• Tidak ada hasil yang ditemukan

Intensitas Kebakaran Hutan dan Estimasi Heat Production Menggunakan Citra Landsat.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Intensitas Kebakaran Hutan dan Estimasi Heat Production Menggunakan Citra Landsat."

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

INTENSITAS KEBAKARAN HUTAN DAN ESTIMASI HEAT

PRODUCTION MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT

AGUNG DWIJAYANTO

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Intensitas Kebakaran Hutan dan Estimasi Heat Production Menggunakan Citra Landsat adalah benar karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015

Agung Dwijayanto

(4)
(5)

ABSTRAK

AGUNG DWIJAYANTO. Intensitas Kebakaran Hutan dan Estimasi Heat Production Menggunakan Citra Landsat. Dibimbing oleh TANIA JUNE dan IDUNG RISDIYANTO.

Tahun 1997, hutan di Kalimantan terbakar hebat. Heat production (Q) merepresentasikan jumlah energi kalor yang dihasilkan dari pembakaran. Intensitas kebakaran (I) adalah laju heat production. Penelitian ini bertujuan memperoleh estimasi nilai Q dan I dari kebakaran di hutan blok C (Kalimantan Tengah) dan blok Bongan (Kalimantan Timur), menganalisis suhu udara dekat permukaan (Ta) sebelum, sesaat setelah terbakar dan beberapa tahun setelah terjadinya recovery, serta mengestimasi waktu yang diperlukan untuk mencapai kesetimbangan antara emisi dan serapan CO2. Estimasi nilai Q dan I didasarkan pada jumlah biomassa yang

terbakar. Model estimasi biomassa didapat dari korelasi antara nilai spectral radiance

kanal SWIR dan data biomassa blok Bongan. Penentuan area terbakar menggunakan indeks Differenced Normalized Burn Ratio (dNBR). Analisis nilai Ta menggunakan metode neraca energi. Hasil penelitian menunjukan nilai Q total dan I total tertinggi terjadi pada tipe kebakaran low severity. Q rataan tertinggi terjadi pada tipe high severity. I rataan tertinggi terjadi pada tipe low severity. Kesetimbangan antara emisi pembakaran biomassa dan serapan CO2 terjadi di blok Bongan dan blok C sebelum

tahun 2014. Nilai Ta rataan meningkat pada saat kebakaran dan menurun di tahun-tahun berikutnya akibat terjadinya recovery.

(6)

ABSTRACT

AGUNG DWIJAYANTO. Forest Fire Intensity and Estimation of Heat Production Using Landsat Image. Supervised by TANIA JUNE and IDUNG RISDIYANTO.

In 1997, Borneo forest burnt severely. Heat production (Q) represents the amount of heat energy which is produced from biomass burning. Fire intensity (I) is the rate of heat production. This study aims to obtain the estimated value of the Q and I of the forest fires in block C (Central Borneo) and block Bongan (East Borneo), to analyze the near-surface air temperature (Ta) before fire, shortly after the fire, few years after the recovery, and to estimate the time that is required to achieve the balance between CO2 emissions and CO2 uptake. Estimated value of Q and I were

based on the amount of burnt biomass. Model of biomass estimation were resulted from the correlation between spectral radiance of SWIR band and ground biomass data of block Bongan. Differenced Normalized Burn Ratio (dNBR) index were used to determine of burnt area. Analysis of Ta used energy balance method. The result of research shows that the highest value of Qtotal and Itotal occurred in low-severity plot.

The highest value of Qaverage occurred in high-severity plot. The highest value of

Iaverage occurred in low-severity plot. Equilibrium between CO2 emissions and CO2

uptake occurred in block Bongan and block C before 2014. The average value of Ta increased in the fire events and decreased in the next years due to recovery.

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

INTENSITAS KEBAKARAN HUTAN DAN ESTIMASI HEAT

PRODUCTION MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT

AGUNG DWIJAYANTO

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Atas segala rahmat dan hidayah Alloh SWT, penulis dapat menyelesaikan tugas akhir

dengan judul “Intensitas Kebakaran Hutan dan Estimasi Heat Production Menggunakan Citra Landsat” sebagai syarat mendapatkan gelar Sarjana Sains di

Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr Ir Tania June, MSc selaku pembimbing 1 dan Bapak Idung Risdiyanto, SSi, MSc selaku pembimbing 2 yang telah memberikan arahan, dukungan dan bimbingan. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayah, Bapak Mukhaibin, ibu tercinta, Ibu Siti Munawaroh, kakak tersayang Eko Teguh Priyatno, serta segenap keluarga yang selalu memberikan doa dan dukungan kepada penulis. Terima kasih kepada rekan-rekan GFM 48 dan segenap keluarga besar Departemen Geofisika dan Meteorologi.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2015

(12)
(13)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN i

PRAKATA ii

DAFTAR ISI iii

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR iv

DAFTAR LAMPIRAN iv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

METODE 2

Bahan 2 Alat 3 Prosedur Analisis Data 3 HASIL DAN PEMBAHASAN 9 Klasifikasi Penutupan Lahan 9 Estimasi Nilai Above Ground Biomass (AGB) 10 Identifikasi Kebakaran Hutan 12

Estimasi Heat Production (Q) 14

Estimasi Intensitas Kebakaran (I) 17

Suhu Udara Dekat Permukaan (Ta) 19

Emisi CO2 Akibat Kebakaran Biomassa 20

Penyerapan CO2 Setelah Recovery 21

SIMPULAN DAN SARAN 23

Simpulan 23

Saran 23

DAFTAR PUSTAKA 23

LAMPIRAN 27

(14)

DAFTAR TABEL

1 Citra Landsat dari tahun 1996 sampai 2014 2

2 Nilai gain dan bias kanal Landsat 5 5

3 Klasifikasi tingkat keparahan (severity) berdasarkan nilai dNBR 6 4 Plot tipe kebakaran dan tutupan lahan di blok C dan blok Bongan 6 5 Daftar nilai h berdasarkan jenis vegetasi dan bagian tubuh vegetasi 7 6 Emisi CO2 dari AGB dan gambut di blok C dan blok Bongan 20 7 Kondisi kesetimbangan antara emisi dan serapan CO2 21

DAFTAR GAMBAR

1 Tutupan lahan blok C sebelum kebakaran, teknik klasifikasi

terbimbing 9

2 Tutupan lahan blok Bongan sebelum kebakaran, teknik klasifikasi

terbimbing 10

3 Model estimasi AGB blok Bongan berdasarkan nilai spectral radiance

kanal SWIR 11

4 Kemampuan spectral radiance kanal SWIR membedakan objek di

permukaan 12

5 Sebaran dNBR blok C (a), sebaran dNBR blok Bongan (b), proporsi luasan area terbakar blok C (d) dan blok Bongan (d) 13 6 Indikasi terjadinya kebakaran hutan tahun 1997 di blok C (a) dan blok

Bongan (b), hotspot (•) dan wilayah kajian (□) 13 7 Heat Production di blok C pada tipe kebakaran low severity (a),

moderate severity (b), high severity (c) 14

8 Heat production total blok C (a) dan heat production rataan blok C (b) 15 9 Nilai Q blok Bongan tipe kebakaran low severity (a), moderate severity

(b), high severity (c) 16

10 Nilai Qtotal (a) dan Q rataan (b) di blok Bongan 17 11 Intensitas kebakaran blok C (a) dan blok Bongan (b) 17 12 Intensitas kebakaran rata-rata blok C (a), I rata-rata blok Bongan (b), I

total blok C (c), I total blok Bongan (d) 18

13 Anomali Ta rataan dari tahun 1996 – 2014 di blok C (a) dan blok Bongan (b), (o) kebakaran tahun 1997, 2002, 2004, 2006, 2009 19 14 Titik panas yang terdeteksi satelit MODIS di blok C pada tahun 2002

(15)

3 Heat production blok Bongan dari awal kebakaran sampai 22 mei

1997 28

4 Heat production blok Bongan dari 22 Mei 1997 – 10 Agustus 1997 28 5 Heat production blokBongan dari 10 Agustus 1997 – 27 September

1997 29

6 Laju pertambahan keliling terbakar blok C 29

7 Intensitas kebakaran blok C dari tanggal 13 Mei – 1 Agustus 1997 29

8 Laju pertambahan keliling terbakar blok C 30

9 Intensitas kebakaran blok C dari 1 Agustus – 2 September 1997 30 10Laju pertambahan keliling terbakar blok Bongan 31 11Intensitas kebakaran blok Bongan dari 22 Mei – 22 Mei 1997 31 12Laju pertambahan keliling terbakar blok Bongan 32 13Intensitas kebakaran blok Bongan dari 22 Mei – 10 Agustus 1997 32 14Laju pertambahan keliling terbakar blok Bongan 33 15Intensitas kebakaran blok Bongan dari 10 Agustus – 27 September

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebakaran hutan menjadi salah satu ancaman terbesar bagi kelestarian hutan. Tahun 1997, kebakaran hebat melanda hutan di Kalimantan. Hoscilo (2009) menyatakan bahwa kebakaran hutan di Kalimantan tahun 1997 terjadi sebagai dampak dari kombinasi El Nino kuat, land clearing, dan pembuatan kanal irigasi di lahan gambut. Proyek lahan pertanian satu juta hektar yang dikembangkan pemerintah Indonesia melatarbelakangi kegiatan pembukaan lahan dan pengeringan lahan-lahan gambut dalam skala besar. Laporan yang dikeluarkan BAPPENAS (1999) menyatakan bahwa 6.6 MHa hutan di Indonesia terdampak kebakaran tahun 1997.

