• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pondok Pesantren Tanwiriyyah : sejarah dan kontribusinya terhadap masyarakat Desa Sindanglaka Cianjur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pondok Pesantren Tanwiriyyah : sejarah dan kontribusinya terhadap masyarakat Desa Sindanglaka Cianjur"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

PONDOK PESANTREN TANWIRIYYAH: SEJARAH DAN

KONTRIBUSINYA TERHADAP MASYARAKAT DESA

SINDANGLAKA CIANJUR

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Adab Dan Humaniora Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai

Gelar Sarjana Humaniora

Oleh

YUSUF SIDIK

NIM: 102022024394

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

PONDOK PESANTREN TANWIRIYYAH: SEJARAH DAN

KONTRIBUSINYA TERHADAP MASYARAKAT DESA

SINDANGLAKA CIANJUR

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Adab Dan Humaniora Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai

Gelar Sarjana Humaniora

Oleh

YUSUF SIDIK

NIM: 102022024394

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

PONDOK PESANTREN TANWIRIYYAH: SEJARAH DAN

KONTRIBUSINYA TERHADAP MASYARAKAT DESA

SINDANGLAKA CIANJUR

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Adab Dan Humaniora Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai

Gelar Sarjana Humaniora

Oleh YUSUF SIDIK NIM : 102022024394

Di bawah Bimbingan

USEP ABDUL MATIN, S.Ag., MA., MA. NIP : 150 288 304

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 11 September 2008

(5)

KATA PENGANTAR

Dengan segala puji syukur kehadirat Ilahi Rabbi yang telah melimpahkan

rahmat dan hidayahnya, sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan

baik. Shalawat serta salam senantiasa penulis panjatkan kepada Nabi Muhammad

SAW yang telah membawa umatnya dari kebodohan menuju kemuliaan.

Skripsi dengan judul “Pondok Pesantren Tanwiriyyah: Sejarah Dan

Kontribusinya Terhadap Masyarakat Desa Sindanglaka Cianjur” disusun

sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora, (S.Hum) pada Fakultas

Adab dan Humaniora Jurusan Sejarah Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Seiring dengan penulisan skripsi ini, penulis menyampaikan ucapan terima

kasih kepada semua pihak yang telah membantu, baik moral maupun material,

demi terselesaikannya penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih terutama penulis

sampaikan kepada: Bapak DR. H. Abdul Chair, selaku Dekan Fakultas Adab dan

Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bapak Drs. H. M. Ma’ruf Misbah,

MA, selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam. Bapak Usep Abdul

Matin, S.Ag., MA., MA, selaku Sekretaris Jurusan Sejarah Peradaban Islam

sekaligus dosen pembimbing skripsi penulis, yang telah meluangkan waktunya

untuk memberikan arahan dan bimbingan selama proses penulisan skripsi.

Pimpinan dan seluruh staf perpustakaan Adab dan Humaniora, dan juga

(6)

yang telah memberikan fasilitas dan kemudahan bagi penulis untuk mendapatkan

buku-buku yang digunakan sebagai referensi dalam penulisan skripsi ini.

Bapak K.H. Deden Jauhar Tanwiri, selaku Pemimpin Pondok Pesantren

Tanwiriyyah, demikian juga para guru dan para santri yang telah menerima

kehadiran penulis dengan hati yang tulus dan ikhlas demi terselesaikannya skripsi

ini. Keluarga besar penulis, Ayahanda dan Ibunda tercinta yang telah mengasuh,

mendidik, dan membesarkan penulis dengan penuh kesabaran, keikhlasan dan

pengertian yang tulus dari kecil sampai sekarang, semoga kelak penulis menjadi

anak yang shaleh, amien.

Untuk kakak–kakak tercinta, Usi Kudsi, Nurbayonih, Daffa dan Syfa.

Usman Arifin S.H, Amalia Lestari, Ardhiapraja. Supriyanto, Nurhasanah dan

sikecil Elsa. Kurniatun Maula, adik perempuanku satu-satunya, wujudkanlah

impian seorang mamah dengan segera menyelesaikan kuliah, kehadiran kalian

sangat berarti dalam hari-hari penulis. Sahabat-sahabatku di kelas, Testriono

dengan penanya, Ajhie dengan keceriaannya, Baiquni dengan ide-idenya, Hijrah

dengan sastranya, Hendri dengan celotehannya, Dedy dengan bisnisnya, Fahrizal

dengan ketaatannya, Ghazali dengan jamuannya, Anas dengan kritikannya, Aden

silucu, pak guru Gugun, Wira, M.Nur, dan teman-teman lain, yang tidak mungkin

penulis sebutkan semua, dengan kalianlah hidup dan hari-hari penulis menjadi

lebih bermakna.

Keluarga besar PaLM 73 yang berada di pank-pank, Agung AL, Rheno,

Romy, Sywa, Dimas, Andi, Imam, Pamong, Rosy, Ary, Agus, Tony, Bob, Alex,

(7)

waktu dan pengalaman yang telah kita lalui, akan menjadi kisah terindah dalam

mencari identitas. Sahabat kecil, Fhadil, Agung, Dony, Abet dan Firmansyah, atas

kehadiran kalian semua aku ada.

Spesial to: Sekar Laras Hati, yang telah memberi warna dalam sebuah

ruang kehidupan. Ambar Hapsari, Arini, Rosa dan Ismayanti, waktu dan

pertemuan yang singkat merupakan pengalaman dalam jiwa dan keseharian

penulis. Karen, Farel, Mona, dan Persi, bersamamu penulis menggapai cita dan

cinta dalam romantisme bahasa. Salak, Gede, Putri, Pangrango, Slamet, Cermai,

Megamendung, Sindoro, Cibodas, Pulau Seribu, keindahan para gunung dan

keberadaan laut, adalah inspirasi terindah diatas ketinggian dan kedalaman yang

pernah dilalui penulis. Komunitas mahasiswa UIN, yang telah membesarkan jiwa

dan hati penulis untuk selalu berbagi kepada kaum tertindas, eksploitasi manusia

atas manusia merupakan pengingkaran terhadap sang maha pencipta.

Kebersamaan penulis dengan mereka adalah kesempatan kedua dalam perkuliahan

tanpa batas dan kelas. Teman-teman di pesantren Cipasung, Ibnu, Taufik,

Syakirin, Irham, Iman, Islam, dan Iksan, semoga kebersamaan kita diasrama

dalam memaknai agama akan berguna sepanjang masa.

Akhirnya, kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan secara

terperinci, penulis mengucapkan terimakasih atas kritik, saran dan

petuah-petuahnya selama berteman dengan penulis. Semoga hasil penelitian skripsi

tentang Pondok Pesantren Tanwiriyyah ini dapat bermanfaat bagi penulis

(8)

Jakarta, 11 September 2008

(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Metode Penelitian ... 11

E. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI MASYARAKAT DESA SINDANGLAKA CIANJUR A. Wilayah Kabupaten Cianjur... 14

B. Wilayah Desa Sindanglaka ... 17

C. Kondisi Ekonomi Masyarakat Desa Sindanglaka ... 18

D. Kondisi Sosial Keagamaan Masyarakat Desa Sindanglaka .. 20

(10)

C. Tokoh Pendiri dan Penerus Pondok Pesantren Tanwiriyyah 31

BAB IV KONTRIBUSI PONDOK PESANTREN TANWIRIYYAH

TERHADAP MASYARAKAT DESA SINDANGLAKA

CIANJUR

A. Bidang Pendidikan ... 46

B. Bidang Sosial Kemasyarakatan... 56

C. Bidang Ekonomi ... 60

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 62

B. Saran-saran... 64

DAFTAR PUSTAKA

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sistem pendidikan pesantren diperkenalkan pertama kali di Indonesia oleh

Syaikh Maulana Malik Ibrahim,1 yang dikenal dengan Syaikh Maghribi, dari

Gujarat, India, yang mendirikan pondok pesantren di Jawa.2 Perintisan ini

kemudian dilanjutkan oleh Raden Rahmat, atau lebih dikenal dengan sebutan

“Sunan Ampel” yang merupakan putra dari Syaikh Maulana Malik Ibrahim.

Ketika Raden Rahmat berjuang, kondisi religius-psikologis dan religius-sosial

masyarakat Jawa lebih terbuka dan toleran untuk menerima ajaran baru yang

dikumandangkan dari tanah Arab. Beliau memanfaatkan momentum tersebut

dengan memainkan peran yang menentukan proses Islamisasi, dengan mendirikan

pusat pendidikan dan pengajaran, yang kemudian dikenal dengan pesantren

Kembang Kuning Surabaya. Data-data historis tentang bentuk institusi, materi,

1

Maulana Malik Ibrahim adalah salah seorang dari Wali Sembilan, diantaranya: 1. Maulana Malik Ibrahim, tahun kelahirannya tidak diketahui, beliau meninggal pada tahun 1419 M; 2. Sunan Ampel, tahun kelahirannya tidak diketahui, beliau meninggal 1467 M; 3. Sunan Bonang, beliau hidup antara tahun 1465-1525 M; 4. Sunan Drajat, tahun kelahiran dan kematiannya tidak diketahui; 5. Sunan Giri, beliau lahir pada tahun 1365 M, tahun kematiannya tidak diketahui; 6. Sunan Muria, tahun kelahiran dan kematiannya tidak diketahui; 7. Sunan Kudus, tahun kelahirannya tidak diketahui, beliau meninggal pada tahun 1878 M; 8. Sunan Kalijaga, tahun kelahiran dan kematiannya tidak diketahui; dan, 9. Sunan Gunung Jati, beliau hidup antara tahun 1448 – 1570 M; Lihat, H. Soekama Karya dkk, Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam,

(Jakarta: Logos, 1996), h. 36-37.

2

(12)

metode maupun secara umum sistem pendidikan pesantren yang dibangun Syaikh

Magribi tersebut sulit ditemukan hingga sekarang.3

Perintisan pesantren Kembang Kuning Surabaya ini kemudian diikuti

beberapa pesantren lain. Pesantren Tebuireng misalnya, berdiri pada tahun 1899

M oleh K.H. Hasyim Asy’ari (1871-1947) di Jombang Jawa Timur. Pesantren

Tebuireng pada mulanya sederhana; jumlah santri pertama hanya 28 orang.

