• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Konversi Hutan Menjadi Perkebunan Pada Kualitas Fine, Coarse Root Dan Bahan Organik Tanah Di Hutan Tropis Dataran Rendah Jambi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Konversi Hutan Menjadi Perkebunan Pada Kualitas Fine, Coarse Root Dan Bahan Organik Tanah Di Hutan Tropis Dataran Rendah Jambi"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK KONVERSI HUTAN MENJADI PERKEBUNAN PADA

KUALITAS

FINE, COARSE ROOT

DAN BAHAN ORGANIK

TANAH DI HUTAN TROPIS DATARAN RENDAH JAMBI

YUNA PRANSISKA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)
(4)
(5)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Konversi Hutan

Menjadi Perkebunan Pada Kualitas Fine, Coarse root dan Bahan Organik Tanah

di Hutan Tropis Dataran Rendah Jambi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2016

Yuna Pransiska

(6)
(7)

RINGKASAN

YUNA PRANSISKA. Dampak Konversi Hutan Menjadi Perkebunan Pada Kualitas Fine, Coarse root dan Bahan Organik Tanah di Hutan Tropis Dataran

Rendah Jambi. Dibimbing oleh TRIADIATI dan SOEKISMAN

TJITROSOEDIRJO.

Akhir-akhir ini, laju deforestasi yang terjadi di Sumatera masih tinggi. Hutan Harapan Jambi merupakan kawasan yang mengalami konversi dalam skala yang cukup besar di wilayah Sumatera. Transformasi hutan menjadi sistem perkebunan telah berdampak negatif pada komponen ekosistem seperti penurunan produktivitasfine rootdancoarse root. Saat ini, sebagian besar studi hanya fokus pada pengaruh penggunaan lahan terhadap produktivitasfine root, sedangkan data mengenai biomassa dan kandungan hara padacoarse rootmasih sedikit.Fine root

dan coarse root berkontribusi sekitar 30-50% pada produksi primer bersih tahunan, yang berpengaruh signifikan pada siklus karbon global. Meskipun fine root memiliki kandungan hara lebih tinggi dibanding coarse root, namun biomassa yang tinggi padacoarse rootmenjadikancoarse rootsebagai komponen yang lebih berperan dalam menyimpan hara di areal hutan. Kandungan hara yang terdapat pada coarse root dapat menjadi sumber hara pada bahan organik bila jaringannya mati. Akar mati menyumbang karbon dan nitrogen serta unsur hara penting ke dalam tanah, dan keberadaanya dapat dipertahankan dalam tanah dalam waktu yang cukup lama. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengukur

biomassa, simpanan karbon dan nitrogen coarse root serta mengetahui

hubungannya dengan biomassa aboveground, (2) biomassa dan nekromassa fine root dan morfologi fine root, serta (3) mengukur fraksi aktif bahan organik tanah pada hutan alam, hutan karet, perkebunan karet, dan perkebunan kelapa sawit di wilayah Hutan Harapan, Jambi.

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juni 2014 - Januari 2015. Sampel akar diperoleh dengan metode destruktif dengan kedalaman tanah hinggga 150 cm pada empat tipe penggunaan lahan yakni hutan alam, hutan karet, perkebunan karet dan perkebunan kelapa sawit. Analisis karbon dilakukan dengan metode Walkley and Black, sedangkan total nitrogen dianalisis dengan metode Kjeldahl. Data morfologi fine root diperoleh dengan menggunakan analisis WinRhizo. Kemudian data morfologi dan data biomassa fine root digunakan untuk menghitung densitas jaringan akar (RTD), kelimpahan ujung akar, dan

specific root area (SRA). Pendugaan biomassa aboveground dilakukan dengan menggunakan persamaan allometrik. Bahan organik tanah dianalisis dengan metode fraksionasi.

Total biomassa akar menurun seiring dengan meningkatnya intensitas penggunaan lahan, demikian juga biomassaaboveground. Biomassaaboveground

memiliki korelasi positif dengan kandungan karbon maupun nitrogen padacoarse root. Perkebunan monokultur (karet dan kelapa sawit) memiliki kandungan hara pada coarse root lebih rendah dibandingkan hutan alam dan hutan karet. Distribusi vertikalfine rootmemperlihatkan penurunan yang cukup tajam di hutan alam dan hutan karet dibandingkan perkebunan karet dan kelapa sawit. Morfologi

(8)

penelitian ini secara keseluruhan menunjukkan bahwa transformasi hutan alam

menjadi sistem agroforestri dan perkebunan monokultur mengakibatkan

penurunan biomassa dan kandungan hara pada coarse root serta penurunan total bahan organik tanah.

(9)

SUMMARY

YUNA PRANSISKA. Forest Conversion Impact on Fine, Coarse roots, and Soil Organic Matters in Tropical Lowlands of Jambi. Supervised by TRIADIATI and SOEKISMAN TJITROSOEDIRJO.

Recently, the rate of deforestation in Sumatera is still high. Harapan Forest Jambi is areas experiencing a large scale conversion, within Sumatera. Transformation of natural forest to plantations impacted negatively to ecosystem component, e.g. reduction in fine and coarse root production. Currently, most of studies on impacts of forest conversion on the root system of tropical land-use types have focused on biomass stocks and productivity of the fine root. In contrast, precise data on biomass and nutrients in the coarse root stocks of tropical forest are few. Fine and coarse roots contribute about 30-50% of annual net primary production, and therefore to have a significant role in the global C cycle. Furthermore, coarse root have been recognized as important component contributing to soil organic matter, because they can transfer carbon and nitrogen as well as other important nutrients once incorporated into the soil, and can be maintained in the soil in a long time. The objectives of the study were (1) to quantify the coarse root biomass, C and N coarse root stocks in their relation to above ground biomass, (2) to quantify dead root biomass, fine root biomass and fine root morphology (3) to determine active fraction on soil organic matter in the natural forests, jungle rubber, rubber and oil palm plantations in the Harapan Forest, Jambi.

The study was conducted from June 2014 to January 2015. Root biomass and fine root morphology were investigated with a destructive method in 150 cm deep soil pits along a gradient of increasing land-use intensity, i.e. in natural forest, jungle rubber, rubber and oil palm monocultures. The carbon concentration was measured by Walkley and Black method, whereas N concentration was determined with Kjeldahl technique. Fine root morphology were analysed using WinRhizo image processing unit. The morphological and fine root biomass data were then used to calculate the root tissue density (RTD), specific root tip abundance,and specific root area (SRA). A tree allometric equation was used to estimate associated aboveground biomass. Soil organic matter was assessed using a fractionation method.

(10)
(11)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(12)
(13)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Biologi Tumbuhan

DAMPAK KONVERSI HUTAN MENJADI PERKEBUNAN PADA

KUALITAS

FINE, COARSE ROOT

DAN BAHAN ORGANIK

TANAH DI HUTAN TROPIS DATARAN RENDAH JAMBI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(14)
(15)

Judul : Dampak Konversi Hutan Menjadi Perkebunan Pada Kualitas

Fine, Coarse root dan Bahan Organik Tanah di Hutan Tropis Dataran Rendah Jambi

Nama : Yuna Pransiska

NRP : G353130311

Disetujui Oleh

Komisi Pembimbing

Dr Dra Triadiati, MSi Dr Ir Soekisman Tjitrosoedirjo, MSc

Ketua Anggota

Diketahui Oleh

Koordinator Program Studi Biologi Tumbuhan

Dr Ir Miftahudin, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, Msc Agr

(16)
(17)
(18)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2014 ini yaitu Dampak Konversi Hutan Menjadi Perkebunan Pada Kualitas Fine, Coarse root

dan Bahan Organik Tanah di Hutan Tropis Dataran Rendah Jambi. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni 2014 sampai Januari 2015 di kawasan Hutan Harapan dan area sistem transformasi Hutan Harapan Kabupaten Batang Hari, Jambi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Dra Triadiati, MSi dan Dr Soekisman Tjitrosoedirjo, MSc selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan nasihat, motivasi, saran serta bimbingan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada bapak dan ibu pengajar Program Studi Biologi Tumbuhan (BOT) atas semua ilmu, pengalaman, bimbingan, dan nasihat selama ini, Dirjen Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas pemberian Beasiswa Beasiswa Program

Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN), CRC 990 Project (German Research

Foundation) atas dukungan dana penelitian, Syahrul kurniawan untuk data kandungan tanah, PT. REKI, Laboratorium Universitas Jambi, Laboratorium Fisiologi Tumbuhan FMIPA IPB, untuk perizinan dan fasilitas penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, seluruh keluarga dan sahabat atas segala doa, dukungan, serta kasih sayangnya.