Terbakarnya biomassa hutan menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan. Jumlah karbon yang terlepas ke atmosfer berkaitan erat dengan jumlah biomassa yang terbakar (Malhi et al. 1999). Estimasi jumlah CO2

yang terlepas menjadi penting untuk mengetahui seberapa buruk dampak kebakaran terhadap kualitas udara. Proses terbakarnya biomassa hutan akan melepaskan energi. Heat production merupakan istilah untuk menjelaskan energi panas yang dihasilkan selama proses pembakaran dan kemudian terlepas ke lingkungan (Margolis dan Ryan 1997). Analisis lebih lanjut mengenai seberapa cepat api menyebar menjadi penting terkait dengan seberapa luas area terbakar dan estimasi total jumlah energi panas yang terlepas. Intensitas kebakaran menggambarkan jumlah energi panas yang terlepas untuk setiap pertambahan keliling area terbakar (Palheiro et al. 2006).

Analisis suhu udara dekat permukaan (Ta) sebelum dan setelah terjadinya kebakaran dapat dijadikan sebagai indikator dampak kebakaran hutan. Setelah kebakaran berakhir, hutan akan mengalami pemulihan (recovery) dengan tumbuhnya berbagai vegetasi. Diperlukan adanya perhitungan yang dapat digunakan untuk mengestimasi jumlah CO2 yang dapat diserap kembali oleh

vegetasi setelah terjadinya proses recovery. Penelitian ini penting dilakukan untuk menganalisis energi yang terlepas akibat kebakaran hutan, dampak terhadap suhu udara, emisi CO2 dan laju serapan CO2 setelah recovery.

Tujuan Penelitian

1. Melakukan estimasi nilai heat production dan intensitas kebakaran hutan tahun 1997 di blok C, Kalimantan Tengah dan di area perkebunan kelapa sawit Kecamatan Bongan (blok Bongan), Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur.

2. Menganalisis suhu udara dekat permukaan (Ta) sebelum terbakar, sesaat setelah terbakar dan setelah terjadinya recovery.

(18)

2

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di laboratorium Agrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi dari bulan Februari hingga Mei 2015, meliputi pengunduhan citra Landsat, pengolahan data serta analisis data.

Bahan

Data yang digunakan terdiri dari data biomassa di lahan perkebunan kelapa sawit kecamatan Bongan, kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, serta data-data yang didapat dari citra satelit Landsat. Data hotspot tahun 1997, 2002, 2004, 2006 dan 2009 didapat dari satelit MODIS. Tabel 1 menyajikan citra-citra Landsat yang digunakan pada penelitian.

Tabel 1 Citra Landsat dari tahun 1996 sampai 2014 Tipe

Landsat

Akuisisi

citra Lokasi Path/Row Penggunaan

Landsat 5 29 Jul-96 Blok C 118/62 Landsat 5 22-Jul-96 Bongan 117/60 Heat production, intesitas

(19)

3

Alat

Peralatan yang digunakan pada proses pengolahan citra Landsat adalah seperangkat komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak ArcGis 10 dan ErMapper 7.1.

Prosedur Analisis Data

Deskripsi Wilayah Kajian

Wilayah kajian penelitian meliputi dua lokasi berbeda yaitu hutan blok C Kalimantan Tengah dan lahan perkebunan kelapa sawit di kecamatan Bongan, kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Blok C Kalimantan Tengah merupakan salah satu lokasi Mega Rice Project atau proyek satu juta hektar lahan pertanian pemerintah Indonesia. Luas blok C adalah 448912 Ha. Luas gambut di blok C adalah 324667 Ha (72% dari total luas blok C). Wilayah blok C berbatasan dengan sungai Sebangau di sebelah barat, sungai Kahayan di sebelah timur, laut Jawa di sebelah selatan dan kota Palangkaraya di sebelah utara. Pada tahun 1997, blok C menjadi salah satu lokasi yang mengalami kebakaran, dengan total luas terbakar 150486 Ha (Hoscilo 2009). Sebanyak 79% dari daerah terbakar adalah lahan gambut (118883 Ha). Menurut Hoscilo (2009) dan Page et al. (2002), rata-rata kedalaman terbakar pada tanah gambut adalah 0.51±0.05 meter. Suhu udara

terbakar, Ta

(20)

4

di blok C bervariasi pada rentang 25 – 330C dan RH 85% - 90 %. Curah hujan tahunan 2000 – 3000 mm/tahun.

Blok Bongan terletak di Desa Muara Kedang, Desa Jambuk, Desa Gusik, Kecamatan Bogan, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Luas blok Bongan adalah 11601 Ha. Secara geografis, blok Bongan terletak pada 116o13‟00” - 116o24‟00” BT dan 00o30‟00” - 00o48‟15” LS. Sebelah utara blok Bongan berbatasan dengan area pertanian yang dikelola warga, sebelah timur berbatasan dengan hutan produksi dan perusahaan sawit PT Jaya Mandiri Sukses. Di sebelah barat berbatasan dengan area lahan pertanian yang dimanfaatkan oleh masyarakat, perusahaan kelapa sawit PT Farinda Bersaudara dan PT Lonsum. Di sebelah selatan, blok Bongan berbatasan dengan kawasan hutan produksi.

Pengunduhan dan Pengolahan Awal Citra Landsat

Teknik penginderaan jauh digunakan untuk mengatasi keterbatasan sumber daya karena luasnya wilayah kajian. Penginderaan jauh merupakan teknik untuk mengenal dan menentukan obyek dipermukaan bumi tanpa melalui kontak langsung dengan obyek tersebut (Lillesand et al. 2004). Satelit Landsat dipilih karena memiliki resolusi spasial yang relatif tinggi yaitu 30 x 30 meter untuk setiap piksel. Selain itu, Landsat akan mengambil citra di lokasi yang sama setiap 16 hari (USGS 2009).

Tahap awal pengolahan citra meliputi koreksi radiometrik dan koreksi geometrik. Koreksi radiometrik dilakukan untuk mengoreksi kualitas citra akibat adanya kesalahan nilai pantulan maupun spectral radiance (Attarchi 2014). Kesalahan radiometrik disebabkan oleh faktor kondisi atmosfer. Perlakuan koreksi geometrik bertujuan untuk memulihkan kondisi citra agar sesuai dengan koordinat geografis.

Klasifikasi Tutupan Lahan

Tahap inti pengolahan citra dimulai dengan membuat kelas tutupan lahan. Teknik klasifikasi yang digunakan pada penelitian adalah teknik klasifikasi terbimbing. Tujuan utama klasifikasi adalah memisahkan piksel pada citra sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Teknik klasifikasi terbimbing dilakukan jika terdapat cukup informasi tutupan lahan di lapangan. Informasi acuan yang digunakan pada penilitan adalah peta tutupan lahan blok C tahun 1995 yang terdapat dalam Hoscilo (2009), peta RTRWP Kalimantan Timur, Peta RBI skala 1:50000 Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur serta beberapa data pendukung lain sebagai pembanding.

Spectral Radiance dan Reflectance

Informasi awal yang terdapat pada citra Landsat adalah Digital Number

(21)

5 memantulkan radiasi energi (USGS 2009). Masing-masing kanal Landsat memiliki respon yang berbeda-beda dalam menangkap gelombang yang diemisikan dan dipantulkan oleh objek.

Nilai spectral radiance didapat dari persamaan yang terdapat dalam

Handbook Landsat, Lʎ= ⌊ calLma ʎ-Lminʎ

ma - calmin⌋ ( cal- calmin) Lminʎ (1)

dimana Lʎ adalah spectral radiance pada kanal ke i (Wm-2sr-1µm-1), Qcal adalah DN kanal ke i, Lminʎ adalah nilai spectral radiance minimum kanal ke i, Lmaxʎ adalah nilai spectral radiance maksimum kanal ke i, Qcalmin adalah nilai

piksel minimum dan Qcalmax merupakan nilai piksel maksimum.

Nilai reflectance diturunkan dari nilai DN dengan terlebih dahulu menentukan nilai radiance dengan persamaan berikut

Li = (2)

dimana Li adalah radiance kanal ke i, Gb adalah nilai gain kanal ke i dan Bb adalah nilai bias kanal ke i. Berikut adalah nilai Gb dan Bb tiap kanal yang terdapat dalam Chander dan Markham (2003).