Kemudian makin lama bertambah ramai, akhirnya dibanjiri oleh murid-murid dari

seluruh pulau Jawa dan daerah-daerah lain. Pembaharuan pesantren Tebuireng

yang pertama dengan mendirikan madrasah ‘Salafiyah’,4 yang tidak hanya

mengadopsi sistem pelajaran tradisional, tetapi juga memasukan beberapa

pelajaran umum.5 Berdirinya Nahdatul Ulama (NU) pada tanggal 31 Januari 1926

di Surabaya oleh K.H. Hasyim Asy’ari mengharuskan beliau menunjuk K.H. Ilyas

untuk menggantikan posisi kepemimpinnya di Pondok Pesantren Tebuireng.

Semakin dikenalnya K.H. Hasyim Asy’ari sebagai pendiri pesantren Tebuireng

3

Ibid., h. 181.

4

Salaf atau Salafiyah adalah: Metodologi berfikir dalam memahami ayat-ayat Al-qur’an yang berkaitan dengan aqidah Islam, terutama pada ayat-ayat mutasyabihat, yang menggambarkan seakan-akan Allah menyerupai makhluknya, terhadap ayat Al-qur’an yang secara harpiah berarti,

tangan Allah diatas tangan mereka. Ulama salaf memahaminya secara harfiah namun, pemahaman mereka tidak disertai dengan keyakinan bahwa tuhan mempunyai tangan seperti manusia. Perkataan Salafiyah berasal dari akar kata salafun yang berarti terdahulu. Sebab itu, perkataan salaf mengandung arti kronologis. Orang-orang salaf berarti orang-orang yang hidup pada zaman yang lebih awal. Dalam hal ini, para sahabat Nabi dan pengikut mereka atau al-Tabi’in, sedangkan kaum muslimin yang hidup pada penghujung abad ke-20 tidak termasuk kedalam golongan salaf. Diantara tokoh ulama salaf yang terkenal adalah: Imam Ahmad bin Hanbal, ibn Taymiyah Fakhruddin al-Razi, ibn al-Qayyim al-Jauji, dan Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri Wahabiyah di tanah Hijaz); Lihat H. Soekama Karya dkk, Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Logos, 1996), h. 120.

5

Pelajaran Tradisional adalah mempelajari kitab-kitab Islam klasik seperti: Mukhtar Hadist (kumpulan hadist yang terbaik), Durratun Nasihin (Mutiara Nasihat) dan, Riyadus Shalihin

(Taman Orang-orang Shaleh). Pelajaran umum adalah mempelajari buku-buku yang telah disahkan oleh Diknas (Pendidikan Nasional) seperti: berhitung, bahasa Melayu dan, ilmu bumi; Lihat

(13)

sekaligus pendiri NahdatulUlama menjadikan pesantren Tebuireng banyak

didatangi orang dari berbagai pelosok Nusantara. Data terakhir pada tahun 1959

santrinya mencapai kurang lebih 1800 orang.6

Pesantren lainnya yang dinilai penting karena tahun kelahirannya, adalah

pesantren Manba’ulUlum (sumber ilmu). Pesantren ini didirikan -+ tahun 1905

M oleh Raden Hadipati Sasro Diningrat dan Raden Penghulu Tafsirul Anam (ayah

K.H. Adnan) di Surakarta, Solo. Untuk menjadi kepala Manba’ul ‘Ulum diangkat

K.H. Arfah. Pada awal berdirinya pesantren ini belum mempunyai kelas-kelas

untuk ruang belajar para santri. Pada tahun 1916 pesantren Manba’ul ‘Ulum diatur

dan diperbaharui dengan mengadakan kelas-kelas yang terdiri dari kelas I s/d

kelas XI. Pada tahun 1918 Mamba’ul ‘Ulum dipimpin oleh K.H. Adnan setelah

beliau kembali dari Mekkah menuntut ilmu. Tetapi karena beliau diangkat

menjadi penasehat pondok oleh keluarga besarnya, maka pada tahun 1919

pesantren ini dipimpin oleh K.H. Jumhur, dan akhirnya pada tahun 1946 pesantren

ini dipimpin oleh K.H. Jalil Zamaksyari. Pesantren Mamba’ul ‘Ulum pada masa

kepemimpinan K.H. Jalil Zamaksyari mempunyai 700 orang santri, kitab yang

dipakai diantaranya: Ta’lim Muta’lim (Cara Belajar dan Mengajar) Safinattunaja

(Sapi Betina) dan, Tijan Darhari (Permata yang seperti Intan).7 Ketika tentara

Belanda memasuki Surakarta tahun 1949 dan menduduki gedung Manba’ul

6

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995), h. 234-239.

7

(14)

‘Ulum, maka pesantren ini terpaksa ditutup. Kemudian pada tahun 1959

kementrian agama mendirikan P.G.A (Pendidikan Guru Agama) Negeri sampai

sekarang.8

Perpaduan antara kurikulum tradisional dan modern tersebut kemudian

diikuti oleh pesantren lainnya dipulau Jawa seperti pesantren Persatuan Islam

(PERSIS) yang berdiri kemudian pada tahun 1936 di Bandung, Jawa Barat.

Pesantren ini dipimpin oleh Ahmad Hasan sebagai kepala dan Muhammad Natsir

sebagai penasehat sekaligus guru. Ketika terjadi Perang dunia kedua pada bulan

Desember 1941 sebagian santrinya pulang ke kampung halamannya

masing-masing. Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945) pesantren ini

ditutup. Kemudian pada 1 Muharram 1371 (3 Oktober 1951) pesantren ini dibuka

kembali dengan resmi, sesudah beberapa tahun berhenti. Kitab-kitab yang dipakai

disini adalah: Daqha’ikhul Akhbar (macam-macam berita gaib), Mukhtar Hadist

(kumpulan hadist yang terbaik) dan, Hadist Qudshy (isi dari Allah, kata dari

Nabi). Pelajaran umumnya adalah: Sejarah, Ilmu Bumi, Tata Negara, dan

Kesehatan. Bahasa yang diajarkan disini adalah: bahasa Indonesia, bahasa Arab,

dan bahasa Inggris. Model ini kemudian diikuti oleh pesantren-pesantren lainnya

dipulau Jawa.9

Kemudian lahirlah pondok pesantren Tanwiriyyah pada tanggal 1 Januari

1949 M yang akan penulis bahas dalam skripsi ini. Pesantren ini didirikan sebagai

tindak lanjut dari pondok pesantren salafi yang dirintis oleh K.H. Hasan Mukri

8

Ibid., h. 286-288.

9

(15)

(lahir 1828, wafat 1908) pada awal tahun 1900-an. Selanjutnya, sesuai dengan

kebutuhan masyarakat dan tuntutan perkembangan zaman, maka pondok

pesantren salafi ini dilanjutkan oleh putranya K.H. Muhsin Tanwiri (lahir 1830).

Nama Tanwiriyyah diambil dari nama pendirinya (K.H. Muhsin Tanwiri), yang

mempunyai arti ‘menerangi’, yang bermakna bahwa pesantren Tanwiriyyah ini

kelak mampu menerangi (dengan nilai-nilai ke-Islaman) masyarakat desa

Sindanglaka Cianjur khususnya, dan umat Islam di Indonesia umumnya.10

Tujuan utama dari pesantren Tanwiriyyah ini adalah ingin membentuk

jiwa seorang santri agar mereka senantiasa menjadi orang yang bertaqwa kepada

Allah SWT dan cinta kepada agama Islam, nusa dan bangsanya. Tujuan

selanjutnya adalah untuk membimbing santri agar mendapatkan sifat-sifat

kepribadian yang kokoh, berakhlak mulia, berilmu, serta terampil dalam membaca

kitab dan fasih dalam berbahasa arab, sebagai bekal untuk melaksanakan tugas

hidupnya.11

Visi pondok pesantren Tanwiriyyah adalah terwujudnya lulusan pesantren

yang bertaqwa, berakhlak mulia, berkepribadian, berilmu, terampil dalam

membaca kitab dan berbahasa arab serta mampu mengaktualisasikan dirinya

dalam kehidupan bermasyarakat. Misi pondok pesantren Tanwiriyyah adalah: a.

Menciptakan pesantren yang berkualitas, b. Menyiapkan kurikulum yang mampu

memenuhi kebutuhan santri dan masyarakat, c. Menyediakan tenaga kependidikan

yang profesional dan memiliki kompetensi dalam bidangnya masing-masing, d.

Menyelenggarakan proses pembelajaran yang berdisiplin dan bergairah, e.

10

K.H. Abdullah Hisan, Sesepuh Pondok Pesantren Tanwiriyyah, Wawancara Pribadi,

Cianjur, 25 Desember 2007.

11

(16)

Mengusahakan keberhasilan lulusan santri yang berprestasi, f. Menyediakan

sarana pembelajaran dan penginapan yang berkelayakan.

Dengan adanya pondok pesantren Tanwiriyyah yang pada saat ini

dipimpin oleh K.H. Deden Jauhar Tanwiri, maka dapat membantu para santri baik

yang mukim maupun yang berdomisili di lingkungan sekitar pondok, untuk

menuntut ilmu-ilmu agama dan umum. Tidak hanya itu, berbagai kegiatan positif

sering dilakukan pihak Pondok Pesantren Tanwiriyyah dengan tujuan agar lebih

mendekatkan diri antara para santri dan para pemuda yang ada di sekitar pondok.

