• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Melalui Pemanfaatan Sarana Perjanjian Ekstradisi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Melalui Pemanfaatan Sarana Perjanjian Ekstradisi"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam, R, Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Restu Agung, 2005. Buku

Adji, Indriyanto Seno, Sistem Pembuktian Terbalik: Meminimalisasi Korupsi di Indonesia (artikel). Jurnal Keadilan Vo. I. No. 2 Juni 2002.

Amiruddin dan Asikin, Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2006.

Ardhiwisastra, Yudha Bhakti, Hukum Internasional Bunga Rampai, Bandung: Alumni, 2000.

Atmasasmita, Romli, Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman HAM RI, 2002.

Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Edisi VI, West Publishing , St. Paul, 1990.

Budiarto, M, Ekstradisi dalam Hukum Nasional, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981.

Chazawi, Adami, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung: Alumni, 2008.

Hamzah, Andi, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.

Hartanti, Evi, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Bandung: Yrama Widya, 2004.

Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Alumni, 2003.

Kusumaatmadja, Mochtar, Pengangar Hukum Internasional, Bandung, Binacipta, 1976.

(2)

Mulyadi, Lilik, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya, Bandung: Alumni, 2007.

Nusbaum, Arthur, A Concise History of the Law of Nation, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Admawirya, Sam Suhaedi, Sejarah Hukum Internasional, Jilid I, Cetakan I, Bandung: Bina Cipta, 1969.

Oppenheim, L, Intenational Law, A Treatise, 8th Edition, 1960, vol. One-Peace.

Parthiana, I Wayah, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Bandung: Mandar Maju, 1990.

Prodjohamidjojo, Martiman, Komentar atas KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), Jakarta: Pradnya Paramita, 1990.

Starke, J. G, An Introduction to International Law, London, Butterwordhs & Co (Publisher), 4th Edition, 1958.

Subekti, R, dan Tjitrosudinio, R, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek dengan tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan), Jakarta: Pradnya Paramita, 1992).

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1996.

Yanuar, Purwaning M, Pengembalian Aset Hasil Korupsi, Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 dalam Sistem Hukum Indonesia, Bandung, Alumni, 2007.

Peraturan-peraturan

Aturan Peralihan UUD 1945.

Harvard Research Draft Convention on Extradition.

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Indonesia

Konvensi Wina 1969.

Statuta Mahkamah Internasional.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi 1979.

(3)

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, dan DPD.

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undanng-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

United Nation Convention Against Corruption 2003

Hasibuan, Rosmi, Suatu Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Internasional, http://library.usu.ac.id/download/fh/hukuminter-Rosmi5.pdf. diakses pada tanggal 12 Maret 2010.

Internet

www.penghunilangit.com. Diakses pada tanggal 12 Maret 2010.

(4)

BAB III

TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENGATURANNYA DALAM KONVENSI INTERNASIONAL

A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio – corruptus, dalam bahasa

Belanda disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption, dalam

bahasa Sansekerta didalam Naskah Kuno Negara Kertagama tersebut corrupt arti

harfiahnya menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejat, tidak jujur

yang disangkutpautkan dengan keuangan.43

Korupsi menurut Henry Campbell Black dalam Black’s Law Dictionary

adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu

keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari

pihak-pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk

mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain,

bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.44

Terlepas dari berbagai ragam pengertian korupsi diatas, secara yuridis,

pengertian korupsi, baik arti maupun jenisnya telah dirumuskan, di dalam

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 Dalam pengertian lain, korupsi dapat diartikan sebagai “perilaku tidak

mematuhi prinsip”, dilakukan oleh perorangan di sektor swasta atau pejabat

publik. Dan keputusan dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga,

(5)

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang sebelumya,

yaitu Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971.

Dalam pengertian yuridis, pengertian korupsi tidak hanya terbatas kepada

perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara, tetapi meliputi juga perbuatan-perbuatan yang memenuhi

rumusan delik, yang merugikan masyarakat atau orang perseorangan. Oleh karena

itu, rumusannya dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara.

2. Kelompok delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif

(yang disuap).

Undang-undang No. 17 Tahun 2003 merumuskan pengertian keuangan

negara sebagai berikut:

Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.45

Ruang lingkup keuangan negara sesuai dengan pengertian tersebut

diuraikan sebagai berikut:46

a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang,

dan melakukan pinjaman;

b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum

pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

c. Penerimaan Negara;

45

Pasal 1 angka 1 UU No. 17/2003.

46

(6)

d. Pengeluaran Negara;

e. Penerimaan Daerah;

f. Pengeluaran Daerah;

g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak

lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang

dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada

perusahaan negara atau daerah;

h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka

penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;

i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang

diberikan pemerintah.47

B. Jenis-jenis Tindak Pidana Korupsi

Di dalam buku “Memahami Untuk Membasmi” yang diterbitkan oleh

Komisi Pemberantasan Korupsi ada setidaknya 7 jenis korupsi yakni:

1. Kerugian negara

2. Suap menyuap

3. Penggelapan dalam jabatan

4. Pemerasan

5. Perbuatan curang

6. Benturan kepentingan dalam pengadaan

(7)

C. Pengaturan Tindak Pidana Korupsi dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi

Jika diperhatikan undang Nomor 31 tahun 1999 dan

Undang-undang Nomor 20 tahun 2001, tindak pidana korupsi itu dapat dilihat dari 2 (dua)

segi, yaitu korupsi aktif dan korupsi pasif.

Yang dimaksud dengan korupsi aktif adalah sebagai berikut:

a. Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara.48

b. Dengan tujuan mengutungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang

ada padanya karena jabatannya atau kedudukan yang dapat merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara;

49

c. Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat

kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya,

atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau

kedudukan tersebut;50

d. Percobaan, pembantuan dan pemufakatan jahat untuk melakukan tindak

pidana korupsi;51

e. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau

penyelenggara negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat

sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;52

(8)

f. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara

karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan

kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya;53

g. Memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud

untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk

diadili;54

h. Pemborong atau ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau

penjual bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan,

melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang

atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;55

i. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan

bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana

dimaksud dalam huruf a;56

j. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara

Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan

perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam

keadaan perang;57

k. Setiap orang yang bertugas menguasai penyerahan barang keperluan

Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia

52

Pasal 5 ayat (1) huruf UU 31/1999 UU 20/2001

53

Pasal 5 ayat (2) huruf b UU 20/2001

(9)

dengan sengaja membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan

keselamatan negara dalam keadaan perang;58

l. Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang ditugaskan

menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara

waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang

disimpan karena jabatannya, atau membiarkan orang atau surat berharga

tersebut;59

m. Pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan

suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu, dengan

sengaja memalsukan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk

pemeriksaan administrasi;60

n. Pegawai Negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang ditugaskan

menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara

waktu, dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau

membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang

digunakan untuk meyakinkan atau untuk membuktikan di muka pejabat

yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya, atau membiarkan orang

lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak

dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar tersebut;61

o. Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang:

(10)

a. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara

melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya

memaksa seseorang memberikan sesuatu, atau menerima pembayaran

dengan potongan atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;62

b. Pada waktu menjalankan tugas meminta, menerima, atau memotong

pembayaran bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain

atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadaya, padahal diketahui

bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;63

c. Pada waktu menjalankan tugas meminta atau menerima pekerjaan atau

penyerahan barang seolah-olah merupakan utang pada dirinya, padahal

diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;64

d. Pada waktu menjalankan tugas telah menggunakan tanah negara yang

di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal

diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan;65

e. Baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta

dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan yang pada saat

dilakukan perbuatan untuk seluruhnya atau sebagian ditugaskan untuk

mengurus atau mengawasinya;66

62

Pasal 12 huruf e UU 20/2001

(11)

p. Memberi hadiah kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau

wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh

pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan

itu;67

Adapun korupsi pasif adalah sebagai berikut:

