• Tidak ada hasil yang ditemukan

REWARD DAN PUNISHMENT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REWARD DAN PUNISHMENT"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

91

SEBAGI METODE PENDIDIKAN AKHLAK

A. Persamaan dan Perbedaan Konsep Reward dan Punishment Menurut Ibn Miskawaih dan Abdullah Nashih Ulwan

a. Persamaan

Ulwan menggunakan istilah targhib dan tarhib yang maknanya selaras dengan reward dan punisment dalam konsep pendidikan modern. Ia juga menambahkan dengan ‘uqubah atau iqab yang lebih tegas, keras, dan bersifat fisik. Konsep ini hampir sama dengan yang diajukan oleh Ibn Miskawaih juga menggunakan istilah ‘uqub dan targhib.

Konsep ini dipraktikan ketika anak menunjukkan perbuatan baik dan buruk.1 Dengan demikian aspek psikologis sangat diperhatikan dalam menggunakan konsep ini. Karena secara naluriah, manusia memiliki pembawaan semisal membutuhkan sesuatu yang menyenangkan, di samping terkadang akan merasa jera karena adanya ketakutan di dalam dirinya.

Ketika anak didik mengekspresikan sesuatu yang baik, kejadian itu tidak belalu begitu saja, akan tetapi orang tua atau pendidik menyimak dengan perhatian berupa pemberian rasa hormat dan dorongan agar mereka bersemangat dan mau mengulanginya lagi.2

Tujuannya dari cara atau jalan yang dilakukan oleh orang tua atau pendidik dalam rangka supaya anak didik menjalankan syariat agama dan menumbuhkan kesadaran untuk berbuat baik. Dengan demikian yang ingin

1

Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, Jilid II, (Beirut: Dar al-Salam, 1983), hlm. 681.

2

(2)

dicapai adalah untuk menanamkan perilaku yang baik dan menetralisasi perbuatan jelek.

Mengenai bentuk-bentuknya, Ibn Miskawaih dan Abdullah Nashih Ulwan sepakat dapat berupa verbal dan non-verbal, atau fisik dan nonfisik. Semisal pujian, janji kepada kebaikan, hadiah berupa benda, celaan, peringatan, ancaman, pelototan, dan sebagainya.

Keduanya juga memberikan syarat batasan dan syarat yang ketat. Menurut Ibn Miskawaih, seorang pendidik dalam menjatuhkan hukuman hendaknya memposisikan sebagai seorang dokter. Lebih rinci lagi, Ulwan menyarankan agar dalam memberikan hukuman dengan cara lemah lembut dan kasih sayang, menjaga tabiat anak yang salah, dan bertahap dari yang lunak sampai yang keras.

Menjaga tabiat anak yang salah amat diperlukan dalam memberikan hukuman. Seperti menurut Ibn Miskawaih dalam mencerca kesalahan anak, jangan secara langsung mencerca, apalagi di hadapan orang banyak. Karena anak didik belum memiliki pengetahuan seperti orang dewasa, jiwanya masih sederhana. Tetapi pertama-tama yang dilakukan adalah berpura-pura tidak memperhatikannya, membuat seolah-olah itu bukan kehendak dari anak didik yang melakukan kesalahan. Lalu memberikan peringatan dan penjelasan bahwa perbuatanya amatlah fatal.

Tidak menutup kemungkinan, perbuatan salah itu mengandung unsur ketidakpuasan atas apa yang diterimanya. Anak didik merupakan refleksi orang tua atau pendidik, akhlak mereka baik atau buruk adalah hasil dari pendidikan yang telah dilakukan.

Pendapat ini seakan memberikan pandangan bahwa seorang pendidik bukan seorang hakim melihat perbuatan anak didik hanya dari sisi “hitam-putih” semata. Seharusnya mereka melihat akan keterbatasan yang dimiliki anak. Bisa jadi kesalahan itu timbul akibat keterbatasan pengetahuannya, atau mungkin karena kesalahpahaman yang tidak dimengerti.

(3)

Kadang yang dilakukan sebaliknya, mereka hanya memperbanyak cercaan dan hujatan tanpa ilustrasi verbal akan penanaman pengertian kepada anak didik bahwa perbuatannya itu salah dan berakibat tidak baik. Ucapan verbal yang mereka lontarkan acap kali tidak rasional, hanya atas dasar amarah semata, seperti “jangan lakukan itu tidak baik”, atau kadang hanya mitos yang menjadi alasan kuat, “tidak boleh begitu, pamali3”.

