• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi mitigasi tsunami berbasis ekosistem mangrove dalam aplikasi pemanfaatan ruang pantai timur Pulau Weh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi mitigasi tsunami berbasis ekosistem mangrove dalam aplikasi pemanfaatan ruang pantai timur Pulau Weh"

Copied!
191
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM APLIKASI PEMANFAATAN RUANG

PANTAI TIMUR PULAU WEH

DINI PURBANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

xxi

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi STRATEGI MITIGASI PEMANFAATAN RUANG PESISIR PANTAI TIMUR PULAU WEH BERBASIS EKOSISTEM MANGROVE adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2012

(3)

xv

ABSTRACT

DINI PURBANI. Mangrove Ecosystem Based Mitigation Strategy of the Spatial Utilization of the East Coast of Weh Island. Under supervision of MENNOFATRIA BOER, I WAYAN NURJAYA, MARIMIN and FREDINAN YULIANDA

Pulau Weh located in the path of earthquake zone is an area vulnerable to disasters that can be followed by a tsunami earth quake. Geological disasters which occurred on 24 December 2004 with magnitude 9.0MW power resulted in lost of lives and properties, and damage to mangrove ecosystems, especially on the eastern side of Pulau Weh which is facing the Teluk Loh Pria Laot. The impacts of tsunami on mangrove ecosystem namely lodging, uprooting and breaking. The purposes of this study are:1.Mapping of after tsunami land cover and land use to identify the damage caused by the tsunami inundation, 2. Mapping mangrove ecosystem after tsunami in Taman Wisata Alam Alur Paneh, Teluk Boih, Pantai Lhok Weng 2/Teupin Layeu 1,Pantai Lhok Weng 2b/Teupin Layeu 1b, Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2, Pantai Lhut dan Pantai Lhok Weng 1/Lam Nibong, 3.Creating a distribution model based on run up, 4. Creating a level of vulnerability to tsunami hazards, 5. Developing mitigation strategies to reduce tsunami hazards by optimizing the local carrying capacity including increasing the density of mangrove ecosystems and expanding the area of mangrove ecosystems. To know the spread of inundation tsunami, a model builder as one of the GIS applications is used. In this research a run up of 30 meter is applied to know the extent of the inundation distribution that can occur in the land use. The composition of total puddle area of 427.9633 ha is as follows: Mangrove forests: 39,7549 ha, Forest of 303,0701 ha, Vegetation: 25,6609 ha, Land Built: 6,1840 ha, Open land: 53,0234 ha and the area not affected by the tsunami: 568, 4441 ha. Mitigation efforts were carried out by mangrove vegetation. The inundation was reduced to 290.7681 ha with the distribution of mangrove vegetation. Inundation was still there on the east coast of Weh Island, then as mitigation strategies to reduce inundation are by planting mangroves to 102 meters ocean ward and increasing the mangrove ecosystem density to 15 trees per 100m2.

(4)

xvi RINGKASAN

Secara geologi Pulau Weh merupakan daerah yang rawan akan bencana gempabumi yang dapat diikuti tsunami. Hal ini disebabkan Pulau Weh berada pada zona yang rentan akan gempabumi. Seperti bencana gempabumi yang terjadi pada tanggal 24 desember 2004 dengan kekuatan 9,0 MW atau 9,3 diikuti dengan tsunami.

Tsunami dengan tinggi gelombang datang (run up) setinggi antara 2-5 m yang terjadi berulang kali sebanyak 4 kali mengakibatkan sebaran genangan/ inundasi seluas 50 m dari garis pantai, sehingga menimbulkan kerusakan. Kerusakan yang terjadi antara lain ekosistem mangrove, bangunan seperti rumah penduduk, sekolah, kantor, kedai, tempat penginapan dan infrastruktur. Lokasi kerusakan terdapat di sisi timur Pulau Weh yang berhadapan langsung dengan Teluk Lho Pria Laot. Jenis kerusakan pada ekosistem mangrove seperti batang pohon patah, tercabut dari akarnya, bahkan ada yang tersapu oleh tsunami. Lokasi kerusakan ekosistem mangrove terdapat di pantai TWA Alur Paneh, Lhok Weng 2/ Teupin layeu 1, Lhok Weng 2b/ Teupin Layeu 1b, Lhok Weng 3/Lam Nibong, Pantai Lhut 1, Pantai Lhut 2 dan Lhok Weng 1/Lam Nibong.

Hasil penelitian Harada dan Imamura (2002) tsunami dapat direduksi dengan ekosistem mangrove, oleh karena itu dalam penelitan ini menggunakan daya dukung ekosistem mangrove, agar kerusakan yang terjadi dapat dieliminir. Adapun tujuan penelitian adalah: 1. Memetakan tutupan lahan pasca tsunami dan mengidentifikasikan kerusakan pemanfaatan lahan akibat genangan tsunami, 2. Memetakan ekosistem mangrove pasca bencana di TWA Alur Paneh, Pantai Lhok Weng 2/Teupin Layeu 1, Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2, Pantai Lhut dan Pantai Lhok Weng 1/Lam Nibong, 3. Membuat model sebaran genangan tsunami berdasarkan tinggi gelombang datang (run up), 4. Membuat tingkat kerentanan akan bahaya tsunami, 5. Menyusun strategi mitigasi untuk mereduksi bahaya tsunami dengan mengoptimalkan daya dukung lokal diantaranya meningkatkan kerapatan ekosistem mangrove dan memperluas areal ekosistem mangrove.

Penelitian dilakukan tanggal 15 November 2009 – 28 Maret 2010 berada di wilayah administratif Kecamatan Sukakarya, posisi 05o50‟ - 05o 54‟ LU dan 95o

14‟ - 95o 17‟ BT. Data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data primer hasil pengamatan lapangan dan data sekunder sebagai data penunjang berupa literatur, data citra ALOS AVNIR-2 tahun 2008, citra Quickbird tahun 2006 dan Peta Rupa Bumi Kota Sabang. Pengamatan lapangan yang dilakukan adalah pengamatan pantai meliputi tipologi dan karakteristik pantai dan pengamatan ekosistem mangrove dengan menggunakan transek kuadrat. Lokasi pengamatan ekosistem mangrove di TWA Alur Paneh, Teluk Boih, Pantai Lhok Weng 2/Teupin Layeu 1, Pantai Lhok Weng 2b/Teupin Layeu 1b, Pantai Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2, Pantai Lhut dan Pantai Lhok Weng 1/Lam Nibong. Lokasi pengamatan pantai yaitu di Pantai Iboih, Pulau Rubiah. Data citra

(5)

xvii

Kemiringan Lereng dan Peta Kekasaran Permukaan. Model sebaran genangan yang diteliti dalam penelitian ini menggunakan tinggi gelombang datang (run up) 30 m. Dasar penggunaan tinggi gelombang datang (run up) 30 m karena kejadian gempabumi berkekuatan 9,3 SR dapat menimbulkan tinggi gelombang datang (run up) 30 m dan ini terjadi di utara Pulau Sumatera.

Pengolahan model builder menggunakan ARCGIS 9.3. Hasil dari proses tersebut memperlihatkan sebaran genangan yang menutupi hampir semua jenis penggunaan lahan. Total sebaran genangan 427,6933 ha terdiri atas vegetasi Mangrove (39,75490 ha), Hutan (303,07001 ha), Kebun (25,6609 ha), Lahan Terbangun ( 6,1840 ha) dan Lahan Terbuka (53,0234 ha). Wilayah yang tergenang pada umumnya berada di pesisir timur Pulau Weh yang berhadapan dengan Teluk Loh Pria Laot.

Sebaran genangan akibat tsunami dapat direduksi dengan ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove di lokasi penelitian pada umumnya spesies

Rhizopora apiculata dan minor spesies Rhizopora stylosa. Ekosistem mangrove mempunyai kerapatan yang maksimal 17 pohon per 100 m2 dan ketabalan maksimal 238 m. Reduksi tsunami dilakukan dengan membuat Peta Ekosistem Mangrove dilanjutkan dengan Peta Reduksi Genangan. Hasil dari proses analisis menunjukkan luas genangan menjadi 290,7681 ha. Masih terdapat sebaran genangan di pesisir timur Pulau Weh maka dilakukan usaha strategi mitigasi. Usaha strategi mitigasi dilakukan dengan penambahan ketebalan ekosistem mangrove sejauh 102 meter ke arah laut dan penambahan kerapatan sebanyak 15 pohon per 100 m2 untuk setiap lokasi.