Tabel 2 Nilai gain dan bias kanal Landsat 5

Nilai reflectance didapat dari persamaan yang terdapat pada Handbook

Landsat

Ri = Li d 2

(Esuni cos s ) (3)

dimana d2 adalah daily Earth-Sun eccentricity, Zs adalah sudut zenith matahari tiap scene (90-sudut elevasi matahari), Esun adalah exoatmospheric solar irradiance tiap kanal. Landsat 5 dan Landsat 7 memiliki nilai Esun yang sudah ditentukan oleh NASA. Nilai Esun dinyatakan dalam satuan Wm-2µm-1.

Model Estimasi Biomassa

Model estimasi biomassa atas permukaan atau above ground biomass

(22)

6

Inventori Kebakaran Hutan

Identifikasi kebakaran hutan yang digunakan dalam penelitan adalah menggunakan indeks difference Normalized Burn Ratio (dNBR). Rumus umum dNBR menurut Escuin et al. (2007) adalah

dNBR = N pre-fire- N post-fire (4)

NBRpre-fire adalah nilai Normalized Burn Ratio (NBR) sebelum hutan

terbakar, sedangkan NBRpost-fire adalah nilai NBR setelah hutan terbakar. Nilai

NBR didapatkan dari persamaan berikut NBR = ( 4- )

4 Escuin et al. (2007) (5) RB4 adalah nilai reflectance kanal ke 4, sedangkan RB7 merupakan nilai reflectance kanal ke 7. Nilai reflectance dinyatakan tanpa satuan.

Escuin et al. (2007) membagi nilai dNBR berdasarkan severity level. Tabel 3 Klasifikasi tingkat keparahan (severity) berdasarkan nilai dNBR

Severity Level Rentang dNBR

Enhanced Regrowth, High < -251

Enhanced Regrowth, Low -250 sampai -101

Unburned -100 sampai 99

Low Severity 100 sampai 269

Moderate Severity 270 sampai 659

High Severity > 660

Escuin et al. (2007), Keeley (2009) dan Amato et al. (2013) menemukan korelasi antara dNBR dengan tingkat keparahan terbakar (fire severity), dimana

Low severity≈ kebakaran lantai hutan

Moderate severity≈ kebakaran lantai hutan dan kanopi High severity≈ kebakaran kanopi, lantai dan batang

Pada jenis vegetasi semak dan herba, maka hubungan dNBR dengan

severity adalah (Amato et al. 2013),

low severity ≈ 0.3 bagian vegetasi terbakar

moderate severity ≈ 0.8 bagian vegetasi terbakar

high severity ≈ seluruh bagian vegetasi terbakar

Pembuatan Plot Jenis dan Presentase Terbakar

Identifikasi wilayah terbakar dan tingkat keparahan terbakar perlu ditentukan untuk menghasilkan nilai-nilai estimasi heat production, intensitas kebakaran dan recovery CO2 yang lebih detail. Pembuatan plot didasarkan pada

jenis tutupan lahan dan tingkat keparahan terbakar (severity level). Tabel 4 menyajikan daftar plot yang digunakan di blok C dan blok Bongan.

Tabel 4 Plot tipe kebakaran dan tutupan lahan di blok C dan blok Bongan

(23)

7

Heat production didefinisikan sebagai jumlah energi (kalor) yang dihasilkan dari proses pembakaran (Andreae 1991). Heat production dalam konteks kebakaran hutan adalah jumlah energi kalor yang dihasilkan dari kejadian terbakarnya biomassa hutan. Nilai Q didapatkan dari persamaan berikut

Q = h * w (Atwell et al. 1999) (6) Q adalah heat production (kJm-2), h adalah mean heat combustion (kJkg-1) dan w adalah biomassa yang terbakar (kgm-2). Nilai w didapatkan dari selisih antara AGB sebelum dan sesudah terbakar pada masing-masing plot. Nilai h yang digunakan untuk hutan adalah nilai h tiap bagian vegetasi, disesuaikan dengan presentase terbakar. Nilai h untuk tutupan lahan selain hutan didasarkan pada tipe vegetasi atau famili.

Tabel 5 Daftar nilai h berdasarkan jenis vegetasi dan bagian tubuh vegetasi Jenis vegetasi / bagian

vegetasi nilai h (kJ/Kg) Sumber

mangrove 18003 Ayensu (1980)

batang kayu 20809 Telmo (2011)

daun 19500 Singh et al. (1986)

cabang dan ranting 20208 Singh et al. (1986)

serasah 16000 Ayensu (1980)

semak 18023 Singh et al. (1986)

belukar 18649 Singh et al. (1986)

kayu mati 19269 Telmo (2011)

pertanian 18000 Ayensu (1980)

Intensitas Kebakaran (I)

Intensitas kebakaran hutan adalah laju produksi panas (heat production) dari kebakaran permukaan (Atwell et al. 1999). Nilai I didapat dari persamaan berikut

(24)

8

Nilai I dinyatakan dalam satuan kWm-1, r adalah laju sebaran api (ms-1). Nilai r merepresentasikan pertambahan keliling (fire edge) objek terbakar, bukan pertambahan luas objek terbakar.

Suhu Udara Dekat Permukaan (Ta)

Nilai Ta didapatkan dengan kombinasi pendekatan klasifikasi lahan dan penggunaan reflectance kanal thermal (band 6 landsat 5). Tahapan estimasi nilai Ta dilakukan dengan serangkaian persamaan berikut

Tb = (

)

(Handbook Landsat) (8)

Tb adalah brightness temperature (K). Pada Landsat 7, nilai K1= 666.09 Wm-2sr

-1μm-1

Setelah mendapatkan nilai Ts, langkah selanjutnya adalah menentukan nilai komponen neraca energi. Komponen neraca energi yang digunakan untuk estimasi nilai Ta adalah fluks bahang terasa (H) dalam satuan (Wm-2). Nilai H didapat dari persamaan

H = ( n1 -G) (Effendy Sobri 2009) (10) dimana � adalah rasio bowen, Rn adalah radiasi netto, dan G adalah fluks bahang tanah.

Nilai Ta didapatkan dari persamaan

Ta = s - H Cprah (Effendy Sobri 2009) (11) dimana rah adalah tahanan aeorodinamik (sm-1 , adalah kerapatan udara

lembab (1.27 kgm-3) dan Cp adalah panas spesifik udara pada tekanan konstan (1004 Jkg-1K-1).

Emisi CO2

Jumlah emisi CO2 didasarkan pada selisih antara biomassa hutan sebelum

dan setelah terbakar. Nilai biomasssa kemudian dikonversi menjadi nilai stok karbon dengan persamaan berikut (IPCC 2006)

CStotal = 0.47 * Biomassa total (12)

(25)

9

Penyerapan CO2

Metode yang digunakan untuk mengestimasi serapan CO2 adalah dengan

menganalisis nilai biomassa tiap plot dan seluruh luasan lokasi dari tahun 1998 sampai 2014. Laju serapan CO2 didasarkan pada persamaan

Δ G = G n– AGBn-1 (14)

ΔAGB adalah selisih biomassa tiap tahun, AGBn adalah nilai AGB pada tahun n,

dan AGBn-1 adalah nilai AGB satu tahun sebelumnya. Nilai Δ G kemudian

dikonversi menjadi nilai CS dan akumulasi karbon dengan menggunakan persamaan 12 dan 13.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Klasifikasi Penutupan Lahan

Klasifikasi penutupan lahan diperlukan untuk mempermudah pengerjaan dan analisis parameter-parameter yang diteliti. Teknik klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi terbimbing (supervised classification). Berikut adalah peta tutupan lahan sebelum terjadi kebakaran.

(26)

10

Penutupan lahan di blok C lebih beragam dibanding blok Bongan. Penutupan lahan di blok C terbagi dalam 7 kelas utama, dan 1 kelas awan. Sedangkan di blok Bongan, penutupan lahan dibagi daam 5 kelas utama. Terdapat kelas lahan pertanian di sisi timur blok C. Lahan pertanian merupakan hasil proyek satu juta hektar pemerintah Indonesia. Menurut Widyati (2011), proyek pembukaan lahan gambut untuk pertanian satu juta hektar dibagi menjadi tiga periode berdasarkan waktu dan luas wilayah, yaitu tahun periode 1945 – 1960an, periode 1969 – 1995 dan periode 1995 – 2000an.

Kondisi penutupan lahan blok C diambil berdasarkan citra Landsat 5 yang diakuisisi pada 29 Juli 1996. Penutupan lahan blok Bongan didapatkan dari citra Landsat 5 yang diakuisisi pada 22 Juli 1996. Berdasarkan gambar 1 dan gambar 2, hutan masih mendominasi tutupan lahan di kedua blok wilayah kajian.

Estimasi Nilai Above Ground Biomass (AGB)

Nilai AGB yang digunakan pada penelitian adalah nilai AGB estimasi yang didapatkan dari nilai spectral radiance kanal SWIR (Short Wave Infra Red) atau kanal 5 pada Landsat 5 dan Landsat 7, serta kanal 6 pada Landsat 8. Model dibangun dengan variabel bebas yaitu nilai spectral radiance, dan variabel terikat adalah nilai AGB dalam satuan ton/ha. Pembuatan model didasarkan pada data AGB di blok Bongan. Data AGB blok Bongan diambil pada 32 titik yang dianggap merepresentasikan nilai AGB di seluruh luasan lahan dan mewakili variasi jenis tutupan lahan. Berikut adalah model estimasi AGB di blok Bongan.

