• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Mangrove Berbasis Kearifan Lokal Di Pantai Timur Surabaya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemanfaatan Mangrove Berbasis Kearifan Lokal Di Pantai Timur Surabaya."

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN MANGROVE

BERBASIS KEARIFAN LOKAL

DI PANTAI TIMUR SURABAYA

IQBAL GHAZALI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemanfaatan Mangrove Berbasis Kearifan Lokal di Pantai Timur Surabaya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015

Iqbal Ghazali

(4)

RINGKASAN

IQBAL GHAZALI. Pemanfaatan Mangrove Berbasis Kearifan Lokal di Pantai Timur Surabaya. Dibimbing oleh ISDRADJAD SETYOBUDIANDI dan RILUS A. KINSENG.

Mangrove Pamurbaya merupakan salah satu ekosistem yang memiliki peran penting bagi Kota Surabaya, baik secara ekologi maupun ekonomi. Manfaat ekonomi dari mangrove menyebabkan masyarakat mengeksploitasinya secara besar-besaran, sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan. Hal tersebut dapat diatasi diantaranya dengan melakukan pengelolaan berbasis masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi masyarakat terkait mangrove Pamurbaya, dan bentuk pengelolaan mangrove di Pantai Timur Surabaya, khususnya yang dilakukan oleh masyarakat (kearifan lokal) dan pemerintah, serta mengetahui hubungan keduanya. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2014 di Kawasan Lindung Pamurbaya. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survey dengan purposivesample. Pengumpulan data primer (mangrove, stakeholder, kearifan lokal) dilakukan melalui observasi terhadap objek penelitian dan wawancara mendalam, sedangkan data sekunder (jumlah penduduk, peta, mangrove) diperoleh melalui studi literatur. Analisis data yang digunakan meliputi analisis kuantitatif sederhana (Skala Likert), analisis stakeholder, AWOT, dan analisis kualitatif (deskriptif).

Hasil penelitian menunjukkan terdapat 50 stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan mangrove Pamurbaya yang terdiri dari pemerintah, swasta, dan masyarakat. Kearifan lokal yang menjadi prioritas bagi masyarakat setempat adalah ekowisata mangrove. Strategi yang diperoleh untuk pengembangan ekowisata mangrove adalah dengan meningkatkan sistem kelembagaan, kreatifitas, dan inovasi pekerja ekowisata, serta memperbanyak kerja sama dengan berbagai pihak terkait. Hal tersebut bertujuan untuk merespon tingginya animo masyarakat dengan kegiatan ini. Hal lain yang tidak kalah penting yaitu mendukung upaya konservasi yang telah dilakukan pemerintah dengan turut melindungi serta menjaga kelestarian mangrove Pamurbaya. Pengelolaan mangrove Pamurbaya yang dilakukan oleh beberapa pihak dapat dikatakan sudah cukup baik, hal yang perlu dibenahi adalah terkait koordinasi antar stakeholder. Terintegrasinya stakeholder merupakan kunci sukses dalam pengelolaan, untuk mewujudkan kelestarian lingkungan seiring dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat.

(5)

SUMMARY

IQBAL GHAZALI. Mangrove Utilization Based Local Wisdom In The East Coast Surabaya. Supervised by ISDRADJAD SETYOBUDIANDI and RILUS A. KINSENG.

Mangrove Pamurbaya ecosytem is one of the ecosystem which has important role in Surabaya, both ecologycally and economycally.The economic benefits caused people to exploit on large scale, resulted environmental damage. These could be handled by doing community-based management. This study aimed to determine community perception associated Pamurbaya Mangrove, and Mangrove management in East Coast Surabaya, which particularly undertaken by the community (local wisdom) and the government, and to know the relationship between the two. This study held on March to May 2014 located in Protected Areas Pamurbaya. The method used in this study was survey with purposive sample. Primary data (mangrove, stakeholder, local wisdom) was done through observation the study’s object and in-depth interview, secondary data (population, maps, mangrove) obtained through the literature study. Analysis of the data using simple quantitative analyses (Likert Scale), stakeholder analyses, AWOT, and qualitative analysis (descriptive).

The results showed there were 50 stakeholders involved in this Pamurbaya mangrove management including goverment, private, and community. Local wisdom that has been the local community priority is mangrove ecotourism. The strategy for the development of ecotourism mangrove obtained by increase the institutional system, creativity, innovation of eco-tourism workers, and increase cooperation with various related parties. It aimed to respond to the high public interest in this activity. Other thing which also important is to support this conservation effort undertaken by goverment by help to protect and preserve Pamurbaya mangrove. Pamurbaya mangrove management undertaken by several parties was already good enough, thing that needs to be repaired was the coordination among stakeholders. Integration of stakeholders is the key to succeed the management, to achieve environmental sustainability along with the increase of social welfare.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

PEMANFAATAN MANGROVE

BERBASIS KEARIFAN LOKAL

DI PANTAI TIMUR SURABAYA

IQBAL GHAZALI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Pemanfaatan Mangrove Berbasis Kearifan Lokal di Pantai Timur Surabaya”, sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Sains di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi M.Sc dan Dr. Ir. Rilus A.Kinseng MA selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran, bimbingan, dan masukan dalam penulisan karya ilmiah ini.

2. Dr. Ir. Muslimin Abdulrahim MSIE, Dra. Fatmawati, Maulida Rosa Umainana SPi, dan Nadya Aisyah selaku keluarga yang selalu mendukung dan membantu dalam segala hal selama penulis menjalani studi.

3. Anggi Savitri ST. yang selalu mendukung dan menemani sejak awal studi. 4. Teman-teman SPL 2012 atas segala suka dan duka serta bentuk bantuan

dan kerjasama yang telah diberikan.

5. Segenap dosen serta staf atas segala ilmu dan bantuan yang diberikan. 6. Teman-teman Universitas Airlangga yang berjuang bersama melanjutkan

studi di IPB atas suka dan duka sejak awal studi.

7. Pihak lain yang banyak membantu selama di Bogor, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Bogor, Januari 2015

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN ix

I PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Kerangka Pemikiran 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi 5

Social Ecology Services 6

Mangrove 7

Kearifan Lokal 10

3 METODE 12

Waktu dan Lokasi Penelitian 12

Alat dan Bahan 12

Jenis dan Sumber Data Penelitian 13

Pengumpulan Data 14

Pengolahan dan Analisis Data 15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 25

Kondisi Mangrove Pamurbaya 25

Stakeholder Pengelolaan Mangrove Pamurbaya 27

Sikap dan Persepsi Masyarakat 37

Sistem Pengelolaan Mangrove Masyarakat Pamurbaya 46 Hubungan Implementasi Kebijakan Pemerintah dengan Kearifan

Lokal 58

4 KESIMPULAN DAN SARAN 61

Kesimpulan 61

Saran 61

DAFTAR PUSTAKA 63

LAMPIRAN 67

(14)

DAFTAR TABEL

1. Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove. 9

2. Jenis dan Sumber Data 13

3. Penilaian Tingkat Kepentingan 17

4. Penilaian Tingkat Pengaruh 17

5. Ukuran Kuantitatif Terhadap Identifikasi Pemetaan Stakeholder 19 6. Bentuk Perbandingan Berpasangan Matriks 20

7. Skala Banding Berpasangan 20

8. Penilaian Bobot Faktor Strategis Internal 21 9. Penilaian Bobot Faktor Strategis Eksternal 22 10. Skala Penilaian Peringkat Untuk Matrik IFAS 22 11. Skala Penilaian Peringkat Untuk Matrik EFAS 22

12. Matriks SWOT 23

13. Kondisi mangrove Pamurbaya 26

14. Hasil Perhitungan AHP Untuk Aspek Prioritas 48 15. Gabungan Nilai Kearifan Lokal Prioritas Aspek Ekologi 49 16. Gabungan Nilai Kearifan Lokal Prioritas Aspek Sosial 49 17. Gabungan Nilai Kearifan Lokal Prioritas Aspek Ekonomi 50 18. Gabungan Nilai Kearifan Lokal Prioritas Keseluruhan Aspek 50 19. Tingkat Kepentingan Faktor dalam Kegiatan Ekowisata Mangrove 54 20. Penentuan Nilai (bobot dan skor) IFAS 54 21. Penentuan Nilai (bobot dan skor) EFAS 55 22. Matriks Strategi Pengembangan Kegiatan Ekowisata Mangrove 55 23. Nilai dan Rangking Strategi Alternatif Berdasarkan Matriks SWOT 56

DAFTAR GAMBAR

8. Matriks Stakeholder Kecamatan Mulyorejo 30

9. Matriks Stakeholder Kecamatan Sukolilo 31

10. Matriks Stakeholder Kecamatan Rungkut 33

11. Matriks Stakeholder Kecamatan Gunung Anyar 36 12. Sikap masyarakat “Masyarakat mengerti mangrove” 38 13. Sikap masyarakat “Masyarakat menganggap mangrove penting” 38 14. Sikap masyarakat “Masyarakat setempat mau untuk mengenal dan

mengelola mangrove” 39

15. Sikap masyarakat “Mangrove Pamurbaya memiliki banyak manfaat” 40 16. Sikap masyarakat “Masyarakat memperoleh manfaat dari mangrove