Semoga penelitian ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2016

(19)
(20)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

BiomassaBelowground 5

Bahan Organik Tanah 6

Tipe Bahan Organik Tanah 7

3 METODE 9

Waktu dan Tempat Penelitian 9

Metode Pengukuran Biomassa Akar 10

Pendugaan BiomassaAboveground 12

Fraksionasi Bahan Organik Tanah 12

Analisis Statistik 12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 14

Hasil 14

Pembahasan 22

5 SIMPULAN DAN SARAN 27

Simpulan 27

Saran 27

DAFTAR PUSTAKA 28

(21)

DAFTAR TABEL

1 Informasi lingkungan dan iklim mikro pada lokasi hutan alam (HF), hutan

karet (HJ), perkebunan karet (HR) dan perkebunan kelapa sawit (HO) 10

2 Kandungan C, N (g m-2), dan rasio C/N coarse root dari lokasi hutan alam (HF), hutan karet (HJ), perkebunan karet (HR), dan perkebunan

kelapa sawit (HO) pada lima tingkat kedalaman tanah 15

3 Persentase relatif biomassa fine root, nekromassa fine root, biomassa

coarse root dan total biomassa akar pada kedalaman tanah 30 cm dari permukaan tanah pada empat lokasi penelitian di Hutan Harapan

(Sumatera, Indonesia) 17

4 Rata-rata diameter, RTD, SRA, dan kelimpahan ujung akar darifine root

pada lokasi hutan alam (HF), hutan karet (HJ), perkebunan karet (HR),

dan perkebunan kelapa sawit (HO) pada kedalaman tanah 150 cm 17

5 Rata-rata nekromassafine root(g m-2) dari lokasi hutan alam (HF), hutan karet (HJ), perkebunan karet (HR), dan perkebunan kelapa sawit (HO)

pada lima tingkat kedalaman tanah 18

6 Bobot kering (g kg-1) fraksi bahan organik tanah (fraksi ringan, fraksi

sedang, dan fraksi berat) pada empat lokasi penelitian 20

7 Hasil komponen utama Principal Component Analysis (PCA) dari

biomassa, morfologi akar, dan kandungan tanah mineral pada empat

lokasi penelitian di Hutan Harapan 22

DAFTAR GAMBAR

1 Peta lokasi penelitian di Kabupaten Batang Hari, Provinsi Jambi 9

2 Perbedaan kondisi empat lokasi penelitian 10

3

Lokasi pengambilan sampel

11

4 Rata-rata biomassa coarse rootdari lokasi hutan alam (HF), hutan karet (HJ), perkebunan karet (HR), dan perkebunan kelapa sawit (HO) pada

lima tingkat kedalaman tanah 14

5 Biomassa fine root dari empat lokasi penelitian pada tingkat kedalaman

tanah (0-150 cm) 16

6 Rata-rata total biomassa akar pada tingkat kedalaman tanah yang berbeda

dari empat lokasi penelitian. 19

7 Biplot hasil komponen utamaPrincipal Component Analysis (PCA) dari biomassa, morfologi akar dan kandungan tanah mineral pada empat

(22)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan Sumatera telah menjadi pusat perhatian internasional, karena dalam seperempat abad terakhir hampir 50% kawasannya terancam punah, diantaranya adalah hutan yang terdapat di Provinsi Jambi (Margono et al. 2012). Konversi hutan dalam skala luas telah menimbulkan dampak besar terhadap perubahan ekosistem, degradasi lingkungan, emisi karbon dan penurunan biodiversitas (Sodhi et al. 2004; Green et al. 2005; Houghton 2005; Fitzherbert et al. 2008). Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi sistem pertanian sering melibatkan deforestasi dan berkaitan dengan degradasi tanah dan penurunan pada fungsi tanah (Amudson et al. 2015). Perubahan struktur dan komposisi vegetasi telah mengubah sistem biologi dalam ekosistem yang meliputi siklus hara seperti karbon dan nitrogen. Karbon merupakan komponen penting penyusun biomassa. Berdasarkan keberadaannya di alam, karbon tersimpan dalam biomassa di atas permukaan (aboveground) dan di bawah permukaan tanah (belowground). Jika dilihat dari proporsi biomassanya, massa belowground memiliki biomassa lebih rendah daripada massa aboveground (Coomes dan Grubb 2000; Mokany et al.

2006). Meskipun demikian komponen belowground diketahui dapat

mempengaruhi sekitar 30-50% dari total produksi primer bersih tahunan (Xiao et al.2003).

Massabelowgroundterdiri dari akar halus (fine root) dan akar kasar (coarse root). Saat ini, sebagian besar studi hanya fokus pada pengaruh penggunaan lahan terhadap produktivitas fine root (Sundarapandian dan Swamy 1996; Harteveld et al. 2007; Hertelet al.2009b), sedangkan data yang akurat mengenai biomassa dan kandungan hara pada coarse root masih sangat jarang (Upadhaya et al. 2005).

Fine root merupakan akar berdiameter ≤2 mm yang memiliki fungsi utama sebagai penyerap unsur hara, O2, dan air (Ostonen et al.2007). Fine root dengan fraksi kecil yakni kurang dari 2% dari biomasa pada hutan, namun berkontribusi lebih dari 30% pada produksi primer bersih tahunan (Vogtet al.1991). Fine root

merupakan komponen ekosistem yang mengalami perubahan secara cepat yang mempengaruhi dinamika karbon pada ekosistem hutan dan sering menjadi indikator terhadap perubahan lingkungan (Helmisaari et al. 2002; Finér et al.

2011; Misir et al. 2013). Coarse root merupakan akar bertekstur kuat dan kokoh berfungsi dalam mengangkut air dan unsur hara yang penting untuk mendukung pertumbuhan pohon. Coarse root memiliki biomassa yang lebih besar daripada

fine root, sehingga berperan penting dalam menyimpan hara hutan (Hellsten et al.

(23)

2

tersedia dalam tanah, sehingga dapat dimanfaatkan kembali oleh tanaman. Bahan organik tanah berdasarkan berat jenis, dikelompokkan menjadi fraksi ringan, sedang, dan berat. Fraksi ringan atau dikenal dengan fraksi aktif merupakan komponen yang paling sensitif terhadap perubahan lingkungan dan sering dijadikan indikator kualitas tanah (Rovira dan Vallejo 2003). Fraksi ini sangat penting dalam mempertahankan kesuburan tanah yaitu sebagai sumber hara, karena laju dekomposisinya yang cepat (Luet al. 2014). Penurunan bahan organik tanah yang signifikan akibat konversi hutan menjadi perkebunan telah dilaporkan oleh beberapa studi di hutan tropis (Guillaume et al. 2015; Van Straaten et al. 2015).

Penelitian tentang dampak transformasi hutan menjadi sistem perkebunan terhadap biomassa, kandungan hara coarse root, serta kontribusinya terhadap bahan organik tanah belum ada (Powers et al. 2011), terutama di Kabupaten Batang Hari, Provinsi Jambi. Hutan Harapan merupakan kawasan hutan yang terletak di perbatasan Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Hutan dengan luasan sekitar 100.000 hektar (ha) ini adalah bekas wilayah hak pengelolaan hutan (HPH), yang dialihkan untuk dikelola dan dipulihkan menjadi kawasan restorasi ekosistem pada areal hutan hujan tropis dataran rendah pertama dan terbesar di Indonesia. Izin pengelolaan Hutan Harapan berdasarkan SK Menhut No 293/Menhut-II/2007 mengenai IUPHHK RE seluas 52.170 ha di Sumatera Selatan. Kemudian berdasarkan SK Menhut No 327/Menhut-II/2010, tanggal 23 Mei 2010 tentang izin IUPHHK RE seluas 46.385 ha di Jambi (Mongabay Indonesia 2014).

Hutan Harapan memiliki keanekaragaman hayati tinggi. Kawasan hutan ini menyimpan berbagai satwa diantaranya adalah harimau Sumatera (Panthera tigris sumaterae), gajah asia (Elephas maximus), beruang madu (Malayan sun bear), ajag (Cuon alpinus), dan ungko(Hylobates agilis). Berdasarkan data terakhir dilaporkan bahwa kawasan Hutan Harapan memiliki sekitar 280 jenis burung, 49 jenis binatang mamalia dan 43 jenis binatang amfibi, 69 jenis diantaranya hampir punah. Selain itu, ditemukan juga 159 jenis pohon, dan salah satu diantaranya sudah rentan, yaitu jenis kayu bulian. Hutan Harapan telah lama menjadi permukiman Suku Anak Dalam (SAD) dan Suku Bathin Sembilan. Kedua komunitas ini merupakan suku asli tertinggal yang telah menetap di dalam hutan sejak ratusan tahun lalu, yang hingga kini masih mengandalkan hutan sebagai tempat tinggal dan mencari makan (Mongabay Indonesia 2014).