1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau

janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang

bertentangan dengan kewajibannya;68

2. Hakim atau advokat yang menerima pemberian atau janji untuk

mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili

atau mempengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubung

dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;69

3. Orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang

menerima penyerahan barang keperluan TNI atau Kepolisian Negara

Republik Indonesia yang membiarkan perbuatan curang sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf c, dipidana dengan pidana yang

sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Undang-undang Nomor 20

tahun 2001;70

4. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau

janji padahal diketahui atau patut diketahui atau patut diduga, bahwa

hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang

(12)

berhubungan dengan jabatannya, atau menurut pikiran orang yang

memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya;71

5. Pegawai negeri atau penyelenggara negarayang menerima hadiah atau

janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut

diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan

sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak

melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan

kewajibannya;72

6. Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut

diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi

putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;73

7. Advokat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut

diduga, bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasehat

atau pendapat yang diberikan berhubungan dengan perkara yang

diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;74

8. Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima

gratifikasi yang diberikan berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan

dengan kewajiban atau tugasnya;75

Demikian pengertian tentang korupsi yang diatur dalam Undang-undang

Nomor 31 tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001. Lahirnya

71

Pasal 11 UU 20/2001

(13)

Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 adalah menggantikan Undang-undang

Nomor 3 tahun 1971, dan diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi

perkembangan masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih

efektif bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara dan

perekonomian negara.

D. Sistem Pembebanan Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Korupsi Pada dasarnya, secara normatif bahwa tindak pidana korupsi merupakan

kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes). Apabila dikaji dari pandangan

doktrina, Romli Atmasasmita menekankan bahwa:

Dengan memperhatikan perkembangan tindak pidana korupsi, baik dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas, dan setelah mengkajinya secara mendalam, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan merupakan kejahatan biasa melainkan sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa. Selanjutnya, jika dikaji dari sisi akibat atau dampak negatif yang sangat merusak tatanan kehidupan bangsa Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru sampai saat ini, jelas bahwa perbuatan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia.76

Konsekuensi logis bahwa tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary

crimes, diperlukan penanggulangan dari aspek yuridis yang luas biasa (extra

ordinary enforcement) dan perangkat hukum yang luar biasa pula (extra ordinary

measures). Dari dimensi ini, salah satu langkah komprehensif yang dapat

dilakukan dalam sistem peradilan pidana Indonesia adalah melalui sistem

76

(14)

pembuktian yang relatif lebih memadai, yaitu diperlukan adanya “pembuktian

terbalik” atau “pembalikan beban pembuktian”.77

Sistem pembebanan pembuktian terbalik dalam hukum pidana Indonesia,

diadopsi dari hukum pembuktian perkara korupsi dari negara anglo saxon, seperti

Inggris, Singapura, dan Malaysia. Sistem pembebanan pembuktian terbalik hanya

diterapkan pada tindak pidana yang berkenaan dengan gratification yang

berhubungan dengan suap.78

77

Jenis pembuktian dalam hukum pidana yang diperkenalkan dalam UU

No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 adalah pembuktian terbalik

yang merupakan penyimpangan dari pembuktian dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun demikian, pembuktian terbalik tersebut

masih memiliki sifat terbatas dimana Jaksa Penuntut Umum masih diwajibkan

untuk melakukan pembuktian atas dakwaan yang diajukannya. Jadi, kedua UU

tersebut tidak semata-mata memberikan Terdakwa kesempatan untuk

membuktikan dirinya tidak bersalah. Perumusan pembuktian terbalik dalam

pembuktian tindak pidana korupsi ini sendiri telah mengalami penyempurnaan

dari rumusan semula pada UU No. 31 Tahun 1999 sampai dengan rumusan pada

UU No. 20 Tahun 2001, sehingga menunjukkan sifat berimbang antara

pembuktian yang dilakukan dengan akibat hukum dari pembuktian bagi si

(15)

Pada Pasal 37 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 sebelumnya dinyatakan

bahwa:

“Dalam hal Terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya.”

Sementara setelah dilakukan perubahan terhadap Pasal 37 ayat (2) UU No.

20 Tahun 2001 maka dengan lebih tegas dinyatakan bahwa:

“Dalam hal Terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.”

Tampaknya perubahan terhadap kekuatan pembuktian terbalik di satu sisi

memberikan keseimbangan dalam pertarungan pembuktian di depan majelis

hakim. Namun di lain sisi, perubahan atas pandangan kekuatan pembuktian

terbalik memberikan pekerjaan rumah yang tidak mudah untuk diselesaikan bagi

Jaksa selaku Penuntut Umum. Patut untuk diketahui bahwa dengan terbentuknya

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) sebagaimana

diamanatkan oleh UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 dan

sebagaimana telah dituangkan pula ke dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002

mengenai Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka

tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi

oleh Jaksa akan diambil alih oleh KPTPK. Semua tugas tersebut terlepas dari

segala pro dan kontra yang terbentuk di alam ide masyarakat mengenai

pembentukan KPTPK.

Salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya mengusut tindak pidana

(16)

pidana korupsi. Hukum pembuktian merupakan keseluruhan aturan hukum atau

peraturan undang-undang mengenai kegiatan untuk rekonstruksi suatu kenyataan

yang benar dari setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan

terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap

sarana bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan

dalam perkara pidana.

Jika dipandang dari semata-mata hak, maka ketentuan Pasal 37 ayat (1)

tidaklah mempunyai arti apa-apa. Dalam sistem akusator seperti yang dianut

dalam hukum acara pidana (KUHAP), hak yang demikian ditegaskan atau tidak -

sama saja. Hak tersebut adalah hak dasar terdakwa yang demi hukum telah

melekat sejak ia diangkat statusnya menjadi tersangka atau terdakwa. Ketentuan

pada ayat (1) merupakan penegasan belaka atas sesuatu hak terdakwa yang sudah

ada. Justru, norma ayat (2) lah yang memiliki arti penting dalam hukum

pembuktian. Norma ayat (2) inilah yang menunjukkan bahwa di sini inti sistem

terbalik, walaupun tidak tuntas. Mengapa disebut tidak tuntas? Walaupun pada

ayat (2) dicantumkan akibat hukumnya bila terdakwa berhasil membuktikan, ialah

hasil pembuktian terdakwa tersebut dapat dipergunakan oleh pengadilan untuk

menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Namun, tidak mencantumkan seperti

hal bagaimana cara terdakwa membuktikan, dan apa standar pengukurannya hasil

pembuktian terdakwa untuk dinyatakan sebagai berhasil membuktikan dan tidak

(17)

E. Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, pengembalian kerugian keuangan negara antara lain

diatur dalam Pasal 32, Pasal 33 dan Pasal 34 serta Pasal 38 Undang-undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun

1999. Ketentuan-ketentuan tersebut memberikan dasar hukum bagi negara yang

direpresntasikan oleh Jaksa Pengacara Negara atau pihak instansi yang dirugikan

untuk melakukan gugatan perdata terhadap pelak tp korupsi dan atau ahli

warisnya. Penggunaan instrumen perdata dalam pengembalian kerugian keuangan

negara mengakibatkan prosedur pengembalian aset sepenuhnya tunduk kepada

ketentuan hukum perdata yang berlaku, baik materil maupun formal. Hubungan

antara aset-aset dengan seseorang, apakah ia pelaku atau bukan pelaku tindak

pidana, diatur dalam hukum kebendaan yang masuk dalam wilayah hukum sipil

atau hukum perdata.80

Pengajuan gugatan dengan menerapkan instrument hukum perdata

sebagaimana diatur dalam KUH Perdata dan Hukum Acara Perdata HIR/ RBg

hanya berlaku sepanjang benda tersebut berada di wilayah Indonesia atau di atas

kapal berbendera Indonesia. Dengan demikian, apabila benda tersebut berada di

luar wilayah Indonesia, masalah kepeilikan dan hak kebendaan lainnya akan

diatur menurut hukum perdata yang berlaku di negara tersebut. Undang-undang

80

(18)

Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 menganut

strategi penegakan hukum represif. Pasal 4 Undang-undang Nomor 31 Tahun

1999 menegaskan hal tersebut sekaligus mengatur tentang adanya pengembalian

kerugian keuangan negara yangdilakukan melalui penuntutan terhadap pelaku.

