• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Peredaman Gelombang Berbasis Ekosistem Mangrove Avicennia Sp Sebagai Dasar Reformasi Eko Teknik Pantai (Studi Kasus Di Pantai Indah Kapuk, Jakarta)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Peredaman Gelombang Berbasis Ekosistem Mangrove Avicennia Sp Sebagai Dasar Reformasi Eko Teknik Pantai (Studi Kasus Di Pantai Indah Kapuk, Jakarta)"

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI PEREDAMAN GELOMBANG BERBASIS

EKOSISTEM MANGROVE

Avicennia

sp. SEBAGAI DASAR

REFORMASI EKO TEKNIK PANTAI

(Studi Kasus di Pantai Indah Kapuk, Jakarta)

AHMAD HERISON

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Studi Peredaman Gelombang Berbasis Ekosistem Mangrove Avicennia sp Sebagai Dasar Reformasi Eko Teknik Pantai (Studi Kasus di Pantai Indah Kapuk, Jakarta) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014

(4)

Mangrove Avicennia sp Sebagai Dasar Reformasi Eko Teknik Pantai (Studi Kasus di Pantai Indah Kapuk, Jakarta). Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA, CECEP KUSMANA, I WAYAN NURJAYA dan LUKY ADRIANTO.

Pembangunan Kota Tepi Pantai (Water Front City) di wilayah Jakarta Utara, begitu cepat dimana terdapat mangrove di sepanjang garis pantainya. Pembangunan dan ekosistem mangrove dipadukan menjadi satu kesatuan pembangunan yang berkelanjutan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran dan fungsi mangrove Avicenia marina terhadap peredaman gelombang dalam pembangunan Kota Tepi Pantai (Water Front City) menuju pengelolaan Kota Hijau ramah lingkungan yang berkelanjutan.

Lokasi penelitian di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Mangrove Avicenia marina menjadi penting sebagai peredaman gelombang. Untuk mengetahui bagaimana kondisi yang ada kawasan hutan mangrove Avicenia marina digunakan 2 metode pengumpulan data, yaitu metode Transek-kuadrat dan spot-check. Observasi pengamatan gelombang dibagi dalam 5 ketebalan mangrove yaitu 5m, 10m, 15m, 20m dan 30m, dengan alat ukur gelombang jenis SBE26. Selanjutanya dilakukan kompilasi, simulasi dan analisa.

Didapat hasil pada stasiun 1 dan stasiun 2, kerapatan mangrove masuk kategori jarang dengan nilai kerapatan 450 pohon/ha dan 825 pohon/ha. Di stasiun 3, 4 dan 5 mangrove masih berkembang dengan kerapatan di stasiun 3, 650 pohon/ha, stasiun 4, 1500 pohon/ha, serta stasiun 5, 1200 pohon/ha. Formula yang didapat untuk peredaman gelombang oleh mangrove Avicenia marina sebagai hubungan antara ketebalan mangrove dan energi adalah: Y (Energi)= 0.000000463x2 - 0.000027015x +0.000662978. Didapat bahwa kerapatan jenis tidak berbanding lurus dengan peredaman energi. Akan tetapi peredaman energi gelombang bergantung pada kerapatan akar nafas, kerapatan batang dan tebalnya mangrove.

Dengan mengetahui besarnya peredaman oleh mangrove Avicennia marina maka dibuatkan perencanaan pembangunan Kota Tepi Pantai yang berbasiskan ekosistem mangrove yang ramah lingkungan. Agar tercapainya pembangunan yang ramah lingkungan maka tahapan demi tahapan pembangunan juga direncanakan. Oleh karena itu dibuatkan siklus proyek pekerjan konstruksi agar setiap tahapan pekerjaan dapat terkontrol sesuai standar operasional. Dengan siklus proyek itu juga dibuat disain pengelolaan terpadu bangunan tepi pantai menyajikan metode kerja yang melindungi ekosistem yang ada serta menggunakan bahan yang ramah lingkungan.

(5)

AHMAD HERISON. Study of Wave Attenuation Based on Avicennia sp. Mangrove Ecosystem as The Basis to Reform Coastal Eco-Engineering (Case study in Indah Kapuk Beach, Jakarta) Supervised by FREDINAN YULIANDA, CECEP KUSMANA, I WAYAN NURJAYA and LUKY ADRIANTO.

Water front city construction in North Jakarta is so fast in which there are mangroves along the coastline. The physical construction and mangrove ecosystem must be combined into a single unit of sustainable development. The aim of this study was to determine the role and function of mangrove Avicenia marina on the wave attenuation in the water front city construction towards green city of sustainable environment.

Location of this study in Indah Kapuk Beach, North Jakarta. Avicenia marina becomes very important as wave attenuation. To find out condition of existing marina Avicenia mangrove was used 2 methods: transect-squares method and spot-check method. Wave observation was divided by 5 categories of thickness, 5m, 10m, 15m, 20m and 30m, with wave measuring instrument of SBE26 type. It then was done compilation of simulation and analysis.

The obtained result at station 1 and 2 showed that mangrove density was categorized in rare state with the density value of 450 trees/ha and 825 trees/ha. At station 3, 4 and 5 were still growing with density of 650 trees/ha (station 3), 1500 trees/ha (station 4), and 1200 trees/ha (station 5). The obtained formula for the wave attenuation by mangroves Avicenia marina as the relationship between the thickness of mangrove and energy was: Y (Energi)= 0.000000463x2 - 0.000027015x +0.000662978. It was found that the density was not directly proportional to the energy reduction. However, the damping of wave energy depended on the density of the breath roots, stem density and mangrove thicknees.

By knowing the magnitude of attenuation by mangroves Avicennia marina, it would be made a Water front City planning which based on environmentally friendly mangrove ecosystem. In order to achieve environmentally friendly development, the stage-by-stage of development was also planned. Therefore, the project cycle of construction work is made so that each phase of construction work can be controlled according to operational standard. With the project cycle is also made the design of integrated management of the foreshore building which shows work methods protecting the existing ecosystems and using environmentally friendly materials.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

REFORMASI EKO TEKNIK PANTAI

(Studi Kasus di Pantai Indah Kapuk, Jakarta)

AHMAD HERISON

Disertasi

sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(8)

Penguji pada Ujian Tertutup :

Prof. Dr. Ir. Dietriech Geoffrey Bengen, DEA Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin

Penguji pada Ujian Terbuka :

(9)
(10)

Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan rahmat serta hidayah Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Studi Peredaman Gelombang Berbasis Ekosistem Mangrove Avicennia

sp. Sebagai Dasar Reformasi Eko Teknik Pantai (Studi Kasus di Pantai Indah Kapuk, Jakarta). Rencana penelitian ini akan menjadi acuan dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan Disertasi yang menjadi tugas akhir untuk mendapatkan gelar Doktor pada sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan serta menjadi dasar bagi para ahli Teknik Pantai dalam merencanakan bangunan tepi pantai yang ramah lingkungan. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah mengambil bagian dalam pembuatan disertasi ini atas masukan dan sarannya selama pembuatan penelitian ini. Terima kasih penulis ucapkan khususnya kepada Bapak Dr. Ir. Hi. Fredinan Yulianda, M.Sc, Prof. Dr. Ir. Hi. Cecep Kusmana, M.S, Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc dan Dr. Ir. Hi. Luky Adrianto, M.Sc, selaku pembimbing, Prof. Dr. Ir. Dietriech Geoffrey Bengen, DEA, Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin dan Kepala Staf Angkatan Laut TNI RI LAKSAMANA Dr. Marsetio selaku penguji Ujian Tertutup dan Ujian Terbuka serta Bapak Dr. Gentio Harsono, S.T.,M.Si yang telah banyak memberi saran. Saya ucapkan terimakasih pula pada Ketua dan Sekretaris Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) IPB Bogor dan staf administrasinya dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI atas beasiswa BPPS/BPPDN yang diberikan. Penghargaan penulis sampaikan pula kepada Bapak Bapak dari DISHIDROS TNI Angkatan Laut RI, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, papah, mamah dan secara khusus ucapan syukur alhamdulillah kepada Allah SWT serta terimakasih saya yang mendalam kepada istriku tercinta Hj. Yuda Romdania, S.T.,M.T, anak anakku Irfan Muzaffar Sondani, Arif Mahasin Sondani dan Fadh Falih Rousel Sondani yang telah mendampingi saya dalam susah dan beratnya selama menempuh pendidikan S3 ini merekapun di kuatkan Allah mendampingi saya, amin.

Semoga tulisan ini dapat memberi manfaat baik bagi pembaca maupun penulis pada khususnya.

