• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isolasi Dan Penapisan Kapang Penghasil Β-Glukosidase Dan Karakterisasi Enzim Yang Dihasilkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Isolasi Dan Penapisan Kapang Penghasil Β-Glukosidase Dan Karakterisasi Enzim Yang Dihasilkan"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

ISOLASI DAN PENAPISAN KAPANG PENGHASIL

β

-GLUKOSIDASE DAN KARAKTERISASI

ENZIM YANG DIHASILKAN

OLEH :

TRIRAKHMA SOFIHIDAYATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RINGKASAN

TRIRAKHMA SOFIHIDAYATI. Isolasi dan Penapisan Kapang Penghasil

β-Glukosidase dan Karakterisasi Enzim yang Dihasilkan. Dibimbing oleh: I MADE ARTIKA dan TRESNAWATI S. PURWADARIA.

Tumbuh-tumbuhan menghasilkan karbohidrat dalam bentuk pati dan lignoselulosa. Selulosa tidak bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi oleh ternak unggas karena hewan tersebut tidak memiliki mikroorganisme rumen yang mampu mencerna selulosa. Beberapa cara pengolahan limbah dilakukan dengan menggunakan bantuan mikrob yang dapat menghasilkan enzim selulolitik. Selain kapang, enzim selulase juga dihasilkan oleh siput dan rayap. Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi kapang yang dapat menghasilkan enzim β-glukosidase, memproduksi dan

mengkarakterisasi enzim. Sebanyak 22 isolat yang menunjukkan aktivitas β-glukosidase dengan menghasilkan daerah hitam pada medium yang mengandung

eskulin, berhasil diisolasi. Kapang yang menghasilkan aktivitas β-glukosidase tertinggi (RM 3D) diidentifikasi sebagai Aspergillus foetidus (Naka.) Thom dan Raper.

(3)

ABSTRACT

TRIRAKHMA SOFIHIDAYATI. Isolation and Screening β-glucosidase-producing fungi and Characterization the enzyme. Under the direction of: I MADE ARTIKA and TRESNAWATI S. PURWADARIA.

Plants are producing carbohydrate in the form of polysacharide and lignocellulose. Cellulose can not be used as a energy sources by poultry, because they do not have rumen microorganism having capability to digest cellulose. Several methods employed in waste management are using cellulolytic-producing microbacteria. Cellulolytic enzyme is produced by fungi, snails and termites. The purpose of this research is to isolate β-glucosidase- producing fungi and characterize the enzyme. Beta-glucosidase activity is indicated by the presence of black zone on medium containing esculin. The fungi having high level β-glucosidase (RM 3D) activity identified as Aspergillus foetidus (Naka.) Thom and Raper.

Beta-glucosidase enzyme production from Aspergillus foetidus (Naka.) (RM 3D) on the medium containing 3% wheat pollard, at room temperature and with incubation periode of 6 days showed activity at 3.56 U/ml. The optimum activity level of β-glucosidase was reached at pH 5.0 and temperature 60 ºC. The stable condition for

the β-glucosidaseis was observed in pH 4.2 – 5.0. The enzyme was relatively stable at 28 and 40 ºC, but very unstable at 80 ºC. The activity of β-glucosidase increased by addition of cations Mg2+, Ba2+, Ca2+, Mn2+, Co2+ and EDTA at concentration of 1 mM, and by EDTA and Fe3+ at concentration of 5 mM. On the other hand, the activity

decreased when 1 mM and 5 mM cations of Cu2+ and Zn2+ were added. The activity of

β-glucosidase increased two fold after precipitated by organic solvent acetone at 80%, but the protein level decreased 64%. Analysis on SDS-PAGE of the enzyme generated 4 protein band appeared at molecular weight of 134.9, 104.7, 87.1 and 41.7 kDa respectively. Zymografi analysis confirmed that the β-glucosidase Aspergillus foetidus

(4)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul:

ISOLASI DAN PENAPISAN KAPANG PENGHASIL β-GLUKOSIDASE DAN KARAKTERISASI ENZIM YANG DIHASILKAN

Adalah benar merupakan hasil penelitian saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya

Bogor, Maret 2007

(5)

ISOLASI DAN PENAPISAN KAPANG PENGHASIL

β

-GLUKOSIDASE DAN KARAKTERISASI

ENZIM YANG DIHASILKAN

TRIRAKHMA SOFIHIDAYATI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Biokimia

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Tesis : Isolasi dan Penapisan Kapang Penghasil β-Glukosidase dan Karakterisasi Enzim yang dihasilkan

Nama : Trirakhma Sofihidayati

NRP : G451030031

Program Studi : Biokimia

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. I Made Artika, M. App. Sc Dr. Ir. Tresnawati S. Purwadaria

Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi Biokimia Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 4 September 1963 sebagai anak ketiga dari empat bersaudara dari Bapak H. Sundjoto Ariyosuhendro dan Ibu almarhumah Hj. Siti Arifah. Tahun 1990 penulis menikah dengan Erwanto dan mempunyai seorang anak, Anisa Fatiha Qodriyani (1999)

(8)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan bagi Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat terselesaikan.

Tesis yang berjudul “Isolasi dan Penapisan Kapang Penghasil β-Glukosidase dan Karakterisasi Enzim yang Dihasilkan” disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan dari bulan Juli 2005 sampai dengan Agustus 2006 di Laboratorium Pakan, Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang

setinggi-tingginya kepada Bapak Dr. Ir. I Made Artika, M. App. Sc. dan Ibu Dr. Ir. Tresnawati S. Purwadaria selaku pembimbing atas arahan, bimbingan,

perhatian dan kesabarannya yang telah diberikan dalam penelitian dan penulisan tesis. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Kepala Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor atas izin dan segala fasilitas yang diberikan kepada penulis selama melakukan penelitian. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada Pak Helmi, Ibu Emi, Pak Tyas, Ibu Ema, Ibu Tuti, Ibu Susan, Nila, Eka, dan semua pegawai Laboratorium Pakan dan Analitik Balitnak Ciawi Bogor atas bantuan dan pengorbanan waktunya. Demikian

pula kepada Pak Arya di Biokimia, Ibu Emmi di Mikologi dan Anggia di Bioteknologi yang rela dan siap membantu untuk menyelesaikan penelitian.

(9)

Semoga Allah SWT yang Maha Pemurah membalas semua kebaikan yang diberikan dengan balasan yang lebih sempurna.

Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih banyak kekurangannya, namun demikian semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi penelitian selanjutnya.

Bogor, Maret 2007

(10)

Halaman

DAFTAR TABEL ... .... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Manfaat Penelitian... 4

Hipotesis ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Selulosa dan Enzim Selulase ... 5

Mekanisme Penguraian Selulosa ... 9

Enzim β-glukosidase ... 10

Pemekatan dan Pemisahan Enzim... 12

Pemanfaatan Kapang ... 16

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian... 18

Bahan dan Alat ... 18

Metode Penelitian ... 18

Isolasi Kapang Selulolitik ... 18

Penapisan Kapang Penghasil β-glukosidase... 19

Pembuatan Polard NaOH ... 19

Produksi Enzim ... 19

Penentuan Aktivitas Enzim ... 20

Penentuan Aktivitas Total Selulase ... 20

Penentuan Aktivitas β-glukosidase ... 20

Penentuan Kadar Protein dan Aktivitas Spesifik.... 21

Karakterisasi Enzim β-glukosidase ... 22

Penentuan pH dan Suhu Optimum Enzim ... 22

Penentuan pH dan Suhu Stabilitas enzim ... 22

Pengendapan Protein dengan Aseton ... 22

Pengaruh EDTA dan Ion logam terhadap Aktivitas Enzim... ... 22

Penentuan Berat Molekul Enzim dengan Teknik Zimografi... 23

Pembuatan Gel Poliakrilamida SDS-PAGE ….…. 23 Preparasi Sampel Protein ….……….……. 23

(11)

x

Pewarnaan Protein ……… 24

Analisis Zimografi SDS-PAGE ... 25

Identifikasi Isolat Kapang ……….………… 25

HASIL DAN PEMBAHASAN Penapisan Kapang Secara Semi Kuantitatif ... 26

Identifikasi Isolat Kapang RM 3D... 30

Karakterisasi Enzim β-glukosidase ... 31

Pengaruh pH Dan Suhu Terhadap Aktivitas ... 31

Pengaruh pH Dan Suhu Terhadap Stabilitas …………... 34

Pengaruh Penambahan Aseton Terhadap Perolehan Kembali Protein dan Aktivitas Spesifik... 37

Pengaruh EDTA dan Kation... 38

Penentuan Bobot Molekul ... 40

SIMPULAN DAN SARAN ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 44

(12)

xi

Halaman

1 Hidrolisis berbagai substrat oleh enzim selulolitik……… 8

2 Metode pemurnian untuk mengisolasi β-glukosidase dari komponen

selulase... 14

3 Produk metabolit yang dihasilkan kapang... 17

(13)

