• Tidak ada hasil yang ditemukan

appendicitis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "appendicitis"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Definisi

Appendicitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus Obstruksi lumen merupakan penyebab utama appendicitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis

Penelitian Collin (1990) di Amerika Serikat pada 3.400 kasus, 50% ditemukan adanya faktor obstruksi. Obstruksi yang disebabkan hiperplasi jaringan limfoid submukosa 60%, fekalith 35%, benda asing 4%, dan sebab lainnya 1%. (1)

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut Smeltzer C. Suzanne(2001),

Apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat. Jadi, dapat disimpulkan apendisitis adalah kondisi dimana terjadi infeksi pada umbai apendiks dan merupakan penyakit bedah abdomen yang paling sering terjadi.(2)

Klasifikasi Appendicitis

Adapun klasifikasi appendicitis berdasarkan klinikopatologis adalah sebagai berikut:

1. Appendicitis Akut

a. Appendicitis Akut Sederhana (Cataral Appendicitis)

Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam ringan. Pada appendicitis kataral

(2)

terjadi leukositosis dan appendiks terlihat normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa.

b. Appendicitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)

Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan ny eri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.

c. Appendicitis Akut Gangrenosa

Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif, appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada appendicitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.

2. Appendicitis Infiltrat

Appendicitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.

3. Appendicitis Abses

Appendicitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal,dan pelvic.

(3)

Appendicitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah ganggren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.

5. Appendicitis Kronis

Appendicitis kronis merupakan lanjutan appendicitis akut supuratif sebagai proses radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah, khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa appendicitis kronis baru dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik appendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Secara histologis, dinding appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada sub mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi. (2)

Etiologi dan Predisposisi Apendisitis akut

merupakan merupakan infeksi bakteria. Berbagai berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.histolytica . Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman klora kolon biasa. Semuanya ini mempermudah timbulnya apendisitis akut. (Sjamsuhidayat, 2005).(2)

Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai factor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor

(4)

yang diajukan sebagai factor pencetus disamping hyperplasia jaringan limf, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab yang lain yang diduga dapat menyebabkan apendisitis ialah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.histolytica . Namun menurut E. Oswari, kuman yang sering ditemukan dalam apendiks yang meradang adalah Escherichia coli dan Streptococcus (E. Oswari, 2000).(1)

Para ahli menduga timbulnya apendisitis ada hubungannya dengan gaya hidup seseorang, kebiasaan makan dan pola hidup ayang tidak teratur dengan badaniah yang bekerja keras. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut. (1) Epidemiologi

Insiden apendisitis akut di Negara maju lebih tinggi daripada di Negara berkembang (Pieter,2005). Kejadian ini mungkin disebabkan akibat perubahan pola makan di Negara berkembang yang banyak mengkonsumsi makanan berserat. Di Amerika Serikat populasinya 11 kasus per 10.000 populasi tiap tahun, dimana terjadi penurunan jumlah kasus dari 100 kasus menjadi 52 kasus tiap 100.000 penduduk dari tahun 1975-1991(Jaffe dan Berger, 2005).

Di Indonesia insidens apendisitis akut jarang dilaporkan. Insidens apendisitis akut pada pria berjumlah 242 sedang kan pada wanita jumlahnya 218 dari keseluruhan 460 kasus (Ruchiyat dkk,1999). Tahun 2008, insiden apendisitis mengalami peningkatan. Hal ini diakibatkan karena peningkatan konsumsi junk food dari pada makanan berserat. Apendisitis kronik insidennya hanya 1 - 5 %. Di RSPAD Gatot Soebroto pada tahun 2009, menurut hasil patologi anatomi, tercatat dari 108

(5)

penderita apendisitis hanya 13 orang saja yang menderita apendisitis kronik.

Data epidemiologi apendisitis jarang terjadi pada balita, insidennya hanya 1%. Apendisitis mengalami peningkatan pada masa pubertas, dan mencapai puncaknya pada saat remaja dan awal 20-an, sedangkan penderita apendisitis mengalami penurunan menjelang dewasa (Pieter, 2005). Insiden apendisitis sama banyaknya antara wanita dan laki-laki pada masa prapuber, sedangkan pada masa remaja ratio laki - laki : perempuan menjadi 3:2 dan pada usia diatas 25 tahun ratio ini menjadi 1:1(Telford, Condon, 1996).

