• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir dan Laut berbasiskan Ekosistem mangrove terhadap Bangunan Tepi Pantai mangrove terhadap Bangunan Tepi Pantai

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.8 Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir dan Laut berbasiskan Ekosistem mangrove terhadap Bangunan Tepi Pantai mangrove terhadap Bangunan Tepi Pantai

Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut bersifat unik dan sangat berbeda dengan pengelolaan sumberdaya terrestrial atau perairan. Menurut Clark (1998), Bengen (2000) untuk itu diperlukan program pengelolaan khusus yang disebut dengan ICZM (Integrated Coastal Zone Management) atau IMCAM (Integrated Marine and Coastal Area Management). ICZM didisain untuk membangun sistem pengelolaan sumberdaya dan lingkungan pesisir dan laut dalam rangka mencapai keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan konservasi ekologi (Jorge 1997).

Integrated Coastal Zone Management adalah sistm pengelolaan sumberdaya yang dilakukan pada level lokal/regional (Holder 2003; French 2004) dengan bantuan pemerintah pusat (Clark 1998). Berkolaborasi dengan berbagai stakeholder, mulai dari masyarakat pesisir, para pelaku dari berbagai sektor ekonomi (perikanan, pertanian, perindustrian dan pariwisata), para konservasionist dan pemerintah pusat (Jorge 1997). Fokus dari ICZM adalah pada pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan, konservasi biodiversitas, perlindungan lingkungan dan penanggulangan bencana alam diwilayah pesisir dan laut. Konsep diarahkan untuk mewarnai pembangunan wilayah pesisir dan laut melalui pendidikan, pengelolaan sumberdaya dan penilaian lingkungan. Di antara instrumen utama ICZM adalah peraturan pemerintah tentang perlindungan biodiversitas dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya serta penilaian lingkungan yang dapat memprediksi dampak dari berbagai kegiatan pembangunan (Clark 1998). Pengelolaan terpadu wilayah pesisir dan laut pada tulisan ini fokus pada kegiatan pemabangunan Bangunan Tepi Pantai dan

Ekosistem mangrove. Untuk itu akan dibuat disain yang cocok untuk kasus tersebut dilokasi penelitian.

Keluasan partisipasi publik, koordinasi antara pemerintah dengan sektor swasta serta pengembangan keilmuan tentang konservasi wilayah pesisir dan laut sangat ditekankan dalam konsep ICZM. Pada tataran perencanaan, melakukan penilaian terhadap berbagai rencana kegiatan, menyiapkan rencana penanggulangan dampak dan alternative kegiatan yang menjamin berlangsungnya pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan. Pada tataran pengelolaan, memberikan petunjuk (guidance) pada proses pembangunan wilayah pesisir dan laut untuk meningkatkan konservasi sumberdaya dan perlindungan biodiversitas dengan menggunakan berbagai pendekatan.

Beberapa program ICZM yang penting diantaranya adalah meningkatkan produktifitas perikanan dan pendapatan dari sektor swasta, mempertahankan fungsi hutan mangrove, serta melindungi kehidupan dan sumberdaya lainnya dari kerusakan serta keterkaitan dengan proses pembangunan yang ramah lingkungan. ICZM menjamin keberlanjutan ekonomi berbasis sumberdaya dalam jangka panjang. Menurut Worm (1998), pengelolaan wilayah pesisir dan laut harus didasarkan pada kesadaran tentang potensi sumberdaya yang unik yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masa depan dengan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip perlindungan lingkungan.

Berkaitan dengan berbagai persoalan yang dihadapi ICZM, Clark (1998) mengemukakan beberapa persoalan penting sebagai berikut :

a. Degradasi sumberdaya.

Eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut sampai saat ini dinilai telah melampaui kapasitas yang tersedia. ICZM menawarkan konsep manajemen penggunaan secara berkelanjutan (sustainable use management) yang menjamin ketersediaan sumberdaya terbarukan (renewable) untuk saat ini dan masa depan.

b. Pencemaran.

Pencemaran industri, kegiatan minyak dan gas, erosi dan sedimentasi menyebabkan terjadinya penurunan daya dukung dan kualitas sumberdaya. Pencemaran bersumber dari daratan dan terbawa ke laut melalui sungai. c. Penurunan nilai Biodiversitas / keanekaragaman hayati.

Konsekuensi dari pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi adalah tekanan terhadap spesies yang memiliki nilai estetika dan ekonomis tinggi. Pengaturan melalui kebijakan pemerintah diperlukan untuk melindungi spesies yang terancam punah.

d. Bencana alam.

