi disebabkan adanya penegasan individualisme. Konflik itu
sebagai bentuk prates yang berlandaskan rasa frustasi terhadap kurangnya
kesempatan untuk perkembangan dan kurangnya pengakuan identitas.
Bentuk tersebut dapat berupa ketegangan, atau kekerasan dari persoalan
kelas, status, etnik, agama, atau nasionalisme, bahkan berurusan dengan
soal-soal kebutuhan yang mendasar (www.manajemenkonflik.com).
Dalam sebuah situs (www.suaramerdeka.com/harian) menurut Kartikasari
(2001 : 8) memahami penyebab konflik di tengah-tengah masyarakat itu ada
Pertama, teori hubungan masyarakat. Memiliki pandangan bahwa konflik
yang sering muncul di tengah masyarakat disebabkan polarisasi yang terus
terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda.
Kedua, teori identitas yang melihat bahwa konflik yang mengeras di
masyarakat tidak lain disebabkan identitas yang terancam, yang sering
berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan masa lalu yang tidak
terselesaikan dan rendahnya penghargaan terhadap yang lain.
Ketiga, teori kesalahpahaman antar-budaya. Teori ini melihat konflik
disebabkan ketidakcocokan dalam cara-cara berkomunikasi di antara
berbagai budaya yang berbeda. Realitas keragaman budaya bangsa ini tentu
membawa konsekuensi munculnya persoalan gesekan antar budaya.
Keempat, teori transformasi sosial yang memfokuskan pada penyebab terjadi
konflik adalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai
masalah sosial, budaya dan ekonomi.
Konflik bisa muncul dari perasaan tentang apa yang benar dan apa yang
salah, dan
predisposisi
untuk bertindak positif maupun negatif terhadap suatukejadian, dapat dengan mudah menjadi sumber terjadinya konflik. Nilai-nilai
yang dipegang dapat menciptakan ketegangan-ketegangan di antara
individual dalam suatu kelompok. Konflik muncul karena adanya perbedaan
yang sangat besar antara kebutuhan dan kepribadian setiap orang, yang
Persepsi dan penilaian dapat menjadi penyebab terjadinya konflik Sejalan dengan meningkatnya asosiasi diantara pihak-pihak yang terlibat, semakin mengikat pula terjadinya konflik. Dalam bentuk interaksi yang aktif dan kompleks seperti pengambilan keputusan bersama(joint decision-making),
potensi terjadinya koflik bahkan semakin meningkat (Ritha F., 2003).
Menurut Pickering (2001) faktor yang menyebabkan konflik adalah karena pengalaman, minat, tujuan atau nilai yang dimiliki bertentangan satu sama lainnya, hal ini menciptakan perbedaan mengenai apa yang diharapkan, diucapkan dengan apa yang akan dilakukan untuk mewujudkannya. Konflik antar kelompok merupakan pertentangan antara dua kelompok yang melatar-belakanginya adalah pencapaian kebutuhan psikologis yang tidak sesuai, kebutuhan ini berupa kebutuhan sosial, kebutuhan sosial yaitu kebutuhan ketika menjalani interaksi dengan kelompok lain:
1. Kebutuhan untuk dihargai
2. Kebutuhan ingin menguasai atau mengendalikan 3. Kebutuhan akan harga diri
4. Kebutuhan untuk konsisten
frustasi pencapaian tujuan salah satu atau lebih. Artinya, konflik itu dapat
ditelusuri pada tidak tercapainya tujuan pribadi atau kelompok dan rasa
frustasi yang ditimbulkannya. Sedangkan teori identitas sosiallebih
menekankan pada menyederhanakan hubungan eksternal. Lebih jauh lagi,
ada kebutuhan manusia untuk memiliki rasa harga diri(self esteem and self
worth) yang ditransfer ke dalam kelompok sendiri. Hal ini juga berguna untuk
menata lingkungan dengan perbandingan sosial antar kelompok. Konsep
dalam kelompok (ingroups) dan luar kelompok(outgroups) merupakan uraian
tentang proses yang menempatkan individu dalam kelompok dan pada saat
yang sama menempatkan kelompok dalam individu. Hubungan-hubungan
kelompok adalah akar dari masalah-masalah berbagai konflik. Tidak
diragukan lagi bahwa system yang tidak stabil dari perpecahan sosial antara
kelompok mayoritas dan minoritas lebih mungkin dipandang tidak sah
(illegitimate) yang akan mengandung benih-benih ketidakstabilan.
Teori sistem musuh memandang akar konflik berasal dari persaingan
kelompok dan perebutan kekuasaan serta sumber-sumber kebutuhan.
Asumsi-asumsi ini menggambarkan pada factor-faktor motivasi sadar dalam
lingkungan yang berorientasi material. Akibatnya, salah satu tujuan utama
konflik adalah berusaha menguasai. Kelompok berusaha menguasai agar
dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhannya, biasanya dengan
penguasaan seringkali dipandang sebagai zero sum conflict. Artinya,
kemenangan suatu kelompok berarti kekalahan kelompok yang lain. Konflik seperti ini bukan sama-sama menang (win-win) untuk kedua kelompok. Rasa frustasi tidak bisa memenuhi kebutuhan primordial ini mengarah pada agresi dan akhirnya terjadilah konflik.