Bogor, Juni 2014

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... iv

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... . 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 7

1.4 Kebaruan (Novelty) ... 7

1.5 Kerangka Pikir ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hutan Mangrove ... 11

2.2 Faktor Faktor Lingkungan Ekosistem Mangrove ... 12

2.2.1 Fisiografi Pantai ... 12

2.2.2 Iklim ... 12

2.2.3 Salinitas... 13

2.2.4 Arus... 14

2.2.5 Pasang Surut. ... 14

2.2.6 Keterlindungan ... 14

2.2.7 Batimetri Perairan ... 14

2.2.8 Substrat... ... 15

2.2.9 Oksigen Terlarut... ... 15

2.3 Zonasi Ekosistem Mangrove ... 15

2.4 Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove ... 17

2.5 Hidro Oseanografi ... 18

2.5.1 Pasang Surut ... 18

2.5.2 Angin ... 20

2.5.3 Gelombang ... 22

2.5.4 Koherensi dan Korelasi Gelombang ... 24

2.5.5 Spektrum Densitas Energi ... 26

2.6 Pembangunan Kota Tepi Pantai Ramah Lingkungan Berkelanjutan (Eco Water Front City Sustainable) ... 27

2.6.1 Pengertian Waterfront dan Waterfront City ... 29

2.6.2 Profil “Waterfront City” Secara Ekologis ... 30

2.6.3 Pengembangan, Pengelolaan Pesisir dan Laut ... 32

(12)

2.7.1 Aspek-aspek yang Menjadi Dasar Perancangan

Pengembangan Konsep Waterfront ... 34

2.7.2 Teknologi Bahan Pembangunan Kota Ramah Lingkungan ... 36

2.8 Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir dan Laut Berbasiskan Ekosistem Mangrove terhadap Bangunan Tepi Pantai ... 38

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu Penelitian ... 45

3.2 Lokasi Penelitian ... 45

3.3 Rancangan Penelitian ... 45

3.4 Metode Pengambilan Data ... 46

3.5 Pemilihan Lokasi Stasiun Pengamatan... 46

3.6 Metode Penelitian Mangrove dan Pengambilan Data ... 48

3.7 Pembuatan Peta Sebaran Mangrove ... 53

3.8 Metode Penelitian dan Pengambilan Data Oseanografi Fisik ... 62

3.9 Metode Disain Konstruksi Bangunan Tepi Pantai Berbasiskan Ekosistem Mangrove ... 67

3.10 Metode Disain Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir dan laut Berkelanjutan Berbasiskan Ekosistem mangrove dan Teknik Pantai 67

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Mangrove di Pantai Indah Kapuk, Jakarta ... 69

4.1.1 Diskripsi Mangrove Avicennia sp di Wilayah Penelitian ... 69

4.1.2 Kerapatan Mangrove ... 71

4.1.3 Sebaran Mangrove di Lokasi Penelitian ... 72

4.1.4 Perubahan Fungsi Mangrove ... 73

4.1.5 Perkembangan Mangrove dari Tahun ke Tahun... 75

4.2 Peredaman Gelombang Oleh Mangrove A.marina ... 77

4.2.1 Oseanografi Fisik Kawasan ... 78

4.2.2 Energi Gelombang yang Terjadi... 81

4.2.3 Peredaman di Masing-masing Stasiun ... 87

4.2.4 Peredaman Energi Pada Mangrove A.marina di Pantai Indah Kapuk ... 90

4.2.5 Hubungan Ketebalan Mangrove dengan Energi ... 91

4.2.6 Hubungan Ketebalan Mangrove dengan Faktor Faktor Peredaman Energi Gelombang ... 92

4.3 Formulasi Pola Pembangunan Kota Berkelanjutan Yang Ramah Lingkungan ... 94

4.3.1 Acuan Dasar Awal Desain Konstruksi Menyatu dengan Mangrove ... 94

4.3.2 Profil Desain Mangrove Berdasarkan Batimetri ... 96

4.3.3 Modifikasi Desain Zona Waterfront City untuk Melindungi Pantai 17 Pulau menjadi 10 Pulau ... 99

4.3.4 Algoritma Disain Layout Konstruksi Menyatu dengan Mangrove ... 101

4.3.5 Desain Layout Konstruksi Menyatu Dengan Mangrove ... 102

(13)

4.3.7 Siklus Pekerjaan Konstruksi Untuk Pengelolaan

Berkelanjutan ... 112

4.4 Disain Pengelolaan Terpadu Kawasan Peisisir dan lautan Berbasiskan Ekosistem mangrove dan Teknik Pantai ... 116

4.4.1 Kerangka Perencanaan Pengelolan Pesisir Terpadu ... 118

4.4.2 Keterpaduan Vertikal (hirarki) dan Horizontal (antar sektor) dalam Pengelolaan Kawasan Pesisir dan lautan ... 119

4.4.3 Pembangunan Berkelanjutan pada Pengelolaan Terpadu Kawasan Pesisir dan Lautan ... 122

V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 125

5.2 Saran ... 125

DAFTAR PUSTAKA ... 127

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Prediksi penurunan luasan mangrove ... 1

2 Pengukuran dan pengumpulan data penelitian ... 47

3 Ketebalan mangrove Avicennia marina masing-masing stasiun . 48

4 Kriteria baku kerusakan mangrove... 51

5 Kerapatan Jenis mangrove masing-masing stasiun ... 71

6 Perkembangan luasan mangrove ... 77

7 Hasil perhitungan faktor faktor peredam gelombang ... 93

8 Beberapa Kegiatan yang Melibatkan Antar Sektor dan Antar Tingkatan ... 121

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Spesies mangrove di Asia Tenggara ... 2

2 Skema kerangka pemikiran ... 9

3 Zonasi mangrove ... 16

4 Tipe pasang surut di Indonesia ... 19

5 Elevasi muka air laut rencana ... 20

6 Mawar angin ... 21

7 Definisi dan karakteristik gelombang di daerah pantai ... 22

8 Grafik peramalan gelombang ... 23

(15)

10 Lokasi penelitian Pantai Indah Kapuk, Jakarta ... 45

11 Lokasi ordinat penelitian pada Stasiun 1 dan 2 ... 47

12 Lokasi ordinat penelitian pada Stasiun 3,4, dan 5 ... 48

13 Desain unit contoh vegetasi ... 50

14 Hdirodinamika penjalaran gelombang melewati mangrove A.Marina ... 52

15 Flowchart pemetaan mangrove ... 54

16 Pantai Indah Kapuk dilihat dengan Google Earth (Pencitraan 6/5/2013)... 54

17 Pantai Indah Kapuk dilihat dari Google Map dengan View Type Digital Map ... 55

18 Pencitraan satelit Quick Bird Akuisisi 5/10/2011 pada zona penelitian (Pantai Indah Kapuk) ... 55

19 Pantai Indah Kapuk dilihat dari Google Map dengan View Type Digital Map ... 56

20 Hasil zooming area hutan mangrove Pantai Indah Kapuk ... 56

21 Hasil penggabungan gambar dengan Autocad ... 57

22 Proses plotting/digitasi hutan mangrove berdasarkan klasifikasinya ... 57

23 Proses plotting/digitasi seluruh area hutan mangrove berdasarkan klasifikasinya... 57

24 Proses pewarnaan hasil digitasi hutan mangrove berdasarkan klasifikasinya ... 58

25 Hasil pendigitan kawasan hutan mangrove setelah dipisah ... 58

26 Digitasi wilayah daratan Pantai Indah Kapuk... ... 58

27 Penggabungan hasil plotting wilayah daratan dan kawasan hutan mangrove Pantai Indah Kapuk ... 59

28 Titik koordinat yang didapat dari Google Earth ... 59

29 Tampilan Coordinate Converter ... 60

30 Tampilan Coordinate Converter ... 60

(16)

32 Proses perletakan gambar sesuai koordinat UTM-nya ... 61

33 Proses akhir pembuatan peta situasi ... 61

34 Contoh hitungan luasan mangrove dengan Auto CAD ... 62

35 Proses pengambilan data gelombang pada mangrove Avicennia marina ... 63

36 Foto pelaksanaan pengukuran gelombang ... 64

37 Proses peredaman/penurunan gelombang oleh mangrove ... 64

38 Vertikal profil gelombang laut ideal (monokromatik), menunjukkan dimensi linear dan bentuk sinusoidal... 65

39 Gerakan air dalam gelombang. (a) gerakan circle osilasi ketika gelombang tidak kedalaman yang terbatas. (b) gerak osilasi elips dalam gelombang yang kedalaman terbatas ... 66

40 Mangrove yang tertutupi oleh breakwater/batu/sampah ... 69

41 Mangrove Avicennia marina sebagai peredam gelombang ... 70

42 Situasi pada Stasiun 1 dan 2 ... 70

43 Situasi pada Stasiun 3 , 4 dan 5 ... 70

44 Grafik kerapatan mangrove pada masing-masing stasiun ... 71

45 Tampak atas posisi Stasiun 1 dan 2 (a), stasiun 3 (b) dan stasiun 4 dan 5 (c) ... 72

46 Peta sebaran mangrove di seputaran Pantai Indah Kapuk, Jakarta ... 73

47 Penyebab mangrove tidak berfungsi dengan baik ... 74

48 Kawasan mangrove yang masih berfungsi dan tidak berfungsi meredam gelombang ... 74

49 Perkembangan luasan mangrove pada stasiun 1 dan 2 (a) dan statisun 3, 4 dan 5 (b) ... 76

50 Gambar Bathimetri (a), dan (b) kawasan penelitian ... 80

51 Kondisi arus kawasan penelitian ... 80

52 Grafik kondisi pasut kawasan penelitian ... 81

(17)