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Struktur selulosa. ... 5

2 Struktur molekul selulosa ... 6

3 Mekanisme hidrolisis selulosa oleh kompleks selulase... 9

4 Model regulasi biosintesis selulase ... 11

5 Pemotongan eskulin oleh adanya aktivitas enzim β-glukosidase... 15

6 Beberapa isolat hasil isolasi. ... 28

7 Kurva produksi enzim Fpase isolat kapang... 29

8 Kurva produksi enzim β-glukosidase isolat kapang... 30

9 Isolat kapang Aspergillus foetidus (Naka.) (RM 3D)... 31

10 Aktivitas β-glukosidase terhadap variasi pH... 32

11 Aktivitas β-glukosidase terhadap variasi suhu... 33

12 Stabilitas β-glukosidase terhadap variasi pH... 35

13 Stabilitas β-glukosidase pada suhu 28 ºC ... 36

14 Stabilitas β-glukosidase pada suhu 40 ºC ……….. 36

15 Stabilitas β-glukosidase pada suhu 80 ºC ... 37

16 Pengaruh Aseton Terhadap β-glukosidase... 38

17 Pengaruh EDTA dan Kation terhadap aktivitas β-glukosidase... 39

(14)

xiii

Halaman

1 Diagram alir Penelitian……….. 51

2 Pembentukan daerah hitam Aspergillus foetidus (Naka.) (RM 3D) pada media agar Dubos... 52

3 Komposisi penambahan pelarut organik………... 53

4 Komposisi media dan pereaksi dalam 1 L larutan ……… 54

5 Standar Bobot molekul. ……….. 56

6 Kurva standar nitrofenol dalam bufer asetat pada T 50º C ……... 57

7 Kurva standar nitrofenol dalam bufer asetat pada pH 5.0………. 58

8 Kurva standard glukosa untuk penentuan aktivitas FPase pada T 50º C……… 59

9 Kurva standar protein ………... 60

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi mahluk hidup. Karbohidrat

terdiri dari kelompok monosakarida, disakarida dan polisakarida. Tumbuh-tumbuhan

adalah penghasil karbohidrat terbesar, yaitu polisakarida dalam bentuk pati dan

lignoselulosa (selulosa, hemiselulosa dan lignin). Komponen-komponen tersebut

dihasilkan dari proses fotosintesis (Lea dan Leegood 1994). Selulosa belum banyak

dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk ternak unggas karena sulit dicerna. Untuk

ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, domba dan yang lainnya, selulosa dapat dicerna

karena kelompok hewan tersebut memiliki mikroorganisme rumen yang mampu

mencerna selulosa.

Hewan nonruminansia seperti unggas merupakan komoditi yang paling banyak

diproduksi dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Karena itu ketersediaan pakan untuk

unggas harus dapat dipenuhi dengan baik (Butarbutar 2001). Pakan unggas yang umum

digunakan adalah jagung yang bertindak sebagai sumber energi, sedangkan bungkil

kedelai dan tepung ikan sebagai sumber protein (Anonimus 1995).

Perkembangan peternakan di Indonesia menuntut adanya pakan yang murah,

berkualitas, tersedia dalam jumlah yang cukup serta tidak bersaing dengan manusia.

Murtidjo (1992) melaporkan bahwa biaya ransum dalam usaha peternakan ayam

mencapai 60-70% dari total biaya produksi. Berbagai limbah pertanian dan industri

seperti polard (dedak gandum) dan dedak padi, berpotensi sebagai pakan ternak

alternatif untuk menggantikan pakan yang masih diimport. Limbah pertanian ini

meskipun tersedia dalam jumlah yang cukup memadai dengan harga yang lebih murah,

tetapi masih sangat terbatas dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Selain mengandung

protein, limbah tersebut mengandung kadar serat yang cukup tinggi sehingga sulit

dicerna. Polard mengandung kadar serat sekitar 30-35%, dedak padi 62% (Juliono

1996) dan serat sabut sawit 40% (Aritonang 1986). Tingginya kadar serat ini

disebabkan oleh tingginya kadar selulosa, yang merupakan komponen utama penyusun

(16)

mendegradasi selulosa dengan cara atau teknologi yang dapat meningkatkan nilai

nutrisi dan kecernaan limbah tersebut.

Beberapa cara pengolahan limbah yang sudah dikenal antara lain pengolahan

fisik, kimia, dan biologi (Judoamidjojo et al. 1989). Cara-cara pengolahan ini

diharapkan dapat memecah ikatan selulosa menjadi gula sederhana yang akhirnya dapat

dengan mudah dimanfaatkan oleh ternak sebagai sumber energi. Pengolahan secara

biologi (biofermentasi) dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan mikrob yang

dapat menghasilkan enzim selulolitik, misalnya kapang. Kapang Aspergillus niger dan

Rhizopus oligosporus misalnya, diketahui mampu menghasilkan beberapa jenis enzim,

antara lain enzim selulase, amilase, laktase dan protease (Landecker 1996). Bahkan

R. oligosporus juga dapat menghasilkan vitamin B12 dan mineral yang diperlukan oleh

ternak. Dalam lingkungan yang banyak mengandung selulosa, kapang mampu

menghasilkan enzim selulase yang dapat memecah ikatan β-1,4 glikosida pada selulosa

menjadi monomer-monomer yang lebih sederhana, seperti glukosa. Enzim selulase juga

dihasilkan oleh mikroorganisme lain seperti siput dan rayap. Ekstrak rayap

mengandung selulase (endoglukanase dan β-glukosidase) (Purwadaria et al. 2003c) dari

epitel usus dan kelenjar ludahnya (Brune 1998). Aktivitas endoglukanase endogen pada

Reticulitermes spp. diketahui banyak terdapat di kelenjar ludahnya, sedangkan aktivitas

eksoglukanase dan β-glukosidase pada Coptotermes formosanus, masing-masing

ditemukan 75% di usus tengah dan 24% di usus belakangnya (Itakura et al. 1997;

Asada et al. 1998). Aktivitas enzim selulase juga ditemukan pada sarang rayap yang

dihasilkan oleh aktivitas jamur termasuk kapang (Sand 1970). Nurbayti (2002) telah

berhasil memproduksi enzim selulase dari kapang Penicillium nalgiovense Laxa yang

diisolasi dari sarang rayap.

Sebagai negara tropis, Indonesia mempunyai keragaman hayati berupa

mikroorganisme yang tersebar dalam berbagai media, baik tanah, air, ataupun dalam

bahan pangan. Berbagai jenis kapang dapat diperoleh melalui cara isolasi. Teknik

isolasi dilakukan untuk mendapatkan biakan murni yang terdiri dari satu jenis

mikroorganisme. Jenis kapang yang dapat digunakan sebagai mikrob penghasil enzim

selulolitik pada dasarnya harus sama dengan mikrob yang terdapat dalam bahan pangan

manusia, sehingga tidak membahayakan jika dikonsumsi oleh ternak. Jenis enzim yang

(17)

3

Hidayat (2002) memanfaatkan enzim selulase untuk mendegradasi selulosa yang

terdapat pada jerami padi. Bungkil kelapa yang mengandung manan merupakan

substrat yang baik untuk memproduksi enzim mananase (Yunaeni 1998; Purwadaria

et al. 2003b). Kemampuan dan kecepatan mikrob tersebut dalam menghidrolisis

senyawa polimer menjadi senyawa monomer dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya

kadar substrat, pH, suhu dan waktu inkubasi.

Beberapa enzim yang terlibat dalam proses degradasi selulosa adalah

endoglukanase, eksoglukanase, dan β-glukosidase. Dalam mendegradasi selulosa,

enzim endoglukanase dan eksoglukanase menghasilkan selobiosa yang akhirnya dapat

menghambat aktivitas kerja enzim itu sendiri. Beta-glukosidase berperan sebagai

penghidrolisis selobiosa menjadi senyawa yang lebih sederhana, yaitu glukosa, yang

dapat segera dimanfaatkan oleh makhluk hidup, dalam hal ini ternak unggas.

Proses biofermentasi mempunyai banyak keuntungan dibandingkan pengolahan

cara fisik dan kimia. Selain aman dan sederhana, biofermentasi juga memungkinkan

terjadinya peningkatan nilai nutrisi pada limbah pertanian dan industri. Namun

penggunaan enzim komersial untuk proses enzimatik pada limbah pertanian dan

industri tidak ekonomis, karena harganya yang mahal. Karena itu, perlu adanya

teknologi yang dapat meningkatkan daya cerna limbah pertanian tersebut dengan biaya

yang lebih murah. Produksi suatu enzim dapat ditingkatkan dengan penemuan strain

baru yang lebih berpotensi atau dapat juga melalui induksi strain mutan agar dapat

menghasilkan enzim yang diharapkan dengan jumlah yang lebih besar. Besarnya

manfaat kapang dan pentingnya peran enzim dalam mengkatalisis suatu reaksi,

memberi pemikiran bagi penulis untuk melakukan penelitian tentang enzim

β-glukosidase yang dihasilkan oleh kapang dari lingkungan rayap.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengisolasi kapang dari lingkungan rayap yang mampu menghasilkan

enzim β-glukosidase

2. Memproduksi enzim β-glukosidase

(18)

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tentang karakter enzim

β-glukosidase agar mampu menghasilkan aktivitas yang optimal apabila digunakan

dalam campuran pakan.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa dalam lingkungan

sarang rayap terdapat kapang yang mampu menghasilkan enzim β-glukosidase dengan

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Selulosa dan Enzim Selulase

Selulosa merupakan komponen terbesar lignoselulosa tanaman. Selulosa berupa

polimer glukosa yang berikatan melalui ikatan β,1-4-glikosida (Gambar 1) (Landecker

1996; Alberts et al. 2000). Pada tumbuhan tingkat tinggi, selulosa merupakan

makromolekul organik dan merupakan materi penyusun dinding sel yang terdiri dari

fibril-fibril yang terikat secara kuat satu dengan lainnya secara pararel. Di dalam serat,

selulosa membentuk bagian kristal dengan susunan fibril yang sangat teratur, yang

disebut dengan mikrofibril, dan bagian yang kurang teratur yang disebut dengan bagian

amorf (Lea dan Leegood 1994).

A

Daerah kristal Daerah amorf

B

Gambar 1. Struktur selulosa. (A) Ikatan β-1,4-glikosida (B) Struktur fibril yang

membentuk selulosa kristal dan amorf (Enari 1983; Beguin dan Aubert 1994).

