HUBUNGAN JUMLAH PARITAS DENGAN USIA MENOPAUSE
Oleh:
ANDIKA PRADANA 070100071
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HUBUNGAN JUMLAH PARITAS DENGAN USIA MENOPAUSE
“Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran”
Oleh:
ANDIKA PRADANA 070100071
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Hubungan Jumlah Paritas dengan Usia Menopause Nama : Andika Pradana
NIM : 070100071
Penguji I
( dr. Hayu Lestari Haryono, Sp.OG ) NIP: 19800114 200312 2 002 Pembimbing
( dr. Johny Marpaung, Sp.OG ) NIP: 19710224 200801 1 007
Penguji II
( dr. Zulfikar Lubis, Sp.PK(K) ) NIP: 130 139 215
Medan, Desember 2010 Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Tingginya tingkat kesibukan wanita di zaman sekarang membuat wanita cenderung membatasi jumlah anaknya, sehingga terjadi penurunan rata-rata jumlah paritas wanita dari tahun ke tahun. Seiring dengan itu, terjadi fenomena global yang menunjukkan bahwa rata-rata usia menopause wanita di berbagai belahan dunia akhir-akhir ini menjadi semakin cepat. Untuk itu, penelitian ini dilaksanakan guna mencari tahu adakah hubungan antara jumlah paritas dengan usia menopause.
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cross-sectiona l yang dilakukan pada wanita yang telah memasuki usia menopause di Kelurahan Tanjung Selamat, Kota Medan. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara langsung kepada 50 orang sampel yang dipilih dengan metode consecutive sampling dalam kurun waktu Juni hingga Agustus 2010. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji Korelasi - Regresi dengan tingkat kemaknaan 95% (p ≤ 0,05).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata jumlah paritas wanita dalam penelitian ini adalah 3,4 kali paritas (SD 1,98) sedangkan rata-rata usia menopause wanita adalah 48,4 tahun (SD 2,704). Dari hasil analisis dua arah Korelasi Pearson, didapati kesimpulan bahwa ada hubungan antara jumlah paritas dengan usia menopause, dengan tingkat kekuatan hubungan adalah sedang (r = 0,54, p < 0,001).
Kata kunci: jumlah paritas, usia menopause, korelasi
ABSTRACT
As woman’s activity increases in this era, women tend to limit their offsprings, causing a decline in parity number among women through the ages. In the mean time, there is a global phenomenon showing that women from all over the world tend to reach the age of menopause earlier. The aim of this study is to identify the correlation between parity number and the age of menopause among women.
The method of this analitic study is cross-sectional, which is conducted on post-menopause women in Tanjung Selamat Regency, Medan. Data collecting procedure was carried out by interviews to each of 50 respondents selected by consecutive sampling method from June to August 2010. Data analysis was performed by Correlation-Regression test apllying 95% level of significance (p ≤ 0,05)
This study shows that the mean of parity number among women participating in this research is 3,4 parities (SD 1,98), while the mean of menopause age is 48,4 years (SD 2,704). Pearson correlation two-tailed analysis proves that there is a moderate correlation between parity number and the age of menopause among women (r = 0,54, p < 0,001)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya yang begitu besar sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan laporan hasil penelitian ini. Sebagai salah satu area
kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh seorang dokter umum, laporan hasil
penelitian ini disusun sebagai rangkaian tugas akhir dalam menyelesaikan
pendidikan di progran studi Sarjana Kedokteran, Pendidikan Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya
kepada semua pihak yang telah turut serta membantu penulis menyelesaikan
laporan hasil penelitian ini, diantaranya:
1. Kepada Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH selaku dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
2. Kepada dosen pembimbing penulisan penelitian ini, dr. Johny Marpaung,
Sp.OG, yang dengan sepenuh hati telah meluangkan segenap waktu untuk
membimbing dan mengarahkan penulis mulai dari awal penyusunan proposal
penelitian, pelaksanaan di lapangan hingga selesainya laporan hasil penelitian
ini. Juga kepada dr. Zulfikar Lubis, Sp.PK(K), dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D,
dan dr. Hayu Lestari Haryono, Sp.OG selaku dosen penguji yang telah
memberikan saran dan masukan yang membangun untuk penelitian ini.
3. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Bintang Y.M. Sinaga,
Sp.P yang telah menjadi dosen penasihat akademik penulis selama menjalani
pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
4. Kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda Afrizal, SE dan Ibunda Juharti,
BA serta kakak penulis, Vira Afriati, S.Pd, M.Pd yang telah senantiasa
mendukung dan memberikan dukungan serta bantuan dalam menyelesaikan
laporan hasil penelitian ini.
5. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh teman-teman
dr.Desby Juananda dan Dadan Ropian, S.Ked yang turut memberikan
motivasi dan dukungan bagi penulis untuk merampungkan penelitian ini.
6. Kepada seluruh kakanda dan personalia unit aktivitas mahasiswa Standing
Committee on Research Exchange (SCORE FK USU) yang telah
mengajarkan kepada penulis indahnya seluk beluk dunia penelitian. Serta
kepada seluruh pihak-pihak, khususnya seluruh responden penelitian, yang
telah banyak berjasa dalam membantu penulis menyelesaikan penulisan
laporan hasil penelitian ini. Hanya Allah SWT yang mampu memberikan
balasan terbaik atas segalanya.
Cakupan belajar sepanjang hayat dan mengembangkan pengetahuan baru,
dalam area kompetensi KIPDI-3, telah memotivasi penulis untuk melaksanakan penelitian yang berjudul “Hubungan Jumlah Paritas dengan Usia Menopause” ini. Semoga penelitian ini dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu
pengetahuan, khususnya di bidang ilmu kedokteran.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan hasil penelitian ini masih
belum sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh
karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun demi perbaikan laporan hasil penelitian ini di kemudian hari.
Medan, November 2010
DAFTAR ISI
2.2.2. Klasifikasi Menopause... 6
2.2.3. Fisiologi Menopause... 8
2.2.4. Gejala Menopause ... 13
2.2.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Usia Menopause ... 14
2.2.6. Penyakit-penyakit yang Berkaitan dengan Menopause ... 16
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 22
4.4. Metode Pengumpulan Data... 26
4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 27
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 29
5.1. Hasil Penelitian ... 29
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 29
5.1.2. Karakteristik Individu ... 30
5.1.3. Distribusi Responden Berdasarkan Umur ... 31
5.1.4. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Paritas dan Usia Menopause ... 33
5.1.5. Hasil Analisis Data ... 34
5.2. Pembahasan ... 36
5.2.1. Pembahasan Penurunan Jumlah Paritas dan Percepatan Usia Menopause ... 36
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
Tabel 4.1. Interpretasi Tingkat Hubungan Koefisien Korelasi ... 27
Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Karakteristik Subjek Penelitian ... 30
Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur ... 32
Tabel 5.3. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Paritas
dan Usia Menopause ... 33
Tabel 5.4. Analisis Uji Korelasi Pearson Hubungan Jumlah Paritas
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
Gambar 2.1. Jumlah Oosit di Ovarium dalam Berbagai
Masa Kehidupan ... 10
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian... . 22
Gambar 5.1. Diagram Tebar Hubungan Jumlah Paritas dengan
Usia Menopause... 34
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 Daftar Riwayat Hidup LAMPIRAN 2 Lembar Penjelasan
LAMPIRAN 3 Lembar Pernyataan Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent) Kesediaan Mengikuti Penelitian
LAMPIRAN 4 Kuesioner Penelitian Hubungan Jumlah Paritas dengan Usia Menopause
LAMPIRAN 5 Data Induk
ABSTRAK
Tingginya tingkat kesibukan wanita di zaman sekarang membuat wanita cenderung membatasi jumlah anaknya, sehingga terjadi penurunan rata-rata jumlah paritas wanita dari tahun ke tahun. Seiring dengan itu, terjadi fenomena global yang menunjukkan bahwa rata-rata usia menopause wanita di berbagai belahan dunia akhir-akhir ini menjadi semakin cepat. Untuk itu, penelitian ini dilaksanakan guna mencari tahu adakah hubungan antara jumlah paritas dengan usia menopause.