54 Analisis Continous Wafelet Transform (CWT) Gelombang di Stasiun 1 a) sisi luar dan b) sisi dalam ... 82 55 Grafik tinggi gelombang Stasiun 2, warna biru sisi luar dan

warna merah sisi dalam ... 82 56 Analisis Continous Wafelet Transform (CWT) Gelombang di

Stasiun 2, a) sisi luar dan b) sisi dalam ... 83 57 Grafik tinggi gelombang Stasiun 3, warna biru sisi luar dan

warna merah sisi dalam ... 83 58 Analisis Continous Wafelet Transform (CWT) Gelombang di

Stasiun 3, a) sisi luar dan b) sisi dalam ... 84 59 Grafik tinggi gelombang Stasiun IV, warna biru sisi luar dan

warna merah sisi dalam ... 84 60 Analisis Continous Wafelet Transform (CWT) Gelombang di

Stasiun 4, a) sisi luar dan b) sisi dalam ... 85 61 Grafik tinggi gelombang Stasiun V, warna biru sisi luar dan

warna merah sisi dalam ... 86 62 Analisis Continous Wafelet Transform (CWT) Gelombang di

Stasiun 5, a) sisi luar dan b) sisi dalam ... 86 63 Grafik besaran delta (Selisih energi gelombang datang dan

pergi) Energi gelombang pada stasiun satu dengan tebal mangrove 30m ... 87 64 Grafik besaran delta (Selisih energi gelombang datang dan

pergi) Energi gelombang pada stasiun dua dengan tebal mangrove 10m ... 88 65 Grafik besaran delta (Selisih energi gelombang datang dan

pergi) Energi gelombang pada stasiun tiga dengan tebal mangrove 20m ... 88 66 Grafik besaran delta (Selisih energi gelombang datang dan

pergi) Energi gelombang pada stasiun empat dengan tebal mangrove 15m ... 89 67 Grafik besaran delta (Selisih energi gelombang datang dan

pergi) Energi gelombang pada stasiun lima dengan tebal mangrove 5m ... 89 68 Peredaman gelombang oleh mangrove Avicennia marina

dengan 5 ketebalan, yaitu 5m, 10m, 15m, 20m dan 30m ... 90 69 Grafik hubungan ketebalan mangrove Avicennia marina

(18)

70 Grafik hubungan ketebalan mangrove Avicennia marina

dengan delta energi (selisih energi gelombang datang dan

pergi) ... 92

71 Acuan dasar perencanaan konstruksi menyatu dengan mangrove ... 94

72 Kondisi yang ada batimetri ... 97

73 Potongan A batimetri ... 97

74 Potongan B batimetri ... 97

75 Potongan Cbatimetri ... 98

76 Potongan D batimetri ... 98

77 Potongan E batimetri ... 98

78 Potongan F batimetri ... 98

79 Pembagian zone reklamasi 17 pulau ... 99

80 Perubahan Zone Reklamasi menjadi 9 Pulau ... 100

81 Gambar desain Pengelolaan Pantai dengan 10 Pulau berbasiskan Ekosistem Mangrove dan Teknik Pantai berkelanjutan ... 100

82 Pola zone desain mangrove pada bangunan tepi pantai ... 102

83 Freehand design konsep 1 ... 103

84 Potongan A konsep 1 ... 103

85 Potongan B konsep 1 ... 103

86 Potongan C konsep 1 ... 104

87 Potongan D konsep 1 ... 104

88 Freehand design konsep 2 ... 104

89 Potongan A konsep 2 ... 105

90 Potongan B konsep 2 ... 105

91 Potongan C konsep 2 ... 105

92 Freehand design konsep 3 ... 106

93 Potongan A konsep 3 ... 106

(19)

95 Potongan C konsep 3 ... 107

96 Freehand Design konsep 4 ... 107

97 Potongan A konsep 4 ... 107

98 Potongan B konsep 4 ... 108

99 Potongan C konsep 4 ... 108

100 Alternatif desain zone bangunan tepi pantai ... 108

101 Gambar pola desain konstruksi (a), (b), (c), (d) dan (e) yang mengamanakan ekosistem dengan bahan dan metode kerja ... 112

102 Siklus pekerjaan konstruksi Bangunan Tepi Pantai dengan Ekosistem Mangrove Berkelanjutan... 113

103 Siklus Pengelolaan Terpadu Kawasan Pesisir dan Lautan Berbasiskan Ekosistem Mangrove dan Teknik Pantai ... 116

104 Kerangka Utama Perencanaan Pesisir Terpadu Kondisi eksisting batimetri ... 119

105 Contoh Beberapa Kegiatan Keterpaduan antar tingkatan dan antar sektor dalam pengelolaan terpadu pesisir dan lautan ... 120

(20)
(21)

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hutan mangrove terus menurun keberadaannya di seluruh dunia, diperkirakan luasannya 18.1 juta km2 (Spalding, di seluruh dunia l997) tapi data terbaru menunjukkan bahwa angka tersebut mungkin sekarang berada dibawah 15 juta km2 (www.fao.org/kehutanan/ mangrove). Sekitar 90 persen dari global mangrove tumbuh di negara-negara berkembang dan mangrove dibawah kondisi kritis terancam punah dan mendekati kepunahan di 26 negara. Ahli mangrove berpendapat bahwa jangka panjang kelangsungan hidup mangrove berada pada risiko besar akibat perpecahan dari habitat dan layanan yang ditawarkan oleh mangrove kemungkinan akan benar-benar hilang dalam 100 tahun (Duke et al. 2007). Prediksi penurunan luasan mangrove dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Prediksi penurunan luasan mangrove

(22)

Indonesia dikenal sebagai negara maritim karena sebagian besar wilayahnya terdiri atas lautan. Perbandingan luas wilayah daratan dengan lautan di Indonesia adalah 3:1, artinya hampir 70% wilayah Indonesia terdiri atas lautan. Pada tahun 1982, hutan mangrove di Indonesia tercatat seluas 4,25 juta ha sedangkan pada tahun 2003 menjadi 3,06 juta ha (FAO 2005). Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak dibagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Santoso 2000). Hutan mangrove Indonesia sendiri memiliki jenis atau keanekaragaman hayati yang terbesar di Asia Tenggara dengan memiliki 48 spesies, terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Spesies Mangrove di Asia Tenggara

Sumber : RAP PUBLICATION 2006/07. MANGROVE GUIDEBOOK FOR SOUTHEAST ASIA. Wim Giesen, Stephan Wulffraat, Max Zieren and Liesbeth Scholten. FAO and Wetlands International, 2006

Hutan mangrove adalah hutan yang selalu tergenang air laut dikawasan pantai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Secara fisik hutan mangrove berfungsi untuk menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai, mempercepat luasan area pantai melalui pengendapan, mencegah adanya abrasi air laut, perangkap bagi polutan dan limbah, melindungi daerah dibelakang mangrove dari hempasan gelombang dan angin kencang, mencegah intrusi garam ke darat serta menjadi tempat pengolahan limbah organik. Secara biologis hutan mangrove befungsi sebagai tempat berkembang biak (nursery ground)

berbagai jenis burung, mamalia, reptil dan serangga, tempat memijah (spawning ground) dan mencari makanan (feeding ground) berbagai biota laut seperti udang, ikan dan kepiting.

(23)

api-api adalah sebutan untuk komunitas tumbuhan pantai yang memiliki adaptasi khusus. Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pantai adalah menjadi penghubung antara daratan dan lautan. Tumbuhan, hewan, benda-benda lainnya, serta nutrisi tumbuhan ditransfer ke arah daratan atau ke arah laut melalui mangrove. Mangrove berperan sebagai filter untuk mengurangi efek yang merugikan dari perubahan lingkungan utama, dan sebagai sumber makanan bagi biota laut (pantai) dan biota darat. Jika mangrove tidak ada maka produksi laut dan pantai akan berkurang secara nyata (Bengen 2001). Potensi ekonomi mangrove diperoleh dari tiga sumber utama yaitu hasil hutan, perikanan estuari dan pantai (perairan dangkal), serta wisata alam. Selain itu mangrove memiliki peranan penting dalam melindungi daerah pantai dan memelihara habitat untuk sejumlah besar jenis satwa, jenis yang terancam punah dan jenis langka yang kesemuanya sangat berperan dalam memelihara keanekaragaman hayati di wilayah tertentu.

Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya pesisir yang berperan penting dalam pembangunan. Kawasan mangrove sebenarnya mempunyai peranan yang sangat penting bagi manusia dan hewan yang hidup didalamnya atau sekitarnya, bahkan bagi mahluk hidup yang hanya tinggal untuk sementara waktu. Kerusakan ekosistem hutan mangrove terjadi di daerah pesisir Pulau Jawa dan Pulau Sumatera, misalnya. Seiring dengan bertambahnya usaha-usaha perekonomian yang lebih mengarah pada daerah pantai maka semakin cepat pula kerusakan hutan yang terjadi. Perubahan-perubahan yang dilakukan terhadap daerah pesisir telah mengorbankan ribuan hektar kawasan mangrove sehingga banyak areal mangrove yang tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya. Kerusakan ini sebagian besar disebabkan oleh tekanan manusia dalam memanfaatkan dan membabat mangrove untuk usaha pertambakan, perindustrian, pertanian, pemukiman, reklamasi dan tempat rekreasi, serta sebagian kecil karena bencana alam (banjir, kekeringan, dan badai tsunami) serta serangan hama penyakit (Farnsworth & Ellison 1997; Alongi et al. 1998; Duke

et al. 2007; Lewis et al. 2011; Peixoto et al. 2011; Penha-Lopes et al. 2011; Alongi 2002; Purnobasuki 2005).

Hutan mangrove di wilayah DKI Jakarta tepatnya di Jakarta Utara, sepanjang pantai terdapat mangrove pada wilayah Suaka Marga Satwa Muara Angke (BKSDA DKI), Hutan Lindung (Dinas Kehutanan DKI), Cengkareng Drain dan Taman Wisata Alam Angke Kapuk. Vegetasi mangrove itu sendiri terus mengalami degredasi sebagai akibat perkembangan pembangunan kota tepi pantai. Vegetasi mangrove yang ada didominasi mangrove A. marina dan

Rhizopora spp. Jenis Rhizopora spp. yang sebagian besar adalah hasil tanam sedangkan untuk jenis A. marina umumnya tumbuh alami. Posisi mangrove A. marina menjadi sangat penting sebagai bentuk pertahanan dari peredaman gelombang datang sebagai penangkalnya abrasi dan unsur konstruksi bangunan tepi pantai.

(24)

itu pula penulis yang memiliki latar belakang pendidikan pada jurusan Coastal Engineering, maka akan meneliti peredaman/ reduksi gelombang pada mangrove dikhususkan pada salah satu jenis mangrove, A. marina. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pantai yang memiliki fungsi ekologi dan fungsi perlindungan fisik terhadap pantai. Fungsi ekologi mangrove sebagai tempat memijah (spawning ground) dan tempat pembesaran larva ikan dan udang (nursery ground) sangat penting bagi kelangsungan hidup biota laut. Fungsi perlindungan mangrove terhadap pantai disebabkan oleh sistem perakaran dan tegakan pohon dapat meredam laju gelombang dan angin yang menuju ke arah pantai. Dengan demikian keberadaan ekosistem ini diperlukan untuk keberlanjutan sumberdaya perikanan dan keseimbangan lingkungan.

Pembangunan yang dilakukan di daerah pantai yang tidak mempertimbangkan keseimbangan lingkungan sering menimbulkan kerusakan fisik maupun kerusakan ekologi pantai. Pada beberapa kasus pembangunan kawasan pantai selalu mengabaikan keberadaan ekosistem manggrove bahkan sampai tahap pemusnahan ekosistem tersebut. Belakangan diketahui bahwa dampak dari penghilangan ekosistem manggrove dapat menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan dan kerugian ekonomi yang cukup besar. Kerusakan dan kerugian sumberdaya dan lingkungan akibat pembangunan kota tepi pantai hendaknya dapat diminimalkan apabila pembangunan didisain dengan konsep ramah lingkungan. Konsep ramah lingkungan di daerah pantai dapat menggunakan pendekatan eco-technology yang memadukan antara konsep ekosistem mangrove dengan teknik pantai (coastal engineering).

Pengembangan kota pantai dengan konsep kota tepian air (waterfront city) merupakan bagian kota atau distrik yang dicirikan berbatasan dengan air, baik berupa sungai, laut maupun danau. Umumnya terdapat dermaga dengan kesibukan lalu lintas perdagangan yang menggunakan kapal, perahu, motor boat sebagai fasilitas transportasinya. Terkait dengan pembangunan kota pantai, maka sarana infrastruktur penunjang pada kota pantai akan cenderung terkonsentrasi pada kawasan pantai. Salah satu ekosistem di kawasan pantai tersebut adalah ekosistem mangrove yang dapat difungsikan sebagai pelindung dan pengatur gerakan air laut ke arah pantai.

Dengan demikian, sistem perlindungan pantai dari ancaman abrasi akibat gelombang dengan menggunakan ekosistem mangrove perlu untuk terus ditindaklanjuti. Hal ini, didasari pada kajian penelitian sebelumnya di tempat-tempat lain (Duvail & Hamerlynck 2003) bahwa ekosistem manggrove mempunyai kemampuan dalam menghadapi ancaman abrasi pantai akibat pengaruh gelombang. McKee et al. (2007) menjelaskan masing-masing spesies mangrove memiliki konfigurasi yang unik dari batang, akar dan penyangga

pneumatophores yang bekerja sebagai kekuatan tarik yang berbeda dan karena itu menghasilkan tingkat penurunan yang berbeda dari gelombang laut. Maka dirasakan perlu adanya suatu kajian terhadap kemungkinan dilakukannya metode sistem perlindungan bagi kota pantai dengan konsep reformasi ekoteknik ekosistem mangrove dalam pengelolaan pesisir sebagai dasar pengembangan kota pantai yang ramah lingkungan.

(25)

hutan dan laut terbuka. Hal ini dapat menyebabkan degradasi air/ kualitas tanah dari ekosistem hutan. Penelitian pada penurunan energi gelombang yang disebabkan oleh vegetasi mangrove terbatas dibandingkan rawa-rawa garam (misalnya Knutson 1988) atau padang lamun (misalnya Fonseca dan Cahalan 1992). Magi et al. (1996) dan Mazda et al. (1997a) menunjukkan efek kuantitatif masing-masing spesies mangrove, Rhizophora stylosa dan Kandelia candel, pada penurunan gelombang laut, berdasarkan observasi lapangan. Massel et al.

(1999) juga telah membahas efek dari Rhizophora spp pada penurunan energi gelombang, didasarkan pada model matematika. Namun hasil ini tidak dapat diterapkan pada spesies mangrove yang lain, karena seperti yang Wolanski et al. (2001) tunjukkan bahwa masing-masing spesies hutan mangrove memiliki konfigurasi yang unik dari batang, akar dan penyangga pneumatophores yang bekerja sebagai kekuatan tarik yang berbeda dan karena itu menghasilkan tingkat penurunan yang berbeda dari gelombang laut.

Gelombang dibangkitkan oleh angin mentransfer energi ke daerah pesisir dan merupakan penyebab utama dalam proses perubahan pantai. (Dean R. G. and Dalrymple R.A 1984). Gelombang yang menimbulkan arus sejajar pantai menyebabkan pergerakan material-material sepanjang pantai sehingga terjadi erosi atau akresi pantai serta kerusakan pada struktur pantai ketika terjadi badai. Untuk menanggulangi masalah tersebut biasanya dibangun proteksi pantai seperti pemecah gelombang (breakwater) dan dinding laut (sea wall). (Horikawa K 1988; Triatmodjo B 1999). Dalam hal keberlanjutan ekonomi dan lingkungan, pemanfaatan mangrove sebagai perlindungan pantai sangat efektif. Mangrove adalah salah satu pilihan untuk perlindungan pantai. Karena kekuatan akar, mangrove adalah penyangga yang sangat efektif terhadap terjangan gelombang, terutama di hutan mangrove Rhizophora (Mazda et al. 1997). Penelitian tentang kemampuan mangrove untuk meredam gelombang secara luas dilakukan oleh Mazda et al. diberbagai negara dengan beberapa jenis mangrove. Penelitian dilakukan di laboratorium atau menggunakan model matematika untuk mengamati hidrodinamika, gaya geser, dan jenis mangrove yang disesuaikan dengan kondisi lapangan. Kemampuan mangrove dalam mengurangi gelombang masih terus diteliti dan dirumuskan (Latief et al. 2000; Halide et al. 2000), oleh karena itu, penting untuk penelitian besarnya dan redaman kemampuan mangrove, baik melalui model fisik di laboratorium kelautan dan model matematika (Quartel 2007; Yanagisawa 2009). Penelitian telah dilakukan dengan beberapa jenis mangrove dan kondisi morfologi pesisir di lapangan dan telah diverifikasi dengan baik di lapangan. Penelitian dilakukan dengan variabel karakteristik fisik dari mangrove sebagai diameter batang, kepadatan dan ketebalan hutan. Dari simulasi ini, konfigurasi optimal dari hutan mangrove dalam mengurangi energi gelombang dapat diperoleh (Massel et al. 1999). Banyak penelitian tentang hal ini telah dilakukan, tetapi penelitian yang dilakukan secara langsung di lapangan (Manca E et al. 2012), masih dirasa kurang. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan mengukur langsung energi gelombang pada mangrove Avicennia marina di lapangan. Lokasi pengukuran atau pengamatan digunakan sebagai model laboratorium lapangan.