Penanaman kembali (replanting) ekosistem mangrove di setiap lokasi dengan jumlah anakan yang berbeda-beda. Jumlah anakan yang diperlukan di setiap lokasi berdasarkan pada perhitungan tingkat kelangsungan hidup (survival rate). Lokasi penanaman di utara Pantai TWA Alur Paneh spesies Rhizopora apiculata jumlah anakan dan pohon 931.770 buah, Teluk Boih spesies Rhizopora apiculata jumlah untuk anakan dan pohon 843.030. Lokasi di bagian tengah dekat dengan Teluk Lho Pria Laot Pantai Lhok Weng 2/Teupin Layeu 1 spesies

Rhizopora apiculata jumlah anakan dan pohon 765.000 buah, Pantai Lhok Weng 2b/Teupin Layeu 1b spesies Rhizopora apiculata jumlah anakan dan pohon 99.450 buah, Pantai Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2 spesies Rhizopora apiculata

(6)

xviii

© Hak cipta milik IPB, Tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

xix

STRATEGI MITIGASI PEMANFAATAN RUANG PESISIR

PANTAI TIMUR PULAU WEH BERBASIS

EKOSISTEM MANGROVE

DINI PURBANI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

xx Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si

Dr. Budi Sulistiyo

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: Prof. Dr. Cecep Kusmana, MS

(9)

xxi

(10)

xxii

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH

ALOS : The Advanced Land Observing Satellite

AVNIR-2 : Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type 2

BAKOSURTANAL : Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional BAKORNAS PB : Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana BALITBANG KP : Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan

Perikanan

BMKG : Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika BGIS 2000 : Ball Global Imaging System 2000

BPPT : Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi BT : Bujur Timur

CDIT : Coastal Development Institute of Technology DKP : Departemen Kelautan dan Perikanan

DO : Disolved Oxygen (oksigen terlarut

DEM : Digital Elevation Model

ESRI : Environmental Systems Research Institute, Inc. GIS : Geographic information systems (sistem informasi

geografis, SIG),

GPS : Global Positioning System

ICZM : Integrated Coastal Zone Management IK : Indeks Kerentanan

ICG/IOTWS : Intergovernmental Coordination Group for The Indian Ocean Tsunami Warning and Mitigation System

JAXA : Japan Aerospace Exploration Agency J : Jarak Genangan

KKP : Kementerian Kelauatan dan Perikanan LPND : Lembaga Pemerintah Non Departemen LU : Lintang Utara.

MSL : Mean Sea Level MW : Magnitude Movement NAD : Nanggroe Aceh Darussalam NPJ : Nilai Penting Jenis PP : Peraturan Pemerintah

PRISM : The Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping

PUSDOLAPOS PB Pusat Pengendalian Operasi Bencana

(11)

xxiii

RTRW : RencanaTata Ruang Wilayah RG I : Reduksi Genangan I

RG II : Reduksi Genangan II

SR : Survival Rate/Tingkat Kelangsungan Hidup SNI : Standar Nasional Indonesia

SR : Skala Richter

T : Kontur

TISDA : Teknologi Inventarisasi Sumber Daya Alam TK : Tingkat Kerentanan

TRPR : Tingkat Reduksi Peningkatan Kerapatan Mangrove Tsu_Mng_Rd : Tsunami Mangrove Reduksi

TRM : Tingkat Reduksi Mangrove TWA : Taman Wisata Alam UK : United Kingdom

UNCLOS : United Nation Convention of the Law of the Sea UNESCO : United Nation Educational Scientific and Cultural

Organization

UNESCO-IOC : United Nation Educational Scientific and Cultural Organization-Intergovernmental Oceanographic Commission

USDA-NCRS : United State Department of Agriculture Natural Resources Conservation Service

USGS : United State Geological Survey

USDA : United States Department of Agriculture. UU : Undang-undang.

(12)

xxiv PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga Disertasi yang berjudul “Strategi Mitigasi Tsunami Berbasis Ekosistem Mangrove Dalam Aplikasi Pemanfaatan Ruang Pantai Timur Pulau Weh” dapat dengan penuh perjuangan. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Selama penulisan dan penyusunan disertasi ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, olehnya itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA, selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Marimin, MSc, Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc dan Dr. Ir. Fredinan Yulianda, MSc selaku komisi pembimbing, yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah membimbing penulis selama melaksanakan penelitian dan penulisan disertasi.

2. Prof. Dr. Dietriech G. Bengen, DEA dan Dr. Luky Ardianto. yang telah memberikan saran dan masukan dalam ujian pra kualifikasi lisan.

3. Dr. Budi Sulistiyo dan Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, MSi selaku tim penguji luar komisi pembimbing pada ujian tertutup.

4. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS dan Dr. Sutopo Nugroho, APU selaku tim penguji luar komisi pembimbing pada ujian terbuka.

5. Ayahanda Drs. H Sukarman, Ak (Alm) dan Ibunda Hj Hertha yang telah membesarkan, mengasuh dan mendidik dengan penuh kasih sayang. 6. Seluruh dosen dan karyawan pada Program Studi SPL khususnya, serta

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) dan Sekolah Pascasarjana IPB umumnya, yang telah menambah ilmu dan wawasan serta membantu penulis selama menempuh studi, dengan tulus disampaikan terima kasih. 7. Kepala Balitbang KP dan Kepala Pusat Riset Penelitian dan

Pengembangan Sumberdaya Kelautan dan Perikan yang telah memberikan izin tugas belajar

8. Teman-teman di Pusat Penelitian dan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang KP KKP yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

9. Coremap II yang telah memberikan bantuan penulisan disertasi dan JAXA (Japanese Aerospace Exploration Agency) dan LAPAN yang telah memberikan data citra ALOS AVNIR-2 Pulau Weh.

10.Para staf pada Program Studi SPL, Pak Zainal, Mas Didin dan semua pihak yang telah berjasa dalam penyeleseian tugas akhir yang berat ini. 11.Seluruh unsur Pemerintah Kota Madya Sabang, yang telah membantu

selama penulis melakukan penelitian, disampaikan terima kasih.

(13)

xxv

13.Seluruh teman mahasiswa SPL, penulis ucapkan banyak terima kasih atas kebersamaan selama menempuh pendidikan.

Semoga seluruh amal perbuatan di atas mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, Amin.Penulis menyadari bahwa Disertasi penelitian ini masih banyak kekurangannya, untuk itu penulis memohon masukan dari berbagai pihak.

Bogor, Februari 2012

(14)

xxvi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di DKI Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1965 sebagai anak ketiga dari pasangan Drs. H. Sukarman, Ak (Alm) dan Hj. Hertha. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Tarakanita II (lulus tahun 1977) kemudian melanjutkan ke pendidikan menengah di SMP Tarakanita I (lulus tahun 1981) dan SMAN VI Jakarta (lulus tahun 1984).

Pada tahun 1991 penulis memperoleh gelar Insinyur dari Pendidikan Sarjana Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknologi Mineral Universitas Trisakti. Penulis memperoleh beasiswa dari TISDA BPPT tahun 1998 untuk melanjutkan pendidikan Magister Geografi di Program Studi Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia dan menamatkannya pada 2000. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2006. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan.

Penulis bekerja sebagai peneliti muda pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya dan Pesisir, sejak tahun 2001. Hasil penelitian yang telah dilakukan antara lain Kondisi ekosistem pesisir Pulau Bintan, Potensi mineral bawah laut di Perairan Banda, Peningkatan kualitas garam rakyat menjadi garam industri, dan Karakteristik Pulau-pulau lokasi Pulau Weh.

Beberapa bagian disertasi penulis telah dipublikasikan sebagai karya

ilmiah berjudul “Kondisi Ekosistem Mangrove Pascsa Tsunami di pesisir Teluk

Loh Pria Laot dan Upaya Rehabilitasi” telah diterbitkan dalam Jurnal Segara Vol 7 No 1 2011 dengan akreditasi A oleh LIPI Nomor Akreditasi: 319/AU1/P2MBI/10/2010 (Periode Oktober 2010-Oktober 2013) dan artikel

ilmiah yang lain berjudul “Aplikasi penginderaan jauh dan Sistem Informasi

Geografis untuk mengetahui pola sebaran genangan tsunami dan tingkat

(15)

xxvii

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian………... 5

1.4 Ruang Lingkup Penelitian………... 5

1.5 Kebaharuan Penelitian (Novelty)……… 6

2 TINJAUAN PUSTAKA………. 11

2.1 Definisi Pulua-pulau Kecil dan Evolusi Tektonik………... 11

2.2 Aspek Peraturan Perundangan Mitigasi Pesisir dan PPK ……….. 14

2.3 Bencana Alam Pulau-pulau Kecil dan Kerentanan………. 16

2.4 Bencana Gempabumi ………. 20

2.5 Pengertian Tsunami ……… 20

2.5.1 Karakter Tsunami……….. 22

2.5.2 Pemodelan Numerik Tsunami………... 29

2.6 Tingkat Kebencanaan, Integrasi Pengeloaan Pesisir di Daerah Bencana dan Analisa Bentuklahan untuk Bahaya Tsunami…….. 31

2.7 Mitigasi Tsunami dengan Ekosistem Mangrove………. 37

2.7.1 Sifat Mangrove………. 37

2.7.2 Efektivitas Ekosistem Mangrove ………. 40

2.8 Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi……… 42

2.8.1 Penginderaan Jauh………. 42

2.8.2 Citra Quickbird………. 43

2.8.3 Citra ALOS AVNIR-2………. 44

2.8.4 Sistem Informasi Geografi (SIG)………. 45

3 METODOLOGI PENELITIAN………. 47

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian………. 47

3.2 Metode Penelitian……… 47

(16)