Pengembalian kerugian keuangan negara dengan menggunakan instrument pidana

menurut undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan melalui

proses penyitaan, perampasan dan aturan pidana denda.81

Pendekatan melalui jalur perdata ini dapat dilihat dalam

ketentuan-ketentuan sebagai berikut: Pasal 32 ayat (1) menetapkan bahwa dalam hal

penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana

korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian

keuangan negara, maka penidik segera menyerahkan berkas perkara hasil

penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untu kdiajukan gugatan

perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan

gugatan. Sedangkan ayat (2) nya menetapkan bahwa putusan bebas dalam perkara

tindak pidana korupsi tidak menghapus hak untuk menuntut kerugian terhadap

keuangan negara. Pasal 33 menetapkan bahwa dalamhal tersangka meninggal

dunia saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian

keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil

penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada

(19)

Selanjutnya Pasal 38 C menetapkan apabila setelah putusan pengadilan

telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda

milik terpidana yang diduga atau patut dduga juga berasal dari tindak pidana

korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata

terhadap terpidana atau ahli warisnya.

Di jalur lain, yakni pada jalur pidana, penyitaan merupakan serangkaian

tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah

penguasaannya benda begerak atau tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud

untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.82

Menurut Andi Hamzah, dalam definisi Kitab Undang-undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) mengenai penyitaan, ada kemungkinan menyita benda

yang tidak berwujud. Dalam peundang-undangan lama (HIR) tidak dimungkinkan

penyitaan benda yang tidak berwujud seperti tagihan piutang dan lain-lain.

Ketentuan ini pertama kali diatur dalam Undang-undang tentang Tindak Pidana

Ekonomi (Undang-undang Nomor 7 Tahun 1955) yang menyadur wet op de

economische delicten di negeri Belanda.83

Lebih lanjut Hamzah mengatakan bahwa definisi ini masih terlalu panjang

tetapi tetap terbatas pengertiannya, karena hanya untuk kepentingan pembuktian

dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Pada 134 Ned. Sv menyatakan

bahwa dengan penyitaan sesuatu benda diartikan pengambilalihan atau

82

Pasal 1 butir 16 KUHAP.

83

(20)

penguasaan benda itu guna kepentingan acara pidana.84

Dengan demikian, berdasarkan penetapan hakim, benda tersebut dirampas

dan kemudian dapat dirusak atau dibinasakan atau bahkan dapat dijadikan sebagai

milik negara.

Pasal tersebut

memberikan definisi penyitaan (inbeslagneming) yang lebih singkat tetapi lebih

luas pengertiannya krena tidak dibatasi untuk kepentingan pembuktian. Dalam

praktik, sering ditemukan sitilah “pembeslahan” dan perampasan atas benda atau

barang yang ada kaitannya dengan tindak pidana. Pengertian membeslah sama

artinya dengan menyita, yaitu mengambil barang atau benda dari kekuasaan

pemegang benda itu untuk kepentingan pemeriksaan dan bahan pembuktian.

Perampasan benda atau barang memiliki arti yang lain dari pembeslahan atau

penyitaan. Perampasan adalah tindakan hakim berupa putusan tambahan pada

pidana pokok sebagaimana diputuskan dalam paasl 10 Kitab Undang-undang

Hukum Pidana, yaitu mencabut hak dari kepemilikan seseorang atas suatu benda.

85

Penyitaan harus dilakukan dengan izin dari ketua pengadilan kecuali

dalam hal tersangka tertangkap tangan melakukan tindak pidana. Dalam keadaan Tujuan penyitaan adalah untuk kepentingan pembuktian di muka siding

pengadilan, karena tanpa adanya barang bukti, perkara suit diajukan ke hadapan

siding pengadilan. Barang yang disita ada kalanya adalah milik orang lain yang

dikuasai tersangka atau merupakan barang milik tersangka yang diperolehnya

secara melawan hukum. Menurut KUHAP, tata cara penyitaan adalah sebagai

(21)

yang perlu dan mendesak, bilaman penyidik harus segera bertindak dan tidak

mungkin mendapatkan surat izin terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan

penyitaan terhadap benda bergerak, dengan kewajiban untuk segera melaporkan

kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.

Sebelum melakukan penyitaan penyidik harus terlebih dahulu menunjukkan tanda

pengenal. Penyitaan harus disaksikan oleh kepala desa atau kepala lingkungan dan

dua orang saksi. Penyidik harus membuat berita acara dan kemudian dibacakan,

ditandatangani dan salinannya disampaikan kepada atasan penyidik, orang yang

disita, keluarganya dan kepala desa. Dalam hal tersangka atau keluarganya tidak

mau membubuhkan tanda tangan, hal tersebut dicatata dalam berita acara dengan

menyebutkan alasannya.

Benda sitaan harus dibungkus, dirawat, dijaga, serta dilak dan diberi cap

jabatan. Dalam hal benda sitaan tidak mungkin dibungkus, penyidik member

catatan yang ditulis di atas label yang ditempelkan dan atau dikaitkan pada

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, yaitu dalam Pasal 38

yang mengatur bahwa penyitaan hanya dilakukan oleh penyidik dengan surat izin

ketua pengadilan negeri setempat sebagaimana ditentukan dalam ayat (1), dengan

pengecualian sebagaimana ditetapkan dalam ayat (2) tanpa mengurangi ketentuan

aya t (1); Pasal 39 tentang benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan; Pasal 42

tentang kewenangan penyidik untuk memerintahkan orang yang menguasai benda

yang dapat disita, menyerahkan benda tersebut untuk kepentingan pemeriksaan;

dan Pasal 273 ayat (3) yang mengatur jika putusan pengadilan jugamenetapkan

(22)

sebagaimana diatur dalam Pasal 46, jaksa menguasakan benda tersebut kepada

kantor lelang negara dan dalam waktu tiga bulan untuk dijual lelang. Hasilnya

dimasukkan ke kas negara untuk dan atas nama jaksa.

Berdasarkan uraian tentang ketentuan-ketentuan yang dapat digunakan

dalam rangka pengembalian kerugian keuangan negara (pengembalian aset hasil

tindak pidana korupsi), dapat disajikan kajian sebagai berikut:

a. Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Pemberantasan tindak pidana

korupsi dan KUHAP belum menganut alam berpikir pengembalian aset

dari hasil tindak pidana korupsi sebagai elemen pokok pemidanaan.

Karena itu, dalam kedua undang-undang tersebut tidak dikemukakan

terminology “pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi” dan tidak

secara spesifik mengatur masalah pengembalian hasil tindak pidana

dengan segala mekanismenya, termasuk mekanisme hukum pengembalian

aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar yurisdiksi

Negara Republik Indonesia.

b. Pada dasarnya, dalam ketentuan-ketentuan tersebut tersedia dua

pendekatan dalam pengembalian aset, yakni melalui jalur pidana dan jalur

perdata.

c. Terdapat instrument hukum untuk pengembalian aset melalui jalur pidana,

yakni penyitaan dan perampasan. Instrument hukum penyitaan digunakan

untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan

(23)

tindakannya berupa putusan tambahan pada pidana pokok berupa

pencabutan hak kepemilikan seseorang atas suatu benda.86

Tujuan penyitaan adalah untuk kepentingan pembuktian dalam

penyidikan, penuntutan, dan peradilan, mengandung kelemahan jika dilakuka n

terhadap aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar yurisdiksi

Negara Republik Indonesia, sebab umumnya negara-negara tempat

penyembunyian aset-aset tersebut mensyaratkan adanya putusan pengadilan yang

berkekuatan hukum (in kracht van gewijsde) untuk dilakukan penyitaan,

pembekuan dan selanjutnya pengembalian aset tersebut.