Kegiatan ini misalnya berbagai perlombaan dalam bidang olahraga, (sepak bola,

tennis meja, dan lain-lain).12

Pesantren sebagai lembaga yang mengiringi dakwah Islamiyah di

Indonesia memiliki persepsi yang plural. Pesantren bisa dipandang sebagai

lembaga ritual, lembaga pembinaan moral, lembaga dakwah, dan yang paling

populer adalah sebagai institusi pendidikan Islam yang mengalami pasang surut

dalam menghadapi tantangannya, baik secara internal maupun eksternal.13

Sebagai lembaga pendidikan, pesantren telah ada di tengah masyarakat

Indonesia. Pesantren pernah menjadi satu-satunya institusi pendidikan milik

masyarakat pribumi yang memberikan kontribusi sangat besar dalam membentuk

masyarakat melek huruf (literacy) dan melek budaya (cultular literacy). Jalaludin

bahkan mencatat bahwa paling tidak pesantren telah memberikan dua macam

kontribusi bagi sistem pendidikan di Indonesia. Pertama, adalah melestarikan dan

12

K.H. Jauhar Tanwiri, Pimpinan Pondok Pesantren Tanwiriyyah, Wawancara Pribadi,

Cianjur, 25 Desember 2007.

13

(17)

melanjutkan sistem pendidikan rakyat, dan kedua, mengubah sistem pendidikan

aristokratis menjadi sistem pendidikan demokratis.14

Pesantren merupakan produk sejarah yang telah berdialog dengan

zamannya masing-masing yang memiliki karakteristik berlainan baik menyangkut

sosio-kultural, sosio-ekonomi maupun sosio-religius. Antara pesantren dan

masyarakat sekitar, khususnya masyarakat desa, telah terjalin interaksi yang

harmonis, bahkan keterlibatan mereka cukup besar dalam proses perkembangan

pesantren itu sendiri. Sebaliknya kontribusi yang relatif besar itu sering kali

dihadiahkan pesantren untuk pembangunan masyarakat desa contohnya, pertama:

secara gotong royong membangun masjid untuk tempat peribadatan warga

masyarakat dan warga intern pesantren, kedua: kedekatan bangunan asrama

dengan perumahan warga berdampak pada meningkatnya perekonomian warga

misalnya dengan mendirikan warung, ketiga: santri dan masyarakat dapat

sama-sama belajar nilai-nilai ke-Islaman terhadap seorang kyai.15

Keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan baik yang bersifat

Salafi (mengajarkan kitab-kitab Islam klasik) maupun Khalafi (telah memasukan

pelajaran umum),16 mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan

masyarakat Indonesia. Dari waktu ke waktu pesantren semakin tumbuh dan

berkembang baik secara kuantitas maupun kualitasnya, hal ini tidak terlepas dari

perjuangan seorang kyai yang memiliki peran penting dalam pertumbuhan,

perkembangan dan kemajuan sebuah pesantren. Sebagai pemimpin, keberhasilan

14

Jalaludin, Kapita Selekta Pendidikan, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), h. 9.

15

Mujamil Qomar, Pesantren, Dari Transformasi Metodelogi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Erlangga, 2002), h. 15.

16

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Study Tentang Pandangan Hidup Kyai,

(18)

pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu serta pengaruh

dari seorang kyai tersebut. Karena kyai merupakan tokoh sentral dalam sebuah

lembaga pendidikan Islam seperti pesantren.17

Kata pondok pesantren terdiri dari dua kata yaitu: pondok dan pesantren,

kata pondok berasal dari bahasa arab ‘fundukun’ yang artinya hotel atau

penginapan.18 Sedangkan kata pesantren atau santri berasal dari bahasa Tamil

yang berarti guru mengaji, sumber lain mengatakan bahwa kata itu berasal dari

bahasa India, ‘shastri’ dari akar kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku

agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.19

Pesantren berasal dari kata “peshastri” (India) berarti orang yang tahu

buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana yang ahli kitab suci agama

Hindu.20 Istilah pondok berasal dari pengertian asrama para santri yang disebut

pondok atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu, berasal dari bahasa arab yaitu

fundukun yang berarti hotel atau asrama. Dalam kata lain, perkataan pesantren

berasal dari kata santri dengan awalan pe dan akhiran an (pesantrian), yang

kemudian dalam sebutan sehari-hari disebut dengan pesantren berarti tempat

tinggal para santri.21

Koendjaraningrat mengatakan pondok dan orang yang tinggal di rumah

orang lain, tetapi pondok yang dimaksud disini adalah rumah atau tempat tinggal

17

Mujamil Qomar, Pesantren, Dari Transformasi Metodelogi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Erlangga, 2002), h. 31-32.

18

Ahmad Warson Munawar, Al-Munir, Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 1073.

19

H.A Hafidz Dasuki dkk, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 99.

20

Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Study tentang Pandangan Hidup Kyai,

(Jakarta: LP3ES, 1985), h. 18.

21

(19)

sederhana yang terbuat dari bambu atau lainnya, tempat para santri tidur

(menginap) setelah mereka belajar. Sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad

Ridwan Lubis yang mengatakan pondok adalah tempat tinggal para santri selama

menuntut ilmu.22

Sementara itu dalam kamus bahasa Indonesia, mendefinisikan bahwa

pondok artinya madrasah (asrama tempat tinggal mengaji, tempat belajar agama

Islam dan sebagainya).23 Sedangkan versi Indonesia mengatakan bahwa pesantren

berasal dari sebutan santri dengan awalan pe dan akhiran an, yang artinya tempat

tinggal para santri. Arti kata santri sendiri bermacam-macam, sekalipun terdapat

perbedaan pendapat para ahli dalam mengartikan kata pesantren itu, namun juga

diperoleh kesamaan pendapat bahwa kata tersebut mengandung makna yang

berhubungan dengan tugas-tugas suci dan mulia, yaitu upaya pemahaman ajaran

agama.24

Dari keterangan diatas dapat dirumuskan tentang pengertian pondok

pesantren, tempat orang-orang atau para pemuda menginap (bertempat tinggal)

yang dibarengi dengan suatu kegiatan untuk mempelajari, memahami, mendalami,

menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan memberi tekanan pada

keseimbangan antara aspek ilmu dan perilaku. Secara umum pesantren memiliki

dua fungsi, pertama: pesantren sebagai lembaga pendidikan berfungsi untuk

melakukan transfer ilmu-ilmu agama dan nilai-nilai Islam. Kedua: pesantren

22

Muhammad Ridwan Lubis, Pemikiran Soekarno Tentang Islam, (Jakarta: CV. Masagung, 1992), h. 23.

23

W.J.S Purwadarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka), h. 678.

24

(20)

sebagai lembaga keagamaan berfungsi untuk melakukan kontrol sosial terhadap

lingkungan sekitar dan masyarakatnya.25

Dari waktu ke waktu (sejak awal berdirinya pada tahun 1899 – 2008),

pesantren semakin tumbuh dan berkembang seiring dengan makin maraknya

model pendidikan yang ada di Indonesia. Tidak sedikit dari masyarakat yang

masih menaruh perhatian besar terhadap pesantren sebagai lembaga pendidikan

alternatif. Berbagai inovasi yang dikembangkan pesantren dengan mengadopsi

corak pendidikan umum, menjadikan pesantren semakin kompetitif untuk

menawarkan pendidikan ke khalayak masyarakat. Meski demikian, pesantren

tidak kehilangan karakteristiknya yang unik dan khas untuk tetap membedakan

dirinya dengan model pendidikan umum yang diformulasikan dalam bentuk

sekolah.

Untuk melihat perkembangan pondok pesantren Tanwiriyyah, maka penulis

tertarik untuk menulis mengenai: “Pondok Pesantren Tanwiriyyah, Sejarah dan

Kontribusinya terhadap Masyarakat Sindanglaka Cianjur”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah membatasi dari tahun 1949 - 2008

sebagai masa awal perintisan Pondok Pesantren Tanwiriyyah, untuk lebih

memahami dan mencari tahu tentang sejarah berdirinya Pondok Pesantren

Tanwiriyyah, dan kontribusinya terhadap masyarakat desa Sindanglaka Cianjur.

Penulis mencoba mengetengahkan beberapa persoalan yang muncul sebagai

25

(21)

berikut. Pertama, bagaimana sejarah berdirinya pondok pesantren Tanwiriyyah?

kedua: apa kontribusi Pondok Pesantren Tanwiriyyah terhadap masyarakat desa

Sindanglaka Cianjur?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut, pertama, untuk

mengetahui bagaimana sejarah berdirinya Pondok Pesantren Tanwiriyyah? Kedua,

untuk mengetahui bagaimana kontribusi Pondok Pesantren Tanwiriyyah terhadap

masyarakat desa Sindanglaka Cianjur?

D. Metode Penelitian

Dalam rangka mengumpulkan data untuk menunjang penulisan skripsi ini,

penulis menggunakan metode penelitian yang bersifat historis, dengan tujuan

untuk membuat rekontruksi masa lampau secara sistematis dan obyektif, dengan

cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi, serta mensintesis bukti-bukti

untuk menegakan fakta fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat.

Untuk itu, penulis dalam melakukan penelitian ini menggunakan suatu alat

pengumpulan data penelitian dengan cara sebagai berikut. Pertama, studi

perpusatakaan (library research) yaitu, pengumpulan data teoritis yang bersumber

dari bahan-bahan kepustakaan yang ditulis para ilmuwan yang ada hubungannya

dengan judul skripsi ini. Kedua, studi lapangan (field research) yaitu, riset

lapangan dengan mengadakan kunjungan langsung ke Pondok Pesantren

(22)

Kecamatan Karang Tengah Kabupaten Cianjur, dengan melakukan sebagai

berikut, pertama, deep interview yaitu, mengadakan wawancara mendalam

dengan orang-orang yang bersangkutan diantaranya, Pimpinan Pondok Pesantren

Tanwiriyyah, pihak keluarga, guru, staf, dan alumni Pondok Pesantren

Tanwiriyyah. Kedua, observasi yaitu, dengan melihat dan mengamati secara

langsung keadaan sarana dan prasarana serta jenis kegiatan dan sistem

pembelajaran yang ada di Pondok Pesantren Tanwiriyyah.

E. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis menempuh sistematika penyusunan

sebagai berikut: Bab pertama, berisi Pendahuluan yang terdiri dari, Latar

Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian,

Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan. Bab kedua, membahas tentang

Gambaran Umum Kondisi Masyarakat Desa Sindanglaka Cianjur yang terdiri

dari, Wilayah Kabupaten Cianjur, Wilayah Desa Sindanglaka, Kondisi Ekonomi

Masyarakat Desa Sindanglaka dan, Kondisi Sosial Keagamaan Masyarakat Desa

Sindanglaka. Bab ketiga, membahas tentang Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren

Tanwiriyyah yang terdiri dari: Latar Belakang Berdirinya Pondok Pesantren

Tanwiriyyah, Tujuan dan Visi Misi Berdirinya Pondok Pesantren Tanwiriyyah,

Tokoh Pendiri dan Penerus Pondok Pesantren Tanwiriyyah. Bab keempat,

membahas tentang Kontribusi Pondok Pesantren Tanwiriyyah Terhadap

(23)

Bidang Keagamaan, Bidang Ekonomi. Bab kelima adalah Penutup, yang terdiri

(24)

BAB II

GAMBARAN UMUM KONDISI MASYARAKAT

DESA SINDANGLAKA CIANJUR

A. Wilayah Kabupaten Cianjur

Secara geografis, kabupaten Cianjur terbagi dalam tiga wilayah yaitu,

wilayah utara, tengah, dan selatan. Cianjur salah satu kabupaten di wilayah

propinsi Jawa Barat pada tahun 2006 yang berpenduduk 1.931.480 jiwa terdiri

dari penduduk laki-laki sebanyak 982.164 jiwa dan perempuan 949.676 jiwa,

dengan laju pertumbuhan penduduk 1,48 % per tahun.26

Letak Kabupaten Cianjur yang strategis dilintasi dua jalur jalan negara

antara Jakarta-Bandung. Luas wilayah kabupaten Cianjur adalah 350.148 Ha.

Secara administratif, kabupaten Cianjur terdiri dari 26 kecamatan, 341 desa

dan 6 kelurahan, 2.293 Rukun Warga (RW) dan 9.166 Rukun Tetangga (RT).

Cianjur dikelilingi oleh 5 kabupaten dan memiliki pantai sepanjang 75 Km.

sebelah utara berbatasan dengan wilayah kabupaten Bogor dan Purwakarta,

sebelah barat berbatasan dengan wilayah kabupaten Bandung dan Garut,

sebelah selatan berbatasan dengan samudera Indonesia.27

Berdasarkan sensus tahun 2006 jumlah pemeluk agama Islam di

Cianjur mencapai 99,23 %, atau 1.931.394 jiwa dari 1.931.480 jiwa.

26

Selayang Pandang Kabupaten Cianjur, http://KabupatenCianjur.go.id. (17.06.2008).

27

(25)

Sedangkan penduduk non muslim terdiri dari 0,77 % atau 15.011 jiwa,

Protestan 6.693 jiwa, Katolik 3.592 jiwa, Hindu 2.109 jiwa, Budha 2.463 jiwa

dan lain-lain 154 jiwa. Jadi, mayoritas penduduk Cianjur beragama Islam.28

Secara kuantitatif besarnya jumlah penduduk yang beragama Islam

tersebut sekaligus merupakan potensi penting yang diharapkan mampu

menunjang pelaksanaan dakwah Islamiyah. Sarana keagamaan tersebar

dimana-mana seperti, masjid, langgar, mushalla, pondok pesantren, majelis

taklim, dan lembaga keagamaan lainnya yang menjadikan Cianjur lebih kental

dengan nuansa ke-Islamannya.29

Sarana keagamaan dan sarana pendidikan Islam di kabupaten Cianjur

saat ini tercatat; 4.462 masjid, 13.850 musholla atau langgar, 663 pondok

pesantren, 1.099 majelis taklim, 1.668 Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA),

473 Taman Kanak-kanak Al-Qur’an (TKA), dan 59 Raudhatul Athfal (RA).

Ulamanya tercatat mencapai 4.169 orang, juru dakwah 4.046 orang, khatib

9.965 orang, dan penyuluh penerangan agama Islam 510 orang.30

Potensi lain yang tak kalah pentingnya adalah sejumlah lembaga

pendidikan formal seperti, pendidikan dasar, menengah dan perguruan tinggi,

disamping sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang kesemuanya

diharapkan mampu membangun nilai-nilai ke-Islaman di daerah kabupaten

Cianjur.31

28

Ibid

29

http://www.Cianjur.go.id/content/isi-link-sekilas.php. (17.06.2008).

30

Ibid

31

(26)

Sejarah agama Islam masuk ke Cianjur berawal pada saat Cianjur

dipimpin oleh Raden Aria Wira Tanu I (1593-1633) seorang Bupati Muslim.

Menurut riwayat ayahnya, Raden Aria Wangsa Goparana adalah keturunan

Prabu Siliwangi II dari Munding Sari Leutik. Ia sebagai putra mahkota yang

secara diam-diam telah mempelajari agama Islam melalui pengikut Sultan

Syarif Hidayatullah dari Cirebon.32

Wira Tanu atau Wira Tanu Datar adalah gelar yang diberikan Aria

Wangsa untuk anak cucunya. Jayasasana sebagai putra pertama, mendapat

gelar R. Wira Tanu I. Sebagai penerus ayahnya, ia adalah seorang pemeluk

agama Islam yang taat pada agamanya dan terus menerus mensyiarkan

agamanya. Cianjur tidak pernah dijajah oleh Mataram dan VOC yang pernah

mengadakan perang sengit keduanya sejak tahun 1628.33

Cianjur memiliki filosofi, yakni ngaos-mamaos dan maen po, yang

mengingatkan tentang tiga aspek kesempurnaan hidup. Ngaos adalah tradisi

mengaji yang mewarnai suasana dan nuansa Cianjur dengan masyarakat yang

kental dengan nilai-nilai ke-Islaman. Mamaos adalah seni budaya yang

menggambarkan kehalusan budi dan rasa yang menjadikan perekat bagi

persaudaraan dan kekeluargaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat.

32

Sultan Syarif Hidayatullah adalah sala seorang dari Wali Sembilan, diantaranya: 1. Maulana Malik Ibrahim, tahun kelahirannya tidak diketahui, beliau meninggal pada tahun 1419 M; 2. Sunan Ampel, tahun kelahirannya tidak diketahui, beliau meninggal 1467 M; 3. Sunan Bonang, beliau hidup antara tahun 1465-1525 M; 4. Sunan Drajat, tahun kelahiran dan kematiannya tidak diketahui; 5. Sunan Giri, beliau lahir pada tahun 1365 M, tahun kematiannya tidak diketahui; 6. Sunan Muria, tahun kelahiran dan kematiannya tidak diketahui; 7. Sunan Kudus, tahun kelahirannya tidak diketahui, beliau meninggal pada tahun 1878 M; 8. Sunan Kalijaga, tahun kelahiran dan kematiannya tidak diketahui; dan, 9. Sunan Gunung Jati, beliau hidup antara tahun 1448-1570 M; Lihat, H. Soekama Karya dkk, Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam,

(Jakarta: Logos, 1996), h. 36-37.

33

(27)

Maen po adalah seni beladiri pencak silat yang menggambarkan keterampilan

dan ketangguhan. Nilai-nilai yang terkandung dalam filosofi itu menjadi

inspirasi, motivasi dan orientasi bagi pembangunan kabupaten Cianjur yakni,

mewujudkan kehidupan yang sugih mukti dan Islami didukung masyarakat

yang religius, madani dan berbudaya tinggi dengan melaksanakan Gerbang

Marhamah (Gerakan Pembangunan Masyarakat dan Berakhlakhul Karimah).

Sedangkan visi pembangunan Cianjur untuk kurun waktu 5 tahun dari tahun

2000 sampai 2005 adalah terwujudnya kabupaten Cianjur sebagai salah satu

pusat agrabisnis dan pariwisata andalan Jawa Barat di Era Otonomi daerah.34

B. Wilayah Desa Sindanglaka

Desa Sindanglaka terletak di kecamatan Karangtengah kabupaten

Cianjur, dengan luas wilayah 116.760 Ha, dengan batas wilayah sebagai

berikut, bagian utara berbatasan dengan Desa Leuwi Koja, bagian timur

berbatasan dengan Desa Sukamanah, bagian selatan berbatasan dengan Desa

Bojong, bagian barat berbatasan dengan Desa Sukataris. Desa Sindanglaka

memiliki 9 rukun warga (RW), 35 rukun tetangga (RT). Dalam setiap RW

memiliki rata-rata 38 kepala keluarga (KK).35

Jumlah penduduk desa Sindanglaka pada tahun 2005 mencapai 7.597

jiwa yang terdiri dari 4.325 laki-laki dan 3.175 perempuan. Jumlah kepala

keluarga mencapai 4.032 jiwa. Desa Sindanglaka berada diwilayah

persawahan, pada umumnya desa Sindanglaka dilewati oleh jalan raya dan

34

Ibid

35

(28)

jalan desa yang menghubungkan satu desa dengan desa yang lainnya. Secara

tofografis wilayah desa Sindanglaka pedataran dengan dikelilingi oleh banyak

persawahan warga. Adanya sungai yang menghubungkan beberapa desa

menjadikan wilayah ini strategis dengan tiga batas dusun meliputi,

Sukamanah, Bojong, dan Sukataris. Dibeberapa sisi jalan terdapat sawah,

tambak ikan dan perkebunan milik penduduk sebagai mata pencahariannya.36

Kantor desa Sindanglaka berada tepat didepan jalan raya yang

menghubungkan antara Kecamatan Karang Tengah dengan wilayah kabupaten

Cianjur. Desa Sindanglaka berada diibukota kecamatan, dengan jarak tempuh

sekitar 2 Km ke ibukota kecamatan dan 15 jam jarak tempuh ke ibukota

kabupaten. Desa Sindanglaka dari segi iklim memiliki 400 Mm curah hujan,

dengan rata-rata jumlah bulan hujan selam 4 bulan. Suhu rata-rata hariannya

mencapai 30 Celcius, dengan ketinggian 300 meter diatas permukaan laut.