Penjelasan yang terlalu simple dan tidak tepat pendidik hanya akan memunculkan respon balik yang tidak baik dari anak didik. Pada gilirannya hanya akan menanamkan sikap tidak logis, hanya kepercayaan kepada mitos yang diturunkan. Padahal mereka menuntut lebih dari itu, mereka membutuhkan penjelasan yang dapat dimengerti dan diterima menurut ukuran mereka sendiri.

b. Perbedaan

Secara umum, mengenai konsep yang selaras dengan reward dan punishment menurut Ibn Miskawaih dan Abdullah Nashih Ulwan tidak memiliki perbedaan yang berarti. Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa Ibn Miskawaih sebagai seorang filusuf etika yang akrab dengan budaya Yunani, kebanyakan konsep-konsepnya merupakan turunan dari filusuf Yunani dan muslim yang terpengaruh oleh pemikiran ilmuan Yunani, tanpa terkecuali dengan konsep reward dan punishment. Menurutnya akhlak dapat berubah dengan jalan pendidikan, dengan mengutip pendapat Aristoteles. Selanjutnya usaha pendidikan tersebut dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, salah satunya dengan al-siasah al-jayyidah. Dari sinilah kemudian timbul konsep ‘uqub dan targhib. Walaupun Ibn Miskawaih tidak menyebutkan secara tegas membahas mengenai kedua istilah tersebut, hanya menyebutkan bentuk-bentuknya, tetapi keduaanya merupakan usaha yang dilaksanakan dalam rangka memberikan dorongan, penguatan dan perbaikan terhadap perbuatan baik dan tercela.

3

Ungkapan turun-temurun dari orang Sunda terhadap sesuatu yang dianggap tabu dan memiliki akibat karma di lain waktu. Kesimpulan mereka hanya atas dasar percontohan terhadap orang terdahulu (nenek moyang) yang telah melakukannya.

(4)

Berbeda dengan Ulwan, konsep yang selaras reward dan punishment diturunkan dari konsep al-Qur’an dan hadits. Potret pendidikan yang telah dicontohkan oleh Rasul saw. harus direfleksikan oleh pendidik.

Ulwan memunculkan konsep targhib (pemberian stimulus dengan pujian atau sesuatu yang menyenangkan) dan tarhib (pemberian stimulus berupa peringatan atau sesuatu yang menyakitkan). Jika kedua istilah tersebut diformulasikan dalam pendidikan modern, maka akan memiliki kesesuaian dengan konsep reward dan punishment.

Di samping itu, Al-Qur’an memunculkan dua konsep hudud dan ta’zir, sedang dari hadits berupa modelling praktek pendidikan yang telah dilakukan oleh Rasulullah yang merupakan bentuk dari ‘uqub. Hukuman yang lebih tegas dan lebih menjurus ke arah hukuman fisik.

Ibn Miskawaih dan Ulwan, memang menjadikan pukulan (hukuman fisik) sebagai jalan dan cara terakhir yang ditempuh dalam mendisiplinkan perilaku anak didik, akan tetapi Ulwan mengilustrasikan syarat dan prinsip-prinsip yang tegas dan jelas dalam menjatuhkan pukulan.

Dengan demikian, secara praktis seolah-olah Ulwan menanggalkan hukuman fisik, selagi jalan dan cara lain masih bisa ditempuh dalam mendidik perilaku anak didik yang menyimpang.

B. Reward dan Punishment dalam Perspektif Pendidikan Islam

a. Mengembangkan Kasih Sayang

Kalau diteliti lebih seksama, rasa kasih sayang merupakan kebutuhan psikis yang paling mendasar dalam hidup dan kehidupan manusia. Pengembangan kasih sayang dengan bijak sebagai kunci utama dan pertama dalam menangani, melayani, dan memenuhi kebutuhan anak didik yang dalam masa perkembangan. Apabila mereka miskin akan

(5)

penerimaan kasih sayang dari orang tuanya, maka tidak ayal lagi akan menimbulkan penderitaan batin.4

Kasih sayang dalam bentuknya bermacam, bisa berupa apa saja yang dapat mencerminkan rasa senang, suka, hormat terhadap objek tertentu. Merupakan kelaziman, orang tua selalu berusaha mengungkapkan perasaan sayang terhadap anaknya. Kemampuan atau tata cara orang tua terhadap anak, juga merupakan refleksi dari kasih sayang itu sendiri.