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cross-sectiona l yang dilakukan pada wanita yang telah memasuki usia menopause di Kelurahan Tanjung Selamat, Kota Medan. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara langsung kepada 50 orang sampel yang dipilih dengan metode consecutive sampling dalam kurun waktu Juni hingga Agustus 2010. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji Korelasi - Regresi dengan tingkat kemaknaan 95% (p ≤ 0,05).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata jumlah paritas wanita dalam penelitian ini adalah 3,4 kali paritas (SD 1,98) sedangkan rata-rata usia menopause wanita adalah 48,4 tahun (SD 2,704). Dari hasil analisis dua arah Korelasi Pearson, didapati kesimpulan bahwa ada hubungan antara jumlah paritas dengan usia menopause, dengan tingkat kekuatan hubungan adalah sedang (r = 0,54, p < 0,001).
Kata kunci: jumlah paritas, usia menopause, korelasi
ABSTRACT
As woman’s activity increases in this era, women tend to limit their offsprings, causing a decline in parity number among women through the ages. In the mean time, there is a global phenomenon showing that women from all over the world tend to reach the age of menopause earlier. The aim of this study is to identify the correlation between parity number and the age of menopause among women.
The method of this analitic study is cross-sectional, which is conducted on post-menopause women in Tanjung Selamat Regency, Medan. Data collecting procedure was carried out by interviews to each of 50 respondents selected by consecutive sampling method from June to August 2010. Data analysis was performed by Correlation-Regression test apllying 95% level of significance (p ≤ 0,05)
This study shows that the mean of parity number among women participating in this research is 3,4 parities (SD 1,98), while the mean of menopause age is 48,4 years (SD 2,704). Pearson correlation two-tailed analysis proves that there is a moderate correlation between parity number and the age of menopause among women (r = 0,54, p < 0,001)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman, tingkat kebutuhan hidup juga
semakin lama semakin meningkat. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan
untuk mencari sumber penghasilan tambahan. Peran wanita yang dulu cenderung
terbatas hanya sebagai ibu rumah tangga saja, kini mulai meluas dengan
melakukan berbagai pekerjaan yang dapat membantu perekonomian keluarga
guna memenuhi kebutuhan hidup. Akibatnya, akhir-akhir ini, didapati fenomena
yang menunjukkan wanita zaman sekarang cenderung membatasi jumlah anak
sehingga tidak harus menghabiskan banyak waktu untuk merawat dan
membesarkan anaknya, dengan pertimbangan waktu yang ada dapat digunakan
untuk mencari sumber penghasilan tambahan melalui bekerja. Survei dari Biro
Pusat Statistik menunjukkan bahwa pada tahun 2000 rata-rata seorang wanita
memiliki anak sejumlah 1,8 anak saja. Hal ini tentunya sangat kontradiktif dengan
keadaan beberapa tahun lalu saat tingkat kesibukan wanita tidak sepadat sekarang.
Pada tahun 1971, 1980 dan 1990, rata-rata angka fertilitas total wanita Indonesia
secara berturut-turut adalah 6,5, 5 dan 3,5 anak (BPS, 2009).
Di sisi lain, studi epidemiologis mengungkapkan fenomena yang
menunjukan fakta bahwa usia menopause wanita di berbagai belahan dunia akhir
akhir ini semakin cepat. Sebelum tahun 2000, rata-rata usia menopause wanita di
Amerika Serikat adalah 51,3 tahun (Kato, 1998 dalam Thomas, 2001). Sementara
pada tahun 2008, didapati rata-rata usia menopause wanita di Amerika Serikat
adalah 47,5 tahun (McKinlay, 2008). Hal yang serupa ditemui tidak hanya di
Amerika Serikat, tetapi juga pada wanita di negara-negara lain seperti Paraguay,
Colombia, Italia dan negara-negara di Asia seperti Korea, Jepang, Malaysia
termasuk Indonesia dimana rata-rata usia menopause wanita menjadi lebih awal,
Di Indonesia sendiri, dijumpai pula fenomena yang sama. Sebelum tahun
1995, rata-rata usia menopause wanita Indonesia adalah 50,5 tahun
(Wishnuwardani, 1994 dalam Thomas, 2001). Sementara Safitri (2009)
menyatakan bahwa rata-rata usia menopause wanita Indonesia, khususnya di Kota
Medan saat ini adalah 45,2 tahun. Kesemua fakta-fakta ini menggambarkan jelas
bahwa seiring dengan perkembangan zaman dan seiring dengan penurunan jumlah
paritas wanita dari tahun ke tahun, rata-rata usia menopause seorang wanita
cenderung menjadi lebih cepat.
Menopause, yang secara sederhana dapat diartikan sebagai proses
berhentinya siklus menstruasi seorang wanita, memiliki hubungan yang sangat
erat dengan fluktuasi kadar hormon estrogen dalam darah. Berkaitan dengan hal
ini, percepatan usia menopause yang terjadi pada wanita saat ini menjadi masalah
tersendiri mengingat usia menopause yang lebih cepat menandakan penurunan
kadar estrogen yang lebih cepat pula. Seperti telah lama diketahui, hormon
estrogen yang memegang peranan penting dalam siklus reproduksi seorang
wanita, juga memiliki efek protektif terhadap berbagai jenis penyakit seperti
osteoporosis, kanker kolorektal, alzheimer, serta penyakit jantung koroner
(Jacobsen, 2003). Dengan kata lain, usia menopause yang lebih cepat akan
menyebabkan wanita memiliki resiko yang jauh lebih besar pula untuk mengalami
penyakit-penyakit tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka mortalitas
di kalangan wanita meningkat sebesar 1,6% untuk setiap 3 tahun percepatan usia
menopause (Jacobsen, 2003). Hal ini diperkuat dengan hasil studi kohort lain
yang melaporkan bahwa 95% peningkatan laju mortalitas pada wanita berkaitan
dengan percepatan usia menopause (Gold, 2001). Dengan demikian, jelaslah
bahwa usia menopause sangat mempengaruhi kesehatan seorang wanita.
Banyak hal yang dapat mempengaruhi usia menopause, diantaranya
pengaruh genetik, riwayat ovarektomi, indeks massa tubuh, kebiasaan merokok,
usia menarche dan jumlah paritas (McKinlay, 2008; Parazzini, 2006; Kevenaar,
2007). Jumlah paritas, misalnya. Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa
(Parazzini, 2006; Kevenaar, 2007). Namun demikian, masih terdapat kontroversi
dimana beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara jumlah
paritas dengan usia menopause ini tidak cukup signifikan (Kalichman, 2007).
Kebanyakan penelitian tersebut dilaksanakan di Eropa dan Amerika,
padahal siklus reproduksi sangat dipengaruhi oleh faktor ras dan genetika.
Sepengetahuan penulis, sampai saat ini, belum ada penelitian sejenis yang
dilaksanakan di Indonesia, oleh karena itu perlu dilakukan suatu penelitian yang
menguji apakah terdapat hubungan antara jumlah paritas dengan usia menopause
pada wanita Indonesia. Atas dasar inilah, penulis tertarik untuk meneliti hubungan
jumlah paritas dengan usia menopause pada wanita Indonesia.
1.2. Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di
atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
Adakah hubungan antara jumlah paritas dengan usia menopause?
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan jumlah paritas dengan usia menopause
wanita
1.3.2 Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
a. Mengetahui rata-rata jumlah paritas wanita
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, diantaranya:
1. Memberikan informasi tentang hubungan jumlah paritas dengan usia
menopause agar dapat digunakan oleh praktisi medis dalam upaya
meningkatkan kualitas hidup wanita
2. Memberikan sumbangan pemikiran dan bahan pertimbangan bagi
masyarakat luas, khususnya bagi kalangan wanita dalam
merencanakan paritas selama masa reproduksinya
3. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan memperkokoh landasan
teoritis ilmu kedokteran khususnya di bidang menopause
4. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lain yang ingin menggali dan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Paritas
2.1.1. Definisi Paritas
Kata paritas berasal dari bahasa Latin, pario, yang berarti
menghasilkan. Secara umum, paritas didefinisikan sebagai keadaan
melahirkan anak baik hidup ataupun mati, tetapi bukan aborsi, tanpa
melihat jumlah anaknya. Dengan demikian, kelahiran kembar hanya
dihitung sebagai satu kali paritas (Stedman, 1998).
