• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Sensitivitas dan Spesifisitas Kadar CRP dan LED pada Pasien Rheumatoid Artritis di RSUD Dr. Pringadi, Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan Sensitivitas dan Spesifisitas Kadar CRP dan LED pada Pasien Rheumatoid Artritis di RSUD Dr. Pringadi, Medan"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN SENSITIVITAS DAN SPESIFISITAS

KADAR CRP DAN LED PADA PASIEN RHEUMATOID

ARTRITIS DI RSUD. DR. PRINGADI

KARYA TULIS ILMIAH

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh : FATIN ATIQAH

070100279

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PERBANDINGAN SENSITIVITAS DAN SPESIFISITAS

KADAR CRP DAN LED PADA PASIEN RHEUMATOID

ARTRITIS DI RSUD. DR. PRINGADI

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh :

FATIN ATIQAH

070 100 279

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)
(4)

ABSTRAK

Rheumatoid Artritis (RA) adalah penyakit autoimun, yang ditandai oleh sinovitis yang bersifat erosif, mengenai beberapa sendi yang simetris dan kadang-kadang melibatkan banyak sistem. C-Reaktif Protein (CRP) dan Laju Endap Darah (LED) merupakan antara pemeriksaan darah rutin untuk RA dimana keduanya merupakan petanda terjadinya radang dalam tubuh.Bagaimanapun, kedua pemeriksaan ini adalah pemeriksaan non-spesifik dalam menegakkan diagnosa.

Penelitian ini adalah jenis analitik yang menggunakan cross sectional study dimana pengumpulan data dilakukan dengan mengukur kadar CRP dan LED pada darah pasien RA. Selain itu, faktor rheumatoid (RF) jugak diukur sebabgai kelompok control. Pengambilan sampel dilakukan dengan consecutive sampling dengan jumlah sampel 33 orang. Data diambil dari hasil pemeriksaan darah yang telah didiagnosa RA dan disajikan dalam bentuk tabel dan frekuensi. Untuk mengidentifikasikan perbedaan sensitivitas dan spesifisitas dari CRP dan LED, dihitung sensitivitas dan spesifisitas tiap satunya dan persentase hasil dibandingkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan CRP dan LED pada pasien RA.

Berdasarkan hasil hitung ini, didapati pemeriksaan CRP lebih sensitif dan spesifik dibanding LED dimana persentase sensitivitas CRP adalah 89,5% dan spesifisitasnya 50%, manakala persentase sensitivitas LED adalah 60% dan spesifisitasnya 8,3%.

Ini menunjukkan bahwa pemeriksaan CRP lebih bisa diandalkan dalam menegakkan diagnosa penyakit RA dibanding LED. Namun oleh karena CRP bukanlah merupakan penunjang diagnosa yang paling tepat untuk RA, lalu disarankan untuk tetap melakukan kedua-dua pemeriksaan ini agar lebih mudah dalam membantu membuat diagnosa pada masa akan datang.

(5)

ABSTRACT

Rheumatoid Arthritis is an autoimmune disease that can cause erosive synovitis on some simetrical joints and sometimes also involving systemic. C-Reactive Protein (CRP) and Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR) are one of the blood tests that usually done for RA which both of it shown there were inflammatory reponse in the body. However, this tests are not specific in diagnosing.

This is an analytic cross-sectional study design where the data collection was obtained by measuring the level of CRP and ESR from RA's patients' blood. Rheumatoid factor (RF) also being measured as control. Samples was collected using the consecutive sampling technique with total samples 33 patients. All data were taken from RA patients' blood test results and will be shown in tables and frequencies. To see the difference between both of sensitivity and specificity, percentage from each sensitivity and specificity will be calculate and compared. This research was intended to see the differences between CRP's sensitivity and specificity and ESR's.

Based on calculation results, it shows that CRP test are more sensitive and specific compared to ESR whereby the percentage of sensitivity of CRP is 89,5% and specificity 50% while the percentage of ESR's sensitivity is 60% and specificity is 8.3%.

It shows that CRP test are more reliable to be use in diagnosing Rheumatoid Arthritis compared to ESR. However, as non-specific test, CRP test cannot be the exact point in supporting diagnose. So, it was highly advised to do both CRP and ESR test for simplifying in making diagnose in future.

(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dengan izin dan inayah-Nya dapat saya siapkan hasil penelitian

Karya Tulis Ilmiah (KTI) ini dengan jayanya. KTI ini bertajuk, ‘Perbandingan

Sensitivitas dan Spesifisitas Kadar CRP dan LED pada Pasien Rheumatoid Artritis di

RSUD Dr. Pringadi, Medan’. Saya secara langsung telah melakukan penelitian untuk

melihat apakah ada perbedaan sensitivitas dan spesifisitas daripada kadar CRP dan

LED pada pasien Rheumatoid Artritis di RSUD Dr. Pirngadi, Medan. Hasil akhirnya

adalah adakah CRP lebih sensitif dan spesifik dibanding LED atau sebaliknya. Dan

secara keseluruhan diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu

masukan informasi terhadap masyarakat, puskemas dan instansi pendidikan

tempatan.

Dengan ini, sejuta penghargaan saya ucapkan kepada dosen pembimbing saya

dr. Tapisari Tambunan, SpPK(K) yang telah banyak membantu saya dalam mulai

merangka proposal dan menyiapkan hasil penelitian KTI ini dengan baik. Terima

kasih juga buat teman-teman yang sentiasa bersama mulai dari persediaan untuk

menyiapkan proposal penelitian hinggalah ke saat ini masih bersama menyokong dan

membantu dalam setiap urusan. Dan akhirnya, saya berharap hasil penelitian yang

saya dapatkan ini dapat dijadikan informasi berguna dan sebagai sumber rujukan

untuk penelitian akan datang. Sekian, terima kasih. Wassalam.

Medan, 26 November 2010

Disediakan oleh,

(Fatin Atiqah Ahmad Ramli)

(7)

DAFTAR ISI

2.6. Penatalaksanaan Rheumatoid Artritis 13

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 18

(8)

5.1.3 Kadar CRP pada Pasien Rheumatoid Artritis 24

5.1.4 Kadar LED pada Pasien Rheumatoid Artritis 24

5.1.5 Kadar RF pada Pasien Rheumatoid Artritis 25

5.1.6 Hasil Analisis Statistik 26

5.2. Pembahasan 27

5.2.1. Jumlah Pasien Rheumatoid Artritis 27

5.2.2. Kadar CRP pada Pasien Rheumatoid Artritis 27

5.2.3. Kadar LED pada Pasien Rheumatoid Artritis 27

5.2.4 Kadar RF pada Pasien Rheumatoid Artritis 28

5.2.4 Perbandingan Kadar Sensitivitas & Spesifisitas CRP & LED 28

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 29

6.1. Kesimpulan 29

6.2. Saran 29

DAFTAR PUSTAKA 31

(9)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

5.1.2(a) Persentase Jenis Kelamin Pasien Rheumatoid Artritis 23

5.1.3(a) Persentase Kadar CRP Pasien Rheumatoid Artritis 24

5.1.4(a) Persentase Kadar LED Pasien Rheumatoid Artritis 25

5.1.5(a) Persentase Kadar RF Pasien Rheumatoid Artritis 25

5.1.6(a) Sensitivitas dan Spesifisitas Kadar CRP 26

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Daftar Riwayat Hidup

Inform Consent

Surat Kebenaran Penelitian

Surat Ethical Clearance

Hasil Output

(11)

ABSTRAK

Rheumatoid Artritis (RA) adalah penyakit autoimun, yang ditandai oleh sinovitis yang bersifat erosif, mengenai beberapa sendi yang simetris dan kadang-kadang melibatkan banyak sistem. C-Reaktif Protein (CRP) dan Laju Endap Darah (LED) merupakan antara pemeriksaan darah rutin untuk RA dimana keduanya merupakan petanda terjadinya radang dalam tubuh.Bagaimanapun, kedua pemeriksaan ini adalah pemeriksaan non-spesifik dalam menegakkan diagnosa.