Bagian selulosa kristal sulit untuk dirombak karena tersusun atas mikrofibril

yang saling terikat erat satu sama lain. Antara mikrofibril dihubungkan oleh ikatan

hidrogen intermolekul sehingga selulosa sukar larut dalam air. Bagian amorf selulosa

relatif lebih mudah ditembus air. Sebagian besar selulosa mengandung 15% bagian

amorf dan 85% bagian kristal. Selulosa dapat dihidrolisis menjadi monosakarida atau

oligosakarida dengan menggunakan cara kimiawi maupun cara biologi. Hidrolisis

dengan cara kimiawi, dilakukan dengan menggunakan asam atau basa, sedangkan

(20)

hidrolisis secara biologi, disebut juga dengan cara enzimatik, dapat dilakukan dengan

menggunakan enzim selulase murni atau dengan mikroorganisme penghasil enzim

selulase (Hardjo et al. 1989).

Selulosa merupakan polimer yang terdiri dari 100-14.000 unit glukosa yang

berikatan melalui ikatan β,1-4-glikosida. Ikatan β ini menimbulkan rantai lurus

panjang yang membentuk serat dengan daya rentang tinggi (Alberts etal. 2000; Stryer

2000). Serat-serat selulosa pada tanaman terikat pada matrik protein dan senyawa

polisakarida lainnya. Matrik ini disusun oleh dua molekul polisakarida, yaitu

hemiselulosa dan pektin, yang komposisi keduanya berbeda antara spesies satu dengan

spesies lainnya. Serat dan molekul matriks tersebut dihubungkan oleh ikatan hidrogen

yang membentuk ikatan intermolekul dan intramolekul. Ikatan intermolekul terjadi

antara gugus OH dari atom C nomor enam dengan atom O pada ikatan β,1-4-glikosida.

Ikatan intramolekul terjadi antara gugus OH pada atom C nomor tiga dengan atom O

pada cincin piranosa (Lea dan Leegood 1994) (Gambar 2).

Gambar 2. Struktur molekul selulosa (Alberts et al. 2000)

Enzim selulase adalah kelompok enzim hidrolitik yang mempunyai kemampuan

menghidrolisis selulosa menjadi glukosa. Glukosa yang dihasilkan selanjutnya dapat

dimanfaatkan sebagai bahan makanan oleh manusia atau hewan, atau dapat juga

digunakan untuk memproduksi bahan-bahan kimiawi. Simanjuntak (1998) telah

membuktikan bahwa penggunaan kapang A. niger untuk memfermentasi bungkil inti

(21)

7

sawit dapat meningkatkan energi metabolisme. Suatu enzim bekerja secara spesifik,

dan dapat mempercepat reaksi dengan menurunkan energi aktivasi suatu reaksi kimia

(Lehninger 2000; Stryer 2000).

Enzim selulase adalah enzim yang dapat memutuskan ikatan glikosida β-1,4 di

dalam selulosa, selodekstrin, selobiosa dan turunan selulosa lainnya, dan

menguraikannya menjadi glukosa (Fogarty dan Kelly 1982; Landecker 1996). Enzim

selulase merupakan enzim induksi yang dihasilkan sebagai tanggapan terhadap selulosa

yang ada di lingkungan pertumbuhan organisme penghasilnya. Aktivitas enzim selulase

merupakan hasil kerja tiga tipe enzim yang saling berkaitan dari kompleks enzim

selulase, yaitu (i) endoglukanase, (ii) eksoglukanase, (iii) dan β-glukosidase (Whitaker

1994).

Endoglukanase [1,4 (1,3;1,4)-β-D-glukan 4-glukanohidrolase; EC 3.2.1.4]

menghidrolisis ikatan β-glikosida pada selulosa secara acak menghasilkan glukosa,

selobiosa, selodekstrin dan oligomer lainnya (Hoshino et al. 1994). Pada umumnya

enzim ini bekerja pada selulosa amorf dan selulosa tersubstitusi yang mudah larut

seperti carboxy methyl cellulose (CMC) (Tabel 1) dan hidroksietil selulosa, dan tidak

aktif pada selulosa kristal seperti katun dan avisel (suatu selulosa mikrokristalin)

(Whitaker 1994). Karena endoglukanase memiliki aktivitas yang sangat tinggi pada

substrat CMC (Hoshino et al. 1994) enzim ini disebut sebagai CMCase (Gong dan Tsao

1979). Tetapi Cai et al. (1999) menemukan aktivitas endoglukanase pada Volvariella

volvacea yang tinggi justru pada avisel, bukan pada CMC.

Eksoglukanase (sellobiohidrolase atau 1,4-β-D-glukan sellobiohidrolase; EC

3.2.1.91) merupakan komponen selulase yang memecah selulosa kristal dengan

menghilangkan gugus selobiosa pada ujung akhir nonreduksi rantai selulosa (Hoshino

et al. 1994). Endoglukanase dan selobiohidrolase dapat bekerja secara sinergis

menghidrolisis selulosa dengan optimum (Purwadaria 1997). Selobiohidrolase

menunjukkan aktivitas yang tinggi pada avisel, yang dapat mencapai 40%, tetapi

menunjukkan aktivitas yang rendah pada selulosa amorf seperti CMC. Karena

aktivitasnya yang tinggi pada avisel, eksoglukanase dikenal juga sebagai aviselase

(22)

Tabel 1. Hidrolisis berbagai substrat oleh enzim selulolitik (Enari 1983)

Beta-glukosidase (sellobiase atau β-D-glukosida glukohidrolase, EC 3.2.1.21)

merupakan enzim yang menghidrolisis selobiosa dan selooligomer menjadi glukosa,

dan menghilangkan glukosa dari ujung akhir nonreduksi rantai selodekstrin yang

pendek (Whitaker 1994). Eksoglukohidrolase dan β-glukosidase umumnya terdapat

pada substrat yang mengandung selobiosa (dua unit glukosa), hingga seloheksaosa

(enam unit glukosa). Kedua enzim tersebut dapat dibedakan berdasarkan aktivitasnya

terhadap selobiosa dan seloheksaosa. β-glukosidase lebih cepat menghidrolisis

selobiosa daripada seloheksaosa, sementara eksoglukohidrolase bertindak sebaliknya.

Enzim β-glukosidase sangat berperan sebagai penghidrolisis selobiosa, yang menjadi

penghambat aktivitas eksoglukanase dan endoglukanase (Takano 1992; Whitaker

1994).

Enzim selulase dan hemiselulase merupakan dua jenis enzim yang dihasilkan

oleh sebagian besar kapang. Enzim selulase yang dihasilkan oleh kapang genus

Trichoderma sebagian besar merupakan enzim selobiohidrolase (Kim et al. 1994;

Jorgensen et al. 2003), sedangkan enzim selulase yang berasal dari genus Aspergillus,

komponen terbesarnya adalah enzim β-glukosidase (Kader dan Omar 1998; Juhăsz

et al. 2003; Purwadaria et al. 2003a). Aktivitas sinergis dari beberapa spesies dapat

menghasilkan degradasi selulosa dan hemiselulosa secara optimum. Campuran 20%

volume enzim yang berasal dari Eupinicillium javanicum (tinggi aktivitas CMCase,

β-D-mannanase dan α-D-galaktosidase) dan 80% volume enzim A. niger (tinggi

aktivitas β-glukosidase, β-D-mannosidase) dapat meningkatkan gula pereduksi pada

POME (Palm Oil Mill Effluent) sampai 55% (Purwadaria et al. 2003a). Limbah kertas

(23)

9

menghasilkan aktivitas β-glukosidase tertinggi (3.07 IU/ml) setelah 7 hari inkubasi

(Juhăsz et al. 2003).

Mekanisme Penguraian Selulosa

Dalam hidrolisis selulosa terdapat tiga komponen enzim yang terlibat, yaitu

endoglukanase, selobiohidrolase, dan β-glukosidase (Gambar 3). Penguraian selulosa

dimulai pada daerah amorf oleh endoglukanase secara acak sehingga membentuk rantai

yang terbuka bagi aktivitas selobiohidrolase. Aktivitas selibiohidrolase membebaskan

unit selobiosa dan selodektrin dari ujung rantai selulosa. Endoglukanase selanjutnya

menyerang pada lapisan kedua dari serat selulosa dan diikuti oleh aktivitas

selobiohidrolase. Akhirnya selobiosa dan selooligosakarida yang terbentuk dihidrolisis

oleh enzim β-glukosidase membentuk glukosa.

n

Selobiosa dan glukosa

selooligosakarida

Gambar 3. Mekanisme hidrolisis selulosa oleh kompleks selulase (Enari 1983)

EG atau CBH

Selobiohidrolase (CBH) Endoglukanase (EG)

β-Glukosidase

(24)

Regulasi biosintesis selulase terjadi karena selobiosa dalam jumlah kecil pada

substrat selulosa dan merupakan hasil hidrolisis dari selulase masuk ke dalam sel

melalui sistem transport aktif (Gambar 4). Sebagian selobiosa yang masuk ini akan

dihidrolisis menjadi glukosa oleh enzim β-glukosidase konstitutif. Selobiosa

intraseluler kemudian menjadi induser aktif yang bereaksi dengan protein represor,

sehingga mengakibatkan protein represor menjadi tidak aktif. Akibatnya terjadi induksi,

yang kemudian diikuti dengan proses transkripsi dan translasi enzim selulase. Selulase

yang disintesis didalam sel kemudian dikeluarkan melintasi membran melalui

mekanisme pelepasan yang spesifik. Selulase ekstraseluler ini menghidrolisis selulosa

menjadi selobiosa dan glukosa ekstraseluler. Selobiosa dan glukosa masuk kedalam sel

dan terlibat dalam proses induksi dan represi. Selobiosa yang tinggi memicu aktivitas

dan sintesis enzim β-glukosidase, tetapi kadar glukosa intraseluler yang tinggi dapat

mempengaruhi sintesis selulase melalui mekanisme represi katabolit dan juga

menghambat aktivitas β-glukosidase intraseluler. Akumulasi glukosa di dalam sel

memicu aktivitas enzim glukosa oksidase, yang akan mengoksidasi glukosa menjadi

asam glukonat dan glukonolakton. Glukonolakton dapat menghambat aktivitas

β-glukosidase (Gong dan Tsao 1979; Landecker 1996).