Jumlah paritas merupakan salah satu komponen dari status paritas
yang sering dituliskan dengan notasi G-P-Ab, dimana G menyatakan
jumlah kehamilan (gestasi), P menyatakan jumlah paritas, dan Ab
menyatakan jumlah abortus. Sebagai contoh, seorang wanita dengan status
paritas G3P1Ab1, berarti wanita tersebut telah pernah mengandung
sebanyak dua kali, dengan satu kali paritas dan satu kali abortus, dan saat
ini tengah mengandung untuk yang ketiga kalinya.
2.1.2. Klasifikasi Jumlah Paritas
Berdasarkan jumlahnya, maka paritas seorang wanita dapat
dibedakan menjadi:
a. Nullipara
Adalah wanita yang belum pernah melahirkan sama sekali
b. Primipara
Adalah wanita yang telah pernah melahirkan sebanyak satu kali
c. Multipara
Adalah wanita yang telah melahirkan sebanyak dua hingga empat kali
d. Grandemultipara
2. 2. Menopause
2.2.1. Definisi Menopause
Kata menopause diambil dari bahasa Yunani yaitu men yang
berarti bulanan dan ausis yang artinya berhenti. Secara umum, menopause
didefinisikan sebagai masa dimana terjadinya penghentian menstruasi
secara permanen akibat hilangnya aktivitas ovarium (Speroff, 2005).
Seorang wanita dikatakan mengalami menopause jika telah mengalami
amenorrhea (tidak menstruasi) selama sekurang-kurangnya satu tahun
(Sastrawinata, 2005).
Menopause merupakan hal yang fisiologis bagi seorang wanita
dalam perjalanan hidupnya. Kurun waktu 4 – 5 tahun sebelum menopause
disebut masa premenopause, sedangkan kurun waktu 3-5 tahun setelah
menopause dikenal sebagai masa pascamenopause. Masa premenopause,
menopause dan pascamenopause dikenal sebagai masa klimakterium. Kata
klimakterium sendiri diambil dari bahasa Yunani yang artinya tangga dan
merupakan masa peralihan antara masa reproduksi dan masa senium. Di
masa senium, yaitu masa sesudah pascamenopause, seorang wanita telah
mencapai keseimbangan baru dalam kehidupannya sehingga tidak ada lagi
gangguan vegetatif maupun psikis (Jacoeb, 2005)
2.2.2. Klasifikasi Menopause
Berdasarkan proses terjadinya, menopause dibedakan menjadi
menopause alamiah (natural) dan menopause buatan (artifisial).
Menopause buatan adalah menopause yang terjadi sebagai akibat prosedur
medis seperti pembedahan atau penyinaran. Menopause yang terjadi akibat
oophorektomi atau pengangkatan ovarium kadang-kadang dilakukan
karena penyakit ovarium, akan tetapi lebih sering dilakukan pada
histerektomi yang dilakukan karena suatu sebab dan ovarium sekaligus
Selain berdasarkan proses terjadinya, menopause juga dibedakan
berdasarkan usia. Usia menopause didefinisikan sebagai usia saat seorang
wanita memasuki masa menopausenya. Usia menopause wanita di
berbagai belahan dunia cenderung berbeda-beda, karena kondisi hormonal
wanita sangat dipengaruhi oleh faktor genetik dan ras. Rata-rata usia
menopause juga cenderung berubah dari waktu ke waktu akibat berbagai
faktor lain yang mempengaruhinya. Secara umum, rentang usia menopause
wanita Indonesia saat ini berkisar antara 44 tahun hingga 52 tahun
(Sastrawinata, 2005)
Kelainan jadwal menopause dapat mencakup menopause yang
terjadi terlalu dini (menopause prematur) maupun menopause yang
terlambat.
a. Menopause prematur
Menopause yang terjadi sebelum usia 40 tahun disebut sebagai
menopause prematur. Diagnosis menopause prematur dibuat jika terjadi
henti haid selama satu tahun disertai dengan gejala panas pada wajah (hot
flush) serta meningkatnya kadar hormon gonadotrophin (GnRH) dalam
darah. Apabila kedua gejala yang terakhir ini tidak dijumpai, perlu
dilakukan penyelidikan terhadap sebab-sebab lain dari terganggunya
fungsi ovarium. Shifren (2007) menyatakan bahwa prevalensi menopause
prematur di dunia adalah sekitar 1% dan lebih lazim disebut sebagai
kegagalan ovarium prematur (premature ovarian failure).
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan menopause prematur
diantaranya herediter, gangguan gizi yang cukup berat, penyakit-penyakit
autoimun dan penyakit-penyakit yang merusak jaringan kedua ovarium
(Sastrawinata, 2005).
b. Menopause terlambat
Batas terjadinya menopause umumnya adalah 52 tahun. Wanita yang
masih mendapatkan haid di atas umur 52 tahun dapat dikatakan mengalami
lebih lanjut. Beberapa hal yang dapat menyebabkan menopause terlambat
adalah idiopatik, fibromioma uteri maupun tumor ovarium. Shifren (2007)
menyatakan bahwa wanita dengan karsinoma endometrium seringkali
mengalami menopause terlambat.
2.2.3. Fisiologi Menopause
Selama masa perkembangan intrauterin, sel germinativum
primordial yang belum berdifferensiasi pada ovarium janin, yakni
oogonium membelah diri secara mitosis untuk menghasilkan sekitar enam
sampai tujuh juta oogonium sampai bulan ke lima masa gestasi, yaitu
sampai masa proliferasi mitosis akhirnya terhenti. Mulai usia kehamilan 7
minggu, beberapa diantara oogonium memulai langkah-langkah awal
pembelahan meiosis pertama, tetapi tidak menyelesaikannya. Sel-sel yang
terbentuk tersebut kemudian dikenal sebagai oosit primer yang ukurannya
jauh lebih besar dengan 46 kromosom replikasi, yang terkumpul dalam
pasangan-pasangan homolog namun belum memisah. Oosit primer akan
tetap berada dalam keadaan profase meiosis yang terhenti ini selama
beberapa tahun sampai mereka dipersiapkan untuk ovulasi di masa
pubertas nanti (Sherwood, 2001).
Pertumbuhan ovarium pada masa pranatal ini terutama
dikendalikan oleh hormon FSH (Follicle Stimulating Hormone) janin yang
dibentuk oleh adenohipofisis janin dalam jumlah yang cukup besar antara
minggu ke 16 hingga 24 kehamilan (Sherwood, 2001).
Setelah usia kehamilan 17 minggu, setiap oosit primer akan mulai
dikelilingi oleh sebuah lapisan sel granulosa untuk membentuk folikel
primer. Oosit yang tidak membentuk folikel akan berdegenerasi dan
kemudian diserap sehingga saat lahir hanya sekitar satu juta folikel saja
yang tersisa, masing-masing berisi satu oosit primer yang mampu
Dengan terhentinya pembelahan oosit primer dalam keadaan
profase meiosis, maka dimulailah proses penuaan ovarium, karena sejak
saat itu, jumlah folikel yang tersedia saat lahir akan terus berkurang tanpa
ada pembentukan oosit atau foilkel yang baru (Jacoeb, 2005; Sherwood,
2001).
Sekali berkembang, sebuah folikel akan mengalami salah satu dari
dua kejadian. Folikel tersebut akan mencapai kematangan dan berovulasi,
atau mengalami degenerasi membentuk jaringan parut, suatu proses yang
dikenal sebagai atresia. Sampai masa pubertas, semua folikel yang mulai
berkembang mengalami atresia pada tahap-tahap awal tanpa pernah
mengalami ovulasi, sehingga menjelang masa pubertas, hanya tersisa
34.000 sampai 40.000 folikel saja. Pada umur 12 tahun, hanya akan tersisa
sekitar 15.000 folikel, dan dari jumlah ini, dua pertiganya akan terus
berkurang hingga umur 24 tahun. Pada usia 45 tahun, hanya akan dijumpai
1000 folikel saja dan pada masa pasca menopause, boleh dikatakan tidak
Gambar 2.1. Jumlah oosit di ovarium dalam berbagai masa kehidupan
(dikutip dari Berek and Novak’s Gynecology, 14th ed, 2007)
Masa reproduksi dimulai ketika terjadinya siklus haid ovulatorik.