Insiden apendisitis pada laki – laki tertinggi pada umur 10 – 14 tahun (27.6% per 10.000 penduduk), sementara pada wanita insiden tertinggi pada umur 15 – 19 tahun (20,5% per 10.000 penduduk) (Bernard & David, 2005; douglas & david, 2005.(3)

Apendisitis akut merupakan keadaan yang sering terjadi dan membutuhkan operasi kegawatan perut pada anak. Diagnosis apendisitis akut sulit pada anak, tetapi dapat memberikan angka perforata 30-60%. Lima puluh persen anak dengan apendisitis perforata diketahui oleh dokter sebelum didiagnosis. Risiko untuk perforata terbanyak pada umur 1-4 tahun (70-75%) dan terendah pada remaja 30-40% (Hartman, 2000). Individu memiliki risiko sekitar 7% untuk apendisitis selama hidup mereka. Insidensi apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang . Walaupun alasan untuk perbedaan ini tidak diketahui, faktor risiko yang potensial adalah diet rendah serat dan tinggi gula, riwayat keluarga, serta Infeksi (Mazziotti, 2008).

Sekitar 80.000 anak pernah menderita apendisitis di Amerika Serikat setiap tahun, di mana terjadi 4 per 1000 anak di bawah 14 tahun. Kejadian apendisitis meningkat dengan bertambahnya umur, memuncak pada remaja, dan jarang terjadi pada anak kurang dari 1 tahun (Hartman, 2000). Berdasarkan World Health Organization (2002), angka mortalitas akibat apendisitis adalah 21.000 jiwa, dimana populasi laki-laki lebih banyak dibangdingkan perempuan. Angka mortalitas apendisitis sekitar

(6)

12.000 jiwa pada laki – laki dan pada perempuan sekitar 10.000 jiwa. Menurut Craig (2010), apendisitis perforata sering terjadi pada umur dibawah 18 tahun ataupun diatas 50 tahun. Insidensi apendisitis pada laki-laki lebih besar 1,4 kali dari perempuan. Rasio laki-laki – laki-laki dan wanita sekitar 2:1. Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Banyak hal dapat sebagai faktor pencetusnya, diantaranya sumbatan lumen apendiks, hiperplasia jaringan limf, fekalit (faex= tinja, lithos= batu), tumor apendiks, dan berupa erosi mukosa oleh cacing askaris dan E.histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi menaikkan tekanan intrasekal, menyebabkan sumbatan fungsional apendiks, dan meningkatkan pertumbuhan flora kolon. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut (Pieter, 2005).

Untuk kejadian apendisitis di Indonesia khususnya di Medan, penulis tidak menemui referensi valid yang menyatakan jumlah maupun perbandingan penderita apendisitis, terkhusus apendsitis perforata di kelompok umur 0 tahun sampai 14 tahun. (4)

Manifestasi Klinik

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat. nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan. Pada apendiks yang terinflamasi, nyeri tekan dapatdirasakan pada kuadran kanan bawah pada titik Mc.Burney yang berada antara umbilikus dan spinalis iliaka superior anterior. Derajat nyeri tekan, spasme otot dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar dibelakang sekum , nyeri dan nyeri tekan terasa didaerah lumbal. Bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini dapat diketahui hanya pada pemeriksaan rektal. nyeri pada defekasi menunjukkan ujung apendiks berada dekat rektum . nyeri pada saat berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus

(7)

kanan dapat terjadi. Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri menjadi menyebar. Distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi pasien memburuk. Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi.

Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus atau proses penyakit lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia mengalami ruptur apendiks. Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi pada lansia karena banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan kesehatan tidak secepat pasien-pasien yang lebih muda (Smeltzer C. Suzanne, 2002). (2)

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar -samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc. Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004)

Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, karena letaknya terlindung oleh sekum, tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan karena kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan

(8)

berulang - ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing karena rangsangan dindingnya (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004). (1)

Pemeriksaan Diagnostik

Diagnosa yang dilakukan antara lain: a.1.Pemeriksaan Fisik

a.1.1. Inspeksi

pada appendicitis akut tidak ditemukan gambaran yang spesifik dan terlihat distensi perut.

a.1.2. Palpasi

pada daerah perut kanan bawah, apabila ditekan akan terasa nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosa appendicitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).

a.1.3. Pemeriksaan rektum

pemeriksaan ini dilakukan pada appendicitis untuk menentukan letak appendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini terasa nyeri, maka kemungkinan appendiks yang meradang terletak di daerah pelvic.

a.1.4. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator

pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui letak appendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.Pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila appendiks yang meradang kontak dengan obturator

(9)

internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri.

a.2. Pemeriksaan Penunjang a.2.1. Laboratorium

Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.

CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.

a.2.2. Radiologi,

terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90- 100% dan 96-97%.

a.2.2.1 USG

Ultrasonografi telah banyak digunakan untuk diagnosis apendisitis akut maupun apendisitis dengan abses. Apendiks yang normal jarang tampak dengan pemeriksaan ini. Apendiks yang meradang tampak sebagai lumen tubuler, diameter lebih dari 6 mm, tidak ada peristaltik pada penampakan longitudinal, dan gambaran target pada penampakan transversal. Keadaan awal apendisitis akut ditandai dengan perbedaan densitas pada lapisan apendiks, lumen yang utuh, dan diameter 9 –11 mm. Keadaan apendiks supurasi atau gangren ditandai dengan distensi lumen oleh cairan, penebalan dinding apendiks dengan atau tanpa

(10)

apendikolit. Keadaan apendiks perforasi ditandai dengan tebal dinding apendiks yang asimetris, cairan bebas intraperitonial, dan abses tunggal atau multiple (Bedah UGM, 2009). (3)

.Ultrasound dapat mengidentifikasi appendik yang membesar atau abses. Walaupun begitu, appendik hanya dapat dilihat pada 50% pasien selama terjadinya appendisitis. Oleh karena itu, dengan tidak terlihatnya apendiks selama ultrasound tidak menyingkirkan adanya appendisitis. Hasil USG dapat dikategorikan menjadi normal, non spesifik, kemungkinan penyakit kelainan lain, atau kemungkinan appendik. Hasil USG yang tidak spesifik meliputi adanya dilatasi usus, udara bebas, atau ileus (Bedah UGM, 2009) (3)

a.2.2.2 Computed Tomography Scanning (CT-Scan)

Pada keadaan normal apendiks, jarang tervisualisasi dengan pemeriksaan skening ini. Gambaran penebalan dinding apendiks dengan jaringan lunak sekitar yang melekat, mendukung keadaan apendiks yang meradang. CT-Scan sangat baik untuk mendeteksi apendiks dengan abses atau flegmon.(3)

Pada pasien yang tidak hamil, CT-scan pada daerah appendik sangat berguna untuk mendiagnosis appendisitis dan abses periappendikular sekaligus menyingkirkan adanya penyakit lain dalam rongga perut dan pelvis yang menyerupai appendicitis (Bedah UGM, 2009) (3)

a.2.2.3 Laparoskopi (Laparoscopy)

Dibidang bedah, laparoskopi dapat berfungsi sebagai alat diagnostik dan terapi . Disamping dapat mendiagnosis apendisitis secara langsung, laparoskopi juga dapat Ultrasonografi CT-Scan Sensitivitas 85% digunakan untuk melihat keadaan organ intraabdomen lainnya. Hal ini sangat bermanfaat terutama pada pasien wanita. Pada apendisitis akut laparoskopi diagnostik biasanya dilanjutkan dengan apendektomi laparoskopi (Smink & Soybel, 2005)

(11)

a.2.3. Analisa urin

bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.

a.2.4. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.

a.2.5. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa adanya kemungkinan kehamilan.

a.2.6. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk kemungkinan karsinoma colon.

a.2.7. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti appendicitis,tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan appendicitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.