Halaman

3.4.4 Analisis Tingkat Kerentanan…………..………... 64

3.4.5 PengelolaanPesisir Berbasis Mitigasi….………... 67

4 KERUSAKAN EKOSISTEM……… 73

4.1 Hasil Pengamatan Lapangan Ekosistem Mangrove……… 73

4.2 Analisis Ekosistem Mangrove di Pantai Lhut 1, Pantai Lhut 2 dan Pantai TWA Alur Paneh………. 74

4.3 Analisis Ekosistem Mangrove di Pantai Lhok Weng 1/Lam Nibong, Lhok Weng 2/Teupin Layeu 1 dan Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2……… 80

4.4 Rangkuman Kerusakan Ekosistem……….. 89

5 GENANGAN AKIBAT TSUNAMI……….. 93

5.1 Tsunami Pulau Weh……… 93

5.2 Model Genangan Tsunami Penelitian………. 94

5.3 Rangkuman Genangan Akibat Tsunami……….. 102

6 STRATEGI MITIGASI TSUNAMI……….. 107

6.1 Kerusakan Ekosistem Mangrove Akibat Tsunami……….. 107

6.2 Jenis Kerapatan dan Ketabalan Ekosistem Mangrove di Lokasi Penelitian dan Strategi Mitigasi………. 109

6.3 Penanaman Mangrove (Replanting)………... 119

6.4 Sosialisasi Bencana Tsunami kepada Masyarakat dan Kelembagaan……….. 120

6.5. Rangkuman Strategi Mitigasi Tsunami……….. 123

7 SIMPULAN DAN SARAN ………. 125

7.1 Simpulan………... 125

7.2 Saran………. 125

DAFTAR PUSTAKA………..…….. 127

(17)

xxiii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 State of the artdari hasil penelitian terdahulu………... 9

2 Perbandingan karakteristik pulau-pulau kecil, pulau besar dan benua.. 13

3 Hubungan antara magnitudo gempabumi dengan ketinggian run up tsunami……….. 25

4 Hubungan magnitudo dan tinggi tsunami di pantai……….. 26

5 Hubungan antara magnitudo tsunami (m), ketinggian tsunami (meter) dan skala kerugian………. 29

6 Nilai kekasaran permukaan untuk masing-masing jenis penutupan lahan……….. 30

7 Nilai kekasaran permukaan berdasarkan penggunaan lahan…………. 32

8 Keterkaitan antara faktor-faktor lingkungan dengan penyebaran beberapa jenis mangrove secara alamai………. 39

9 Karakteristik satelit Quickbird………... 44

10 Karakteristik ALOS AVNIR-2 Multispektral……… 45

11 Tingkat pemrosesan produk ALOS AVNIR-2 Multispektral………… 45

12 Jenis data biofisik yang digunakan dalam penelitian………. 49

13 Nilai kekasaran permukaan untuk pemodelan tsunami……….. 60

14 Kelas kontur dengan bobot 50………... 66

15 Kelas jarak genangan dengan bobot 30………. 66

16 Kelas bentuklahan dengan bobot 20……….. 66

17 Kelas tingkat kerentanan……… 67

18 Hasil pengukuran NPJ kategori pohon dari ekosistem Pantai Lhut 2 dan SR……… 77

(18)

xxiv

Halaman 20 Penamaan jenis tekstur tanah di Pantai Lhut 2 dan TWA Alur Pane… 81

21 Hasil pengukuran NPJ kategori pohon dari ekosistem Pantai Lhok

weng 1/Lam Nibong dan SR……….. 83

22 Perhitungan NPJ dari ekosistem Pantai Lhok Weng 2/Teupin Layeu 1 kategori pohon dan SR……….. 86

23 Hasil pengukuan Nilai Penting Jenis (NPJ) ekosistem mangrove Pantai Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2 kategori pohon dan SR……….. 88

24 Penamaan jenis tekstur tanah di Lam Nibong/Lhok Weng 1, Teupin Layeu1/Lhok Weng 2 dan Teupin Layeu 2/Lhok Weng 3………… 89

25 Luas genangan pada penggunaan lahan………. 101

26 Luas genangan dari masing-masing kelas tingkat kerentanan………... 101

27 Kelas tingkat reduksi mangrove………. 110

28 Kelas Reduksi Genangan I………. 111

29 Kelas tingkat reduksi peningkatan kerapatan mangrove……… 112

(19)

xxv

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Dinamika umum tektonik Indonesia diperlihatkan oleh respon Kep.

Indonesia terhadap pergerakan relatif tiga lempeng bumi dari data

GPS……… 2

2 Kerangka pemikiran penataan ruang berbasis mitigasi bencana…..…. 8

3 Sistem kerentanan pulau-pulau kecil ……….…. 18

4 Pembagian wilayah gempa di Indonesia ……….….. 19

5 Penampang gempabumi terjadi tumbukan antar lempeng

Samudera/Oseanik menujam di bawah lempeng Benua……….. 21

6 Proses terjadinya tsunami akibat gempa……….……. 21

7 Perbedaan gelombang akibat angin dan gelombang tsunami……...…. 23

8 Karakter tsunami di lautan lepas saat mendekati pantai………..…… 24

9 Ilustrasi ketinggian tsunami……… 25

10 Hubungan antara kekuatan gempa dan kedalaman episentrum dengan

terbentuknya tsunami……….. 27

11 Hubungan antara kekuatan gempa dengan besaran tsunami……….. 28

12 Model integrasi pengeloaan wilayah pesisir akibat tsunam……….... 35

13 Bentuk-bentuk akar vegetasi mangrove……….……. 38

14 Pembagian wilayah umum vegetasi mangrove……….. 40

15 Fungsi vegetasi pantai untuk meredam terjangan gelombang tsunami 42

16 Peta administrasi Pulau Weh……… 48

17 Peta lokasi pengambilan contoh……….. 50

18 Desain unit contoh pengamatan vegetasi di lapangan dengan metode

jalur……… 52

(20)

xxvi

Halaman

20 Skema proses analisis kerusakan ekosistem……… 61

21 Skema proses pemodelan genangan………... 62

22 Skema analisis tingkat kerentanan………. 65

23 Skema pengelolaan pesisir berbasis mitigasi………..… 69

24 Komposisi jenis berdasarkan kerapatan mangrove kategori semai di Pantai Lhut 1………. 74

25 Kondisi ekosistem mangrove akibat tsunami di Pantai Lhut 1……… 75

26 Komposisi jenis berdasarkan kerapatan mangrove kategori semai, anakan dan pohon di Pantai Lhut 2………... 76

27 Ekosistem mangrove lokasi Pantai Lhut 2………. 77

28 Komposisi jenis berdasarkan kerapatan mangrove kategori semai, anakan dan pohon di Pantai TWA Alur Paneh……….. 78

29 Kondisi ekosistem mangrove di Pantai TWA Alur Paneh…………. 79

30 Komposisi jenis berdasarkan kerapatan mangrove kategori semai, anakan dan pohon di Pantai Lhok Weng 1/Lam Nibong………….. 82

31 Kondisi mangrove pasca tsunami di Pantai Lhok Weng 1/Lam Nibong……… 83

32 Komposisi jenis berdasarkan kerapatan mangrove kategori semai, anakan dan pohon di Pantai Lhok Weng 2/Teupin Layeu 1………….. 85

33 Kondisi mangrove pasca tsunami di Pantai Lhok Weng 2/Teupin Layeu 1………... 85

34 Kondisi mangrove di Pantai Lhok Weng 2/Teupin Layeu 1…………. 85

35 Komposisi Jenis Ekosistem Mangrove Kategori Pohon Pantai Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2……….…. 87

36 Kategori semai species Rhizopora apiculata lokasi Pantai Lhok Weng 3/Teupin Layeu……… 87

(21)

xxvii

Halaman

38 Rumah terkena gempabumi dan tsunami lokasi Pantai Lhut…………. 94

39 Pondok penginapan/bungalow rusak terkena tsunami Lokasi Lhok Weng 2………... 94

40 Tambak rakyat di Teluk Boih terbengkalai akibat tsunami…………... 94

41 Peta Kontur………... 96

42 Peta Tiga Dimensi Kemiringan Lereng………. 97

43 Peta Penggunaan Lahan dari Citra ALOS AVNIR-2………. 98

44 Peta Koefisien Kekasaran Permukaan………. 99

45 Peta Genangan Gelombang Datang 30 M ………. 100

46 Peta Jarak Genangan Gelombang Datang 30 M……… 103

47 Peta Bentuklahan……….. 104

48 Peta Tingkat Kerentanan……….. 105

49 Peta Ekosistem Mangrove……….. 108

50 Peta Reduksi Tsunami I………. 113

51 Peta Reduksi Genangan I………. 114

52 Peta Reduksi Tsunami II………. 116

53 Peta Reduksi Genangan II……….. 117

54 Peta Strategi Mitigasi………. 118

55 Peta RTRW Sabang……….. 121

(22)
(23)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Diagram segitiga milar penentuan jenis tekstur tanah……..……….. 141

2 Pengamatan karakteristik pantai……….………… 142

3 Proses pengoperasian ARCGIS 9.3……….. 143

4 Proses pengoperasian ER Mapper 6.4……… 152

5 Skema model builderuntuk genangan/inundasi………. 158

6 Hasil pengukuran kerapatan jenis di ekosistem mangrove Pantai Lhut

dan Taman Wisata Alur Paneh………. 159

7 Hasil pengukuran kerapatan jenis di ekosistem mangrove Lhok Weng 1/Lam Nibong, Lhok Weng 2/Teupin Layeu 1 dan Lhok Weng