F. Tindak Pidana Korupsi menurut Konvensi Internasional

Beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 9 Desember 2009, seluruh dunia

memperingati Hari Pemberantasan Korupsi. Tanggal tersebut dipilih karena pada

tanggal 9 Desember 2003 atau enam tahun yang lalu, tepatnya di Merida,

Meksiko, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah mengesahkan Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Korupsi (United Nations

Convention Against Corruption) atau disingkat dengan Konvensi Anti Korupsi

(KAK). Kurang lebih 137 negara turut ambil bagian untuk menandatangani

konvensi tersebut, termasuk Indonesia.87

Kehadiran KAK menandai sebuah momentum penting diakuinya praktek

korupsi sebagai kejahatan global (transnasional). Oleh karenanya, cara

memberantas dan mencegah korupsi membutuhkan dukungan yang saling

86

Purwaning M. Yanuar, Op.cit, hal. 157-158.

87

(24)

menguntungkan antara satu negara dengan negara yang lain. Korupsi bukan lagi

urusan domestik negara yang bersangkutan, akan tetapi menjadi persoalan global

yang harus ditandatangani dalam semangat kebersamaan.

Butir-butir semangat pemberantasan korupsi sebagaimana tercantum

dalam KAK pada prinsipnya mengatur beberapa hal penting yang harus dipatuhi

para peserta.

Pertama, para peserta konvensi harus menerapkan peraturan nasional

mendasar tentang pencegahan korupsi dengan membangun, menerapkan,

memelihara efektivitas, dan mengkoordinasikan kebijakan anti korupsi yang

melibatkan partisipasi masyarakat, dan peraturan nasional yang menjamin

penegakan hukum, pengelolaan urusan dan sarana publik yang baik,

ditegakkannya integritas, transparansi dan akuntabilitas di sektor publik.

Kedua, membangun badan independen yang bertugas menjalankan dan

mengawasi kebijakan anti korupsi yang diadopsi oleh Konvensi Anti Korupsi.

Ketiga, melakukan perbaikan dalam sistem birokrasi dan pemerintahan

yang bersih dari korupsi.

Keempat, setiap peserta wajib meningkatkan integritas, kejujuran dan

tangung jawab para pejabat publiknya, termasuk menerapkan suatu standar

perilaku yang mengutamakan fungsi publik yang lurus, terhormat, dan berkinerja

baik.

Kelima, membentuk sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah,

(25)

peran peradilan yang bersih dalam pemberantasan korupsi, serta melakukan

pencegahan korupsi di sector swasta yang mengedepankan sistem akunting.

Selanjutnya, negara peserta konvensi antikorupsi juga harus melakukan

usaha pencegahan pencucian uang, menerapkan kriminalisasi dan penindakan

korupsi, termasuk pembekuan dan penyitaan harta hasil korupsi, memberikan

perlindungan saksi, ahli dan korban, menerapkan sistem ganti rugi bagi korban

korupsi, melaksanakan pembangunan kerja sama pemberantasan korupsi,

termasuk dengan institusi-institusi keuangan, menerapkan sistem kerahasiaan

bank yang tidak menghambat pemberantasan korupsi, mengatur yurisdiksi dalam

penanganan perkara korupsi, melaksanakan kerja sama internasional memberantas

korupsi, termasuk hal-hal yang terkait dengan pemberian bantuan hukum dan

teknis, ekstradisi, pengembalian aset (asset recovery), dan sebagainya.

Pada hari selasa tanggal 21 Maret 2006, pemerintah Indonesia melalui

DPR telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi tersebut. Konvensi internasional tersebut terdiri dari 7 (tujuh) Bab

dan 71 (tujuh puluh satu) Pasal.88

Jika dilihat rumusan substansi undang-undang yang telah disahkan dan

diberlakukan di negara Indonesia (UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun

2001) belum memenuhi rumusan substansi standar internasional.89

United Nations Conventions Aggainst Corruption dalam Bab III memuat

standar internasional mengenai kriminalisasi dan penegakan hukum

(Criminalization and Law Enforcement) tindak pidana korupsi, yang terdiri atas:

88

www.temporaktif.com. Diakses tanggal 12 Maret 2010.

89

(26)

1. Penyuapan pejabat publik nasional sebagai tindak pidana, apabila

dilakukan dengan sengaja:

a. Janji kepada pejabat publik berupa tawaran atau pemberian baik secara

langsung untuk suatu keuntungan tertentu, bagi dirinya sendiri atau

orang lain atau kepada pihak lain, dengan tujuan agar pejabat tersebut

bertindak sesuai dengan tugas atau kewajibannya yang resmi.

b. Permintaan atau penerimaan oleh pejabat publik, secara langsung atau

tidak langsung bagi suatu keuntungan tertentu, bagi pejabat itu sendiri

atau orang lain kepada pihak lain dengan tujuan agar pejabat itu

bertindak atau menahan diri untuk bertindak dengan sesuai dengan

tugas atau kewajibannya yang resmi.90

2. Penyuapan pejabat publik asing dan pejabat publik organisasi internasional

a. Sebagai tindak pidana, jika dilakukan secara sengaja, janji berupa

penawaran atau pemberian kepada pejabat publik dari luar negeri atau

pejabat publik dari organisasi internasional, secara langsung atau tidak

langsung, untuk suatu keuntungan tertentu, bagi pejabat itu sendiri atau

orang lain atau kepada pihak lain, dengan tujuan agar pejabat tersebut

bertindak atau menahan diri untuk bertindak sesuai dengan tugas atau

kewajibannya yang resmi, agar supaya memperoleh atau

mempertahankan bisnis atau keuntungan lain sehubungan dengan

(27)

b. Sebagai tindak pidana, jika dilakukan dengan sengaja, permintaan atau

penerimaan oleh pejabat publik dari luar negeri atau pejabat publik dari

organisasi internasional, secara langsung atau tidak langsung, untuk

suatu keuntungan tertentu, bagi pejabat itu sendiri atau orang lain atau

kepada pihak lain, yang bertujuan agar pejabat itu bertindak atau

menahan diri untuk bertindak sesuai dengan tugas atau kewajibannya

yang resmi.91

3. Penggelapan, penyalahgunaan atau penyimpangan lain terhadap property

oleh peiabat publik sebagai tindak pidana, jika dilakukan dengan sengaja,

penggelapan, penyalahgunaan atau penyimpangan lain oleh pejabat publik

untuk keuntungan dirinya atau orang lain atau pihak lain, berupa property,

surat berharga atau dana publik atau swasta atau benda-benda berharga

lainnya yang dipercayakan kepada pejabat publik dengan memanfaatkan

posisi jabatannya.92

4. Memanfaatkan pengaruh jabatan sebagai tindak pidana, jika dilakukan

secara sengaja.

a. Janji berupa penawaran atau pemberian kepada pejabat publik atau

orang lain baik secara langsung atau tidak langsung untuk suatu

keuntungan tertentu yang bertujuan agar pejabat publik itu atau orang

tersebut menyalahgunakan pengaruhnya yang sebenarnya atau orang

yang seharusnya dengan maksud untuk memperoleh keuntungan

91

Pasal 16 United Nations Convention Against Corruption

92

(28)

tertentu dari otoritas publik atau administrasi di negara tersebut bagi

pelaku utama tindak pidana tersebut atau bagi pihak lain.

b. Permintaan atau penerimaan oleh pejabat publik atau pihak lain, secara

langsung atau tidak langsung, untuk suatu keuntungan tertentu bagi

dirinya atau orang lain yang bertujuan agar pejabat publik atau orang

tersebut menyalahgunakan pengaruhnya yang sebenarnya atau yang

seharusnya dengan maksud untuk memperoleh keuntungan tertentu

dari otoritas publik atau administrasi di negara tersebut.93

5. Penyalahgunaan fungsi jabatan sebagai tindak pidana, jika dilakukan

secara sengaja, berupa penyalahgunaan fungsi jabatan atau posisi, yang

berarti mengerjakan atau tidak melaksanakan suatu tindakan, yang

melanggar hukum, oleh pejabat publik dengan memanfaatkan fungsi

jabatannya dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan tertenti bagi

dirinya atao orang lain atau pihak lain.