Pickering (2001) menambahkan adapun reaksi lesih lanjut tentang kebutuhan yang diperoleh seseorang sebagai berikut :
a. Membalas, membalas merupakan perilaku seseorang yang menyebabkan kepuasan sementara namun menyimpan konflik yang lebih besar.
b. Menguasai, reaksi ini bersifat memaksakan kehendak, sebagai tindakan mengamankan dan penyelamatan tapi umumnya berakibat merusak hubungan jangka panjang.
c. Menghindar atau mengucilkan diri, reaksi tidak menanggapi situasi yang timbul adalah cara yang cukup baik, akan tetapi satu hal yang perlu diingat yaitu tidak menjadi tekanan psikologis dalam diri sendiri tapi terkadang akan menjadi "boom"yang sewaktu-waktu akan merusak atau meledak.
Andi Widjajanto (2004) menyebutkan penyebab konflik dari beberapa
pandangan (teori), yang melandasinya sebagai berikut :
Teori hubungan masyarakat, menganggap bahwa konflik disebabkan oleh
polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan diantara
kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Sedangkan teori negosiasi
prinsip, menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak
selaras dan perbedaan pandangan tentang ォッョヲャゥセ oleh pihak-pihak yang
mengalami konflik.
Teori kebutuhan manusia, berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam
disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental, dan sosial) yang
tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi,
dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan. Demikian juga teori
identitas, berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang
terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di
masa lalu yang tidak diselesaikan
Teori kesalah-fahaman antar budaya, menganggap bahwa konflik disebabkan
oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya
yang berbeda. Dan teori transformasi konflik, berasumsi bahwa konflik
disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang
Dalam pandangan
A.
Devito (1997) penyebab rusaknya hubungan antar individu dan kelompok atau kemungkinan terjadinya konflik adalah : 1. Penyebab konflik bisa bersifat berangsur-angsur atau mendadak.2. Bila terjadi hubungan yang tidak produktif baik untuk salah satu pihak atau keduanya.
3. Daya tarik meluntur, alasan untuk terus menjaga hubungan telah luntur. 4. Hubungan yang tak terkatakan, kadang-kadang harapan atau keinginan
satu pihak dengan pihak lain tidak tercapai dan sering tidak menjadi kanyataan.
Penyebab konflik menurut Dean Pruitt dan Rubin (2004) adalah :
1. Prestasi masa lalu, aspirasi akan bangkit ketika prestasi naik, jatuh atau menurun yang menyebabkan orang akan memiliki harapan ketika terjadi hal tersebut, sehingga aspirasi meningkat dan alternatif tidak mampu memuaskannya maka timbul konflik
2. Adanya persepsi mengenai kekuasaan, hal ini terjadi sebagai akibat dari adanya ambiguitas mengenai sifat kekuasaan, atau menganggap sesuatu yang berharga, sehingga setiap pihak merasa berhak dan lebih kuat untuk mendapatkannya.
3. Adanya aturan atau norma, secara konstan kelompok akan
fungsi maka konflik akan cepat terjadi.
4. Perbandingan dengan orang lain, sering seseorang atau kelompok yang
mengidentifikasikan dengan orang atau kelompok lain, sehingga
mengakibatkan adanya perbedaan kemajuan, atau prestasi maka akan
menstimulasi peningkatan aspirasi yang cenderung mengarah ke konflik.
5. Terbentuknya kelompok pejuang, hal ini banyak mengarah pada penilaian
tentang suatu nlai yang dianut oleh seseorang.atau kelompok merasa
lebih baik atau lebih benar sehingga yang lain salah dan harus diperbaiki
hal ini yang akan cepat memicu konflik.
Menurut Kartono (2002) penyebab terjadinya perkelahian (konflik) antar
kelompok ada dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksterna!.
Pertama, faktor internal merupakan faktor dari proses internalisasi-diri yang
keliru merespon peristiwa penyimpangan perilaku sosial yang ada di
tengah-tengah masyarakat. Hal ini bentuk dari ketidakmampuan mereka beradaptasi
dengan Iingkungan, sehingga melakukan perilaku mekanisme pelarian dan
pembelaan diri yang salah danirrasional, muncul kemudian perilaku
mal-adaptif, agresi, pelanggaran terhadap norma sosial, hukum dan kebiasaan
perkelahian. Kedua, faktor eksternal, dikenal dengan pengaruh luar
(lingkungan), dan sosia!. Hal ini berupa semua stimulus (rangsangan) dan
pengaruh diluar dirinya yang menimbulkan tingkah laku tertentu (tindak
Kartono (2002) menggambarkan perkelahian massal antar kelompok sebagai
2.1.4. Resolusi Konflik
Menurut Burton dalam Abdul Salam (2003) resolusi konflik artinya
menghentikan konflik dengan cara-cara yang analitis dan masuk ke akar permasalahan. Dalam pandangan pihak-pihak yang terlibat, merupakan solusi permanen terhadap suatu masalah. Resolusi konflik bersifat dalam jangka panjang, suatu proses perubahan politik, social, dan ekonomi.
Teori kebutuhan manusia John Burton (1990), teori ini menekankan bahwa
manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus dipenuhi untuk
memelihara masyarakat yang stabil. Keterlibatan manusia dalam situasi
konflik mendorongnya berjuang pada setiap tataran sosial untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan primordial dan universal, kebutuhan seperti keamanan,
identitas, pengakuan, dan perkembangan. Mereka terus berusaha menguasai
Iingkungannya yang diperlukan untuk menjamin pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan ini.