Al-Qur’an dalam mengajak umat manusia selalu mengedepankan tata cara yang paling terbaik, sehingga kedatangan Islam mudah diterima di kalangan umat manusia dan mendapatkan respon positif.

ﱠﻥِﺇ ﻦﺴﺣﹶﺃ ﻲِﻫ ﻲِﺘﱠﻟﺎِﺑ ﻢﻬﹾﻟِﺩﺎﺟﻭ ِﺔﻨﺴﺤﹾﻟﺍ ِﺔﹶﻈِﻋﻮﻤﹾﻟﺍﻭ ِﺔﻤﹾﻜِﺤﹾﻟﺎِﺑ ﻚﺑﺭ ِﻞﻴِﺒﺳ ﻰﹶﻟِﺇ ﻉﺩﺍ

ﻦﻳِﺪﺘﻬﻤﹾﻟﺎِﺑ ﻢﹶﻠﻋﹶﺃ ﻮﻫﻭ ِﻪِﻠﻴِﺒﺳ ﻦﻋ ﱠﻞﺿ ﻦﻤِﺑ ﻢﹶﻠﻋﹶﺃ ﻮﻫ ﻚﺑﺭ

)

ﻞﺤﻨﻟﺍ

:

١٢۵

(

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bntahlah mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (al-Nahl: 125)

Ayat ini terlihat feminim, dalam mengajak kepada jalan Allah (agama Islam), Rasul saw. diperintahkan dengan kata-kata hikmah al-hasanah, al-lati (ism maushul yang menunjukkan mu’annats), dan dikuti dengan lafal ahsan. Kata-kata tersebut jika dikelompokkan ditujukkan untuk mu’annats. Mu’annats sendiri syarat dengan kelembutan, halus, dan kasih sayang, dengan menyandarkan kepada keumuman sifat yang dimiliki oleh perempuan. Jika dilihat dalam kacamata pendidikan, ayat ini mengajarkan untuk selalu mengedepankan kelembutan, kasih-sayang, atau dengan jalan yang terbaik dalam proses mendidik anak didik.

Kata walyatalaththaf dalam surat al-Kahfi ayat 19 kata yang berada di tengah dalam kitab suci al-Qur’an. Kata ini bermakna perintah, amr, yang mencerminkan akan kelemah-lembutan, kasih sayang. Dengan

4

Nur’aeni, Intervensi Dini Bagi Anak Bermasalah, Cet. 1, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm. 135. dan Dewa Ketut Sukardi, Bimbingan Perkembangan Jiwa anak, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 63.

(6)

demikian, Islam tidak menganjurkan cara-cara kekerasan dalam mengajak umat manusia menuju jalan yang ditunjukinya.

Reward dan punishment dalam pendidikan Islam tidak lepas dari konsep tujuan pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang bertujuan membentuk manusia yang bertakwa adalah esensi dari tujuan pendidikan Islam. Rasulullah adalah seorang cermin manusia yang bertakwa, insan kamil. Dengan demikian sikap-sikap Nabi, dan cara-cara beliau dalam mendidik umat Islam merupakan rujukan penting setelah al-Qur’an.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai rasul, Nabi saw. selalu mengedepankan akhlak, kasih sayang, tidak didasari dengan kekerasan hati.

Hakikat pengutusan Nabi saw. sendiri adalah dalam rangka penyempurnaan akhlak. Dengan melihat setting budaya umat terdahulu, sebelum Islam datang, umat Islam sekarang dapat menjadi bukti keberhasilan Nabi saw. dalam mendidik umat. Praktik pendidikan yang diberikan olehnya senantiasa diwarnai dengan dorongan akan kebaikan dan ancaman akan siksaan.

Posisi Nabi sebagai pembawa kabar gembira, basyir, dalam proses pendidikan Islam tampak lebih dominan dan signifikan. Sebagai basyir yakni tokoh yang membawa berita gembira dan keselamatan lahir batin, Nabi tidak menawarkan reward dalam bentuk materi, melainkan merangsang kecerdasan para murid, memperluas budi pekerti, serta mempertajam spiritual keagamaan mereka.5

Ulwan menganjurkan nasehat, perhatian, serta memotivasi tingkah laku baik yang dilakukan anak didik, sebagai bentuk targhib, sekaligus ekspresi kasih sayang orang tua atau pendidik. Dalam menerapkan hukuman pun harus senantiasa mengedepankan lemah lembut dan kasih sayang, menjaga tabiat anak, dan bertahap dari yang paling ringan hingga yang paling keras.