Dari 7.597 jiwa jumlah penduduk Desa Sindanglaka semuanya penganut

agama Islam.37

C. Kondisi Ekonomi Masyarakat Desa Sindanglaka

Sebagaimana daerah beriklim tropis, maka di wilayah desa

Sindanglaka tumbuh subur tanaman sayur, teh dan tanaman hias. Di desa

Sindanglaka tumbuh dengan baik tanaman padi, kelapa dan buah-buahan.

Sebagai daerah agraris yang pembangunannya bertumpu pada sektor

pertanian, desa Sindanglaka merupakan salah-satu daerah penghasil padi.

36

Ibid., h. 2.

37

(29)

Produksi padi pertahun sekitar 225.000 ton dan dari jumlah sebesar itu telah

dikurangi kebutuhan konsumsi lokal dan benih, masih memperoleh surplus

padi sekitar 15 %. Produksi pertanian padi terdapat hampir di seluruh wilayah

desa Sindanglaka.38

Pembangunan kependudukan merupakan langkah penting dalam

mencapai pembangunan berkelanjutan. Upaya ini di selenggarakan melalui

dua langkah pokok pengendalian kuantitas penduduk. Pengendalian kuantitas

penduduk dilaksanakan melalui program keluarga berencana dan kesehatan

reproduksi, pengaturan mobilitas penduduk dan penyelenggaraan administrasi

kependudukan. Sedangkan peningkatan kualitas penduduk dapat dilihat

melalui pencapaian indek pembangunan sumber daya manusia, dengan

mendirikan sarana-sarana pendidikan disekitar wilayah desa Sindanglaka.39

Jauhnya jarak tempuh masyarakat desa Sindanglaka ke pusat kota

Jakarta, membiasakan mereka terbiasa hidup sederhana dengan tanah dan

pengetahuan yang mereka miliki. Kerja keras dan semangat yang besar adalah

modal utama bagi masyarakat desa Sindanglaka untuk terus bertani, bercocok

tanam, dan sebagaian kecil ada yang memilih menjadi pedagang serta buruh

atau jasa.40

Meski demikian, laju pertumbuhan perekonomian masyarakat desa

Sindanglaka cukup maju dan berkembang pesat. Hal ini dapat dilihat dari

banyaknya bangunan-bangunan mewah, rumah-rumah bertingkat, serta sarana

38

Pemerintah Kabupaten Cianjur, Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa, Daftar Isian Tingkat Perkembangan Desa, (Cianjur: 2006), h. 1.

39

Ibid., h. 2.

40

(30)

dan prasarana pembangunan yang setiap tahunnya mengalami

perkembangan.41

D. Kondisi Sosial Keagamaan Masyarakat Desa Sindanglaka

Kelahiran pesantren selalu diawali dengan cerita ‘perang nilai’ antara

pesantren yang akan berdiri dengan masyarakat sekitarnya, dan diakhiri

dengan kemenangan pihak pesantren, sehingga pesantren dapat diterima untuk

hidup di masyarakat dan kemudian menjadi panutan bagi masyarakat

sekitarnya dalam bidang sosial keagamaan. Nilai baru yang dibawa pesantren

tersebut, untuk mudahnya disebut ‘nilai putih’ yaitu nilai-nilai moral

keagamaan, sedangkan nilai lama yang lebih dulu ada di dalam masyarakat,

disebut ‘nilai hitam’, yaitu nilai-nilai rendah yang tidak terpuji.

Kontribusi-kontribusi awal yang dilakukan pesantren lebih bersifat edukatif yang

berorientasi kepada transformasi sosial.42

Kehadiran pesantren ditengah masyarakat tidak hanya sebagai lembaga

pendidikan, tetapi juga sebagai lembaga penyiaran agama, dan sosial

keagamaan. Pesantren berhasil menjadikan dirinya sebagai pusat gerakan

pengembangan Islam, seperti diakui oleh Dr. Soebardi, dan Prof. Johns, yang

dikutip oleh Zamaksyari Dhofier dalam bukunya; Tradisi Pesantren, (1982):

“lembaga-lembaga pesantren itulah yang paling menentukan watak ke-Islaman dari kerajaan-kerajaan Islam, dan yang memegang peranan penting bagi penyebaran Islam sampai ke pelosok-pelosok. Dari lembaga-lembaga pesantren itulah asal-usul sejumlah manuskrip tentang pengajaran Islam di Asia Tenggara yang tersedia secara terbatas, yang dikumpulkan oleh pengembara-pengembara pertama dari perusahaan-perusahaan dagang Belanda dan Inggris sejak akhir abad ke-16 untuk dapat betul-betul memahami

41

Ibid

42

(31)

sejarah Islamisasi di wilayah ini, kita harus mulai mempelajari lembaga-lembaga pesantren tersebut karena lembaga-lembaga-lembaga-lembaga inilah yang menjadi anak panah penyebaran Islam di wilayah ini”.43

Sejak dirintisnya, Pondok Pesantren Tanwiriyyah pada tahun 1908

oleh K.H. Hasan Mukri, pesantren ini satu-satunya lembaga pendidikan yang

paling banyak berhubungan dengan rakyat, dan tidak berlebihan kiranya untuk

menyatakan pesantren ini sebagai lembaga pendidikan yang sangat menyatu

dengan kehidupan mereka. Melanjutkan populisme ini, pesantren sebagai

lembaga sosial, berfungsi menampung anak dari segala lapisan masyarakat

muslim, tanpa membeda-bedakan tingkat sosial-ekonomi orangtuanya. Biaya

hidup di pesantren relatif lebih murah daripada belajar di luar pesantren.44

Sementara itu, setiap hari pesantren menerima tamu yang datang dari

masyarakat umum, baik dari masyarakat lingkar pesantren maupun dari

masyarakat jauh meliputi radius kabupaten, propinsi, bahkan dari

propinsi-propinsi lain. Mereka datang dengan berbagai persoalan hidup, baik yang

bersifat personal-spiritual maupun yang bersifat sosial. Fungsi pesantren yang

komprehensif dan total inilah, meliputi fungsi sebagai lembaga pendidikan,

lembaga sosial keagamaan, penyiaran agama Islam, peran dan fungsi

kulturalnya, politiknya bahkan juga ekonomi, pesantren memiliki integritas

yang tinggi dengan masyarakat sekitarnya, dan menjadi rujukan moral bagi

kehidupan masyarakat desa Sindanglaka khususnya, dan masyarakat luas

umumnya.45

43

Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Study Tentang Pandangan Hidup Kyai,

(Jakarta: LP3ES, 1985), h. 17-18.

44

K.H. Deden Jauhar Tanwiri, Pimpinan Pondok Pesantren Tanwiriyyah, Wawancara Pribadi, Cianjur, 8 Maret 2008.

45

(32)

Pergumulan-pergumulan pesantren dengan realitas yang ada

disekitarnya meliputi berbagai dimensi kehidupan masyarakatnya,

memperlihatkan keunikan pesantren sebagai sebuah komunitas yang kemudian

mampu membangun kulturnya sendiri. Juga membuktikan bahwa pesantren

memberikan kontribusi yang besar bagi penciptaan tatanan masyarakat dan

bangsa, juga terhadap peradaban sejarah anak manusia.46

Sejarah dan kultur awal terbentuknya pesantren, misalnya yang diteliti

oleh Steenbrink, bahwa kontribusi pesantren pada umumnya berada di

pedesaan, lebih dikaitkan dengan usaha pembukaan daerah pertanian baru dan

transmigrasi lokal yang kemudian melahirkan komunitas masyarakat tertentu.

Ulama dengan komunitas pesantrennya ikut membangun saluran air dan

irigasi untuk mengembangkan pertanian. Kontribusi-kontribusi semacam

inilah yang perlu dipertahankan, bahkan kalaupun perlu, dicari penyesuaian

dan perumusan strateginya yang tepat untuk menghadapi dampak negatif dari

sebuah akar modernisme yang hadir ditengah-tengah masyarakat kita. Hal ini

dimungkinkan karena memang konteks sosio-kultural yang dihadapi pesantren

sekarang jauh berbeda dengan masa yang telah lalu.

46

Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Pendidikan Alternatif Masa Depan,

(33)

BAB III

SEJARAH BERDIRINYA PONDOK PESANTREN TANWIRIYYAH

A. Latar Belakang Berdirinya Pondok Pesantren Tanwiriyyah

Pondok pesantren tumbuh sebagai perwujudan dari strategi umat Islam

untuk mempertahankan eksistensinya terhadap kemajuan Islam. Dalam

perkembangannya, komponen pesantren yang terdiri dari surau atau masjid,

menjadi tempat pengajian yang menampung banyak pelajar.47

Sejak negara kita dijajah oleh orang-orang Barat, yang di dominasi

oleh orang-orang beragama Kristen, ulama-ulama kita bersikap non-koperatif

terhadap kaum penjajah serta mendidik santri-santrinya dengan sikap politis

anti penjajah serta non-kompromi terhadap mereka dalam bidang pendidikan

agama yang ada di pondok pesantren. Yang dimaksud dengan sikap politis ini

ialah ‘politik etis’,48 yang salah-satu perwujudannya adalah bahwa Belanda

mendirikan sekolah-sekolah untuk pribumi yang bersifat umum atau massal

dari sebelumnya. Dalam politik etis ini Belanda menerapkan sistem

penerimaan muridnya yang diskriminatif berdasarkan kriteria strata sosial.

Lebih penting lagi adalah sifat dan tujuan pendidikan itu sendiri, yang untuk

47

Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h. 212.