3/Teupin Layeu 2………. 160

8 ReplantingPantai Lhut 2………. 161

9 Replanting Pantai TWA Alur Paneh……….….…. 162

10 Replanting Teluk Boih………. 163

11 ReplantingPantai Lhok Weng 1/Lam Nibong………. 164

12 Replanting Pantai Lhok Weng 2/Teupin Layeu 1……… 165

13 ReplantingLhok Weng 2 B/Teupin Layeu 1 b………….………….. 166

(24)
(25)

`

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pulau Weh yang berada di barat laut Aceh merupakan pulau kecil yang

rentan akan bencana seperti gempabumi yang dapat diikuti dengan tsunami, karena pulau ini berada pada zona gempabumi. Di sisi lain Pulau Weh memiliki potensi sumberdaya alam hayati seperti terdapatnya Taman Nasional Alam Laut dan sumberdaya nonhayati seperti panas bumi di Jaboi, Pulau Weh juga berada dijalur pelayaran internasional, dengan demikian perlu memperhatikan bahaya geologi yang bekerja di daerah tersebut. Bentuk bahaya geologi yang terjadi adalah gempabumi yang dapat menimbulkan tsunami. Hal ini disebabkan karena secara geologi Indonesia terletak pada jalur tumbukan antar 3 lempeng yaitu Lempeng Eurasia di utara-barat, Lempeng Pasifik di timur dan Lempeng Indo-Australia di selatan (Gambar 1), kedua lempeng bergerak relatif ke barat dan ke utara terhadap Eurasia. Lempeng Indo-Australia bergerak miring terhadap lempeng Sumatera (yang merupakan bagian dari lempeng Eurasia), dengan kecepatan 50-60 cm per tahun dan kemiringan dari zona penujaman sekitar 12o , terjadi penurunan permukaan dasar laut di tempat pertemuan lempeng tersebut sehingga menimbulkan gelombang laut/tsunami yang merambat dan menerjang pantai. (Lay et al. 2005; Natawidjaya 2003; Prawirodirjo 2000).

Bencana gempabumi yang terjadi 26 Desember 2004 sumber gempabumi berada sekitar 250 km barat daya Banda Aceh dengan kedalaman pusat gempa sekitar 45 km (Borreo 2006), dengan kekuatan gempa 9,1-9,3 MW atau 9,3 SR yang terjadi di dasar samudera menyebabkan terjadinya tsunami (Lay et al. 2005; USGS 2004). Akibat dari bencana tersebut menewaskan 300.000 orang penduduk

baik yang tinggal di wilayah Aceh dan laut Andaman dikenal sebagai “Bencana

(26)

Sebagaimana diketahui wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu wilayah yang unik secara geologis, ekologis, dan merupakan domain biologis yang sangat penting bagi banyak kehidupan di daratan dan di perairan termasuk manusia (Beatley et al. 1994). Namun wilayah pesisir rentan akan bencana alam, sehingga diperlukan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana untuk mengeliminasi kerusakan jiwa dan materi.

Salah satu wilayah pesisir yang memiliki sumberdaya hayati dan rentan akan bencana gempa bumi dan tsunami adalah Pulau Weh. Pulau Weh memiliki keanekaragaman terumbu karang, ikan hias dan panorama pesisir pantai menjadi

daerah objek tujuan wisata bahari. Lokasi yang memiliki keaneka ragaman hayati berada di Pulau Rubiah sehingga berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 928/Kpts/Um/12/1982 tanggal 27 Desember 1982 perairan Pulau Rubiah dengan luas 26 km2 ditetapkan menjadi Taman Laut sedangkan di Pulau Weh

Keterangan

Kecepatan gerak dari lempeng

Kecepatan gerak dari lokasi tempat pengukuran monumen GPS antara tahun 1989 dan 2002

U

(27)

khususnya di sekitar Km Nol yang berada di ujung Barat Laut Pulau Weh ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam seluas 13 km2.

Daya tarik wisata bawah laut seperti berbagai jenis terumbu karang, menjadi rusak akibat bencana gempa bumi dan tsunami. Kerusakan yang umum terjadi adalah terangkatnya terumbu karang, terumbu karang patah dan pecah karena gelombang. Kerusakan tidak hanya di ekosistem pantai, mangrove dan terumbu karang tetapi juga diikuti dengan kerusakan infrastruktur. Kerusakan infrastruktur terjadi di kawasan wisata bahari sekitar pantai Iboih dan Pulau Rubiah. Bentuk kerusakan umumnya berupa rusaknya dermaga, bungalow, pertokoan dan kedai makan. Berdasarkan saksi mata gelombang tsunami menerjang pesisir pantai terjadi sebanyak tiga kali, dengan variasi tinggi gelombang datang (run up) antara 2 m sampai 5 m dan daerah genangan/inundasi sejauh 30 m hingga 50 m dari garis pantai dan kedalaman inundasi antara 50 cm hingga 1 m.

Kerusakan ekosistem sumberdaya alam seperti contohnya terumbu karang, tampak beberapa koloni terumbu karang ditemukan ada yang patah, terbalik dan mati tertutup sedimen. Komunitas karang yang paling banyak mengalami kerusakan adalah karang keras. Umumnya kerusakan terumbu karang terjadi pada lapisan yang tidak padat, mudah lepas dan berada di lereng. Dapat pula terjadi di

perairan yang dangkal berada di cekungan antara dua pulau, terumbu karang rusak lebih besar dibandingkan yang berada di perairan lepas contoh di sekitar Pantai Iboih (Baird et al. 2005). Morfologi cekungan dasar laut yang terletak diantara dua pulau, menyebabkan energi yang dihempaskan semakin tinggi ketika mencapai teluk dan lekukan pantai, berkumpulnya energi gelombang yang berasal dari laut lepas ketika gelombang masuk celah yang sempit (Diposaptono dan Budiman 2008).

Selanjutnya kerusakan ekosistem mangrove akibat gelombang tsunami terjadi di sekitar pantai Lam Nibong, pantai Lhut dan Teupin Layee. Kondisi mangrove tampak ada yang tumbang, patah, tercabut dari akarnya dan hanyut. Jenis mangrove yang terdapat di lokasi tersebut antara lain Rhizophora apiculata,

(28)

Pantai Iboih menanam mangrove spesies Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa dan Rhizophora apiculata, sesuai dengan keberadaan habitat mangrove sebelumnya. Penanaman mangrove merupakan bantuan dari Japan Red Cross

bekerja sama dengan PMI. Tujuan utama dari penanaman mangrove adalah untuk perlindungan pantai dari tsunami.

Dengan memperhatikan kondisi kerusakan akibat gempabumi dan tsunami maka penataan wilayah pesisir perlu berbasis mitigasi bencana sesuai dengan pasal 56 Bab X dalam UU No. 27 tahun 2007 yang berisi: Dalam menyusun rencana pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu, Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah wajib memasukkan dan melaksanakan bagian yang memuat mitigasi bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan jenis, tingkat dan wilayahnya. Oleh karena itu penelitian ini membahas Strategi Mitigasi Pemanfaatan Ruang Pesisir Pantai Timur Pulau Weh Berbasis Ekosistem Mangrove.

1.2 Perumusan Masalah

Pulau Weh dengan luas 153 km2 dikategorikan sebagai pulau kecil dengan tipologi pulau komposit, merupakan pulau yang rentan akan bencana gempabumi dan tsunami karena berada di daerah zona gempa. Namun Pulau Weh memiliki sumberdaya alam terumbu karang, ikan hias yang beraneka ragam dan vegetasi mangrove sehingga menjadi salah satu daerah objek wisata alam baik wisatawan domestik maupun mancanegara.

Terjadi kerusakan ekosistem sumberdaya alam dan infrastuktur akibat bencana gempabumi yang diikuti dengan tsunami. Tsunami dengan tinggi gelombang datang (run up) 3m-5m yang menerjang pesisir timur Pulau Weh menimbulkan genangan/inundasi. Penyebaran genangan di wilayah tersebut menggenangai semua jenis tutupan lahan. Luas sebaran genangan diperoleh

(29)

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mendapatkan sebaran genangan/inundasi akibat tsunami dan upaya strategi mitigasi dalam mereduksi genangan. Reduksi genangan dilakukan dengan cara mengoptimalkan kerapatan dan ketebalan ekosistem mangrove. Tujuan utama tersebut dapat dicapai melalui

tujuan antara, yaitu:

1.

Memetakan tutupan lahan, mengidentifikasikan kerusakan pemanfaatan

lahan dan memetakan ekosistem mangrove akibat genangan tsunami di TWA Alur Paneh, Pantai Lhok Weng 2/Teupin Layeu 1, Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2, Pantai Lhut dan Pantai Lhok Weng 1/Lam Nibong,

kemudian menspasialkan ekosistem tersebut,

2.

Membuat model sebaran genangan tsunami berdasarkan tinggi

gelombang datang (run up) dan tingkat kerentanan akan bahaya tsunami,

3.