94

6. Memperkaya diri secara illegal sebagai tindak pidana, jika dilakukan

dengan sengaja berupa memperkaya diri secara illegal yang berarti

peningkatan signifikan pada asset pejabat publik yang tidak dapat

dijelaskan secara rasional sehubungan dengan pendapatannya yang sah.95

7. Penyuapan di sektor swasta sebagai tindak pidana, jika dilakukan dengan

sengaja di bidang perekonomian keuangan atau aktivitas komersial:

a. Janji berupa penawaran atau pemberian hak secara langsung atau tidak

(29)

atau bekerja dalam kapasitas tertentu di pihak sektor swasta bagi

dirinya sendiri atau orang lain yang bertujuan agar ia melanggar

kewajibannya, bertindak atau menahan diri untuk berbuat sesuai

dengan tugasnya.

b. Permintaan atau penerimaan baik secara langsung atau tidak langsung,

untuk suatu keuntungan tertentu bagi orang yang memimpin atau

bekerja dalam kapasitas tertentu untuk pihak sektor swasta baik untuk

dirinya sendiri atau orang lain, yang bertujuan agar ia melanggar

kewajibannya, bertindak atau menahan diri untuk berbuat sesuai

dengan tugasnya.96

8. Penggelapan properti di sektor swasta sebagai tindak pidana, jika

dilakukan secara sengaja di bidang perekonomian, finansial atau aktivitas

komersial, penggelapan oleh orang yang memimpin atau bekerja, dalam

kapasitas tertentu di pihak sektor swasta terhadap properti, dana atau surat

berharga swasta atau benda-benda berharga lain yang dipercayakan

kepadanya dengan memanfaatkan posisinya.97

9. Mencuci hasil harta kejahatan sebagai tindak pidana, jika dilakukan

dengan sengaja:

a. 1) Konvensi atau transfer properti tersebut berasal dari kejahatan,

untuk tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul yang

ilegal dari properti tersebut atau membantu orang yang terlibat di

96

Pasal 21 United Nations Convention Against Corruption

97

(30)

dalam melakukan perbuatan tersebut untuk menghindari

konsekuensi hukum dan tindakannya.

2) Penyembunyian atau penyaluran sifat, sumber, lokasi, penempatan

perpindahan atau kepemilikan yang sesungguhnya atau hak-hak

yang terkait dengan properti tersebut adalah merupakan hasil dari

kejahatan.

b. Subjek dari konsep dasar pada sistem hukumnya:

1) Akuisisi, kepemlikan atau pemanfaatan properti, mengetahui, pada

waktu menerima bahwa properti itu adalah merupakan hasil dari

kejahatan

2) Berpartisipasi, bekerja sama atau bersekongkol untuk berbuat,

berusaha untuk melakukan dan membantu, mendukung,

melancarkan dan mengkonsultasikan setiap kejahatan yang disebut

dalam Pasal ini.

Untuk tujuan implementasi atau penerapan dari Pasal ini:

1) Setiap negara anggota akan berusaha untuk menerapkan Pasal ini

untuk bermacam-macam tindak pidana.

2) Setiap negara anggota akan menggolongkan tindak pidana pada

level minimum dari rangkaian tindak pidana yang secara

komprehensif ditetapkan di dalam konvensi ini.

3) Untuk tujuan memenuhi (b) di atas, tindak pidana akan termasuk

(31)

yang dilakukan di luar wilayah hukum negara anggota akan

menjadi tindak pidana hanya jika tindak pidana yang relevan

tersebut menurut hukum domestik di negara anggota yang

memberlakukan atau menerapkan Pasal ini untuk perbuatan yang

dilakukan di sana.

4) Setiap negara anggota akan memberikan jaminan

undang-undangnya yang berhubungan dengan Pasal ini dan

perubahan-perubahan selanjutnya pada undang-undang tersebut atau

penjelasannya kepada Sekretaris Jenderal PBB.

5) Jika diperlukan oleh prinsip-prinsip yang mendasar dari hukum

domestik di negara anggota, dapat diatur bahwa kejahatan yang

disebutkan di dalam Pasal ini tidak berlaku bagi orang-orang yang

melakukan tindak pidana.98

10.Penyembunyian tindak pidana, jika dilakukan secara sengaja setelah

melakukan pelanggaran yang ditetapkan menurut konvensi ini tanpa ikut

serta di dalam kejahatan tersebut, penyembunyian atau terus

mempertahankan properti ketika seseorang yang terlibat mengetahui

bahwa properti itu tersebut adalah merupakan hasil dari kejahatan yang

ditetapkan konvensi ini.99

11.Pelanggaran hukum (obstruction of justice) sebagai tindak pidana, jika

dilakukan secara sengaja:

98

Pasal 23 United Nations Convention Against Corruption

99

(32)

a. Penggunaan kekuatan fisik, ancaman atau intimidasi atau janji,

menawarkan atau memberikan keuntungan tertentu untuk memberikan

kesaksian palsu atau mengganggu dalam memberikan bukti di dalam

suatu persidangan sehubungan dengan membantu kejahatan yang

dilakukan seperti yang disebutkan menurut konvensi ini. Dalam Pasal

ini tidak berisikan ketentuan-ketentuan yang bermaksud

membeda-bedakan hak negara anggota untuk memiliki legislasi yang melindungi

kategori lain dari pejabat publik.100

Dengan rumusan substansi tindak pidana korupsi dalam konvensi ini, yang

menganjurkan dan menekankan kepada setiap negara anggota, mengadopsi

tindakan legislatif dan upaya lain yang diperlukan untuk menetapkan menjadi

substansi dalam undang-undang atau hukum nasional mengenai tindak pidana

korupsi memenuhi standar internasional.

Oleh karena itu, undang-undang tentang pemberantasan korupsi harus

segera diamandemen sesuai dengan substansi United Nations Convention Against

Corruption, agar undang-undang tersebut memenuhi standar internasional dan

memudahkan memperlancar negara Indonesia dalam melakukan proses penegakan

hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam lingkup tindak pidana

(33)

BAB IV

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI MELALUI PEMANFAATAN SARANA PERJANJIAN EKSTRADISI

A. Perjanjian Ekstradisi Ditinjau dari Hukum Internasional

Pembuatan perjanjian-perjanjian mengikuti suatu prosedur yang kompleks

dan kadang-kadang memakan waktu yang cukup lama. Dikatakan kompleks karna

terutama harus ditentukan siapa yang mempunyai wewenang di suatu negara di

bidang pembuatan perjanjian (treaty making powers), lalu ditunjuklah wakil atau

wakil-wakil negara untuk berunding atas nama pihak yang berwenang dengan

dilengkapi suatu surat penunjukan resmi yang dinamakan surat kuasa penuh (full

powers).102

Pembuatan perjanjian internasional biasanya melalui beberapa tahap, yaitu

perundingan (negotiation), penandatanganan (signature), dan pengesahan

(ratification). Ada perjanjian yang dapat berlaku hanya melalui dua tahap saja,

yaitu perundingan dan penandatanganan, dan ada pula perjanjian, biasanya

perjanjian yang penting sifatnya yang berlaku harus melalui tiga tahap tersebut.103

Perjanjian ekstradisi adalah salah satu bentuk dari perjanjian internasional

yang bersifat bilateral, yakni antara dua pihak, maupun multilateral, yakni

beberapa pihak.104

102

Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, (Bandung: Alumni, 2001), hal. 83.

103

Ibid

104

Mochtar Kusumaatmadja, Pengangar Hukum Internasional, (Bandung, Binacipta, 1976), hal. 86.