Penelitian ini adalah jenis analitik yang menggunakan cross sectional study dimana pengumpulan data dilakukan dengan mengukur kadar CRP dan LED pada darah pasien RA. Selain itu, faktor rheumatoid (RF) jugak diukur sebabgai kelompok control. Pengambilan sampel dilakukan dengan consecutive sampling dengan jumlah sampel 33 orang. Data diambil dari hasil pemeriksaan darah yang telah didiagnosa RA dan disajikan dalam bentuk tabel dan frekuensi. Untuk mengidentifikasikan perbedaan sensitivitas dan spesifisitas dari CRP dan LED, dihitung sensitivitas dan spesifisitas tiap satunya dan persentase hasil dibandingkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan CRP dan LED pada pasien RA.

Berdasarkan hasil hitung ini, didapati pemeriksaan CRP lebih sensitif dan spesifik dibanding LED dimana persentase sensitivitas CRP adalah 89,5% dan spesifisitasnya 50%, manakala persentase sensitivitas LED adalah 60% dan spesifisitasnya 8,3%.

Ini menunjukkan bahwa pemeriksaan CRP lebih bisa diandalkan dalam menegakkan diagnosa penyakit RA dibanding LED. Namun oleh karena CRP bukanlah merupakan penunjang diagnosa yang paling tepat untuk RA, lalu disarankan untuk tetap melakukan kedua-dua pemeriksaan ini agar lebih mudah dalam membantu membuat diagnosa pada masa akan datang.

(12)

ABSTRACT

Rheumatoid Arthritis is an autoimmune disease that can cause erosive synovitis on some simetrical joints and sometimes also involving systemic. C-Reactive Protein (CRP) and Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR) are one of the blood tests that usually done for RA which both of it shown there were inflammatory reponse in the body. However, this tests are not specific in diagnosing.

This is an analytic cross-sectional study design where the data collection was obtained by measuring the level of CRP and ESR from RA's patients' blood. Rheumatoid factor (RF) also being measured as control. Samples was collected using the consecutive sampling technique with total samples 33 patients. All data were taken from RA patients' blood test results and will be shown in tables and frequencies. To see the difference between both of sensitivity and specificity, percentage from each sensitivity and specificity will be calculate and compared. This research was intended to see the differences between CRP's sensitivity and specificity and ESR's.

Based on calculation results, it shows that CRP test are more sensitive and specific compared to ESR whereby the percentage of sensitivity of CRP is 89,5% and specificity 50% while the percentage of ESR's sensitivity is 60% and specificity is 8.3%.

It shows that CRP test are more reliable to be use in diagnosing Rheumatoid Arthritis compared to ESR. However, as non-specific test, CRP test cannot be the exact point in supporting diagnose. So, it was highly advised to do both CRP and ESR test for simplifying in making diagnose in future.

(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Rheumatoid arthritis merupakan suatu penyakit autoimun yang

ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif simetrik yang walaupun terutama

mengenai jaringan persendian, seringkali juga melibatkan organ tubuh lainya.

Penyakit ini melibatkan semua kelompok ras dan etnik dunia (Daud R., 2006).

Ia mempunyai ditribusi seluruh dunia dengan prevalensi 1-2%.

Prevalensi ini meningkat dengan umur, mencapai 5% pada wanita berumur

lebih dari 55 tahun. Mean insidensi di Amerika Serikat adalah 70 per 100,000

per tahun. Walaupun faktor genetik, hormon seks, infeksi dan umur telah

diketahui berpengaruh kuat dalam menentukan pola morbiditas penyakit ini,

hingga etiologi RA yang sebenarnya tetap belum dapat diketahui dengan pasti

.

Protein C-Reaktif (CRP) merupakan salah satu dari beberapa protein

yang sering disebut sebagai protein fase akut dan digunakan untuk memantau

perubahan-perubahan dalam fase inflamasi akut yang dihubungkan dengan

banyak penyakit infeksi dan penyakit autoimun. CRP ditemukan sekitar 70

tahun yang lalu oleh para ilmuwan dengan menyelidiki respons inflammatory

manusia. CRP merupakan uji non-spesifik tetapi keberadaan CRP mendahului

peningkatan LED selama inflamasi dan nekrosis lalu segera kembali ke kadar

normalnya.

Laju endap darah (LED) atau dalam bahasa inggrisnya Erythrocyte

Sedimentation Rate (ESR) merupakan salah satu pemeriksaan rutin untuk

darah. Proses pemeriksaan sedimentasi (pengendapan) darah ini diukur dengan

memasukkan darah kita ke dalam tabung khusus selama satu jam. Makin

banyak sel darah merah yang mengendap maka makin tinggi LED-nya.Tinggi

ringannya nilai pada LED memang sangat dipengaruhi oleh keadaan tubuh

kita, terutama saat terjadi radang. Namun ternyata orang yang anemia, dalam

(14)

pemeriksaan Laju Endap Darah (LED) masih termasuk pemeriksaan

penunjang yang tidak spesifik untuk satu penyakit.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam

penelitian ini adalah "bagaimanakah perbandingan sensitivitas dan spesifisitas

CRP dalam darah pasien Rheumatoid Artritis di RSUD Pirngadi, Medan

dibanding sensitivitas dan spesifisitas LED?".

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui perbedaan sensitivitas dan spesifisitas

pemeriksaan CRP dan LED pada pasien RA di RSUD Pirngadi.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.Mengetahui sensitivitas pemeriksaan CRP dan LED pada pasien

RA di RSUD Pirngadi, Medan.

2.Mengetahui spesifisitas pemeriksaan CRP dan LED pada pasien

RA di RSUD Pirngadi, Medan.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:

a.Dijadikan bahan bacaan dan sumber rujukan umum.

b.Memberikan informasi lebih mendalam tentang kaitan penyakit

Rheumatoid Artritis dengan pemeriksaan darah, terutamanya

CRP dan LED.

c.Memberi saran dan meningkatkan pengetahuan tentang akurasi

(15)

d.Menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan

penelitian.