5

Abdurrahman Mas’ud, Reward dan Punishment dalam Pendidikan Islam, Media, Edisi 28/th. VI /Nov. /1997, hlm. 29-30.

(7)

Sebagaimana Ulwan, Ibn Miskawaih memberikan pujian dan rasa hormat atas penunnjukkan sikap baik dalam rangka mendorong terulangnya kembali perilaku tersebut. Ibn Miskawaih mengilustrasikan bagaimana cara dalam menghadapi kesalahan anak didik. Cercaan langsung bukan tindakan yang dibenarkan, namun dengan pura-pura tidak memperhatikannya, seolah-olah dia tidak sengaja melakukan hal itu, atau bahkan dengan mengatakan sebetulnya hal itu bukan kehendaknya. Adapun ketika kesalahan itu terulang kembali, usaha dalam menindak lanjutinya adalah dengan celaan secara diam-diam dan menanamkan kesadaran akan akibat kesalahan tersebut.

Kesemuanya merupakan serangkaian usaha mendidik tingkah laku anak didik dengan mengedepankan tata cara yang mengandung kasih sayang agar tumbuh dengan memiliki akhlak mulia.

Azyumardi Azra memaparkan, rumah atau sekolah sebagai school of love, sekolah kasih sayang.6 Dengan demikian lingkungan keluarga bisa menjadi tempat menyemaikan pendidikan nilai. Oleh karena itu, kondisi keluarga senantiasa harus dihiasi dengan budaya kasih sayang.

b. Mendahulukan Reward dan Menghindari Hukuman Fisik

Dalam dunia pendidikan ada teori umum yang perlu dipertimbangkan bahwa sistem reward dan punishment yang paling efektif adalah jika pelaksanaan punishment dikurangi atau dihindarkan, dan konsep reward ditekankan pelaksanaannya.7

Orang terdahulu sudah mengenal hukuman fisik dengan macam dan bentuknya yang amat mengerikan, dalam sudut pandang moral “menjijikan”. Jika tradisi ini terus dilanjutkan dengan kondisi budaya manusia sekarang, amat jauh dari kata relevan.

6

Redaktur Suara Merdeka, “Kognitif Dikedepankan Nilai Terabaikan”, Suara Merdeka, Semarang, 2 Mei 2005, hlm. XIX.

7

Abdurrahman Mas’ud, Reward and Punishment in Islamic Education, dalam Abdurrahman Mas’ud (eds.), Journal Ihya Ulum al-Din, Vol. 2, no. 1, (Semarang: The State Institute for Islamic Studies, 2000), hlm. 94.

(8)

Merupakan hal yang wajar, ketika kekerasan berkembang di saat budaya manusia masih sederhana, primitif. Sebaliknya, manakala budaya kekerasaan tersebut masih ada dan dipelihara eksistensinya, tentunya ini kontradiktif dengan kemajuan manusia yang telah dicapai itu sendiri.

Islam agama rahmat li al’alamin melarang tata cara kekerasan. Fakta ini terekam dalam praktek pendidikan yang dilakukan oleh Rasulullah. Beliau selalu menunjukkan akhlak mulia dalam berperilaku di hadapan umatnya. Sikap kasih sayang yang beliau tunjukkan adalah bukti pengutusannya sebagai penyempurna akhlak. Dalam memutuskan hukuman biliau selalu menghindarkan hukuman fisik, bahkan memberikan reward sebagi alternatif dari hukuman.

Karena hukuman fisik hanya akan menimbulkan tekanan batin, ketakutan, dan trauma bahkan sikap berontak dari si terhukum. Maka alih-alih memperbaiki akhlak malah mengotorinya. Dengan kata lain, hanya menghitung daftar kesalahan, menimbulkan masalah di atas masalah semata.

Hukuman yang fisik kadang juga masih terjadi di lembaga pendidikan semisal dilakukan oleh guru terhadap siswa, atau dilakukan “senior” terhadap “yunior”. Kondisi pendidikan yang militeristik seperti itu merupakan warisan Orde Baru yang sudah usang, konservatif dan mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Selain masalah hukuman fisik, budaya militeristik yang sudah tidak sesuai dan tidak mendidik lagi juga ditemukan di lembaga pendidikan dalam bentuk upacara dan baris berbaris. Hukuman fisik hanya bisa diterapkan di kalangan militer yang terbatas, sama sekali tidak tidak cocok untuk diberlakukan di kalangan sipil. Apalagi terhadap anak didik yang baru mekar-mekarnya menghirup kehidupan. Budaya militeristik sudah