Masa ini ditandai dengan pematangan folikel, ovulasi dan pembentukan
korpus luteum. Masa ini akan berkahir dengan hilangnya fungsi generatif
dari ovarium. Speroff (2005) menyatakan bahwa menopause terjadi saat
jumlah folikel yang tersisa telah berada di bawah ambang kritis persediaan
folikel, yaitu sekitar 1000 folikel, tanpa mempermasalahkan usia wanita
99,8% dari total simpanan folikel sejak masa intrauterin akan mengalami
atresia pada tahap-tahap tertentu perkembangannya (Sherwood, 2001;
Speroff, 2005).
Menjelang berhentinya haid pada masa menopause, telah terjadi
berbagai perubahan struktural pada ovarium seorang wanita, seperti proses
sklerosis pembuluh darah dan atresia aparatus folikular terutama sel
granulosa folikel. Penurunan fungsi ovarium ini menyebabkan
berkurangnya kemampuan ovarium untuk merespon rangsangan hormon
hipofisis FSH dan LH (Luteinizing Hormone). Akibatnya terjadi
penurunan produksi estrogen dari ovarium akibat kegagalan fungsi korpus
luteum. Terlebih lagi, karena sel granulosa folikel telah mengalami
degenerasi, maka produk sekretoriknya, inhibin, juga akan menurun
kadarnya dalam darah, padahal estrogen dan inhibin, keduanya memegang
peranan penting dalam mekanisme umpan balik aksis
hipotalamus-hipofisis-ovarium (HPO) pada siklus menstruasi seorang wanita (Jacoeb,
2005).
Karena aksis HPO ini tetap intak selama masa transisi menopause,
penurunan kadar estrogen dan inhibin menyebabkan umpan balik negatif
(negative feedback) yang ditujukan dari ovarium ke hipofisis menjadi tidak
adekuat. Akibatnya, kadar hormon FSH dan LH akan meningkat tinggi
dalam darah. Dari kedua hormon tersebut, ternyata yang paling mencolok
peningkatannya adalah FSH yang dapat meningkat hingga 20 kali lipat
kadar biasanya (>20 IU/L). Hal ini dikarenakan cepatnya laju bersihan
(clearence) LH dari darah, yaitu sekitar 12-15 kali lebih cepat
dibandingkan FSH. Oleh karena itu, peningkatan kadar FSH merupakan
petunjuk hormonal yang paling baik untuk mendiagnosis sindrom
klimakterium. Kadar hormon FSH ini akan terus meninggi sampai
memasuki masa senium dimana mulai terjadi atrofi dari uterus, ovarium
Tingginya kadar FSH dalam darah dan sedikitnya jumlah folikel
yang tersisa di ovarium menyebabkan fase folikular siklus mestruasi
wanita di masa klimakterium menjadi memendek sehingga seringkali pada
wanita menjelang masa menopause dijumpai gangguan siklus menstruasi
(Shifren, 2007).
Perubahan yang paling mencolok pada masa menopause adalah
perubahan kadar hormon estrogen dalam darah. Karena selama masa
reproduksi seorang wanita, folikel menjadi sumber utama produksi
hormon estrogen dan progesteron, maka perubahan struktural dan
fungsional dari folikel-folikel yang tersisa di ovarium pada masa
menopause menyebabkan kadar hormon estradiol menurun drastis. Tanpa
sumber estrogen folikular ini, maka produksi estrogen pada wanita
menopause hanya mengandalkan sumber estrogen yang dihasilkan oleh
stroma ovarium yang distimulasi oleh FSH dan LH, menghasilkan produk
estrogen berupa estrone. Sumber lain yang juga menopang produksi
estrogen setelah menopause adalah produksi androstenadione dari kelenjar
adrenal yang kemudian akan mengalami aromatisasi di sirkulasi perifer
sehingga menghasilkan estrogen yang juga tersedia dalam bentuk estrone.
Estrogen yang dihasilkan oleh sumber lain selain dari folikel ini disebut
sebagai estrogen non-folikular (Curran, 2009)
Proses aromatisasi androstenadione menjadi estrone dapat
berlangsung di jaringan adiposa, otot, hepar, tulang, sumsum tulang dan
sel fibroblas. Karena kebanyakan proses konversi ini berlangsung di
jaringan adiposa, terdapat asumsi bahwa wanita menopause yang
mengalami obesitas akan memiliki jumlah estrogen yang sedikit lebih
banyak dibandingkan yang tidak obesitas, sehingga muncul anggapan
bahwa gejala-gejala menopause akan lebih minim dirasakan oleh mereka
yang obesitas. Namun demikian, penelitian-penelitian saat ini
2.2.4. Gejala Menopause
Kebanyakan gejala-gejala yang timbul pada masa perimenopause
dapat dijelaskan patofisiologinya dengan memamahami konsep perubahan
kadar hormon-hormon seks dalam tubuh wanita. Kumpulan gejala-gejala
menopause yang dikenal sebagai sindrome klimakterik ini dapat
berlangsung selama masa perimenopause hingga 5-10 tahun setelah
menopause. Beberapa gejala-gejala menopause yang sering dijumpai pada
seorang wanita diantaranya adalah gejala vasomotor.
Gejala vasomotor atau yang lebih dikenal dengan hot flush adalah
perasaan hangat atau panas yang dirasakan mulai dari regio umbilikus dan
menyebar ke arah kranial yang diikuti oleh produksi keringat yang sangat
banyak di daerah leher dan kepala. Gejala vasomotor ini merupakan
keluhan yang paling sering dijumpai pada wanita menopause dan
dilaporkan bahwa 75% wanita yang memasuki usia menopause pernah
merasakannya (Curran, 2009).
Penjelasan mengenai mekanisme terjadinya gejala vasomotor ini
masih belum dapat dipahami dengan lebih spesifik. Namun, secara umum
diketahui bahwa efek dari berkurangnya produksi estrogen secara
mendadak (estrogen withdra wal) dapat menginduksi peningkatan aktivitas
serotonin, dopamin dan norepinephrine di hipotalamus sehingga
mencetuskan kenaikan set point suhu tubuh. Peningkatan suhu sentral ini
akan diikuti oleh peningkatan laju metabolisme yang menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah perifer sehingga menghasilkan gejala panas
dan berkeringat (Shifren, 2007).
Gejala vasomotor ini seringkali tidak hanya mengganggu aktivitas
sehari-hari, tetapi juga dapat menimbulkan gangguan tidur seperti
insomnia. Akibatnya, banyak wanita mengeluhkan emosi yang labil
sebagai dampak lebih lanjut dari gejala vasomotor ini (Shifren, 2007).
Selain gejala vasomotor dan insomnia, gejala-gejala lain yang sering
ringan, peningkatan berat badan, palpitasi, vertigo, serta perasaan penuh
pada perut (Curran, 2009)
Di samping gejala-gejala tersebut, dijumpai pula perubahan
morfologis dari dinding vagina. Seiring dengan penurunan kadar estrogen,
dinding vagina tampak lebih merah dikarenakan penipisan epitel vagina
sedemikian sehingga kapiler-kapiler kecil di permukaan vagina menjadi
semakin jelas terlihat. Semakin banyak epitel vagina yang mengalami
atrofi, lama kelamaan dinding vagina justru tampak semakin pucat akibat
berkurangnya vaskularisasi di daerah tersebut. Dijumpai pula keadaan
penurunan pH urine yang memudahkan perubahan flora normal sehingga
menghasilkan gejala pruritus dan lendir yang berbau (Curran, 2009).
2.2.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Usia Menopause
Seiring dengan perubahan usia menopause wanita zaman sekarang
yang cenderung semakin cepat, banyak penelitian yang gencar
dilaksanakan guna mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi usia
menopause seorang wanita. Beberapa faktor-faktor tersebut diantaranya:
a. Pengaruh ras dan genetik
Sebuah studi epidemiologi yang meneliti usia menopause pada sampel
multietnik menemukan fakta bahwa usia menopause cenderung lebih cepat
pada wanita keturunan Jepang dan Latin (Henderson, 2008). Studi lain
menemukan adanya riwayat keluarga pada ibu seorang wanita yang
mengalami menopause dini (Biela, 2002).