Menyusun strategi mitigasi untuk mereduksi bahaya tsunami dengan

mengoptimalkan daya dukung lokal diantaranya meningkatkan kerapatan ekosistem mangrove dan memperluas areal ekosistem mangrove.

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Melengkapi data dan informasi tentang pemanfaatan yang sesuai dengan

kondisi fisik geografi Pulau Weh,

2. Tersedianya analisis spasial mitigasi bencana yang dapat digunakan dalam penataan ruang di daerah rawan bencana.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

1) Pengamatan deskriptif terdiri dari:

a. Ekosistem mangrove meliputi tegakan dan kerapatan,

b. Pengambilan sampel tanah di ekosistem mangrove untuk mengetahui penyebaran komposisi tanah yang berkorelasi terhadap habitat mangrove, c. Geologi meliputi struktur geologi dan jenis batuan penyusun pantai,

d. Geomorfologi pantai meliputi kemiringan pantai atau kelerengan pantai, jenis pantai/tipologi pantai. Hasil pengamatan dilakukan untuk analisis wilayah pesisir yang rentan terhadap bencana tsunami.

(30)

3) Pengolahan data mangrove untuk mendapatkan komposisi jenis mangrove dan kerapatan vegetasi mangrove,

4) Pengolahan peta berbasis spasial dengan menggunakan PJ dan SIG untuk mengetahui sebaran kerusakan ekosistem dan daerah-daerah rawan bencana di wilayah pesisir. Hasil olahan analisis spasial akan menghasilkan zonasi pemanfaatan berbasis ekosistem mangrove dan mitigasi,

5) Membuat peta spasial wilayah yang rentan terhadap bencana dan membuat zonasi daerah mitigasi dengan memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai pelindung terhadap tsunami,

6) Penerapan skenario optimum dalam pengelolaan sumberdaya pesisir pulau-pulau kecil yang rawan bencana.

Adapun kerangka pemikiran Strategi Mitigasi Pemanfaatan Ruang Pesisir Pantai Timur Pulau Weh Berbasis Ekosistem Mangrove tertera pada Gambar 2.

1.5 Kebaharuan Penelitian (Novelty)

Pulau Weh merupakan pulau kecil yang memiliki luas 153 km2, berada pada jalur gempa sehingga Pulau Weh rentan terhadap bahaya gempabumi yang dapat diikuti dengan tsunami.

Dengan memperhatikan karakteristik Pulau Weh maka penelitian ini melakukan upaya mitigasi tsunami berbasis pada tipologi pantai, vegetasi mangrove dan vegetasi pantai. Strategi mitigasi di pulau kecil mengkombinasikan ke tiga unsur di atas, karena keberadaan vegetasi mangrove di pulau kecil yang memiliki ketebalan dan kerapatan relatif lebih rendah dibandingkan dengan pulau besar.

Ekosistem mangrove di lokasi penelitian berada pada tipologi pantai berbatu, berpasir dan berlumpur yang mempunyai kemampuan berbeda satu sama

lain dalam mereduksi tsunami.

(31)

Penelitian yang telah dilakukan di Pulau Weh meliputi berbagai aspek seperti penataan ruang dengan pendekatan grid, penataan ruang di wilayah perbatasan, terumbu karang sebelum dan sesudah bencana tsunami, penataan ruang pada wilayah perbatasan dan penentuan kawasan wisata dengan pendekatan

(32)
(33)

9

9

Tabel 1. State of the art dari hasil peneliti terdahulu

No Peneliti Topik Kelebihan Kekurangan

1 Edyanto (1998) Pengelolaan lahan di pulau kecil . Memperhatikan faktor fisik, proses pengelolaan lahan dibagidalam grid

Perencanaan tata ruang pulau kecil di wilayah perbatasan

Ekologi terumbu karang pasca tsunami dan rehabilitasi

Pengamatan sebelum dan sesudah pasca tsunami.

Perlu pengamatan berkala agar dapat diketahui kondisi terumbu karang. 4 Husnayen (2008) Penentuan kawasan wisata bahari di Pulau

Weh dan tingkat kerentanan

Aplikasi model penentuan pariwisata menggunakan cell based modelling.

Parameter kesesuaian zona pariwisata tidak mempertimbangkan faktor musim. Kerentanan mengacu pada SOPAC yang tidak sesuai dengan kondisi Indonesia,

(34)

10

(35)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Pulau-pulau Kecil dan Batasan

Pulau berdasarkan UNCLOS 1982, Bab VIII Pasal 121 ayat 1: ”Pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu

mucul di atas permukaan air pasang tinggi” (Bengen dan Retraubun 2006). Pulau

memiliki batasan pulau yang memiliki dimensi berubah-ubah dari waktu ke waktu (Ongkosongo 1998). Pulau kecil mula-mula dibatasi sebagai pulau yang luasnya kurang dari 10.000 km2, kemudian turun menjadi kurang dari 5.000 km2, kemudian berubah lagi menjadi kurang dari 2.000 km2 dan bahkan kurang dari 100 km2, kemudian ada pula yang membatasi berdasarkan lebarnya saja yaitu kurang dari 3 km (Husni 1998; Brookfield 1990; Nakajima dan Machida 1990; Sugandhy 1999; Dahuri 1998; Tresnadi 1998; Hehanusa et al. 1998).

Batasan pulau kecil yang ditetapkan DKP (2001) pulau kecil dengan ukuran kurang dari atau sama dengan 2.000 km2 beserta ekosistemnya dan dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 20.000 orang (UNESCO 1991, UU No. 27 Tahun 2007 pasal 1 ayat 3).

PPK dapat terbagi atas 3 kelompok (Bengen 2008) berdasarkan asal-usul geologi dan evolusi tektonik:

1. Pulau-pulau Sistem Busur. Secara geomorfologi memiliki karakteristik: terletak pada zona subduksi membentuk rantai busur pulau-pulau vulkanik yang berasosiasi dengan cekungan laut dalam hingga 6.000 m, aktivitas

vulkanik yang baru terjadi lebih menonjol, fokus gempa lebih dalam dari 70 km, laut dangkal pada sisi daratan dari busur, aliran panas tinggi pada sisi daratan dari busur dan sangat jelas terlihat pada lingkar Pasifik: mulai dari sisi utara Selandia Baru, terus ke Melanesia hingga Indonesia, Filipina, Jepang, Kep. Kuril, dan sisi timur melalui kepulauan Aleutian. Pulau-pulau ini memiliki 75 % dari gunung api aktif maupun yang baru mati berada di lingkar Pasifik seperti di Samudera Hindia, yang terjadi di Jawa dan Sumatera.

(36)

12

perbukitan simetris yang membentuk pulau. Klasifikasi pulau-pulau Oseanik terbagi atas 4 kategori:

a) Pulau vulkanik formasi baru: biasanya berukuran kecil, berpantai curam dengan rataan yang sempit. Komunitas biologis memiliki jumlah jenis dan kelimpahan yang terbatas,

b) Pulau vulkanik formasi tua: terbentuk dari beberapa kali erupsi yang sebagian besar berumur tersier. Tanahnya subur, dan pesisirnya terbentuk formasi karang, khususnya karang tepi (fringing reef), c) Pulau vulkanik dengan laguna dan karang penghalang: terjadi karena

penenggelaman dan pertumbuhan formasi karang, sehingga pulau dikelilingi oleh terumbu berlaguna. Pada sisi yang terkena gelombang (windward) pertumbuhan karang yang cepat membentuk terumbu yang lebih tebal, sedangkan pada sisi terlindung tidak terkena gelombang (leeward) terumbu karang lebih tipis. Tanahnya subur, dan sumberdaya lautnya kaya dan,

d) Pulau Atol: proses penenggelaman dan naiknya terumbu yang menutupi laguna. Tanahnya kapur dan tidak subur. Sumberdaya air di pulau atol terbatas.

3. Pulau-pulau berasosiasi dengan dinamika Paparan Benua. Pembentukan

pulau-pulau yang berasosiasi dengan Dinamika Paparan Benua adalah: i). terbentuk dari hasil aktivitas tektonik yang menonjol pada daerah paparan benua, ii). pulau yang terbentuk umumnya lebih besar dan bergunung dari pada sistem busur maupun pulau oseanik. Contohnya: Kepulauan Fiji, Solomon dan Seychelles di Pasifik dan iii). aktivitas tektonik direpresentasikan oleh seringnya gempa yang berdampak besar namun memiliki sumberdaya mineral: hidrokarbon, nikel, tembaga, mangan dll.