(27)

11

Model estimasi AGB yang dihasilkan adalah Y = 74869e(-0.617 * x), dimana x adalah spectral radiance kanal SWIR. Tingkat akurasi model mencapai 75%. Persamaan yang digunakan pada model adalah persamaan eksponensial. Menurut Lu et al. (2012), Zheng et al. (2004), Porter et al. (2014), model linear tidak disarankan untuk digunakan pada estimasi biomasa dari citra satelit atau radar. Model estimasi blok Bongan digunakan juga untuk mengestimasi nilai AGB blok C. Menurut Barati et al. (2011), Ji et al. (2012), Main-Knorn et al. (2011), Powell

et al. (2010), model estimasi biomassa atau stok karbon bisa digunakan di lokasi lain dengan syarat kondisi ekosistem yang tidak jauh berbeda dan akan lebih baik jika lokasi tersebut berada pada kisaran lintang yang berdekatan. Berdasarkan klasifikasi penutupan lahan, blok C dan blok Bongan memiliki karakteristik ekosistem yang mirip. Blok C dan blok Bongan sama-sama memiliki kawasan hutan rawa dan hutan gambut. Kedua blok terletak pada lintang yang tidak berjauhan. Tipe hutan blok C dan blok Bongan adalah hutan tropis basah.

Terdapat beberapa alasan yang mendukung penggunaan kanal SWIR untuk model estimasi AGB. Kanal SWIR memiliki karakter yang responsif terhadap kadar air tanah dan vegetasi. Kanal SWIR juga memiliki kemampuan penetrasi pada awan tipis. Selain itu, kanal SWIR mampu mengurangi efek shadowing yang ditimbulkan akibat kondisi topografi (Attarchi 2014). Reflektan kanal SWIR responsif terhadap kondisi kanopi (Steininger 2010).

Gambar 4 menunjukan sensitivitas kanal SWIR dalam mengenali objek di permukaan dalam bentuk nilai spectral radiance. Objek awan memiliki nilai

spectral radiance tertinggi dan objek air memiliki nilai spectral radiance terendah. Pola yang terbentuk adalah semakin tinggi strata atau kerapatan vegetasi ,maka nilai spectral radiance semakin rendah. Kondisi tersebut dibuktikan dengan lahan terbuka memiliki nilai spectral radiance tertinggi. Rentang nilai spectral radiance

awan adalah 25.63 – 31.6 Wm-2sr-1µm-1 dan air adalah 0.12 – 0.48 Wm-2sr-1µm-1. Nilai spectral radiance awan dan air tidak digunakan dalam estimasi nilai AGB.

y = 74869e-0.617x

(28)

12

Identifikasi Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan didefinisikan oleh Departemen Kehutanan RI sebagai kondisi ketika hutan dilanda api sehingga menimbulkan resiko kerugian ekosistem dan mengancam kelestarian lingkungan. Secara umum, terdapat tiga tipe kebakaran hutan. Tipe pertama adalah kebakaran permukaan, yaitu api membakar lantai hutan mencakup serasah, bahan organik mati dan vegetasi bawah. Tipe kedua adalah kebakaran tajuk dimana api membakar bagian atas pohon, meliputi daun, cabang dan organ-organ reproduksi. Tipe kebakaran ketiga adalah kebakaran bawah tanah, yaitu api membakar lapisan organik yang berada di bawah tanah meliputi gambut dan akar (June 2006). Neary et al. (1999) menambahkan satu tipe kebakaran tambahan yaitu kebakaran total yang didefinisikan sebagai kebakaran tajuk, permukaan, bawah tanah dan batang juga habis terbakar dan menyisakan abu mineral.

Teknik identifikasi kebakaran yang dilakukan pada penelitian menggunakan indeks Difference Normalized Burn Ratio (dNBR) yang didapat dari nilai reflektan kanal 4 dan kanal 7 Landsat 5. Berikut adalah hasil identifikasi kebakaran di blok C dan blok Bongan.

(29)

13

Escuin et al. (2007), Miller (2007) dan Amato et al. (2013) menemukan korelasi antara dNBR dengan tingkat keparahan terbakar (fire severity), dimana

low severity sama dengan kebakaran lantai hutan, moderate severity menunjukan kebakaran lantai hutan dan kanopi, sedangkan high severity menunjukan kebaran kanopi, lantai hutan dan batang pohon. High severity identik dengan tipe kebakaran total. Khusus pada jenis vegetasi semak dan herba, hubungan dNBR dengan tingkat keparahan menurut Amato et al. (2013) yaitu low severity

menunjukan bahwa 0.3 bagian vegetasi terbakar. Moderate severity menunjukan 0.8 bagian vegetasi terbakar. Sedangkan high severity mengindikasikan seluruh bagian vegetasi terbakar.

Di kedua lokasi, tipe kebakaran low severity mendominasi luasan terbakar. Di blok C, presentase low severity adalah 92.8%, moderate severity 6.7% dan high severity hanya 0.4% dari total luasan terbakar. Pola yang sama terjadi di blok Bongan, dimana presentase low severity 85.3%, moderate severity 13.7% dan high severity hanya 1 % dari keseluruhan daerah terdampak kebakaran.

(a) (b) luasan area terbakar blok C (d) dan blok Bongan (d)

(30)

14

Daerah terbakar di blok C dan blok Bongan tahun 1997 juga teridentifikasi oleh satelit MODIS melalui adanya hotspot. Gambar 6 menyajikan informasi keberadaan hotspot tahun 1997 di blok C dan blok Bongan.

Hotspot tidak selalu menunjukan adanya api. Keberadaan hotspot yang teridentifikasi oleh satelit MODIS menunjukan adanya suhu permukaan yang lebih tinggi dibanding titik lain. Suhu permukaan yang lebih tinggi berkorelasi positif dengan keberadaan api.

Estimasi Heat Production (Q)

Nilai Q merepresentasikan jumlah energi kalor yang terlepas ke lingkungan akibat pembakaran biomassa hutan. Perubahan nilai biomassa sebelum dan setelah terbakar dan nilai mean heat combustion (h) menjadi variabel penentu besarnya nilai Q. Masing-masing jenis vegetasi memiliki nilai h. Setiap bagian tubuh vegetasi dan bahan organik di hutan juga memiliki nilai h. Kendala yang dihadapi adalah analisis citra tidak bisa digunakan untuk mengenali vegetasi sampai pada level spesies. Solusi yang digunakan pada penelitian adalah menggunakan nilai h berdasarkan jenis tutupan lahan di wiliayah iklim tropis. Berikut adalah sebaran nilai Q di blok C.

Gambar 7 Heat Production di blok C pada tipe kebakaran low severity (a),

(31)

15 Nilai Q tertinggi terjadi dari rentang tanggal 13 mei 1997 sampai 1 agustus 1997 di semua jenis kebakaran dan tutupan lahan. Nilai Q kondisi low_belukar pada rentang 1 agustus -2 september 1997 lebih tinggi dari nilai Q pada 13 mei – 1 agustus 1997. Artinya, sebagian besar belukar yang terbakar di bagian lantai terjadi pada rentang 1 agustus – 2 september 1997. Di tipe kebakaran low severity, hutan dan belukar memberikan kontribusi nilai Q yang lebih tinggi dibanding jenis tutupan lahan yang lain. Hutan, belukar dan semak menjadi penyumbang nilai Q terbesar pada jenis kebakaran total (high severity). Sedangkan pada jenis

mod severity¸ kontribusi nilai Q lahan terbuka dan mangrove tidak sebesar jenis tutupan lahan yang lain.

Nilai Q total pada hutan dan belukar didominasi oleh tipe kebakaran low severity. Kondisi tersebut terjadi karena luasan hutan dan belukar yang mengalami

low severity jauh lebih luas dibandingkan tipe kebakaran lain, sehingga biomassa lantai yang terbakar juga lebih banyak. Luas hutan dan belukar yang mengalami

low severity adalah 119746 Ha dan 23067 Ha. Kondisi yang berbeda terjadi pada lahan pertanian dan semak, dimana tipe kebakaran moderate severity lebih dominan dibanding low severity. Pola nilai Q rataan berbeda dengan pola Q total. Nilai Q rataan tertinggi terjadi pada tipe kebakaran high severity. Luasan high severity yang lebih sempit dibanding tipe kebakaran lain berakibat pada tingginya nilai Q rataan.

Nilai Q rataan tipe high severity adalah 708477.1 kJ/m2. Nilai tersebut setara dengan energi yang dihasilkan dari pembakaran kayu seberat 34 Kg/m2, dimana nilai mean heat combustion (h) kayu adalah 20800 kJ/Kg. Tipe mod severity menghasilkan Q rataan sebesar 76195.5 kJ/m2, atau setara dengan energi yang dihasilkan dari pembakaran daun seberat 3.9 Kg/m2 (nilai h daun adalah 19500 kJ/Kg). Q rataan tipe low severity adalah 5853.5 kJ/m2, atau setara dengan energi yang dihasilkan dari pembakaran serasah seberat 2.9 ons/m2 (nilai h serasah 16000 kJ/Kg).