Beberapa hasil penelitian telah berhasil mengidentifikasi gen yang
turut menentukan usia menopause seorang wanita. Gen tersebut dijumpai
pada kromosom 9 quantitative-trait loci. Selain itu, sebuah studi
menemukan bahwa pada beberapa wanita dijumpai single nucleotide
terbukti berkaitan dengan usia menopause yang lebih awal (Stolk, 2009;
Kok, 2005; Voorhuis, 2010).
b. Jumlah Paritas
Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang
signifikan antara jumlah paritas dengan usia menopause seorang wanita.
Keterkaitan ini akan dibahas lebih dalam pada pembahasan selanjutnya.
c. Indeks Massa Tubuh (IMT)
Hasil studi menunjukkan bahwa wanita dengan nilai indeks massa
tubuh yang lebih rendah cenderung mengalami menopause pada usia yang
lebih cepat, dimana wanita dengan IMT yang rendah beresiko 0,6 kali
lebih cepat untuk mengalami menopause. Diasumsikan bahwa jaringan
adiposa yang lebih banyak pada wanita obesitas memungkinkan proses
aromatisasi androgen yang lebih besar pula sehingga kadar estrogen dalam
darah cenderung lebih tinggi. Namun begitu, mekanisme mengenai
hubungan IMT dengan usia menopause belum dapat dijelaskan secara
pasti dikarenakan hasil penelitian yang mengidentifikasi hubungan ini
sering berbeda satu sama lain, karena di sisi lain, obesitas juga dapat
memicu inadekuasi fungsi ovarium (Gold, 2001; Cooper, 2001).
d. Usia Menarche
Dahulu diasumsikan bahwa wanita yang mengalami menarche lebih
awal akan mengalami menopause di usia yang lebih cepat. Namun asumsi
tersebut akhir-akhir ini kembali dipertanyakan karena kebanyakan
penelitian sekarang menunjukkan bahwa menarche yang lebih awal justru
berkaitan dengan menopause yang lebih lambat. Sungguhpun begitu,
keterkaitan antara usia menarche dengan usia menopause ini masih perlu
diteliti lebih lanjut.
e. Kebiasaan Merokok
Hasil penelitian menunjukkan bahwa salah satu zat aktif dalam rokok,
yaitu polycyclic aromatic hydrocarbon telah terbukti bersifat toksik
terhadap folikel-folikel ovarium. Berbagai penelitian menunjukan adanya
hubungan dosis-respons (dose-response relationship) dimana perokok
berat mengalami usia menopause yang jauh lebih cepat dibanding perokok
ringan dan wanita yang tidak merokok. Secara umum, wanita yang
merokok mengalami menopause sekitar dua tahun lebih awal
dibandingkan wanita yang tidak merokok (Hardy, 2000).
f. Status Sosioekonomi dan Tingkat Pendidikan
Walaupun tingkat signifikansi kedua faktor ini dalam mempengaruhi
usia menopause masih bervariasi, didapati data bahwa menopause
cenderung terjadi lebih awal pada wanita dengan status sosioekonomi
menengah ke bawah dan pada wanita dengan tingkat pendidikan yang
rendah (Hardy, 2000).
g. Pola Makan Harian
Sebuah penelitian yang dilakukan pada wanita di Shanghai
menemukan bahwa total asupan kalori, lemak dan serat memiliki
hubungan dengan usia menopause seorang wanita. Ditemukan juga fakta
bahwa konsumsi teh harian dapat memperpanjang durasi masa reproduksi
seorang wanita (Dorjgochoo, 2008).
2.2.6. Penyakit-Penyakit yang Berkaitan dengan Menopause
Seperti telah lama diketahui, hormon estrogen tidak hanya
memegang peranan penting dalam siklus reproduksi seorang wanita, tetapi
a. Osteoporosis
Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh
penurunan densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang
sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Secara umum,
osteoporosis dibedakan menjadi dua jenis, yaitu osteoporosis tipe 1 dan
osteoporosis tipe 2. Osteoporosis tipe 1 disebut juga sebagai osteoporosis
pascamenopause yang tidak diketahui penyebabnya, sedangkan
osteoporosis tipe 2 disebut sebagai osteoporosis senilis, yang penyebabnya
bekaitan dengan gangguan absorpsi kalsium di usus.
Dalam kaitannya dengan menopause, estrogen merupakan regulator
pertumbuhan dan homeostasis tulang yang sangat penting, dimana sel-sel
tulang seperti osteoblast, osteoklast dan osteosit sama-sama
mengekspresikan reseptor estrogen (ER). Hormon estrogen berperan
dalam menurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone marrow stromal
cells dan sel-sel mononuklear, seperti IL-1, IL-6, dan TNFα yang berperan
meningkatkan kerja osteoklast. Dengan demikian, penurunan kadar
estrogen akibat menopause akan meningkatkan produksi berbagai sitokin
tersebut sehingga aktivitas osteoklast meningkat (Curran, 2009).
Selain terkait dengan aktivitas osteoklast, menopause juga akan
menurunkan absorpsi kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi kalsium
di ginjal. Di samping itu, menopause juga menurunkan sintesis berbagai
protein yang membawa 1, 25 (OH)2 D yang sangat penting dalam regulasi
kadar kalsium tubuh. Pada akhirnya, kesemua keadaan ini akan
mengakibatkan penurunan signifikan densitas massa tulang dan
mencetuskan osteoporosis. Interpretasi lebih lanjut dari keadaan ini berarti
usia menopause yang lebih cepat memungkinkan seorang wanita memiliki
b. Penyakit Jantung Koroner
Sebelum memasuki usia menopause, resiko seorang wanita
mengalami penyakit jantung koroner (PJK) adalah sepuluh tahun lebih
lambat dibandingkan pria. Namun, begitu memasuki masa menopause,
wanita cenderung memiliki resiko PJK yang sama besar dengan pria.
Akibatnya, angka kematian wanita pascamenopause yang diakibatkan oleh
PJK terus meningkat seiring bertambahnya usia (Curran, 2009).
Hal ini dapat dijelaskan dengan memahami kembali efek protektif
yang dimiliki estrogen dalam mencegah penyakit-penyakit kardiovaskular.
Estrogen telah terbukti dapat menurunkan kadar low-density lipoprotein
(LDL) dan meningkatkan kadar high-density lipoprotein (HDL). Dengan
demikian, penurunan kadar estrogen pada wanita menopause akan
mengubah kadar kedua jenis kolesterol tersebut sehingga meningkatkan
resiko terjadinya plak atherosklerosis pada tunika intima arteri yang
berujung pada penyakit jantung koroner (Curran, 2009).
Dengan demikian, menopause yang lebih dini pada seorang wanita
akan membuat wanita tersebut beresiko jauh lebih besar untuk mengalami
mortalitas akibat penyakit jantung koroner (Estiaghi, 2010).
c. Alzheimer
Alzheimer merupakan penyebab tersering dari kejadian demensia
pada usia lanjut yang ditandai dengan penurunan kemampuan memori
(daya ingat) dan fungsi luhur lainnya. Sediaan histopatologis dari preparat
pasien yang mengalami demensia menunjukkan adanya neurofibrilatory
tangles dan akumulasi beta amyloid yang diduga mencetuskan kejadian
demensia ini. Terkait dengan hal ini, estrogen memiliki efek
memperlambat proses degenerasi sel-sel neuron di otak dengan
mengurangi radikal bebas sehingga menjadi salah satu faktor protektif
terhadap Alzheimer (Curran, 2009).
d. Kanker Payudara
Telah banyak hasil penelitian yang menunjukkan adanya hubungan
antara usia menopause dengan kejadian kanker payudara. Berbeda dengan
penyakit-penyakit yang telah dipaparkan di atas, estrogen justru cenderung
menjadi faktor resiko tersendiri pada penyakit kanker payudara, dimana
wanita dengan menopause yang lebih lama memiliki resiko yang lebih
besar untuk mengalami kanker payudara. Suatu hasil penelitian
menunjukan bahwa wanita yang mengalami menopause di atas usia 55
tahun memiliki resiko dua kali lebih besar untuk menderita kanker
payudara dibandingkan mereka yang mengalami menopause di bawah
umur 45 tahun. Besarnya resiko akan semakin meningkat jika wanita
tersebut menjalani terapi sulih hormon (hormone replacement therapy)
setelah memasuki masa menopausenya (Curran, 2009).