(37)

landai dan berbentuk dataran yang luas dan; iii). Pulau-pulau komposit yang berada beberapa meter di atas permukaan laut tergolong ke dalam pulau-pulau makatea, dimana substratnya berterumbu koral, namun sebagian vulkanik. Karakteristik PPK dibandingkan dengan pulau besar dan benua berdasarkan karakteristik geografis, geologi, biologi dan ekonomi tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Perbandingan karakteristik pulau kecil, pulau besar dan benua Pulau Kecil/Oseanik Pulau Besar/Kontinental Benua

Karakteristik Geografis

 Jauh dari benua  Dekat dari benua  Area sangat besar  Dikelilingi oleh laut luas Dikelilingi sebagian oleh

laut yang sempit

 Suhu udara bervariasi

 Area kecil  Area besar  Iklim musiman

 Suhu udara stabil  Suhu udara agak bervariasi  Iklim sering berbeda dengan  Sedikit mineral penting  beberapa mineral penting  beberapa mineral penting  Tanahnya porous/ permeabel  Beragam tanahnya  Beragam tanahnya

Karakteristik Biologi

 Pergantian spesies tinggi  Pergantian spesies agak rendah

 sering pemijahan massal hewan laut bertulang  Sedikit sumberdaya daratan  sumberdaya daratan agak

luas Sumber : Modifikasi Salm et al. (2000) dalam Bengen dan Retraubun (2006)

Pulau Weh secara evolusi tektonik merupakan pulau oseanik dan secara karakteristik topografi pulau sebagai pulau komposit dengan tebing terjal (cliff) substrat terumbu koral di sisi barat dan vulkanik di sisi timur pulau.

(38)

14

sumberdaya alam menjadi sangat terbatas. Persediaan air tawar/air tanah juga sangat terbatas atau terdapat intrusi air laut sehingga pada pulau-pulau yang terletak di daerah yang jarang turun hujan akan menghadapi bahaya kekeringan, 2. Pulau kecil mempunyai kendala utama pada transportasi sehingga hubungan dengan daerah lain menjadi terbatas atau mahal dan 3. Pulau kecil sangat rentan baik secara fisik maupun ekologis. Secara fisik pulau kecil menghadapi bahaya tenggelam akibat kenaikan permukaan laut, proporsi erosi tanah lebih besar akibat sedikitnya daerah resapan air (catchment area). Briguglio (1995) mengidentifikasikan karakteristik PPK bersifat unik yaitu berukuran kecil, terisolasi dari pulau besar (mainland), ketergantungan, rentan dan secara ekonomi hal ini tidak menguntungkan karena akan menimbulkan keterbatasan sokongan sumberdaya, ketergantungan kisaran diversifikasi produk, keterbatasan mempengaruhi perubahan harga produk, keterbatasan kompetensi lokal dan pengembangan skala ekonomi.

PPK memiliki kendala dan keterbatasan yang kompleks seperti Pulau Weh dengan luas 153 km2 merupakan wilayah yang rawan bencana alam sehingga perlu dilakukan upaya mitigasi. Mitigasi bencana di pesisir dan PPK terdapat dalam UU No 27 pasal 56.

2.2 Aspek Peraturan Perundangan Mitigasi Pesisir dan PPK

Pengelolaan bencana merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional dalam serangkaian kegiatan baik sebelum, pada saat maupun sesudah terjadinya bencana. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pada prinsipnya mengatur tahapan bencana meliputi prabencana, saat tanggap, dan pascabencana. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilaksanakan berdasarkan 4 aspek meliputi: a) sosial,

ekonomi dan budaya masyarakat, b) kelestarian lingkungan hidup, c) kemanfaatan dan efektivitas; dan d) lingkup luas wilayah (Pasal 31 UU No. 24 tahun 2007).

(39)

kemampuan menghadapi ancaman bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (Pasal 1 PP No 64 tahun 2010). Mitigasi bencana di wilayah pesisir dan ppk dilakukan melalui kegiatan: a). struktur fisik dan b). nonstruktur/non fisik (Pasal 14 PP No. 64 tahun 2010). Kegiatan struktur/ fisik untuk mitigasi terhadap jenis bencana tsunami meliputi: a) penyediaan sistem peringatan dini dalam penelitian ini dilakukan dengan vegetasi pantai seperti ekosistem mangrove.b) penggunaan bangunan peredam tsunami, c) penyediaan fasilitas penyelamatan diri, d) penggunaan konstruksi bangunan ramah bencana tsunami, e) penyediaan prasarana dan sarana kesehatan, f) vegetasi pantai dan g) pengelolaan ekosistem pesisir (ayat 2 Pasal 15 PP No 64 tahun 2010)

Menyikapi Pasal 15 No 64 tahun 2010 dalam ayat 2 huruf f usaha mitigasi yang dilakukan di daerah penelitian menitik beratkan pada ekosistem mangrove dalam mereduksi tsunami.

Dampak dari tsunami mengakibatkan terjadi erosi pantai sehingga dilakukan upaya mitigasi sesuai dengan ayat 9 pasal 15 PP No 64 tahun 2010 meliputi: a) pembangunan bangunan pelindung pantai, b) peremajaan pantai, c) vegetasi pantai dan d) pengeloaan ekosistem pesisir. Aplikasi yang dilakukan di daerah penelitian khususnya di Pulau Rubiah dengan vegetasi pantai dan pengelolaan ekosistem pesisir.

Prinsip integrasi antara ekosistem darat dan laut serta antara science dan

management menjadi acuan dalam penyusunan rencana tata ruang dan zonasi wilayah menyangkut: 1. mengetahui pola dan karakteristik wilayah pesisir yang akan disusun tata ruang dan zonasinya secara ekobiofisik, sosial ekonomi, dan budaya; 2. menentukan pola ruang di darat apakah kompatibel atau tidak dengan zonasi di kawasan perairan; 3. mengevaluasi dampak kegiatan dalam blok-blok zona tata ruang dengan zonasi kawasan perairan dan habitat-habitat pesisir penting misalnya mangrove, terumbu karang, dan lamun; 4. dampak skenario bencana alam untuk wilayah tersebut terhadap struktur dan pola ruang di kawasan daratan baik yang datang dari arah laut maupun daratan; 5. menentukan kawasan

(40)

16

Kawasan setback atau sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proposional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat (ayat 1 Pasal 56 PP No. 26/2008). Dalam PP No. 26/2008 Pasal 56 ayat 1b kriteria dari sempadan pantai merupakan daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan kondisi fisik pantainya curam atau terjal dengan jarak proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik pantai. Penetapan sempadan mengikuti ketentuan: 1. perlindungan terhadap gempa dan/atau tsunami; 2. perlindungan pantai dari erosi dan abrasi; 3. perlindungan sumberdaya buatan di pesisir, dari badai, banjir, dan bencana alam lainnya; 4. perlindungan terhadap ekosistem pesisir, seperti lahan basah, mangrove, terumbu karang, padang lamun, gumuk pasir, estuari dan delta; 5. pengaturan akses publik; serta pengaturan untuk saluran air dan limbah (ayat 2 pasal 31 UU no. 27/2007). Fungsi sempadan pantai: sebagai kawasan lindung, yang melindungi kawasan pantai dari pengaruh negatif yang datang dari laut maupun dari darat. Selain itu, sempadan pantai diharapkan akan merahabilitasi sumber daya wilayah pantai beserta seluruh ekosistem yang ada di dalamnya.

2.3 Bencana Alam Pulau-pulau Kecil dan Kerentanan

PPK cenderung rentan terhadap bencana alam dan memiliki ekosistem yang rapuh. Kaly et al. (2004) menyatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan kerentanan selain bencana alam, juga karena keterpencilan, masalah perbatasan, migrasi, kerusuhan, pemisahan secara geografis, pemanfaatan ekonomi, pasar internal yang kecil dan kerusakan sumberdaya.

Kerentanan merupakan multi dimensi meliputi: kerentanan ekonomi, kerentanan lingkungan, kerentanan sosial, kerentanan perdagangan, kerentanan perubahan cuaca dan kerentanan perubahan iklim. Kerentanan di PPK meliputi:

1. Exposure

(41)

samudera luas menerima aktifitas gelombang dari segala arah. Lebih lanjut pulau kecil mudah mendapat bencana daripada pulau besar atau pulau utama. Karena letaknya berhadapan dengan samudera luas maka bencana yang terjadi adalah abrasi, dan kemungkinan tenggelamnya pulau karena kenaikan muka air laut (sea level rise), sehingga sumberdaya alam menjadi berkurang dan menyebabkan ekonomi pulau mengalami penurunan.

2. Ukuran yang kecil (Smallness)

Konsekuensi dari ukuran yang kecil adalah keterbatasan lahan produktif untuk mendukung daya dukung lingkungan untuk kebutuhan hidup manusia. Ukuran yang kecil juga mempunyai konsekuensi eratnya hubungan antar ekosistem sehingga rentan secara ekologis terhadap gangguan pembangunan pada salah satu ekosistem. Luas pulau yang kecil itu sendiri bukanlah suatu kelemahan, jika barang dan jasa yang diproduksi dan dikonsumsi oleh penduduk hanya terdapat di dalam pulau tersebut.

3. Bencana Alam (Natural Disaster)

Jenis bencana alam yang terjadi di PPK adalah bencana geologi (geological disaster) yang sering dimaksudkan adalah gempabumi, kegiatan gunung api khususnya letusan gunung api, gerakan tanah dan lahar dingin. Selain bencana geologi juga bencana oseanografi seperti gelombang pasang, badai tropis, erosi

pantai dan kenaikan muka air laut. Bencana alam mengakibatkan penurunan sumberdaya alam.