(16)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Rheumatoid Artritis

Rheumatoid artritis (RA) adalah suatu penyakit kronik, biasanya

ditandai dengan inflamasi di lapisan sendi atau disebut juga sinovium.Ia bisa

menyebabkan kerusakan sendi jangka panjang, nyeri kronik, kehilangan fungsi

dan kecacatan. ( American Rheumatism Association )

Rheumatoid artritis adalah suatu penyakit sistemik kronik yang

melibatkan persendian, jaringan penghubung, otot, tendon, dan jaringan

fibrosa. Ia biasanya menyerang pada kelompok dewasa produktif, umur antara

20 hingga 40, dan merupakan kondisi kecacatan kronik yang biasanya

menyebabkan rasa nyeri dan deformitas. ( World Health Organization , WHO

)

2.2 Epidemiologi Rheumatoid Artritis

Studi deskriptif epidemiologi RA menunjukkan prevalensi populasi

0,5% - 1% dan insiden tahunan yang sangat variasi (12-1,200 per 100,000 per

populasi) tergantung jenis kelamin, ras, etnik dan tahun. Prevalensinya antara

0,3% dan 1% dan lebih sering pada wanita di sesebuah negara

membangun.Dalam jangka masa 10 tahun belakangan, kurang lebih 50%

pasein di negara-negara membangun tidak bisa memenuhi tanggungjawab

sosial seperti bekerja sepenuh masa.

Di Indonesia,prevalensi RA dikaji secara survey rumah-ke-rumah

dengan nyeri muskuloskeletal dalam total populasi pedalaman 4683 dan kota

1071 subjek, umur 15 tahun dan ke atas di Jawa Tengah.Subjek-subjek yang

diidentifikasi mengalami nyeri sendi periferal lebih dari 6 minggu durasi (82

pria dan 129 wanita) di periksa oleh rheumatologis dan tes serologi dan x-ray

di lakukan.Prevalensi untuk RA definit mengikut criteria American

Rheumatism Association (ARA) adalah 0,2% di pedalaman dan 0,3% di

(17)

Tingkat keparahan dari kasus-kasus yang di diagnosa di indikasi oleh

klasifikasi fungsional Steinbroker dari gred dua dan tiga, dan arthritis erosif

pada x-ray tangan,gred 2-4.Kadar prevalensi penyakit RA yang rendah

dibanding dengan yang dijumpai di negara-negara membangun adalah kerana

perbedaan struktur umur dari populasi dan ekspetansi hidup yang lebih

rendah.Selain itu, dijumpai juga Evidence of High Mortality pada penyakit

ini.Ini disebabkan oleh dampak dari kemerosotan sosio-ekonomi, penggunaan

kortikosteroid dosis tinggi yang intermiten dan infeksi kronis dalam

komunitas yang sering wujud.Faktor-faktor ini harus di ambil kira saat menilai

prevalensi RA yang rendah dalam survey di negara-negara membangun

lainnya ( Darmawan J., 2002).

2.3. Manifestasi Klinis Rheumatoid Artritis

Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita

artritis rheumatoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat

yang bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis yang

sangat bervariasi.

1. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan

menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya.

2. Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi di

tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs distal.

Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang.

3. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam: dapat bersifat generalisata

tatapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan

kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung selama

beberapa menit dan selalu kurang dari 1 jam.

4. Artritis erosif merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologik.

Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang dan ini dapat

(18)

5. Deformitas: kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan

perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi

metakarpofalangeal, deformitas boutonniere dan leher angsa adalah beberapa

deformitas tangan yang sering dijumpai pada penderita. Pada kaki terdapat

protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dari subluksasi

metatarsal. Sendi-sendi besar juga dapat terserang dan mengalami

pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerak ekstensi.

6. Nodula-nodula reumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada

sekitar sepertiga orang dewasa penderita arthritis rheumatoid. Lokasi yang

paling sering dari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku ) atau di

sepanjang permukaan ekstensor dari lengan; walaupun demikian

nodula ini dapat juga timbul pada tempat-tempat lainnya. Adanya

nodula-nodula ini biasanya merupakan suatu petunjuk suatu penyakit yang aktif dan

lebih berat.

7. Manifestasi ekstra-artikular: artritis reumatoid juga dapat menyerang

organ-organ lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata, dan

pembuluh darah dapat rusak (Daud R. 2002).

2.4 Kriteria Diagnosa Rheumatoid Artritis

Menurut American Rheumatism Association, 1987 diagnosa arthritis

reumatoid dapat dikatakan positif apabila sekurang-kurangnya empat dari

kriteria yang sekurang-kurangnya sudah berlangsung selama 6 minggu.

Kriteria tersebut adalah:

1.Kekakuan dipagi hari lamanya paling tidak 1 jam

2.Arthritis pada tiga atau lebih sendi

3.Arthritis sendi-sendi jari tangan

4.Arthritis yang simetris

(19)

6.Faktor rheumatoid dalam serum

7.Perubahan-perubahan radiologik, seperti:

a.Pembengkakan jaringan lunak

b.Erosi

c.Osteoporosis artikular

2.5 Pemeriksaan Laboratorium

Berikut adalah pemeriksaan laboratorium yang bisa dilakukan untuk

membantu menegakkan diagnosa RA.

1.Pemeriksaan cairan synovial

a. Warna kuning sampai putih dengan derajat kekeruhan yang

menggambarkan peningkatan jumlah sel darah putih.

b. Leukosit 5.000 – 50.000/mm3, menggambarkan adanya proses

inflamasi yang didominasi oleh sel neutrophil (65%).

c. Rheumatoid faktor positif, kadarnya lebih tinggi dari serum dan

berbanding terbalik dengan cairan sinovium.

2.Pemeriksaan kadar sero-imunologi

a.Tes faktor reuma biasanya positif pada lebih dari 75% pasien artritis

rheumatoid terutama bila masih aktif. Sisanya dapat dijumpai pada

pasien lepra, tuberkulosis paru, sirosis hepatis, hepatitis infeksiosa,

lues, endokarditis bakterialis, penyakit kolagen, dan sarkoidosis.

b. Anti CCP antibody positif telah dapat ditemukan pada arthritis

(20)

3.Pemeriksaan darah tepi

a.Leukosit : normal atau meningkat sedikit

b.Anemia normositik atau mikrositik, tipe penyakit kronis.

c. Trombosit meningkat.

d. Kadar albumin serum turun dan globulin naik.

e. Protein C-reaktif biasanya positif.

f. LED meningkat.

2.5.1 Protein C-Reaktif (CRP)

Protein C-reactif (C-reactive protein, CRP) dibuat oleh hati dan dikeluarkan

ke dalam aliran darah. CRP beredar dalam darah selama 6-10 jam setelah proses

inflamasi akut dan destruksi jaringan. Kadarnya memuncak dalam 48-72 jam. Seperti

halnya uji laju endap darah (erithrocyte sedimentation rate, ESR), CRP merupakan

uji non-spesifik tetapi keberadaan CRP mendahului peningkatan LED selama

inflamasi dan nekrosis lalu segera kembali ke kadar normalnya.

CRP merupakan salah satu dari beberapa protein yang sering disebut

sebagai protein fase akut dan digunakan untuk memantau

perubahan-perubahan dalam fase inflamasi akut yang dihubungkan dengan banyak

penyakit infeksi dan penyakit autoimun. Beberapa keadaan dimana CRP dapat

dijumpai meningkat adalah radang sendi ( rheumatoid arthritis), demam

rematik, kanker payudara, radang usus, penyakit radang panggung ( pelvic

inflammatory disease, PID), penyakit Hodgkin, SLE, dan infeksi bakterial.