48

(34)

sebagian besar masih bersifat dukungan atau penunjangan kepada

tujuan-tujuan kolonialisme Belanda.49

Dari segi kultural, para ulama Islam pada saat itu berusaha

menghindarkan tradisi serta ajaran agama Islam dari pengaruh kebudayaan

Barat, terutama yang dibawa oleh penjajah. Segala sesuatu yang berbau Barat

secara apriori (masa bodoh) ditolak oleh mereka, termasuk sistem pendidikan,

bahkan juga cara dan mode pakaian Barat yang dipandang haram oleh

ulama-ulama Islam pada masa itu. Oleh karena itu, pada masa penjajahan tersebut

pondok pesantren menjadi satu-satunya lembaga pendidikan Islam yang

menggembleng kader-kader umat Islam yang tangguh dan gigih dalam

mengembangkan agama serta menentang keras dari segala bentuk penjajahan.

Dari lembaga pendidikan pondok pesantren inilah jiwa patriotisme dan jiwa

fanatisme terhadap agama muncul.50

Nilai-nilai Islam tidak akan dihayati dan diamalkan orang jika hanya

diajarkan saja, tetapi harus disajikan melalui proses pendidikan. Nabi

Muhammad SAW telah mengajak orang untuk beriman, beramal, serta

berakhlak baik sesuai ajaran Islam dengan berbagai metode dan pendekatan.

Dari satu sisi kita melihat bahwa pendidikan Islam itu lebih banyak ditujukan

kepada perbaikan sikap dan mental yang akan terwujud dalam satu amal

perbuatan, baik untuk keperluan diri sendiri maupun untuk keperluan orang

lain. Di sisi lainnya, pendidikan Islam tidak hanya bersifat teoritis saja, tetapi

juga praktis. Ajaran Islam tidak memisahkan antara iman dan amal shaleh.

49

M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 248.

50

(35)

Karena itu pendidikan Islam adalah sekaligus pendidikan iman dan pendidikan

amal. Lebih dari itu, karena ajaran Islam berisi ajaran tentang sikap dan

tingkah laku pribadi masyarakat, menuju kesejahteraan hidup perorangan dan

bersama, maka pendidikan Islam mencakup pendidikan individu dan

pendidikan masyarakat.51

Pesantren sebagai lembaga pendidikan sosial keagamaan,

sesungguhnya sepanjang sejarahnya telah mampu melahirkan

manusia-manusia tangguh, baik lahir maupun batin. Hal itu dimungkinkan, karena

pedoman dari pendidikan pesantren tidak lain adalah ajaran dan nilai-nilai

agama yang sangat menekankan pentingnya hubungan erat yang harmonis

antara manusia dengan Tuhannya, dan hubungan antara manusia dengan

sesamanya.52

Dalam kaitan tersebut, Pondok Pesantren Tanwiriyyah dirintis pertama

kali oleh K.H. Hasan Mukri pada tahun 1908 di Desa Sindanglaka Kecamatan

Karangtengah Kabupaten Cianjur. Selanjutnya, pondok pesantren

Tanwiriyyah ini pada tahun 1949 dilanjutkan oleh putranya yang bernama

K.H. Muhsin Tanwiri. Sebagai seorang ulama yang hadir ditengah-tengah

masyarakat desa Sindanglaka, maka beliau merasa mempunyai tanggung

jawab moral terhadap perkembangan dan kemajuan masyarakat Islam di desa

Sindanglaka. Masa kecil beliau saat berusia 17 bulan diasuh dan dipelihara

oleh pamannya K.H. Muhidin dan bibinya Hj. Tita Sopiah sampai berusia

tujuh tahun. Sejak itu pula beliau di sekolahkan ke Verwooleg setingkat

51

Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 28.

52

(36)

dengan Sekolah Rakyat (SR) dengan jenjang pendidikan tiga tahun untuk

belajar menulis, membaca dan ilmu pengetahuan lainnya. Kemudian

melanjutkan ke Holand International School (HIS) yang di selenggarakan

oleh pemerintah daerah kabupaten Cianjur. Disana beliau belajar bahasa Arab

dan bahasa Belanda. Pada saat usia beliau 14 tahun, ia banyak belajar

kitab-kitab kuning terhadap ayahnya sendiri (K.H. Hasan Mukri). Tercatat 10 kitab-kitab

Syariah yang mampu dipelajarinya hanya dalam waktu tiga tahun.53

Dengan modal pengetahuan-pengetahuan inilah K.H. Muhsin Tanwiri

mendirikan Pondok Pesantren Tanwiriyyah pada tahun 1949. Pada masa awal

pondok pesantren Tanwiriyyah hanya memiliki empat orang santri

diantaranya, Abdurahman, Siti robiah, Siti Nurhayati dan Aceu Saribanon,

yang masih merupakan bagian dari keluarga besarnya.54

Pada tanggal 1 januari 1970 K.H. Muhsin Tanwiri mendirikan

Madrasah Ibtidaiyah (MI). Dengan dibukanya Madrasah Ibtidaiyah ini maka

banyak murid-murid yang berdatangan dari luar desa Sindanglaka. Sebagai

seorang figur, K.H. Muhsin Tanwiri selalu berfikir bagaimana langkah

selanjutnya untuk sebuah perkembangan, perubahan dan kemajuan masyarakat

yang ada disekitarnya. Beliau dikenal santun terhadap siapapun yang

ditemuinya. Segala pendapat dan perbuatannya dalam melakukan sesuatu

perubahan didesanya selalu dimusyawarahkan terlebih dahulu kepada

53

Kesepuluh kitab itu adalah, 1.Fathul Qarib Syarh Matam Taqrib (Ibnu Qasim al Ghazi 1512 M), 2.Fathul Muin Syarh Qurratul’ain (Zainuddin al Malibari 1574 M),3.Minhajut Thalibin

(An Nawawi 1277 M),4.Hasyiyah Fathul Qarib (Ibrahim al Bajuri 1891 M),5.Al Iqna (Syarbini 1569 M),6.Tuhfah (Ibnu Hajar 1891 M), 7.Nihayah (Ramli 1550 M), 8.Idhatun Nasyiin (Mustafa al Ghalayani), 9.Fathul Wahhab (Abi Yahya), 10.Jam’ul Jawami (Al Banani). K.H. Deden Jauhar Tanwiri, Direktori Pondok Pesantren Tanwiriyyah, (Cianjur: 1997), h. 1.

54

(37)

masyarakat setempat. Ini yang menjadikan beliau mudah dikenal dan disegani

oleh warganya. Dalam mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, beliau

bermusyawarah dengan keluarga dan masyarakat setempat, jadi tidak ada yang

merasa tersaingi oleh K.H. Muhsin Tanwiri.55

B. Tujuan Dan Visi Misi Berdirinya Pondok Pesantren Tanwiriyyah

Berbeda dengan lembaga pendidikan lain yang pada umumnya

menyatakan tujuan pendidikannya serta mengungkapkannya dalam

tahapan-tahapan rencana kerja dan program, maka pondok pesantren terutama

pesantren-pesantren lama pada umumnya tidak merumuskan secara jelas dasar

dan tujuan pendidikannya. Tujuan itu diserahkan kepada proses improvisasi

menurut perkembangan pesantren yang dipilih sendiri oleh kyai bersama para

pembantunya, sehingga tujuan pendidikan antara pesantren yang satu dengan

yang lainnya sangat beragam dan tidak dapat dirumuskan secara pasti.56

Meski demikian, tidak sedikit para ahli yang mencoba

mendeskripsikan rumusan tujuannya secara umum. Pengasuh Pondok

Pesantren Tanwiriyyah K.H. Deden Jauhar Tanwiri menyatakan bahwa, tujuan

pesantren adalah sebagai usaha untuk mencerdaskan bangsa, memajukan

pendidikan dan dakwah Islam dalam rangka membentuk generasi baru yang

berilmu dan bertaqwa sehingga dapat berperan aktif dalam pembangunan

agama, bangsa, dan negara.57

55

Ibid., h. 3.

56

Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren, (Jakarta: P3M, 1985), h. 5.

57

(38)

Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam yang berdiri

serta tumbuh dengan sendirinya dalam masyarakat, yang secara de facto

disahkan dan diakui keberadaannya oleh masyarakat. Sedang dalam landasan

formal, belum dirumuskan oleh pemerintah dalam arti khusus. Menurut

pendapat Drs. H. Muhammmad Arifin, M.Ed., sampai saat ini yang dijadikan

dasar-dasar yuridis formal yang bersifat umum bagi landasan perkembangan

pondok pesantren adalah sebagai berikut. Pertama, Undang Undang Dasar

1945 pasal 31 yang menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan

pengajaran. Kedua, Undang Undang Pendidikan dan Pengajaran no. 12 tahun

1945 dan no. 4 tahun 1950. Ketiga, Undang Undang no. 2 tahun 1989 meliputi

hak dan kebebasan menyelenggarakan atau memajukan pendidikan. Keempat,

ketetapan MPRS tahun 1966 no. XXVII/MPRS/1966 bab II pasal II, tap-tap

MPR no. IV/MPR/1973 no. IV/MPR/1978.58

Sebagai suatu lembaga pendidikan Islam, pondok pesantren dari sudut

historis kultural dapat dikatakan sebagai pusat pelatihan (training center) yang

otomatis menjadi pusat kebudayaan Islam (cultural center of Islam) yang

disahkan dan dilembagakan oleh masyrakat. Sistem pondok pesantren selalu

dibawa dalam bentuk asrama atau kompleks dimana santri mendapatkan

58

(39)

pendidikan dalam suatu lingkungan sosial keagamaan yang kuat. Ilmu

pengetahuan agama yang diajarkan itu sangat tergantung pada kegemaran atau

keahlian seorang kyai yang mengasuh dalam pondok pesantren tersebut.59

Pada umumnya santri-santri dalam pondok pesantren sangat disiplin

dalam mengamalkan ibadah sehari-hari sehingga dari segi praktek keagamaan

(practical religion) lebih menonjol, sedangkan dari segi teori (theoretical)

kurang mendapatkan motivasi yang semestinya, terutama dalam kedisiplinan

belajar. Kurikulum formal yang tersusun, tidak terdapat di dalam pondok

pesantren yang masih memakai sistem lama. Metode atau didaktik pengajaran

juga hanya terbatas pada pengajian baik sorogan maupun wetonan,60 dalam

pondok pesantren sistem lama tersebut masih dipertahankan hingga kini. Dan

sistem pengajian inilah yang menjadi metode khas dari sebuah pondok

pesantren yang asli, sehingga dapat dikatakan bahwa pengarahan belajar anak

didik tidak mendapatkan perhatian sepenuhnya, sehingga hanya seorang santri

yang memiliki pembawaan cerdas saja yang dapat menerima ilmu untuk

menjadi seorang alim ulama sesuai idaman mereka.61

Secara umum Pondok Pesantren Tanwiriyyah dibawah asuhan K.H.