(9)

selayaknya dilawan karena bersifat otoriter, kaku, tidak demokratis, dan menindas harkat dan martabat kemanusiaan yang luhur.8

Hukuman fisik hanya bisa dibenarkan kalau si anak masih dianggap sama dengan hewan kecil. Kalau begitu, masalahnya bukan soal pendidikan, melainkan pelatihan. Pendek kata, cara menghukum seperti itu harus dilarang. Dalam keluarga, akibat-akibat buruk masih mudah diperhalus dan dinetralisasi dalam hubungan kelembutan dan cinta yang tidak henti-hentinya antara orang tua dan anak-anaknya, dan dengan keakraban hidup yang bisa mengurangi arti kekerasan semacam itu. Demikian juga di sekolah, tidak ada apapun yang dapat memperlunak kekerasan tersebut, hukuman dikenakan secara impersonal. Bagaimana pun juga menyakiti secara fisik, yang secara moral jelas sangat menjijikan, tidak mempunyai suatu cara apapun untuk memperluasnya, inilah sebabnya mengapa hal itu harus dihindarkan sama sekali.9

Ibn Miskawaih memandang cara yang tepat menghukum anak adalah dengan memposisikan diri sebagai seorang dokter. Langkah pertama yang dilakukan yaitu mengetahui sebab-sebabnya, karena bisa jadi itu terjadi karena tidak sengaja, ketidaktahuan, atau kelalaian. Jika perbuatan jelek tersebut tanpa alasan yang dapat dimaafkan, dimaklumi, maka hukuman dijatuhkan secara bertahap, dari yang lunak terlebih dahulu. Selanjutnya ketika perilaku anak didik belum menunjukkan perubahan, diberikan hukuman setingkat agak keras dari yang pertama, hingga seterusnya sampai hukuman yang paling keras.

Dalam menjatuhkan hukuman, Ulwan mengilustrasikan beberapa hal yang harus diperhatikan oleh seorang pendidik, yaitu: lemah lembut dan kasih sayang, menjaga tabiat anak, dalam upaya pembenahan, hendaknya dilakukan secara bertahap dari yang paling

8

M. Arief Hakim, Mendidik Anak Secara Bijak: Panduan Keluarga Muslim Modern, Cet. 1, (Bandung: Marja’, 2002), hlm. 27.

9

Emile Durkheim, Pendidikan Moral: Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi pendidikan, terj. Lukas Ginting, (Jakarta: Erlangga, 1990), hlm. 132.

(10)

ringan hingga yang paling keras.10 Dengan prinsip-prinsip ini maka tindakan kekerasan dalam pendidikan tidak popular.

suatu hukuman diberikan ialah untuk memperbaiki moral yang dimanifestasikan melalui bentuk yang nyata yaitu perbuatan. Suatu hukaman tidak langsung diberikan begitu saja, apalagi langsung memberikan suatu hukuman yang paling represif. Hukuman merupakan tindakan yang tegas, sekaligus terakhir diberikan ketika cara lain sudah tidak dapat lagi.

Apabila tidak berpengaruh, selanjutnya baru hukuman yang agak keras dan seterusnya, sampai bila perlu diadakan operasi. Sebagaimana pendapat Ulwan, pemberian hukuman harus dilakukan secara bertahap serta dengan mengedepankan prinsip kasih sayang dan menjaga tabiat anak.

C. Reward dan Punishment dalam Pembentukkan Akhlak

Merunut konsensus para ahli di bidang akhlak, inti dari akhlak adalah sifat yang kostan dan tertanam dalam jiwa. Namun, sebagaimana pendapat Ibn Miskawaih akhlak dapat diubah dan dikembangkan dengan jalan pendidikan.

Proses pembentukkan karakter muslim lebih didasari pada suatu pandangan bahwa jiwa manusia tidak dapat berkembang tanpa pendidikan. Menurut al-Mawardi, jika jiwa mempunyai kecenderungan alami untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk. Menyadari adanya unsur negatif pada jiwa yang berupa nafsu (al-hawa, al-syahwah), maka jalan yang terbaik untuk melawan nafsu tersebut adalah pelatihan diri.11

Proses pelatihan tersebut menjadi efektif jika pembimbing dapat mengarahkan dan mengoreksi berbagai kekeliruan yang dilakukan oleh anak didik. Bahkan bukan hanya kekeliruan, tetapi juga memelihara dan terus mengembangkan perilaku positif dari anak didik. Mengarahkan dan mengoreksi serta mengembangkan (dalam praktik terus mengulangi

10

Abdullah Nashih Ulwan, op. cit., hlm. 681.