CRP juga meningkat pada kehamilan trimester terakhir, pemakaian alat

kontrasepsi intrauterus dan pengaruh obat kontrasepsi oral.

Tes CRP seringkali dilakukan berulang-ulang untuk mengevaluasi dan

menentukan apakah pengobatan yang dilakukan efektif. CRP juga digunakan

untuk memantau penyembuhan luka dan untuk memantau pasien paska bedah

(21)

Tes CRP dapat dilakukan secara manual menggunakan metode

aglutinasi atau metode lain yang lebih maju, misalnya sandwich imunometri.

Tes aglutinasi dilakukan dengan menambahkan partikel latex yang dilapisi

antibodi anti CRP pada serum atau plasma penderita sehingga akan terjadi

aglutinasi. Untuk menentukan titer CRP, serum atau plasma penderita

diencerkan dengan buffer glisin dengan pengenceran bertingkat (1/2, 1/4, 1/8,

1/16 dan seterusnya) lalu direaksikan dengan latex. Titer CRP adalah

pengenceran tertinggi yang masih terjadi aglutinasi.

Tes sandwich imunometri dilakukan dengan mengukur intensitas

warna menggunakan Nycocard Reader. Berturut-turut sampel (serum, plasma,

whole blood) dan konjugat diteteskan pada membran tes yang dilapisi antibodi

mononklonal spesifik CRP. CRP dalam sampel tangkap oleh antibodi yang

terikat pada konjugat gold colloidal particle. Konjugat bebas dicuci dengan

larutan pencuci (washing solution). Jika terdapat CRP dalam sampel pada

level patologis, maka akan terbentuk warna merah-coklat pada area tes dengan

intensitas warna yang proporsional terhadap kadar. Intensitas warna diukur

secara kuantitatif menggunakan NycoCard readerII.

Nilai rujukan normal CRP dengan metode sandwich imunometri

adalah < 5 mg/L. Nilai rujukan ini tentu akan berbeda di setiap laboratorium

tergantung reagen dan metode yang digunakan ( Laboratorium Kesehatan ,

2009).

2.5.2 Laju Endap Darah (LED)

Laju endap darah (erithrocyte sedimentation rate, ESR) yang juga

disebut laju sedimentasi eritrosit adalah kecepatan sedimentasi eritrosit dalam

darah yang belum membeku, dengan satuan mm/jam. LED merupakan uji

yang tidak spesifik. LED dijumpai meningkat selama proses inflamasi akut,

infeksi akut dan kronis, kerusakan jaringan (nekrosis), penyakit kolagen,

rheumatoid, malignansi, dan kondisi stress fisiologis (misalnya kehamilan).

Sebagian ahli hematologi, LED tidak andal karena tidak spesifik, dan

dipengaruhi oleh faktor fisiologis yang menyebabkan temuan tidak akurat.

Pemeriksaan LED dipertimbangkan kurang spesifik daripada CRP

(22)

dan lebih cepat juga kembali ke kadar normal daripada LED. Namun,

beberapa dokter masih mengharuskan uji LED bila ingin membuat

perhitungan kasar mengenai proses penyakit, dan bermanfaat untuk mengikuti

perjalanan penyakit. Jika nilai LED meningkat, maka uji laboratorium lain

harus dilakukan untuk mengidentifikasi masalah klinis yangmuncul.

Metode yang digunakan untuk pemeriksaan LED ada dua, yaitu

metode Wintrobe dan Westergreen. Hasil pemeriksaan LED dengan

menggunakan kedua metode tersebut sebenarnya tidak seberapa selisihnya jika

nilai LED masih dalam batas normal. Tetapi jika nilai LED meningkat, maka

hasil pemeriksaan dengan metode Wintrobe kurang menyakinkan. Dengan

metode Westergreen bisa didapat nilai yang lebih tinggi, hal itu disebabkan

panjang pipet Westergreen yang dua kali panjang pipet Wintrobe. Kenyataan

inilah yang menyebabkan para klinisi lebih menyukai metode Westergreen

daripada metode Wintrobe. Selain itu, Internasional Committee for

Standardization in Hematology (ICSH) merekomendasikan untuk

menggunakan metode Westergreen.

LED berlangsung 3 tahap, tahap ke-1 penyusunan letak eritrosit

(rouleaux formation) dimana kecepatan sedimentasi sangat sedikit, tahap ke-2

kecepatan sedimetasi agak cepat, dan tahap ke-3 kecepatan sedimentasi sangat

rendah. Prosedur pemeriksaan adalah seperti berikut :

1. Metode Westergreen

o Untuk melakukan pemeriksaan LED cara Westergreen diperlukan

sampel darah citrat 4 : 1 (4 bagian darah vena + 1 bagian natrium

sitrat 3,2 % ) atau darah EDTA yang diencerkan dengan NaCl 0.85

% 4 : 1 (4 bagian darah EDTA + 1 bagian NaCl 0.85%).

Homogenisasi sampel sebelum diperiksa.

o Sampel darah yang telah diencerkan tersebut kemudian

dimasukkan ke dalam tabung Westergreen sampai tanda/skala 0.

o Tabung diletakkan pada rak dengan posisi tegak lurus, jauhkan dari

getaran maupun sinar matahari langsung.

o Biarkan tepat 1 jam dan catatlah berapa mm penurunan eritrosit.

(23)

o Sampel yang digunakan berupa darah EDTA atau darah

Amonium-kalium oksalat. Homogenisasi sampel sebelum diperiksa.

o Sampel dimasukkan ke dalam tabung Wintrobe menggunakan pipet

Pasteur sampai tanda 0.

o Letakkan tabung dengan posisi tegak lurus.

o Biarkan tepat 1 jam dan catatlah berapa mm menurunnya eritrosit.

Nilai Rujukan

1. Metode Westergreen :

o Pria : 0 - 15 mm/jam

o Wanita : 0 - 20 mm/jam

2. Metode Wintrobe :

o Pria : 0 - 9 mm/jam

o Wanita 0 - 15 mm/jam

Beberapa keadaan atau penyakit yang berpengaruh dalam peningkatan dan

penurunan LED adalah :

• Penurunan kadar : polisitemia vera, CHF, anemia, mononukleus infeksiosa, defisiensi faktor V, artritis degeneratif, angina pektoris. Bayi

baru lahir (penurunan fibrinogen), gula darah tinggi, albumin serum,

fosfolipid serum, penurunan suhu. Pengaruh obat : Etambutol

(myambutol), kinin, salisilat (aspirin), kortison, prednison.

• Peningkatan kadar : artiritis reumatoid, demam rematik, MCI akut, kanker (lambung, kolon, payudara, hati, ginjal), penyakit Hodgkin, mieloma

multipel, limfosarkoma, endokarditis bakterial, gout, hepatitis, sirosis hati,

inflamasi panggul akut, sifilis, tuberkulosis, glomerulonefritis, penyakit

hemolitik pada bayi baru lahir (eritroblastosis fetalis), SLE, kehamilan

(trimester kedua dan ketiga), menstruasi, keberadan kolesterol, fibrinogen,

globulin, peningkatan suhu. Pengaruh obat : Dextran, metildopa

(Aldomet), metilsergid (Sansert), penisilamin (Cuprimine), prokainamid

(Pronestyl), teofilin, kontrasepsi oral, vitamin A. ( Laboratorium

(24)

2.6 Tatalaksana Rheumatoid Artritis

Walaupun hingga kini belum berhasil didapatkan suatu cara

pencegahan dan pengobatan RA yang sempurna, saat ini pengobatan pasa

pasien RA ditujukan untuk :

• Menghilangkan gejala inflamasi aktif baik lokal maupun sistemik

• Mencegah terjadinya destruksi jaringan

• Mencegah terjadinya deformitas dan memelihara fungsi persendian agar tetap dalam keadaan baik.