Ada nilai-nilai atau kebutuhan manusia universal yang mendasar yang harus
dipenuhi jika ingin menciptakan masyarakat yang stabil, apalagi dalam
masyarakat yang multi etnik ketidakstabilan dan konflik tidak bisa dihindari,
kecuali jika kebutuhan identitasnya terpenuhi dan dalam setiap sistem
sosialnya ada keadilan yang merata, rasa penguasaan, serta kemungkinan
memperoleh semua kebutuhan sosial lainnya. Karena setiap kelompok yang
bertikai berusaha memenuhi kebutuhan mereka. Maka perlu aturan main,
dimana kebutuhan-kebutuhan ini tidak dipenuhi dengan cara mengorbankan
kelompok lain, tetapi diwujudkan bersamaan dengan pemenuhan kebutuhan
kelompok lainnya. Kebutuhan-kebutuhan ini tidak ekslusif bagi kedua pihak
atau diperoleh dengan mengorbankan pihak lain. Namun perlakuan seperti ini
hanya untuk sementara menghentikan permusuhan, yaitu dengan cara
simbol-simbol etnik lainnya yang bersifat lokal di satu pihak dan yang bersifat
nasional di lain pihak. Salah satu solusi yang sangat penting adalah
kelompok-kelompok itu menyelesasikan masalahnya sendiri secara analitis,
didukung oleh pihak ketiga yang bertindak sebagai fasilitator dan bukan
penguasa. Tujuan proses ini adalah untuk memungkinkan partisipan konflik
memahami bahwa semua partisipan mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang
sah yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan konflik itu.
Pendekatan-pendekatan lain seperti berdialog antar kelompok, hanya akan
berjalan jika pihak-pihak yang berkonflik setuju untuk bernegosiasi dan
mempunyai sesuatu yang nyata yang dapat mereka tawarkan (bargain).
Untuk itu perlu memahami sifat dan ruang lingkup konflik, tetapi tujuannya
adalah menggunakan analisa ini untuk menyelesaikan konflik. Cara diplomasi
dilakukan dengan interaksi tidak resmi dan tidak formal antara
anggota-anggota kelompok yang bertikai yang bertujuan mengembangkan
strategi-strategi, mempengaruhi pendapat umum, dan mengorganisasikan
sumber-sumber materi manusia dengan cara-cara yang mungkin membantu
menyelesaikan konflik. Harus dipahami bahwa Diplomasi sama sekali bukan
pengganti untuk hubungan resmi dan formal. Apalagi jika konflik yang tidak
berdasarkan kepentingan material, tetapi berdasarkan kebutuhan, terutama
kebutuhan yang berkenaan dengan identitas kelompok etno-nasional atau
etnik, ras, budaya, atau ciri-ciri lainnya. Kelompok akan bertindak untuk
memperoleh dan menjamin identitas mereka di dalam masyarakat. Ketika
keamanan fisik dan ekonomi, partisipasi politik, dan pengakuan dari golongan
lainnya ditolak, identitasnya yang penting itu hilang, dan mereka akan
melakukan apa saja dalam wewenang kekuasaan untuk merebutnya kembali.
Singkatnya, inilah awal dari konflik sosial yang berlarut-Iarut.
Dalam pandangan Abdul Salam (2003) cara lainnya adalah diplomasi,
diplomasi dengan proses tiga tahap, yang memungkinkan
perwakilan-perwakilan kelompok bekerja ke arah penyelesaian konflikintergroupdalam
lingkungan yang tidak mengancam, tidak menekan, dan tidak konfrontasi.
Proses tiga tahap itu adalah, tahap pertama, berupa serangkaian lokakarya
atau forum tentang penyelesaian masalah. Lokakarya-Iokakarya ini dirancang
untuk membawa orang-orang berpengaruh dari kedua kelompok yang
sedang konflik, tetapi bukan para pengambil keputusan utama,
bersama-sama meneari cara-cara alternatif yang membatasi konfliknya. Tujuannya
adalah untuk merubah persepsi mereka mengenai konflik dari habis-habisan
(zero-sum) ke sama-sama menang(win-win). Hal ini bisa dieapai melalui
proses pertemuan yang difasilitasi sebagai bag ian dari lokakarya. Lokakarya
ini difasilitasi oleh sebuah panel para ahli tentang psikologi konflikintergroup
dan tentang pokok-pokok konflik yang dibahas. Para fasilitator tidak berusaha
namun tujuannya sekedar untuk memudahkan komunikasi dan seeara halus
membimbing para peserta ke arah perubahan sikapnya(attitude) dan
persepsi tentang dirinya sendiri. Melalui perubahan ini akan muncul
kemampuan melihat konflik dalam bingkai baru (new term). Dari hasil
pertemuan tidak resmi ini membukakan jalan bagj negosiasi-negosiasi resmi
dengan memulai perubahan sikap (attitude) pendapat umum dan para
pengambil keputusan, diperlukan lokakarya yang terdiri, pertemuan pleno,
atau kelompok kecil selama beberapa hari. Pertemuan-pertemuan resmi ini
ditunjang dengan aeara-aeara social informal seperti makan malam dan
tamasya.
Setelah mendefinisikan kembali konflik dalam rumusan ini, diharapkan bisa
mulai menearj solusi yang akan membolehkan satu pihak menyatakan
identitas tanpa membahayakan pihak lain, dengan mengedepankan kejujuran
(veracity) persepsinya, menggunakan komunikasi massa, media massa,
jurnal-jurnal lainnya yang ikut dalam penyebaran transformasi pendapat
umum untuk mempengaruhi massa. Namuan tindak lanjut yang nyata dibuat
dalam proses ketiga yaitu pembangunan kerjasama sosial ekonomi,
membangun kerjasama sosial ekonomi yang memiliki tujuan untuk
meringankan penderitaan material dari kelompok-kelompok yang
bermusuhan. Usaha inj biasanya diarahkan kepada kelompok yang secara
kebutuhan dasar pihak yang menjadi korban, bisa juga dengan melibatkan
jalur komunal, memulai dengan memberi pekerjaan atau kerjasama.