11

(11)

perbuatan baik dan mengembangkannya) dapat dilakukan dengan memberikan reward dan punishment.

karena reward dan punishment keduanya datang dari luar dan berdasarkan hal-hal yang eksternal sebagai stimulus, maka ia tidak menyentuh sumber kehidupan moral secara langsung. Akan tetapi perbuatan yang merupakan refleksi dari akhlak, walaupun tidak secara mutlak, dapat dikembangkan dan dikoreksi.

Ibaratnya perbuatan merupakan buah dari akhlak,12 akarnya (dasarnya) adalah akhlak sendiri. Dalam membentuk akhlak yang baik, tidak bisa langsung melalui akar, justru dalam akhlak terbalik, yang terlihat dan dapat diamati adalah buahnya (perbuatan).

Oleh karena itu, ketika reward dan punishment dijadikan sebagai suatu metode dalam mendidik anak didik menjadi manusia yang berakhlak mulia, harus menimbulkan bentuk kesadaran pada diri individu untuk berakhlak yang menjadi puncak dari tingkatannya.

a. Internalisasi Nilai

Anak didik adalah manusia yang sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan, berbeda dengan orang dewasa yang telah mengalami kemapanan. Adakalanya ia belum memiliki pengetahuan terhadap sesuatu yang dinginkan dalam lingkungannya.

Karena menghukum dan mengganjar adalah mengajarkan nilai-nilai dan kecakapan yang diperlukan anak agar berhasil dalam menjalani hidup.13

Ibn Miskawaih mengajarkan untuk menberikan penjelasan akan akibat dari perilaku yang telah diperbuat anak. Tidak sering menakut-nakuti anak kecil, tetapi memberikan semangat. Serta memberikan mereka hadiah kalau mereka berbuat baik, agar anak tidak meminta-minta pada temannya.

12

Mushthafa al-Ghulayaini, Idhah al-Nasyi’in, (Pekalongan: Rajamurah, 1953), hlm. 189.

13

Maurice J. Elias, et. al.,Cara-cara Efektif Mengasah EQ Remaja: Mengasuh dengan Cinta, Canda, dan Disiplin, terj. Ari Nilandari, (Bandung: Khaifa’, 2003), hlm. 70.

(12)

Pendapat ini diamini oleh Ulwan, ketika orang tua melihat sesuatu yang baik, dihormati, maka doronglah sang anak untuk melakukannya. Dan jika melihat sesuatu yang jahat, cegahlah mereka, berilah peringatan dan jelaskanlah akibat yang membinasakan dan membahayakan.14

Dari sini ada penjelasan yang diberikan manakala terjadi penjatuhan hukuman agar anak dapat memahami akan perbuatannya yang tidak baik dan untuk meninggalkannya.

Ketika anak berbuat sesuatu yang baik, kemudian ia mendapatkan reward, sebaliknya berbuat sesuatu yang buruk, lalu punishment yang diterimanya. Dengan pengalaman itu, anak dapat belajar mana yang baik dan mana yang buruk.

Dengan demikian orang tua atau guru dapat menanamkan nilai-nilai yang diinginkan kepada anak melalui bantuan reward dan punishment.

Menurut Kohlberg, efek reward dan punishment hanya menyentuh tingkat prakonvensional moral. Pada tingkatan ini perbuatan anak hanya berorientasi atas sesuatu dari luar dirinya yang mengandung hukuman dan ganjaran.15

Namun, bukan berarti pendapat ini membuat kesimpulan bahwa reward dan punishment hanya menyentuh tingkat moral yang paling dasar, dangkal.

Biasanya hal ini terjadi ketika anak belum masih kecil, pemahaman mereka masih kurang tentang tindakan dan nilai yang diinginkan dalam lingkungannya. Akan tetapi, reward dan punisment yang bagaimana dan apa bentuknya tidak menjelaskan oleh Kohlberg.

Anak kecil sendiri mengorientasikan perilakunya atas otoritas kongkrit, maka reward dan punishment yang mereka kenal dan efektif diberikan adalah berbentuk materiil dan fisik.

14

Abdullah Nashih Ulwan, op. cit. 729-730.

15

Frans Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), Cet. 5, hlm. 153.