Enzim β-glukosidase

Enzim β-glukosidase menghidrolisis dengan cepat substrat dengan bobot

molekul (BM) yang kecil. Berdasarkan substrat yang dihidrolisis, enzim β-glukosidase

dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu selobiase, aril-β-glukosidase, dan ekso-β−1,4

-glukan glukohidrolase. Selobiase menghidrolisis selobiosa. Aril-β-glukosidase

menghidrolisis p-nitrophenilglukosida (pNPG), dan ekso-β−1,4-glukan glukohidrolase

menghidrolisis selooligomer (Gong dan Tsao 1979). Selain aktif pada substrat yang

mengandung berbagai p-nitrofenilglukosida, enzim β-glukosidase diketahui juga

menghidrolisis ikatan β-D-galaktosida, β-D-fukosida dan α-L-arabinosida pada

Rhodoturulaminuta(Onishi dan Tanaka 1996; Li et al. 2001).

Enzim β-glukosidase pada Aspergillus merupakan enzim konstitutif intraseluler.

Enzim konstitutif yaitu enzim yang dapat diproduksi tanpa adanya suatu induser.

(25)

11

Transkripsi dan Translasi

(Gong dan Tsao 1979; Stryer 2000). Aktivitas enzim β-glukosidase dapat diinduksi

secara optimum oleh substrat yang mengandung campuran filter paper dan pati

(Landecker 1996), tetapi dihambat oleh glukosa, secara kuat oleh D-δ-glukonolakton

(Chen et al. 1998; Svasti et al, 1999; Stryer 2000, Parry et al. 2001) dan oleh adanya

Gambar 4. Model regulasi biosintesis selulase (Gong & Tsao 1979) +

(26)

Sebaliknya aktivitas enzim β-glukosidase pada daun cassava ternyata tidak nampak

dihambat oleh gula ataupun monosakarida lain seperti galaktosa dan fruktosa (Yeoh

dan Woo 1992). Bahkan Kumalasari (2003) mendapatkan aktivitas enzim

β-glukosidase yang meningkat 2 kali lipat dengan adanya penambahan glukosa 250

ppm. Sementara aktivitas β-glukosidase yang meningkat pada buah tomat diperkirakan

sebagai respon adanya infeksi jamur patogen (Georgieva et al. 2004).

Seperti halnya enzim yang lain, aktivitas enzim β-glukosidase diantaranya

dipengaruhi oleh pH, suhu, konsentrasi substrat, konsentrasi enzim dan waktu inkubasi.

Suhu dapat meningkatkan aktivitas enzim hingga dua kali lipat setiap kenaikan suhu

10 ºC sampai mencapai suhu optimum, setelah itu pada suhu ekstrim protein enzim

akan mengalami denaturasi hingga enzim menjadi tidak aktif lagi. Begitu pula halnya

dengan pH, pada pH optimum aktivitas enzim mencapai maksimum, tetapi di luar pH

optimum aktivitasnya akan menurun. Suhu optimum suatu enzim berbeda antara

spesies satu dengan spesies lainnya. Sebagian besar enzim mempunyai pH optimum

4 - 8. Untuk kapang pH optimum pada umumnya berada dibawah 7 (Landecker 1996).

Konsentrasi substrat dan banyaknya enzim serta waktu inkubasi yang semakin

bertambah akan meningkatkan aktivitas enzim sampai tingkat tertentu, kemudian

setelah itu aktivitasnya akan tetap (Murray et al. 2000). Enzim β-glukosidase

mempunyai suhu optimum 50 ºC (Asada 1999; Purwadaria et al. 2003a) dan pH

optimum 5.0 (Asada 1999), sedangkan suhu optimum untuk mikroorganisme termofilik

antara 45 – 65 ºC (Lin et al.1999). Desrochers et al.(1981) menyatakan bahwa pH

optimum untuk β-glukosidase dari S. commune adalah 5.3 dan suhu optimum pada

30 ºC. Enzim β-glukosidase yang diekstraksi dari rayap (Glyptotermes montanus)

mempunyai pH optimum 5.8, dan suhu optimum 42 – 45 ºC (Purwadaria et al. 2003c).

Pada daun cassava β-glukosidase mempunyai pH optimum 4.7 - 4.9 (Yeoh dan Woo

1992). Aktivitas enzim β-glukosidase dari A. niger dan R. minuta IFO879

masing-masing stabil selama 230 hari pada suhu 4 ºC (Yan dan Liau 1998).

Pemekatan dan Pemisahan Enzim

Pemekatan protein merupakan tahap awal dari prosedur pemurnian enzim.

(27)

13

pelarut organik seperti alkohol atau aseton. Pengendapan protein dengan menggunakan

pelarut organik berdasarkan pada pengurangan kelarutan protein dan konstanta

dielektrika pelarut. Semakin banyak pelarut organik yang ditambahkan, semakin

berkurang daya solvasi air dan muatan pada permukaan molekul protein yang hidrofilik

dan molekul-molekul pelarut organik akan mendekati daerah hidrofobik disekitar

permukaan protein. Hal ini akan menurunkan kelarutan dan menyebabkan

molekul-molekul protein berinteraksi satu dengan lainnya, dan akhirnya akan terjadi

pengendapan. Prosedur pengendapan dengan menggunakan pelarut organik dilakukan

pada suhu rendah. Pada suhu diatas 10 ºC, konformasi protein akan mengalami

perubahan sehingga molekul-molekul pelarut organik dapat masuk ke bagian dalam

struktur protein dan merusak interaksi hidrofobik, akibatnya protein akan mengalami

denaturasi (Scopes 1987, Harris 1989).

Teknik pemisahan β-glukosidase dari kompleks selulase dilakukan sama seperti

pemurnian protein yang lainnya. Beberapa contoh metode pemurnian yang digunakan

untuk mengisolasi β-glukosidase terdapat pada Tabel 2. Berat molekul (BM) enzim

β-glukosidase dapat ditentukan dengan menggunakan metode pemisahan elektroforesis.

Elektroforesis menggunakan gel poliakrilamid ditambah dengan adanya deterjen

anionik, SDS, digunakan untuk memisahkan protein menjadi subunit-subunit protein

dan menentukan masing-masing berat molekulnya. SDS-PAGE dengan sistim

diskontinu dari Laemmli (1970) digunakan untuk menentukan homogenitas dan BM

selulase. Larutan contoh yang mempunyai aktivitas enzim β-glukosidase selanjutnya

dapat dideteksi dengan menggunakan analisis zimografi. Analisis zimografi yang

digunakan untuk mengidentifikasi pita-pita protein pada gel poliakrilamid dapat

dilakukan melalui tiga cara (Purwadaria 1988), yaitu :

1. Analisis Zimografi dengan metode elusi

Metode ini digunakan bila substrat tidak larut. Pita-pita protein dipisahkan

dengan memotong gel menjadi strip-strip. Penentuan aktivitas enzim dilakukan

dengan mengelusi enzim dari pita.

2. Analisis Zimografi dengan aktivitas pewarnaan

Metode aktivitas pewarnaan menunjukkan lokasi pita protein yang mempunyai

(28)

Tabel 2. Metode pemurnian untuk mengisolasi β-glukosidase dari komponen selulase

Organisme Metode pemurnian Komponen Enzim

Schizophyllum commune Bio-Gel P200 β-glukosidase

(Desrochers et al. 1981) SDS-PAGE (BM 97 kDa)

Ruminococcus albus DEAE Bio-Gel A β-glukosidase hasil kloning

(Takano et al. 1992)

Pichia etchellsii PAGE β-glukosidase hasil kloning

(Pandey dan Mishra 1995) Analisis Zimogram (BM 200 kDa)

Rhodotorulaminuta IFO879 DEAE-Toyopearl β-glukosidase

(Onishi & Tanaka 1996) Butyl-Toyopearl (BM 144 kDa, dimer)

p-aminobenzyl 1-thio-

β-D-glukopiranosida

Thermoascus aurantiacus (NH4)2SO4 β-glukosidase

(Parry et al. 2001) Sephacryl 300 (BM 120 kDa, BM protein

SDS-PAGE Analisis Zimogram

(29)

15

poliakrilamid direaksikan dengan 4-metilumbelliferil β-D-glukosida (MUG)

setelah gel dicuci dengan bufer asetat pH 4 (Parry et al. 2001).

Metilumbelliferon yang dilepaskan akan berpendar oleh adanya sinar UV.

3. Analisis Zimografi dengan mencampurkan substrat dalam gel

Substrat p-NPG yang dicampurkan pada gel elektroforesis akan menghasilkan

pita berwarna kuning.

Identifikasi aktivitas enzim β-glukosidase secara semi kuantitatif dapat

dilakukan dengan menggunakan eskulin (6,7-dihidrocoumaric 6-glikosida) yang

ditambahkan pada medium pertumbuhan. Enzim β-glukosidase akan memotong eskulin

menjadi eskuletin (6,7-dihidroksi coumarin) yang akan membentuk senyawa kompleks

besi fenolat yang berwarna coklat atau hitam bila bereaksi dengan ion feri (Fe3+)

((James et al. 1997; Gratner 2006) (Gambar 5). Selain itu, komponen enzim

β-glukosidase dapat ditentukan aktivitasnya dengan mengukur pelepasan p-nitrofenol

(p-NP) dari hasil hidrolisis p-nitrofenil glukosida (p-NPG) (Lin et al. 1999). Satu unit

aktivitas enzim didefinisikan sebagai jumlah enzim yang dibutuhkan untuk

mengkatalisis pembentukan satu mikromol (10-6 mol) p-nitrofenol per menit pada

kondisi assay.