(24)

3

tanaman pada suatu lahan. Proses pembukaan lahannya juga melibatkan sistem tebang bakar serta perambahan yang mengakibatkan potensi vegetasinya tidak ada sama sekali. Umur tegakan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan dalam penelitian ini yakni berkisar antara 9-10 tahun. Sedangkan, umur tegakan di perkebunan karet berkisar antara 8-10 tahun. Informasi tentang perubahan vegetasi yang terjadi akibat sistem transformasi penggunaan lahan diperlukan sebagai pengetahuan dasar untuk mengatasi permasalahan lingkungan yang disebabkan oleh transformasi lahan.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) mengukur biomassa, simpanan karbon dan nitrogen coarse rootserta mengetahui hubungannya dengan biomassa

(25)

4

2 TINJAUAN PUSTAKA

Laju konversi hutan di wilayah tropis cenderung semakin meningkat dalam dua dekade terakhir (Gibbs et al. 2010; Tscharntke et al. 2011). Konversi hutan menjadi lahan perkebunan merupakan salah satu permasalahan serius dan kompleks di tingkat regional maupun global. Pada kasus yang terjadi di kawan hutan Asia Tenggara pada akhir dekade, konversi hutan terjadi mulai dari intensitas rendah hingga sedang (FWI/GFW 2002). Pada negara berkembang sekitar 60% dari deforestasi hutan disebabkan oleh kemajuan pertanian (Reid et al. 2004). Hilangnya pohon-pohon di hutan akibat kegiatan deforestasi tidak

hanya mengubah iklim mikro (Ostle et al. 2009) dan menurunkan

keanekaragaman hayati (Sala et al. 2000). Selain itu, deforestasi berdampak secara signifikan terhadap simpanan karbon dalam ekosistem (Jandl et al. 2006; Haghdoostet al.2013).

Karbon merupakan unsur utama penyusun biomassa tumbuhan yang diperoleh dari proses fotosintesis. Kandungan unsur karbon pada jaringan tumbuhan sekitar 50% dari berat kering. Karbon yang tersimpan dalam biomassa hutan dapat terlepas ke atmosfer dalam bentuk CO2 akibat pembakaran hutan. Peningkatan konsentrasi CO2 secara drastis di atmosfer telah menimbulkan masalah lingkungan secara global. Upaya dalam mestabilkan konsentrasi CO2 di atmosfer sangat dibutuhkan untuk menurunkan dampak dari pemanasan global. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan melakukan penanaman jenis tumbuhan berkayu pada areal-areal hutan dan lahan yang terdegradasi. Selain itu, kuantifikasi pertumbuhan tegakan dan simpanan karbon dalam hutan maupun lahan yang terdegradasi sangat dibutuhkan, karena hasilnya dapat menjadi pertimbangan dalam kebijakan manajemen pengelolaan hutan.

Dalam inventarisasi karbon hutan, tehitung setidaknya ada empat kantong

karbon. Keempat kantong karbon tersebut adalah biomassa aboveground,

biomassa belowground, bahan organik mati dan karbon organik tanah (Sutaryo 2009).

a. Biomassa aboveground adalah semua material hidup di atas permukaan, meliputi batang, tunggul, cabang, kulit kayu, biji dan daun dari vegetasi baik dari strata pohon maupun dari strata tumbuhan bawah di lantai hutan.

b. Biomassa belowground adalah semua biomassa dari akar tumbuhan yang hidup. Pengertian akar ini berlaku hingga ukuran diameter tertentu yang ditetapkan.

c. Bahan organik mati meliputi kayu mati dan serasah. Serasah dinyatakan sebagai semua bahan organik mati dengan diameter yang lebih kecil dari diameter yang telah ditetapkan dengan berbagai tingkat dekomposisi yang terletak di permukaan tanah. Kayu mati adalah semua bahan organik mati yang tidak tercakup dalam serasah baik yang masih tegak maupun yang roboh di tanah, akar mati, dan tunggul dengan diameter lebih besar dari diameter yang telah ditetapkan.

(26)

5

BiomassaBelowground

Biomassa belowground adalah jumlah total bahan organik di bawah

permukaan tanah, meliputi akar tumbuhan yang hidup yang dinyatakan dalam berat kering per unit luas. Pengukuran dari simpanan biomassa belowground

sering terlupakan karena letaknya yang sulit dijangkau dan membutuhkan banyak tenaga dalam proses pengukurannya. Akar dikelompokkan berdasarkan ukuran menjadi 2 komponen penting yaknifine rootdancoarse root.

Fine root merupakan akar yang memiliki ukuran diameter kurang dari 2 mm. Fine root berperan penting sebagai komponen penyerap hara, O2, dan air (Ostonen et al.2007). Meskipun fine roothanya terdiri dari beberapa persen dari total biomassa pohon, ternyata akar ini dapat menghabiskan sekitar 30-50% dari total produksi primer bersih tahunan. Biomassa dan mekanismeturnover fine root

lebih berperan dalam mengakumulasikan karbon tanah dibandingkan dengan komponen yang berada di atas permukaan tanah (Blocket al. 2006).

Fine root dapat mempengaruhi dinamika karbon yang menjadi indikator terhadap perubahan lingkungan (Misir et al. 2013). Beberapa studi melaporkan bahwa kerusakan hutan tropis memiliki dampak yang signifikan terhadap

penurunan biomassa fine root (Hertel et al. 2007). Triadiati (2008)

mengemukakan bahwa hutan alam memiliki biomassa fine root lebih tinggi daripada sistem agroforestri di Sulawesi. Leuschneret al.(2009) juga menemukan rata-rata biomassa fine root tertinggi terdapat pada tegakan hutan yang tidak mengalami gangguan, kemudian rata-rata biomassa fine root menurun seiring dengan tingginya intensitas kerusakan hutan. Selain wilayah tropis, reduksi terhadap biomassa fine root akibat konversi juga telah banyak dilaporkan pada beberapa studi di hutan sub tropis di Asia (Yang et al. 2004; Upadhaya et al. 2005). Penurunan yang terjadi pada biomassa fine root merupakan dampak dari aktivitas perusakan selama konversi hutan yang meliputi pembukaan kanopi, perubahan dalam biomassa aboveground dan struktur tegakan akibat sistem penebangan liar pohon-pohon di hutan alam (Harteveld et al. 2007). Beberapa studi menemukan korelasi positif antara tutupan kanopi pohon dengan biomassa

fine root(Hertel et al.2007; Harteveld et al.2007). Hal tersebut terbukti melalui penelitian Hertel et al. (2007) bahwa produksi fine root secara signifikan lebih besar di bawah kanopi tertutup dibandingkan dengan kanopi lebih terbuka.

Karakter morfologi fine root merupakan indikator penting sebagai respon hutan terhadap perubahan ekosistem selain biomassa. Morfologi akar sangat penting dalam menyeimbangkan antara rasio benefit/cost untuk pertumbuhan dan

aktivitas akar. Rasio benefit/cost pada fine root mempengaruhi perubahan

morfologi akar secara tunggal, maupun pada sistem perakaran (Leuschner et al.

(27)

6

Kontribusi fine root terhadap biomassa belowground relatif lebih kecil dibandingkan dengancoarse root (Vogtet al. 1996).Coarse rootmerupakan akar yang berukuran diameter > 2 mm yang berperan dalam mendukung aktivitasfine root dalam menyalurkan hara dan air untuk mendukung struktur pohon (Fogel 1983). Laju pertumbuhan coarse root sama dengan biomassa aboveground yang berkorelasi positif dengan umur dan ukuran pohon (Bijak et al. 2013). Coarse root memiliki tingkat pembusukan yang sangat lambat, sehingga berkontribusi terhadap simpanan karbon pada biomassa belowground lebih dari satu abad setelah panen (Liski et al. 2014). Selain itu coarse root dapat memberikan masukan bahan organik ke tanah ketika jaringannya mati melalui dekomposisi (Toenshoffet al. 2013). Akar mentransfer sejumlah unsur hara penting ke dalam tanah dan keberadaanya dapat dipertahankan dalam tanah dalam waktu yang cukup lama. Transfer hara dari akar mati tidak terlepas dari keberadaan populasi mikroba di tanah yang terlibat dalam penghancuran jaringan tanaman serta mineralisasi hara (Hertelet al.2009b).

Bahan Organik Tanah

Di dalam ekosistem, terdapat hubungan antara beberapa komponen yang dinamis yaitu tanah, tanaman, hara dan air. Tanaman menyerap hara dan air dari dalam tanah untuk dipergunakan dalam proses-proses metabolisme dalam tubuhnya. Sebaliknya tanaman memberikan masukan bahan organik melalui serasah yang tertimbun di permukaan tanah. Ketersediaan hara dalam tanah berawal dari proses dekomposisi dan mineralisasi bahan organik tanah yang telah ada di permukaan dan di dalam tanah.

Bahan organik merupakan salah satu komponen penyusun tanah yang kompleks dan dinamis (Jobággy dan Jackson 2000). Sumber utama bahan organik dapat berupa sisa tanaman maupun binatang yang terdapat di dalam tanah yang terus menerus mengalami perubahan bentuk, karena dipengaruhi oleh faktor biologi, fisika, dan kimia (Christensen 1992). Bahan organik tanah sangat penting bagi ekosistem tanah, yaitu sebagai sumber (source) dan pengikat (sink) hara dan sebagai substrat bagi mikroba tanah. Bahan organik tanah berperan dalam menciptakan kesuburan tanah, baik secara fisika, kimia maupun dari segi biologi tanah. Berikut ini adalah fungsi dari bahan organik tanah terhadap sifat-sifat tanah yaitu:

1. Sebagai granulator, yaitu memperbaiki struktur tanah. 2. Sumber unsur hara N, P, S, unsur mikro dan lain-lain. 3. Menambah kemampuan tanah untuk menahan air.