Perjanjian ekstradisi merupakan perjanjian yang mengatur

mengenai masalah politik, pertahanan dan keamanan. Oleh karena itu, diperlukan

(34)

Setelah berakhirnya perundingan, maka pada teks perjanjian yang disetujui

oleh wakil-wakil berkuasa penuh dibubuhkan tanda tangan. Fungsi tanda tangan

(signature) adalah memberikan persetujuan terhadap teks perjanjian dan belum

merupakan suatu perjanjian yang mengikat negara-negara penanda tangan.105

Tindakan selanjutnya setelah penandatanganan oleh wakil berkuasa penuh

(full powers) adalah para delegasi meneruskan naskah perjanjian tersebut kepada

pemerintahnya untuk meminta persetujuan. Untuk ini dibutuhkan penegasan oleh

pemerintah, penegasan tersebut dinamakan denan ratifikasi atau pengesahan.106

Dalam Pasal 2 (dua) konvensi wina 1969, ratifikasi didefinisikan sebagai

tindakan internasional dimana suatu negara menyatakan kesediaannya atau

melahirkan persetujuan untuk diikat oleh suatu perjanjian internasional.107

Selanjutnya berdasarkan Pasal 26 ayat (2) huruf a Undang-undang Nomor

22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD,

yang menyatakan salah satu tugas dan wewenang DPR adalah membantuk

undang-undang yang harus dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan Berdasarkan Pasal 10 huruf a Undnag-undang Nomor 24 Tahun 2000

tentang Perjanjian Internasional, yang menyebutkan bahwa perjanjian

internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan

masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara. Maka perjanjian

(35)

bersama.108

B. Pemanfaatan Perjanjian Ekstradisi dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Oleh karena itu, ratifikasi perjanjian ekstradisi harus mendapat

persetujuan DPR.

Kehadiran konvensi anti korupsi menandai sebuah momentum penting

diakuinya korupsi sebagai kejahatan global (transnasional). Oleh karenanya, cara

memberantas dan mencegah korupsi membutuhkan dukungan yang saling

menguntungkan antara satu negara dengan negara lain.

Kejahatan korupsi bukan lagi urusan domestik negara yang bersangkutan,

akan tetapi menjadi persoalan global yang harus ditangani dalam semangat

kebersamaan. Tanpa adanya sikap saling mempercayai dan memberikan dukungan

dalam memberantas korupsi, kejahatan yang telah merusak sendi-sendi ekonomi,

social, dan politik ini akan selalu menghantui hubungan antar negara, baik dalam

konteks politik maupun ekonomi.109

Setelah Indonesia menandatangani konvensi anti korupsi (United Nation

Convention Against Corruption) dan meratifikasinya, maka pertama, Indonesia

telah menunjukkan komitmen dan keseriusan yang tinggi kepada masyarakat

internasional dalam mencegah dan memberantas korupsi. Kedua, Indonesia dapat

menerapkan standar internasional dalam memberantas korupsi, baik menyangkut

legal flamework dan strateginya. Ketiga, Indonesia dapat mendesak dunia

internasional untuk melakukan pemberantasan korupsi menyangkut isu-isu yang

108

Pasal 26 (1) huruf a Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003.

109

(36)

berkaitan dengan upaya ekstradisi para koruptor, penerapan Mutual Legal

Assistance (MLA), asset recovery, dan sebagainya.

Banyaknya kasus tindak pidana korupsi di Indonesia, di mana kemudian

pelaku menyembunyikan hasil kejahatannya di negara tetangga. Hal in

mengakibatkan, Indonesia menghadapi kesulitan di dalam melakukan penelusuran

dan pengembalian aset hasil tindak pidana tersebut. Sebenarnya, salah satu jalan

keluar untuk memecahkan masalah tersebut adalah membuat kerja sama Mutual

Legal Assistance in Criminal Matters (MLA) atau Bantuan Hukum Timbal Balik di

bidang pidana dengan berbagai negara sebelum meratifikasi dan menerapkannya.

Mutual Legal Assistance (MLA) merupakan permintaan bantuan berkenaan dengan

penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan negara yang diminta. Bantuan yang

dimaksud tersebut dapat menidentifikais dan mencari orang, mendapatk pernyataan

lainnya, menunjukan dokumen atau bentuk lainnya, mengupayakan kehadiran orang

untuk memberikan keterangan atau membantu penyidikan, menyampaikan surat,

melaksanakan permintaan penggeledahan dan penyitaan, perampasan hasil tindak

pidana, memperoleh kembali sanksi denda, berupa uang sehubungan dengan tindak

pidana, melarang transaksi kekayaan, dan bantuan-bantuan lainnya yang sesuai

undang-udang No 1 tahun 2006.110

Mutual Legal Assistance (MLA) ini sangat dianjurkan dalam berbagai

pertemuan internasional dan Konvensi PBB, misalnya, dalam United Nations

Convention Against Cooruption (UNCAC). Negara penandatangan dianjurkan untuk

(37)

korupsi. Indonesia sudah mempunyai undang-undang yang merupakan payung dari

MLA, yaitu UU No 1 Tahun 2006 yang berlaku sejak 3 Maret 2006. UU ini mengatur

ruang lingkup MLA, prosedur Mutual Assistance Request (MAR) dan pembagian

hasil tindak pidana yang disita kepada negara yang membantu. Di samping itu, di

dalam UU No 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, sebagaimana

telah diubah dengan UU No 25 Tahun 2003 (UUTPPU), diatur juga masalah MLA

pada Pasal 44 dan 44A.

MLA pada intinya dapat dibuat secara bilateral atau multilateral. MLA

bilateral ini dapat didasarkan pada perjanjian MLA atau atas dasar hubungan baik

timbal balik (resiprositas) dua negara. Sejauh ini, Indonesia sudah memiliki beberapa

perjanjian kerja sama MLA Bilateral dengan Australia, China, Korea, dan AS.

Sementara itu, MLA Multilateral terangkum pada MLA regional Asia Tenggara yang

sudah ditandatangani hampir semua negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia .

Objek MLA, antara lain, pengambilan dan pemberian barang bukti. Ini termasuk

pernyataan, dokumen, catatan, identifikasi lokasi keberadaan seseorang, pelaksanaan

permintaan untuk pencarian barang bukti dan penyitaan, pencarian, pembekuan, dan

penyitaan aset hasil kejahatan, mengusahakan persetujuan orang yang bersedia

memberikan kesaksian atau membantu penyidikan di negara peminta bantuan MLA.

Pada pelaksanaan MLA, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai

otoritas sentral (central authority) dapat meminta pejabat yang berwenang untuk

melakukan tindakan kepolisian. Hal ini berupa penggeledahan, pemblokiran,

penyitaan, pemeriksaan surat dan pengambilan keterangan. Sebaliknya, Menteri

Hukum dan HAM dapat menolak permintaan kerja sama MLA dari negara lain dalam

(38)

berkaitan dengan kasus politik atau penuntutan yang berkaitan dengan suku, agama,

ras, kebangsaan, atau sikap politik seseorang. Komunikasi dalam kerja sama MLA

dapat dilakukan, baik melalui jalur diplomatik maupun melalui jalur Central

Authority. Ada juga negara yang melakukan kerja sama MLA hanya melalui jalur

diplomatik, seperti Malaysia. Kurang Progresif kalau dilihat dari jumlah perjanjian

MLA yang dimiliki Indonesia , yaitu hanya tiga perjanjian, tampak kesan Indonesia

kurang progresif. Di samping itu, Indonesia sering kali lambat di dalam melakukan

ratifikasi terhadap perjanjian MLA yang sudah ditandatangani. Dari ketiga perjanjian

tersebut, ada satu perjanjian MLA yang walaupun sudah ditandatangani beberapa

tahun yang lalu, tetapi sampai hari ini belum diratifikasi, yaitu perjanjian MLA

dengan Korea.

Perjanjian MLA dengan Republik Rakyat China yang ditandatangani tahun

2000 baru saja diratifikasi DPR pada 2006. Sedangkan perjanjian MLA Multilateral

dengan hampir seluruh negara anggota ASEAN sudah ditandatangani November

2004, tetapi sampai hari ini belum diratifikasi. Sementara itu, Singapura dan Malaysia

sudah mencatatkan dokumen ratifikasinya masing-masing sejak April dan Juni 2005.