Dominasi Q hutan terjadi di blok Bongan. Nilai Q hutan tertinggi di semua tipe kebakaran. Khusus tipe kebakaran high severity, nilai Q hutan sangat dominan dibanding jenis tutupan lahan lain. Merujuk pada gambar 2 dan gambar 5b, tipe kebakaran high severity lebih banyak terjadi pada tutupan lahan hutan.

(32)

16

Tipe kebakaran low severity memberikan dampak tertinggi bagi nilai Q total di blok Bongan. Artinya, sebagian besar jenis kebakaran di blok Bongan adalah tipe kebakaran di lantai hutan. Walaupun jenis kebakaran low severity

hanya membakar lantai hutan, namun dampaknya dapat mengakibatkan kanopi menjadi layu, vegetasi mengering, dan matinya vegetasi bawah di lantai hutan (Neary et al. 1999). Nilai Q rataan di blok C dan blok Bongan menunjukan pola yang sama yaitu nilai Q rataan high severity lebih tinggi dari tipe kebakaran lain.

Nilai Q rataan tipe high severity adalah 385434 kJ/m2. Nilai tersebut setara

dengan energi yang dihasilkan dari pembakaran kayu seberat 18.5 Kg/m2, dimana nilai mean heat combustion (h) kayu adalah 20800 kJ/Kg. Tipe mod severity

menghasilkan Q rataan sebesar 48854.7 kJ/m2, atau setara dengan energi yang dihasilkan dari pembakaran daun seberat 2.5 Kg/m2 (nilai h daun adalah 19500 kJ/Kg). Q rataan tipe low severity adalah 4387.3 kJ/m2, atau setara dengan energi yang dihasilkan dari pembakaran serasah seberat 2.7 ons/m2 (nilai h serasah 16000 kJ/Kg).

Gambar 9 Nilai Qblok Bongan tipe kebakaran low severity (a), moderate severity

(33)

17

Estimasi Intensitas Kebakaran (I)

Pengembangan lebih lanjut dari estimasi heat production (Q) adalah estimasi nilai intensitas kebakaran (I). Nilai I merepresentasikan laju produksi energi kalor (laju Q) (Atwell et al. 1999). Perhitungan nilai I melibatkan laju pertambahan keliling wilayah terbakar pada periode tertentu, bergantung pada ketersediaan citra Landsat. Asumsi awal terjadinya kebakaran adalah tanggal citra dengan tingkat penutupan awan yang tinggi di bulan Mei 1997. Asumsi tersebut diambil karena tidak tersedianya citra dengan tanggal akuisisi tepat pada saat awal kebakaran. Awal kebakaran di blok C diasumsikan terjadi pada 13 Mei 1997. Di blok Bongan, asumsi awal kebakaran terjadi pada 6 Mei 1997. Hoscilo (2009) dan Khandekar et al. (2000) menyatakan bahwa kebakaran di Kalimantan mulai terjadi di bulan Mei sampai September 1997, walaupun indikasi datangnya El Nino sudah jelas terlihat terutama di bulan Maret 1997. Boehm et al. (2001) mengambil citra setelah terbakar pada bulan Oktober 1997. Artinya, pada bulan Oktober 1997, kebakaran bisa dikatakan telah selesai. Berikut adalah grafik nilai I di blok C dan blok Bongan.

Gambar 10 Nilai Qtotal (a) dan Q rataan (b) di blok Bongan

(34)

18

Pola nilai I di kedua blok menunjukan bahwa low severity memberikan kontribusi terbesar pada laju produksi Q. Kondisi tersebut terjadi karena area yang terdampak low severity lebih luas dari tipe kebakaran lain. Di Blok C, 92.8% dari luasan terbakar merupakan tipe kebakaran low severity. Sedangkan di blok Bongan, low severity terjadi pada 85.3% dari keseluruhan area terbakar.

Meskipun rasio low severity di blok C lebih luas dari rasio low severity di blok Bongan, namun ketimpangan nilai I low severity dengan tipe kebakaran lain di blok C tidak sebesar ketimpangan nilai I di blok Bongan. Walaupun tipe kebakaran high severity menghabiskan lebih banyak biomassa, namun luasan tipe

high severity yang kecil berdampak pada nilai Q dan nilai I yang lebih kecil dari tipe kebakaran lain. Luasan yang sempit juga diakibatkan nilai laju sebaran api yang rendah pada tipe high severity.

Pola nilai I total sama di kedua blok. Total keliling low severity di kedua lokasi jauh lebih besar dari tipe kebakaran lain, sehingga I total yang dihasilkan juga tinggi. I rataan tertinggi juga terjadi pada tipe low severity. Skinner (2003), menyatakan bahwa 65% intensitas kebakaran terjadi pada tipe low severity,

sisanya terjadi pada tipe moderate dan high severity. Akan tetapi, moderate severity memberikan kontribusi nilai I yang lebih tinggi dibanding tipe high severity. Keliling yang sempit juga mengakibatkan nilai laju sebaran api yang rendah pada tipe high severity, sehingga I rataan yang dihasilkan juga kecil.

Kondisi yang terjadi pada lahan gambut adalah kebakaran dimulai di permukaan, kemudian dengan energi yang cukup akan membakar lapisan gambut (Aryanti 2002). Jika api telah membakar lapisan gambut, maka akan cepat merambat di bawah permukaan dan tidak mudah terdeteksi.

Semakin ringan bahan bakar, maka api akan lebih cepat merambat, sehingga laju sebaran api pada tipe low severity lebih cepat dari tipe high severity. Gambar 12 Intensitas kebakaran rata-rata blok C (a), I rata-rata blok Bongan (b), I

(35)

19

Gambar 13 Anomali Ta rataan dari tahun 1996 – 2014 di blok C (a) dan blok Bongan (b), (o) kebakaran tahun 1997, 2002, 2004, 2006, 2009

Serasah, tumbuhan penutup tanah dan semak merupakan bahan bakar halus yang mudah menyala serta berpotensi besar memperluas area terbakar (Aryanti 2002). Pada tipe kebakaran high severity, api membakar dengan cepat ke atas (vertikal), namun pada titik tertentu rasio antara bahan bakar dan oksigen tidak mencukupi sehingga api cepat padam. Sedangkan pada tipe kebakaran horizontal (low severity), api lebih cepat meluas dibanding tipe vertikal. Pada tipe high severity, abu silika membentuk katalisator yang meyebabkan terbentuknya arang dan menurunkan potensi nyala api. Itulah sebabnya pada high severity api lebih cepat padam (Chandler et al. 1983).

Suhu Udara Dekat Permukaan (Ta)

Analisis Ta sebelum dan setelah terjadinya kebakaran penting dilakukan untuk mengetahui seberapa besar dampak kebakaran terhadap suhu udara. Berikut grafik anomali Ta terhadap suhu 250C dari tahun 1996 sampai 2014.

Nilai Ta rataan meningkat drastis pada tahun kebakaran (1997) di kedua lokasi. Setelah tahun 1998 hingga 2000, nilai Ta rataan cenderung terus menurun akibat adanya recovery di lokasi bekas terbakar. Tahun 2002 terjadi peningkatan nilai Ta rataan di kedua blok. El Nino kembali terjadi pada tahun 2002 dan June (2006) juga menyatakan bahwa hutan di blok C kembali terbakar pada tahun 2002. Peningkatan Ta rataan juga terjadi pada tahun 2006 dan 2009. Hutan Kalimantan kembali terbakar pada tahun 2004, 2006 dan 2009 (Toriyama et al. 2014). Salah satu indikasi kebakaran di tahun 2002, 2004, 2006 dan 2009 ditandai dengan adanya hotspot yang teridentifikasi oleh satelit MODIS.

(36)

20

(e) (f) (g) (h)

Pembakaran biomassa hutan melepaskan energi kalor ke lingkungan. Hukum termodinamika II menyatakan bahwa kalor mengalir spontan dari suhu tinggi ke suhu rendah. Aliran suhu akan berhenti setelah terjadi kesetimbangan. Terbakarnya biomassa mengakibatkan terjadinya aliran energi dari suhu tinggi (api) ke suhu rendah (lingkungan) sehingga suhu lingkungan meningkat.

Peningkatan suhu lingkungan yang terjadi setelah kebakaran juga disebabkan adanya perubahan tutupan lahan. Terbakarnya vegetasi menyebabkan perubahan emisivitas, albedo dan kapasitas panas. Setelah vegetasi terbakar, tutupan lahan akan lebih terbuka, sehingga menurunkan kapasitas panas. Penurunan kapasitas panas mengakibatkan jumlah energi yang dibutuhkan untuk meningkatkan suhu menjadi lebih kecil. Artinya, suhu udara di sekitar lokasi kebakaran lebih cepat meningkat jika mendapat energi. Webber (1991) menyatakan bahwa daerah yang tidak terbakar akan mengabsorpsi kalor, sehingga meningkatkan entalpi.