4. Menambah kemampuan tanah untuk menahan unsur-unsur hara (kapasitas tukar kation tanah menjadi tinggi).

(28)

7

daerah tropika basah yang memiliki resim temperatur isothermik atau isohiperthermik dan ketersediaan air tanah yang beragam sangat menentukan perkembangan populasi mikrobia tanah, sehingga berpengaruh besar tehadap kecepatan dekomposisi komponen bahan organik tanah (Xuet al. 2012).

Tipe Bahan Organik Tanah

Bahan organik tanah dapat diklasifikasikan ke dalam fraksi-fraksi berdasarkan ukuran, berat jenis, dan sifat-sifat kimianya. Berdasarkan fungsinya, bahan organik tersusun dari komponen labil dan stabil. Bahan yang termasuk ke dalam fraksi labil adalah bahan yang sangat cepat terdekomposisi pada awal proses mineralisasi dan akumulasi dari recalcitrant residue (residu yang tahan terhadap pelapukan) yang merupakan sisa dari proses mineralisasi yang terdahulu. Waktu yang dibutuhkan untuk mendekomposisi bahan organik dari fraksi labil dan stabil ini bervariasi mulai dari beberapa bulan hingga ribuan tahun.

Fraksi labil terdiri dari bahan yang mudah didekomposisi, dengan umur berkisar dari beberapa hari sampai beberapa tahun. Bahan organik tanah dari fraksi labil diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu:

1. Bahan yang paling labil merupakan bagian seluler tanaman seperti karbohidrat, asam amino, peptida, gula-amino, dan lipida.

2. Bahan yang agak lambat didekomposisi terdiri dari malam (waxes), lemak, resin, lignin dan hemiselulosa.

3. Biomass dan bahan metabolis dari mikrobia (microbial biomass) dan bahan residurecalcitrantlainnya.

Fraksi labil memiliki peran penting dalam mempertahankan kesuburan tanah yaitu sebagai sumber hara tanaman karena komposisi kimia bahan asalnya dan tingkat dekomposisinya yang cepat. Biomassa mikrobia sangat penting dalam mempertahankan status kandungan bahan organik tanah yang berperanan sebagai

sourcedansinkbagi ketersediaan hara karena daur hidupnya relatif singkat. Fraksi stabil terdiri dari bahan organik tanah yang sangat sulit lapuk. Asam-asam humik merupakan komponen yang termasuk ke dalam komponen fraksi stabil. Asam-asam ini merupakan hasil pelapukan seresah (substansi organik menyerupai lignin) atau kondensasi substansi organik terlarut yang dibebaskan melalui dekomposisi gula, asam amino, polifenol dan lignin. Jadi bisa dikatakan bahwa substansi humik adalah produk akhir dekomposisi bahan organik tanah oleh mikrobia.

Kontribusi substansi humik terhadap ketersediaan hara masih belum banyak diketahui, karena waktu turnover-nya yang terlalu panjang. Meskipun demikian fraksi stabil dari bahan organik ini tetap memegang peranan penting sebagai biological ameliorant terhadap unsur beracun bagi tanaman, berperan dalam pembentukan agregat tanah dan pengikatan kation dalam tanah. Peranan sebagai pengikat kation lebih diutamakan karena pada tanah-tanah masam bahan organik tanah merupakan satu-satunya fraksi tanah bermuatan positif.

(29)

8

kualitas dari input serasah atas dan di bawah tanah yang meliputi perbedaan jumlah, komposisi kimia, dan tingkat transformasi bahan organik.

Bahan organik tanah merupakan indikator penting terhadap perubahan manajemen lahan dan sering digunakan sebagai indikator bagi kualitas tanah (Owen et al. 2008; Armenise et al. 2013; Lu et al. 2014). Kandungan bahan organik tanah dapat mengalami perubahan akibat adanya faktor antropogenik, seperti konversi lahan (Sabaruddinet al.2009). Beberapa studi melaporkan bahwa perubahan penggunaan dan praktek manajemen lahan mempengaruhi kuantitas

bahan organik tanah (Schwanghart dan Jarmer 2011; Azlan et al. 2012).

Guimarães et al. (2013) menyatakan bahwa pengelolaan lahan secara signifikan menurunkan kandungan fraksi labil dari bahan organik tanah.

Bahan organik pada tanah hutan merupakan komponen penting yang ditinjau dari siklus hara, siklus hidrologi, produktivitas hutan, dan neraca karbon global (Sabaruddin et al. 2009). Penurunan kadar bahan organik tanah hutan dengan cepat akibat konversi dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu pelapukan (dekomposisi) bahan organik berlangsung sangat cepat, sebagai akibat tingginya suhu udara dan tanah serta curah hujan yang tinggi. Pengangkutan bahan organik keluar tanah bersama panen secara besar-besaran tanpa diimbangi dengan pengembalian sisa-sisa panen dan pemasukan dari luar, sehingga tanah kehilangan potensi masukan bahan organik (Sixet al. 2002).

Kadar bahan organik tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya kedalaman dan tekstur tanah. Kedalaman tanah menentukan kadar bahan organik tanah. Kadar bahan organik tanah terbanyak ditemukan di lapisan atas tanah 20 cm (15-20%) (Chibsa et al. 2009). Kadar bahan organik semakin berkurang seiring dengan meningkatnya kedalaman tanah (Guimaraes et al. 2013). Azlan et al.(2012) melaporkan korelasi antara bahan organik tanah dengan tekstur tanah. Tekstur tanah mempengaruhi laju dekomposisi bahan organik tanah. Allen et al.

(30)

9

3 METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni 2014 sampai Januari 2015 di kawasan Hutan Harapan dan area sistem transformasi Hutan Harapan Kabupaten Batang Hari. Penelitian dirancang menurut Rancangan Split Plot yakni lokasi penelitian sebagai petak utama dan tingkat kedalaman tanah sebagai anak petak. Penelitian dilakukan pada hutan alam (HF1, HF2, HF3, dan HF4), hutan karet (HJ1, HJ2, HJ3, dan HJ4), perkebunan karet (HR1, HR2, HR3, dan HR4), dan perkebunan kelapa sawit (HO1, HO2, HO3, dan HO4) (Gambar 1). Perbedaan kondisi dari empat lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2, sedangkan informasi lingkungan dan iklim mikro pada area penelitian terlihat pada Tabel 1.

(31)

10

Gambar 2 Perbedaan kondisi empat lokasi penelitian. A. hutan alam; B. hutan karet; C. perkebunan karet; D. perkebunan kelapa sawit.

Tabel 1 Informasi lingkungan dan iklim mikro pada lokasi hutan alam (HJ), hutan karet (HJ), perkebunan karet (HR), dan perkebunan kelapa sawit (HO)

Parameter

Tutupan Kanopi (%)a 92.1 87.6 85.8 76.8

Temperatur (oC) 29.4 30.5 31.9 30.4

Kelembapan (%) 74.4 77.6 63.2 60.5

Ketinggian (m dpl) 58-77 51-95 59-90 48-81

a

Sumber: Kotowskaet al.(2015a).

Pengukuran Biomassa dan Kandungan Hara Akar

(32)

11

Gambar 3 Lokasi pengambilan sampel. ( ) area destruktif.

Pengambilan sampel dilakukan pada jarak 5 m dari plot permanen non destruktif. Selanjutnya dilakukan pengukuran jarak minimum 80 cm dari pohon ke petak contoh yang berukuran 30 cm x 30 cm. Pada pekebunan kelapa sawit, pengambilan sampel dilakukan pada 2 jarak yang berbeda, yakni 80 cm dan 4.5 m dari pohon. Kemudian tanah digali pada petak tersebut dengan lima tingkat kedalaman yaitu 0-10 cm, 10-30 cm, 30-50 cm, 50-100 cm, dan 100-150 cm. Semua akar yang terlihat dimasukkan ke dalam plastik, setelah itu akar dicuci dan dikelompokkan berdasarkan diameternya menjadi fine root (diameter ≤ 2 mm) dan coarse root (diameter > 2 mm). Akar herba dan rumput yang banyak ditemukan di perkebunan kelapa sawit dan karet dibedakan dari fine dan coarse root berdasarkan ukuran diameternya yang kecil, warnanya yang terang, dan

ketiadaan periderm berlignin (Leuschner et al. 2009). Selanjutnya akar

dikeringkan pada suhu 70 oC selama 3 hari hingga bobot konstan dan ditimbang beratnya untuk didapatkan data biomassa akar. Sampel coarse root dianalisis karbon organiknya dengan menggunakan metode Walkley and Black, sedangkan total nitrogen dianalisis dengan metode Kjeldahl (BPT 2009).

Pengukuran NekromassaFine root

Fine root diamati di bawah mikroskop dan dipisahkan antara yang hidup dan mati berdasarkan warna, elastisitas, tingkat kohesi korteks, periderm, dan stele. Fine root yang mati dicirikan dengan warna korteks dan stele gelap, tidak turgid dan tidak ada periderm (Hertel et al. 2009b). Selanjutnya fine root mati yang diperoleh dikeringkan pada suhu 70 oC selama 3 hari sampai bobot konstan untuk didapatkan data nekromassafine root.

Pengukuran MorfologiFine root

(33)

12

(Re’-gent, Quebec, Canada). Kemudian data morfologi dan data biomassa fine

root digunakan untuk menghitung kelimpahan ujung akar (n jumlah ujung akar per biomassafine rootg),Specific root area(SRA) (cm2luas permukaan akar per biomassa fine root g), dan Root tissue density (RTD) (g biomassa fine root per volume cm3).