Pamurbaya” 40

(15)

18. Sikap masyarakat “Kondisi mangrove Pamurbaya rusak” 41 19. Sikap masyarakat “Kerusakan mangrove dapat memberikan efek

negatif pada masyarakat” 42

20. Sikap masyarakat “Mangrove berperan besar dalam peningkatan

Kesejahteraan masyarakat”. 43

21. Sikap masyarakat “Pengelolaan mangrove pemerintah sudah baik” 43 22. Sikap masyarakat “Pengelolaan mangrove oleh pihak lain yang

berkepentingan sudah baik” 44

23. Sikap masyarakat “Masyarakat mengelola mangrove dengan baik” 45

DAFTAR LAMPIRAN

1. Kuesioner Untuk Mengetahui Sikap Masyarakat Terhadap Mangrove

Pamurbaya 67

2. Panduan Scoring untuk Mengetahui Tingkat Kepentingan Stakeholder 68 3. Panduan Scoring untuk Mengetahui Tingkat Pengaruh Stakeholder 69 4. Kuesioner untuk Orang-orang yang terlibat dalam Sampel Pada AHP 71 5. Kuesioner untuk Masyarakat yang Terlibat dalam Pengelolaan

Mangrove Berbasis Kearifan Lokal Prioritas 74 6. Kuesioner untuk Mengetahui Sikap, Persepsi, dan Kebijakan

Pemerintah Terhadap Pengelolaan Mangrove Pamurbaya

(Hubungannya dengan Masyarakat) 76

7. Kuesioner untuk Masyarakat yang Terlibat dalam Pengelolaan

Mangrove Berbasis Kearifan Lokal 77

8. Data Jenis Mangrove Kawasan Lindung Pamurbaya dan Lokasi

Sampling Mangrove 78

(16)

Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara maritim yang 3/4 wilayahnya adalah lautan (5,9 juta km2) dengan garis pantai yang mencapai kurang lebih 95.161 km (Lasabuda 2013). Garis pantai yang terdapat di Indonesia sebagian besar ditumbuhi oleh mangrove. Menurut Direktorat Kawasan Konservasi dan Jenis-jenis Ikan – Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (2012), luas ekosistem mangrove yang terdapat di Indonesia adalah 3.452.688 Ha, dari luas tersebut yang telah dikonservasi adalah 758.472 Ha.

Mangrove memiliki peran penting sebagai nursery area dan habitat berbagai macam ikan, udang, kerang-kerangan dan lain-lain. Mangrove juga memiliki sumber nutrien yang dapat mempengaruhi struktur, fungsi, dan keseimbangan ekosistem (Andersen et. al. 2006). Mangrove juga berfungsi menciptakan ekosistem pantai yang layak untuk kehidupan organisme akuatik, selain itu keseimbangan ekologi lingkungan perairan akan terjaga apabila keberadaan mangrove dipertahankan, karena mangrove berfungsi sebagai biofilter, agen pengikat, dan perangkap polusi (Mulyadi et al. 2009).

Mangrove merupakan salah satu lokasi yang menjadi sumber mata pencarian masyarakat yang wajib dikembangkan dan dilestarikan. Hasil studi di beberapa daerah menunjukkan bahwa keberadaan hutan mangrove sangat memberikan manfaat pada masyarakat pesisir berupa barang yang didapat melalui peningkatan hasil tangkapan dan perolehan kayu mangrove (Krausset et. al.

2008), selain itu kawasan tersebut menyediakan jasa lingkungan yang sangat besar, yaitu perlindungan pantai dari badai dan erosi (Martinuzzi et. al. 2009).

Wilayah Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya), sebagian besar merupakan kawasan mangrove. Pamurbaya saat ini termasuk dalam kawasan konservasi dan merupakan percontohan proyek konservasi ekosistem mangrove dan pemanfaatan berkelanjutan. Kawasan konservasi merupakan suatu konsep pengelolaan kawasan, yang bertujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati yang terdapat didalamnya, serta dapat memberikan jaminan kepada masyarakat untuk dapat memanfaatkan sumberdaya yang terkandung didalamnya secara berkelanjutan.

Konservasi mangrove sering terkendala dengan kepentingan-kepentingan dari beberapa pihak yang kurang peduli terhadap lingkungan. Kawasan mangrove menjadi sasaran atas kegiatan eksploitasi sumberdaya alam dan alih fungsi lahan menjadi kawasan pertambakan, pemukiman, dan industri. Hal tersebut menimbulkan kerusakan lingkungan yang dapat diidentifikasi dengan adanya degradasi pantai, erosi pantai/abrasi, intrusi air laut, hilangnya sempadan pantai serta menurunnya keanekaragaman hayati dan musnahnya habitat dan satwa tertentu (Waryono 2000). Degradasi mangrove juga mengakibatkan masyarakat yang hidup di sekitarnya mengalami kemunduran tingkat kesejahteraan, karena menurunkan hasil tangkapan ikan.

(17)

dalam hal pengelolaan mangrove, merupakan ganjalan dalam perwujudan kawasan konservasi Pamurbaya. Kondisi ini terjadi karena kurangnya supremasi hukum (termasuk hukum adat) dan semakin memudarnya nilai-nilai kearifan lokal/tradisional yang merupakan suatu gagasan konseptual masyarakat, yang tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, untuk mengatur kehidupan masyarakat (Sartini 2004).

Kearifan lokal yang diterapkan di beberapa daerah, terbukti mampu menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya. Salah satunya seperti yang diungkapkan oleh Kusumastanto et al. (2004), misalnya Hak Ulayat Laut yang terdapat di Pulau Para, Sulawesi Utara. Masyarakat setempat meyakini bahwa ikan layang adalah ikan peliharaan arwah leluhur mereka, yang hanya boleh ditangkap menggunakan alat tangkap Seke dan pukat lingkar. Alat tangkap ini merupakan simbol persatuan masyarakat setempat. Pengoperasiannya diatur oleh ketua adat dan tokoh masyarakat. Hasil tangkapan yang diperoleh, akan dikenakan potongan yang digunakan untuk kepentingan umum. Sangsi akan dikenakan bagi mereka yang melanggar.

Kearifan lokal ini jika dipraktekan dengan benar dan bersungguh-sungguh, akan menjadi norma, etika, dan moral yang dapat menuntun masyarakat untuk lebih peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungan. Hal ini dapat dijadikan sebagai salah satu komponen dalam pengelolalan mangrove Pamurbaya, untuk mengurangi ancaman yang timbul dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat Pamurbaya memiliki beberapa peraturan yang dibuat untuk mengelola mangrove, salah satunya adalah dengan menerapkan aturan untuk melakukan penanaman 5 bibit mangrove setiap memetik buah mangrove untuk diolah. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai dasar untuk terus melestarikan mangrove di daerah Pamurbaya, yang dapat dikolaborasikan dengan pengelolaan yang telah dilakukan oleh pemerintah Kota Surabaya, sehingga diperlukan suatu penelitian serta pengkajian lebih dalam terkait kearifan lokal setempat serta peraturan Pemkot Surabaya untuk menjaga kelestarian mangrove itu sendiri.

Perumusan Masalah

Mangrove adalah ekosistem yang unik dan rawan, hal ini disebabkan karena letaknya sebagai ekosistem peralihan antara ekosistem darat dan laut, sehingga sangat rapuh dan mudah rusak (Tambunan et al. 2005). Mangrove merupakan daerah yang mendapat tekanan tinggi akibat perkembangan infrastuktur, pemukiman, pertanian, perikanan, dan industri, karena 60% dari penduduk Indonesia bermukim di daerah pantai. Berdasarkan hal tersebut diperkirakan sekitar 200.000 ha mangrove di Indonesia mengalami kerusakan setiap tahun (Inoue et al. 1999). Lemahnya penegakan hukum dan kurangnya kesadaran masyarakat serta peran hukum (termasuk hukum adat), menjadikan kondisi ini makin parah dari tahun ke tahun.

(18)

sang pencipta, merupakan hal penting untuk peningkatan kesadaran masyarakat (Stanis 2005). Prinsip yang terdapat di dalam kearifan lokal, akan sangat membantu dalam keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi Pamurbaya

Pemanfaatan mangrove di Pamurbaya, beberapa lebih sebagai kegiatan wujud ekonomi kreatif di kawasan tersebut. Jenis mengrove yang biasa dipanen dan dimanfaatkan oleh penduduk antara lain jenis Bruguiera Gymnorhiza dan

Sonneratia Caseolaris (bogem). Jenis mangrove digunakan untuk pembuatan jenang, sirup, hingga dijadikan tepung. Ekonomi kreatif melalui pemanfaatan mangrove di Pamurbaya saat ini mulai berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan mangrove setempat mampu mendukung perekonomian masyarakat. Kondisi tersebut menyebabkan kita harus mewaspadai pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan masyarakat agar tidak mengancam mangrove sekitar, sehingga diperlukan suatu pengkajian terkait pengelolaan mangrove di Pamurbaya, khususnya yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kondisi mangrove Pamurbaya saat ini?