Emisi CO2 Akibat Kebakaran Biomassa

Salah satu dampak serius dari kebakaran hutan adalah terlepasnya CO2 ke

atmosfer akibat terbakarnya biomassa. Prinsip estimasi emisi CO2 adalah

menghitung selisih biomassa sebelum dan setelah kebakaran. Sumber emisi CO2

kebakaran hutan berasal dari terbakarnya biomassa di atas permukaan dan biomassa di bawah permukaan apabila penetrasi api sampai pada lapisan tanah (Neary et al. 1999). Menurut Page et al. (2002) asumsi yang digunakan untuk menghitung emisi CO2 dari lahan gambut di Kalimantan adalah rata-rata

kedalaman gambut terbakar 0.51±0.05 meter. Asumsi tersebut digunakan karena citra Landsat tidak bisa mendeteksi kedalaman gambut terbakar. Berikut adalah tabel yang menunjukan nilai emisi CO2 dari terbakarnya AGB dan gambut.

Tabel 6 Emisi CO2 dari AGB dan gambut di blok C dan blok Bongan

emisi CO2 (x 10000 ton)

low severity moderate severity high severity Total

AGB Blok C 34.33 16.43 5.90 56.66

AGB Bongan 9.04 1.35 0.11 10.50

Gambut Blok C* 1268.33

Gambut Bongan 0.51

(37)

21 Berdasarkan tabel 6, tipe kebakaran low severity meyumbang emisi CO2

lebih banyak dibanding tipe kebakaran lain karena luasnya area terbakar pada tipe tersebut. Walaupun proporsi luasan high severity di kedua blok tidak lebih dari 1%, namun emisi CO2 yang dihasilkan relatif besar. Kondisi tersebut terjadi

karena pada tipe kebakaran high severity, dari kanopi hingga lantai hutan terbakar seluruhnya dan menyisakan material abu mineral (Keeley 2009). Kebakaran high severity menyisakan abu yang menutupi 25% permukaan tanah (Goforth et al.

2005). Kondisi berbeda terjadi pada tipe kebakaran low severity dan moderate severity, dimana masih terdapat banyak biomassa hutan yang tidak ikut terbakar.

Nilai emisi CO2 dari gambut di blok C jauh lebih tinggi dibanding emisi

dari AGB maupun gambut di blok Bongan. Nilai emisi gambut di blok C didapat dari pengukuran langsung yang dilakukan oleh Hoscilo (2009). Pengukuran dilakukan di beberap plot, kemudian diektrapolasi untuk keseluruhan wilayah gambut terbakar di blok C tahun 1997. Luas gambut terbakar mencapai 79% dari total wilayah terbakar atau sekitar 118883 Ha. Rata-rata peat density yang terbakar di blok C adalah 0.10 gcm-3 dan kadar C organik tanah mencapai 57%. Estimasi CO2 di blok Bongan dilakukan dengan asumsi kedalaman gambut

terbakar 0.51±0.05 meter (Page et al. 2009). Luasan gambut terbakar diasumsikan terjadi pada tipe kebakaran high severity, dimana seluruh bagian vegetasi sampai lantai hutan ikut terbakar. Kebakaran bawah tanah biasanya dipicu terjadinya kebakaran dengan tingkat keparahan (burn severity) tinggi di atas permukaan, maupun karena kebakaran yang berulang (Bond 2005). Estimasi dilakukan berdasarkan kadar C organik tanah dan bulk density tanah di blok Bongan.

Penyerapan CO2 Setelah Recovery

Setelah kebakaran, hutan akan mengalami pemulihan (recovery). Tipe

recovery dapat terjadi secara alami, maupun dengan intervensi manusia (Chazdon 2003). Analisis serapan CO2 pada penelitian ini tidak memperhitungkan jenis recovery. Metode perhitungan serapan CO2 fokus pada keseluruhan area blok C

dan blok Bongan, serta masing-masing plot (tipe kebakaran dan tutupan lahan). Nilai biomassa tiap plot dianalisis dari tahun 1998 hingga tahun 2014 untuk mengetahui kapan terjadinya kesetimbangan antara emisi dan potensi serapan CO2.

Tabel 7 Kondisi kesetimbangan antara emisi dan serapan CO2

Lokasi Status Durasi

Kesetimbangan Keterangan blok C pulih 16 tahun biomassa seluruh area blok C belum pulih 95 tahun biomassa di plot recovery

blok Bongan pulih 3 tahun biomassa seluruh area blok Bongan pulih 9 tahun biomassa di plot recovery

Perhitungan waktu yang diperlukan untuk mencapai kesetimbangan emisi dan serapan CO2 menggunakan dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah

(38)

22

Berdasarkan tabel 7, kesetimbangan antara emisi dan serapan CO2 lebih

cepat terjadi pada perhitungan dengan pendekatan pertama. Kondisi tersebut terjadi karena lokasi yang tidak ikut terbakar memberikan kontribusi besar terhadap serapan CO2. Durasi kesetimbangan tercapai lebih lama pada pendekatan

kedua. Kondisi tersebut terjadi karena potensi serapan CO2 hanya dihitung

berdasarkan kecepatan recovery di lokasi bekas terbakar.

Perhitungan kesetimbangan di blok C dengan pendekatan kedua menyatakan bahwa sampai tahun 2014 belum tercapai kesetimbangan antara emisi dan potensi serapan CO2. Artinya, laju recovery di lokasi bekas terbakar blok C

belum mampu menyerap seluruh emisi CO2 dari AGB dan gambut pada

kebakaran tahun 1997.

Potensi serapan CO2 dari tahun 1998 sampai 2014 mengalami fluktuasi.

Potensi serapan CO2 meningkat jika recovery berjalan tanpa gangguan. Potensi

serapan CO2 menurun akibat adanya kebakaran atau aktivitas manusia yang

berdampak pada penurunan stok biomassa di blok C dan blok Bongan. Gambar 15 menunjukan adanya fluktuasi potensi serapan CO2.

0

Bongan (b) dari tahun 1998 - 2014

(39)

23 Potensi serapan CO2 menurun pada tahun-tahun terjadinya kebakaran

dengan tingkat keparahan tinggi yaitu tahun 2002, 2004, 2006 dan 2009. Toriyama et al. (2014) menyatakan bahwa hutan Kalimantan kembali terbakar pada tahun 2004, 2006 dan 2009. June (2006) juga menyatakan bahwa pada tahun 2002 blok C kembali terbakar. Indikasi terjadinya kebakaran adalah munculnya

hotspot yang terdeteksi oleh satelit MODIS (gambar 14).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Nilai heat production (Q) dipengaruhi oleh banyaknya biomassa yang terbakar. Tipe low severity menghasilkan Q total tertinggi. Nilai Q rataan tertinggi terjadi pada tipe high severity karena luasan yang sempit serta proporsi biomassa terbakar yang lebih banyak dibanding tipe kebakaran lain. Tipe low severity

menghasilkan nilai I total (intensitas kebakaran) yang paling tinggi. Nilai I rataan tertinggi di blok C dan blok Bongan terjadi pada tipe low severity.

Kondisi suhu udara dekat permukaan (Ta rataan) mengalami peningkatan pada saat kebakaran tahun 1997. Nilai Ta rataan menurun setelah tahun 1998 akibat terjadinya recovery. Nilai Ta rataan kembali meningkat pada tahun-tahun terjadinya kebakaran (2002, 2004, 2006, 2009).

Sampai tahun 2014, di blok C dan blok Bongan telah terjadi kesetimbangan antara emisi dan serapan CO2. Kesetimbangan lebih cepat terjadi

jika perhitungan pertambahan biomassa dilakukan di seluruh area blok C dan blok Bongan. Kesetimbangan tercapai lebih lama jika perhitungan serapan CO2 hanya

didasarkan pada laju recovery yang terjadi di lokasi bekas terbakar.

Saran

Estimasi intensitas kebakaran membutuhkan citra dengan selang waktu yang berdekatan. Keterbatasan jumlah citra berpengaruh pada estimasi laju sebaran api. Akan lebih baik jika estimasi intensitas kebakaran dari citra Landsat dibandingkan dengan estimasi dari citra lain dengan resolusi temporal yang lebih detail.

DAFTAR PUSTAKA

Amato VJW, Lightfoot D, Stropki C, Pease M. 2013. Relationships between tree stand density and burn severity as measured by the Composite Burn Index following a ponderosa pine forest wildfire in the American Southwest: Forest Ecology and Management. 302:71-84.

(40)

24

Aryanti Ervina. 2002. Karakteristik kebakaran limbah vegetasi hutan rawa gambut di Desa Pelalawan Kabupaten Pelalawan Propinsi Riau. [Thesis]. Bogor (ID): Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Attarchi S, Gloaguen R. 2014. Improving the Estimation of Above Ground Biomass Using Dual Polarimetric PALSAR and ETM+ Data in the Hyrcanian Mountain Forest (Iran): Remote Sens. 6:3693-3715.