(13)

Oleh karena itu, ketika orang tua dan guru memiliki kemampuan untuk mengembangkan reward dan punishment ke dalam bentuk-bentuk lain yang lebih relevan dengan perkembangan anak, maka reward dan punishment bukan hanya untuk anak kecil dan menyentuh tingkatan moral yang dangkal.

b. Mengembangkan Rasa Bersalah dan Malu

Salah satu pokok dalam belajar menjadi orang yang bermoral adalah pengembangan shame culture dan guilt culture. Namun, bagaimana cara agar kedunya menjadi suatu respon evaluatif yang muncul dari dalam diri individu.

Ketika orang tua atau guru menjatuhan hukuman, cukuplah hukuman itu menimbulkan sense of guilty dan sense of shame pada diri anak. Dan tentunya dengan cara-cara edukatif dan Islami.

Untuk itulah kenapa Ibn Miskawaih dan Ulwan tidak menganjurkan untuk menakut-nakuti anak, tetapi menganjurkan untuk selalu memotivasi dan mendorongnya. Karena perilaku yang timbul atas dasar rasa takut hanya timbul karena keterpaksaan, jauh dari kesadaran diri.

Begitu juga, ketakutan bukan satu-satunya respon yang muncul akibat dari suatu hukuman, karena ketakukan bukan bagian dari hukuman itu sendiri. Maka ketika hukuman dimaksudkan untuk mengajarkan nilai-nilai yang baik, maka cara-cara yang dilakukan akan lebih halus dan lebih mendidik.

c. Penghargaan Diri

Anak memiliki keinginan mendapatkan pengakuan bahwa ia memiliki tempat tertentu di dalam lingkungannya. Maka ketika mendapatkan perlakuan yang tidak seimbangan dengan posisinya, harga dirinya akan merasa direndahkan.

Reward dan punishment merupakan perhatian dan pengakuan akan eksistensi anak dalam lingkungannya. Ketika anak berbuat baik,

(14)

maka orang tua jangan sampai mengabaikannya, sebaliknya mereka harus memberikan penghargaan atas perilaku anaknya.

Akan tetapi, hal itu tidak sampai menanamkan pemahaman pada diri anak bahwa mereka akan berbuat baik hanya ketika ada hadiah dibaliknya. Maka nilai reward di sini hanya pelicin, suap, semata.

Oleh karena itu, menurut Ibn Miskawaih suatu pemberian yang mengandung kesenangan diberikan hanya ketika anak menunjukkan moral atau perilaku yang baik. Dengan demikian hal-hal yang biasa dan wajar dari anak tidak perlu diberikan.

Ulwan juga menganjurkan agar tidak selalu berbentuk hadiah, materi, karena hanya akan menimbulkan sikap materialistis pada diri anak.

d. Motivasi Pengulangan

Reward menimbulkan rasa senang dan kepuasaan terhadap si penerima. Biasanya orang yang menemukan kesenangan dan kepuasaan terhadap sesuatu cenderung akan mengulanginya. Karena ia merasa diuntungkan dengan sesuatu itu.

Ketika anak mendapatkan reward atas perbuatan yang telah dilakukannya, ia akan termotivasi untuk mengulanginya. Sebalikya, ketika punishment menimbulkan rasa takut (yang lebih baik cukup dengan mengembangkan rasa bersalah), anak akan menjauhi dan meninggalkan hal yang mendatangkan punishment tersebut.

Menurut Ibn Miskawaih, apabila kejadian ini dibiasakan berlangsung terus menerus, maka hal ini akan tertanam dan menjadi karakter pada dirinya.16

e. Rekonstruksi Perilaku

16

Ibn Miswaih, Tahdzib al-Akhlaq, Cet. 1, (Mesir: al-Mathbah al-Husainiyyah, 1329 H.), hlm. 25.

(15)

Secara a priori pun dapat dipahami bahwa punishment merupakan suatu cara sederhana untuk mencegah berbagai pelanggaran terhadap peraturan. Asosiasi mental membuktikan, penderitaan dan rasa takut terhadap penderitaan akan mencegah terulangnya tindakan-tindakan yang dilarang. Dengan kata lain, fungsi hukuman pada dasarnya bersifat preventif.17

Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, reward dapat memotivasi pengulangan perilaku baik, sebaliknya punishment dapat menghalangi pengulangan perilaku buruk. Maka dengan reward perilaku baik akan meningkat, sedangkan dengan punishment perbuatan buruk diusahakan untuk dinetralisasi dan memperbaikinya.