2. Siapa saja stakeholder dalam pengelolaan mangrove Pamurbaya serta bagaimana peran dan kepentingannya?

3. Bagaimana bentuk kearifan lokal masyarakat Pamurbaya, dan apa yang menjadi prioritas?

4. Bagaimana peran pemerintah dalam pengelolaan mangrove Pamurbaya? 5. Bagaimana hubungan antara peraturan pemerintah dengan kearifan lokal?

Tujuan Penelitian

Tujuan dilaksanakannya penelitian ini untuk mengetahui sistem pengelolaan mangrove di Pamurbaya dan bentuk pengelolaan mangrove Pamurbaya yang dilakukan oleh masyarakat, serta mengetahui peran pemerintah dalam pengelolaan mangrove. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat diketahui hubungan antara peraturan pemerintah kota Surabaya dengan kearifan lokal setempat, serta diperoleh suatu strategi pengelolaan mangrove Pamurbaya berbasis kearifan lokal.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bahan masukan untuk para pengambil keputusan/kebijakan dalam kaitannya dengan pengelolaan mangrove Pamurbaya.

2. Memberi informasi tambahan terkait strategi pengelolaan mangrove..

Kerangka Pemikiran

(19)

mendukung atau justru memperlemah pengelolaan mangrove oleh masyarakat. Hasil akhir diharapkan dapat diperoleh strategi pengelolaan mangrove Pamurbaya berbasis pada masyarakat, untuk selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Bagan Kerangka Penelitian. Swasta

Kondisi mangrove Pamurbaya

Pengelolaan Mangrove

Pemerintah Masyarakat

Kegiatan

Persepsi

Bentuk Pengelolaan

Persepsi Hubungan

Analisis

Kesimpulan/saran

Strategi Pengelolaan Mangrove Pamurbaya Berbasis Kearifan Lokal

Kondisi mangrove

(20)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi

Pesisir adalah wilayah pertemuan daratan dan laut, ke arah darat meliputi bagian daratan yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi proses yang terjadi di darat, seperti sedimentasi, aliran air tawar, maupun kegiatan manusia (Supriharyono 2007). Sumberdaya yang terdapat di wilayah pesisir merupakan common property dan open access. Konsekuensi dari hal tersebut adalah meningkatnya pemanfaatan sumberdaya di hampir semua wilayah. Aktivitas manusia tersebut memberi tekanan besar terhadap ekologi wilayah pesisir seperti ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Peranan berbagai elemen dalam hal ini menjadi bagian penting yang tidak terpisahkan dalam upaya mengelola sumberdaya pesisir. Konsep pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan berfokus pada karakteristik ekosistem pesisir yang bersangkutan, yang dikelola dengan memperhatikan aspek parameter lingkungan, konservasi, dan kualitas hidup masyarakat, untuk selanjutnya diidentifikasi secara komprehensif dan terpadu melalui kerjasama berbagai sektor untuk menemukan strategi-strategi pengelolaan pesisir yang tepat (Dahuri 1998).

Pengelolaan wilayah pesisir berbasis konservasi dianggap merupakan langkah tepat guna mencapai kelestarian sumberdaya dan keberlanjutan pemanfaatannya. Menurut UU 27/2007, konservasi merupakan suatu upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman. Konservasi ini bertujuan untuk menjaga kelestarian ekosistem pesisir, melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lain, melindungi habitat biota laut, dan melindungi situs budaya tradisional. Kegiatan konservasi ini didasari oleh tiga prinsip, yaitu perlindungan, pengawetan, pemanfaatan. Yulianda (2006) dalam Wijaya (2011) menyebutkan, prinsip dasar dalam pengelolaan kawasan konservasi terdiri dari :

a. Proses ekologis seharusnya dapat dikontrol.

b. Tujuan dan sasaran hendaknya dibuat dari sistem pemahaman ekologi. c. Ancaman luar hendaknya dapat diminimalkan dan manfaat dari luar dapat

dimaksimalkan.

d. Proses evolusi hendaknya dapat dipertahankan.

e. Pengelolaan hendaknya bersifat adaptif dan meminimalkan kerusakan SDA dan lingkungan.

Menurut PERMEN KP 17/2008, kategori kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil, terdiri dari kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kawasan Konservasi Maritim, Kawasan Konservasi Perairan, dan Sempadan Pantai. Zona pada kawasan konservasi ini terdiri dari tiga zona, yaitu :

(21)

b. Zona Pemanfaatan terbatas. Zona yang diperuntukkan sebagai perlindungan habitat dan populasi ikan, pariwisata dan rekreasi, pengembangan penelitian/pendidikan.

c. Zona lain merupakan zona karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu antara lain zona rehabilitasi.

Pengelolaan Wilayah Pesisir wajib dilakukan dengan cara mengintegrasikan seluruh aspek guna mencapai keterpaduan dari berbagai sektor. Keselarasan antara kegiatan manusia dengan lingkungan merupakan suatu kewajiban guna mencapai kelestarian lingkungan, karena manusia seharusnya hidup seimbang dengan alam, bukan sebagai pemilik alam (Mungmachon 2012).

Social Ecology Services

Masalah yang timbul pada dimensi lingkungan dan sosial, pada dasarnya tidak terlepas dari aktivitas yang dilakukan manusia dalam memenuhi kebutuhannya melalui sistem ekonomi dalam memproduksi barang dan jasa. Memperhatikan masalah-masalah lingkungan, sosial dan ekonomi yang bermunculan, maka komunikasi pembangunan berkelanjutan antara pemerintah dan warga negaranya atau antara perusahaan dengan stakeholdernya, dapat menjadi solusi yang patut ditawarkan. Secara teoritis, instrumen ini dapat digunakan sebagai media dialog untuk menyadarkan semua pihak akan bahaya laten akibat populasi manusia dari tahun ke tahun yang terus bertambah. Hal ini berarti bahwa produksi barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia juga akan terus bertambah yang pada akhirnya akan mendorong konflik dengan ketersediaan sumberdaya alam. Keadaan ini mau tidak mau menuntut manusia untuk dapat mengubah/memperbaiki pola produksi dan konsumsinya ke arah yang mendorong terjalinnya hubungan yang harmonis antara manusia dan alam, juga antara manusia satu dengan lainnya (Cahyandito 2005).

Berdasarkan hal tersebut diatas, dibutuhkan suatu pengkajian mengenai hubungan antara ekologi, sosial, dan ekonomi berupa hubungan organisme atau kelompok organisme terhadap lingkungannya dan ilmu hubungan timbal balik antara organisme-organisme hidup dan lingkungannya. Odum (1993) menyatakan bahwa ekologi adalah suatu studi tentang struktur dan fungsi ekosistem atau alam dan manusia sebagai bagiannya. Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik antara lain suhu, air, kelembaban, cahaya, dan topografi, sedangkan faktor biotik adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga berhubungan erat dengan tingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling mempengaruhi dan merupakan suatu sistem yang menunjukkan kesatuan.

(22)

aliran energi dan bahan, serta memeriksa bagaimana keyakinan lembaga dalam suatu budaya diatur dengan ekologi alam yang mengelilinginya. Hal tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah bagian dari ekologi seperti organisme lain.

Ostrom (2009) mengemukakan, pengelolaan sumberdaya alam perlu di analisis dengan menggunakan kerangka pendekatan Social Ecology System, karena kerusakan sumberdaya sangat dipengaruhi sistem lainnya, salah satunya sistem sosial. Tipe pengelolaan dengan pendekatan sosial ekologi adalah pengelolaan yang dilakukan secara menyeluruh serta bersifat adaptif (perubahan alam dan sosial digabungkan dalam pengelolaan) dan bersifat kooperatif, karena menggunakan pendekatan multifungsi lahan (Paloma et. al. 2014). Pendekatan ini perlu mempertimbangkan keterpaduan sistem sosial ekologi dan ilmu sosial ekologi, peningkatan dukungan sosial, proses partisipasi dan co-management

untuk mengurangi konflik sosial, pelibatan beragam institusi pada tata kelola, pelibatan penerima manfaat jasa ekosistem dalam proses perencanaan, pemahaman kesenjangan kawasan terhadap jasa ekosistem, dan menghindari kesalahan penentuan lokasi dan perbedaan peran dalam kawasan yang multi fungsi. Hal tersebut tentunya dilakukan dengan memperhatikan karakteristik sosial ekologi wilayah pesisir dan laut.