ICZM mengintegrasikan perlindungan kehidupan dan sumberdaya pesisir dan laut dari bencana alam (misalnya banjir, siklon dan penurunan tanah) ke dalam perencanaan pembangunan.

e. Kenaikan permukaan air laut (Giles 2002)

Kenaikan permukaan air laut lebih dari 1 kaki (30 cm) dalam kurun waktu 100 tahun terakhir disebabkan oleh tingginya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir berpotensi menimbulkan banjir yang mengancam kehidupan masyarakat.

f. Abrasi pantai.

Abrasi merupakan masalah yang mengancam masyarakat yang tinggal di dekat bibir pantai. ICZM merekomendasikan pendekatan non-struktural

seperti penataan kembali garis pantai dan pemeliharaan jarak aman dari garis pantai untuk semua kegiatan pembangunan.

g. Penggunaan lahan.

Penggunaan lahan yang tidak terkendali seperti permukiman peduduk, reklamasi pesisir tanpa AMDAL yang benar berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem pesisir (misalnya terjadinya penurunan biodiversitas karena pencemaran). ICZM mengantisipasi hal semacam itu dan merekomendasikan solusinya.

h. Pedalaman (Hinterland).

ICZM berperan dalam menyusun strategi untuk mengurangi dampak negatif pemanfaatan lahan hinterlands terhadap sumberdaya pesisir dan laut.

i. Bentang darat (Landscap).

Bentang darat dan pemandangan alam wilayah pesisir dan laut bersifat unik, sehingga memerlukan perhatian khusus untuk melindungi dan menjamin akses masyarakat ke wilayah tersebut. Salah satu program ICZM adalah melakukan preservasi keindahan pemandangan alam.

j. Konflik pemanfaatan sumberdaya.

Wilayah pesisir dan laut menyimpan potensi konflik diantara para

stakeholder. ICZM menyediakan platform metodologi resolusi konflik secara formal.

Berdasar sumber dari The Coastal Zone Management Subgroup yang telah mempelajari baik strategi fisik maupun institusi untuk beradaptasi terhadap konskwensi yang potensial dengan adanya kenaikan permukaan air laut, dimana respons yang dibutuhkan untuk melindungi kehidupan manusia dibagi dalam 3 (tiga) kategori alternative :

(1) Retreat, tanpa usaha melindungi daratan pesisir pantai dan meninggalkan/tidak lagi menggunakan untuk pemukiman.

(2) Akomodasi/adaptasi: masyarakat pantai seterusnya menggunakan daratan pantai tersebut dengan segala resikonya tanpa adanya usaha pencegahan banjir dengan hidup secara harmonis dengan air. Sebagai contoh: Konsep Kota Tepian Pantai (Waterfront City)

(3) Proteksi, di mana melibatkan penggunaan struktur berat dan keras menggunakan bangunan-bangunan (offshore dam, water breaker, groyne dll.), termasuk juga penyelesaian secara lunak dengan rehabilitasi mangrove.

Pengembangan kota pantai di Indonesia merupakan masalah yang harus ditangani secara seksama, karena Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di dunia dan terdapat 516 kota andalan di Indonesia dengan 216 kota di antaranya merupakan kota tepi air yang berada di tepi laut (pantai), sungai, atau danau. Dibandingkan dengan kawasan tepi sungai atau danau, kawasan kota pantai mempunyai lebih banyak potensi untuk dikembangkan, terutama terkait dengan aspek fungsi dan aksesibilitas (Suprijanto 2000). Setiap upaya mengembangkan kota pantai seharusnya mengenali potensi sumber daya, daya dukung lingkungan (karakteristik pantai), dan gejala alam di sekitarnya sehingga dapat dilakukan penyesuaian untuk memperkecil biaya ataupun resiko dampak di kemudian hari seiring perkembangan kota (Hantoro 2007). Menurut Torre (1989), beberapa unsur yang dapat mendukung keberhasilan suatu waterfront sebagai berikut:

1. Tema

Elemen ini ditentukan oleh iklim, budaya, dan sejarah. Tema tersebut akan menentukan ruang-ruang yang akan dibentuk, tata guna lahan, material yang akan dipakai, skala, dan makna waterfront sehingga tercipta suatu keunikan yang menarik pengunjung dan menimbulkan perasaan untuk kembali lagi. 2. Kesan (image)

Kesan publik akan mempengaruhi minatnya untuk mengunjungi waterfront. Keinginan untuk mengunjungi suatu kawasan waterfront akan sulit dihidupkan apabila kesan masyarakat sudah negatif. Oleh karena itu, harus ditimbulkan kesan positif sebelum mengembangkan waterfront, misalnya melalui promosi atau pertemuan terbuka.

3. Keaslian

Karakter waterfront yang akan dikembangkan harus ditemukan dan dipertahankan sehingga akan menimbulkan suatu keunikan dan meningkatkan daya tariknya.