• Mengembalikan kelainan fungsi organ dan persendian yang terlibat agar sedapat mungkin menjadi normal kembali.

2.6.1 Pengobatan farmakologik

Setelah diagnosis RA dapat ditegakkan, pendekatan pertama

yang harus dilakukan adalah segera berusaha untuk membina hubungan yang

baik antara pasien dengan keluarganya dengan dokter atau tim pengobatan

yang merawatnya. Tanpa hubungan yang baik ini agaknya akan sukar untuk

dapat memelihara ketaatan pasien untuk tetap berobat dalam suatu jangka

waktu yang cukup lama.

1. Pendidikan pada pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan yang

akan dilakukan sehingga terjalin hubungan baik dan terjamin ketaatan pasien

untuk tetap berobat dalam jangka waktu yang lama.

2. OAINS diberikan sejak dini untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi

yang sering dijumpai. OAINS yang dapat diberikan:

a. Aspirin

Pasien dibawah 50 tahun dapat mulai dengan dosis 3-4 x 1 g/hari,

kemudian dinaikkan 0,3-0,6 g per minggu sampai terjadi perbaikan

(25)

b. Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak, dan sebagainya.

3. DMARD digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses

destruksi akibat artritis reumatoid. Mula khasiatnya baru terlihat setelah 3-12

bulan kemudian. Setelah 2-5 tahun, maka efektivitasnya dalam menekan

proses reumatoid akan berkurang. Keputusan penggunaannya bergantung pada

pertimbangan risiko manfaat oleh dokter. Umumnya segera diberikan setelah

diagnosis artritis reumatoid ditegakkan, atau bila respon OAINS tidak baik,

meski masih dalam status tersangka.

Jenis-jenis yang digunakan adalah:

a. Klorokuin, paling banyak digunakan karena harganya terjangkau, namun

efektivitasnya lebih rendah dibandingkan dengan yang lain. Dosis anjuran

klorokuin fosfat 250 mg/hari hidrosiklorokuin 400 mg/hari. Efek samping

bergantung pada dosis harian, berupa penurunan ketajaman penglihatan,

dermatitis makulopapular, nausea, diare, dan anemia hemolitik.

b. Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalut enterik digunakan dalam dosis 1 x

500 mg/hari, ditingkatkan 500 mg per minggu, sampai mencapai dosis 4 x 500

mg. Setelah remisi tercapai, dosis dapat diturunkan hingga 1 g/hari untuk

dipakai dalam jangka panjang sampai tercapai remisi sempurna. Jika dalam

waktu 3 bulan tidak terlihat khasiatnya, obat ini dihentikan dan diganti dengan

yang lain, atau dikombinasi. Efek sampingnya nausea, muntah, dan dyspepsia.

c. D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat. Digunakan

dalam dosis 250-300 mg/hari, kemudian dosis ditingkatkan setiap 2-4 minggu

sebesar 250-300 mg/hari untuk mencapai dosis total 4x 250-300 mg/hari. Efek

samping antara lain ruam kulit urtikaria atau mobiliformis, stomatitis, dan

pemfigus.

d. Garam emas adalah gold standard bagi DMARD. Khasiatnya tidak

diragukan lagi meski sering timbul efek samping. Auro sodium tiomalat

(AST) diberikan intramuskular, dimulai dengan dosis percobaan pertama

(26)

Seminggu kemudian diberikan dosis penuh 50 mg/minggu selama 20 minggu.

Dapat dilanjutkan dengan dosis tambahan sebesar 50 mg tiap 2 minggu sampai

3 bulan. Jika diperlukan, dapat diberikan dosis 50 mg setiap 3 minggu sampai

keadaan remisi tercapai. Efek samping berupa pruritis, stomatitis, proteinuria,

trombositopenia, dan aplasia sumsum tulang. Jenis yang lain adalah auranofin

yang diberikan dalam dosis 2 x 3 mg. Efek samping lebih jarang dijumpai,

pada awal sering ditemukan diare yang dapat diatasi dengan penurunan dosis.

e. Obat imunosupresif atau imunoregulator.

Metotreksat sangat mudah digunakan dan waktu mula kerjanya relatif pendek

dibandingkan dengan yang lain. Dosis dimulai 5-7,5 mg setiap minggu. Bila

dalam 4 bulan tidak menunjukkan perbaikan, dosis harus ditingkatkan. Dosis

jarang melebihi 20 mg/minggu. Efek samping jarang ditemukan. Penggunaan

siklosporin untuk artritis reumatoid masih dalam penelitian.

f. Kortikosteroid hanya dipakai untuk pengobatan artritis reumatoid dengan

komplikasi berat dan mengancam jiwa, seperti vaskulitis, karena obat ini

memiliki efek samping yang sangat berat. Dalam dosis rendah (seperti

prednison 5-7,5 mg satu kali sehari) sangat bermanfaat sebagai bridging

therapy dalam mengatasi sinovitis sebelum DMARD mulai bekerja, yang

kemudian dihentikan secara bertahap. Dapat diberikan suntikan kortikosteroid

intraartikular jika terdapat peradangan yang berat. Sebelumnya, infeksi harus

disingkirkan terlebih dahulu

2.6.2 Operasi

Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta

terdapat alasan yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan pembedahan.

Jenis pengobatan ini pada pasien RA umumnya bersifat ortopedik, misalnya

sinovektoni, artrodesis, total hip replacement, memperbaiki deviasi ulnar, dan

sebagainya.

(27)

Rehabilitasi merupakan tindakan untuk mengembalikan tingkat

kemampuan pasien RA dengan cara:

· Mengurangi rasa nyeri

· Mencegah terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak sendi

· Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot

· Mencegah terjadinya deformitas

· Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri

· Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung kepada orang

lain.

Rehabilitasi dilaksanakan dengan berbagai cara antara lain dengan

mengistirahatkan sendi yang terlibat, latihan serta dengan menggunakan

modalitas terapi fisis seperti pemanasan, pendinginan, peningkatan ambang

rasa nyeri dengan arus listrik. Manfaat terapi fisis dalam pengobatan RA telah

ternyata terbukti dan saat ini merupakan salah satu bagian yang tidak

(28)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Konsep

Pada penelitian ini kerangka konsep perbandingan kadar CRP dan LED pada

pasien Rheumatoid Artritis di RSUD Pirngadi diuraikan berdasarkan bagan dibawah :

3.2 Definisi Operasional

1. Pasien Rheumatoid Artritis (RA)

Pasien Rheumatoid Artritis yang telah di diagnosa oleh SMF Penyakit Dalam

RSUD Pirngadi, Medan.