Perubahan-perubahan ini penting sekali untuk menciptakan lingkungan yang
lebih positif dimana negosiasi-negosiasi yang substansial dapat terjadi.
Pendekatan internal memberikan pemahaman tentang konflik yang lebih baik
dan ada kesepakatan mengenai sebab-sebab konflik.
Menurut Simon Fisher dalam Widjajanto (2004) langkah-Iangkah untuk
resolusi konflik adalah :
1. Meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara
kelompok-kelompok yang mengalami konflik. Mengusahakan toleransi dan agar
masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada di dalamnya.
2. Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk memisahkan
perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu, dan memampukan
mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan
kepentingan-kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap.
Melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang menguntungkan
kedua belah pihak atau semua pihak.
3. Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan
mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, dan
Agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.
4. Melalui fasilitas lokakarya dan dialog antara pihak-pihak yang mengalami konflik mereka diharapkan dapat mengidentifikasi ancaman-ancaman dan ketakutan yang mereka rasakan masing-masing dan untuk membangun empati dan rekonsiliasi di antara mereka. Meraih kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan identitas pokok semua pihak.
5. Menambah pengetahuan pihak-pihak yang mengalami konflik mengenai budaya pihak lain. Mengurangi stereotip negatifyang mereka miliki tentang pihak lain. Meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya. Mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi. Meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang diantara pihak-pihak yang mengalami konflik. Mengembangkan berbagai proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan , perdamaian,
pengampunan, rekonsiliasi dan pengakuan.
Ichsan Malik (2003) menjelaskan resolusi konflik dengan beberapa teori, teori
realistic conflictdari Muzafer Sherif (1970), memandang proses kerjasama, merupakan solusi untuk menyelesaikan konflik antar kelompok, yaitu dengan menciptakan tujuan (goal) bersama yang menyangkut kepentingan bersama
idenya tentang resolusi konflik dan rekonsiliasi. Dengan mengetahui kadar
dan permainan konflik sendiri. Konflik dengan kadar kompetisi yang sangat
tinggi cenderung akan menjadi destruktif, sementara konflik dalam iklim
kooperasi yang tinggi justru akan menjadi konstruktif. Menurut teori ini tujuan
utama dari resolusi konflik adalah bagaimana mengubah dinamika konflik dari
yang kompetitif menjadi yang lebih kooperatif.
Untuk melakukan resolusi konflik maka yang harus diupayakan pertama kali
adalah terciptanya kondisi yang memungkinkan pihak-pihak yang berkonflik
untuk saling memenuhi kebutuhan-kebutuhannya secara konstruktif. Untuk
mengurangi timbulnya kekerasan dan konflik terbuka perlu dilakukan langkah
"provention"yaitu suatu upaya untuk menghilangkan sumber konflik dan
secara lebih proaktif mempromosikan Iingkungan yang positif untuk
memungkinkan masyarakat secara konstruktif memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya.
Herbert Kelman (1990) memperkenalkan teknik lokakarya sebagai solusi
dalam penyelesaian konflik. Lokakarya mengandalkan kepada proses
mediasi non-formal oleh pihak ketiga yang disebut sebagai fasilitator dalam
mempertemukan orang-orang yang berpengaruh pada kelompok-kelompok
yang berkonflik. Tujuan utama dari lokakarya mencapai kesepahaman timbal
mengubah pola hubungan diantara pihak yang berkonflik. Lebih lanjut
Kelman mengatakan bahwa perubahan pola hubungan akan membuka jalan
untuk penyelesaian konflik yang lebih konstruktif. Hal ini menekankan bahwa
yang terpenting adalah pemenuhan kebutuhan kolektif, bukan pemenuhan
kebutuhan individu partisipan.
Langkah selanjutnya meneiptakan kondisi rill dalam kehidupan sehari-hari,
tahap pertama, adalah membangun kesadaran kritis, proses dan media yang
digunakan adalah media lokakarya kritis yang berupaya untuk membongkar
sumber konflik, melakukan identifikasi dari para pelaku yang terlibat,
mengukur kapasitas bersama untuk meneari solusi melalui berbagai analisis,
serta membuat perencanaan untuk kerja bersama.
Tahap kedua, dengan modalitas kesepakatan minimal yang telah dibuat pada
saat lokakarya. kedua belah pihak yang berkonflik dan para korban kemudian
melakukan konsolidasi didalam kelompoknya masing-masing, termasuk
kepada kelompok yang bukan merupakan pelaku dan korban langsung.
Biasanya berupa sosialisasi sumber konflik. serta diskusi peluang dan
ancaman yang ada bila akan mengambil ki?putusan untuk mengambil
alternatif lain selain melanjutkan konflik. Proses sosialisasi dilakukan seeara
langsung maupun tidak langsung telah mendapatkan informasi, dan mulai
terbuka kesadarannya.
Tahap ketiga, adalah negosiasi atau berunding antara kedua belah pihak
yang berkonflik untuk memecahkan masalah, mengambil pilihan yang terbaik
untuk pemecahan masalah, serta mengambil keputusan untuk menetapkan
langkah-Iangkah ke depan untuk mencegah agar konfiik tidak terulang
kembali. Negosiasi mensyaratkan kesadaran kritis dari kedua belah pihak
perihal sumber konflik, serta mensyaratkan kapasitas atau kekuatan yang
berimbang dari kedua belah pihak yang sedang melakukan perundingan.
Negosiasi harus menolak intimidasi, atau represi dari pihak-pihak yang
sedang bernegosiasi .