Mekanisme yang dapat menjelaskan keadaan ini adalah usia menarche
yang lebih cepat dan usia menopause yang lebih lambat akan membuat
wanita terpapar jauh lebih lama dengan kadar estrogen yang sangat tinggi
yang dapat menstimulasi proliferasi jaringan payudara sehingga akhirnya
mencetuskan kanker payudara.
Sungguhpun demikian, perlu dipahami kembali bahwa kanker
payudara adalah suatu penyakit multifaktorial yang tidak hanya ditentukan
semata-mata oleh usia menopause, tetapi juga oleh banyak faktor lain
seperti pengaruh genetik dan paparan dengan zat karsinogenik.
2.3. Hubungan Jumlah Paritas dengan Usia Menopause
Sejak kelahiran seorang wanita, folikel-folikel primordial yang
semula dorman akan terus menerus diaktivasi menjadi persediaan folikel
yang akan berkembang (growing follicle pool). Proses ini dikenal sebagai
initial recruitment. Saat seorang wanita memasuki masa pubertas,
sejumlah folikel akan diaktivasi dari follicle pool tersebut sebagai respon
folikel-folikel tersebut, hanya satu yang akan mengalami ovulasi,
sementara folikel lainnya mengalami atresia (Kevenaar, 2007).
Proses initial recruitment tersebut dipengaruhi oleh beberapa
faktor, salah satunya adalah Anti-Mullerian Hormone (AMH) yang
reseptornya dijumpai di sel-sel granulosa yang menyelubungi sebuah
folikel. Dalam hal ini, AMH memegang peranan sebagai inhibitor proses
initial recruitment, sehingga ketiadaan AMH akan membuat habisnya
persediaan dalam follicle pool secara prematur dan mencetuskan
menopause yang terlalu dini (Kevenaar, 2007; Hansen, 2008).
Menjelang berhentinya haid pada masa menopause, telah terjadi
berbagai perubahan struktural pada ovarium seorang wanita seiring dengan
proses penuaan, seperti proses sklerosis pembuluh darah dan atresia
aparatus folikular terutama sel granulosa folikel. Keseluruhan perubahan
ini dikenal sebagai ova rian ageing. Penurunan fungsi ovarium ini
menyebabkan berkurangnya kemampuan ovarium untuk merespon
rangsangan hormon hipofisis FSH dan LH, padahal kedua hormon inilah
yang sebenarnya menstimulasi proses ovulasi seorang wanita. Penurunan
sensitivitas folikel terhadap hormon FSH dan LH ini pada akhirnya akan
membuat lebih banyak lagi folikel yang mengalami atresia dengan lebih
cepat sehingga mencetuskan keadaan menopause (Broekmans, 2009; Wu,
2005).
Sebuah studi hewan coba menemukan bahwa AMH tidak hanya
menginhibisi proses initial recruitment, tetapi juga meningkatkan
sensitivitas folikel terhadap kehadiran hormon FSH di jaringan ovarium
mencit. Jika diasumsikan hal yang sama juga dijumpai pada manusia,
maka kehadiran hormon AMH akan memperlambat usia menopause
seorang wanita.
Berkaitan dengan hal tersebut, sebuah penelitian menemukan
bahwa pengaruh paritas terhadap usia menopause dikendalikan oleh
kadar progesterone yang sangat tinggi terbukti meningkatkan ekspresi
reseptor AMH tersebut di jaringan. Terlebih lagi, tingginya kadar prolaktin
juga mempotensiasi efek up regulation reseptor AMHR2 tersebut
(Kevenaar, 2007).
Tingginya jumlah reseptor AMH ini pada akhirnya akan
memperkuat efek inhibisi proses initial recruitment dari folikel primordial
sehingga memperlambat kejadian menopause. Karena paritas akan
menstimulasi proses up regulation tersebut, maka peningkatan jumlah
paritas juga akan memperlambat usia menopause.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membuktikan teori
tersebut. Sebuah studi yang membandingkan usia menopause pada
nullipara dengan multipara menemukan wanita nullipara berpotensi
mengalami menopause 16 bulan lebih cepat (p < 0,10) dibandingkan
dengan multipara (Bromberger, 1997). Menguatkan hasil penelitian
tersebut, sebuah studi kohort menyatakan bahwa perbedaan usia
menopause yang terjadi antara nullipara dengan multipara berkisar 0,4 –
4,8 tahun lebih cepat (p = 0,005) untuk wanita nullipara (Kevenaar, 2007).
Dalam sebuah penelitian lintas negara, Thomas (2001) menyatakan
bahwa besarnya angka korelasi antara jumlah paritas dengan usia
menopause adalah 0,664 (p = 0,0054). Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa korelasi ini ternyata menunjukkan hubungan yang
sinergis dimana jumlah paritas yang semakin banyak berkaitan dengan
usia menopause yang juga semakin lama (Gold, 2001).
Sungguhpun demikian, sebuah penelitian cross sectional yang
dilakukan pada wanita ras Chuvasian di Amerika Utara menemukan
bahwa hubungan ini tidak cukup signifikan (Kalichman, 2007). Oleh
karena itu, masih diperlukan studi lanjutan untuk menguji hubungan antara
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka
kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 3.1. Kerangka konsep penelitian
3.2. Definisi Operasional 3.2.1. Jumlah Paritas
Jumlah paritas adalah frekuensi seorang wanita melahirkan anak,
baik melalui persalinan pervaginam maupun operasi sectio cesarea, tetapi
bukan aborsi, tanpa melihat jumlah anaknya, dan tanpa melihat apakah
anaknya hidup atau meninggal. Dengan demikian, kelahiran kembar tetap
dihitung sebagai satu paritas.
Cara pengukuran jumlah paritas adalah dengan wawancara
langsung pada masing-masing sampel penelitian dengan berpedoman pada
panduan wawancara berupa kuesioner.
Hasil pengukuran yang didapat berupa jumlah paritas dan
dinyatakan dalam skala pengukuran numerik.
Jumlah Paritas
Usia Menopause
3.2.2. Usia Menopause
Usia menopause adalah usia seorang wanita saat mengalami
menstruasi terakhir yang ditentukan secara retrospektif setelah berhenti
menstruasi selama sekurang-kurangnya 12 bulan.
Cara pengukuran usia menopause adalah dengan wawancara
langsung pada masing-masing sampel penelitian dengan berpedoman pada
kuesioner sebagai panduan wawancara.
Hasil pengukuran yang didapat berupa data diskrit usia menopause
yang dinyatakan dalam satuan tahun. Dengan demikian, skala pengukuran
yang digunakan adalah skala numerik.
3.3. Hipotesis
Dengan mempertimbangkan landasan teori yang telah dikemukakan
sebelumnya, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik dengan desain
cross sectional (potong lintang). Dengan satu kali pengamatan, akan didapatkan
data jumlah paritas dan usia menopause wanita yang menjadi sampel dalam
penelitian ini.
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan,
dari bulan Juli hingga Agustus 2010 pada wanita yang telah memasuki masa
menopause di Kelurahan Tanjung Selamat, Kota Medan. Kelurahan ini dipilih
menjadi tempat dilaksanakannya penelitian karena jumlah wanita yang telah
memasuki usia menopause di kelurahan ini relatif cukup memadai jumlah sampel
penelitian. Data yang berhasil dikumpulkan kemudian akan dianalisis lebih lanjut.
4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi
Populasi target dalam penelitian ini adalah semua wanita yang telah memasuki usia menopause, sedangkan yang menjadi populasi
terjangkau adalah semua wanita yang telah memasuki usia menopause di
Kelurahan Tanjung Selamat, Kota Medan.