Deden Jauhar Tanwiri bertujuan untuk membentuk jiwa dan kepribadian santri

agar mereka menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah SWT dan cinta

kepada agama Islam, nusa dan bangsanya. Tujuan lainnya yaitu, membimbing

59

Ibid., h. 240.

60

Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Study Tentang Pandangan Hidup Kyai,

(Jakarta: LP3ES, 1983), h. 18.

61

(40)

santri untuk mendapatkan sifat-sifat terpuji dengan memiliki satu kepribadian

yang kokoh sebagai bekal untuk melaksanakan tugas hidupnya.62

Sedangkan visi dari Pondok Pesantren Tanwiriyyah adalah

mewujudkan lulusan pesantren yang bertaqwa, berakhlak mulia,

berkpribadian, berilmu, terampil (terutama dalam membaca kitab dan

berbahasa arab) dan mampu mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan

bermasyarakat. Agar senantiasa menjadi figur di masyarakat dan dapat ikut

serta berperan aktif dalam berbagai waktu dan kesempatan untuk

melaksanakan dakwah Islamiyah.63

Selanjutnya, misi dari Pondok Pesantren Tanwiriyyah adalah sebagai

berikut. Pertama, menciptakan pesantren yang berkualitas. Kedua,

menyiapkan kurikulum yang mampu memenuhi kebutuhan santri dan

masyarakatnya. Ketiga, menyediakan tenaga kependidikan yang professional

dan memiliki kompetensi dalam bidangnya masing-masing. Keempat,

menyelenggarakan proses pembelajaran yang berdisiplin dan bergairah.

Kelima, mengusahakan keberhasilan lulusan santri yang berprestasi. Keenam,

meyediakan pembelajaran dan penginapan yang berkelayakan. Rumusan dari

tujuan, dan Visi Misi inilah Pondok Pesantren Tanwiriyyah dibawah asuhan

K.H. Deden Jauhar Tanwiri mampu berkompetensi dengan

pesantren-pesantren lainnya. Meski demikian, K.H. Deden Jauhar Tanwiri tidak pernah

mempunyai rencana untuk menjadikan pesantrennya jadi yang terbaik se-Asia

Tenggara.64

62

K.H. Deden Jauhar Tanwiri, Direktori Pondok Pesantren Tanwiriyyah, (Cianjur: 1997), h. 2.

63

Ibid., h. 3.

64

(41)

C. Tokoh Pendiri dan Penerus Pondok Pesantren Tanwiriyyah

1. K.H. Muhsin Tanwiri

K.H. Muhsin Tanwiri adalah anak dari K.H. Hasan Mukri (ayah)

dan Hj. Kulsum (ibu), lahir pada hari minggu tanggal 14 oktober 1911.

Sejak usia 17 bulan beliau diasuh dan dipelihara oleh pamannya yang

bernama H. Muhidin, dan bibinya Hj. Tita Sopiah. Masa kecil K.H.

Muhsin Tanwiri dipergunakannya untuk belajar dalam lingkungan

keluarga yang taat beragama. Sejak kecil beliau senang bermain

sebagaimana layaknya anak-anak kecil lainnya pada masa itu.65

Akan tetapi beliau tidak terus menghabiskan waktunya begitu saja,

beliau pun mempelajari ilmu-ilmu agama dari ayahnya K.H. Hasan Mukri

khususnya pengajian-pengajian Al-Qur’an. Saat berusia tujuh tahun beliau

disekolahkan ke verwooleg setingkat dengan sekolah rakyat (SR) selama

tiga tahun, untuk belajar membaca, menulis dan ilmu pengetahuan lainnya.

Kemudian pada usia 10 tahun, beliau melanjutkan sekolahnya ke Holand

Internasional School (HIS) yang diselenggarakan oleh syarikat Islam di

daerah Cianjur untuk mempelajari bahasa Arab dan bahasa Belanda.66

Pada usia 14 tahun beliau belajar kitab-kitab kuning pada ayahnya,

dalam waktu yang relatif singkat, tercatat selama tiga tahun beliau mampu

menyelesaikan kitab syariah (fiqih) sebanyak 10 kitab. Ini merupakan

prestasi yang sungguh luar biasa, yang tidak dimiliki manusia pada

umumnya. Meski demikian, dari hasil wawancara penulis dengan anaknya

65

K.H. Deden Jauhar Tanwiri, Direktori Pondok Pesantren Tanwiriyyah, (Cianjur: 1997), h. 2.

66

(42)

(K.H. Deden Jauhar Tanwiri) tidak menyebutkan adanya unsur laduni

(kecerdasan alamiah) dalam sosok K.H. Muhsin Tanwiri.67

Sebagaimana masa kecilnya, K.H. Muhsin Tanwiri saat berusia 17

tahun banyak menghabiskan waktunya dalam lingkungan pesantren.

Beliau belajar di Pondok Pesantren daerah Garut yang terletak di Desa

Sukaraja kabupaten Garut, pada saat usianya masih relatif muda, beliau

mampu menyelesaikan kitab Al-fiyah. Kemudian beliau melanjutkan

belajar ke Pondok Pesantren yang berada di daerah Malangbong Garut

untuk belajar ilmu Nahwu dan Shorof selama satu tahun. Perjalanan hidup

beliau dari masa kecil sampai menginjak masa remaja tidak pernah di

sia-siakan, untuk terus menuntut ilmu-ilmu agama di lingkungan pesantren.68

Dan pada usia 18 tahun, beliau menikah dengan Siti Maryam,

seorang putri dari kyai Jambudipa, namun pernikahan ini hanya

berlangsung lima bulan. Dan setelah satu tahun menduda, beliau

melangsungkan pernikahan yang kedua kalinya dengan Siti Khodijah,

seorang putri dari H. Syarqowi. Dari pernikahan yang kedua ini beliau

dikaruniai dua orang putri yang pertama bernama Siti Saodah, dan yang

kedua bernama Siti Habibah, namun keduanya menghadap Allah sewaktu

kecil, tidak lama kemudian ibunya meninggal dunia pada tahun 1353 H.69

Dua bulan dari wafat putri dan istrinya yang kedua, beliau

memanfaatkan waktunya untuk mengamalkan ilmu yang telah

67

Ibid., h. 4.

68

K.H. Deden Jauhar Tanwiri, Direktori Pondok Pesantren Tanwiriyyah, (Cianjur: 1997), h. 3.

69

(43)

dipelajarinya dipesantren, dengan mengadakan pegajian-pengajian,

dakwah-dakwah keberbagai tempat dalam setiap kesempatan, serta lebih

mendekatkan diri terhadap Allah SWT.70

Selanjutnya, pernikahan yang ketiga Allah SWT menjodohkannya

dengan seorang wanita bernama Siti Hafsah, seorang putri dari H. Sadili,

dan dikaruniai 14 orang anak yaitu: Siti Sa’adah (1936) sudah almarhum,

Muhammad Maqinuddin (1937) sudah almarhum, Muhammad Ja’far Baqi

(1938) sudah almarhum, Muhammad Abdul jamil (1939) sudah almarhum,

Siti Robi’ah Luluiyah (1940), Siti Nurhayati (1943), Muhammad Sya’ban

Fuadi (1945), Siti Faridah Yaqutiyah (1948) sudah almarhum, Siti Jawahir

(1949) sudah almarhum, Siti Anisah Muniroh (1951), Siti Tatat Salma

Nafiati (1954) sudah almarhum, Ahmad Jauhar Ratumanggala (1956), Siti

Rosyidah Hayatun Nufus (1957), dan Siti Cucu Sa’diyah (1958) sudah

almarhum. Dari 14 putra-putrinya, yang sampai sekarang ada hanya enam.

Terdiri dari empat orang putri dan dua orang putra, yang sampai saat ini

berkontribusi penuh dalam mengembangkan dan memajukan Pondok

Pesantren Tanwiriyyah.71

K.H. Muhsin Tanwiri dimata masyarakat dikenal sebagai seorang

kyai yang kharismatik, santun dalam setiap ucapan dan perbuatannya.

Berikut prestasi kerja dan karya nyata yang didirikan beliau sewaktu masih

ada. Pertama, pada tanggal 1 jumadil akhir 1367 H mendirikan Pondok

Pesantren Tanwiriyyah. Kedua, pada tanggal 8 Rabiul Awal 1368 H

70

Ibid., h. 5.

71

(44)

mendirikan, a. Sekolah Agama (Madrasah Diniyah Tanwiriyyah) b.

Pengajian Al-Qur’an mingguan selasa (pagi) bapak-bapak dan sabtu (pagi)

ibu-ibu, dan c. Pengajian umum setiap ba’da jum’at diperuntukan bagi

bapak-bapak dan ulama. Ketiga, pada tanggal 10 Mei 1963 mendirikan

Yayasan Madrasah Tanwiriyyah dengan anggota badan pendiri: Raden

Oetjoe Sarbini, Raden Acep Kurtobi dan Raden Damanhuri, dengan

pengurus sebagai berikut: Raden Damanhuri sebagai ketua, Muhammad

Owi Suwandi sebagai sekertaris dan raden Mukarrom sebagai bendahara.

Keempat, pada tanggal 5 Agustus 1946 mendirikan Taman Kanak-kanak

(Raudhatul Atfhal) Tanwiriyyah. Kelima, pada tanggal 1 Agustus 1965

mendirikan sekolah pertama Islam. Keenam, pada tanggal 10 september

1960 diangkat sebagai penasehat MUI (Majelis Ulama Indonesia)

kecamatan Karangtengah. Ketujuh, pada tanggal 13 Oktober 1950

diangkat menjadi kepala seksi pendidikan MUI kabupaten Cianjur.