Proses selanjutnya melakukan intervensi, yaitu mencaribahasayang dapat
dimengerti oleh kedua belah pihak yang sedang berkonflik. Langkah ini untuk
melaksanakan berbagai kegiatan yang dapat menjamin konsistensi dari
proses intervensi yang dilakukan, sehingga program dapat terus
berkelanjutan, proses ini berupaya melibatkan seluruh kelompok masyarakat
yang menjadi korban maupun kelompok yang terlibat dalam konflik.
Komponen masyarakat seperti pimpinam konflik, jurnalis, serta lembaga
2.2. Faktor Mempengaruhi Kemampuan Mengatasi Konflik
2.2.1.
Pola
Interaksi
Manusia tidak pernah dapat hidup seorang diri sejak kehadirannya di muka
bumi, manusia harus hidup berkelompok dan membina kerjasama dalam
menghadapi tantangan beradaptasi terhadap Iingkungannya, setiap individu
tidak bebas dari dan senantiasa terlibat dalam interaksi sosial dengan
.
sesama warga kelompoknya. Sejak dini. setiap individu mulai belajar tentang
berbagai kedudukan dan peran-peran sosial yang melandasi pola-pola
interaksi sosial dalam lingkungannya. Pada waktunya ia pun harus mampu
memainkan peran-peran sosial sesuai dengan kedudukan-kedudukan sosial
yang disandangnya. Keterlibatan dalam interaksi sosial dalam sebagian
besar waktunya, tanpa disadari telah memperkuat kesadaran akan identitas
kelompoknya yang membedakan dengan kelompoknya lainnya.
Dengan demikian, setiap aksi yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu
kelompok sosial akan mengandung reaksi dari pihak lain, dan aksi serta
reaksi yang berlangsung antar dua individu atau lebih itu akan mewujudkan
interaksi sosial dalam kelompoknya. Betapapun kecilnya suatu kelompok
sosial, senantiasa menunjukkan adanya struktur atau pola-pola interaksi
antar sesama anggotanya (www.paskaI8.com).
sehingga dapat menjamin ketertiban interaksi sesama anggota kelompok.
Sebagaimana halnya dengan kebutuhan akan identitas individu dalam
penataan kehidupan bermasyarakat, setiap kelompok sosial juga
memerlukan identitas kolektif(group identity) sebagai sarana penataan sosial
(organizing reference) untuk mempermudah pergaulan Iintas kelompok sosial
kesadaran menjadi anggota kelompok itu menjamin rasa aman atau
setidak-tidaknya kenyamanan bagi yang bersangkutan, betapapun masing-masing
suku bangsa merasa bahwa mereka memiliki simbol-simbol tertentu yang
diyakini perbedaannya dengan simbol-simbol sukubangsa lainnya, dan
berfungsi sebagai media sosial yang memperkuat kesetiakawanan sosial
mereka. Walaupun demikian, sesungguhnya kesetiakawanan sosial antar
sesama warga sesukubangsa (www.paskaI8.com).
Musthafa Fahmi (1982) memandang bahwa manusia berusaha untuk
menyesuaikan diri dengan Iingkungan sekitarnya agar bisa bertahan dan
tetap hidup. Penyesuaian diri merupakan interaksi yang berlangsung terus
menerus dan bersifat timbal balik dengan Iingkungan sekitarnya, sebagai
pemenuhan kebutuhan penyesuaian diri sangat diperlukan dalam kehidupan
sehari-hari. Untuk mengatur keharmonisan dalam berhubungan dengan
orang lain maka dibuat norma, dengan norma ini setiap individu diharapkan
dapat memberikan respon dan mampu melakukan kemampuan penyesuaian
Kemampuan menyesuaikan diri berarti mampu meyesuaikan diri dengan
Iingkungan dengan akrab, dekat dan satu kesatuan dengannya. Sehingga
mampu mengubah tingkah laku yang sesuai dan selaras antar diri sendiri
dengan lingkungan, sedangkan Hurlock (1980) memberikan rumusan tentang
penyesuaian diri sebagai kemampuan menyesuaikan diri terhadap orang lain
secara umum maupun terhadap kelompoknya, dan ia mampu
memperlihatkan sikap, tingkah laku yang menyenangkan, sehingga dapat
diterima oleh kelompok dan Iingkungannya. Ragam pola-pola interaksi di
masa lampau yang meninggalkan bekas-bekas yang positif maupun negatif,
Konsep ketegangan inilah yang selanjutnya akan memainkan peranan
penting dalam menciptakan arena sosial yang dapat menjamin kebutuhan
akan rasa aman anggota kelompoknya, bebas dari kecurigaan dan
prasangka sosial, golongan maupun perbedaan kebudayaan, disamping
kesamaan ideologi, bahasa dan ketetanggaan sebagai suatu kesatuan sosial
yang nyata merupakan media sosial yang dapat diandalkan dalam
membangun interaksi Iintas budaya pada masyarakat perkotaan yang
heterogen penduduknya.
Menurut Singgih (1993) ciri-ciri penyesuaian diri yang baik akan berdampak
seseorang mudah bergaul, lebih hangat, dan terbuka dengan orang lain.
Hurlock (1980) memberikan kriteria penyesuaian diri yang baik yaitu perilaku
kelompoknya. Mampu menyesuaikan diri antar kelompok, baik sebaya ataupun dengan kelompok lain.
Woodworth dalam Gerungan (2004) membagi jenis hubungan antara individu dengan Iingkungannya ada 4 (empat).