Adrianto dan Matsuda (2002) mengemukakan bahwa kelemahan pulau-pulau kecil berupa ukuran yang kecil, insular, terpencil dan cenderung terkait dengan aktifitas laut, maka bahaya bencana alam dan lingkungan lebih besar, dibandingkan dengan pulau utama (mainland). Lebih lanjut dikemukakan bahwa dari perspektif ekonomi, pulau-pulau kecil memiliki kekuatan yang sama dengan kelemahannya. Keuntungan pulau kecil secara ekonomi meliputi kemampuannya untuk menghasilkan barang-barang dan pelayanan khusus seperti bidang perikanan dan turisme.

(42)

18

dan bencana lingkungan. Sedangkan daya lenting (resilience) disebabkan oleh faktor-faktor dari dalam (endogenous) seperti; ketersediaan sumber daya alam dan dinamika populasi.

Definisi kerentanan (vulnerability) adalah kondisi kerentanan ditentukan oleh fisik, sosial, ekonomi dan faktor-faktor lingkungan atau proses-proses, sehingga terjadi peningkatan kerawanan yang dapat menyebabkan bencana. Faktor-faktor yang berperan dalam kerentanan adalah peningkatan kemampuan masyarakat untuk mengatasi bencana (Birkmann 2006) Konsep kerentanan didefinisikan sebagai tingkat yang menerangkan sebuah sistem (dalam konteks ini sistem pesisir dan pulau-pulau kecil) mengalami bencana disebabkan karena

pesisir dan pulau-pulau kecil berada di wilayah terpapar (exsposure) sehingga mudah terkena tekanan dan gangguan (Ardianto 2007).

Kerentanan memiliki sisi ekternal dan internal (Birkmann 2006). Sisi internal adalah coping yang dapat diartikan kemampuan untuk mengantisipasi, menanggulangi dengan cara bertahan dan memperbaiki akibat dari bencana; berbeda dengan sisi eksternal termasuk exposure yang berhadapan dengan risiko dan gangguan.

Bencana alam yang terjadi di Pulau Weh bersifat episodik dan kronik. Bersifat episodik adalah gempabumi, tsunami, angin/badai tropis, sedangkan

Keberlanjutan di Wilayah

(43)

bersifat kondisi kronik adalah abrasi, kenaikan permukaan laut (sea level rise) dan penurunan permukaan (land subsidence). Bencana episodik terjadi 26 Desember 2004 mengakibatkan terjadi inundasi/genangan akibat hempasan tsunami yang mencapai pesisir sejauh sampai beberapa km. Kejadian ini menyebabkan terjadinya kerusakan infrastruktur. Kerusakan infrastruktur berkaitan dengan besarnya kekuatan gempabumi. Kekuatan gempabumi berkorelasi dengan percepatan tanah. Berdasarkan analisis probalistik bahaya gempa wilayah Indonesia terbagi dalam 6 wilayah gempa (Standar Perancangan ketahanan Gempa untuk Struktur Gedung-SNI 03-1726-2002) (Gambar 4) dimana Pulau Weh berada pada wilayah gempa 4 sebesar 0.20 g. Berarti daerah tersebut kemungkinan tinggi terjadi gempa. Dalam mengukur kerusakan bangunan dengan cara wilayah gempa dikalikan dengan g (percepatan grafitasi bumi = 9.81 m/det), sebagai contoh gempa yang terjadi di Pulau Weh 0.2 dikalikan 9.81 m/det = 1.962 m/det, menunjukkan pada saat gempa terjadi percepatan tanah sebesar 1,962 m/det yang berpengaruh terhadap struktur bangunan.

Gambar 4. Pembagian wilayah gempa di Indonesia. (BMKG 2007)

2.4 Bencana Gempabumi

(44)

20

temperatur 6.000-10.000oC. Reaksi kimia-fisika dalam bentuk cairan menimbulkan proses arus konveksi. Pergerakan antar lempeng terjadi karena arus konveksi di dalam bumi. Gerak antar lempeng dapat terjadi dalam bentuk tumbukan/tabrakan dan pemisahan. Pemisahan biasanya terjadi pada retakan kulitbumi di dasar laut, lempeng dasar samudera tumbuh dan bergerak saling menjauh karena desakan carian magma yang keluar dari dalam bumi. Bilamana lempeng-lempeng bertabrakan/bertumbukan secara frontal, lempeng Samudera biasanya menujam/menyusup di bawah lempeng Benua. Proses ini disebut proses subduksi. Salah satu ciri utama dari daerah wilayah/zona benturan antar lempeng adalah tingkat kegempaan yang tinggi. Dengan demikian gempabumi adalah serangkaian proses pembentukan dan penyimpanan energi yang terjadi akibat benturan antar lempeng. Pada dasarnya energi yang tersimpan dalam lempeng-lempeng kulit bumi ini akan terlepas bila telah melampui batas plasitas tegangan (Suparka 1994).

Tumbukan antar Lempeng Samudera yang menujam di bawah Lempeng Benua, pada saat bersamaan Lempeng Benua akan tertarik turun dan terjadi akumulasi tegangan. Tegangan akan mencapai batasnya dari Lempeng Benua sehingga terjadi patahan dan melenting ke atas menyebabkan gempabumi (Gambar 5). Permukaan air laut bergerak naik dan turun. Perubahan permukaan

air laut ini mengikuti perubahan deformasi vertikal di dasar laut sehingga membangkitkan gelombang. Gempabumi dapat menimbulkan tsunami jika 1). Gempa di laut dengan kekuatan >6.5 SR atau > 6 MW, 2). Kedalaman puncak gempa <60 km ,3). Terjadi deformasi vertikal dasar laut yang cukup besar dan 4). Biasanya terjadi di zona subduksi/tumbukan lempeng tektonik (Kato et al. 2010; Iida 1963) (Gambar 6).

2.5Pengertian Tsunami

(45)
(46)

22

Tsunami sebagai gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan gangguan implusif yang terjadi pada medium laut. Gangguan implusif bisa berupa gempabumi tektonik di laut, erupsi vulkanik (meletusnya gunung api) di laut, longsoran (land slide) di laut atau jatuhnya meteor di laut. Akibat dari gangguan impulsive menyebabakan terjadinya gelombang laut yang datang tiba-tiba, sebagai akibat terganggunya kestabilan air laut, yang menghempas pantai dan menimbulkan bencana (Bien 2005).

2.5.1 Karakter Tsunami

Tsunami yang ditimbulkan oleh gaya implusif bersifat transien, artinya tsunami semakin melemah dengan bertambahnya waktu dan hanya berlangsung sesaat (Kajiura dan Shuto 1994). Gelombang tsunami berbeda dengan gelombang pasang surut yang dibangkitkan oleh gaya tarik benda-benda langit terutama matahari dan bulan terhadap bumi dan gelombang angin yang digerakkan oleh tiupan angin di permukaan laut.

Meijde (2005) dan UNESCO-IOC (2006) menjelaskan bahwa ada perbedaan yang jelas antara tsunami dengan gelombang laut akibat angin seperti terlihat pada (Gambar 7). Tsunami yang memiliki ketinggian satu meter di laut dalam (kedalaman air >30 m) dapat meninggi hingga puluhan meter pada garis pantai dan merupakan gelombang panjang. Berbeda dengan gelombang laut yang terjadi karena terpaan angin yang hanya mengganggu kestabilan permukaan laut, maka energi tsunami meluas sampai ke dalam lautan (kolom air). Saat mendekati pantai, energi tsunami terkonsentrasi pada arah vertikal karena berkurangnya kedalaman air dan berubah arah menjadi horizontal ketika memendeknya panjang gelombang yang diakibatkan perlambatan gerak gelombang (UNESCO-IOC 2006). CDIT (2007) menjelaskan bahwa perlambatan gerak gelombang ini disebut sebagai attenuasi jarak akibat penyebaran tsunami ke segala arah.

(47)

Sebagaimanai diuraikan pada persamaan (1)

………. (1)

dimana:

c = Kecepatan tsunami g = 9,8 m/s

h = Kedalaman air

Gambar 7. Perbedaan gelombang akibat angin dan gelombang tsunami. (Meijde 2005)

Cepat rambat tsunami tergantung pada kedalaman laut. Semakin besar kedalaman semakin besar kecepatan rambatnya. Pada kedalaman 5.000 m cepat

rambat tsunami mencapai 230 m/detik (sekitar 830 km/jam), sedangkan pada kedalaman 100 m tsunami memiliki kecepatan sekitar 110 km/jam. Tinggi gelombang tsunami bervariasi dari 0,5 m sampai 30 m dan periode dari beberapa menit sampai sekitar satu jam. Panjang gelombang tsunami yaitu jarak antara dua puncak gelombang yang berurutan bisa mencapai 200 km. Di lokasi pembentukan tsunami (daerah episentrum gempa) tinggi gelombang tsunami diperkirakan antara 1,0 m dan 2,0 m.

Selama penjalaran dari tengah laut (pusat terbentuknya tsunami) menuju pantai tinggi gelombang menjadi semakin besar. Proses ini disebabkan oleh pengaruh perubahan kedalaman laut, saat mendekati pantai, kecepatannya melambat menjadi beberapa puluh kilometer per jam seperti terlihat pada Gambar 8.