Peran sosial dalam ekologi adalah sebagai tata kelola pengatur hubungan manusia dengan manusia lain, serta pengaturan regulasi tata cara pemanfaatan sumberdaya. Tata kelola yang baik perlu memperhatikan keberlanjutan sumberdaya dan ekosistemnya, serta pelibatan pemerintah dan masyarakat, dan memberikan manfaat kepada masyarakat. Jones et al. (2011) dalam Imran dan Yamao (2014), menyebutkan bahwa terdapat tiga perspektif yang perlu diperhatikan dalam tata kelola tersebut yaitu, pendekatan dari atas ke bawah (top down), pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up) dan pendekatan insentif pasar (market-incentive). Ketiga hal tersebut akan bermuara pada pengelolaan sumberdaya kollaboratif (co-management), tentunya dengan menempatkan pendekatan ekosistem sebagai basis pengelolaan dan menempatkan aspek sosial dan ekonomi sebagai komponen penunjang.

Mangrove

Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungan di wilayah pesisir dan antara makhluk hidup itu sendiri, yang terpengaruh pasang surut air laut dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang mampu tumbuh dalam perairan asin/payau. Indonesia mempunyai luas hutan mangrove 25% dari luas hutan mangrove yang ada di dunia (Quarto 2005 dalam Sanudin dan Harianja 2009). Hutan mangrove di Indonesia setidaknya ada 202 jenis tumbuhan, yang meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit, dan 1 jenis paku.

(23)

bibit, bahan baku obat-obatan, bahan bangunan, bahan tekstil, penghasil kayu/arang, dll.). Mangrove memberikan kontribusi signifikan pada produktifitas estuari dan pesisir melalui aliran energi dari proses dekomposisi serasah (Sulistiyowati 2009). Produksi serasah merupakan faktor penting dalam aliran energi di daerah mangrove. Kusmana et. al (2000) mengatakan, salah satu faktor yang mempengaruhi produksi serasah adalah besar diameter atau ukuran mangrove. Fungsi lain dari ekosistem mangrove yaitu, membantu kesuburan tanah, membantu perluasan daratan ke laut dan pengolahan limbah organik, dimanfaatkan bagi tujuan budidaya ikan, udang, kepiting, dan tiram, serta berpotensi untuk fungsi pendidikan dan rekreasi.

Interaksi vegetasi mangrove dengan lingkungannya mampu menciptakan kondisi iklim yang sesuai untuk kelangsungan hidup beberapa organisme akuatik, sehingga dimana terdapat mangrove berarti di situ juga merupakan daerah perikanan yang subur (Ghufran dan Khordi 2012). Hal ini didukung dengan hasil penelitian Wei-dong et al. (2003), yang melaporkan bahwa jumlah spesies ikan di daerah mangrove dapat mencapai lebih dari 100 spesies.

Tumbuhan mangrove memiliki daya adaptasi yang khas untuk dapat hidup, Menurut Dahuri (2003), daya adaptasi tersebut meliputi :

1. Perakaran pendek dan melebar luas, dengan akar penyangga atau tudung akar yang tumbuh dari batang dan dahan sehingga mengokohkan batang. 2. Berdaun kuat dan mengandung banyak air.

3. Mempunyai jaringan internal penyimpan air dan konsentrasi garam yang tinggi. Beberapa tumbuhan mangrove seperti Avicennia mengatur keseimbangan osmotik dengan mengeluarkan garam.

Zonasi Mangrove

Mangrove mempunyai komposisi vegetasi tertentu yang dibentuk dari berbagai spesies tanaman mangrove yang dapat beradaptasi secara fisiologis terhadap lingkungan yang khas, sehingga terbentuk zonasi. Menurut Supriharyono (2007), faktor yang menentukan penyebaran mangrove :

1. Gelombang pasang surut, yang menentukan waktu dan tinggi penggenangan suatu lokasi.

2. Salinitas, berkaitan dengan penyebaran tumbuhan mangrove, karena ada beberapa spesies yang tidak tahan pada salinitas tinggi.

3. Substrat, tipe substrat yang sesuai untuk pertumbuhan mangrove adalah lumpur lunak, yang mengandung debu, liat, dan bahan organik lembut. 4. Suhu, suhu yang baik untuk kehidupan mangrove tidak kurang dari 200C.

Bengen (2000) mengatakan, umumnya mangrove di Indonesia jika dirunut dari arah laut ke darat, dapat dibedakan menjadi 4 zonasi yaitu :

1. Zona Api-api (Avicennia – Sonneratia)

(24)

2. Zona Bakau (Rhizophora)

Biasanya terletak di belakang api-api dan prepat, keadaan tanah berlumpur lunak (dalam). Umumnya didominasi bakau dan di beberapa tempat dijumpai berasosiasi dengan jenis lain seperti tanjang (Bruguiera spp) 3. Zona Tanjang (Bruguiera)

Terletak di belakang zona bakau, agak jauh dari laut dekat dengan daratan. Keadaan berlumpur agak keras, agak jauh dari garis pantai. Pada umumnya ditumbuhi jenis tanjang dan di beberapa tempat berasosiasi dengan jenis lain.

4. Zona Nipah (N fruticans)

Terletak paling jauh dari laut atau paling dekat ke arah darat, dan mengandung air dengan salinitas sangat rendah dibandingkan zona lainnya, tanahnya keras, kurang dipengaruhi pasang surut, dan kebanyakan berada di tepi-tepi sungai dekat laut. Zona ini umumnya ditumbuhi jenis nipah dan beberapa spesies palem lainnya.

Pengelolaan Mangrove

Fungsi mangrove yang memiliki arti penting dalam menunjang kehidupan manusia, menyebabkan manusia ingin mengeksploitasi dan memanfaatkannya. Kegiatan manusia tersebut dapat merusak ekosistem mangrove itu sendiri. Dampak kerusakan yang ditimbulkan menuntut kita untuk melakukan suatu pengelolaan yang menjamin kelestarian mangrove tersebut. Berikut adalah beberapa alternatif pengelolaan ekosistem mangrove menurut Adrianto (2004), yang disajikan di Tabel 1.

Tabel 1. Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove.

Pilihan Pengelolaan Deskripsi

Kawasan lindung Pengelolaan kawasan dan pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat

Kawasan kehutanan subsisten Pemanfaatan komersial hutan mangrove Kawasan hutan komersial Konversi sebagian kawasan hutan

mangrove

Akua-silvikultur Konversi sebagian hutan mangrove untuk kolam ikan

Budidaya perairan Semi-intensif Konversi hutan mangrove untuk budidaya perairan semi-intensif

Budidaya perairan intensif Konversi hutan mangrove untuk budidaya perairan intensif

Pemanfaatan hutan komersial dan budidaya perairan semi intensif

Pemanfaatan ganda yang bertujuan untuk memaksimalkan manfaat hutan mangrove dan perikanan

Pemanfaatan ekosistem mangrove subsisten dan Budidaya perairan semi-intensif

Pemanfaatan ganda yang bertujuan untuk memberikan manfaat mangrove kepada masyarakat lokal dan perikanan Konversi ekosistem mangrove Konversi kawasan mangrove untuk

(25)

Jenis-jenis alternatif pengelolaan ekosistem mangrove diatas dapat dijadikan sebagai dasar dalam melakukan pengelolaan mangrove. Keterpaduan dari berbagai stakeholder sangat dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan dalam pengelolaan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kustanti et. al. (2012), yang menunjukkan bahwa keterpaduan pengelolaan mangrove antara masyarakat, Pemda, dan Universitas dapat mewujudkan keberadaan sumberdaya yang lestari di wilayah mangrove Lampung Timur.

Kearifan Lokal

Kearifan lokal merupakan salah satu produk kebudayaan, yang lahir karena kebutuhan akan nilai, norma, dan aturan yang menjadi model untuk melakukan suatu tindakan (Mufid 2010). Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom

dapat dipahami sebagai gagasan dan usaha manusia dengan menggunakan akal budinya untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya sendiri. Kearifan lokal tidak sekedar sebagai acuan tingkah laku seseorang, tetapi lebih jauh yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban.

Kearifan lokal menggambarkan cara bersikap dan bertindak untuk merespon perubahan yang khas dalam lingkup lingkungan fisik maupun kultural. Menurut teori human ecology terdapat hubungan timbal-balik antara lingkungan dengan tingkah laku manusia, dimana keduanya dapat saling mempengaruhi (Ridwan, 2007). Wagiran (2010) mengungkapkan bahwa kearifan lokal identik dengan perilaku manusia yang berhubungan dengan beberapa hal, yaitu Tuhan, bencana serta tanda-tanda alam, lingkungan hidup, rumah, pendidikan, upacara perkawinan dan kelahiran, makanan dan kesehatan, siklus kehidupan manusia dan watak. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku di kelompok masyarakat, yang akan menjadi pegangan mereka sehari-hari.