Gambar 5. Pemotongan eskulin oleh adanya aktivitas enzim β-glukosidase

(James et al. 1997; Gratner 2006)

Sumber Karbon

Eskuletin β-D-Glukosa

yg dikeluarkan

Kompleks Besi Fenolat

(30)

Pemanfaatan Kapang

Sel-sel mikrob merupakan pusat penghasil berbagai enzim. Produksi enzim dari

mikroorganisme mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya: lebih mudah

ditumbuhkan pada lingkungan yang terkontrol, cepat beregenerasi, mudah dilakukan

rekayasa genetika, dan siklus produksi yang singkat, bila dibandingkan dengan enzim

yang berasal dari tumbuhan maupun hewan (Landecker 1996). Beberapa jenis mikrob

dapat tumbuh pada substrat yang banyak mengandung selulosa dikarenakan

kemampuannya menghasilkan enzim yang dapat mendegradasi derivat selulosa dan

selulosa amorf. Organisme lain penghasil enzim selulase adalah rayap, yang mampu

hidup di lingkungan yang mengandung lignoselulosa seperti kayu lapuk, rumput

ataupun sampah tumbuhan pada berbagai kondisi. Kapang bersimbiosis dengan rayap

dalam mendegradasi selulosa yang terdapat pada kayu. Karena kemampuannya

menguraikan selulosa menjadi molekul glukosa yang relatif mudah memasuki dan

dimanfaatkan oleh sel, rayap berpotensi digunakan sebagai makanan tambahan untuk

ternak (Purwadaria et al. 2003c).

Kapang mempunyai aplikasi yang sangat luas sebagai media penelitian dalam

genetika, biokimia, dan penelitian nutrisi. Beberapa spesies kapang menghasilkan

produk metabolit yang bermanfaat secara komersial, dan menjadi pedoman untuk

mikologi industri, seperti kapang yang digunakan untuk menghasilkan enzim,

antibiotik, dan bermacam-macam asam organik (Tabel 3). Dalam upaya memperbaiki

mutu pakan, bantuan mikrob diperlukan dalam suatu proses fermentasi. Selain proses

fermentasi, keberhasilan teknik ini ditentukan oleh jenis mikrob yang digunakan.

Umumnya jenis mikrob yang digunakan adalah yang mempunyai aktivitas selulolitik

yang tinggi dalam mendegradasi selulosa dan derivatnya, dan mampu meningkatkan

(31)

17

Tabel 3. Produk metabolit yang dihasilkan oleh kapang (Landecker, 1996)

Produk metabolit Jenis kapang

Asam organik

Asam sitrat Asam glukonat Asam Itakonat

Enzim

Amilase, amiloglukosidase

Invertase Laktase

Enzim-enzim pektat

Protease Rennet

Antibiotik dan Obat-obatan

Agen antihiperkolesterol

Cephalosporin

A. niger, Botrytis cinerea, Penicillium notatum

Aspergillus spp. Mucor pusillus

Cryphonectria parasitica, Mucor spp.

Cephalosporium caerulens, P. citrinum, Monascus ruber

Acremonium chrisogenum Claviceps paspali

(32)

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Pakan, Balai Penelitian Ternak,

Departemen Pertanian, Ciawi, Bogor. Waktu yang dibutuhkan 13 bulan, dimulai pada

bulan Juli 2005 sampai Agustus 2006.

Bahan dan Alat

Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah polard dari

PT. Indofeed-Bogor, Sigmasel-20, kertas saring Whatman No.1, esculin

(6,7-dihydro-coumeric 6-glycoside), 4-metilumbelliferil β-D-glukosida (MUG), p-nitrofenil-β

-D-glukosida (p-NPG), aseton, coomassie brilliant blue (CBB), dinitrosalicylic acid

(DNS), potato dextrose agar (PDA), ekstrak khamir, bacto pepton, streptomisin,

NaN3

Alat

, D-glukosa, serum bovin albumin, HMW Marker Kit (Amersham Pharmacia

Biotech). Sumber isolat diperoleh dari kayu lapuk yang menjadi sarang rayap.

Alat-alat yang digunakan adalah pipetmikro, sentrifus berpendingin Beckman

GS-15R, sentrifus Clements Model B-Universal, autoklaf (TOMY SEIKO, Jepang),

Spektrofotometer U 2000 (Double wavelength Double Beam, Hitachi 557), pH meter

Horiba, Hoefer Macro Vue UV-20 transiluminator (Hoefer Scientific Inst, USA),

piranti elektroforesis Mini VE Hoefer (Amersham Pharmacia Biotech), kuvet, neraca

analitik Mettler P163 (ketelitian 1.0 mg) dan H 80 (ketelitian 0.1 mg), vorteks, ose,

rotaryshaker, blender, peralatan gelas, dan alat-alat lainnya.

Metode Penelitian Isolasi Kapang Selulolitik

Kapang diisolasi dari kayu lapuk yang menjadi sarang rayap. Mula-mula kapang

yang terdapat pada kayu dilarutkan dengan larutan 0.85% NaCl steril, kemudian

digoreskan pada medium Mandels (Lampiran 1) yang mengandung 1% bacto agar,

(33)

19

langsung yaitu menggoreskan kapang pada medium Mandels. Medium terdiri dari dua

lapisan, dimana lapisan atas mengandung Sigmasel-20 0.5% sebagai sumber karbon

dan streptomisin 100 ppm yang digunakan untuk mencegah pertumbuhan bakteri.

Kultur diinkubasi pada suhu ruangan dengan kondisi aerob. Isolat yang

menghasilkan selulase akan membentuk zona bening di sekitar koloni isolat. Isolat

kemudian dipindahkan pada medium PDA (Lampiran 4) untuk mendapatkan satu jenis

koloni yang murni. Tiap-tiap koloni dipisahkan dan disimpan pada medium agar miring

PDA. Tiga isolat pembanding koleksi Balitnak diremajakan pada medium agar miring

dan diinkubasi pada kondisi sama.

Penapisan Kapang Penghasil β-glukosidaseSecara Semi Kuantitatif

Penapisan dilakukan berdasarkan rasio (perbandingan) diameter daerah hitam

terhadap koloni pada medium Dubos (Lampiran 4) yang ditambah 0.02% ekstrak

khamir, 0.1% eskulin, dan 0.05% Fe-NH4

Isolat yang dipilih untuk memproduksi enzim β-glukosidase ditanam pada

media agar miring PDA dan diinkubasi selama 5 hari (Haryati etal. 1997). Kemudian

-sitrat. Kapang yang mempunyai aktivitas

enzim β-glukosidase akan memotong eskulin membentuk eskuletin yang bila bereaksi

dengan ion feri membentuk endapan yang berwarna hitam (Gratner 2006). Setelah

diinkubasi selama 4 hari, ratio antara diameter koloni dengan diameter zona hitam

diukur. Dari hasil pengamatan ini, dipilih beberapa isolat yang mempunyai aktivitas

β-glukosidase terbaik untuk digunakan sebagai penghasil enzim.

Pembuatan Polard NaOH

Kedalam 1 liter larutan NaOH 0.5% (b/v) ditambahkan sebanyak 50 gram

polard kering. Campuran dididihkan selama 60 menit dalam penangas air. Selama

pemanasan dilakukan pengadukan. Setelah didinginkan sampai suhu kamar, campuran

disaring dengan kain tipis dan dicuci dengan air sampai air perasan mempunyai pH

netral. Polard yang telah netral kemudian diletakkan merata dalam wadah dan

dikeringkan dengan blower pada suhu 40 °C selama 2 hari. Polard yang telah kering

digiling dengan blender.

(34)

spora disuspensikan dalam 5 ml larutan NaCl 0.85%. Sebanyak 2 ml inokulum

diinokulasikan pada 50 ml media Mandels yang mengandung 3% polard NaOH sebagai

sumber karbon, 0.3% ekstrak khamir, dan 0.075% bactopepton. Selanjutnya diinkubasi

pada suhu 30 °C dalam inkubator bergoyang dengan kecepatan 150 rpm selama 6 hari.

Masa inkubasi dihentikan dengan menambahkan 0.2% NaN3. Filtrat enzim dipisahkan

dengan sentrifugasi pada kecepatan 7000 rpm dengan suhu 4 °C selama 20 menit.

Untuk mengetahui aktivitas enzim, dilakukan pengujian pada hari ke 5, 6 dan 7.

Penentuan Aktivitas Enzim

a. Penentuan Aktivitas Total Selulase (Filter Paper-ase)

Aktivitas Filter Paper-ase (FPase) ditentukan berdasarkan metode Mandels etal.

(1976). Sebanyak 0.4 ml filtrat enzim ditambah larutan bufer asetat pH 5.5 sampai

volumenya 1.5 ml. Selanjutnya ditambahkan kertas saring Whatman No.1 (1 x 6 cm2

Aktivitas FPase (U/ml) = x fp 2 x ml enzim yang dipipet

fp = faktor pengenceran

b. Penentuan Aktivitas β-glukosidase

),

divorteks dan diinkubasi pada suhu 50 °C selama 60 menit. Reaksi dihentikan dengan

penambahan 3 ml pereaksi DNS (Lampiran 4) (Miller 1959), campuran kemudian

divorteks dan dipanaskan dalam air mendidih selama 15 menit, setelah pemanasan

selesai campuran ditambah 5 ml akuades. Filtrat enzim dengan perlakuan yang sama

tanpa inkubasi digunakan sebagai kontrol. Absorbansi diukur pada panjang gelombang

540 nm. Blanko terdiri dari 1.5 larutan buffer asetat, 3 ml larutan DNS dan 5 ml

akuades.

Kadar glukosa yang dihasilkan dihitung berdasarkan kurva standar dengan

konsentrasi glukosa 0.0 - 0.6 mg dari larutan induk 3 mg/ml. Produksi 2 mg/ml glukosa

pada kondisi percobaan setara dengan 0.185 unit FPase/ml (Mandels etal. 1976).