(12)

Penatalaksanaan

Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk membatasi aktivitas fisik sampai pembedahan dilakukan ( akhyar yayan,2008 ). Analgetik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum umum atau spinal, secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Bila apendiktomi terbuka, insisi Mc.Burney banyak dipilih oleh para ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila terdapat laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak (Smeltzer C. Suzanne, 2002).

Pengobatan tunggal yang terbaik untuk usus buntu yang sudah meradang/apendisitis akut adalah dengan jalan membuang penyebabnya (operasi appendektomi). Pasien biasanya telah dipersiapkan dengan puasa antara 4 sampai 6 jam sebelum operasi dan dilakukan pemasangan cairan infus agar tidak terjadi dehidrasi. Pembiusan akan dilakukan oleh dokter ahli anastesi dengan pembiusan umum atau spinal/lumbal. Pada umumnya, teknik konvensional operasi pengangkatan usus buntu dengan cara irisan pada kulit perut kanan bawah di atas daerah apendiks (Sanyoto, 2007).

Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan sebelum pembedahan (Sjamsuhidajat, DeJong, 2004).

Alternatif lain operasi pengangkatan usus buntu yaitu dengan cara bedah laparoskopi. Operasi ini dilakukan dengan bantuan video camera yang dimasukkan ke dalam rongga perut sehingga jelas dapat melihat dan

(13)

melakukan appendektomi dan juga dapat memeriksa organ-organ di dalam perut lebih lengkap selain apendiks. Keuntungan bedah laparoskopi ini selain yang disebut diatas, yaitu luka operasi lebih kecil, biasanya antara satu dan setengah sentimeter sehingga secara kosmetik lebih baik (Sanyoto, 2007).(1)

Pencegahan Appendicitis Pencegahan Primer

Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap kejadian appendicitis. Upaya pencegahan primer dilakukan secara menyeluruh kepada masyarakat. Upaya yang dilakukan antara lain:

a. Diet tinggi serat

Berbagai penelitian telah melaporkan hubungan antara konsumsi serat dan insidens timbulnya berbagai macam penyakit.Hasil penelitian membuktikan bahwa diet tinggi serat mempunyai efek proteksi untuk kejadian penyakit saluran pencernaan.Serat dalam makanan mempunyai kemampuan mengikat air, selulosa, dan pektin yang membantu mempercepat sisa-sisa makanan untuk diekskresikan keluar sehingga tidak terjadi konstipasi yang mengakibatkan penekanan pada dinding kolon.

b.Defekasi yang teratur

Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi pengeluaran feces. Makanan yang mengandung serat penting untuk memperbesar volume feces dan makan yang teratur mempengaruhi defekasi. Individu yang makan pada waktu yang sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada pemasukan makanan dan keteraturan pola aktivitas peristaltik di kolon.

Frekuensi defekasi yang jarang akan mempengaruhi konsistensi feces yang lebih padat sehingga terjadi konstipasi. Konstipasi menaikkan tekanan intracaecal sehingga terjadi sumbatan fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon. Pengerasan feces

(14)

memungkinkan adanya bagian yang terselip masuk ke saluran appendiks dan menjadi media kuman/bakteri berkembang biak sebagai infeksi yang menimbulkan peradangan pada appendiks.

Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder meliputi diagnosa dini dan pengobatan yang tepat untuk mencegah timbulnya komplikasi.

a. Diagnosa Appendicitis

Diagnosa yang dilakukan antara lain: a.1.Pemeriksaan Fisik

a.1.1. Inspeksi

pada appendicitis akut tidak ditemukan gambaran yang spesifik dan terlihat distensi perut.

a.1.2. Palpasi

pada daerah perut kanan bawah, apabila ditekan akan terasa nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosa appendicitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).

a.1.3. Pemeriksaan rektum

pemeriksaan ini dilakukan pada appendicitis untuk menentukan letak appendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini terasa nyeri, maka kemungkinan appendiks yang meradang terletak di daerah pelvic.

a.1.4. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator

pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui letak appendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.Pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada

(15)

posisi terlentang. Bila appendiks yang meradang kontak dengan obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri.

a.2. Pemeriksaan Penunjang a.2.1. Laboratorium

Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.

CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.

a.2.2. Radiologi,

terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90- 100% dan 96-97%.

a.2.3. Analisa urin

bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.

a.2.4.

Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.

a.2.5.

Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa adanya kemungkinan kehamilan.

(16)

a.2.6.

Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk kemungkinan karsinoma colon.

a.2.7. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti appendicitis,tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan appendicitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.

b. Penatalaksanaan Medi

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita appendicitis meliputi penanggulangan konservatif dan operasi.

b.1. Penanggulangan konservatif

Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita appendicitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik.

b.2. Operasi

Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan appendicitis maka tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi).

Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage(mengeluarkan nanah).

2.9.3. Pencegahan Tersier

Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama adalah infeksi luka dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan perawatan intensif dan pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen.

(17)

Komplikasi

Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10% sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,70 C atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Smeltzer C.Suzanne, 2002).

Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami perdindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan letak usus halus (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004). Komplikasi usus buntu juga dapat meliputi infeksi luka, perlengketan, obstruksi usus, abses abdomen/pelvis, dan jarang sekali dapat menimbulkan kematian (Craig, 2011). Selain itu, terdapat komplikasi akibat tidakan operatif. Kebanyakan komplikasi yang mengikuti apendisektomi adalah komplikasi prosedur intra-abdomen dan ditemukan di tempat-tempat yang sesuai, seperti: infeksi luka, abses residual, sumbatan usus akut, ileus paralitik, fistula tinja eksternal, fistula tinja internal, dan perdarahan dari mesenterium apendiks (Bailey, 1992). (1)

(18)

Daftar Pustaka

Review Universitas Sumatra Utara. http://repository.usu.ac.id/ bitstream/ 123456789/19162/4/Chapter%20II.pdf (diakses pada tanggal 23 Pebruari 2014 pukul 20.00WIB)

Review Universitas Muhammadiyah Semarang http://digilib.unimus .ac.id/files/disk1/110/jtptunimus-gdl-agustinnur-5451-2-babii.pdf (diakses pada tanggal 23 Pebruari 2014 pukul 20.00WIB)

review Universitas UPN veteran Jakarta http://www.library .upnvj.ac.id/pdf/4s1kedokteran/207311015/BAB%20II.pdf (diakses pada tanggal 23 Pebruari 2014 pukul 20.00WIB)

Review Universitas Sumatra Utara.http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/23502/5/Chapter%20I.pdf (diakses pada tanggal 23 Pebruari 2014 pukul 20.00WIB)

Referensi

Dokumen terkait

Bahan yang digunakan dalam berkarya seni rupa tiga dimensi terdiri dari berbagai  jenis dan memiliki sifat serta karakeristik yang berbeda satu dengan yang

Corrosion surveillance is done by creating a corrosion coupons made of carbon steel of RSG GAS secondary cooling pipe in the shape of disc and assembled in a

Tanggapan responden mengenai Konflik mandor dengan pengusaha dapat diketahui bahwa sebanyak 4 responden atau 13,33 % berpendapat tidak setuju, 7 responden atau 23,33 %

Akan tetapi terkadang mereka merasa cukup sulit untuk membicarakan permasalahan bersama-sama dengan pasangan, karena biasanya pasangan cenderung tidak mau mengalah atau

Neneng berikan puas dengan layanan, hal ini dari pendapat konsumen yang disampaikan kepada saya 2.7 Konsumen menggunakan jasa Ibu. Neneng lebih dari

Pernyataan tersebut memberikan suatu gambaran bahwa tipografi untuk kemasan fatigon Hydro ingin menunjukkan bahwa produk tersebut merupakan produk yang memiliki keunikan dalam

Untuk dapat melakukan pengelolaan secara efektif terhadap kawasan mangrove di Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan, maka diperlukan informasi dasar terkait luas hutan mangrove,

Faktor yang memiliki hubungan yang bermakna secara statistik terhadap kejadian filariasis yaitu: Akses pelayanan kesehatan yang meliputi: jarak dan waktu tempuh ke RS, PKM,