(26)

mangrove, membuat desian konstruksi yang ramah lingkungan untuk pembangunan kota tepi pantai serta pengelolaan terpadu daerah pesisir dan lautan. Maka penulis memberi judul penelitian ini “studi peredaman gelombang berbasis ekosistem mangrove Avicennia sp. sebagai dasar reformasi eko teknik pantai (studi kasus di Pantai Indah Kapuk, Jakarta)”.

1.2. Perumusan Masalah

Pola pembangunan fisik di kawasan kota pantai yang tidak mengintegrasikan kaidah ekologi dalam proses pelaksanaannya telah menyebabkan penurunan fungsi lingkungan pesisir, terutama pada mangrove. Pembangunan Kota Pantai (Waterfront City) di Indonesia sangat tidak memperdulikan lingkungan. Hal ini menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan pantai dan ekosistem perairan pantai berupa abrasi, pencemaran, sedimentasi, dan penurunan produktifitas perikanan. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan suatu disain yang terpadu dengan mengadopsi dan mempertahankan sistem fisik ekosistem mangrove untuk sebuah perencanaan pembangunan serta pengelolaan kota tepi pantai.

Ekosistem mangrove yang memiliki sistem ekologi yang adaptif dan mempunyai daya lenting (resilience) mampu menurunkan energi gelombang, sehingga dapat meningkatkan kebutuhan soft structure sebagai alternatif teknologi pelindung pantai, mendorong berkembangnya studi mengenai efektivitas mangrove sebagai greenbelt pantai. Karena itu dalam pembangunan kota pantai seyogyanya pendekatan soft structure yang berbasis ekosistem (dalam hal ini mangrove) perlu dikedepankan, bahkan bila perlu dikombinasikan dengan pendekatan hard structure terutama pada kawasan pesisir yang menerima tekanan besar dari daratan. Untuk itu optimasi teknologi yang menghasilkan pemanfaatan struktur lunak yang tepat sangat dibutuhkan sebagai upaya mengembangkan teknologi konservasi dan rehabilitasi pantai yang efisien, efektif, dan ramah lingkungan bagi pembangunan kota tepi pantai.

Ekosistem mangrove merupakan komunitas tumbuhan pesisir yang memiliki manfaat sangat besar, antara lain fungsi fisik yang sangat besar seperti menjaga daerah pesisir dari abrasi dan gelombang .Ekosistem mangrove ini terdiri dari unsur flora dan fauna. Pada penelitian penulis hanya membatasi pada faktor flora mangrove saja. Flora yang dimaksud adalah hanya vegetasi dari mangrove. Vegetasi mangrove ini yang didata adalah faktor faktor yang memungkin sebagai fungsi peredaman gelombang yaitu: akar nafas, diameter pohon, kerapatan dan kepadatan mangrove. Fungsi mangrove sebagai pelindung pantai inilah yang akan diteliti lebih dalam terhadap satu jenis mangrove

Avicennia sp.

Penulis melakukan penelitian pada mangrove jenis mangrove Avicennia

sp. dengan membatasi permasalahan pada :

1. Permasalahan pada bagaimana kondisi yang ada kawasan hutan mangrove,

Avicennia sp. di lokasi penelitian;

2. Peredaman gelombang yang dapat direduksi oleh mangrove Avicennia sp; 3. Apakah ada hubungan fungsi penurunan gelombang dari mangrove

(27)

4. Akan terlihatkah pola disain pengelolaan terpadu wilayah pesisir dan lautan berbasiskan ekosistem mangrove Avicennia sp dan Teknik Pantai.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Untuk menjawab rumusan permasalahan di atas, ditetapkan tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Mengetahui kondisi yang ada mangrove yang diteliti;

2. Mengetahui sejauh mana fungsi mangrove, A. marina, dalam mengolah peredaman energi gelombang;

3. Mengetahui hubungan yang terjadi antara pererdaman gelombang oleh mangrove A. marina dengan pola perencanaan bangunan tepi pantai yang berkelanjutan dan ramah lingkungan;

4. Mengetahui disain pengelolaan terpadu wilayah pesisir dan lautan berbasiskan ekosisitem mangrove A. marina dan Teknik Pantai.

Manfaat dari penelitian ini secara praktis adalah dapat menambah informasi mengenai pengelolaan wilayah pesisir yang sebaiknya diterapkan khususnya pada mangrove A. marina di wilayah penelitian pada khususnya dan wilayah lain pada umumnya. Ahli Teknik Pantai (Coastal Engineer) dapat menjadikan penelitian ini sebagai acuan awal dalam melakukan perencanaan yang ramah lingkungan. Sedangkan manfaat teoritis dapat memperkaya dan memberikan sumbangan konseptual bagi pengembangan kajian perencanaan pembangunan yang berkelanjutan, khususnya yang berhubungan dengan wilayah pesisir serta sumber daya perikanan dan kelautan.

1.4. Kebaruan (Novelty)

Pemanfaatan jasa ekosistem mangrove untuk meredam gelombang sebagai dasar reformasi eko teknik pantai.

1.5. Kerangka Pikir

Hutan mangrove terdiri dari banyak jenis spesies. Tiap jenis mangrove memiliki ciri khas tersendiri dalam melakukan peredaman energi gelombang. Kemampuan peredaman gelombang oleh mangrove tergantung kepada kerapatan vegetasinya. Kerapatan vegetasi mangrove setiap jenis juga sangat berbeda prilaku hidrodinamikanya. Untuk itu diteliti satu jenis mangrove terlebih dahulu yaitu jenis mangrove A.marina. Penelitian peredaman energi gelombang oleh vegetasi mangrove dilakukan untuk dijadikan dasar sebagai unsur konstruksi lunak pada konstruksi bangunan tepi pantai yang ramah lingkungan. Penelitian dilakukan dengan mengukur langsung peredaman energi gelombang terhadap mangrove A. marina di lapangan. Gelombang merupakan variabel utama dari mangrove selaku fungsi peredam gelombang. Untuk itu di wilayah yang akan dilakukan penelitian disurvey kondisi yang ada yang ada, kemudian dilakukan analisa agar didapatkan pola peredaman energi gelombang dari mangrove

(28)
(29)

Gambar 2 Skema kerangka pemikiran

Mangrove A. marina

Survey kondisi yang ada peredaman gelombang pada mangrove Study lietaratur oseanografi, gelombang, mangrove dan

pengumpulan data sekunder

Survey kondisi yang ada vegetasi mangrove

Data primer vegetasi mangrove

A. marina

Data primer pengukuran gelombang mangrove

AVICENNIA SPP

Kompilasi, analisa dan simulasi,data hasil terhadap mangrove dan

gelombang

Sebaran kondisi yang ada mangrove di lokasi penelitian

Peredaman energi gelombang oleh mangrove

A. marina

Formulasi pola pembangunan kota berkelanjutan yang ramah

lingkungan berbasiskan mangrove A. marina

Disain pengelolaan terpadu Wilayah Pesisir dan Lautan

(30)
(31)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Ekosistem Mangrove

Mangrove adalah tumbuhan yang hidup pada daerah pasang surut yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah yang memiliki substrat berlumpur dan dapat tahan terhadap perubahan salinitas yang signifikan. Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika yang khas tumbuh sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove dapat tumbuh dengan baik pada daerah yang memiliki muara sungai yang besar dan delta yang aliran airnya mengandung lumpur. Dilihat dari fungsi bagi ekosistem perairan, ekosistem mangrove memberikan tempat untuk memijah dan membesarkan berbagai jenis ikan, crustacea, dan spesies perairan lainnya (Nagelkerken dan Van Der Velde 2004).

Komponen dasar rantai makanan ekosistem mangrove adalah serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun, ranting, buah, batang dan sebagainya). Serasah mangrove yang jatuh ke perairan akan diurai oleh mikroorganisme menjadi partikel-partikel detritus sebagai sumber makanan bagi biota perairan yang memiliki perilaku makan dengan menyaring air laut. Serasah daun diperkirakan memberikan kontribusi yang penting pada ekosistem mangrove, tingginya produktifitas yang dihasilkan serasah daun yaitu sebanyak 7- 8 ton/tahun/Ha. (Alongi et al. 2002; Holmer dan Olsen 2002).

Mangrove merupakan formasi tumbuhan pantai yang khas di sepanjang pantai tropis dan sub tropis yang terlindung. Formasi mangrove merupakan perpaduan antara daratan dan lautan. Mangrove tergantung pada air laut dan air tawar sebagai sumber makanannya serta endapan debu (silt) dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya. Air pasang memberi makanan bagi hutan dan air sungai yang kaya mineral memperkaya sedimen dan rawa tempat mangrove tumbuh. Dengan demikian bentuk hutan mangrove dan keberadaannya dipengaruhi oleh faktor darat dan laut (FAO 1994).