0.185 x (mg glukosa sampel - mg glukosa kontrol)

Aktivitas β-glukosidase ditentukan dengan mengukur pelepasan p-nitrofenol

(35)

21

p-NPG 0.3% (b/v) diprainkubasi selama 10 menit pada suhu 50 °C. Sampel terdiri

dari 0.5 ml filtrat enzim, 0.5 ml larutan bufer asetat pH 5.0, dan 0.5 ml p-NPG 0.3%

dimasukkan dalam tabung reaksi. Kontrol terdiri dari 0.5 ml larutan buffer dan 0.5 ml

p-NPG. Sampel dan kontrol divorteks dan diinkubasi pada suhu 50 °C selama 60 menit.

Selanjutnya ditambah 1 ml Na2CO3 1 M. Untuk kontrol penambahan 0.5 ml filtrat

enzim dilakukan setelah penambahan Na2CO3. Sebagai blanko digunakan 1 ml

akuades, 0.5 ml larutan buffer asetat pH 5.0 dan 1 ml Na2CO3. Absorban diukur pada

panjang gelombang 400 nm. Kadar p-nitrofenol yang dihasilkan ditentukan berdasarkan

kurva standar dengan konsentrasi nitrofenol 0 - 24 µg/ml dari larutan induk 30 µg/ml.

Bila filtrat enzim terlalu pekat, dilakukan pengenceran hingga mencapai kadar

nitrofenol standar. Satu unit aktivitas enzim didefinisikan sebagai jumlah enzim yang

dibutuhkan untuk mengkatalisis pembentukan satu mikromol (10-6

Aktivitas (U/ml) = x fp

ß-glukosidase Waktu inkubasi (menit) x BM nitrofenol (139 µg/µmol)

c. Penentuan Kadar Protein dan Aktivitas Spesifik

Penentuan kadar protein dilakukan berdasarkan metode Bradford (1976).

Sebanyak 0.2 ml filtrat enzim ditambahkan 5 ml pereaksi Bradford (analisis

semimakro) kemudian divortek. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 595 nm

setelah 2 menit dan sebelum 1 jam. Blanko menggunakan 0.2 ml akuades yang

direaksikan dengan 5 ml pereaksi Bradford. Kadar protein ditentukan dari kurva standar

larutan BSA pada kisaran 0.1 sampai 1.0 mg protein/ml. Perhitungan aktivitas spesifik

enzim β-glukosidase dapat ditentukan dengan:

1000 (µg/mg)

mol) p-nitrofenol

per-menit pada kondisi yang ditentukan.

[nitrofenol]sampel (µg/ml) - [nitrofenol]kontrol (µg/ml)

Aktivitas Spesifik (U/mg) = x Aktivitas enzim (U/ml)

(36)

Karakterisasi Enzim β-glukosidase a. Penentuan pH dan Suhu Optimum Enzim

Penentuan pH optimum dilakukan dengan menguji aktivitas enzim pada kisaran

pH 4.2, 4.6, 5.0, 5.4, 5.8 dan 6.2. Sedangkan penentuan suhu optimum dilakukan

dengan menguji aktivitas enzim pada variasi suhu 40, 50, 55, 60, 65, dan 70 ºC.

b. Penentuan pH dan Suhu Stabilitas enzim

Penentuan pH stabilitas dilakukan dengan menginkubasi enzim dalam bufer

asetat (pH 4.2, 4.6, 5.0, 5.4, 5.8, dan 6.2) pada suhu optimum selama 30 menit. Setelah

inkubasi berakhir, aktivitas enzim ditentukan pada kondisi pH optimum dan suhu

optimum.

Penentuan suhu stabilitas dilakukan dengan menginkubasi enzim dalam bufer

optimum pada variasi suhu 28, 40 dan 80 ºC. Pengambilan filtrat enzim untuk setiap

suhu masing-masing dilakukan setiap hari selama 4 hari, setiap 30 menit selama 180

menit dan setiap 30 detik selama 270 detik. Aktivitas enzim ditentukan pada kondisi pH

optimum dan suhu optimum.

c. Pengendapan Protein dengan Aseton

Pengendapan protein dengan aseton dilakukan pada kisaran 60 sampai 90%.

Aseton dingin ditambahkan sedikit demi sedikit sambil diaduk dengan stirer dan suhu

campuran dijaga stabil antara -5 dan 0 ºC, lalu campuran dibiarkan selama 30 menit.

Endapan yang terbentuk dipisahkan dengan sentrifus pada kecepatan 7000 rpm (suhu

4 ºC, 15 menit). Larutan didekantasi dan endapannya dilarutkan kembali ke volume

semula dengan bufer asetat pH optimum. Kemudian ditentukan perolehan kembali

kadar protein dan aktivitas β-glukosidase.

d. Pengaruh EDTA dan Ion logam terhadap Aktivitas Enzim

Pengaruh EDTA dan ion logam ditentukan dengan menambahkan

masing-masing EDTA, MgCl2, ZnCl2, CuCl2, MnCl2, FeCl3, CoCl2, CaCl2, dan BaCl2 dengan

(37)

23

terdiri dari enzim, substrat p-NPG 0.3%, dan bufer asetat, selanjutnya diinkubasi

selama 1 jam pada kondisi suhu dan pH optimum.

Penentuan Bobot Molekul Enzim dengan Teknik Zimogram

Bobot molekul enzim ditentukan dengan menggunakan SDS-PAGE (Sodium

Dodecyl Sulphate-Polyacrilamida Gel Electrophoresis) (Laemmi 1970). Protein standar

HMW yang digunakan terdiri dari Myosin (BM = 212.000), α-2-makroglobulin (BM =

170.000), β-galaktosidase (BM = 116.000), Transferrin (BM = 76.000), Glutamat dehidrogenase (BM = 53.000).

a. Pembuatan Gel Poliakrilamida SDS-PAGE

Komposisi untuk separating gel (8%) dibuat dengan cara mencampurkan 5.3 ml

larutan akrilamida (30% T), 9.39 ml akuades, 5 ml bufer Tris-HCl 1 M pH 8.8, 0.2 ml

SDS 10% (b/v), 10 μl TEMED, dan 200 μl amonium persulfat 10% (b/v). Larutan

diaduk hingga homogen dan siap diisikan pada plate gel, gel akan terbentuk setelah

30 - 60 menit.

Stacking gel (5%) dibuat dengan komposisi yang terdiri dari 2.5 ml larutan

akrilamida (30% T), 8.5 ml akuades, 3.75 ml bufer Tris-HCl 1 M pH 6.8, 0.12 ml SDS

10% (b/v), 8 μl TEMED, dan 75 μl amonium persulfat 10% (b/v). Larutan diaduk

hingga homogen dan siap diisikan pada plate gel.

b. Preparasi Sampel Protein

Sebanyak 720 μl sampel dimasukkan dalam vial 2 ml dan ditambahkan 30 μl

bromfenolblue 0.05% (b/v), dan 250 μl bufer sampel [(larutan sampel + BPB) : bufer sampel = 3:1 ]. Bufer sampel merupakan campuran 10 ml β-merkaptoetanol, 20 ml bufer stacking gel, 20 ml gliserol, dan 4 g SDS.

Preparasi protein standar dilakukan dengan melarutkan 175 ml μg HMW marker

dalam 1000 μl akuades, dan ditambahkan Bufer sampel. Untuk mengetahui batas

pergerakan protein ditambahkan pewarna bromfenolblue dengan perbandingan sama

dengan larutan sampel. Larutan selanjutnya dipanaskan dalam penangas 100 ºC selama

(38)

dan protein standar siap diinjeksikan ke dalam sumur-sumur elektroforesis. Pengisian

larutan sampel dan protein standar ke dalam sumur pada gel akrilamida masing- masing

sebanyak 5 μl dengan menggunakan syringe.

c. Elektroforesis

Gel yang telah ditempatkan pada modul elektroforesis diatur sehingga

permukaan gel terendam dalam bufer elektroda. Elektroforesis dilakukan dengan

mengalirkan arus listrik mula-mula 15 mA untuk tiap gel. Voltase maksimum 120 volt

dan daya maksimum 30 Watt. Setelah pergerakan sampel mencapai separating gel,

aliran arus listrik ditingkatkan 20 mA tiap gel, sedangkan voltase dan daya konstan.

Proses pemisahan dihentikan setelah 1 jam, atau setelah marker warna biru berada

sekitar 0.5 cm dari batas separating gel. Gel hasil elektroforesis dilepas dari cetakan

dengan menggunakan spatula, dan gel siap untuk pewarnaan protein atau analis

zimografi β-glukosidase.

d. Pewarnaan Protein

Sebelum dilakukan pewarnaan, gel terlebih dahulu direndam dalam larutan

TCA 12.5% selama 24 jam dalam lemari pendingin atau direndam dalam larutan

fixative (50% v/v methanol dalam air) selama 1 jam. Gel kemudian dikeluarkan dari

larutan fixative dan dicuci dengan air, selanjutnya direndam dalam larutan pewarna

Coomassie blue R-250 selama 4 jam. Larutan pewarna dibuat dengan melarutkan

Coomassie nlue R-250 dalam metanol : asam asetat : air = 4 : 1 : 4. Kelebihan warna

dihilangkan dengan larutan destaining (10% v/v metanol, 7.5% v/v asam asetat dalam

air) dengan 2 - 3 kali penggantian sampai diperoleh pita-pita protein berwarna biru

dengan latar belakang jernih, kemudian dibilas dengan air. Bobot molekul sampel

ditentukan dengan menghitung nilai Rf dari pita-pita yang nampak, kemudian diplotkan

pada kurva standar log BM terhadap Rf protein standar.