Pertama, individu yang bertentangan dengan Iingkungannya. Kedua, individu yang dapat menggunakan lingkungannya. Ketiga,-individu yang dapat
berpartisipasi dengan Iingkungannya. Keempat, individu yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Menurut Gerungan (2004) interaksi dapat dipengaruhi oleh :
a. Imitasi, kehidupan ini lebih banyak pada imitasi, seperti berbicara pada anak-anak.
b. Sugesti, yaitu penerimaan akan pendapat atau pikiran orang lain. c. Simpati, yaitu perasaan tertarik terhadap orang lain.
Hubungan interpersonal dalam pandangan Chaplin (2000) adalah adanya kaitan yang berhubungan antara dua pribadi, sebagai hasil proses interaksi individu dengan individu yang lain, sedangkan David O. dkk (1985)
Menurut Levinger dan Snock dalam David O. dkk (1985) bahwa tahapan
hubungan interpersonal itu sebagai berikut :
1. Zero contact,
yaitu ketika seseorang berada pada kondisi salingpeningkatan, adanya kesadaran, namun belumエ・セ。、ゥ kontak tetapi saat
ini akan berlanjut bila terjadi kesan yang baik.
2. Kontak dasar, pada tahap ini kedua individu mulai berinteraksi, baik
melalui percakapan atau tulisan.
3. Interdependensi,
adanya peningkatan intensitas, sehingga adanyakeakraban, nyaman dan penuh penghargaan.
Pada tahapan selanjutnya hUbungan ini bisa berupa, mulai hanya sebatas
sapaan, kemudian saling mencari informasi tentang diri sendiri, adanya saling
penyelaman antar pribadi, muncul perasaan yang sama dan kesepakatan
yang sama. Proses hubungan ini juga melibatkan kesan yang akan diambil,
perhatian sepintas apakah hubungan ini akan dilanjutkan atau tidak, adanya
saling ketertarikan, yang dilanjutkan dengan penyesuaian antar individu.
Menurut Supardi (2002) menyebutkan ketika konflik terjadi maka pola
interaksi yang sedang berada dalam keadaan konflik berlanjut sebagai
berikut:
1. Eskalasi,
peningkatan kadar intensitas konflik yang terjadi. Kondisidapat dikendalikan lagi. Kondisinya ditandai oleh salah satu kelompok
ingin menempatkan diri diatas kelompok lainnya dengan cara menyerang
sambil melecehkan.
2. Invalidasi,
meremehkan pola pikir, perasaan, dan perilaku kelompok.Invalidasi akan menyebabkan menurunnya rasa harga diri dan keyakinan
diri salah satu kelompok. Biasanya sebelum dirinya'direndahkan, salah
satu kelompok akan dengan cepat untuk mendahului merendahkan
kelompok yang lain.
3. Menarik diri dan menghindar terjadi bila salah satu anggota tidak mau
berpartisipasi dalam interaksi. Salah satu kelompok dapat menarik diri
dari interaksi dan partisipasi bersama-sama.
4. Interpretasi
negatif, terjadi bila salah satu kelompok yakin bahwa kelompklain akan bersikap lebih negatif daripada positif. Kondisi ini dapat tercipta,
bila sebelumnya telah terbentuk interpretasi negatif terhadap beberapa
perilaku kelompok sehingga kelompok mulai mempertanyakan motif dari
setiap perilaku atau reaksi kelompok yang lain. kedua kelompok akan
mengalami kesulitan dalam mengelola konflik.
Pandangan Paul (2002) dalam (www.indomedia.com/poskup) salah satu
bentuk interaksi adalah kompetisi atau persaingan. Persaingan adalah usaha
memenangkan atau mengalahkan lawan dalam rangka mencapai satu tujuan.
pada umumnya cenderung bergaul serta berinteraksi dengan orang-orang
yang mempunyai hubungan partikular atau hubungan khusus dengannya,
misalnya daerah yang sama, kepentingan yang sama, dan sejenisnya.
Namun Hidayat (2001) mengatakan bahwa pola-pola komunikasi dan
interaksi sosial masyarakat pun terus berubah. Pelan-pelan pola lama mulai
ditinggalkan, meskipun secara mentalitas, sebetulnya, belum tentu juga kalau
perubahan itu sudah dilengkapi kesiapan yang memadai. Akibatnya, tidak
jarang kita temukan perilaku anomie, yaitu perilaku yang diwarnai sikap
mendua karena ketidakjelasan orientasi". (www.pikiran-rakyat.com).
Interaksi sosial antar anggota komunitas yang sangat heterogen terutama
latar belakang yang dimilikinya memiliki dampak yang berbeda meskipun
sering berinteraksi, bahkan dengan menggunakan bahasa yang sama
misalnya bahasa Indonesia, ternyata tidak secara otomatis bisa membentuk
saling pengertian diantara mereka. setiap kelompok budaya cenderung
etnosentris yakni mengganggap nilai-nilai budayanya sendiri yang lebih baik
dari pada budaya lain, bahkan menggukur budaya orang lain berdasarkan
rujukan budayanya sendiri. (www.penulislepas.com).
bila dilihat dari sini konflik yang terjadi antar-kelompok antara mahasiswa UKI
dan YAI memiliki pola interaksi yang kurang ada timbal-balik dan pembauran
2.2.2
Pola
Komunikasi
Dalam (www.id.wikipedia.org/wiki/komunikasi) pengertian komunikasi
adalah:
1. Proses sistematik bertukar informasi diantara pihak-pihak, biasanya lewat
sistem simbol biasa.
2. Secara i1miah dapatjuga berarti proses penyampaian pesan atau
informasi dari pengirim (komunikatorISender) Kepada penerima
(komunikanlreceiver) dengan menggunakan simbol atau lambang tertentu
baik secara langsung maupun tidak langsung (menggunakan media)
untuk mendapatkan umpan balik(feedback).