4. Kegiatan

Jenis kegiatan harus disusun sedemikian rupa sehingga urutannya dapat dinikmati secara baik oleh pengunjung. Kemudahan pencapaian, sirkulasi, dan pengalaman yang menarik harus tetap diperhatikan. Hal yang paling diminati pengunjung adalah kesempatan untuk makan atau duduk santai sambil melihat lihat.

5. Persepsi publik

Sebelum pengembangan dimulai, publik harus diyakinkan bahwa kegiatan ini akan meningkatkan kualitas kawasan sekitarnya dan kegiatan yang sudah terbentuk tidak akan terganggu dengan adanya pengembangan ini. Tujuan ini dapat dicapai dengan menginformasikan kepada masyarakat tentang kegiatan yang akan berlangsung sehingga masyarakat akan mendukung keberhasilan pengembangan kawasan waterfront.

6. Pelestarian lingkungan

Pengembangan waterfront harus tetap melestarikan lingkungan dalam hal ini ekosisitem mangrove, bahkan jika memungkinkan dapat memperbaiki lingkungan yang rusak. Selain itu, pengembangan sedapat mungkin mengurangi dampak lingkungan dan memanfaatkan secara maksimal sumber daya alam yang ada.

7. Teknologi konstruksi

Tugas utama dalam bidang konstruksi adalah membuat suatu metode yang dapat menstabilkan garis pertemuan antara darat dan air.

8. Manajemen

Manajemen yang baik dan efektif terhadap pemeliharaan kawasan dan peningkatan daya tarik dengan mengadakan kegiatan berkala sangat diperlukan untuk menghidupkan kawasan pantai.

Pengelolaan yang berkelanjutan adalah usaha manusia untuk mengubah, mengatur, dan menata ekosistem agar manusia memperoleh manfaat yang maksimal dengan mengusahakan kontinuitas keberadaannya yang dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan energi (Wardiningsih 2005). Menurut Sarosa (2002), dimensi-dimensi keberlanjutan terdiri atas temporal/intergenerational,

spasial, sosial-ekonomi, politik (ecological cost, advantage atau disadvantage),

interspecies, dan inter-medium.

Pengelolaan berkelanjutan suatu kawasan pantai menurut Dahuri et al. (2001), memerlukan empat persyaratan sebagai berikut.

1. Setiap kegiatan pembangunan (seperti tambak, pertanian, dan pariwisata) harus ditempatkan pada lokasi yang sesuai secara biofisik. Persyaratan ini dapat dipenuhi dengan cara membuat peta kesesuaian lahan (land suitability) termasuk perairan.

2. Jika memanfaatkan sumber daya yang dapat pulih (seperti penangkapan ikan di laut), tingkat penangkapannya tidak boleh melebihi potensi lestari stok ikan tersebut. Demikian halnya jika menggunakan air tawar (biasanya merupakan faktor pembatas dalam ekosistem pulau-pulau kecil), laju penggunaannya tidak boleh melebihi kemampuan pulau tersebut untuk menghasilkan air tawar dalam kurun waktu tertentu.

3. Jika membuang limbah ke lingkungan pulau, jumlah limbah (bukan limbah B3, tetapi jenis limbah yang biodegradable) tidak boleh melebihi kapasitas asimilasi lingkungan pulau tersebut.

4. Jika memodifikasi lanskap suatu pulau (seperti penambangan pasir dan reklamasi) atau melakukan kegiatan konstruksi di lingkungan pulau, khususnya di tepi pantai, seperti membangun dermaga (jetty) dan hotel, harus sesuai dengan pola hidrodinamika setempat dan proses-proses alami lainnya.

Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pengelolaan kawasan pantai menurut Andit (2007), yaitu (1) pemerintah harus memiliki inisiatif dalam menanggapi berbagai permasalahan degradasi sumber daya yang terjadi dan konflik yang melibatkan banyak kepentingan, (2) menangani wilayah pesisir berbeda dengan menangani proyek (harus terus-menerus), (3) menetapkan batas wilayah hukum secara geografis (meliputi wilayah perairan dan wilayah daratan), (4) menetapkan tujuan khusus atau issu permasalahan yang harus dipecahkan melalui program-program, (5) memiliki identitas institusional (dapat diidentifikasi apakah sebagai organisasi independen atau jaringan koordinasi dari organisasi organisasi yang memiliki kaitan dalam fungsi dan strategi pengelolaan), dan (6) mencirikan integrasi dua atau lebih sektor berdasarkan pengakuan alam dan sistem pelayanan umum yang saling berhubungan dalam penggunaan pesisir dan lingkungan.