Dengan demikian, ada perubahan yang terjadi dengan perilaku sebelumnya. Anak dapat meningkatkan perilaku baik yang telah dilakukan dan memperbaiki kesalahan sebelumnya.

Melihat esensi akan tujuan, fungsi, dan prinsip-prinsip yang telah dikemukakan, reward dan punishment memiliki kelayakan dijadikan sebagai suatu jalan, cara, metode dalam pendidikan akhlak.

Mahmud Yunus mendeskripsikan asas umum bagi metode pendidikan modern, yaitu mementingkan kecenderungan minat dan bakat anak didik, melibatkan anak didik dalam kegiatan belajar menurut keinginannya, mendidik melalui permainan, membuat urutan-urutan dalam belajar, menarik minat anak didik untuk mencintai pekerjaannya, memelihara lingkungan belajar anak didik, menciptakan semangat kerjasama, menanamkan kepercayaan anak didik untuk belajar secara mandiri, dan mengoptimalkan fungsi-fungsi panca indera.18

Relevansinya dengan reward dan punishment yang memberikan motivasi, semangat, keinginan, aspek-aspek psikologi lainnya. Maka ketika pendidikan akhlak dilakukan dengan menggunakan reward dan

17

Emile Durkheim, op. cit., hlm. 116.

18

Mahmud Yunus, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: PT. Hidayat Agung, 1978), hlm. 95.

(16)

punishment sangat relevan dan memiliki derajat kegunaan yang tinggi. Karena akhlak sangat terkait dengan perbuatan yang dikeluarkannya, yaitu berupa kebaikan atau kejelakan.

Metode pendidikan menjadi penting, karena materi pendidikan tidak dapat dipelajari dengan baik tanpa penafsiran peran metode secara sadar dalam proses pendidikan dan pengajaran akan menghambat keberhasilan aktivitas pendidikan tidak hanya dipandang sebagai cara atau jalan, akan tetapi upaya perbaikan komprehensif dari semua elemen pendidikan. Sehingga menjadi sebuah iklim kondusif yang mengandung tercapainya tujuan yang dicita-citakan.19 Dengan demikian metode tidak terikat hanya dalam lingkup materi pelajaran tertentu, akan tetapi intinya dari metode merupakan suatu usaha dengan suatu cara, jalan yang dilakukan dalam proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Menurut Ibn Miskawaih, tujuan pendidikan akhlak sendiri harus diarahkan dalam rangka mewujudkan sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbutan yang bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna.20

Melihat redaksi dan inti dari tujuan yang agung ini, maka reward dan punishment diprosedurkan dalam rangka mencapai tujuan mewujudkan sikap batin (karakter, akhlak) dengan indikasi timbulnya perbuatan-perbuatan baik dan ternetralisasinya perbuatan tercela.

19

Moh. Slamet Untung, Muhammad Sang Pendidik, (Semarang: Pustaka Rizki, 2005), hlm. 87.

20

Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), Ed. 1 Cet. 1, hlm. 11.

Referensi

Dokumen terkait

Di sinilah Fungsi dari Advanced System Care, yaitu membersihkan registry maupun junk files yang di anggap tidak berguna dan dapat membuat komputer atau laptop menjadi hang bahkan

Ngopi Doeloe adalah sebuah bisnis kreatif yang mulai berkiprah dalam industri restoran sejak tanggal 20 November 2006, yang berarti bisnis kreatif ini sudah

Oktober-Desember 2010 dengan menggunakan program SPSS versi 17.0 Regression Variables Entered/Removed Model Variables Entered Variables Removed Method 1 Interaksi

Memahami lebih dalam dan mengimplementasikan arsitektur Autoencoder (AE) - Dasar arsitektur Autoencoder (AE) diciptakan - Permasalahan dimensi dan dimensionality

Berikutnya Shou- Ren Hu (2010) mengidintifikasi bahwa jumlah kereta api yang lewat, jalan raya pemisah, jumlah kendaraan, alat pendeteksi hambatan, dan rambu-rambu

Dari permasalahan tersebut maka dibutuhkan penelitian lanjutan untuk membuat suatu sistem kendali beberapa AC (Air Conditioner) dan pada ruangan yang berbeda secara jarak

• Peserta didik secara berkelompok dibimbing oleh guru untuk menggabungkan contoh gerakan-gerakan yang sudah diperagakan dipertemuan sebelumnya menjadi satu

Erosion will try to when the aim of this pore system as reduced, cara meminta foto copy minuta ke notaris kenal sekarang juga menganggap gagasan itu berupa ruangan di bursa