2. C-Reaktif Protein (CRP)

Kadar CRP diambil dari hasil laboratorium pemeriksaan darah pasien RA di

RSUD Pirngadi dan ditentukan ada tidaknya peningkatan berdasarkan :

Normal Tidak normal

Kualitatif Negatif Positif

3. Laju Endap Darah (LED)

Kadar LED diambil dari hasil laboratorium pemeriksaan darah pasien RA di

RSUD Pirngadi dan di tentukan ada tidaknya peningkatan berdasarkan : Pasien Rheumatoid Artritis di RSUD

Hitung sensitivitas dan spesifisitas CRP dan LED

LED RF

(29)

Pria Wanita

Kualitatif 0-10 mm/jam <15 mm/jam

Nilai skor 0 : Normal

1 : Tidak normal (Pria:>10mm/jam; Wanita:<15mm/jam )

4. Faktor Rheumatoid (RF)

Kadar RF diambil dari hasil laboratorium pemeriksaan darah pasien RA di

RSUD Pirngadi dan ditentukan ada tidaknya peningkatan berdasarkan :

Normal Tidak normal

Kualitatif Negatif Positif

5. Hitung sensitivitas dan spesifisitas CRP dan LED

Kadar CRP dan LED yang diperoleh dari hasil pemeriksaan darah pasien RA

dimasukkan ke dalam data menggunakan program komputer SPSS 13.0 dan kemudian

di hitung sensitivitas dan spesifisitas tiap satunya. Kemudian hasil hitung di uji

dengan menggunakan tehnik uji hipótesis untuk mengetahui sama ada hipótesis nol

ditolak atau gagal ditolak.

Cara ukur dalam penelitian ini adalah dengan melakukan pemeriksaan CRP, LED dan

RF dalam darah pasien RA.

Skala ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala numerik.

Alat ukurnya adalah dengan menggunakan pemeriksaan laboratorium.

Hasilnya adalah perbedaan sensitivitas dan spesifisitas kadar CRP dan LED pada

pasein RA di RSUD Pirngadi.

3.3 Hipotesis

Hipotesis nol : Tiada perbedaan pada kadar sensitivitas dan spesifisitas CRP dan

(30)

Hipotesis kerja : CRP lebih sensitif dan spesifik di banding LED untuk digunakan

(31)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah analitik dengan desain cross

sectional di mana data dikumpulkan dari hasil pemeriksaan darah penderita

Rheumatoid Artritis yang mendapatkan rawatan di RSUD Pirngadi, Medan.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu penelitian dijalankan selama 5 bulan yaitu di antara bulan Juli

hingga November 2010.

Tempat penelitian yang dipilih adalah Poliklinik Rhematik Bagian

Penyakit Dalam RSUD Pirngadi, Medan.

4.3 Populasi dan Sampel

Populasi merupakan pasien yang didiagnosa menghidap Rheumatoid

Artritis oleh SMF Penyakit Dalam dan mendapatkan perawatan di RSUD

Pirngadi,Medan.Sampel penelitian adalah populasi yang memenuhi kriteria

penelitian dan besar sampel ialah total pasien RA yaitu 33 orang.

4.3.1 Cara Pemilihan Sampel

Penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik

Consecutive Sampling yaitu semua subyek yang datang dan memenuhi kriteria

pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subyek yang diperlukan

terpenuhi (Sudigdo, 2008). Sampel diambil secara kriteria inklusi dan eksklusi

yaitu sebagai berikut:

Kriteria inklusinya adalah pasien Rheumatoid Artritis yang telah didiagnosa

oleh SMF Penyakit Dalam RSUD Pirngadi dan pasien harus setuju untuk

mengikuti penelitian ini.

Kriteria esklusifnya adalah ibu hamil,lansia,pasien infeksi,pasien anemia,pasien

SLE,menstruasi dan sedang dalam pemakaian obat-obat seperti kontrasepsi oral,

(32)

4.4 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan secara cross sectional di mana data

diambil dari hasil pemeriksaan darah pasien RA yang mendapatkan perawatan

di RSUD Pirngadi, Medan. Pasien yang telah di diagnosa menderita RA akan

di ambil darahnya untuk pemeriksaan CRP, LED dan Rhemutaoid Faktor

sebagai kelompok kontrol selepas diberi inform consent.

4.5 Pengolahan dan Analisa Data

Data dari setiap pengukuran kadar CRP dan LED pada pasien RA akan dicatat

dan disajikan dalam bentuk table. Nilai kemudian akan dinilai dan di banding

dengan menggunakan program computer SPSS 13.0 (statistical product and

service solution). Dari analisis ini akan diperoleh perbandingan sensitivitas dan

(33)

BAB 5

HASIL PENELITIAN 5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan merupakan rumah

sakit milik pemerintah. Ia terletak di antara Jalan Prof. HM Yamin SH, Jalan

Perintis Kemerdekaan dan Jalan HM Thamrin. Sesuai dengan Surat

Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara Nomor 150

tahun 1979 tanggal 25 Juni 1979, Rumah Sakit Umum Pusat Propinsi

Sumatera Utara Medan yang belum mempunyai nama, diberi nama Rumah

Sakit Dr. Pirngadi, Medan. Proses pemberian nama Rumah Sakit Dr. Pirngadi

Medan adalah melalui Surat Menteri Kesehatan RI No. 220/Menkes/VII/1978

tanggal 4 Juli 1978 yang ditujukan kepada Ketua DPRD Tk. I SU dan

Gubernur Kepala Daerah Tk. I Sumatera Utara, tentang Usul pemberian nama

Rumah Sakit Umum Medan menjadi Rumah Sakit Dokter Pirngadi Medan.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden

Responden yang didapatkan adalah sebanyak 33 orang yang

didiagnosa menghidapi Rheumatoid Artrits oleh SMF Penyakit Dalam RSUD

Dr, Pirngadi, Medan. Data diambil sesuai yang tercatat di dalam jadwal

tersebut.

Tabel 5.1.2(a) Persentase Jenis Kelamin Pasien yang Didiagnosa Menghidapi Penyakit Rheumatoid Artritis .

No. Jenis Kelamin N %

1 Laki-laki 15 45.5

2 Perempuan 18 54.5

Total 33 100

Berdasarkan Tabel 5.1 (a) hasil penelitian yang telah dijalankan, 15 orang laki-laki

dan 18 orang perempuan yang didiagnosa menghidapi Rheumatoid Artritis (RA)

antara bulan Juli hingga November 2010. Persentase perempuan yang menghidap RA

lebih tinggi dibanding laki-laki iaitu sebanyak 18 orang (54,5%), laki-lakinya seramai

(34)

5.1.3 Kadar C-Reaktif Protein (CRP) pada Pasien Rheumatoid Artritis

Kadar CRP dari 33 pasien yang telah didiagnosa Rheumatoid Artritis diperiksa

untuk dinilai sensitivitas dan spesifisitasnya. CRP di nilai secara kualitatif sehingga

menghasilkan hasil pemeriksaan seperti di bawah ini.