Demikian juga dengan keterkaitan yang dilakukan di laut lepas, seperti kegiatan pengeboran minyak lepas pantai dan perhubungan laut (Bengen 2005). Menurut Kodoatie (2004), pengelolaan kawasan pantai terpadu diwujudkan dalam bentuk rencana induk (master plan) pengelolaan kawasan pantai terpadu, baik tingkat nasional/provinsi maupun kabupaten/kota. Master plan itu terdiri atas beberapa hal yang saling berkait secara integral, yaitu meteorologi pantai, oseanografi, hidrografi pantai, coastal engineering, coastal management,

sedimen transport, banjir, lingkungan pantai, bangunan pelindung pantai, pelabuhan, navigasi, estuari (mulut sungai), flora dan fauna pantai, aliran air tanah, pertanian, kependudukan dan urbanisasi, industri, satuan wilayah pantai, serta reklamasi pantai.

Selanjutnya untuk mempertahankan kelestarian dan keberadaan dari suatu sumber daya alam dan lingkungan, salah satu satu pendekatan yang dapat digunakan adalah melakukan penilaian terhadap daya dukung. Pendekatan ini digunakan untuk meminimalisasi kerusakan atau membatasi penggunaan sumber

daya alam (Nurisyah et al. 2003). Menurut Knudson (1980), daya dukung merupakan penggunaan secara lestari dan produktif dari suatu sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources). Daya dukung merupakan konsep dasar yang dikembangkan untuk kegiatan pengelolaan suatu sumber daya alam dan lingkungan yang lestari melalui ukuran kemampuannya. Konsep ini dikembangkan terutama untuk mencegah kerusakan atau degradasi dari suatu sumber daya alam dan lingkungan sehingga kelestarian keberadaan dan fungsinya dapat tetap terwujud, dan pada saat dan ruang yang sama, pengguna atau masyarakat pemakai sumber daya tersebut tetap berada dalam kondisi sejahtera dan/atau tidak dirugikan (Nurisyah et al. 2003).

Pendugaan nilai daya dukung suatu kawasan ditentukan oleh tiga aspek utama, yaitu (1) kepekaan sumber daya alam (site productivity); yang terkait dengan karakteristik biofisiknya meliputi kualitas udara, air, tanah, stabilitas ekosistem, dan erosi tanah, (2) bentuk, cara, dan laju (rate) penggunaan, serta tingkat apresiasi dari pemakai sumber daya alam dan lingkungan, dan (3) bentuk pengelolaan (fisik, non fisik) yang bertujuan jelas dan berjangka panjang (Rahmadani 2005). Kemudian sesuai tujuan yang ingin dicapai, beberapa bentuk pendugaan nilai daya dukung dari suatu kawasan adalah sebagai berikut:

1. Daya dukung ekologis menurut Pigram (1983) diacu dalam Nurisyah et al. (2003), dinyatakan sebagai maksimum penggunaan suatu kawasan atau suatu ekosistem, baik berupa jumlah maupun kegiatan yang diakomodasikan di dalamnya, sebelum terjadi suatu penurunan dalam kualitas ekologis suatu kawasan atau ekosistem tersebut, termasuk estetika lingkungan/alami yang dimilikinya. Kawasan yang menjadi perhatian utama dalam penilaian daya dukung ekologis ini adalah jenis kawasan atau ekosistem yang rapuh (fragile) dan yang tidak dapat pulih (unrenewable), seperti berbagai ekosistem lahan basah (wetlands), antara lain, rawa, payau, danau, laut, pesisir, dan sungai. 2. Daya dukung fisik, merupakan jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan

yang dapat diakomodasikan dalam kawasan atau areal tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas kawasan tersebut secara fisik. Kawasan yang telah melampaui kondisi daya dukungnya secara fisik, antara lain, dapat dilihat dari tingginya tingkat erosi, pencemaran lingkungan terutama udara dan air sungai/permukaan, banyaknya sampah kota, suhu kota yang meningkat, konflik sosial yang terjadi pada masyarakat karena terbatasnya fasilitas umum, atau pemadatan tanah yang terjadi pada tempat-tempat rekreasi.

3. Daya dukung sosial, merupakan gambaran dari persepsi seseorang dalam menggunakan ruang pada waktu yang bersamaan atau persepsi pemakai kawasan terhadap kehadiran orang lain secara bersama dalam memanfaatkan suatu area tertentu. Konsep ini berkenaan dengan tingkat kenyamanan (comfortability) dan apresiasi pemakai kawasan karena terjadinya atau pengaruh over-crowding pada suatu tapak.

4. Daya dukung ekonomi, merupakan tingkat skala usaha dalam pemanfaatan suatu sumber daya yang memberikan keuntungan ekonomi maksimum secara berkesinambungan