Pendugaan BiomassaAboveground

Biomassa aboveground diperoleh dari 16 plot penelitian (50 m x 50 m) dengan total individu pohon 1929. Pendugaan biomassa aboveground dilakukan dengan menggunakan beberapa persamaan allometrik. Untuk biomassa pohon yang berada di lokasi hutan alam, digunakan rumus:

AGB (kg) = 0.0509 +ρD2H (1)

Biomassa aboveground (AGB) diduga berdasarkan ukuran masa jenis

pohon yang disimbolkan dengan ρ, diameter yang disimbolkan dengan D, dan H adalah simbol untuk tinggi pohon (Chave et al. 2005). Biomassa pohon karet (Hevea brasiliensis)diduga berdasarkan ukuran area basal (BA) mengikuti IPCC (2003), dengan rumus berikut:

AGB = -3.84 + 0.528 BA + 0.001BA2 (2)

Pada perkebunan kelapa sawit, digunakan persamaan allometrik yang diterapkan oleh Asariet al.(2013) yaitu dengan rumus sebagai berikut:

AGB = 71.797 (H)–7.0872 (3)

Fraksionasi Bahan Organik Tanah

Sampel tanah ditimbang sebanyak 500 g dan direndam selama 24 jam. Tanah tersebut selanjutnya disaring sebanyak dua kali. Penyaringan pertama dilakukan dengan menggunakan saringan yang berukuran lubang pori 250 µm, kemudian dilanjutkan dengan menggunakan saringan dengan ukuran lubang pori 150 µm. Fraksi organik yang telah dihasilkan dari penyaringan disebut sebagai makroorganik. Makroorganik kemudian difraksionasi dengan menggunakan larutan suspensi silica (Ludox) dengan densitas 1.13 dan 1.37 g cm-3. Makroorganik terlebih dahulu difraksionasi dengan larutan ludox berukuran 1.13 g cm-3. Setelah sekitar 10 menit, diambil bagian yang mengapung pada larutan tersebut. Bagian yang terapung dikelompokkan menjadi fraksi ringan. Selanjutnya dilakukan fraksionasi kedua pada larutan dengan densitas 1.37 g cm-3, kemudian diambil bagian yang terapung dan dikelompokkan menjadi fraksi sedang, sedangkan bagian yang mengendap disebut sebagai fraksi berat. Setiap fraksi tersebut kemudian dioven pada suhu 60 oC selama 3 hari sampai mendapatkan berat kering yang konstan (Meijboomet al. 1995).

Analisis Statistik

Data biomassa akar (coarse root, fine root), nekromassa fine root, kandungan C dan N coarse root, dan fraksi bahan organik tanah dianalisis menggunakan GLM (General Linear Model), kemudian uji lanjut yang digunakan adalah Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT). Untuk mengetahui hubungan antara kandungan karbon dan nitrogencoarse rootdengan biomassaaboveground

(34)

13

(35)

14

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Biomassa, dan Kandungan C, N dan Rasio C/NCoarse root

Hutan alam (HJ) memiliki total biomassa coarse root lebih tinggi daripada perkebunan karet (HR) maupun perkebunan kelapa sawit (HO) (p < 0.05) (Gambar 4). Hutan karet (HJ) memiliki total biomassa coarse root lebih tinggi daripada perkebunan kelapa sawit (HO) (p < 0.05). Biomassa coarse root

menurun seiring dengan meningkatnya tingkat kedalaman tanah.

Gambar 4 Rata-rata biomassa coarse root dari lokasi hutan alam (HJ), hutan karet (HJ), perkebunan karet (HR), dan perkebunan kelapa sawit (HO) pada lima tingkat kedalaman tanah. Huruf kapital yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan diantara lokasi penelitian, sedangkan huruf kecil yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan diantara tingkat kedalaman tanah pada lokasi penelitian. Garis bar pada grafik menunjukkan Standar Error (SE) pada uji DMRT (p< 0.05).

Perkebunan kelapa sawit (HO) memiliki biomassa coarse root lebih rendah pada kedalaman tanah 0-10 cm jika dibandingkan tiga lokasi lainnya (Gambar 4). Biomassa coarse root pada kedalaman tanah 10-30 cm dan 50-100 cm tidak berbeda secara signifikan (p < 0.05) diantara empat lokasi penelitian. Biomassa

(36)

15

Tabel 2 Kandungan C, N (g m-2), dan rasio C/N coarse root dari lokasi hutan alam (HJ), hutan karet (HJ), perkebunan karet (HR), dan perkebunan kelapa sawit (HO) pada lima tingkat kedalaman tanah

Lokasi penelitian Kedalaman

Total 1383.91 ± 134.27 B 25.790 ± 4.634 B

Hutan karet

Total 992.08 ± 280.29 AB 22.371 ± 7.321 B

Perkebunan karet

Total 655.93 ± 297.04 A 13.061 ± 5.470 AB

Perkebunan

Angka yang diikuti huruf kapital yang sama menunjukkan tidak signifikan diantara tingkat kedalaman tanah pada lokasi penelitian yang sama atau diantara total profil tanah yang berbeda, sedangkan huruf kecil yang sama menunjukkan tidak signifikan diantara lokasi penelitian pada tingkat kedalaman yang sama (DMRT,p< 0.05).

Distribusi vertikal biomassa coarse root memperlihatkan pola yang sama dengan distribusi kandungan hara coarse root pada tingkat ekosistem maupun pada tingkat kedalaman tanah. Total kandungan C dan N coarse root di lokasi hutan alam (HJ) lebih tinggi (p < 0.05) daripada perkebunan kelapa sawit (HO).

Hutan karet (HJ) memiliki kandungan C dan N coarse root tidak berbeda

(37)

16

Hasil analisis korelasi, terdapat korelasi positif yang signifikan (p < 0.05) antara biomassaaboveground dengan kandungan C (r = 0.500,p= 0.048 ), dan N (r = 0.619, p = 0.011) pada coarse root. Namun, tidak terdapat korelasi antara biomassaabovegrounddengan rasio C/N padacoarse root(p< 0.05).

Biomassa dan MorfologiFine root

Biomassafine root yang terdapat pada tegakan hutan alam secara signifikan lebih tinggi (p < 0.05) daripada perkebunan kelapa sawit. Sebagian besar, biomassafine rootlebih terkonsentrasi pada kedalaman tanah 0-10 cm, kemudian biomassa menurun seiring dengan meningkatnya kedalaman tanah. Pada umumnya terdapat perbedaan yang signifikan (p < 0.05) pada pola distribusi vertikal biomassa fine root pada 4 tipe lokasi penelitian. Biomassa fine root

menurun seiring dengan meningkatnya intensitas penggunaan lahan (Gambar 5). Sekitar 60% biomassa fine root ditemukan pada lokasi hutan alam, hutan karet dan perkebunan karet, sedangkan pada lokasi perkebunan kelapa sawit hanya 45% biomassa fine root yang ditemukan di lapisan permukaan atas tanah (10 cm dari atas tanah) (Tabel 3).

Gambar 5 Biomassa fine root dari empat lokasi penelitian pada tingkat

(38)

17

Tabel 3 Persentase relatif biomassa fine root, nekromassa fine root, biomassa

coarse root dan total biomassa akar pada kedalaman tanah 30 cm dari permukaan tanah pada empat lokasi penelitian di Hutan Harapan (Sumatera, Indonesia)

Rata-rata diameterfine rootberkisar antara 0.69 hingga 1.11 mm dari semua tegakan yang diteliti. Pada penelitian ini diperoleh nilai RTD tidak berbeda secara signifikan (p < 0.05) antar lokasi. Lokasi hutan karet (HJ) merupakan area transformasi yang memiliki nilai SRA dan jumlah ujung akar per biomassa akar yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi hutan alam (HJ) dan perkebunan karet (HR). Namun, tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p < 0.05) antara nilai SRA dan kelimpahan ujung akar antar tingkat kedalaman tanah (Tabel 4).

Tabel 4 Rata-rata diameter, RTD, SRA, dan kelimpahan ujung akar dari fine root

pada lokasi hutan alam (HJ), hutan karet (HJ), perkebunan karet (HR), dan perkebunan kelapa sawit (HO) pada kedalaman tanah 150 cm

(39)

18

NekromassaFine root

Pada umumnya nekromassa fine rootbervariasi antar lokasi dan kedalaman

tanah. Perkebunan kelapa sawit (HO) memiliki nekromassa fine root pada

kedalaman 10 cm dari permukaan tanah yang lebih rendah (p < 0.05) dibandingkan hutan alam (HJ). Namun hal ini berbeda dengan lapisan tanah 10-30 cm dan 50-100 cm, perkebunan kelapa sawit (HO) menghasilkan nekromassa tertinggi. Nekromassa fine root tidak berbeda signifikan (p < 0.05) antar lokasi pada kedalaman tanah 100-150 cm (Tabel 5).