Karakteristik hutan mangrove dapat dilihat dari berbagai aspek seperti iklim, temperatur, salinitas, curah hujan, geomorfologi, hidrologi, dan drainase. Mangrove umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir. Mangrove hidup pada daerah yang tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove. Ekosistem mangrove terdapat pada daerah yang terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat, air pada ekosistem ini bersalinitas payau (2-22 PSU) hingga asin (hingga 38 PSU) (Bengen 2002b).

Komunitas fauna hutan mangrove membentuk percampuran antara dua kelompok yaitu:

(32)

2. Kelompok fauna perairan/akuatik, yang terdiri atas dua tipe, yaitu tipe yang hidup di kolom air, terutama berbagai jenis ikan dan udang dan tipe yang menempati substrat baik keras (akar dan batang pohon mangrove) maupun lunak (lumpur), terutama kepiting, kerang, dan berbagai jenis avertebrata lainnya.

Fauna yang hidup pada ekosistem mangrove, terdiri atas berbagai kelompok, yaitu: burung, mamalia, mollusca, crustacea, dan ikan. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Gopal & Chauchan (2006), pada daerah mangrove di Sundarbans India terdapat 8 spesies mamalia, 10 spesies reptilia dan 3 spesies burung yang hidup dan berasosiasi dengan mangrove.

Dahuri et al. (2004) mengatakan bahwa di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan satu jenis paku. Dari 202 jenis tersebut, 43 jenis yang merupakan mangrove sejati (true mangrove). Vegetasi mangrove dapat dibagi menjadi tiga, yaitu vegetasi utama, vegetasi pendukung, dan vegetasi asosiasi. Di Pulau Bali dan Lombok ditemukan 17 spesies vegetasi utama, 13 spesies vegetasi pendukung dan 19 spesies vegetasi mangrove asosiasi (Gunarto 2004). Tercatat sekitar 30 jenis tumbuhan dan 11 diantaranya adalah jenis pohon, yang hidup di SMMA. Pohon-pohon mangrove itu diantaranya adalah jenis-jenis bakau (Rhizophora mucronata, R.apiculata), api-api (Avicennia spp.), pidada (Sonneratia caseolaris), dan kayu buta-buta (Excoecaria agallocha). Beberapa jenis tumbuhan asosiasi bakau juga dapat ditemukan di kawasan ini seperti ketapang (Terminalia catappa) dan nipah (Nypa fruticans). Selain jenis-jenis di atas, terdapat pula beberapa jenis pohon yang ditanam untuk reboisasi. Misalnya asam Jawa (Tamarindus indica), bintaro (Cerberamanghas), kormis (Acacia auriculiformis), nyamplung (Calophyllum inophyllum), tanjang (Bruguiera gymnorrhiza) dan waru laut (Hibiscustiliaceus) (Status Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta, http: //bplhd. jakarta. go.id/slhd2012).

2.2 Faktor–Faktor Lingkungan Ekosistem Mangrove

2.2.1 Fisiografi Pantai

Topografi pantai merupakan faktor penting yang mempengaruhi karakteristik struktur mangrove, khususnya komposisi spesies, distribusi spesies dan ukuran serta luas hutan mangrove. Semakin datar pantai dan semakin besar pasang surut, maka semakin lebar hutan mangrove yang akan tumbuh.

2.2.2 Iklim

(33)

a. Cahaya

Tanaman mangrove umumnya membutuhkan intensitas matahari tinggi atau penuh, sehingga zona pantai tropis merupakan habitat ideal bagi mangrove. Kisaran intensitas cahaya optimal untuk pertumbuhan mangrove adalah 3000- 3800 kkal/m²/ hari.

b. Curah Hujan

Kondisi curah hujan dapat memberikan pengaruh bagi lingkungan dan pertumbuhan mangrove. Hal ini terutama disebabkan oleh suhu air dan udara serta salinitas air permukaan tanah yang berpengaruh pada daya tahan spesies mangrove. Mangrove akan tumbuh dengan subur pada daerah dengan kisaran curah hujan rata-rata 1500-3000 mm/ tahun.

c. Suhu Udara

Keadaan suhu yang baik, akan menentukan proses fisiologis seperti fotosintesis dan respirasi. Kusmana et al. (2005) mengatakan kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan beberapa jenis mangrove, yaitu : A. marina

tumbuh baik pada suhu 18-20 ºC, Rh. stylosa, Ceriops spp., Excoecaria agallocha dan Lumnitzera racemosa, Ceriops spp., Excoecaria agalloca dan

Lumintzera racemosa pertumbuhan daun segar tertinggi dicapai pada suhu 26-28 ºC, suhu optimum Bruguiera spp. 27 ºC, Xylocarpus granatum spp. berkisar antara 21-26 ºC dan X. granatum 28 ºC. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata minimal 20ºC. Temperatur rata-rata udara yang penting untuk pertumbuhan mangrove berkisar 20º - 40ºC (Tomascik 1997). Suhu air juga merupakan faktor penting yang menentukan kehidupan mangrove. Suhu yang baik untuk kehidupan mangrove tidak kurang dari 20ºC, sedangkan kisaran suhu musiman tidak lebih dari 5ºC. Suhu yang tinggi (>40ºC) cenderung tidak mempengaruhi kehidupan tumbuhan mangrove.

d. Angin

Angin juga berpengaruh terhadap gelombang dan arus pantai yang dapat menyebabkan abrasi dan mengubah struktur mangrove, meningkatkan evapotranspirasi dan angin kuat dapat menghalangi pertumbuhan menyebabkan karakteristik fisiologis abnormal.

2.2.3 Salinitas

Mangrove merupakan tumbuhan yang memiliki kemampuan toleransi terhadap kisaran salinitas yang luas, mereka juga dapat bertahan hidup pada lingkungan pantai yang sering kali tidak digenangi oleh air. A.marina

(34)

2.2.4 Arus

Arus laut merupakan salah satu faktor penting bagi pertumbuhan dan perkembangan mangrove, terutama untuk peletakan atau penancapan semaian mangrove. Arus susur pantai mempunyai kontribusi terhadap pola penyebaran mangrove (Tomascik 1997). Arus yang sangat berperan di kawasan hutan mangrove adalah arus pasang surut. Daerah-daerah yang terletak di sepanjang sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut, panjang hamparan mangrove kadang kadang bisa mencapai puluhan kilometer, seperti yang terdapat di Sungai Barito (Provinsi Kalimantan Selatan). Panjang hamparan mangrove tergantung pada intrusi air laut yang sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Noor et al.

1999).

2.2.5 Pasang surut

Zonasi vertikal hutan mangrove mempunyai kaitan erat dengan pasang surut. Di Indonesia, areal yang selalu digenangi, walaupun pada saat pasang rendah, umumnya didominasi oleh Avicennia alba dan Sonneratia alba. Areal yang digenangi oleh pasang sedang, didominasi oleh Rhizophora spp. Adapun areal yang digenangi pada saat pasang tinggi, dimana areal ini lebih ke arah darat, umumnya didominasi oleh jenis-jenis Bruguiera spp dan Xylocarpus granatum granatum. Sedangkan areal yang hanya digenangi pada saat pasang tertinggi saja, umumnya didominasi oleh jenis Bruguiera sexangula dan

Lumnitzera littorea (Noor et al. 1999).

2.2.6 Keterlindungan

Fisiografis pantai menentukan lokasi bertumbuh dan berkembangnya komunitas mangrove. Mangrove dengan pertumbuhan yang baik biasanya terdapat di daerah pantai yang terlindung dari gelombang dan angin yang kuat, misalnya di daerah pantai yang memiliki terumbu karang yang baik serta tidak terlewati oleh arus pantai yang kuat. Menurut Nybakken (1992), biasanya mangrove dapat tumbuh dengan baik di tempat-tempat yang terlindung dari gelombang dan memiliki pergerakan air yang minimal. Noor et al. (1999) mengemukakan bahwa umumnya lebar hutan mangrove jarang melebihi 4 km, kecuali pada beberapa estuari serta teluk yang dangkal dan tertutup. Pada daerah seperti ini, lebar hutan mangrove dapat mencapai 18 km, seperti yang terdapat di Sungai Sembilang (Provinsi Sumatera Selatan) atau bahkan bisa mencapai lebih dari 30 km seperti yang terdapat di Teluk Bintuni (Provinsi Papua).

2.2.7 Batimetri Perairan

(35)

Kalimantan, bagian tenggara pantai Pulau Irian (Laut Arafuru), serta di Pulau Halmahera. Vegetasi mangrove yang terdapat di daerah-daerah tersebut umumnya didominasi oleh famili Rhizophoraceae, Sonneratiaceae dan

Verbenanceae. Menurut Bengen (2002b), mangrove banyak ditemukan di pantai- pantai yang perairan dangkal dan memungkinkan ujung semaian mencapai dasar perairan dan menancap untuk kemudian bertumbuh. Selanjutnya, Tomascik (1997) mengemukakan bahwa secara umum mangrove tidak ditemui di tempat-tempat dimana benih tidak dapat mengakar.