3. Untuk membagi pengetahuan dan pengalaman. Sentuk umum komunikasi
manusia termasuk bahasa sinyal, bicara, tulisan, gesture, dan
broadcasting. Komunikasi dapat berupa interaktif, trans-aktif, bertujuan,
atau tak bertujuan.
Menurut Nugroho (2003) salah satu efek televisi adalah sebagai medium
urbanisasi. Televisi sebagai medium urbanisasi nilai melahirkan gelombang
migrasi kecemasan luar biasa dj ruang-ruang keluarga seperti
kecenderungan dewasa ini, menjadi salah satu medium yang melahirkan
berbagai keterasingan sosial yang dipenuhi kegoncangan adaptif terhadap
penuh kekerasan, vulgar, instan, serba massal, dan penuh konsumerisme. Hal ini berdampak lahirnya masyarakat yang tidak toleran, kehilangan sifat respek, rendahnya tingkat kompetisi dan produksi, berpuncak pada rentan dan terasingnya kepribadian warga serta goncangnya integrasi sosial
berbangsa. la juga menganggap solusi krisis sosial yang mencemaskan saat ini bukan diselesaikan dengan cara penambahan undang-undang melainkan dengan strategi kebudayaan yang mampu melahirkan pendidikan etika komunikasi sejak dini, guna melahirkan masyarakat komunikatif, masyarakat dengan interaksi sosial yang penuh etika.
Dalam pandangan Devito (1996) untuk mengatasi konflik diperlukan
kemampuan komunikasi yang baik, dengan mengedepankan indikasi sebagai berikut:
1. Adanya kesadaran diri, yaitu adanya keinginan mengenal diri sendiri, sehingga bisa mengendalikan sikap dan prilaku.
2. Pengungkapan diri, faktor yang mempengaruhi pengungkapan diri adalah kelompok keell, adanya perasaan mencintai, adanya dialektika yang seimbang, memiliki kelebihan, pandai bergurau atau berkepribadian menarik.
berinteraksi sosial atau bisnis. Jarak publik, untuk menghindari sesuatu yang mengancam.
4. Memiliki daya tarik antar pribadi
Memiliki fisik atau kepribadian yang menarik, pembentukan citra yang positif, ada kedekatan, penghargaan, kesamaan, saling melengkapi. 5. Komunikatif
Untuk mengidentifikasi komunikasi yang efektif adalah dengan
menekankan pada keterbukaan, empati, sikap mendukung, memuaskan, kesegaran interaksi, pencapaian tujuan.
Fenomena konflik antara kelompok yang dialami oleh mahasiswa UKI dan YAI Salemba seperti rutinitas, kejadian ini belum mampu diredam secara total sehingga hal ini memunculkan resolusi yang lebih mendalam oleh kedua pihak, bagaimana menjelaskan perbaikan kembali kepercayaan sosial dan proses komunikasi selama ini? bagaimana proses terjadinya kehancuran dan pemulihan kembali modal sosial yang dimiliki oleh kedua kampus yang
berdekatan ini?
Dalam Democracy and Education, Dewey (1972) melihat komunitas
terbangun dari ikatan-ikatan (commonalities) yang secara rumit saling terkait melalui komunikasi. Dewey mengamati bahwa masyarakat tidak terus ada
bahwa masyarakat terwujud dalam komunikasi. Seperti konflik maluku, dapat teratasi dengan partisipasi langsung mereka dalam pembangunan prasarana untuk mencapai tujuan itu lebih jauh memperkuat rasa memiliki dan rasa "peran" mereka pada sekolah komunitas bersama. Keberhasilan rekonsiliasi sebagian didukung oleh penyediaan dana untuk bahan-bahan bangunan sekolah. Melalui kerjasama yang penuh tenggang rasa, sukarela, dan partisipatif lewat komunikasi, telah menunjukkan apa yang membuat
komunitas terbentuk dan bagaimana komunitas yang tercabik bisa dipulihkan. (www.scripps.ohiou.edu/news).
Devito (1996) menyimpulkan bahwa pola komunikasi yang baik diperlukan suatu persyaratan tertentu yaitu :
1. Keterbukaan, yang menekankan pada mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan atau menekankan pada pengungkapan diri. 2. Berempati berarti kemampuan untuk mengetahui apa yang sedang
dialami orang lain, dengan menggunakan pandangan orang tersebut. 3. Sikap mendukung adalah sikap dengan mengungkapkan secara deskritif
(hanya sebatas menguraikan) bukan sebagai pengevaluasi.
daya yang perlu dikelola untuk meneapai tujuan lembaga. Sudah saatnya dikenalkan manajemen konflik yakni suatu upaya untuk mengelola dan
menggerakkan berbagai sumber dan elemen yang terlibat dalam konflik untuk meneari jalan penyelesaian dalam rangka meneapai tujuan. Dibutuhkan kemampuan persuasif untuk mewujudkan mediasi yang bisa diterima berbagai kalangan.
Menurut John (1999 : 478) menawarkan konsepsi tentang komunikasi langsung yang memiliki tiga keuntungan, antara lain:
Pertama, komunikasi sifatnya simbolis dan tidak mendatangkan konsekuensi yang sesungguhnya dari gerakan nyata. Komunikasi merupakan eara untuk meneoba sebuah pemikiran ketimbang melakukan gerakan yang mungkin belakangan akan disesali. Dengan saling berkomunikasi segala kepentingan yang menemui jalan buntu akan mampu dimengerti dan dipahami pihak lain. Kedua, komunikasi mengubah kemungkinan gerakan dan bisa mengurangi tingkat persaingan dari pihak-pihak yang terlibat konflik, dengan terjadi kontak antar pimpinan universitas dan stafnya mampu mengerem laju persaingan keras yang mengarah pada kekerasan dan konflik antar mahasiswa.
universitas adalah satu format komunikasi yang diharapkan bisa mengubah orientasi dan keinginan yang akan dilakukan berkaitan dengan dinamika perkembangan masyarakat yang damai dan saling menghargai.