Bandingkan dengan Amerika Serikat yang memiliki perjanjian MLA dengan sekitar

50 negara, seperti dengan Filipina dan Thailand. Sementara itu, Republik Rakyat

China memiliki 39 perjanjian MLA dengan negara lain.

Baru-baru ini, Indonesia sudah sepakat dengan Hong Kong tentang substansi

yang akan ditandatangani dalam perjanjian MLA. Mutlak Perlu Sebagaimana

diketahui, globalisasi berjalan begitu cepat dan perkembangan teknologi dan

(39)

lintas batas negara (transnational organized crime), seperti korupsi dan TPPU, kerja sama dengan negara lain mutlak diperlukan untuk memperoleh alat bukti dan aset

yang merupakan hasil tindak pidana. Indonesia harus lebih progresif lagi

mengupayakan peningkatan kerja sama MLA dengan negara lain. Indonesia harus

mengambil inisiatif untuk mengadakan kerja sama MLA dengan negara lain. Jangan

sampai Indonesia memiliki UU MLA atau Perjanjian MLA justru karena dipengaruhi

atau ditekan negara lain atau lembaga internasional.

Sharing profit Asset merupakan salah satu aspek dari MLA. Aset yang disita

sebagian dibagikan kepada negara yang membantu penyelesaian kasus tersebut, baik

untuk biaya operasional atau lainnya. Ini meruakan suatu masalah baru. Indonesia

memiliki ketentuan yang mengatur mengenai hal ini dalam Pasal 57 UU No. 1 Tahun

2006, namun beberapa Negara, seperti Thailand, tidak ada pengaturannya. Di

Amerika Serikat, masalah ini sudah berjalan sejak lama (1989). Sebagai contoh, pada

tahun itu ada dana sebesar USD 188 juta dan dibagikan kepada negara lain yang

membantu Amerika dalam MLA. Besarnya bagian ini tergantung dari peranan negara

tersebut. Kalau negara yang membantu mempunyai peranan yang esensial maka dapat

memperoleh 50-80% dari aset yang dirampas. Misalnya, negara tersebut

mengembalikan aset yang disita dan membela di pengadilan. Kalau bantuan bersifat

substansial seperti melaksanakan permintaan Amerika, dan membekukan aset, maka

negara tersebut dapat bagian sebesar 40-50%. Sementara jika peranan negara asing

tersebut hanya (facilitating assistance) misalnya memberikan informasi, menyediakan

dokumen bank, akan memperoleh bagian sampai 40%.

Indonesia perlu mengundangkan dan membuat peraturan pelaksanaan soal

(40)

peluang keberhasilan mengejar barang bukti dan hasil tindak pidana yang berada di

luar negeri menjadi semakin besar. Nilai besaran jatah negara yang membantu ini

dapat dirundingkan oleh Menteri Hukum dan HAM, yang sudah barang tentu dengan

mempertimbangkan peranan negara tersebut.

Perjanjian ekstradisi merupakan salah satu instrumen yang sangat penting

bagi Indonesia. Sebab, beberapa penjahat ekonomi, terutama koruptor Indonesia

kelas kakap melarikan uang hasil kejahatan tersebut ke luar Indonesia dan

bersembunyi di sana. Dengan perjanjian ekstradisi ini, diharapkan dapat

mempersempit ruang gerak mereka dan akhirnya dapat ditangkap dan diproses

secara hukum.

Perjanjian ekstradisi ini sebaiknya mengatur bentuk pelanggaran hukum

yang dapat diekstradisi, di antaranya korupsi, pemalsuan surat-surat, pencurian,

peng, pencucian uang, perompakan kapal laut dan pesawat, terorisme, dan

sebagainya.

Perjanjian ekstradisi sangat penting bagi Indonesia dalam upaya

memulihkan citra negara. Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia adalah salah

satu negara terkorup di dunia, sehingga negara-negara investor merasa enggan

untuk melakukan investasi di Indonesia. Dengan adanya perjanjian ekstradisi,

maka di mata internasional, Indonesia tampak lebih serius untuk menangani

berbagai tindak pidana yang berdampak luas pada perekonomian negara,

khususnya tindak pidana korupsi. Selain itu, dengan adanya perjanjian ekstradisi,

(41)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Perjanjian merupakan salah satu bentuk dari perjanjian internasional yang

memuat tentang kepentingan para pihak yang melakukan perjanjian. Di

Indonesia, perjanjian baru dapat memiliki kekuatan hukum mengikat dan

dapat dijalankan apabila perjanjian ekstradisi tersebut telah diratifikasi

menjadi undang-undang oleh instansi yang berwenang, yang dalam hal ini

adalah Presiden dan DPR.

2. Dalam hukum internasional, tindak pidana korupsi telah diatur melalui

United Nation Convention Against Corruption yang disahkan PBB pada 9

Desember 2003, maka korupsi secara resmi diakui sebagai kejahatan

global yang serius, yang membutuhkan kerja sama internasional dalam

upaya pemberantasannya.

3. Perjanjian ekstradisi merupakan salah satu instrumen penting bagi

Indonesia dalam upaya memberantas tindak pidana korupsi. Melalui

perjanjian ekstradisi ini, Pertama Indonesia dapat mencegah dan

memberantas tindak pidana korupsi, hal ini disebabkan bahwa sudah tidak

ada lagi tempat yang mana bagi para pelaku tindak pidana korupsi untuk

melarikan diri dari hukum dan yurisdiksi Indonesia. Kedua, perjanjian

ekstradisi ini juga berperan bagi perbaikan citra Indonesia di mata dunia,

bahwa melalui perjanjian ekstradisi, Indonesia telah mewujudkan upaya

(42)

adanya perjanjian ekstradisi, maka kepercayana investor dalam

berinvestasi di Indonesia akan kembali puluh, dan keempat, dengan

perjanjian ekstradisi ini, diharapkan aset-aset negara yang dilarikan oleh

para koruptor dapat dikembalikan, dan para pelakunya dapat ditangkap

dan diadili.

B. Saran

1. Ratifikasi perjanjian-perjanjian internasional, termasuk perjanjian

ekstradisi mutlak diperlukan agar dapat diterapkan secara legal, namun

dalam upaya ratifikasi tersebut harus benar-benar diperhatikan aspek

positif dan negatif dari perjanjian ekstradisi, khususnya bagi bangsa

Indonesia, agar perjanjian tersebut dapat membawa kemaslahatan bagi

bangsa dan negara.

2. Indonesia harus berperan aktif di dunia internasional dalam upaya

pemberantasan tindak pidana korupsi. Peran ini dapat diimplementasikan

dalam keikutsertaan Indonesia dalam forum-forum internasional yang

mengagendakan pembahasan tentang tindak pidana korupsi serta

pemberantasannya. Selanjutnya Indonesia harus aktif menerapkan

hasil-hasil pembahasan tersebut di dalam negeri dengan tetap memperhatikan

aspek positif dan negatifnya bagi Indonesia.

3. Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara

terkorup di dunia, oleh karenanya perjanjian ekstradisi mutlak diperlukan

(43)

perjanjian ekstradisi ini dapat diwujudkan dengan negara-negara

internasional, sehingga tidak ada lagi tempat yang aman bagi pelaku

(44)

BAB II

TINJAUAN TERHADAP EKSTRADISI

A. Pengertian, Maksud dan Tujuan Ekstradisi menurut Hukum Internasional

1. Pengertian Ekstradisi menurut Hukum Internasional

Lembaga ekstradisi telah diakui dan diterima oleh para sarjana Hukum

Internasional sebagai hukum kebiasaan internasional (international customary

law). Hal ini memang bias dipahami karena lembaga ekstradisi ini sudah berumur

cukup tua.9

Para penulis sejarah hukum internasional mengemukakan bahwa sebuah

perjanjian yang tertua dimana isinya adalah perjanjian perdamaian antara Raja

Rameses II dari Mesir dengan Hattusili II dari Kheta yang dibuat pada tahun 1279

SM, yang isinya kedua pihak menyatakan saling berjanji akan menyerahkan

pelaku kejahatan yang melarikan diri atau yang diketemukan di dalam wilayah

pihak lain.10

Ditinjau dari asal katanya, istilah ekstradisi (extradition) berasal dari

bahasa latin “ekstradere”. Ex berarti ke luar, sedangkan Tradere berarti

memberikan, yang arti dan maksudnya adalah menyerahkan. Kata bendanya

adalah extradition berarti penyerahan.11

9

I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, (Bandung: Yrama Widya, 2004), hal. 28.