2.2.8 Substrat

Endapan lumpur yang cukup memadai merupakan salah satu faktor penentu kehadiran dan perkembangan mangrove. Sebagian besar hutan mangrove yang ada di pulau-pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian berasosiasi dengan substrat berlumpur. Jadi kebanyakan mangrove mempunyai kecenderungan umum untuk bertumbuh di substrat lunak (Tomascik 1997). Mangrove juga dapat berkembang baik pada substrat kapur, seperti hutan mangrove yang terdapat di Pulau Rambut (Teluk Jakarta), Pulau Panjang dan Pulau Berau (Provinsi Kalimantan Timur).

Tekstur tanah sangat mempengaruhi jenis tumbuhan yang bertumbuh di atasnya. Rhizophora spp, A. marina, dan Bruguiera spp umumnya tumbuh baik pada tanah dengan fraksi liat diatas 65 % dan lumpur sekitar 20-30 %. A. marina, Ceriops spp, Lumnitzera spp, Xylocarpus granatum spp, Sonneratia spp

dan Laguncularia spp merupakan jenis-jenis yang menyukai tanah yang cepat mengalirkan air tanah, sedangkan Nypa dan Bruguiera spp lebih menyenangi tanah yang mampu menyimpan air .

Tipe substrat yang cocok untuk pertumbuhan mangrove adalah lumpur lunak dan batuan-batuan organik yang lembut. Tanah vulkanik juga merupakan substrat yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan mangrove.

2.2.9 Oksigen Terlarut

Keadaan oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove (terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi) dan percepatan dekomposisi serasah sehingga kosentrasi oksigen terlarut berperan mengontrol distribusi dan pertumbuhan mangrove. Konsentrasi oksigen terlarut harian tertinggi dicapai pada siang hari dan terendah pada malam hari, yang dibatasi oleh waktu, musim, kesuburan tanah, dan organisme akuatik. Menurut Kusmana (1995a), konsentrasi oksigen terlarut untuk mangrove 1.7-3.4 mg/l, lebih rendah dibanding diluar mangrove sebesar 4.4 mg/l.

2.3 Zonasi Ekosistem Mangrove

(36)

karena terdapat banyak faktor yang saling mempengaruhi, baik didalam maupun diluar pertumbuhan dan perkembangannya. Berdasarkan tempat tumbuhnya kawasan mangrove dibedakan menjadi beberapa zonasi.

Selain itu tiga zona yang terdapat pada kawasan mangrove yang disebabkan terjadinya perbedaan penggenangan yang juga berakibat pada perbedaan salinitas. Hal ini yang membuat adanya perbedaan jenis dikawasan ekosistem mangrove. Adapun pembagian kawasan mangrove berdasarkan penggenangan sebagai berikut :

1. Zona “proksimal” yaitu zona yang terdekat dengan laut, pada zona ini biasanya akan ditemukan jenis-jenis seperti Rhyzopora apicuta, R. mucronata, dan Soneratia alba.

2. Zona “middle” yaitu kawasan antara laut dan darat, pada zona ini biasanya

akan ditemukan S. caselaris, R. alba, Bruguiera gymnorrhiza, A. marina.

3. Zona “distal” yaitu zona yang terjauh dari laut, pada zona ini biasanya akan ditemukan jenis-jenis Heritiera littolis, Pongamia, Pandanus spp,

dan Hibiscus tilliaceus.

Faktor penentu tumbuh dan menyebarnya jenis-jenis mangrove adalah substrat, salinitas, kedalaman, dan lama penggenangan serta ketahanan terhadap gelombang dan arus. Pada daerah hutan mangrove yang sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut, urutan vertikalnya dari spesies mangrove sangat jelas kelihatan. Salah satu tipe zonasi mangrove di Indonesia (Bengen 2000):

• Daerah yang paling dekat dengan laut ditumbuhi jenis Avicennia dan

Sonneratia biasanya tumbuh pada lumpur dalam kaya bahan organik.

• Lebih kearah darat, umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga ditumbuhi Bruguiera dan Xylocarpus granatum.

• Kearah darat setelah zona Rhizophora spp, hutan mangrove didominasi oleh

Bruguiera spp. Daerah yang paling dekat dengan daratan dimana terdapat zona transisi antara hutan mangrove dan hutan daratan rendah, umumnya ditumbuhi Nypa dan pandan laut (Pandanus spp).

Zonasi mangrove dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Zonasi mangrove

(37)

2.4 Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove

Peranan penting ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya makhluk hidup, baik yang hidup diperairan, di atas lahan maupun tajuk-tajuk pohon mangrove serta ketergantungan manusia terhadap ekosistem tersebut. Manfaat tidak langsung dari ekosistem mangrove dirasakan lebih tinggi jika dibandingkan manfaat langsungnya. Nilai penting ekosistem mangrove antara lain menurunkan tingkat erosi di pantai dan sungai, mencegah banjir, mencegah intrusi air laut, menurunkan tingkat polusi (pencemaran) produksi bahan organik sebagai sumber makanan, sebagai wilayah/daerah asuhan, pemijahan, dan mencari makan untuk berbagai jenis biota laut. Mangrove juga akan menjadi sumberdaya penting dalam ekowisata di banyak negara. Pada kenyataannya ekosistem ini menjaga kestabilan garis pantai, menyediakan penghalang alami dari badai, topan, pasang surut yang tidak menentu dan bencana alam lainnya. Untuk beberapa kasus, ekosistem mangrove juga telah berkontribusi secara signifikan terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat disekitarnya.

Terdapat 6 (enam) fungsi ekosistem mangrove ditinjau dari ekologi dan ekonomi, yaitu:

(1) Mangrove menyediakan daerah asuhan untuk ikan, udang dan kepiting, dan mendukung produksi perikanan di wilayah pesisir.

(2) Mangrove menghasilkan serasah daun dan bahan-bahan pengurai, yang berguna sebagai bahan makanan hewan-hewan estuari dan perairan pesisir. (3) Mangrove melindungi lingkungan sekitar dengan melindungi daerah pesisir dan masyarakat di dalamnya dari badai, ombak, pasang surut dan topan.

(4) Mangrove menghasilkan bahan organik (organic biomass) yaitu karbon dan menurunkan polusi bahan organik di daerah tepi dengan menjebak dan menyerap berbagai polutan yang masuk ke dalam perairan.

(5) Dari segi estetika, mangrove menyediakan daerah wisata untuk pengamatan burung, dan pengamatan jenis-jenis satwa lainnya.

(6) Mangrove merupakan sumber bahan baku kayu dan atap dari nipah untuk bahan bangunan, kayu api dan bahan bakar, serta tambak untuk budidaya perikanan. Benih mangrove dapat dipanen dan dijual. Ikan, udang-udangan, dan kerang yang berasal dari ekosistem mangrove juga dapat dipanen. Akuakultur dan perikanan komersial juga tergantung dari mangrove untuk perkembangan benih dan ikan-ikan dewasa. Selain itu mangrove juga sumber bahan tanin, alkohol dan obat-obatan.

Selain itu, ekosistem mangrove juga berfungsi dalam penyediaan habitat alami bagi fauna yang menurut Kusmana (1995b) terdiri 5 (lima) habitat, yakni: (1) Tajuk pohon yang dihuni oleh berbagai jenis burung, mamalia, dan

serangga.

(2) Lubang yang terdapat dicabang dan genangan air dicagak antara batang dan cabang pohon yang merupakan habitat yang cukup baik untuk serangga (terutama nyamuk).

(3) Permukaan tanah sebagai habitat mudskipper dan keong/kerang.

(38)

(5) Saluran-saluran air sebagai habitat buaya dan ikan/udang.

Secara fisik hutan mangrove dapat berfungsi sebagai hutan lindung. Sistem perakaran yang khas pada tumbuhan mangrove dapat menghambat arus dan ombak, sehingga menjaga garis pantai tetap stabil dan terhindar dari pengikisan (abrasi). Selain itu juga sebagai penyangga daratan dari rembesan air laut serta penghalang angin. Ekosistem mangrove sebagai jalur hijau berfungsi sebagai penyaring berbagai jenis polutan yang dibawa oleh sungai atau aliran air lainnya yang masuk ke ekosistem ini. (Abdullah 1988). Peranan hutan mangrove yang paling menonjol dan tidak tergantikan oleh ekosistem lain adalah kedudukannya sebagai mata rantai yang menghubungkan kehidupan ekosistem laut dan daratan, serta kemampuannya untuk menstimulir dan meminimasi terjadinya pencemaran logam berat dengan menangkap dan menyerap logam berat tersebut. Fungsi penting lainnya dari ekosistem mangrove adalah manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat sekitarnya, yaitu sebagai sumber mata pencaharian dan produksi dari berbagai jenis hutan dan hasil ikutan lainnya. Dahuri (2004) mengidentifikasikan kurang lebih 70 macam kegunaan pohon mangrove bagi kepentingan manusia, baik produk langsung maupun tidak langsung yang sebagian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat. Manfaat langsung, seperti: bahan baku bangunan, alat tangkap, pupuk pertanian, bahan baku kertas, makanan, obat-obatan, minuman dan tekstil. Sedangkan produk tidak langsung berupa tempat rekreasi dan sebagainya. Fungsi biologis hutan mangrove adalah sebagai sumber kesuburan perairan, tempat perkembangbiakan dan pegasuhan berbagai biota laut, tempat bersarangnya burung-burung (khususnya burung air), habitat berbagai satwa liar dan sumber keanekaragaman hayati (Khazali 2001).