2.2.3. Gaya (Pendekatan) Mengatasi Konflik
Menurut Pickering (2001) strategi menangani konflik adalah :
1. Membuat iklim yang membuat semua pihak merasa nyaman, rasa pereaya diri pada semua pihak, hal ini bisa dilakukan dengan membuat suasana informal dan membuat aturan main.
2. Menggali fakta, dengan pendekatan prilaku yang asertif dan lunak untuk menggali fakta secara rinci.
3. Melakukan kesepakan sebagai satu tim bersama, memberi
tanggungjawab bersama dengan meneari solusi sebanyak-banyaknya sehingga bisa diterima semua pihak.
4. Memfokuskan pada jalan tengah atau jalan yang disepakati bersama-sama.
5. Memberikan waktu yang cukup untuk membahas.
Pickering (2001) memberikan identifikasi tipe gaya mengatasi konflik, ada
lima gaya mengatasi konflik yang bisa digunakan namun tergantung situasi
dan motivasi dari pihak-pihak yang berkonflik, pendekatan mana yang sesuai
untuk menyelesaikan konflik, atau pendekatan mana yang sesuai dengan
kepribadian seseorang. Lima pendekatan dalam menyelesaikan konflik
tersebut adalah :
1. Pendekatan kolaborasi(kerja sarna)
Pendekatan ini menekankan pada keuntungan atau kemenangan kedua
pihak, dengan eara mengadakan pertukaran informasi, mencoba melihat
sedalam mungkin perbedaan yang ada dengan meneari pemecahan yang
disepakati bersama. Gaya ini mendorong untuk berfikir kreatif, semua
yang terlibat berusaha mencari solusi alternatif sebanyak mungkin, namun
pendekatan ini kurang sesuai bila salah satu pihak yang terlibat tidak
memiliki niat untuk untuk menyelesaikan konflik atau hanya memilki waktu
yang terbatas. Yang paling penting bahwa pihak yang terlibat memiliki
motif positif dan semua pihak diikut-sertakan dalam pemeeahan masalah.
2. Pendekatanplacating(mengikuti kemauan orang lain)
Gaya ini sebagai solusi bila kondisi tidak dalam bahaya, membuat pihak
lain merasa lebih unggul, dengan mengikuti kemauan orang lain dengan
berusaha menyembunyikan sejauh mungkin perbedaan yang ada dalam
meneari titik persamaan, perhatian besar pada kepentingan pada pihak
kehendak pihak lain, berarti menerima kekuasaan orang lain namun harus menjadi catatan penting ini merupakan strategi mengulur waktu dengan melihat perkembangan keadaan, dengan mencari solusi yang lebih jitu. Gaya ini juga mampu membangun kepercayaan dan rasa percaya diri pada pihak lain.
3. Pendekatan mendominasi (sesuai kemauan sendiri)
Pendekatan ini kebalikan dari pendekatan mengikuti kemauan orang lain, pendekatan ini menekankan pada kepentingan diri sendiri, dengan
mengesampingkan kepentingan orang lain, gaya ini efektif bila keputusan perlu segera diambil atau persoalan tidak penting. Bersifat reaksioner, didorong untuk menyelematkan diri sendiri, gaya ini dianggap penting bila ada perbedaan yang besar pada tingkat pengetahuan, kemampuan
menyajikan fakta, menimbang suatu persoalan dan menggerakkan konflik. Namun pendekatan ini sebaiknya digunakan bila sangat diperlukan, bila memiliki hak dan kekuasaan yang besar, ada wewenang dan kebijakan yang jelas, gaya ini sesuai dengan konflik yang menekankan pada keselamatan dahulu.
4. Pendekatan menghindar
Gaya ini menekankan pada ketenangan, tidak merusak suasana. Menarik diri dengan membiarkan orang lain menyelesaikan konflik yang ada. Bila persoalan tidak penting mengulur-ulur waktu dapat mendinginkan
banyak memberikan ketidakpuasan, sehingga konflik cenderung berlanjut. 5. Pendekatan kompromi
Pendekatan ini menekankan pada nilai kepentingan orang lain atau kepentingan diri sendiri. Memungkinkan kedua belah pihak memiliki sesuatu untuk ditawarkan, pendekatan ini efektif bila kedua belah pihak dalam posisi sama-sama benar. Efektif bila persoalan komplek dan kekuasaan sama-sama berimbang, kompromi berarti membagi dan
menawarkan konsesi, harus ada yang dikorbankan. Dalam pendekatan ini keahlian bernegosiasi dan tawar menawar sangat diperlukan, dengan ini kedua belah pihak didorong untuk bertemu dan mencapai kesepakatan, pendekatan ini sebaiknya digunakan apabila kerugian bagi kedua belah pihak dapat ditekan sekecil-kecilnya.
Untuk mengatasi konflik menurut M. Hasballah (2003) yaitu :
Pertama, diperlukan suatu kondisi Iingkungan yang dapat mengembangkan sikap dan prilaku yang positif, sebab Iingkungan yang baik dan berkualitas makin rendah kecenderungan seseorang untuk berperilaku agresif.
Kedua, meningkatkan kualitas hubungan mahasiswa dengan orang tua, dengan suasana keakraban, semakin akrab individu, menjadi mudah menyesuaikan diri dengan Iingkungan akan semakin mandiri pr