Tabel 5.1.3(a) Persentase Kadar C-Reaktif Protein (CRP) pada Pasien Rhematoid Artritis

No. Kadar CRP N %

1 Positif 22 66.7

2 Negatif 11 33.3

Total 33 100

Berdasarkan Tabel 5.1.3 (a) hasil penelitian yang telah dijalankan, kadar C-Reaktif

Protein (CRP) pada pasien RA yang di ukur secara kualitatif menghasilkan persentase

pasien yang mempunyai kadar CRP positif adalah 2 kali dibanding negatif yaitu

sebanyak 22 orang (66,7%), negatifnya sebanyak 11 orang (33,3%).

5.1.4 Kadar Laju Endap Darah (LED) pada Pasien Rheumatoid Artritis

Kadar LED dari 33 pasien yang telah didiagnosa Rheumatoid Artritis

diperiksa untuk dinilai sensitivitas dan spesifisitasnya. LED di nilai secara kuantitatif,

dan mengikut jenis kelamin dimana pada laki-laki nilai normal LED adalah 0-10

mm/jam dan pada perempuan <15mm/jam. Hasil pemeriksaan adalah seperti di

bawah ini.

(35)

Berdasarkan Tabel 5.1.4 (a) hasil penelitian yang telah dijalankan, kadar LED pada

pasien RA, 25 orang (75,8%) daripadanya mengalami peningkatan sementara hanya 8

orang (24,2%) dalam batas normal. Dari 33 orang pasien, rata-rata mengalami

peningkatan LED pada pemeriksaan darahnya.

5.1.5 Kadar Rheumatoid Faktor (RF) pada Pasien Rheumatoid Artritis

Kadar RF dari 33 pasien yang telah didiagnosa Rheumatoid Artritis diperiksa untuk

digunakan sebagai faktor kontrol. RF di nilai secara kualitatif, dan hasil pemeriksaan

adalah seperti di bawah ini.

Tabel 5.1.5(a) Persentase Kadar Rheumatoid Faktor (RF) pada Pasien Rheumatoid Artiris

No. Kadar RF N %

1 Positif 24 72.7

2 Negatif 9 27.3

Total 33 100

Berdasarkan Tabel 5.1.5 (a) hasil penelitian yang telah dijalankan, kadar RF pada

pasien RA, 24 orang (72.7%) daripadanya adalh positif sementara hanya 9 orang

(27,3%) dalam batas normal.

5.1.6. Hasil Analisis Statistik

Dalam menghitung sensitivitas dan spesifisitas CRP dengan Rheumatoid

Factor (RF) sebagai kontrol, jumlah pasien mengikut hasil pemeriksaaan CRP dan

(36)

5.1.6(a) Sensitivitas dan Spesifisitas Kadar CRP

Sensitivitas = a/(a+c) Spesifisitas = d/(b+d)

Dengan menggunakan rumus a/(a+c) didapatkan nilai sensitivitas CRP, yaitu 89,5%

dan d/(b+d) didapatkan nilai spesifisitas CRP yaitu 50 %.

Dalam menghitung sensitivitas dan spesifisitas LED pula, jumlah pasien

mengikut hasil pemeriksaaan CRP dan LED-nya disusun di dalam jadual seperti

berikut ini:

5.1.6(b) Sensitivitas dan Spesifisitas Kadar LED

LED

Sensitivitas = a/(a+c) Spesifisitas = d/(b+d)

Dengan menggunakan rumus a/(a+c) didapatkan nilai sensitivitas LED, yaitu 60%

dan d/(b+d) didapatkan nilai spesifisitas CRP yaitu 8,3%.

5.2. Pembahasan

5.2.1 Jumlah Pasien yang Didiagnosa Rheumatoid Artritis

Jumlah pasien yang didiagnosa menderita Rheumatoid Artritis di RSUD Dr.

Pirngadi dari bulan Juli hingga November 2010 terdiri dari 15 orang laki-laki dan 18

orang perempuan. Persentase pasien RA lebih tinggi pada perempuan yaitu 54,5%

manakala laki-laki 45,5%. Insidensi ini sama seperti epidemiologi menurut American

(37)

dua hingga lima kali lebih dari laki-laki. Namun tidak dijelaskan secara terperinci

faktor-faktor ini terjadi.

5.2.2. Kadar CRP pada Pasien Rheumatoid Artritis

Dari hasil penelitian, kadar CRP positif pada 22 orang (66,7%), negatifnya

sebanyak 11 orang (33,3%). Menurut teori, kadar CRP memuncak dalam 48-72 jam

setelah inflamasi terjadi. Manakala pada keadaan normal, ia tidak ada dalam darah.

Penelitian Wolfe F. menunjukkan bahwa CRP lebih cepat muncul pada keadaan

pasien RA yang masih dalam fase akut dan pada saat gejala seperti kekakuan sendi di

pagi hari menjadi keluhan utama. Sedangkan pada pasien yang datang memeriksa

darahnya pada saat nyerinya sudah berkurang, CRP bisa tidak terdeteksi. Ini adalah

karena setelah 6-10 jam terjadinya proses inflamasi dalam tubuh, CRP akan berada

dalam sistemik dan kadarnya memunjak dalam 48-72 jam lalu akan segera kembali ke

kadar normalnya.

5.2.3. Kadar LED pada Pasien Rheumatoid Artritis

Kadar LED menunjukkan peningkatan pada 25 orang pasien (75,8%) dan

cuma 8 orang (24,2%) yang masih dalam batas normal. Menurut ahli hematologi

LED secara teorinya sangat mudah di temukan terjadi peningkatan kerana ia

meningkat selama proses inflamasi akut, infeksi akut dan kronis, kerusakan jaringan

(nekrosis), penyakit kolagen, rheumatoid, malignansi, dan bahkan pada kondisi stress

fisiologis (misalnya kehamilan) sehingga sesetengah ahli menganggap LED tidak

andal karena tidak spesifik, dan dipengaruhi oleh faktor fisiologis yang menyebabkan

temuan tidak akurat.

5.2.4 Kadar RF pada Pasien Rheumatoid Artritis

Dari hasil penelitian, kadar RF positif pada 24 orang (72,7%) dan negatif pada

9 orang (27,3%). Menurut teori, RF digunakan sebagai pemeriksan penunjang untuk

penyakit rematik terutama RA. Keberadaan RF yaitu suatu autoantibodi dalam darah

adalah tidak normal kerana antibodi yang terbentuk akan bertindak ke atas tisu itu

sendiri dan bisa juga berikatan dengan antibodi yang lain. Menurut penelitian

William C., 80% orang dewasa yang mengidap RA mempunya hasil tes RF yang

positif dan ini meningkat seiring peningkatan usia yaitu 20% pada pasien beusia 65

(38)

5.2.5 Perbandingan Kadar Sensitivitas dan Spesifisitas CRP dan LED

Hasil hitung sensitivitas dan spesifisitas dari CRP dan LED didapati

sensitivitas CRP adalah 89,5% dan spesifisitasnya adalah 50%, manakala sensitivitas

LED adalah 60% dan spesifisitasnya adalah 8,3%. Dari presentase yang didapatkan

jelas menunjukkan bahwa CRP lebih sensitif dan lebih spesifik dibanding dengan

LED. Penelitian Anik Widijanti dkk. juga menyatakan CRP lebih sensitif dengan

nilai sensitivitas dan spesifisitasnya 96% dan 77% dibanding LED dengan nilai

sensitivitas dan spesifisitasnya 51% dan 69%. CRP juga lebih bisa digunakan sebagai

pembantu penegak diagnosa walaupun kedua-duanya merupakan pemeriksaan

(39)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dijalankan di RSUD Dr. Pirngadi, Medan ini

dapat disimpulkan bahawa :

1. Pemeriksaan CRP lebih tinggi sensitivitasnya dan spesifisitasnya berbanding

LED.