Kontribusi yang paling penting dari hutan mangrove dalam kaitannya dengan ekosistem pantai adalah serasah daunnya. Diperkirakan hutan mangrove mampu menghasilkan bahan organik dari serasah daun sebanyak 7-8 ton/ha/tahun. Tingginya produktivitas ini disebabkan karena hanya 7% dari dedaunan yang dihasilkan dikonsumsi langsung oleh hewan didalamnya, sedangkan sisanya oleh makroorganisme (terutama kepiting) dan organisme pengurai diubah sebagai detritus atau bahan organik mati dan memasuki sistem energi. Sistem perakaran dan tajuk yang rapat serta kokoh merupakan habitat alami yang aman untuk spesies perairan berkembang biak, selain itu mangrove berfungsi sebagai pelindung pantai, penstabilisasi, penyangga serta pencegah erosi yang diakibatkan oleh arus, gelombang, dan angin bagi kelangsungan hidup manusia dan mamalia di darat dan biota perairan di laut.

2.5. Hidro-Oseanografi

Tinjauan hidro-oseanografi adalah menyangkut tinjauan pengaruh hidrodinamika perairan laut.

2.5.1 Pasang Surut

(39)

bumi. Gaya tarik menarik ini tergantung dari jarak bumi dengan benda langit dan massa benda langit itu sendiri. Jadi, meskipun massa bulan jauh lebih kecil dari massa matahari, tetapi karena jaraknya terhadap bumi jauh lebih dekat, maka pengaruh gaya tarik bulan terhadap bumi lebih besar daripada pengaruh gaya tarik matahari.

Pasang surut merupakan faktor penting dari geomorfologi pantai, dalam hal ini berupa perubahan teratur muka air laut sepanjang pantai dan arus yang dibentuk oleh pasang. Selain itu pengetahuan tentang pasang surut adalah penting di dalam perencanaan bangunan pantai, pelabuhan dan vegetasinya. Proses akresi dan abrasi pantai terjadi selama adanya pasang dan adanya aksi gelombang balik yang mempengaruhi siklus pasang. Bentuk pasang surut di berbagai daerah tidak sama. Menurut Triatmojo B (1999), pasang surut yang terjadi di berbagai daerah dibedakan menjadi empat tipe yaitu:

1. Pasang surut harian ganda (semi diurnal tide)

Pasang surut tipe ini adalah dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan tinggi yang hampir sama dan pasang surut terjadi secara berurutan dan teratur. Periode pasang surut rata-rata adalah 12 jam 24 menit.

2. Pasang surut harian tunggal (diurnal tide)

Pasang surut tipe ini apabila dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut dengan periode pasang surut 24 jam 50 menit.

3. Pasang surut campuran condong ke harian ganda (mixed tide prevailing diurnal)

Pasang surut tipe ini apabila dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut, tetapi tinggi dan periodenya berbeda.

4. Pasang surut campuran condong ke harian tunggal (mixed tide prevailing diurnal)

Pada tipe ini dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut, tetapi kadang-kadang untuk sementara waktu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi dan periode yang sangat berbeda.

Gambar 4 Tipe pasang surut di Indonesia

(40)

Mengingat elevasi muka air laut selalu berubah setiap saat, maka diperlukan suatu elevasi yang ditentukan berdasarkan data pasang surut yang dapat digunakan sebagai pedoman di dalam perencanaan suatu bangunan pantai. Beberapa elevasi tersebut adalah sebagai berikut: (Triatmodjo B 1999)

1. Muka air tinggi (high water level), yaitu muka air tertingi yang dicapai pada saat air pasang dalam satu siklus pasang surut.

2. Muka air rendah (low water level), yaitu muka air terendah yang dicapai pada saat air surut pada satu siklus pasang surut.

3. Muka air tinggi rata-rata (mean high water level, MHWL), yaitu ratarata dari muka air tinggi selama periode 19 tahun.

4. Muka air rendah rata-rata (mean low water level, MLWL), yaitu ratarata dari dari muka air rendah selama periode 19 tahun.

5. Muka air laut rata-rata (mean sea Level, MSL), yaitu muka air rata-rata antara muka air tinggi rata-rata dan muka air rendah rata-rata. Elevasi ini digunakan sebagai referensi untuk elevasi di daratan.

6. Muka air tinggi tertinggi (highes high water level, HHWL), yaitu muka air tertinggi pada saat pasang surut purnama dan pasang surut perbani.

7. Muka air rendah terendah (lowes low water level, LLWL), yaitu muka air terendah pada saat pasang surut purnama dan pasang surut perbani.

Dalam perencanaan suatu bangunan pantai, penentuan muka air laut ditentukan berdasarkan pengukuran pasang surut selama minimal 15 hari. Hal ini disebabkan karena untuk mendapatkan data pengukuran pasang surut selama 19 tahun sulit dilakukan. Untuk perencanaan suatu bangunan pantai maka harus ditentukan terlebih dahulu elevasi muka air laut rencana. Elevasi tersebut merupakan penjumlahan dari beberapa parameter. Parameter tersebut yaitu pasang surut, tsunami, wave set-up, wind set-up, dan kenaikan muka air laut karena pemanasan global. Dalam kenyataan kemungkinan terjadinya faktor-faktor tersebut secara bersamaan adalah sangat kecil. Oleh karena itu beberapa parameter tersebut dapat digabungkan. Pada Gambar 5 menunjukan elevasi muka air rencana yang diakibatkan parameter tersebut diatas.

Gambar 5 Elevasi muka air laut rencana

Sumber : Triatmodjo B 1999

2.5.2 Angin

(41)

akan terbentuk gelombang. Semakin lama dan semakin kuat angin berhembus, semakin besar gelombang yang terbentuk.

Distribusi kecepatan angin di atas permukaan laut terbagi dalam tiga daerah sesuai dengan elevasi di atas permukaan. Di daerah geostropik yang berada di atas 1000 m kecepatan angin adalah konstan. Di bawah elevasi tersebut terdapat dua daerah yaitu daerah Ekman yang berada pada elevasi 100 sampai 1000 m dan daerah di mana tegangan konstan yang berada pada elevasi 10 sampai 100 m. Dikedua daerah tersebut kecepatan dan arah angin berubah sesuai dengan elevasi, karena adanya gesekan dengan permukaan laut dan perbedaan temperatur antara air dan udara. Untuk memprediksi gelombang didasarkan pada kecepatan angin yang diukur pada elevasi y = 10 m. Apabila angin tidak diukur pada elevasi 10 m, maka kecepatan angin harus dikonversikan pada elevasi tersebut. Untuk y lebih kecil dari 20 m dapat menggunakan persaman berikut :

U (10) = U(y) (10/y )1/7 U : kecepatan angin

y : elevasi terhadap permukaan air

Sumber: CERC SPM 1984

Data angin yang digunakan untuk peramalan gelombang adalah data di permukaan laut pada lokasi pembangkitan. Data tersebut dapat diperoleh dari pengukuran langsung di atas permukaan laut (menggunakan kapal yang sedang berlayar) atau pengukuran di darat (di lapangan terbang) di dekat lokasi peramalan yang kemudian dikonversi menjadi data angin laut. Kecepatan angin diukur dengan anemometer, dan biasanya dinyatakan dalam knot. Satu knot adalah panjang satu menit garis bujur melalui khatulistiwa yang ditempuh dalam satu jam, atau 1 knot = 1,852 km/jam = 0,5 m/dt. Data angin dicatat tiap jam dan biasanya disajikan dalam bentuk tabel. Dengan pencatatan angin jam – jaman tersebut dapat diketahui angin dengan kecepatan tertentu dan durasinya, kecepatan angin maksimum, arah angin, dan dapat pula dihitung kecepatan angin rerata harian..

Data angin yang diperlukan merupakan hasil pengamatan beberapa tahun yang disajikan dalam bentuk tabel dengan jumlah data yang sangat besar. Kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk diagram yang disebut dengan mawar angin. Gambar 6 adalah contoh mawar angin yang dibuat berdasarkan pengolahan data angin yang tercatat oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) yang terdapat di sekitar daerah pantai yang direncanakan

Gambar 6 Mawar angin

Gambar

Gambar 7 Definisi dan karakteristik gelombang di daerah pantai
Tabel 2 Pengukuran dan pengumpulan data penelitian  Data  Variabel Yang
Tabel 3 Ketebalan mangrove Avicennia marina masing-masing stasiun  Stasiun  Ordinat  Ketebalan
Gambar 17 Pantai Indah Kapuk dilihat dari Google Map dengan View
+7

Referensi

Dokumen terkait