Tabel 5 Rata-rata nekromassafine root(g m-2) dari lokasi hutan alam (HJ), hutan karet (HJ), perkebunan karet (HR), dan perkebunan kelapa sawit (HO) pada lima tingkat kedalaman tanah

Lokasi penelitian Kedalaman tanah (cm) Nekromassafine root(g m-2) Hutan alam

(40)

19

Pada lokasi hutan karet (HJ) dan perkebunan karet (HR), tidak terdapat perbedaan nekromassa fine root antar tingkat kedalaman tanah, sedangkan pada hutan alam (HJ), nekromassa fine root menurun seiring dengan meningkatnya kedalaman tanah. Nekromassafine root pada perkebunan kelapa sawit (HO) yang terdapat pada kedalaman tanah 10-30 cm secara signifikan (p < 0.05) lebih tinggi dibandingkan tingkat kedalaman tanah lainnya.

Gambar 6 Rata-rata total biomassa akar pada tingkat kedalaman tanah yang berbeda dari empat lokasi penelitian. Data menunjukkan nilai rata-rata ± SE (n=8).

(41)

20

Bahan Organik tanah

Hutan alam dan perkebunan kelapa sawit memiliki total bahan organik tanah lebih tinggi (p< 0.05) daripada perkebunan karet. Total kandungan bahan organik tanah pada dua lokasi tersebut sangat didukung oleh tingginya kandungan fraksi berat bahan organik tanah (p< 0.05).

Kandungan bahan organik tanah baik pada fraksi ringan maupun fraksi sedang tidak berbeda secara signifikan (p < 0.05) diantara empat lokasi. Diantara tiga jenis fraksi, fraksi berat bahan organik tanah memiliki proporsi tertinggi pada lokasi hutan alam (HJ) dan perkebunan kelapa sawit (HO), disisi lain pada perkebunan karet, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan (p < 0.05) antar fraksi bahan organik tanah (Tabel 6).

Tabel 6 Bobot kering (g kg-1) fraksi bahan organik tanah (fraksi ringan, fraksi sedang, dan fraksi berat) dari lokasi hutan alam (HJ), hutan karet (HJ), perkebunan karet (HR), dan perkebunan kelapa sawit (HO)

Fraksi menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT (p< 0.05).

Analisis Multivariat Keterkaitan antara Biomassa, Morfologi Akar, dan Kandungan Tanah terhadap Sistem Penggunaan lahan

Hasil dari analisis PCA menunjukkan bahwa tidak terdapat kedekatan karakteristik antara lokasi perkebunan kelapa sawit dan hutan alam. Hal ini terlihat kedua lokasi tersebut berada pada kelompok yang terpisah, sedangkan perkebunan karet dan hutan karet memperlihatkan kedekatan karakteristik yang dihubungkan oleh axis pertama dan kedua pada grafik PCA (Gambar 6).

Pada axis 1 memperlihatkan korelasi positif dengan rasio C/N coarse root, sedangkan korelasi negatif terhadap beberapa variabel, yaitu biomassa coarse root, total biomassa akar dari total profil tanah, biomassa dan nekromassa fine root, biomassa coarse root dan total biomassa akar yang terdapat di permukaan tanah (30 cm dari atas tanah), biomassa fine root, biomassa coarse root, nekromassa fine root, dan total biomassa akar yang berada di lapisan top soil (Tabel 7).

(42)

21

diperoleh hasil bahwa perkebunan kelapa sawit tidak hanya memiliki nilai rasio C/N yang lebih tinggi di dalam jaringan coarse root, tetapi juga menunjukkan fraksi yang lebih besar dari keseluruhan sistem perakaran di lapisan tanah yang lebih dalam dibandingkan dengan tiga lokasi lainnya. Pada posisi axis kedua dari grafik PCA terlihat bahwa hutan alam terpisah dari tiga lokasi lainnya. Di Axis kedua ini menjelaskan korelasi positif dengan variabel diameter fine root, nilai SRA fine root dan kandungan liat dari tanah mineral sedangkan RTD fine root, biomassa coarse root, total biomassa akar dan nekromassa fine root dari total profil tanah berkorelasi negatif dengan sumbu ini. Axis ketiga PCA memiliki korelasi positif dengan biomassafine rootdari total profil tanah dan di lapisan top soil serta kandungan pasir dari tanah mineral, sedangkan biomassa coarse root

pada lapisan top soil dan kandungan lumpur dari tanah mineral memiliki hubungan negatif dengan axis ini (Tabel 7).

Gambar 7 Biplot hasil analisis komponen utama Principal Component Analysis

(43)

22

Tabel 7 Hasil analisis komponen utama Principal Component Analysis (PCA) dari biomassa, morfologi akar, dan kandungan tanah mineral pada empat lokasi penelitian di Hutan Harapan

Variabel Axis 1 Axis 2 Axis 3 Axis 4 EV 0.283 EV 0.217 EV 0.169 EV 0.111

Biomassafine root(total profil) -0.315 (0.10) -0.189 (0.14) 0.437 (0.33) -0.217 (0.37) Nekromassafine root(total profil) 0.461 (0.22) -0.604 (0.58) -0.491 (0.82) 0.079 (0.83) Biomassacoarse root(total profil) -0.670 (0.45) -0.530 (0.73) -0.296 (0.82) 0.276 (0.89) Total biomassa akar (total profil) -0.528 (0.28) -0.625 (0.67) -0.351 (0.79) 0.285 (0.87) Biomassfine rootdi lapisan top soil (% profil) -0.642 (0.41) 0.317 (0.51) 0.512 (0.78) -0.248 (0.84) Nekromassafine rootdi lapisan top soil (% profil) -0.665 (0.44) 0.350 (0.56) 0.265 (0.63) -0.228 (0.69) Biomassacoarse rootdi lapisan top soil (% profil) -0.687 (0.47) -0.175 (0.50) -0.563 (0.82) 0.129 (0.84)

Total biomassa akar di lapisan top soil (% profil) -0.893 (0.80) 0.060 (0.81) -0.100 (0.81) -0.102 (0.82)

Diameterfine root -0.366 (0.13) 0.735 (0.61) -0.374 (0.81) 0.184 (0.85)

SRAfine root 0.062 (0.00) 0.499 (0.25) 0.025 (0.25) 0.636 (0.66)

RTDfine root -0.174 (0.03) -0.763 (0.61) 0.239 (0.67) -0.552 (0.98)

Rasio C/Ncoarse root 0.881 (0.78) -0.214 (0.82) -0.015 (0.82) -0.114 (0.84)

Kandungan pasir 0.039 (0.00) -0.407 (0.17) 0.648 (0.59) 0.544 (0.88)

Kandungan lumpur -0.071 (0.01) -0.012 (0.01) -0.665 (0.45) -0.424 (0.63)

Kandungan liat 0.362 (0.13) 0.589 (0.48) -0.408 (0.65) -0.279 (0.72)

Korelasi antara variabel dengan axis pada analisis komponen utamaPrincipal Component Analysis

(PCA) ditunjukkan dengan angka yang dicetak tebal.

Pembahasan

Kandungan C, N, dan Distribusi Coarse root. Perubahan penggunaan lahan dari hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit menurunkan biomassa dan kandungan C dan N pada coarse root. Penurunan total biomassa akar yang terdiri dari coarse root dan fine root pada perkebunan monokultur lebih besar dibandingkan hutan alam, yaitu mencapai lebih dari 50%. Biomassa coarse root

dan fine root dipengaruhi oleh struktur tegakan terutama struktur aboveground

dan densitas tegakan. Menurut Finér et al. (2011) bahwa struktur tegakan merupakan faktor yang lebih mempengaruhi biomassa dan produksi akar

dibandingkan dengan faktor lingkungan. Selain itu, densitas biomassa

aboveground merupakan faktor penduga densitas biomassa akar (Cairns et al.

1997). Penurunan biomassa yang terjadi dari hutan alam ke perkebunan monokultur pada lokasi penelitian diduga sebagai akibat dari aktivitas perusakan seperti sistem tebang bakar serta penanaman jenis tanaman baru yang telah menyebabkan perubahan struktur dan komposisi tegakan. Hal tersebut secara tak

langsung mempengaruhi penyerapan karbon dalam proses pembentukan

biomassa. Dengan demikian transformasi hutan menjadi perkebunan monokultur mengakibatkan dampak negatif terbukti adanya penurunan yang signifikan pada biomassa dan kandungan hara pada akar (Kenzoet al.2014; Sahneret al.2015).

(44)

23

ditemukan pada kedalaman 30 cm dari permukaan tanah, sedangkan pada perkebunan kelapa sawit sekitar 60% dari biomassa akar terdapat pada kedalaman tanah di bawah 30 cm. Sommeret al. (2000) melaporkan bahwa akar kelapa sawit dapat tumbuh hingga kedalaman 6 m. Selain itu, Lamade dan Bouillet (2005) melaporkan bahwa perkembangan akar kelapa sawit ditemukan hingga kedalaman 40 cm dari permukaan tanah jenis podzolik di Sumatera Utara. Perkebunan kelapa sawit memiliki biomassa coarse root lebih rendah jika dibandingkan tiga lokasi lainnya pada tingkat kedalaman tanah 0-10 cm. Hal ini juga terlihat pada hasil analisis komponen utama yakni perkebunan kelapa sawit mengelompok pada axis yang mengkorelasikan antara distribusi akar di lapisan top soil dan total biomassa akar. Rendahnya biomassa akar pada perkebunan kelapa sawit disebabkan karena arsitektur dari akar kelapa sawit. Kelapa sawit merupakan tumbuhan monokotil dengan sistem akarnya serabut yang didominasi akar halus yang bercabang dan pola pertumbuhan radiatif (Jourdan dan Rey 1997; Haronet al.1998; Syahrinudin 2005; Corley dan Tinker 2007). Selain itu, distribusi spasial akar kelapa sawit mungkin dipengaruhi juga oleh jarak pada saat pengambilan sampel akar yang sangat dekat dengan pohon.