2. Nilai sensitivitas CRP adalah 89,5% manakala sensitivitas LED adalah 60%.

3. Nilai spesifisitas CRP adalan 50% manakala spesifisitas LED adalah 8,3%.

Ini menunjukkan bahwa CRP lebih bisa diandalkan dibanding LED untuk membantu

dalam diagnosa penyakit Rheumatoid Artritis karena ia sensitif dalam menunjukkan

proporsi penderita yang sakit dan memberikan hasil positif, juga spesifik dalam

menunjukkan proporsi orang yang tidak sakit dan memberikan hasil yang negatif. Ini

sangat membantu pemeriksa kesehatan dalam mendiagnosa serta menyingkirkan

diagnosa banding. Penyakit RA juga dapat terdeteksi lebih awal sehingga hasil

pengobatan dan prognosis lebih berkualitas. Selain itu, walaupun CRP dan LED

merupakan pemeriksaan non-spesifik untuk RA, namun merupakan tanda inflamasi

secara umum.

6.2. Saran

Walaupun hasil penelitian ini jelas menunjukkan CRP lebih bisa digunakan

dalam mendiagnosa RA namun disarankan agar LED tetap di periksa karena masih

ada keadaan yang memungkinkan LED menjadi peran utama menunjukkan adanya

terjadi proses inflamasi sehingga suatu penyakit dapat di tegakkan diagnosanya.

Misalnya pada kasus pasien RA dimana pasiennya datang ke dokter saat kadar CRP

dalam tubuh sudah menurun atau tiada sama sekali (selepas 72 jam). Ini akan

menyulitkan dokter mendiagnosa sehingga impaknya kepada pasien menjadi buruk.

(40)

kombinasi dari kedua pemeriksaan ini lebih bermanfaat dan lebih berguna dibanding

hanya salah satu pemeriksaan dilakukan.

Bagi pihak RSUD Dr. Pirngadi pula disarankan agar lebih sistematik dalam

(41)

DAFTAR PUSTAKA

Arnett F.C., Edworthy S.M., Blocg D.A., et al. The Americam Rheumatism

Association 1987 Revised Criteria for the Classification of Rheumatoid Artritis.

Arthritis Rheumatoid 19 (5) : 713-722, 1996.

Hirmawan, Sutisna., 1973. Patologi. Jakarta : Bagian Patologi Anatomik Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, pp : 437, 1

Kumar, V., Cotran, R. S., Robbins, S. L., 2007. Buku Ajar Patologi Edisi 7.

Jakarta : EGC

Male D., Brostoff J., Roth D.B., and Roitt I. 2006. Immunology. 7th ed. Canada :

Mosby Elsevier.

Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, Wahyu I., Setiowulan, W., 2000. Kapita

Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga Jilid Kedua. Jakarta : Media Aesculapius

Sastroasmoro S., Ismael S.,2008. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi

ke-3

Sudoyo A. W., Setioyohadi B., Alwi I., Simadibrata M. K., Setiati S., 2007. Buku

Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta: Departemen Penyakit Dalam

FK UI.

Darmawan J. et al, 2010. The Epidemiology of Rheumatoid Artritis in

Indonesia.Available from:

http://rheumatology.oxfordjournals.org/cgi/content/short/32/7/537

20 April 2010].

[ Accessed

LabTechnologist, 2009. Laju Endap Darah, Laboratorium Kesehatan. Available

from: http://labkesehatan.com/2009/12/laju-endap-darah-led.html

[ Accessed 20 April 2010]

(42)

from:

[Accesed 19 April 2010]

(43)

LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Fatin Atiqah Binti Ahmad Ramli Tempat/Tanggal Lahir : Malaysia/13 Mei 1989

Agama : Islam

Riwayat Pendidikan : Sekolah Kebangsaan Taman Muda (1996-2001) : Sekolah Berasrama Penuh Intergrasi Rawang (2002-2006)

: Kolej Sentral ( 2007)

: Universitas Sumatera Utara (2007- sekarang) Riwayat Pelatihan : Persatuan Bulan Sabit Merah

(44)
(45)

X laki-laki positif 21 normal positif

Y perempuan positif 14 meningkat positif

Z perempuan positif 19 meningkat positif

AA perempuan positif 21 meningkat negatif

BB laki-laki negatif 19 meningkat negatif

CC laki-laki positif 19 normal positif

DD perempuan positif 14 normal positif

EE laki-laki positif 14 normal positif

FF laki-laki negatif 10 meningkat negatif

(46)

Frekuensi

Statistics

Jeniskelamin

N Valid 33

Missing 0

Jeniskelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid laki-laki 15 45.5 45.5 45.5

perempuan 18 54.5 54.5 100.0

Total 33 100.0 100.0

Statistics

CRP

N Valid 33

(47)

CRP

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid positif 18 54.5 54.5 54.5

negatif 15 45.5 45.5 100.0

Total 33 100.0 100.0

Statistics

nilaiLED

N Valid 33

Missing 0

nilaiLED

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid meningkat 21 63.6 63.6 63.6

normal 12 36.4 36.4 100.0

(48)

Statistics

RF

N Valid 33

Missing 0

RF

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid positif 24 72.7 72.7 72.7

negatif 9 27.3 27.3 100.0

Gambar

Tabel 5.1.2(a) Persentase Jenis Kelamin Pasien yang Didiagnosa Menghidapi Penyakit Rheumatoid Artritis
Tabel 5.1.3(a) Persentase Kadar C-Reaktif Protein (CRP) pada Pasien Rhematoid Artritis
Tabel 5.1.5(a) Persentase Kadar Rheumatoid Faktor (RF) pada Pasien Rheumatoid Artiris

Referensi

Dokumen terkait

Melalui penelitian Subkhi yang dilakukan terhadap 15 orang responden pasien diabetes melitus didapatkan hasil dari analisis menggunakan uji beda rerata ( paired t test ), bahwa p

PEMERINTAH KABUPATEN ROTE NDAO LAPORAN REALISASI ANGGARAN.. PER 31

[r]

Pada penulisan ilmiah ini pula, penulis menggunakan aplikasi Microsoft Visual Basic 6.0, yang merupakan program database berbasis windows yang mempunyai banyak kelebihan seperti

Kegiatan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) 2 mahasiswa Universitas Negeri Semarang, jurusan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) dilaksanakan mulai tanggal 20 Agustus

dengan materi yang berhubungan dengan bilangan (die Zahlen), dan pada bab III, dengan tema makanan dan minuman (Essen und Trinken) terdapat materi yang berkaitan dengan

Judul Skripsi :Pengaruh Suhu yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Tingkat Kematangan Gonad Kerang Darah (Anadara granosa).. Nama Mahasiswa : Aring

Kendala dalam kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh Seksi Pelayanan Administrasi antara lain sistem pembuatan SKCK dan surat perizinan masih dilakukan secara