Masyarakat memiliki adat istiadat, nilai-nilai sosial, dan kebiasaan yang berbeda pada tiap-tiap daerah, termasuk dalam praktek pemanfaatan sumberdaya, sehingga dalam proses pengelolaan sumberdaya perlu memperhatikan masyarakat dan kebudayaan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya (Wahyudin, 2004). Pengetahuan adat memiliki peran besar dalam pengelolaan perikanan. Ruddle (2000) menyatakan, pengelolaan perikanan berbasis pengetahuan lokal memiliki 4 ciri umum yaitu:

1. Praktek sudah berlangsung lama, empiris, dan dilakukan di suatu tempat, yang mengadopsi perubahan-perubahan lokal.

2. Praktek bersifat praktis, berorientasi pada perilaku masyarakat, dan terkadang spesifik untuk tipe sumberdaya tertentu.

3. Praktek bersifat struktural, memiliki perhatian kuat terhadap sumberdaya dan lingkungan, sehingga sesuai dengan konsep ilmiah, misalnya dalam konteks konektivitas ekologis dan konservasi sumberdaya perairan.

(26)

Ruang Lingkup Kearifan Lokal

Kearifan lokal merupakan fenomena yang luas dan komprehensif. Cakupan kearifan lokal cukup banyak dan beragam sehingga sulit dibatasi oleh ruang. Wagiran (2012) mengatakan, kearifan lokal lebih menekankan pada tempat dan lokalitas dari kearifan tersebut, sehingga tidak harus merupakan sebuah kearifan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Kearifan lokal bisa merupakan kearifan yang belum lama muncul dalam suatu komunitas sebagai hasil dari interaksinya dengan lingkungan alam dan interaksinya dengan masyarakat serta budaya lain, sehingga kearifan lokal tidak selalu bersifat tradisional karena dia dapat mencakup kearifan masa kini. Membedakan kearifan lokal yang baru saja muncul dengan kearifan lokal yang sudah lama dapat digunakan istilah "kearifan kini", "kearifan baru", atau "kearifan kontemporer", sedangkan kearifan tradisional dapat disebut "kearifan dulu" atau "kearifan lama".

Lingkup kearifan lokal menurut Wagiran (2010) dapat dibagi menjadi delapan, yaitu :

1. Norma-norma lokal yang dikembangkan, pantangan, dan kewajiban. 2. Ritual dan tradisi masyarakat serta makna disebaliknya.

3. Lagu-lagu rakyat, legenda, mitos, dan cerita.

4. Informasi data dan pengetahuan yang terhimpun pada diri sesepuh masyarakat, tetua adat, pemimpin spiritual.

5. Manuskrip atau kitab-kitab suci yang diyakini oleh masyarakat.

6. Cara-cara komunitas lokal dalam memenuhi kehidupannya sehari-hari. 7. Alat dan bahan yang dipergunakan untuk kebutuhan tertentu.

8. Kondisi sumberdaya alam/lingkungan yang biasa dimanfaatkan dalam penghidupan masyarakat sehari-hari.

Contoh Kearifan Lokal

Indonesia telah banyak memiliki kearifan lokal dan menerapkan hukum adat dalam kaitannya dengan pengelolaan mangrove. Hal ini terbukti ampuh, sehingga perlu dikembangkan. Berikut adalah beberapa contoh kearifan lokal dalam kaitannya dengan mangrove :

1. Tradisi awig-awig masyarakat Nusa Penida, Bali. Masyarakat tidak diperbolehkan untuk menebang dan mengeksploitasi mangrove dalam bentuk apapun.

2. Pengelolaan mangrove masyarakat Langkat, Sumatera Utara. Masyarakat setempat diperbolehkan untuk memanfaatkan kayu mangrove yang sudah mati. Masyarakat tidak diperbolehkan mengambil mangrove untuk kepentingan komersial. Pengambilan kayu mangrove diperbolehkan, jika untuk kepentingan umum, dan pelaksanaannya harus seijin pemerintah desa.

(27)

3

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2014 di Pamurbaya. Pemilihan lokasi penelitian terutama didasarkan pada pertimbangan bahwa Kota Surabaya merupakan kota besar dan ibukota Jawa Timur yang sebagian wilayahnya merupakan wilayah pesisir, sehingga dapat dikatakan cukup rawan akan konflik yang dapat merusak mangrove di area tersebut, selain itu potensi yang dimiliki cukup banyak, sehingga dapat mendukung untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar. Peta Pamurbaya dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Peta Pamurbaya.

Alat dan Bahan

(28)

Jenis dan Sumber Data Penelitian

Data yang diperlukan dalam penelitian bersumber dari data primer maupun data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung dari responden melalui hasil wawancara, diskusi atau pengamatan, sedangkan data sekunder diperoleh secara tidak langsung atau melalui pihak kedua (instansi terkait) dengan melakukan studi dokumentasi atau literatur. Adapun data yang diperlukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2, serta alir penelitian yang dapat dilihat pada Gambar 3.

Tabel 2. Jenis dan Sumber Data.

No. Parameter Komponen Data Sumber Data Metode

1 Mangrove - Luas mangrove

5 Stakeholder - Identifikasi aktor

(29)

Gambar 3. Diagram Alir Penelitian.

Pengumpulan Data

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survei dengan menggunakan kuesioner. Sampel yang digunakan diantaranya adalah beberapa

key informant yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan mangrove di wilayah Pamurbaya, yaitu orang-orang yang dianggap mengerti tentang informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Kerangka sampling selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4.

Identifikasi kepentingan dan pengaruh stakeholder

dalam pengelolaan mangrove Pamurbaya (Pemerintah, masyarakat, dan stakeholder)

Analisis

Stakeholder

Analisis pengelolaan mangrove berbasis kearifan lokal

Analisis AWOT

Hubungan kebijakan Pemkot Surabaya dengan kearifan lokal masyarakat

Analisis Kualitatif

Pengelolaan mangrove Pamurbaya berbasis kearifan lokal Identifikasi kegiatan pengelolaan

mangrove Pamurbaya (Pemerintah, masyarakat, dan

Analisis sikap dan persepsi masyarakat terkait keberadaan mangrove

Analisis Kuantitatif Identifikasi potensi dan kondisi

mangrove Pamurbaya

Masukan

Proses

(30)

Gambar 4. Kerangka Sampling Penelitian. .

Pengolahan dan Analisis Data

(31)

Analisis Kuantitatif

Jenis-jenis bidang pendekatan metode kuantitatif adalah eksperimen, hard

data, empirik, positivistik, fakta nyata di masyarakat dan statistik, survei, interview terstruktur, dan seterusnya (Musianto 2002). Penelitian kuantitatif merupakan penelitian yang arah dan fokusnya melalui uji teoritik, membangun atau menyusun fakta dan data, deskripsi statistik, kejelasan hubungan, dan prediksi (Musianto 2002).

Sampel yang digunakan adalah cluster random sample dengan jumlah 80 orang yang merupakan masyarakat sekitar dan beberapa stakeholder sekitar yang terlibat dalam pengelolaan dan memiliki kepentingan dengan mangrove Pamurbaya. Analisa data kuantitatif pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji statistik sederhana, yaitu memprosentasekan kuesioner (tersaji pada Lampiran 1) hasil survei terkait sikap sampel terhadap keberadaan dan pengelolaan mangrove Pamurbaya, yang dibuat menurut skala Likert. Persepsi dari sampel juga akan digali untuk mendukung hasil dari analisis ini.

Analisis Stakeholder

Analisis stakeholder adalah analisis yang dilakukan untuk mengidentifikasi dan memetakan tingkat kepentingan dan pengaruh aktor dalam suatu pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya serta kerjasama dan konflik antar aktor. Analisis ini menanyakan siapa saja pihak yang berkepentingan dan memiliki kekuatan untuk dapat mempengaruhi apa yang terjadi, serta bagaimana mereka berinteraksi, sehingga pada tujuan akhir dapat memberikan rekomendasi strategis untuk melanggengkan partisipasi para pemangku kepentingan (Herdiansyah 2012).

Analisis stakeholder merupakan suatu sistem untuk mengumpulkan informasi mengenai kelompok atau individu terkait, untuk mengkategorikan informasi, serta menjelaskan kemungkinan konflik antar kelompok. Berikut adalah langkah-langkah dalam melakukan analisis stakeholder yang dikemukakan oleh Suporahardjo (2005) :

1. Mengembangkan tujuan dan prosedur analisis dan pemahaman awal tentang sistem yang terkait.

2. Identifikasi stakeholder beserta perannya.

3. Mengkategorikan stakeholder berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya. 4. Mendefinisikan hubungan antar stakeholder.

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui siapa saja stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan mangrove Pamurbaya, serta bagaimana tingkat kepentingan dan pengaruh dari masing-masing stakeholder tersebut, sehingga analisis stakeholder yang akan dilakukan hanya sampai pada langkah ke-tiga.

(32)

Tabel 3. Penilaian Tingkat Kepentingan.

No. Variabel Indikator Skor

1 Keterlibatan Tidak terlibat Terlibat 1 proses 2 Manfaat pengelolaan Tidak mendapat manfaat

Mendapat 1 manfaat 4 Prioritas pengelolaan Tidak prioritas

Kurang 5 Ketergantungan terhadap

sumberdaya Sumber : Modifikasi Indrayanti (2012).