Jarak pergerakan pita dari tempat awal (cm)

(39)

25

e. Analisis Zimografi

Pita protein yang mempunyai aktivitas β-glukosidase diidentifikasi dengan

menggunakan metode Parry et al. (2001). Setelah elektroforesis selesai, gel dilepas dari

cetakan dan jarak migrasi bromofenol biru diukur dari batas atas gel pemisah. Gel

untuk analisis zimografi terlebih dahulu dicuci dengan 50 mM bufer natrium asetat pH

4.0 yang mengandung 25% isopropanol selama 15 menit dan 2 kali dalam bufer yang

sama tetapi tanpa mengandung isopropanol, masing-masing selama 30 menit. Gel

kemudian diinkubasi dalam 0.5 mM MUG yang dilarutkan dalam 50 mM bufer natrium

asetat pH 4.0 yang telah diencerkan 10 kali pada suhu 40 - 42 ºC selama 15 menit.

Adanya aktivitas β-glukosidase dapat diketahui dengan melihat metilumbelliferon yang

akan berpendar di bawah sinar UV.

Identifikasi Isolat Kapang

Identifikasi isolat kapang dilakukan oleh IPB Culture Collection di

Laboratorium Mikologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam IPB Bogor melalui pengamatan makroskopis dan mikroskopis (Lampiran 10).

Media yang digunakan untuk identifikasi adalah Malt Ekstrak Agar (MEA)

(40)

Penapisan Kapang Secara Semi Kuantitatif

Dari proses isolasi kapang yang ditumbuhkan pada medium agar Mandels

(Lampiran 4) yang mengandung 0.5% Sigmasel-20 didapat 22 jenis isolat kapang

(Tabel 4). Ke 22 jenis isolat kapang tersebut kemudian diuji kemampuannya untuk

membentuk daerah hitam dalam medium Dubos yang mengandung 0.1% eskulin dan

0.05% Fe-NH4

Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada hari ke 4, isolat-isolat kapang ini

membentuk kisaran nisbah diameter daerah hitam terhadap diameter koloni antara 1.2

dan 2.9. Nisbah tertinggi dihasilkan oleh isolat TA 2A dan terendah oleh isolat RM 3D.

Kemampuan isolat kapang membentuk daerah hitam disekitar koloni menunjukkan

bahwa kapang tersebut menghasilkan enzim β-glukosidase yang mampu memutuskan

ikatan β-1,4-glikosida pada struktur selulosa. Untuk diameter daerah hitam terbesar dihasilkan oleh isolat RM 3D, yaitu 3.15, dan terkecil oleh isolat TA 4A, yaitu 1.2.

Berdasarkan hasil pengujian nisbah diameter daerah hitam terhadap diameter koloni

dan diameter daerah hitam yang diperoleh, dipilih dua isolat dengan nisbah diameter

daerah hitam terhadap diameter koloni yang tertinggi, yaitu TA 2A dan TA 3B, dan dua

isolat dengan diameter daerah hitam yang terbesar; yaitu RM 2 dan RM 3D. Meskipun

nilai nisbah diameter daerah hitam terhadap diameter koloni tinggi, namun belum tentu

aktivitas enzimnya tinggi, begitu juga sebaliknya (Ardiningsih 2002). Ke 4 isolat hasil

seleksi ini kemudian diuji secara kuantitatif aktivitas enzim β-glukosidasenya. Selain ke

4 isolat hasil isolasi dari kayu yang menjadi sarang rayap tersebut, juga diamati 3 isolat

kapang koleksi unggulan Balitnak, yaitu BS4, S11 dan SS240. Isolat BS4

(Eupenicillium javanicum) merupakan hasil isolasi Haryati (1997), S11 (Penicillium

nalgiovense Laxa) merupakan hasil isolasi Nurbayti (2002) dari sarang rayap,

sedangkan SS240 merupakan isolat mutan Penicillium nalgiovense S11 yang dihasilkan

Sanjaya (2003). Beberapa isolat hasil penapisan disajikan pada Gambar 6.

-sitrat pada suhu ruang dan kondisi aerob. Isolat-isolat kapang yang

mempunyai aktivitas enzim β-glukosidase akan memotong eskulin menjadi eskuletin

yang bila bereaksi dengan ion feri akan membentuk kompleks besi fenolat, yang

(41)

27

Tabel 4. Hasil penapisan isolat kapang

Isolat Warna koloni Diameter (cm) Rasio

Daerah hitam Koloni

TA 2A

Sebelum penyeleksian secara kuantitatif, terlebih dahulu dilakukan produksi

enzim. Produksi enzim dilakukan dalam media Mandels yang disuplementasi dengan

3% polard NaOH sebagai sumber karbonnya. Selain harganya yang murah, polard

mengandung serat kasar (selulosa) yang cukup tinggi (30-35%) (Hauser 1995) dan kaya

akan vitamin, mineral, lemak dan protein yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikrob,

khususnya dalam hal ini kapang. Dalam penelitian yang dilakukan Ginoga (2004),

enzim β-glukosidase pada kapang Penicillium nalgiovense Laxa baru terekspresikan

setelah hari ke 4 waktu inkubasi, maka untuk mengetahui waktu inkubasi optimum

yang menghasilkan enzim dengan aktivitas maksimum dari ke 7 isolat kapang

tersebut, dilakukan pengamatan aktivitas FPase dan β-glukosidase pada hari ke 5, 6 dan

7. Pada Gambar 7 disajikan aktivitas FPase yang dihasilkan oleh ke 7 isolat yang

(42)

Gambar 6 . Beberapa isolat hasil isolasi.

sampai dengan hari ke 6 waktu inkubasi, namun setelah melewati waktu optimum

mengalami penurunan yang tajam hingga mencapai 77.8% (TA 3B). Aktivitas FPase

tertinggi dicapai oleh isolat TA 3B (23.6 U/ml), kemudian diikuti oleh isolat RM 3D

(18.1 U/ml). Sedangkan aktivitas FPase ke 3 isolat koleksi Balitnak rata-rata

mengalami penurunan setelah hari ke 5 waktu inkubasi. Penurunan yang tajam dialami

oleh isolat S11(35.6%) pada hari ke 7 inkubasi. Isolat SS240 hanya mengalami

penurunan sebesar 18.7%, sedangkan isolat BS4 mengalami penurunan aktivitas pada

hari ke 6 waktu inkubasi tetapi kembali mengalami peningkatan pada hari ke 7

inkubasi. Dari pengamatan aktivitas β-glukosidase ke 7 isolat kapang (Gambar 8),

diperoleh 3 isolat yang memperlihatkan aktivitas yang menonjol yaitu BS4 (0.57 U/ml)

dan RM 3D (2.76 U/ml) pada hari ke 6 waktu inkubasi, dan S11 (0.79 U/ml) pada hari

ke 7 waktu inkubasi, sedangkan 4 isolat yang lainnya menunjukkan aktivitas

β-glukosidase yang rendah, yaitu antara 0.02 dan 0.18 U/ml.

Kapang merupakan mikrob penghasil enzim selulase terbesar dibandingkan

mikrob lainnya. Beragamnya nilai aktivitas enzim yang dihasilkan oleh ke 7 isolat

kapang disebabkan oleh jenis kapang yang berbeda-beda. Menurut Kim et al. (1994)

(43)

29

dan Jorgensen et al. (2003) kapang genus Trichoderma sebagian besar komponen

enzim selulasenya mengandung enzim selobiohidrolase, sedangkan enzim selulase yang

berasal dari genus Aspergillus, komponen terbesarnya adalah enzim β-glukosidase

(Kader dan Omar 1998; Juhasz etal. 2003; Purwadaria etal. 2003a).

Gambar 7 . Kurva produksi enzim FPase isolat kapang

(44)

Analisis FPase merupakan analisa enzim pada selulosa kristalin. Kristalinitas

selulosa merupakan penghambat utama hidrolisis selulosa secara maksimum dan

menjadi faktor yang menentukan biodegradibilitas selulosa oleh enzim selulolitik. Jadi

mikroorganisme yang menghasilkan FPase yang tinggi lebih berpotensi menghidrolisis

bahan pakan alami seperti dedak dan polard, yang sebagian besar mengandung selulosa

kristalin (Beldman et al. 1987; Judoamidjojo 1989). Karena mekanisme kerja FPase

dapat dihambat oleh adanya selobiosa, maka untuk mendegradasi selulosa secara

menyeluruh diperlukan peranan enzim yang dapat menyempurnakan hidrolisis

selobiosa sehingga menghasilkan monomer-monomer glukosa yang mudah diserap dan

dimanfaatkan oleh sel. Hasil pengukuran aktivitas FPase dan β-glukosidase pada filtrat

enzim isolat-isolat kapang menunjukkan bahwa isolat RM 3D merupakan isolat terbaik

dibandingkan dengan isolat yang lainnya. Selain memiliki aktivitas FPase yang cukup

tinggi pada hari ke 6 waktu inkubasi (18.1 U/ml), isolat RM 3D ternyata menunjukkan

aktivitas β-glukosidase tertinggi sejak awal pengamatan. Aktivitas β-glukosidase

RM 3D pada hari ke 5, 6 dan 7 waktu inkubasi berturut-turut 1.98 U/ml, 2.76 U/ml, dan

2.07 U/ml. Enzim β-glukosidase berperan penting dalam pengaturan seluruh proses

selulolitik dengan menghilangkan penghambat aktivitas FPase maupun CMCase yang

bekerja pada selulosa amorf. Jadi selain mampu menghidrolisis bahan pakan alami,

RM 3D juga mampu menyempurnakan proses hidrolisis selulosa menjadi glukosa.