Dampak negatif dari konversi hutan menjadi perkebunan monokultur karet dan kelapa sawit terlihat pada simpanan karbon dan nitrogen. Konversi hutan menjadi sistem perkebunan menyebabkan penurunan stok karbon dan nitrogen. Dari semua tegakan hasil transformasi hutan, hutan karet merupakan suatu sistem agroforestri yang dinilai memberikan keuntungan tidak hanya dari segi ekonomi, tetapi juga secara ekologi karena konsentrasi karbon dan nitrogen pada coarse root lebih tinggi jika dibandingkan dengan perkebunan kelapa sawit. Oleh karena itu tingginya biomassa coarse root pada hutan karet memperlihatkan bahwa tegakan ini lebih besar perannya sebagai penyimpan C dan N daripada perkebunan kelapa sawit.

Biomassa dan Morfologi Fine root. Biomassa fine root memperlihatkan pola distribusi yang sama dengan biomassa coarse root. Biomassa fine root

menurun dengan meningkatnya intensitas pemanfaatan lahan, yaitu dari hutan ke pekebunan kelapa sawit. Hal ini didukung oleh penelitian Kotowskaet al.(2015a) bahwa biomassafine rootlebih rendah pada perkebunan karet dibandingkan hutan alam. Namun, jika dibandingkan dengan nilai yang lebih tinggi dari biomassa akar kelapa sawit yang telah di jelaskan pada penelitian terdahulu di Malaysia, hal tersebut dapat dikaitkan dengan tingginya variabilitas spasial dan temporal dalam sistem perakaran perkebunan kelapa sawit, tetapi dapat juga disebabkan oleh teknik pengambilan sampel yang berbeda. Pada pengamatan densitas akar di perkebunan kelapa sawit menunjukkan hasil yang lebih besar terutama di area piringan pemupukan yang berada di sekitar kelapa sawit (Henson dan Chai 1997; Carr 2011).

(45)

24

yang mengarah pada kondisi iklim mikro lebih ekstrim di permukaan tanah (Luskin dan Potts 2011), serta penurunan suplai hara karena menurunnya input serasah (Kotowska et al. 2015b), meskipun pada perkebunan kelapa sawit telah dikompensasi oleh aktivitas pemupukan yakni 48-88 kg N, 21-38 kg P dan 40-73 kg K ha-1 tahun-1 (Allen et al. 2015). Menurut Harteveld et al. (2007) bahwa biomassafine rootmeningkat ketika persentase tutupan kanopi tinggi. Hertel et al.

(2007) dan Kotowskaet al.(2015a) menambahkan bahwa, tutupan kanopi adalah faktor utama penentu biomassa dan produktivitas fine root. Beberapa studi tersebut dan hasil penelitian ini mendukung teori Wilczynski dan Pickett (1993) bahwa penurunan biomassa fine root merupakan hasil dari tutupan kanopi yang semakin menurun.

Sebagian besar biomassa fine root lebih terkonsentrasi pada kedalaman tanah 0-10 cm, kemudian biomassa menurun seiring dengan meningkatnya kedalaman tanah. Hasil yang sama diperoleh oleh Jaloviar et al. (2009) bahwa sekitar 42% biomassafine rootdi hutan Badin ditemukan pada lapisan permukaan tanah (0-10 cm) dan sekitar 50% di hutan BTNR (Bukit Timah Nature Reserve) Singapura (Minet al. 2013). Kandungan bahan organik yang tinggi pada lapisan permukaan tanah akibat input serasah, mampu meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang berperan penting bagi kondisi aerasi tanah (Schmid et al.

2002; Allenet al.siap terbit). Faktor tersebut diduga sebagai pendukung besarnya biomassa fine root pada lapisan tersebut. Ibrahima et al. (2010) melaporkan bahwa kandungan hara mempengaruhi distribusi vertikal biomassa fine root. Pengaruh kandungan hara tanah terhadap pola distribusi vertikal fine root pohon telah menjadi fenomena umum yang tidak hanya ditemukan pada tegakan hutan tropis, tetapi juga ditemukan pada tegakan hutan sub tropis (Leuschneret al.2004, Meinenet al.2009; Hertelet al.2013).

Kepadatan akar di perkebunan kelapa sawit tertinggi ditemukan pada kedalaman tanah 10-30 cm. Pola ini juga diamati pada perkebunan kelapa sawit dari berbagai usia pohon di Malaysia dan di Sumatera yang tumbuh pada kondisi tanah liat Ultisol dan Oxisol, tetapi hasil yang berbeda ditemukan pada studi yang dilakukan di Kalimantan dengan kondisi tanah yang sama dengan penelitian sebelumnya (Henson dan Chai 1997; Syahrinudin 2005). Dari data tentang kepadataan akar dapat disimpulkan bahwa akar kelapa sawit memiliki tingkat variabilitas dan adaptasi yang besar pada berbagai jenis tanah.

Hutan karet merupakan area transformasi yang memiliki nilai SRA lebih tinggi dibandingkan dengan hutan alam dan perkebunan karet. Menurut Leuschner

(46)

25

Bahan Organik Tanah. Penambahan bahan organik di tanah tidak hanya berasal dari serasah tetapi juga berasal dari akar-akar yang telah mati di bawah tanah. Akar mati dapat memberikan sumbangan pada bahan organik tanah ke dalam ekosistem melalui dekomposisi. Dekomposisi akar mati merupakan proses kunci dalam siklus hara (Lamberset al.2008).

Hutan alam memiliki total bahan organik tanah tidak berbeda signifikan dengan perkebunan kelapa sawit. Total nekromassa fine root pada kedua lokasi tersebut diduga sebagai faktor yang berkontribusi terhadap tingginya total bahan organik tanah. Total bahan organik tanah pada hutan alam dan perkebunan kelapa sawit masing-masing mencapai 58.84 dan 56.84 g kg-1, sedangkan total nekromassa pada hutan alam dan perkebunan kelapa sawit masing-masing 217.19 dan 477.34 g m-2. Meskipun total nekromassa pada hutan alam hanya sekitar setengah dari total nekromassa perkebunan kelapa sawit, namun laju dekomposisi

fine root yang cepat akibat dari tingginya keragaman pohon di lokasi hutan alam, serta didukung dengan tingginya aktivitas mikroba dan komunitas dekomposer di tanah hutan alam diasumsikan sebagai faktor yang berperan dalam pengembalian hara tanah hutan lebih cepat (Krashevskaet al.2015). Hal ini mengakibatkan total bahan organik pada hutan alam sama dengan perkebunan kelapa sawit. Kucbel et al.(2011) menambahkan bahwa perubahan yang cepat pada fine rootmenjadikan

fine root sebagai komponen yang dapat meningkatkan total bahan organik tanah 2-5 kali dibandingkan komponen above ground. Oleh karena itu masukan bahan organik yang besar ke dalam ekosistem melalui dekomposisi fine root dapat mengkompensasi kehilangan hara akibat dari pemanenan di perkebunan kelapa sawit.

Tingginya total bahan organik tanah pada perkebunan kelapa sawit ditandai dengan tingginya fraksi berat bahan organik tanah. Fraksi berat memiliki tingkat dekomposisi lebih lambat dibandingkan fraksi ringan maupun fraksi sedang. Fraksi ini memegang peranan penting sebagai biological ameliorant

terhadap unsur beracun bagi tanaman, berperan dalam pembentukan agregat tanah dan pengikatan kation dalam tanah (Yun et al. 2005). Bahan organik tanah total berperan dalam memperbaiki sifat fisik tanah, salah satunya porositas tanah. Peningkatan porositas tanah akan meningkatkan kemampuan menahan air, sehingga kemampuan zona perakaran khususnya dalam menyediakan air untuk pertumbuhan tanaman meningkat (Hanafiah 2010).

Total bahan organik di perkebunan karet lebih rendah dibandingkan dengan hutan alam. Penurunan input serasah akibat dari kepadatan pohon yang rendah karena jarak tanam yang teratur dan kondisi iklim mikro di perkebunan karet diduga sebagai faktor penyebab rendahnya bahan organik tanah pada perkebunan karet. Chibsa dan Ta’ (2009) dan Thomazini et al. (2015) melaporkan bahwa penurunan kandungan bahan organik tanah terjadi seiring dengan tingginya intensitas pengelolaan lahan. Selain itu Guimarães et al. (2013) menyatakan bahwa penurunan kandungan bahan organik tanah terjadi cukup tajam dalam beberapa tahun pertama akibat perubahan hutan menjadi perkebunan yakni mencapai 48% dari total bahan organik tanah.