Tabel 4. Penilaian Tingkat Pengaruh.

No. Variabel Indikator Skor

1 Aturan/kebijakan pengelolaan Tidak terlibat Terlibat 1 proses 2 Peran dan partisipasi Tidak berkontribusi

Berkontribusi dalam 1 point Berkontribusi dalam 2 point Berkontribusi dalam 3 point Berkontribusi dalam seluruh point

(33)

(Lanjutan Tabel 4) 5 Kapasitas sumberdaya yang

disediakan Sumber : Modifikasi Indrayanti (2012).

Penilaian mengenai tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder, digunakan panduan penilaian yang tersaji pada Lampiran 2 untuk mengetahui tingkat kepentingan, dan panduan penilaian yang tersaji pada Lampiran 3 untuk mengetahui besarnya pengaruh.

Langkah berikutnya setelah diketahui besarnya nilai kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholder, yaitu dipetakan ke dalam matriks kepentingan pengaruh seperti yang tersaji pada Gambar 5.

Gambar 5. Matriks Hasil Analisis Stakeholder. Sumber : (Reed et al. 2009).

Posisi kuadran pada Gambar 5, menggambarkan ilustrasi posisi dan peranan yang dimainkan oleh tiap-tiap stakeholder yang terkait dengan pengelolaan mangrove. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing kuadran tersebut :

1. Kuadran 1, yaitu memiliki kepentingan tinggi tetapi pengaruhnya rendah. 2. Kuadran 2, yaitu memiliki kepentingan dan pengaruh yang tinggi.

3. Kuadran 3, yaitu memiliki kepentingan dan pengaruh yang rendah. 4. Kuadran 4, yaitu memiliki kepentingan rendah tetapi pengaruh tinggi.

(34)

Tabel 5. Ukuran Kuantitatif Terhadap Identifikasi Pemetaan Stakeholder.

Skor Nilai Kriteria Keterangan

Pengaruh

1 1-5 Sangat rendah Tidak mempengaruhi pengelolaan sumberdaya 2 6-10 Rendah Kurang mempengaruhi pengelolaan sumberdaya 3 11-15 Cukup Cukup mempengaruhi pengelolaan sumberdaya 4 16-20 Tinggi Mempengaruhi pengelolaan sumberdaya

5 21-25 Sangat tinggi Sangat mempengaruhi pengelolaan sumberdaya Kepentingan

1 1-5 Sangat rendah Tidak bergantung pada keberadaan sumberdaya 2 6-10 Rendah Kurang bergantung pada sumberdaya

3 11-15 Cukup Cukup bergantung pada sumberdaya 4 16-20 Tinggi Bergantung pada sumberdaya 5 21-25 Sangat tinggi Sangat bergantung pada sumberdaya Sumber : Abbas (2005).

Analisis AWOT

Metode AWOT merupakan gabungan antara pendekatan AHP (Analisis Hierarchy Process) dan SWOT (strength, weakness, opportunity and threat). Integrasi AHP ke dalam SWOT menghasilkan prioritas-prioritas yang ditentukan secara analitis berdasarkan faktor-faktor yang tercakup dalam SWOT dan membuat semua itu sepadan. AHP memberikan kerangka dasar untuk pembentukan suatu analisis keputusan, sementara SWOT membantu pembuatan AHP lebih analitis, sehingga strategi pengelolaan mangrove berbasis kearifan lokal dapat diprioritaskan. Tahapan metode AWOT sebagai berikut :

a. Analisis AHP

Metode AHP (Analysis Hierarchy Process) merupakan suatu model yang diperkenalkan oleh Thomas L. Saaty pada tahun 1971. AHP adalah salah satu metode dalam sistem pengambilan keputusan yang menggunakan beberapa variabel dengan proses analisis bertingkat. Analisis dilakukan dengan memberi nilai prioritas dari tiap-tiap variabel, kemudian melakukan perbandiangan berpasangan dari variabel-variabel dan alternatif-alternatif yang ada. Metode ini digunakan untuk membangun suatu model dari gagasan dan membuat asumsi untuk mendefinisikan persoalan dan memperoleh pemecahan yang diinginkan, serta memungkinkan menguji kepekaan hasilnya (Saaty 1993). Menurut Mulyardi (2005) in Dewi dan Santoso (2007), teknik ini mampu memberikan penilaian tingkat konsistensi pengambil keputusan dalam memberikan nilai evaluasi, dengan tingkat kompromi dari penggabungan nilai antar pengambil keputusan.

Metode AHP dapat digunakan untuk menyusun strategi pengelolaan mangrove berbasis pada kearifan lokal, karena mampu menggambarkan upaya apa yang dibutuhkan/dilakukan untuk meningkatkan pengelolaan mangrove dan untuk mengetahui tingkat keterkaitannya sehingga dapat membuat perkiraan untuk ke depan dalam merumuskan suatu strategi pengelolaan mangrove yang sesuai dengan karakteristik ekosistem dan pranata aturan serta pranata sosial. Berikut ini adalah langkah-langkah dalam metode AHP menurut Saaty (1993) :

(35)

memahami permasalahan, sehingga diperoleh konsep yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi.

2. Penyusunan struktur hirarki diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub tujuan, kriteria, dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria paling rendah. Penentuan tujuan berdasarkan permasalahan yang ada, sedangkan penentuan kriteria dan alternatif diperoleh dari hasil pra-survei dan diskusi dengan keypersons.

3. Menyebarkan kuesioner kepada responden, sehingga dapat diketahui pengaruh relatif setiap elemen terhadap masing-masing aspek atau kriteria dengan membuat perbandingan berpasangan (pairwise comparison). Perbandingan berpasangan adalah setiap elemen dibandingkan berpasangan terhadap suatu aspek atau kriteria yang ditentukan. Bentuk perbandingan berpasangan dalam matriks dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Bentuk Perbandingan Berpasangan Matriks.

C A1 A2 A3 A4

Pengisian matriks banding berpasang tersebut, menggunakan bilangan yang menggambarkan relatif pentingnya suatu elemen di atas yang lainnya. Skala itu mendefinisikan dan menjelaskan nilai 1-9 yang ditetapkan sebagai pertimbangan dalam membandingkan pasangan elemen yang sejenis di setiap tingkat hierarki terhadap suatu aspek atau kriteria yang berada setingkat di atasnya. Berikut adalah arti dari skala banding berpasangan yang disajikan di Tabel 7.

Tabel 7. Skala Banding Berpasangan.

Nilai 1 Kedua faktor sama pentingnya

Nilai 3 Faktor yang satu sedikit lebih penting daripada faktor yang lainnya

Nilai 5 Faktor satu esensial atau lebih penting daripada faktor Lainnya

Nilai 7 Satu faktor jelas lebih penting daripada faktor lainya Nilai 9 Satu faktor mutlak lebih penting daripada faktor lainnya Nilai 2, 4, 6, 8 Nilai-nilai antara, diantara dua nilai pertimbangan yang

berdekatan. Sumber : Saaty (1993).

4. Hasil yang diperoleh kemudian diolah menggunakan expert choice versi

(36)

Dari hasil tersebut juga dapat diketahui kriteria dan alternatif yang diprioritaskan.

5. Selanjutnya skala prioritas dari kriteria dan alternatif tersebut digunakan untuk mencapai variabel hirarki dengan tujuan menyusun strategi pengelolaan mangrove berbasis kearifan lokal.

Sampel yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu mereka yang dianggap mengerti. Sampel tersebut nantinya akan diwawancarai sesuai dengan panduan kuesioner yang tersaji pada Lampiran 4. Penerapan AHP pada penelitian ini dilakukan dengan cara mencari semua kearifan lokal yang ada di lokasi penelitian terkait pengelolaan mangrove, kemudian mengurutkannya untuk mengetahui kearifan lokal mana yang paling prioritas untuk masyarakat, dengan harapan nantinya didapat suatu strategi pengelolaan mangrove yang berbasis pada kearifan lokal. Penentuan strategi tersebut tentunya juga akan didasarkan pada ekosistem yang terdapat di lokasi penelitian, sehingga strategi yang dikeluarkan bersifat ramah terhadap keanekaragaman hayati di lokasi penelitian.

b. Analisis SWOT

Analisis SWOT adalah metode perencanaan strategis untuk mengevaluasi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang berkenaan dengan suatu kegiatan atau usaha (Rangkuty 2002). Analisis SWOT akan menspesifikasikan tujuan kegiatan atau usaha yang dimaksud dan diidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal dalam mencapai tujuan. Analisis ini merupakan alat pengambilan keputusan serta menentukan strategi berdasarkan logika untuk memaksimalkan kekuatan dan peluang, serta meminimalkan kelemahan dan ancaman. Kekuatan dan kelemahan merupakan faktor internal dari kearifan lokal yang dirangkum dalam IFAS (Internal Strategic Factor Analysis Summary), sedangkan peluang dan ancaman merupakan faktor eksternal dari kearifan lokal yang dirangkum dalam EFAS (External Strategic Factor Analysis Summary). Menurut Rangkuty (1997), langkah dalam pembuatan IFAS dan EFAS adalah sebagai berikut:

1. Menentukan variabel yang terdapat pada IFAS dan EFAS

2. Menentukan bobot dari masing-masing variabel yang terdapat pada IFAS dan EFAS. Penentuan bobot dilakukan dengan mengajukan identifikasi faktor strategis internal dan eksternal. Menurut David (2002) penentuan bobot setiap variabel menggunakan skala 1 – 4, yaitu:

1 : Jika indikator horizontal kurang penting daripada indikator vertikal. 2 : Jika indikator horizontal sama penting daripada indikator vertikal. 3 : Jika indikator horizontal lebih penting daripada indikator vertikal. 4 : Jika indikator horizontal sangat penting daripada indikator vertikal. Pembobotan dapat dilihat pada Tabel 8 (IFAS) dan Tabel 9 (EFAS).