4.3.2. Sampel
Yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah wanita yang telah memasuki usia menopause di Kelurahan Tanjung Selamat, Kota
Medan dan memenuhi kriteria inklusi serta tidak termasuk dalam kriteria
Adapun kriteria inklusi dan eksklusi dalam peneltian ini adalah:
a. Kriteria Inklusi
1. Bertempat tinggal di Kelurahan Tanjung Selamat, Kota Medan
2. Bersedia menjadi sampel penelitian dengan menandatangani
lembar persetujuan setelah penjelasan (informed consent)
3. Wanita usia 40-60 tahun yang telah memasuki usia menopause
b. Kriteria Eksklusi
1. Wanita yang telah menjalani operasi oophorektomi maupun
histerektomi sebelum memasuki masa menopause
2. Wanita yang siklus menstruasinya berhenti karena sedang
menjalani pengobatan, radioterapi, atau karena kehamilan
Teknik pengambilan sampel dilakukan secara consecutive
sampling dimana semua sampel yang didapat dan memenuhi kriteria
pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah sampel yang
diperlukan terpenuhi (Madiyono, 2008). Adapun jumlah sampel minimal
yang diperlukan dihitung berdasarkan rumus di bawah ini:
dimana:
n = jumlah sampel minimum
= nilai distribusi normal baku menurut tabel Z pada α tertentu
= nilai distribusi normal baku menurut tabel Z pada β tertentu
r = perkiraan koefisien korelasi (ditetapkan dari literatur)
sebesar 1,96. Nilai β yang digunakan adalah 0,05 atau dengan kata
lain besarnya kekuatan (power) dalam penelitian ini adalah 95%, sehingga
diperoleh nilai sebesar 1,645. Penentuan nilai r merujuk pada penelitian
terdahulu yang menghasilkan angka koefisien korelasi (r) sebesar 0,664
dengan p value = 0,0054 (Thomas, 2001). Berdasarkan rumus di atas,
besarnya sampel minimal yang diperlukan dalam penelitian ini adalah:
Dengan demikian besar sampel minimal yang diperlukan adalah
23,35 orang, dibulatkan menjadi 24 orang. Untuk dapat meningkatkan
akurasi hasil penelitian, jumlah sampel yang dilibatkan dalam penelitian
ini adalah sejumlah 50 orang.
4.4. Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data
primer, yaitu data yang didapat langsung dari masing-masing sampel
penelitian, meliputi jumlah paritas dan usia menopause sampel.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara langsung kepada sampel
penelitian. Data jumlah paritas dan usia menopause yang akan didapat
berupa data diskrit.
Rangkaian proses penelitian telah mendapat persetujuan etik dari
4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data yang telah terkumpul dari hasil wawancara akan ditabulasi untuk kemudian diolah lebih lanjut dengan menggunakan program Statistic
Package for Social Science (SPSS).
Data kemudian dianalisis melalui perhitungan statistik untuk
melakukan uji hipotesis dengan metode uji Korelasi Pearson dan Regresi
Linier. Metode statistik ini dipilih karena baik variabel bebas (jumlah
paritas) maupun variabel terikat (usia menopause) merupakan data
berskala numerik (Tumbuleka, 2008).
Analisis data diawali dengan membuat suatu diagram tebar (scatter
plot) guna melihat bagaimana pola hubungan antara kedua variabel
numerik tersebut. Data jumlah paritas ditampilkan pada sumbu X (aksis),
sementara data usia menopause disajikan pada sumbu Y (ordinat)
sedemikian sehingga setiap pengamatan diwakili oleh satu titik.
Setelah didapatkan gambaran pola hubungan kedua variabel,
analisis dilanjutkan dengan menguji kekuatan hubungan antara jumlah
paritas dengan usia menopause yang dinyatakan dengan koefisien korelasi
Pearson (r). Nilai r terletak antara 0 sampai 1 dengan kemaknaan tersendiri
sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.1. Interpretasi tingkat hubungan koefisien korelasi (r) Interval Koefisien Tingkat Hubungan
Dengan menggunakan bantuan program SPSS akan didapatkan
p < 0,05 dinilai bermakna atau dengan kata lain ada hubungan antara
jumlah paritas dengan usia menopause.
Dari koefisien korelasi (r) yang didapat, akan dianalisis lebih lanjut
ketergantungan satu variabel dengan variabel lainnya melalui analisis
regresi linier sedemikian sehingga didapatkan suatu persamaan berbentuk:
y = a + bx
dimana:
y = usia menopause
a = konstanta
b = koefisien variabel bebas
x = jumlah paritas
Dengan demikian, dapat diketahui besarnya perubahan variabel y
(usia menopause) bila variabel x (jumlah paritas) berubah sebesar satu
satuan, yang dalam hal ini adalah satu kali paritas.
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Tanjung Selamat, Kecamatan Medan Tuntungan, Kota Medan dan dilaksanakan selama 3 bulan,
terhitung dari bulan Juni hingga Agustus 2010. Secara geografis, luas
kelurahan ini berkisar 3 km2 dan memiliki batas-batas sebagai berikut:
Utara : berbatasan dengan Kelurahan Asam Kumbang, Medan Selayang
Timur : berbatasan dengan Kelurahan Tanjung Sari, Medan Selayang
Selatan : berbatasan dengan Kelurahan Namo Gajah, Medan Tuntungan
Barat : berbatasan dengan Sungai Belawan
Secara epidemiologis, tidak ada data-data yang menunjukkan
bahwa kelurahan ini tercatat sebagai daerah endemis suatu penyakit
menular tertentu, terlebih lagi penyakit-penyakit yang dapat
mempengaruhi variabel yang akan diukur dalam penelitian ini, yaitu
jumlah paritas dan usia menopause. Secara umum, tidak dijumpai
faktor-faktor tertentu dari lokasi penelitian ini yang mempengaruhi kedua
variabel penelitian.
Data demografis terakhir di Kelurahan Tanjung Selamat pada
tahun 2009 menunjukkan bahwa sejumlah 8700 jiwa tercatat sebagai
penduduk yang bertempat tinggal di kelurahan ini dimana 5701 jiwa
(65,53%) adalah wanita dan selebihnya, yaitu sekitar 34,47% adalah kaum
pria. Beberapa suku yang cukup banyak dijumpai di daerah ini diantaranya
adalah suku Melayu (43,68%), Karo (22,7%), Batak (12,9%), Jawa
(7,2%), dan suku-suku lain yang kesemuanya masih tergolong dalam ras
Mongoloid sehingga dianggap tidak turut mempengaruhi variabel dalam
5.1.2. Karakteristik Individu
Yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah wanita dalam rentang usia 40-60 tahun yang telah memasuki usia menopause dan
bertempat tinggal di Kelurahan Tanjung Selamat, Kota Medan. Sejumlah
50 orang responden bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini
dengan karakteristik sebagai berikut:
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa mayoritas responden penelitian
berada pada rentang umur 50 – 55 tahun saat dilakukan pengambilan data
penelitian.
Distribusi jumlah paritas menunjukkan bahwa sebanyak 4%
responden tergolong ke dalam nullipara, 14% responden merupakan
primapara, 58% atau mayoritas responden diklasifikasikan sebagai
multipara, dan selebihnya yaitu 24% responden tergolong ke dalam
grande-multi para (paritas 5 kali atau lebih).
Adapun distribusi responden berdasarkan usia menopause
menunjukkan bahwa sebanyak 14% responden mengalami menopause
terlambat (delayed menopause / menopause tarda), yaitu suatu keadaan
dimana wanita masih mengalami menstruasi di atas usia 52 tahun. Tabel di
atas juga menunjukkan bahwa tidak seorangpun (0%) responden yang
mengalami menopause dini (ea rly menopause) yang merupakan keadaan
dimana wanita telah mengalami menopause sebelum umur 40 tahun
(Shifren, 2007).
5.1.3. Distribusi Responden Berdasarkan Umur
Kesemua wanita yang menjadi sampel dalam penelitian ini berada pada rentang umur 48 hingga 59 tahun saat dilakukan pengumpulan data.
Dengan kata lain, responden dalam penelitian ini lahir pada kisaran tahun
1951 hingga tahun 1962.
Dari hasil penelitian, didapati data bahwa secara umum, terjadi
kecenderungan penurunan jumlah paritas responden yang diikuti dengan
percepatan usia menopause dari tahun ke tahun, sebagaimana dijelaskan
Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur
tahun, terjadi penurunan rata-rata jumlah paritas wanita yang diikuti
dengan percepatan usia menopause.