Atwell Bryan, Paul Kriedemann, Colin Turnbull ed. 1999. Plants in Actions. South Yarra-Australia (AU): Macmillan Education Australia PTY LTD. Ayensu Edward S. 1980. Firewood Crops: Shrub and Tree Specied for Energy

Production. Washington DC (US): National Academy of Sciences.

[BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 1999. Final Report, Annex I: Causes, Extent, Impact and Costs of 1997/98 Fires and Drought. Asian Development Bank Technical Assistance Grant TA 2999-INO, Planning for Fire Prevention and Drought Management Project.

Barati S, Rayegani B, Saati M, Sharifi A, Nasri M. 2011. Comparison the accuracies of different spectral indices for estimation of vegetation cover fraction in sparse vegetated areas: Remote Sensing and Space Science. 14:49-56.

ond W J, Keeley J E. 2005. Fire as a global „herbivore‟: the ecology and

evolution of flammable ecosystems: Trends in Ecology and Evolution.

20(7):387-394.

Chander G, Markham B. 2003. Revised Landsat-5 TM radiometric calibration procedures and postcalibration dynamic ranges: Geoscience and Remote Sensing. 41(11), 2674-2677.

Chandler C P, Chanay P, Thomas L, Trabaud L, William D. 1983. Fire in Forestry, Vol 1. Forest Behavior and Effect. New York (US): John Wiley and Sons Inc.

Chazdon R L. 2003. Tropical forest recovery: legacies of human impact and natural disturbances: Perspectives in Plant Ecology, Evolution and Systematics.6(1):51-71.

Effendy Sobri. 2009. Dampak pengurangan ruang terbuka hijau (RTH) perkotaan terhadap peningkatan suhu udara dengan metode penginderaan jauh:

Jurnal Agromet. 23(2): 169-181.

Escuin S, Navarro R, Fernandez P. Fire severity assessment by using NBR (Normalized Burn Ratio) and NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) derived from LANDSAT TM/ETM images: Remote Sens. 29(4):1053-1073.

Goforth B R, Graham R C, Hubbert K R, Zanner C W, Minnich R A. 2005. Spatial distribution and properties of ash and thermally altered soils after high-severity forest fire, southern California: International Journal of Wildland Fire. 14(4):343-354.

Hoscilo Agata. 2009. Fire Regime, Vegetation Dynamics and Land Cover Change in Tropical Peatland, Indonesia. [Disertasi]. Leicester (UK): Department of Geography, University of Leicester.

[IPCC] Intergovermental Panel on Climate Change. 2006. Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories volume 4. Japan (JP): IGES.

(41)

25 Keeley Jon E. 2009. Fire intensity, fire severity and burn severity: a brief review

and suggested usage: Wildland Fire. 18:116-126.

Khandekar M L, Murty TS, Scott D, Baird W. 2000. The 1997 EI Nino, Indonesian Forest Fires and the Malaysian Smoke Problem: A Deadly Combination of Natural and Man-Made Hazard: Natural Hazard. 21:131-144.

Ji L, Wylie BK, Nossov DR, Peterson B, Waldrop MP, McFarland JW, Rover J, Hollingsworth TN. 2012. Estimating aboveground biomass in interior Alaska with Landsat data and field measurements: Earth Information and GeoInformation. 18:451-461.

Lackner K S. 2003. A guide to CO2 sequestration: Science. 300:1677-1690.

Lillesand TM, Kiefer RW, Chipman JW. 2004. Remote Sensing and Image. Fourth Edition. New York (US): Wiley.

Lu D, Chen Q, Wang G, Moran E, Batistella M, Zhang M, Laurin GV, Saah D. 2012. Aboveground Forest Biomass Estimation with Landsat and LiDAR Data and Uncertainty Analysis of the Estimates: Forestry Research.

12:331-347.

Main-Knorn M. Moisen GC, Healey SP, Keeton WS, Freeman EA, Hostert P. 2011. Evaluating the Remote Sensing and Inventory-Based Estimation of Biomass in the Western Carpathians: Remote Sens. 3:1427-1446.

Malhi Y, Baldocchi D D, Jarvis P G. 1999. The carbon balance of tropical, temperate and boreal forests: Plant, Cell and Environment. 22(6):715-740. Margolis H A, Ryan M G. 1997. A physiological basis for biosphere–atmosphere

interactions in the boreal forest: an overview: Tree physiology .17(8-9):491-499.

Miller Jay D, Thode A E. 2007. Quantifying burn severity in a heterogeneous landscape with a relative version of the delta Normalized Burn Ratio (dNBR): Remote Sensing of Environment. 109:66-80.

Neary D G, Klopatek C C, DeBano L F, Ffolliott P F. 1999. Fire effects on belowground sustainability: a review and synthesis: Forest ecology and management. 122(1):51-71.

Page Susan, Siegert F, Rieley JO, Boehm HDV, Jaya A, Limin S. 2002. The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997: Nature. 420:61-66.

Palheiro P M, Fernandez P, Cruz M G. 2006. A fire behaviour-based fire danger classification for maritime pine stands: Comparison of two approaches:

Forest Ecology and Management. 54:234-247.

Porter T F, Chen C, Long JA, Lawrence RL, Sowell BF. 2014. Estimating biomass on CRP pastureland: A comparison of remote sensing

techniques: Biomass and Bioenergy. 66:268-274.

Powell SL, Cohen WB, Healey S, Kennedy RE, Moisen GG, Pierce KB, Ohmann JL. 2010. Quantification of live aboveground forest biomass dynamics with Landsat time-series and field inventory data: A comparison of empirical modeling approaches: Remote Sensing of Environment. 114:1053-1068.

(42)

26

Skinner Carl N. 2003. Fire Intensity and Scale. Redding (US): USDA Forest Service.

Steininger MK. 2010. Satellite estimation of tropical secondary forest above-ground biomass: Data from Brazil and Bolivia: International Journal of Remote Sensing. 21(6-7):1139- 1157.

Telmo C, Lousada J. 2011. Heating values of wood pellets from different species:

Biomass and Bioenergy. 35:2634-2639.

[USGS] United State Geological Survey. 2009. Landsat 7 Science Data Users Handbook. [internet]. [diunduh 2014 Nov 14]. Tersedia pada: http: /Landsathandbook.gsfc.nasa.gov/handbook/handbook_htmls/chapter11/ch apter11.html (14 November 2014).

Webber R O. 1991. Modeling fire spread through fuel beds: Energy combust.

17:67-82.

Weng Q. 2001. A remote sensing–GIS evaluation of urban expansion and its impact on surface temperatue in the Zhujiang Delta: Int. J. Remote sensing. 22(10): 1999-2014.

Widyati Enny. 2011. Kajian optimasi pengelolaan lahan gambut dan isu perubahan iklim: Tekno Hutan Tanaman. 4(2):57-68.

(43)

27 Lampiran 1 Heat production blok C dari awal kebakaran sampai 1 agustus 1997

severity_kelas biomass pre (kg) Biomass 1 aug 97

(kg) Q (kJ/m

2

)

High_hutan 667960.6514 11814.45697 1164526252

high_belukar 2118282.293 1610.197963 1644914568

high_lahan terbuka 44885.23454 284.79567 64224631.97

high_mangrove 48334.85988 893.14385 76920399.87

high_pertanian 109760.4857 593.444493 176850606.7

high_semak 813016.4531 715.6478 1317608767

mod_hutan 3638730.211 249104.7052 2159324182

mod_belukar 3216769.052 34263.49234 2027380666

mod_lahan terbuka 633551.8612 8987.563217 719498071.3 mod_mangrove 437995.9649 21075.60517 265594595.4 mod_pertanian 1271407.087 14560.69795 1628872920

mod_semak 1447212.382 17712.85922 1854998633

low_hutan 8311574.964 840262.3642 2715367569

low_belukar 7276518.356 5029277.342 816735384.8

low_lahan terbuka 1090260.515 116363.945 420723318.3 low_mangrove 1573181.997 187091.5992 503759528.7

low_pertanian 2309529.94 197227.5306 1026578971

low_semak 2579495.303 272376.3635 1122692526

Lampiran 2 Heat production blok C dari 1 agustus 1997 – 2 september 1997 severity_kelas biomass 1 aug 97

(kg)

biomass 2 sep 97

(kg) Q (kJ/m

2

)

High_hutan 11814.45697 977.96672 19232569.64

high_belukar 1610.197963 18.49471 1236949.207

high_lahan terbuka 284.79567 30.81917 365726.16

high_mangrove 893.14385 296.93646 966670.5737

high_pertanian 593.444493 84.42614 824609.7319

high_semak 715.6478 35.0803 1103928.125

mod_hutan 249104.7052 42333.99364 131721040.2

mod_belukar 34263.49234 2954.14749 19945278.72

mod_lahan terbuka 8987.563217 2098.78623 7935871.089 mod_mangrove 21075.60517 10340.46731 6838703.196

mod_pertanian 14560.69795 4639.5312 12857832.1

mod_semak 17712.85922 1694.38504 20786469.13

low_hutan 840262.3642 183831.2052 238572788.5

low_belukar 5029277.342 587840.5104 1614192068

low_lahan terbuka 116363.945 35254.40828 35039319.87 low_mangrove 187091.5992 83074.32417 37803950.99 low_pertanian 197227.5306 63046.99806 65211738.82