Tabel 8. Penilaian Bobot Faktor Strategis Internal.

(37)

Tabel 9. Penilaian Bobot Faktor Strategis Eksternal.

Bobot setiap variabel diperoleh dengan menentukan nilai setiap variabel terhadap jumlah nilai keseluruhan variabel dengan menggunakan rumus :

n

i : 1, 2, 3, ..., 14 (Faktor strategis internal/eksternal) n : Jumlah variabel

3. Menentukan peringkat (rating) dari masing-masing variabel. Penentuan peringkat merupakan pengukuran pengaruh masing-masing variabel yang menggunakan nilai peringkat dengan skala 1-4 terhadap masing-masing faktor strategis yang dimiliki. Skala penilaian peringkat untuk matriks IFAS tersaji pada Tabel 10, dan skala penilaian peringkat untuk matriks EFAS tersaji pada Tabel 11.

Tabel 10. Skala penilaian peringkat untuk matriks IFAS.

Rating Kekuatan Kelemahan

1 Kekuatan kecil Kelemahan yang sangat berarti 2 Kekuatan sedang Kelemahan yang cukup berarti 3 Kekuatan besar Kelemahan yang tidak berarti 4 Kekuatan sangat besar Kelemahan yang sangat tidak berarti

Sumber: Rangkuti (1997).

Tabel 11. Skala penilaian peringkat untuk matriks EFAS.

Rating Peluang Ancaman

1 Peluang rendah, respon kurang Ancaman sangat besar 2 Peluang sedang, respon rata-rata Ancaman besar

3 Peluang tinggi, respon diatas rata-rata Ancaman sedang 4 Peluang tinggi, respon superior Ancaman kecil

Sumber: Rangkuti (1997).

(38)

dibawah 2,5 berarti kondisi eksternal lemah, sebaliknya jika skor berada diatas 2,5 berarti kondisi eksternal kuat. Total skor pembobotan berkisar antara 1 sampai 4.

Penentuan IFAS dan EFAS dalam penelitian ini dilaksanakan melalui wawancara dengan orang yang terlibat dalam kearifan lokal yang dimaksud, menggunakan panduan kuesioner yang tersaji pada Lampiran 5. Langkah selanjutnya membuat matriks SWOT (tersaji pada Tabel 12) yang menggambarkan peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi, disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki.

Tabel 12. Matriks SWOT. IFAS

EFAS Kekuatan (S) S1, dst. Kelemahan (W) W1, dst.

Peluang (O) O1, dst.

Strategi S-O (menggunakan

kekuatan untuk

memanfaatkan peluang)

Strategi W-O (meminimalkan

kelemahan untuk

memanfaatkan peluang)

Ancaman (T)

T1, dst.

Strategi S-T (menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman)

Strategi W-T (meminimalkan kelemahan untuk menghindari ancaman)

Sumber: Rangkuti (1997).

Rangkuti (1997) mengatakan terdapat empat alternatif strategi berdasarkan matriks SWOT, yaitu :

1. Strategi SO (strengths-opportunities)

Strategi ini dibuat berdasarkan kekuatan internal yang dimiliki untuk memanfaatkan peluang sebesar-besarnya.

2. Strategi ST (strengths-threats)

Strategi ini dibuat dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk menghindari atau mengurangi dampak dari ancaman-ancaman.

3. Strategi WO (weaknesses-opportunities)

Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan meminimalkan kelemahan yang ada.

4. Strategi WT (weaknesses-threats)

Strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif, yaitu berusaha bertahan dengan cara mengurangi kelemahan internal serta menghindari ancaman.

Sampel yang digunakan adalah mereka (masyarakat) yang terlibat dalam pengelolaan mangrove yang didasarkan pada kearifan lokal terpilih pada AHP. Penerapan analisis SWOT dalam penelitian ini merupakan lanjutan dari AHP, yaitu setelah didapatkan kearifan lokal yang menjadi prioritas bagi masyarakat, selanjutnya dilakukan penentuan strateginya, dengan memaksimalkan kekuatan dan peluang yang ada, namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman dari kearifan lokal tersebut.

Analisis Kualitatif

(39)

kualitatif merupakan suatu metode berganda dalam fokus yang melibatkan pendekatan interpretatif dan wajar pada setiap pokok permasalahan, sehingga penelitian kualitatif bekerja dalam setting alami yang berupaya untuk memahami dan memberi tafsiran pada fenomena yang dilihat (Rahmat 2009). Menurut Bogdan dan Biklen (1982), analisa data kualitatif dapat membentuk teori dan nilai yang dianggap berlaku di suatu tempat, sehingga penulisan laporan menurut logika penulis dalam urutan laporannya, isi juga tidak menurut formalitas yang tetap, namun berupa rangkaian stories yang dapat dipertanggungjawabkan oleh peneliti yang terdiri dari story dengan penulisan yang dapat saling tumpang tindih namun bermakna. Menurut Andriani (2002), analisis difokuskan pada jawaban responden terhadap pertanyaan yang diajukan. Data yang terkumpul berupa kata-kata hasil observasi dan wawancara yang kemudian dibuat transkripnya.

(40)

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Mangrove Pamurbaya

Kawasan lindung Pamurbaya terletak pada koordinat 120˚47'52,52" BT - 120˚50'47,34" BT dan 7˚15'30" LS - 7˚20'45" LS dengan luas lahan 264,87 Ha (Badan Lingkungan Hidup 2012). Pamurbaya meliputi empat kelurahan di tiga Kecamatan, yakni Kelurahan Keputih di Kecamatan Sukolilo, Kelurahan Wonorejo dan Medokan Ayu di Kecamatan Rungkut, serta Kelurahan Gunung Anyar Tambak di dalam Kecamatan Gunung Anyar. Kawasan ini wilayah daratannya didominasi kegiatan wisata, permukiman nelayan, perikanan, dan ekosistem mangrove, sedangkan wilayah perairannya untuk kegiatan perikanan tangkap dan kegiatan wisata bahari, serta zona latihan penembakan dan ranjau laut.

Pamurbaya ini termasuk jenis pantai berlumpur yang dicirikan oleh ukuran butiran sedimen sangat halus dan memiliki tingkat bahan organik tinggi (Bappeko 2005). Keanekaragaman yang terdapat di Pamurbaya dapat dikatakan cukup tinggi, karena keberadaan mangrove mampu menarik kedatangan beranekaragam hewan Berdasarkan hasil survei bersama tim keanekaragaman hayati BLH, diperoleh sebaran mangrove Pamurbaya, yang disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Sebaran Mangrove Pamurbaya.

Berdasarkan Gambar 6 mangrove Pamurbaya memiliki 19 jenis mangrove sejati dan 14 jenis mangrove ikutan. Zona dengan jenis mangrove paling banyak adalah zona bakau, yaitu ditemukan terdapat 12 jenis mangrove. Wilayah dengan

- Rhizopora

(41)

jenis mangrove terbanyak terdapat di Wonorejo, yaitu 20 spesies mangrove. Data selengkapnya mengenai jenis mangrove dan lokasi sampling dapat dilihat pada lampiran 8, sedangkan data keanekaragaman hayati dapat dilihat pada lampiran 9. Mangrove pada masing-masing daerah di Pamurbaya memiliki kondisi yang berbeda. Berikut kondisi mangrove Pamurbaya tersaji pada Tabel 13.

Tabel 13. Kondisi mangrove Pamurbaya.

Kelurahan Kerapatan

Wonorejo 6066 68 Avicennia officinalis Avicennia marina, 153.54

Gunung Anyar

Tambak 5000 102 Avicennia marina 73.86

Sumber : Survei bersama tim keanekaragaman hayati (2012).