Kedelapan, pada tahun 1962 beliau menunaikan ibadah haji yang kedua

bersama istrinya.72

Sebagai seorang kyai yang hidup ditengah-tengah masyarakat desa

Sindanglaka, beliau terus menerus mengajak warganya untuk selalu

mengajak kepada kebaikan dan menjauhi segala larangan-larangan yang

telah diperintahkan oleh agama. Itulah sebagian kiprah dan kontribusi

beliau ditengah-tengah masyarakat, disamping membina, mendidik dan

melatih para santri yang belajar pada beliau. K.H. Muhsin Tanwiri banyak

72

(45)

belajar ilmu-ilmu agama dari para kyai terdahulu yang diantaranya: K.H

Toha, K.H. Rusain, K.H. Hasanudin, K. Muhammad Muchtar, K.H.

Marzuqi, K.H. Daruttahsin, K.H. Muhammad Isa, K.H. Abdullah, K.

Muhammad Bandi. K.H. Abdullah Apandi.73

Beliau lebih cenderung mengutamakan tujuan agama Islam, dan

mengesampingkan kepentingan-kepentingan politik yang

mengkotak-kotakan agama hingga dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan

pendapat sesama umat Islam itu sendiri. Beliau pun secara rutin

memberikan ceramah-ceramah kepada pejabat dan aparat pemerintahan

yang ada di wilayah kecamatan Karangtengah Cianjur.74

Selama hidupnya K.H. Muhsin Tanwiri selalu mencurahkan tenaga

dan pikirannya untuk terus belajar dan dakwah. Berikut hasil karya

penulisan dan penerjemahan yang dilakukan beliau. Tanbihat

(autobiografi), Adabiyat (kata-kata mutiara), Majmu Atutthariqoh,

Nadzmul Urusy (Sunda), terjemah Aqidathul Awwam (Sunda), Majmuatul

Aurod, Adabutta’alum (Sunda), Fadhilatuttolabil’ilmi (Sunda), Nadzmul

Khotmi (Sunda), Hidayatussibyan, Hikayat, Azhariyah (nahwu),

Al-Arqom, Matsanul Aqoidi As-Syufiiyah dan, Kaimanan (Sunda).75

Jiwa ikhlasnya terpancar dalam setiap sikap dan perilakunya yang

senantiasa giat berhadiah dan bertahanus (menyendiri) sambil membaca

wirid, dan dzikir. Begitulah beliau lakukan dengan penuh istiqomah

73

K.H. Deden Jauhar Tanwiri, Pimpinan Pondok Pesantren Tanwiriyyah, Wawancara Pribadi, Cianjur, 10 Maret 2008.

74

K.H. Deden Jauhar Tanwiri, Direktori Pondok Pesantren Tanwiriyyah, (Cianjur: 1997), h. 2.

75

(46)

sampai akhir hayatnya yang diakhiri dengan ungkapan-ungkapan amanat

atau wasiat kepada putra-putrinya, madrasah…, madrasah…, madrasah…,

Allahu Akbar. K.H. Muhsin Tanwiri meninggal pada 17 Sya’ban 1968.

Dari hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan anaknya (K.H.

Deden Jauhar Tanwiri), bahwa almarhum tidak pernah mengeluarkan

fatwa yang memicu konflik dengan kyai-kyai lainnya. Lebih lanjut K.H.

Deden Jauhar Tanwiri menyebutkan bahwa, sesungguhnya ajaran-ajaran

Islam telah tercantum dalam kitab suci Al-qur’an dan Hadist, adapun

ketika permasalahan itu ada, maka jalan tengahnya adalah mengadakan

Ijtihad dan Qiyas, yang hanya boleh dilakukan oleh para ulama dan kyai

yang telah ahli dalam bidangnya. Mengenai fatwa, menurut anaknya (K.H.

Deden Jauhar Tanwiri), bahwa almarhum tidak pernah mengeluarkan

fatwa, hanya sifatnya kata-kata wasiat yang disampaikan kepada

anak-anaknya seperti, kalau ada dana untuk membangun jangan dikurangin,

bahkan jika ada ditambahkan. Kata-kata wasiat dari almarhum inilah yang

sering kali dijadikan motivasi bagi anak-anaknya untuk dapat meneruskan

perjuangan almarhum dalam mengembangkan dan memajukan Pondok

Pesantren Tanwiriyyah, baik dengan cara memperluas gedung-gedung

pendidikan, memperbanyak santri, memperbaiki kurikulum, serta

menyiapkan tenaga-tenaga pengajar yang professional di bidangnya

masing-masing.76

76

(47)

2. K.H. Deden Jauhar Tanwiri

Beliau lahir pada tanggal 15 Januari 1956 di Desa Sindanglaka

Kecamatan Karangtengah Kabupaten Cianjur. K.H. Deden Jauhar Tanwiri

adalah anak kelima dari enam bersaudara yang masih ada, dari K.H.

Muhsin Tanwiri (ayah) dan Hj. Hafsah Zulfa (ibu). Dari keenam

saudaranya adalah: Hj. Rubiah Lu’luiyah, Hj. Sity Nurhayati Mukhsinah,

K.H. Bay Sya’ban Farouq, M.M., Hj. Lis Anisa S.Ag., Hj. Tuti Rosidah

Hayatin Nufus. Beliau adalah generasi penerus kepemimpinan pondok

pesantren Tanwiriyyah sepeninggalan ayahnya (K.H. Muhsin Tanwiri).77

Riwayat pendidikan beliau diawali dengan memasuki Sekolah

Rakyat pada usia tujuh tahun. Kemudian tingkat selanjutnya memasuki

tingkat Sekolah Dasar Negeri Maleber 2 yang berada diwilayah ibukota

Kecamatan Karangtengah, dan tamat pada tahun 1969. Jenjang selanjutnya

memasuki Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Cianjur, dan tamat pada

tahun 1972. Lalu meneruskan ke Sekolah Menengah Atas Al-Masturiyah

di daerah Sukabumi, dan tamat pada tahun 1975. Tidak puas sampai disini,

maka beliau meneruskan jenjang pendidikannya ketingkat yang lebih

tinggi, negara Mesir akhirnya jadi pilihan terakhir untuk tempat kuliahnya.

Beliau mengambil jurusan Syariah di Mesir dengan gelar Lc, dan kembali

pulang pada tahun 1980 ke Pondok Pesantren Tanwiriyyah, tempat dimana

beliau menghabiskan masa kecil dan separuh hidupnya. Suatu perjuangan

77

(48)

yang sangat berbeda dari manusia pada umumnya, yang hidup seutuhnya

dilingkungan pesantren ayahnya bersama keenam saudaranya.78

Kemudian pada tahun 1984, K.H. Deden Jauhar Tanwiri menikah

dengan Hj. Eti Cahyati, dan dikaruniai lima orang anak. Pertama, Sity

Syaima, kedua, Muhammad Romji, ketiga, Muhammad Nabiyil, keempat,

Muhammad Irsyad, kelima, Sity Faiha.79

Saat ini beliau adalah pemimpin Pondok Pesantren Tanwiriyyah,

yang membawahi Sekolah Dasar Tanwiriyyah, Sekolah Menengah

Pertama Tanwiriyyah, dan Sekolah Menengah Umum Tanwiriyyah dan,

Perguruan Tinggi Tanwiriyyah yang masih dalam proses pembangunan.80

Seperti yang disebutkan oleh Manfred Ziemiek bahwa

perkembangan dan kemajuan sebuah Pondok Pesantren terletak dari

wibawa, dan kharismatik serta kedalaman ilmu dari seorang kyai yang

mengasuhnya. Perubahan-perubahan yang dilakukan K.H. Deden Jauhar

Tanwiri ini senantiasa mengikuti perkembangan waktu dan jamannya.81

Saat ini lembaga pendidikan formal yang statusnya diakui oleh

Departemen Agama (Depag) dan Pendidikan Nasional (Diknas) adalah:

Madrasah Ibtidaiyah (1 Januari 1970), Madrasah Tsanawiyah (17 Juli

1986), Madrasah Aliyah (25 April 1989). Lembaga pendidikan lainnya

yang ada di pondok pesantren Tanwiriyyah adalah, Madrasah Aliyah

78

Ibid

79

Ibid

80

Ibid

81

Gambar

Gambaran Umum Kondisi Masyarakat Desa Sindanglaka Cianjur yang terdiri

Referensi

Dokumen terkait

Pesantren adalah suatu lembaga pendidikan keagamaan yang berperan besar dalam pengembangan masyarakat, terutama pada masyarakat desa. Sehingga pada daerah-daerah yang

Dari definisi di atas, maka yang dimaksud dengan Peran Pondok Pesantren Dalam Meningkatan Moralitas Keagamaan Masyarakat Pedesaan (Studi Kasus Pondok Pesantren

pondok pesantren Raudhatul Ulum yang juga terletak di Desa kencong. Pondok Singgah dan Pesantren rehabilitasi Sapu Jagad ini berdiri dari. keluhan dari beberapa masyarakat

Bidang kegiatan ekonomi yang terdiri dari ekonomi hibah dan ekonomi bergulir hasilnya memang nyata dirasakan oleh masyarakat miskin. Untuk ekonomi hibah yang

Selain dilihat dari bidang pendidikan perubahan sosial ekonomi desa A Widodo dilihat dari jenis pekerjaan masyarakat yang semakin beragam, yang pada mulanya hanya bermata

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan pengamalan keagamaan masyarakat di Desa Nusuk

Pondok pesantren sebagai lembaga/organisasi pendidikan yang terdiri dari beberapa kumpulan orang seperti: kyai sebagai pimpinan atau pengasuh, pengurus pesantren, asatidz

Strategi Dakwah kiyai Pesantren Nurul Yaqin dalam Penanaman Perilaku Keagamaan Masyarakat Desa Ringan-ringan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti terkait