(44)

28

Lampiran 3 Heat production blok Bongan dari awal kebakaran sampai 22 mei 1997

severity_kelas biomass pre (kg) biomass 22 mei

(kg) Q (kj/m

2

)

low_semak 306062.2458 270123.2649 17488662.86

low_hutan 800314.3004 618431.1424 6610346.202

low_belukar 461120.4496 286474.2272 6347327.626

low_lahan terbuka 168545.5976 152609.3522 6884458.034

mod_semak 19150.84263 11686.70123 1427335.664

mod_hutan 34950.19516 21638.29316 8480202.857

mod_belukar 33862.35261 20184.10962 8713576.414

mod_lahan terbuka 137923.7935 85575.8852 3015239.52

high_semak 1436.6742 774.9933 896747.0098

high_hutan 11205.73445 5350.55716 10391750.69

high_belukar 1185.182555 698.59396 378139.1884

high_lahan terbuka 507.8029 323.6322 50389.10352

Lampiran 4 Heat production blok Bongan dari 22 Mei 1997 – 10 Agustus 1997 severity_kelas biomass 22 mei

(kg) biomass 10 aug (kg) Q (kj/m

2

)

low_semak 270123.2649 190050.3882 38965143

low_hutan 618431.1424 602870.8536 5655218

low_belukar 286474.2272 262026.6681 8885200

low_lahan terbuka 152609.3522 94320.95909 25180586

mod_semak 11686.70123 6289.69951 1032045

mod_hutan 21638.29316 21597.24794 26147.41

mod_belukar 20184.10962 6170.27963 8927358

mod_lahan terbuka 85575.8852 2466.99444 4787072

high_semak 774.9933 26.2246 1014773

high_hutan 5350.55716 172.43218 9190120

high_belukar 698.59396 151.43203 425212.1

(45)

29 Lampiran 5 Heat production Bongan dari 10 Agustus 1997 – 27 September 1997

severity_kelas biomass 10 aug (kg) Biomass 27 sep (kg) Q (kj/m2)

low_semak 190050.3882 179038.3036 5358712

low_hutan 602870.8536 385235.8659 79097077

low_belukar 262026.6681 130411.5735 47834079

low_lahan terbuka 94320.95909 67980.29338 1137917

mod_semak 6289.69951 513.80974 1104499

mod_hutan 21597.24794 3113.9581 11774579

mod_belukar 6170.27963 3231.267039 1872266

mod_lahan terbuka 2466.99444 2044.21221 24352.26

high_semak 26.2246 2.5175616 32129.11

high_hutan 172.43218 14.82916748 279713.3

high_belukar 151.43203 14.9435 106068.4

high_lahan terbuka 5.92957 1.52389949 1205.391

Lampiran 6 Laju pertambahan keliling terbakar blok C severity selisih keliling

low 23310318.08 13-May-97 1-Aug-97 80 3.3724419

mod 4054569.211 13-May-97 1-Aug-97 80 0.5865986

high 681289.6385 13-May-97 1-Aug-97 80 0.0985662 Lampiran 7 Intensitas kebakaran blok C dari tanggal 13 Mei – 1 Agustus 1997

(46)

30

Lampiran 8 Laju pertambahan keliling terbakar blok C severity selisih keliling high 21784.16136 1-Aug-97 2-Sep-97 32 1.0541903 Lampiran 9 Intensitas kebakaran blok C dari 1 Agustus – 2 September 1997

(47)

31

Lampiran 10 Laju pertambahan keliling terbakar blok Bongan severity

selisih Keliling

(meter)

estimasi awal terbakar

akuisisi citra pasca terbakar

durasi

(hari) r (m/s) low 824018.4238 6-May-97 22-May-97 16 0.5960781 mod 39071.70391 6-May-97 22-May-97 16 0.0282637 high 113.1856801 6-May-97 22-May-97 16 8.188E-05

Lampiran 11 Intensitas kebakaran blok Bongan dari 22 Mei – 22 Mei 1997 severity_kelas Q (kj/m2) Q tiap kelas

(kJ/m2) I (Kw/m)

low_semak 17488662.86

37330794.73 22252070.77

low_hutan 6610346.202

low_belukar 6347327.626

low_lahan terbuka 6884458.034

mod_semak 1427335.664

21636354.46 611522.8841

mod_hutan 8480202.857

mod_belukar 8713576.414

mod_lahan terbuka 3015239.52

high_semak 896747.0098

11717025.99 959.3457431

high_hutan 10391750.69

high_belukar 378139.1884

(48)

32

Lampiran 12 Laju pertambahan keliling terbakar blok Bongan severity

selisih Keliling

(meter)

akuisisi citra sebelumnya

Citra saat terbakar

durasi

(hari) r (m/s) low 2022179.125 22-May-97 10-Aug-97 80 0.292560637 mod 73607.80317 22-May-97 10-Aug-97 80 0.010649277 high 3577.02926 22-May-97 10-Aug-97 80 0.00051751 Lampiran 13 Intensitas kebakaran blok Bongan dari 22 Mei – 10 Agustus 1997

severity_kelas Q (kJ/m2) Q tiap kelas (kJ/m2) I (Kw/m)

low_semak 38965143.29

78686147.64 23020469.5

low_hutan 5655218.246

low_belukar 8885200.298 low_lahan terbuka 25180585.81

mod_semak 1032045.432

14772623.43 157317.76

mod_hutan 26147.41244

mod_belukar 8927358.474 mod_lahan terbuka 4787072.108

high_semak 1014773.273

10717029.16 5546.169976

high_hutan 9190120.325

(49)

33

Lampiran 14 Laju pertambahan keliling terbakar blok Bongan severity selisih Keliling

(meter)

akuisisi citra sebelumnya

citra saat terbakar

durasi

(hari) r (m/s) low 18359.91369 10-Aug-97 27-Sep-97 48 0.0044271 mod 201023.0477 10-Aug-97 27-Sep-97 48 0.048472 high 21784.16136 10-Aug-97 27-Sep-97 48 0.0052527 Lampiran 15 Intensitas kebakaran blok Bongan dari 10 Agustus – 27 September

1997

severity_kelas Q (kj/m2) Q tiap kelas

(kJ/m2) I (Kw/m)

low_semak 5358711.64

133427784.7 590693.1449

low_hutan 79097076.95

low_belukar 47834079.33

low_lahan terbuka 1137916.759

mod_semak 1104498.564

14775696.35 716207.4442

mod_hutan 11774579.42

mod_belukar 1872266.11

mod_lahan terbuka 24352.25645

high_semak 32129.10603

419116.2164 2201.508316

high_hutan 279713.343

high_belukar 106068.3759

(50)
(51)

35

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Kebumen 5 Juni 1993 sebagai anak kedua dari pasangan Bapak Mukhaibin dan Ibu Siti Munawaroh. Penulis memiliki seorang kakak bernama Eko Teguh Priyatno. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Kebumen pada tahun 2011. Di tahun yang sama, penulis diterima di Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN Undangan.

Gambar

Tabel 1 Citra Landsat dari tahun 1996 sampai 2014
Tabel 3 Klasifikasi tingkat keparahan (severity) berdasarkan nilai dNBR
Tabel 5 Daftar nilai h berdasarkan jenis vegetasi dan bagian tubuh vegetasi
Gambar 1 Tutupan lahan blok C sebelum kebakaran (tahun 1996), teknik
+7

Referensi

Dokumen terkait

Nasaruddin mengutip penafsiran Muḥammad ‘Abduh dalam al-Manār-nya yang tidak memutlakkan kepemimpinan kepemimpinan laki-laki atas perempuan, karena ayat tersebut

Sarung tangan yang kuat, tahan bahan kimia yang sesuai dengan standar yang disahkan, harus dipakai setiap saat bila menangani produk kimia, jika penilaian risiko menunjukkan,

Bila appendiks yang meradang kontak dengan obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan

Maka di lihat dari tuturan kutipan tersebut maka citra hotel bisnis yang ingin dibentuk melalui Restoran The Café menggunakan The wish image (citra yang diinginkan) karena

Dari kacamata ushul fiqh, hukum sah tetapi haram tersebut muncul dari teori bahwa “larangan” menikah tanpa pencatatan yang diatur dalam undang-undang merupakan “faktor eksternal”

Materi pokok pengaturan selanjutnya ialah berkaitan instrumen hukum yang mengjadi dasar hubungan kerja antara calon advokat dengan advokat pendamping dan/ atau pemilik

Kriteria awal desain turbin angin 1000 Watt Gampong Alue Naga didesain dengan diameter rotor 4m, putaran rotor 169 RPM dengan daya output 590 Watt yang dihasilkan

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dipaparkan maka peneliti membatasi penelitian ini sebagai berikut: Upaya Meningkatkan Kemampuan Menulis Kalimat Tegak Bersambung