Hal ini tampak jelas pada variabel usia menopause, dimana
didapati data bahwa wanita yang dilahirkan pada tahun 1952 memasuki
usia menopause pada umur 50,67 tahun. Usia menopause ini semakin lama
semakin cepat sedemikian hingga wanita yang lahir pada tahun 1962 sudah
memasuki usia menopause pada umur 44,34 tahun.
Hal yang sama juga ditemui pada variabel jumlah paritas, dimana
wanita yang lahir pada tahun 1952 memiliki rata-rata jumlah paritas 4 kali.
Sedangkan wanita kelahiran tahun 1962 hanya memiliki rata-rata jumlah
paritas 1,34 kali. Tampak jelas bahwa dari tahun ke tahun, terjadi
5.1.4. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Paritas dan Usia Menopause
Sebelum melakukan analisis uji hipotesis dari kedua variabel
dalam penelitian ini, perlu diketahui perubahan rata-rata usia menopause
untuk setiap perubahan jumlah paritas responden penelitian melalui
distribusi frekuensi responden.
Adapun distribusi responden berdasarkan jumlah paritas dan usia
menopause dalam penelitian ini dapat ditampilkan melalui tabel berikut:
Tabel 5.3. Distribusi Responden
Berdasarkan Jumlah Paritas dan Usia Menopause
Jumlah Paritas Frekuensi
Dari tabel 5.3 dapat diamati bahwa untuk jumlah paritas 1 hingga
5, dijumpai hubungan linier dimana terjadi pola peningkatan rata-rata usia
menopause seiring dengan peningkatan jumlah paritas, yaitu dari 44,7
tahun meningkat hingga 51,75 tahun. Namun, pola ini tidak dijumpai pada
responden yang tergolong ke dalam nullipara (paritas 0) maupun pada
5.1.5. Hasil Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan dari hasil wawancara terhadap 50
orang responden dianalisis melalui uji hipotesis Korelasi Pearson yang
dilanjutkan dengan Regresi Linier.
Analisis data diawali dengan membuat suatu diagram tebar (scatter
plot) guna melihat bagaimana pola hubungan antara kedua variabel
numerik tersebut. Data jumlah paritas ditampilkan pada sumbu X (aksis),
sementara data usia menopause disajikan pada sumbu Y (ordinat),
sedemikian sehingga semua data yang terkumpul dapat ditampilkan
melalui diagram tebar berikut:
Gambar 5.1. Diagram Tebar Hubungan Jumlah Paritas dengan Usia Menopause
Gambar di atas menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang linier
antara variabel bebas (jumlah paritas) dengan variabel terikat (usia
menopause). Dengan demikian data tersebut memungkinkan untuk dapat
Adapun hasil uji Korelasi Pearson pada kedua variabel dalam
penelitian ini dapat dinyatakan melalui tabel berikut:
Tabel 5.4 Analisis Uji Korelasi Pearson Hubungan Jumlah Paritas dengan Usia Menopause
Variabel
Penelitian Rata-rata (Mean) p - value
Pearson
Correlation (r)
Jumlah Paritas 3,4 (SD 1,98) p < 0,001 0,54
Usia Menopause 48,4 (SD 2,704)
Tabel di atas menunjukkan bahwa rata-rata jumlah paritas
responden adalah 3,4 kali dengan standard deviasi (SD) 1,98 dan rata-rata
usia menopause responden adalah 48,4 tahun dengan SD 2,704 tahun.
Penelitian ini menggunakan hipotesis dua arah (two-tailed) dengan
tingkat kepercayaan 95%, yang berarti jika didapati nilai p < 0,05, berarti
hipotesis nol penelitian ditolak.
Setelah dianalisis, dalam penelitian ini didapati nilai p = 0,000 atau
dituliskan sebagai p < 0,001 dengan maksud agar dapat mengestimasi
secara lebih akurat nilai desimal p yang sebenarnya. Karena nilai p yang
diperoleh lebih kecil dari 0,05, maka hipotesis nol dalam penelitian ini
ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara
jumlah paritas dengan usia menopause (p < 0,05).
Untuk menentukan kekuatan hubungan antara kedua variabel
tersebut, dilakukan interpretasi dari nilai koefisien korelasi Pearson
penelitian ini yaitu r = 0,54. Dengan kata lain, besarnya kekuatan
hubungan antara jumlah paritas dengan usia menopause dalam penelitian
Setelah memperoleh nilai r, analisis dilanjutkan dengan uji Regresi
Linier guna mendapatkan pola persamaan linier yang mencerminkan
ketergantungan antara jumlah paritas dengan usia menopause. Untuk nilai
r = 0,54 atau nilai r kuadrat ( r2 ) = 0,288, maka didapati persamaan
sebagai berikut:
y = 45,961 + 0,733x
dimana:
y = usia menopause dalam satuan tahun
x = jumlah paritas
sedemikian sehingga diperoleh persamaan:
Usia Menopause = 45,961 + (0,733 × Jumlah Paritas)
Dengan adanya persamaan ini, maka dapat dilakukan prediksi usia
menopause seorang wanita berdasarkan jumlah paritasnya, sehingga dapat
bermanfaat bagi kalangan wanita untuk menjadi bahan pertimbangan
dalam merencanakan jumlah paritas selama masa reproduksi aktifnya.
5.2. Pembahasan
5.2.1 Pembahasan Penurunan Jumlah Paritas dan Percepatan Usia Menopause
Berdasarkan hasil survei dari Biro Pusat Statistik Indonesia pada
tahun 2000, didapati data bahwa terjadi kecenderungan penurunan
rata-rata jumlah paritas wanita dari tahun ke tahun. Pada tahun 1980, tercatat
bahwa rata-rata wanita Indonesia memiliki jumlah paritas sebanyak 5 kali
paritas. Sedangkan pada tahun 2000, angka ini menurun drastis hingga
hanya 1,8 kali paritas tiap wanita (BPS, 2009).
Hal yang sama dapat dijumpai pada hasil penelitian ini. Wanita
jumlah paritas hingga 4 kali. Hal ini sangat kontradiktif jika dibandingkan
dengan data dari wanita yang lahir sepuluh tahun kemudian. Kelompok
wanita yang lahir pada tahun 1962, yang diasumsikan mencapai masa
reproduksi aktif sekitar tahun 1990-an, ternyata hanya memiliki jumlah
paritas sebanyak 1,34 paritas saja. Tampak jelas bahwa dari tahun ke
tahun, terjadi penurunan rata-rata jumlah paritas wanita yang cukup
signifikan sebagaimana dipaparkan melalui tabel 5.2.
Banyak hal yang turut mempengaruhi munculnya keadaan ini.
Seiring dengan perkembangan zaman, terjadi peningkatan peran wanita
dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini, banyak wanita yang tidak hanya
berperan sebagai ibu rumah tangga saja, tetapi juga menggeluti berbagai
pekerjaan guna meningkatkan taraf perekonomian keluarga. Kesibukan ini
tentunya akan membatasi waktu yang dimiliki oleh seorang wanita untuk
merawat dan membesarkan anaknya. Dampaknya adalah banyak wanita
yang saat ini cenderung membatasi jumlah anaknya, dengan pertimbangan
waktu yang ada dapat dimanfaatkan untuk bekerja.
Selain itu, sosialisasi program Keluarga Berencana juga turut
berpengaruh terhadap penurunan rata-rata jumlah paritas wanita. Saat ini,
banyak keluarga yang telah menyadari efek positif dari program ini,
sehingga memutuskan untuk membatasi jumlah paritas wanita hanya 2 kali
saja. Kesemua hal ini tentunya akan sangat berpengaruh terhadap
penurunan rata-rata jumlah paritas wanita.
Di sisi lain, terjadi sebuah fenomena global yang menunjukkan
percepatan usia menopause pada wanita di berbagai belahan dunia,
termasuk Indonesia. Pada tahun 1995, rata-rata usia menopause wanita
Indonesia adalah 50,5 tahun (Thomas, 2001), Sementara saat ini, hasil
penelitian ini memperlihatkan bahwa rata-rata usia menopause wanita
telah menjadi jauh lebih cepat, yaitu 48,4 tahun, sebagaimana tercantum
dalam tabel 5.4. Bahkan Safitri (2009) menemukan fakta bahwa rata-rata