(48)

24

Gambar 8. Karakteristik tsunami di lautan lepas saat mendekati pantai. (Meijde 2005)

Setelah sampai di pantai gelombang naik/gelombang datang (run up) ke daratan dengan kecepatan tinggi yang bisa menghancurkan kehidupan di daerah pantai. Wilayah yang mempunyai dataran rendah bisa jadi tergenang. Kembalinya air laut setelah mencapai puncak gelombang (run down) bisa menyeret segala sesuatu kembali ke laut. (Triatmodjo 1999).

Kerusakan akibat tsunami diketahui dari survei pasca tsunami dengan

(49)
(50)

26

Kekasaran pantai berpengaruh terhadap tinggi tsunami (USDA-NRCS, 1986). Keberadaan material permukaan dapat menunjukkan tingkat kekasaran pantai. Dampak positif kekasaran pantai adalah semakin padat material permukaan akan semakin besar energi tsunami yang terendam, sedangkan dampak negatif adalah semakin lepas material permukaan akan semakin besar kerusakan sarana dan prasarana berikut kehilangan jiwa. Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kondisi alam yang mempengaruhi perubahan gelombang pasang akibat tsunami: 1. geometri (kelengkungan pantai), 2. topografi (kemiringan pantai) dan batimetri, 3. lokasi muara di pantai dan 4. kekasaran pantai.

Pencatatan tsunami telah dikembangkan suatu hubungan antara tinggi tsunami di daerah pantai dan magnitude/besaran tsunami dinyatakan dalam m. Besaran tsunami bervariasi mulai dari m = -2.0 yang memberikan tinggi gelombang kurang dari 0,3 m sampai m = 5 untuk gelombang lebih besar dari 32 m, seperti tertera dalam Tabel 4.

Tabel 4. Hubungan magnitudo dan tinggi tsunami di pantai Magnitude Tsunami (m) Tinggi tsunami/H (meter)

5,0 >32

(51)
(52)
(53)

dengan pemodelan numerik sehingga dapat dilakukan upaya mitigasi untuk

Sumber: Immamura dan Iida 1949 dalam Diposaptono 2008

2.5.2 Pemodelan Numerik Tsunami

UNESCO-IOC (2006) mendefinisikan pemodelan numerik tsunami adalah uraian matematis yang digunakan untuk menjelaskan tsunami yang telah diamati berdasarkan kejadian masa lalu beserta pengaruh-pengaruhnya. Pemodelan ini digunakan untuk memperkirakan bencana tsunami di masa mendatang. Pemodelan numerik tsunami oleh Borah (2007) dibagi menjadi tiga tahapan pemodelan yaitu :

1) Pembangkitan (Generation)

Pada tahap pemodelan ini memperkirakan pembentukan ganguan permukaan laut akibat tenaga pemicu (gempa bumi, meteor, letusan gunung api dasar laut) yang menyebabkan deformasi di dasar laut. Data yang dibutuhkan dalam tahap ini yaitu data patahan (panjang dan lebar patahan), besarnya strike, dip dan slip, kedalaman patahan, dislokasi dan magnitudo gempa.

2) Perambatan (Propagation)

(54)

30

kelengkungan bumi (earth curvature), dan parameter oseanografi seperti pasang surut, kecepatan dan arah arus laut.

3) Penggenangan (Inudation)

Penggenangan terjadi karena perambatan gelombang yang mengenangi daerah pesisir akibat dari tinggi gelombang datang/run up.

Data yang dibutuhkan yaitu batimetri di perairan dangkal, topografi daratan, morfologi pantai seperti muara, teluk, gumuk pasir dan lain-lain.

Kerusakan akibat tsunami di pesisir dapat dilihat dari seberapa jauh genangan/inundasi yang terjadi di pesisir dengan memperhatikan tinggi gelombang datang pada saat tsunami terjadi. Pada saat genangan/inundasi terjadi maka akan menggenangi penggunaan lahan di daerah pesisir pantai, sehingga terjadi kerusakan di daerah pesisir.

Penelitian ini, menggunakan model genangan/inundasi sesuai perhitungan matematis Persamaan (4) dengan bantuan spasial analisis yang ada pada perangkat lunak SIG. Parameter yang digunakan adalah tinggi tsunami terburuk yang mungkin dapat terjadi akibat proses perambatan tsunami menurut skala Imamura-Iida. Tinggi gelombang datang (run up) dikombinasikan dengan aliran air yang mengalir di permukaan topografi yang kasar, sebagai contoh gumuk, vegetasi

pantai, bangunan-bangunan, topografi yang tidak teratur, sungai-sungai dan semua tutupan lahan di permukaan merupakan unsur yang sangat penting untuk mengetahui seberapa jauh genangan yang mungkin terjadi (Barryman 2006). Pendekatan variabel untuk menahan gelombang datang (run up) menggunakan model Berryman (2006) yaitu dengan koefisien kekasaran permukaan (surface roughness coefficient). Uraian di atas diperjelas dengan menampilkan Tabel 6.

Tabel 6. Nilai kekasaran permukaan untuk masing-masing jenis penutup lahan Jenis penutup lahan Koefisien kekasaran permukaan Lumpur, salju, lahan terbuka 0,015

Daerah permukiman 0,035

Pusat kota 0,1

Hutan 0.07

Sungai, Danau 0,007

(55)

Menghitung jarak inundasi wilayah pesisir yang datang, persamaan yang digunakan untuk mengetahui jarak inundasi ke arah darat mengacu prakarsa Tsunami UK menggunakan persamaan (3).

X maks = Jarak inundasi dari garis pantai ke arah darat H0 = Ketinggian gelombang tsunami di garis pantai n = Koefisien kekasaran permukaan

Persamaan (3) oleh Hawke‟s Bay dan Wellington dimodifikasi untuk memasukkan variabel varisasi ketinggian permukaan (Berryman 2006). Variasi ketinggian permukaan direpresentasikan oleh besarnya lereng. Persamaan modifikasi seperti terlihat pada Persamaan (4).

S

Hloss = Hilangnya ketinggian tsunami per 1 m dari jarak inundasi n = Koefisien kekasaran permukaan

H0 = Ketinggian gelombang tsunami di garis pantai S = Besarnya lereng permukaan

Koefisien kekasaran permukaan dibedakan berdasarkan jenis penggunaan lahan (Putra 2008) yang merupakan hasil modifikasi dari klasifikasi kekasaran permukaan berdasarkan tipe penutup lahan yang dibuat Berryman (2006). Tabel 7 merupakan tabel kekasaran permukaan modifikasi Putra (2008).

2.6 Tingkat Kebencanaan, Integrasi Pengelolaan Pesisir di Daerah Bencana dan Analisis Bentuklahan untuk Bahaya Tsunami

(56)

32

Tabel 7. Nilai kekasaran permukaan berdasarkan penggunaan lahan Jenis Penggunaan Lahan Koefisien Kekasaran Permukaan

Empang 0,007

Kejadian tsunami 26 Desember 2004 yang dibangkitkan dari gempabumi di Sumatera dengan kekuatan 9.0-9.3 MW mengakibatkan kerusakan di pesisir pantai India, Andaman dan kepulauan Nikobar, Indonesia, Sri Lanka, Malaysia dan Thailand, kejadian tsunami terjadi setelah dua jam kejadian gempa bumi. Dampak dari tsunami mengakibatkan kerusakan di sejumlah wilayah (Lay et al. 2005).

Tingkat kompleksitas masalah di wilayah pesisir menjadi perhatian khusus ICZM sebagai mekanisme pemerintah untuk mengetahui berbagai jenis aspek

aktivitas manusia dan pengelolaannya. Pandangan World Bank terhadap ICZM sebagai pendekatan yang interdisplin dan intersektoral (Xue et al. 2004). Selanjutnya, diadakan workshop bekerja sama dengan WWF, Wet Land

Gambar

Gambar 2. Kerangka pemikiran pemanfaatan ruang berbasis mitigasi bencana
Tabel 1. State of the art dari hasil peneliti terdahulu
Tabel 2. Perbandingan karakteristik pulau kecil, pulau besar dan benua
Gambar 3. Sistem kerentanan pulau-pulau kecil.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Telah dilakukan penelitian tentang Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas Var Ayamurasaki) terhadap Bakteri Staphylococcus aureus

Ada pengaruh yang signifikan antara pijat oksitosin terhadap involusi uterus pada ibu nifas dan Tidak ada pengaruh yang signifikan antara pijat oksitosin dengan

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas Majelis Hakim Tingkat Banding tak dapat menerima uraian pertimbangan Majelis Hakim Tingkat

• Proses perbankan dimulai, bank dipersilakan membuka banknya selama 15 menit, peserta sebagai debitur dipersilakan bertransaksi pembiayaan dengan cara mengangkat tangan, jika

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan

Kegiatan belajar mengajar tidak bisa terlepas dari suatu metode pembelajaran, metode yang tepat digunakan untuk kegiatan belajar mengajar haruslah sesuai dengan

Hasilnya seperti tampak pada gambar 2 dan 3 dimana pada saat tanpa penambahan CO 2 kedalam reaktor, semakin lama waktu reaksi maka massa crude biodiesel yang diperoleh

Johannes Kupang periode Januari-Juni 2017 berdasarkan jenis obat diperoleh data penggunaan obat ARV dan jumlah obat yang digunakan berdasarkan resep tanpa