(47)

26

(48)

27

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Peningkatan intensitas pemanfaatan hutan berpengaruh pada penurunan biomassa dan kandungan hara coarse root. Perkebunan kelapa sawit memiliki total biomassa dan kandungan C, N coarse root lebih rendah daripada hutan alam, sedangkan biomassa dan kandungan hara coarse root pada hutan alam tidak berbeda dengan hutan karet. Biomassa aboveground memiliki korelasi positif dengan kandungan karbon maupun nitrogen padacoarse root.

2. Distribusi akar vertikal fine root di hutan alam dan hutan karet mengalami penurunan dibandingkan perkebunan karet dan kelapa sawit. Morfologi fine root hutan karet memperlihatkan nilai SRA dan kelimpahan ujung akar yang tinggi. Perkebunan kelapa sawit memiliki biomassa fine rootyang lebih rendah daripada hutan alam.

3. Alih fungsi hutan Harapan Jambi menjadi sistem perkebunan tidak

mempengaruhi kandungan bahan organik tanah fraksi ringan maupun fraksi sedang. Nekromassa fine root menjadi komponen yang berkontribusi besar terhadap total bahan organik tanah pada perkebunan kelapa sawit maupun hutan alam.

Saran

(49)

28

DAFTAR PUSTAKA

Allen K, Corre MD, Tjoa A, Veldkamp E. 2015. Soil nitrogen-cycling responses to conversion of lowland forests to oil palm and rubber plantations in Sumatera, Indonesia.PloS One. 10:1−21.

Allen K. 2015. Impacts of land-use conversion in Sumatera, Indonesia on soil nitrogen cycling, soil nutrient stocks and ecosystem dynamics [disertasi]. Germany (DE): Göttingen, Georg-August Universität, siap terbit.

Amundson R, Berhe AA, Hopmans JW, Olson C, Sztein AS, Sparks DL. 2015. Soil and human security in the 21st century.Soil Sci.348(6235).

Armenise E, Redmile-gordon MA, Stellacci AM, Ciccarese A, Rubino P. 2013. Developing a soil quality index to compare soil fitness for agricultural use under different managements in the Mediterranean environment. Soil Tillage Res. 130:91−98.

Asari N, Suratman MN, Jaafar J, Khalid M. 2013. Estimation of aboveground biomass for oil palm plantations using allometric equations. 2013 4th Int Conf Biol Environ Chem.58:110−114.

Azlan A, aweng ER, Ibrahim CO, Noorhaidah A. 2012. Correlation between soil organic matter, total organic matter and water content with climate and depths of soil at different land use in Kelantan, Malaysia. J Appl Sci Environ Manage. 16(4):353−358.

Bijak S, Zasada M, Bronisz A, Bronisz K, Czajkowski M, Ludwisiak L, Tomusiak R, Wojtan R. 2013. Estimating coarse root biomass in young silver birch stands on post-agricultural lands in central Poland. Silva Fennica.

47(2):1−14.

Block RMA, Van Rees KCJ, Knight JD. 2006. A review of fine root dynamics in Populus plantations.Agrofor Syst.76:73–84.

[BPT] Balai Penelitian Tanah. 2009. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk.Bogor (ID): BPT.

Cairns MA, Brown S, Helmer EH, Baumgardner. 1997. Root biomass allocation in the world's upland forests.Oecologia.111:1−11.

Carr MKV, Lockwood G. 2011. The water relations and irrigation requirements of cocoa (Theobroma cacaoL.): a review.Exp Agric.47:653−676.

Chave J, Andalo C, Brown S, Cairns MA, Chambers JQ, Eamus D, Folster H, Fromard F, Higuchi N, Kira T, Lescure JP, Nelson BW, Ogawa H, Puig H, Rie´ra B, Yamakura T. 2005. Tree allometry and improved estimation of carbon stocks and balance in tropical forests.Oecologia.45:87–99.

Chen G, Yu-sheng Y, Jin-sheng X, Jian-fen G, Ren G, Guang-shui C, Yu-sheng Y, Jin-sheng X, Jian-fen G, Ren G. 2005. Conversion of a natural broad-leafed evergreen forest into pure plantation forests in a subtropical area: effects on carbon storage to cite this version.Ann For Sci. 65:659−668.

Chibsa T, Ta’ AA. 2009. Assessment of soil organic matter under four land use systems in the major soils of bale highlands, South East Ethiopia b. factors affecting soil organic matter distribution. World Appl Sci J. 6(11):1506 – 1512.

(50)

29

Coomes DA, Grubb PJ. 2000. Impacts of root competition in forests and woodlands: A theoretical framework and review of experiments. Ecol Monogr.70:171–207.

Corley RHV, Tinker PB. 2007. The Oil Palm, 4th ed. Blackwell Publishing, Oxford, UK.

Eissenstat DM. 1991. On the relationship between specific root length and the rate of root proliferation: a field study using citrus roottocks. New Phytol. 188:63–68.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2006. Global Forest Assessment 2005: Progress Towards Sustainable Forestry Management. Rome: Food and Agriculture Organization.

Finér L, Ohashi M, Noguchi K, Hirano Y. 2011. Fine root production and turnover in forest ecosystems in relation to stand and environmental characteristics.For Ecol Manage. 262:2008−2023.

Fitzherbert EB, Struebig MJ, Morel A, Danielsen F, Bruehl CA, Donald PF, Phalan B. 2008. How will oil palm expansion affect biodiversity?. Trends Ecol Evol.23:538–545.

Fogel R. 1983. Root turnover and productivity of coniferous forests.Plant Soil.71 (1-3):75–85.

[FWI/GFW] Forest Watch Indonesia and Global Forest Watch. 2002. The state of the forest, Indonesia. Washington DC: Forest Watch Indonesia and Global Forest Watch.

Giardina CP, Binkley D, Ryan MG, Fownes JH, Senock RS. 2004. Belowground carbon cycling in a humid tropical forest decreases with fertilization.

Oecologia.139:545–550.

Gibbs HK, Ruesch AS, Achard F, Clayton MK, Holmgren P, Ramankutty N, Foley JA. 2010. Tropical forests were the primary sources of new agricultural land in the 1980 and 1990.PNAS.107:16732–16737.

Green RE, Cornell SJ, Scharlemann JPW, Balmford A. 2005. Farming and the fate of wild nature.Science.307:550−555.

Guillaume T, Damris M, Kuzyakov Y. 2015. Losses of soil carbon by converting tropical forest to plantations: Erosion and decomposition estimated by ð13C.Glob Chang Biol. 21:3548–3560.

Guimarães DV, Conzaga MIS, Da silva TO, Da silva TL, Dias NS, Matias MIS. 2013. Soil organic matter pools and carbon fractions in soil under different land uses.Soil Tillage Res. 126:177–182.

Hanafiah K A. 2010.Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Rajawali Pr.

Haghdoost N, Akbarinia M, Hosseini SM. 2013. Land-use change and carbon stocks: A case study, Noor County, Iran.J For Res.24(3):461−469

Haron K, Brookes PC, Anderson JM, Zakaria ZZ. 1998. Microbial biomass and soil organic matter dynamics in oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) plantation, West Malaysia.Soil Biol Biochem.30(5):547–552.

Gambar

Gambar 1Peta lokasi penelitian di Kabupaten Batang Hari, Provinsi Jambi.
Tabel 1 Informasi lingkungan dan iklim mikro pada lokasi hutan alam (HJ), hutan
Gambar 3 Lokasi pengambilan sampel. (
Gambar 4Rata-rata biomassa coarse root dari lokasi hutan alam (HJ), hutan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, dengan ini Dekiln Fakuttas Kedokteran ttNS menugaskan personil tersebut dibarvah ini sebagai Narasumber Topik pada

Jadi dari ketiga masalah tersebut akan sangat berdampak yang tidak baik bagi guru tersebut, karena guru tersebut akan mengalami suatu kejenuhan dalam proses

Menurut Syukron (2012) mengatakan bahwa peraturan Bank Indonesia dengan Malaysia tidak ada perbedaan termasuk peraturan tentang jumlah rapat DPS hanya saja Dewan

Sikuen Nukleotida dan Filogenetika ToCV Analisis sikuen nukleotida menunjukkan bahwa gen protein selubung ToCV asal Cipanas memiliki homologi yang tinggi dengan

Analisis menunjukkan beberapa strategi-strategi pemahaman telah digunakan dalam penyelesaian masalah matematik berperkataan iaitu strategi pemahaman dari segi umum

Balance Scorecardmerupakan sistem pengukuran kinerja komprehensif yang meliputi aspek keuangan dan aspek nonkeuangan.Langkah awal yang harus dilakukan adalah menetapkan bobot

Para Wajib Pajak menggunakan tarif amortisasi untuk harta tidak berwujud dengan menggunakan masa manfaat kelompok masa 4 (empat) tahun sesuai pendekatan prakiraan harta

Berdasarkan hasil penelitian tingkat pengetahuan ibu nifas tentang perawatan perineum Di BPS Husnul Hotimah A.Md.Keb Kabupaten Bondowoso Tahun 2015 yang telah dilakukan terhadap 11