10

(45)

Akhir-akhir ini masalah ekstradisi muncul lagi ke permukaan dan ramai

dibicarakan di kalangan masyarakat luas, terutama karena semakin lama semakin

banyaknya pelaku kejahatan yang melarikan diri dari suatu negara ke negara lain,

atau kejahatan yang menimbulkan akibat lebih dari satu negara. Dengan perkataan

lain, pelaku kejahatannya itu menjadi urusan dari dua negara atau lebih.

Kejahatan-kejatahan semacam inilah yang disebut dengan kejahatan yang

berdimensi internasional, atau kejahatan transnasional, bahkan ada pula yang

menyebut kejahatan internasional.12

a. L. Oppenheim mengatakan:

Para sarjana Hukum Internasional yang memberikan defenisi ekstradisi

antara lain adalah:

13

Extradition is the delivery of an accused or convicted individual to the state on whose territory he is alleged to have committed, or to have been convicted of a crime by the state whose territory the alleged criminal happens for the time to be.”

b. J. G. Starke menyatakan sebagai berikut:14

The term extradition denotes the process whereby under treaty or upon a basis of reciprocity one state surrenders to another state at its request a person accused or convicted of a criminal offence committed against the laws of the requesting state competent to try the alleged offender

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi:

“Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan

12

I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Inter dan Ekstradisi, Op. cit, hal. 127.

13

L. Oppenheim, Intenational Law, A Treatise, 8th Edition, 1960, vol. One-Peace, hal. 696.

14

(46)

di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut karena berwenang untu mengadili dan memidananya.15

Ekstradisi dapat diartikan sebagai penyerahan yang dilakukan secara

formal, baik berdasarkan atas perjanjian ekstradisi yang sudah ada sebelumnya,

ataupun berdasarkan prinsip timbal balik atau hubungan baik, atau seseorang yang

dituduh melakukan kejahatan (tersangka, terdakwa, tertuduh) atau seseorang yang

telah dijatuhi hukuman pidana yang telah mempunyai kekuatan mengikat yang

pasti (terhukum, terpidana), oleh negara tempatnya berada (negara yang diminta)

kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya

(negara yang meminta) atas permintaan negara peminta, dengan tujuan untuk

mengadili dan atau pelaksanaan hukumannya.16

Dari defenisi di atas, dapatlah disimpulkan unsur-unsur dari ekstradisi itu,

yakni:17

a. Unsur subjek, yang terdiri dari:

1) Negara atau negara-negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili

atau menghukumnya. Negara-negara inilah yang sangat

berkepentingan untuk mendapat kembali orang tersebut untuk diadili

atau dihukum atas kejahatan yang telah dilakukannya itu. Untuk

mendapat kembali orang yang bersangkutan negara atau negara-negara

tersebut harus mengajukan permintaan penyerahan kepada negara

tempat orang itu berada atau bersembunyi. Negara atau negara-negara

15

(47)

ini berkedudukan sebagai pihak yang meminta atau dengan singkat

disebut negara peminta (The Requesting State).

2) Negara tempat si pelaku kejahatan (tersangka, tertuduh terdakwa) atau

si terhukum itu bersembunyi. Negara ini diminta oleh negara atau

negara-negara yang memiliki yurisdiksi atau negara peminta, supaya

menyerahkan orang yang berada di wilayah itu (tersangka atau

terhukum), yang dengan singkat dapat disebut “negara-diminta” (The

Rewuested State)

b. Unsur objek,

Yaitu si pelaku kejahatan itu sendiri (tersangka, tertuduh, terdakwa atau

terhukum) yang diminta oleh negara peminta kepada negara-negara

diminta supaya diserahkan. Dia inilah yang dengan singkat disebut sebagai

“orang yang diminta”. Meskipun dia hanya sebagai objek saja yang

menjadi pokok masalah antara kedua pihak, tetapi sebagai manusia dia

harus tetap diperlakukan sebagai subjek hukum dengan segala hak dan

kewajibannya yang asasi, yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun juga.

c. Unsur Tata Cara atau Prosedur

Unsur ini meliputi tentang tata cara untuk mengajukan permintaan

penyerahan maupun tata cara untuk menyerahkan atau menolak

penyerahan itu sendiri serta segala hal yang ada hubungannya dengan itu.

Penyerahan hanya dapat dilakukan apabila sebelumnya ada diajukan

permintaan untuk menyerahkan oleh negara peminta kepada negara

(48)

ekstradisi yang telah ada sebelumnya antara kedua pihak atau apabila

perjanjian itu belum ada, juga bisa didasarkan pada saat asas timbal baik

yang telah disepakati. Jadi jika sebelumnya tidak ada permintaan untuk

menyerahkan dari negara peminta, orang yang bersangkutan tidak boleh

ditangkap atau ditahan maupun diserahkan. Kecuali penangkapan dan

penahanan itu didasarkan atas adanya yurisdiksi negara tersebut atas orang

dan kejahatannya sendiri atau atas kejahatan lain yang dilakukan orang itu

dalam wilayah negara tersebut. Permintaan penyerahan itu sendiri harus

diajukan secara formal kepada negara-diminta, sesuai dengan prosedur

yang telah ditentukan dalam perjanjian ekstradisi atau hukum kebiasaan

internasional. Jika permintaan itu tidak diajukan secara formal, melainkan

hanya secara informal saja misalnya hanya dikemukakan secara lisan oleh

wakil negara peminta kepada wakil negara-diminta yang kebetulan

bertemu dalam suatu pertemuan atau konferensi internasional, hal itu tidak

dapat dianggap sebagai permintaan untuk menyerahkan dalam pengertian

dan ruang lingkup ekstradisi, tetapi barulah merupakan tahapan penjajakan

saja. Seperti halnya permintaan penyerahan yang harus diajukan secara

formal, maka penyerahan itu sendiri harus juga dilakukan secara formal.18

d. Unsur tujuan

Yaitu untuk apa orang yang bersangkutan dimintakan penyerahan atau

diserahkan. Penyerahan itu dimintakan oleh negara peminta kepada

Referensi

Dokumen terkait

Pokok masalah penelitian ini adalah strategi bimbingan penyuluhan Islam (BPI) dalam menangani masalah sosial di Desa Doridungga Kecamatan Donggo Kabupaten Bima. Pokok

Dengan demikian penulis menyimpulkan dari rumusan masalah bahwa (1) Berdirinya Yayasan Pesantren Ahlu Shafa wal Wafa bermula pada pengajian rutinan kajian tasawuf

 Information technology can be used to  unlock  new  game  content  automatically  once  the  players  have  achieved  something  that  can  be 

Sehingga dihasilkan asam amino dalam bentuk bebas.Hidrolisa ikatan peptida dengan cara ini merupakan langkah penting untuk menentukan komposisi asam amino dalam sebuah protein

Pembangunan konstruksi dengan menggunakan beton bertulang merupakan jenis konstruksi yang paling banyak digunakan karena mudah dalam mendapatkan material dan

Saran yang dapat diberikan yaitu: (1) Guru, hendaknya guru lebih banyak memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan kegiatan yang bisa menstimulasi kemampuan

“Objek Pajak Parkir adalah penyelenggaraan tempat parkir diluar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu

Tempat bongkar muat barang di DAOP III Cirebon, DAOP IV Semarang, DAOP V Purwokerto, DAOP VI Yogyakarta, DAOP VIII Surabaya dan DIVRE I Medan sebagai lahan