Pengelolaan Mangrove Pamurbaya

Pamurbaya saat ini termasuk dalam kawasan perlindungan bawahan (kawasan yang memiliki potensi untuk memperkecil atau melindungi kawasan lain dari bahaya banjir melalui peresapan air ke dalam tanah, sehingga dapat meningkatkan volume air tanah untuk melindungi ekosistem pada kawasan tersebut (Bappeko 2012). Berdasarkan Bappeko (2012), Pemkot Surabaya membagi kawasan lindung menjadi tiga zona, yaitu :

1. Zona Utama. Zona perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, serta alur migrasi biota laut, perlindungan ekosistem pesisir yang unik dan/atau rentan terhadap perubahan, perlindungan situs budaya/adat tradisional, penelitian; dan/atau pendidikan. Zona ini terdapat di sepanjang sempadan pantai dan sempadan sungai di kawasan lindung Pamurbaya

2. Zona Pemanfaatan Terbatas. Zona yang diperuntukkan bagi perlindungan habitat dan populasi ikan, pariwisata, pengembangan, dan pendidikan. Zona ini terdapat di kawasan pertambakan di kawasan lindung Pamurbaya. 3. Zona Pendukung / Penyangga. Zona diluar zona lindung utama dan zona pemanfaatan terbatas yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu antara lain zona rehabilitasi. Zona ini terdapat di daerah transisi pemukiman ke kawasan lindung.

Berdasarkan Perda Surabaya No. 3 tahun 2007 tentang RTRW Surabaya, Kawasan Pamurbaya merupakan kawasan lindung laut yang bertujuan untuk melindungi lingkungan, potensi, dan sumberdaya di wilayah pesisir dan perairan laut, dari kegiatan yang mengakibatkan terjadinya kerusakan dan pencemaran laut. Pada kawasan tersebut dilarang melaksanakan kegiatan pembangunan dan pemanfaatan lahan yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan wilayah laut. Kawasan lindung laut ini terdiri dari dua kawasan, yaitu :

a. Kawasan lindung/konservasi laut

(42)

b. Kawasan lindung mangrove

Kawasan lindung mangrove adalah kawasan yang berfungsi untuk melindungi habitat, ekosistem, dan aneka biota, serta melindungi pantai dari sedimentasi, abrasi, akresi, dan mencegah pencemaran pantai. Kawasan ini ditetapkan untuk upaya pelestarian mangrove yang sudah ada, mengganti tanaman mangrove yang rusak, dan penanaman mangrove baru. Perangkat pemerintah yang turut dalam pengelolaan mangrove Pamurbaya, memiliki tupoksi masing-masing, dengan Bappeko sebagai leader. Berdasarkan hasil wawancara serta studi literatur, upaya perlindungan dan pelestarian yang dilakukan oleh Pemkot Surabaya adalah sebagai berikut :

1. Penetapan kawasan Pamurbaya sebagai kawasan lindung / konservasi. 2. Penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir (RZWP) dan Rencana Tata

Ruang Kawasan Strategis (RTRKS) Kota Surabaya.

3. Pembentukan tim monitoring dan pengendalian yang melibatkan masyarakat pihak Kecamatan dan Kelurahan.

4. Inventarisasi kawasan mangrove Pamurbaya

5. Pengembangan kawasan lindung sebagai kawasan wisata riset melalui

Mangrove Information Center dan ekowisata di Pamurbaya.

6. Pemberdayaan masyarakat dalam pelestarian kawasan lindung, antara lain melalui penanaman mangrove bersama, sosialisasi, kerja bakti hingga pembentukan UKM yang berbahan dasar mangrove.

7. Pembentukan Koperasi Mina Mangrove Sejahtera untuk para nelayan dan petani mangrove.

8. Pengawasan terhadap terjadinya pembalakan liar di daerah mangrove. 9. Pembentukan ekowisata oleh kelompok kelompok tani & Forum

Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM).

10. Penerapan silvofishery untuk kegiatan tambak di kawasan Pamurbaya. 11. Menetapkan aturan untuk mengelola air limbah bagi industri di Surabaya. 12. Melakukan kerja sama dengan berbagai pihak terkait, dalam hal

pengelolaan mangrove Pamurbaya.

13. Melakukan perhitungan daya dukung kawasan dalam setiap kegiatan yang dilakukan di daerah mangrove. Misal kegiatan ekowisata mangrove. 14. Memperketat pengeluaran IMB untuk kawasan lindung Pamurbaya.

15. Melakukan penindakan tegas bagi bangunan yang berada di kawasan konservasi melalui 3 cara (peringati, hentikan, dan robohkan).

16. Menindak tegas para pelanggar sesuai UU.

17. Mencabut akses PLN dan PDAM bagi perumahan yang melanggar aturan. 18. Memberikan pembinaan, pelatihan, dan pemfasilitasan terkait kegiatan

yang berhubungan dengan pelestarian mangrove.

19. Melakukan pembatasan eksploitasi sumber daya. Misalnya melarang pengambilan buah mangrove >15% dari total buah dalam 1 pohon.

20. Mendorong CSR untuk terlibat dalam pengelolaan mangrove Pamurbaya.

Stakeholder Pengelolaan Mangrove Pamurbaya

(43)

beberapa perusahaan. Pengembang merupakan perusahaan yang melakukan pengadaan dan pengolahan tanah serta bangunan atau sarana prasarana untuk dijual atau disewakan. Beberapa pengembang di Surabaya merupakan stakeholder di Pamurbaya. Perusahaan pengembang ini paling bertanggung jawab terhadap pengalihan fungsi lahan mangrove, karena beberapa bangunan yang mereka dirikan dulunya adalah lahan mangrove. Pihak swasta lain yaitu CSR, dapat dikatakan memiliki peran penting dalam pengelolaan mangrove Pamurbaya. Mereka banyak membantu dana, SDM, fasilitas, sarana prasarana. Tujuan pengelolaan mereka adalah kelestarian lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. Perguruan tinggi juga memiliki peran penting dalam pengelolaan mangrove Pamurbaya, karena terdapat SDM yang kompeten di bidang mangrove, sehingga wawasannya sangat dibutuhkan dalam proses pengelolaan. Tujuan perguruan tinggi mengelola mangrove adalah dalam hal edukasi. Masyarakat setempat juga turut serta dalam pengelolaan mangrove. Mereka adalah stakeholder utama dalam pengelolaan Pamiurbaya. Masyarakat setempat beberapa diantaranya membentuk kelompok berkaitan dengan mangrove. Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kegiatan yang dilakukan adalah mengolah mangrove, menangkap ikan/kegiatan tambak, kegiatan wisata, dan terlibat dalam proyek rehabilitasi.

Stakeholder tersebut memiliki kategori dari pemetaan matriks kepentingan pengaruh, berdasarkan nilai kepentingan dan pengaruh yang didapat pada saat wawancara. Nilai kepentingan dan pengaruh tersebut tersaji pada lampiran 10.

Stakeholder Pemerintah

Dinas pemerintahan di Surabaya baik tingkat Kota atau Provinsi, beberapa diantaranya merupakan stakeholder dalam pengelolaan mangrove Pamurbaya. Tujuan mereka melakukan pengelolaan Pamurbaya adalah untuk melindungi Kota Surabaya, pemenuhan RTH sebesar 30%, meningkatkan kualitas dan kelestarian lingkungan, mengetahui kondisi lingkungan, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat. Berikut adalah pengkategorian jenis stakeholder dari dinas-dinas tersebut, yang disajikan pada Gambar 7.

Gambar

Gambar 4. Kerangka Sampling Penelitian.
Tabel 3. Penilaian Tingkat Kepentingan.
Gambar 5. Matriks Hasil Analisis Stakeholder.
Tabel 10. Skala penilaian peringkat untuk matriks IFAS.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menyikapi Pasal 15 No 64 tahun 2010 dalam ayat 2 huruf f usaha mitigasi yang dilakukan di daerah penelitian menitik beratkan pada ekosistem mangrove dalam mereduksi

Pemasaran Produk Mangrove Leaves Craft Dalam hal ini pemasaran merupakan sebuah tindak lanjut dari program Mangrove Leaves Craft dimana produk dari kerajinan hasil

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai potensi dan sebaran hutan mangrove yang ada dan dapat dijadikan sebagai acuan untuk pengelolaan kawasan

Terdapat 16 jenis mangrove, hanya beberapa yang dapat dijadikan produk olahan masyarakat, seperti rizofora (bako- bakoan), avisena (api-api), pidada.Di antara produk yang

Terdapat 16 jenis mangrove, hanya beberapa yang dapat dijadikan produk olahan masyarakat, seperti rizofora (bako- bakoan), avisena (api-api), pidada.Di antara produk yang

Kegiatan ini menyadarkan masyarakat bahwa banyak potensi yang dapat dioptimalkan dalam pengelolaan ekowisata mangrove agar tercipta desa wisata yang menarik, kreatif, inovatif, dan

• Kemudian yang menjadi alasan kedua yaitu dapat dipandang sebuah upacara adat yang mengangkat kembali tradisi pasahat boru untuk tetap terus melestarikan budaya yang sangat bernilai

Agrobisnis Perikanan FPIK UNSRAT sudah bertumbuh sehingga sudah tidak ada lahan lagi untuk menanam, menurut Pemerintah Desa Tiwoho yang menjadi prioritas saat ini dalam pengelolaan