Identifikasi Isolat Kapang RM 3D

Hasil identifikasi isolat kapang RM 3D yang dilakukan di IPB Culture

Collection di laboratorium Mikologi IPB Bogor secara makroskopis dan mikroskopis,

disimpulkan bahwa isolat yang diisolasi dari kayu yang menjadi sarang rayap tersebut

adalah Aspergillus foetidus (Naka.) Thom dan Raper (Raper dan Fennell 1963)

(Lampiran 10). Hal ini sesuai dengan hasil analisis terhadap aktivitas β-glukosidase

pada RM 3D. Pada penelitian sebelumnya, adanya aktivitas β-glukosidase yang tinggi

pada kapang genus Aspergillus juga ditemukan oleh Kader dan Omar (1998) pada

kapang-kapang hasil isolasinya. Enzim-enzim selulolitik juga berhasil diisolasi dari

kapang Penicillium nalgiovense Laxa (Nurbayti 2002), T. viride, T. reesei, T. koningi,

(45)

31

Gambar 9. Isolat kapang Aspergillus foetidus (Naka.) RM3D Thom dan Raper

Karakterisasi Enzim

Pengaruh pH Dan Suhu Terhadap Aktivitas β-glukosidase

Enzim mempunyai aktivitas maksimum pada daerah pH yang terbatas.

Pengujian aktivitas enzim β-glukosidase pada berbagai kondisi pH disajikan pada

Gambar 10. Pada Gambar 10 terlihat bahwa β-glukosidase mempunyai pH optimum

5.0, dengan aktivitas sebesar 2.13 U/ml. Diatas pH optimum, yaitu 5.2, aktivitasnya

turun sebesar 61% menjadi 0.81 U/ml, sedangkan pada pH dibawah pH optimum, yaitu

4.8, β-glukosidase mempunyai aktivitas sebesar 54% atau 1.15 U/ml, dan pada pH 4.2

aktivitasnya masih 41% atau 0.886 U/ml. Nilai pH optimum ini sesuai dengan yang

diajukan Landecker 1996), bahwa enzim yang berasal dari kapang umumnya

mempunyai pH optimum dibawah 7, dan sebagian besar enzim umumnya mempunyai

pH optimum antara 4 dan 8. Pada penelitian sebelumnya, Purwadaria menyatakan pH

optimum β-glukosidase pada Aspergillus niger NRRL 337 adalah 5.4 (2003a) dan pada

(46)

Bastawde (1992) menemukan aktivitas β-glukosidase yang maksimum pada Aspergillus

terreus adalah pH 4.8. Nurbayti (2002) menemukan Penicilliun nalgiovense Laxa

mempunyai pH optimum 5.2. Okada (1999) pada T.viride, Asada (1999) pada

Coptotermes formosanus, dan Svasti (1999) pada Dalbergia cochinchinensis Pierre

menemukan pH 5.0 sebagai pH optimum untuk aktivitas β-glukosidase.

0.0

Gambar 10. Aktivitas β-glukosidase terhadap variasi pH

Peningkatan aktivitas enzim yang tajam, yaitu 46%, pada pH optimum berkaitan

dengan perubahan yang terjadi pada struktur atau muatan gugus ionik enzim yang

terdapat pada sisi aktif enzim. Hal ini mengakibatkan konformasi sisi aktif enzim

menjadi lebih efektif dalam mengikat substrat, yang selanjutnya akan diubah menjadi

produk (Whitaker 1994). Pada pH yang rendah enzim akan mengalami protonisasi

sehingga kehilangan muatan negatifnya, sedangkan pada pH yang tinggi substrat akan

mengalami ionisasi dan kehilangan muatan positifnya. Dengan berubahnya muatan,

maka struktur tersier atau kuarterner akan berubah, akibatnya protein β-glukosidase

akan terbuka dan kehilangan aktivitasnya (Murray et al 2003). Perubahan pH juga

dapat mempengaruhi stabilitas dan kelarutan enzim (Chaplin & Bucke 1990; Whitaker

(47)

33

Selain pH, suhu medium juga mempengaruhi aktivitas enzim. Gambar 11

menyajikan pengaruh berbagai suhu terhadap aktivitas enzim β-glukosidase, yang

ditetapkan pada pH optimum enzim. Pada Gambar 11, terlihat bahwa β-glukosidase

mempunyai suhu optimum 60 ºC, dengan aktivitas sebesar 3.56 U/ml. Pada suhu diatas

suhu optimum, aktivitas β-glukosidase menurun tajam sebesar 68%, menjadi 1.12

U/ml, bahkan pada suhu 70 ºC, aktivitasnya tinggal 13% atau 0.45 U/ml. Namun pada

suhu dibawah suhu optimum β-glukosidase relatif stabil. Pada suhu 50 ºC aktivitasnya

turun 51%, menjadi 1.74 U/ml, bahkan pada suhu 40 ºC aktivitasnya masih 27% atau

0.95 U/ml. Nilai suhu optimum pada penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian

Bastawde (1992) yang menemukan suhu 60 ºC sebagai suhu maksimum aktivitas

β-glukosidase Aspergillus terreus, sedangkan Nurbayti (2002) menemukan suhu 55 ºC

sebagai suhu optimum Penicilliun nalgiovense Laxa.

0.0

Gambar 11. Aktivitas β-glukosidase terhadap variasi suhu

Peningkatan aktivitas enzim sejalan dengan peningkatan suhu sesuai dengan

yang dikemukan Landecker (1996), bahwa suhu dapat meningkatkan aktivitas enzim

hingga dua kali lipat setiap kenaikan suhu 10 ºC sampai mencapai suhu optimum.

Selain itu menurut Whitaker (1994), enzim umumnya lebih stabil pada suhu yang

(48)

jumlah molekul yang bereaksi, baik dengan kenaikan energi kinetiknya, penurunan

rintangan energi, maupun dengan peningkatan frekuensi benturan antar molekul.

Apabila suhu dinaikkan terus, maka akhirnya akan tercapai suatu suhu dimana molekul

yang bereaksi menjadi tidak stabil, bahkan kehilangan aktivitas katalitiknya. Hal ini

disebabkan oleh energi kinetik enzim menjadi besar sehingga melampaui rintangan

energi untuk memutuskan ikatan hidrogen dan hidrofobik pada struktur enzim. Dengan

terputusnya ikatan pada struktur sekunder dan tersier protein β-glukosidase,

mengakibatkan enzim mengalami denaturasi dengan disertai kehilangan aktivitas

katalitiknya (Whitaker 1994 ; Murray et al 2003).

Penetapan pH maupun suhu optimum mutlak dilakukan karena sangat penting

sebagai prasyarat penetapan aktivitas enzim. Hal ini disebabkan karena perubahan suhu

dan ataupun pH, diantaranya dapat mempengaruhi stabilitas enzim, pH buffer, ataupun

afinitas enzim sebagai aktivator dan inhibitor (Whitaker 1994). Selain itu, dengan

diketahuinya pH dan suhu optimum enzim akan bermanfaat dalam aplikasi mikrob

selulolitik untuk mendegradasi selulosa secara maksimal dan aplikasi bioteknologi

enzim.

Pengaruh pH Dan Suhu Terhadap Stabilitas β-glukosidase

Hasil pengujian pengaruh variasi pH terhadap stabilitas enzim (Gambar 12)

pada penyimpanan suhu 60 ºC selama 30 menit, menunjukkan bahwa β-glukosidase

cenderung stabil dan aktif pada pH asam. Enzim relatif stabil pada selang pH 4.2 dan

5.0, dan kenaikan nilai pH menyebabkan menurunnya aktivitas enzim. Aktivitas enzim

pada pH 4.2 adalah 85% dari aktivitas maksimum, sedangkan pada nilai pH mendekati

netral (6.2), aktivitas enzim tinggal 12%. Sebagai perbandingan, Nurbayti (2002)

mendapatkan bahwa β-glukosidase P. nalgiovense Laxa stabil pada pH 4.8 - 5.2.

Kestabilan enzim terhadap perubahan pH dapat dimanfaatkan dalam ransum ternak,

karena pH kestabilan enzim berada pada kisaran pH organ pencernaan ayam dan itik

(pH 4.5–6.9), sedangkan organ ampela dan proventrikulus mempunyai pH 2.3 – 3.4

(Sturkie 1976).

(49)

35

β-glukosidase menunjukkan aktivitas yang relatif stabil selama 1 hari penyimpanan.

Pada kondisi ini terjadi peningkatan aktivitas sebesar 210%, bahkan pada hari ke 4

penyimpanan, aktivitas enzim masih lebih dari 50%. Pada penelitian sebelumnya,

Desrochers et al. (1981) menemukan waktu paruh β-glukosidase pada suhu 30 ºC dan

pH 7 adalah 72 jam (3 hari). Mengingat waktu paruh β-glukosidase yang lebih dari 4 hari, hal ini memungkinkan enzim tersebut dapat digunakan sebagai campuran pakan

pada suhu ruang dengan jangka tertentu.

0

Gambar 12. Stabilitas β-glukosidase terhadap variasi pH

Hasil pengamatan pada suhu 40 ºC menunjukkan bahwa aktivitas enzim

β-glukosidase relatif stabil. Aktivitas meningkat 2 kali lipat pada inkubasi 90 menit

(202%) (Gambar 14), dan masih lebih besar dari aktivitas semula (120%) pada

inkubasi 180 menit. Pengujian aktivitas β-glukosidase terdahulu pada suhu ini

dilakukan Desrochers et al. (1981). Pada kondisi tersebut dan pH 7 β-glukosidase

mempunyai waktu paruh 24 jam, tetapi kurang dari 1 jam pada suhu 50 ºC. Kestabilan

enzim β-glukosidase pada suhu 40 ºC, menyebabkan enzim tersebut dapat

dimanfaatkan sebagai campuran dalam pakan unggas, karena unggas memiliki suhu

Gambar

Gambar 1. Struktur selulosa. (A) Ikatan β-1,4-glikosida (B) Struktur fibril yang
Gambar 3. Mekanisme hidrolisis selulosa oleh kompleks selulase (Enari 1983)
Gambar 4. Model regulasi biosintesis selulase (Gong & Tsao 1979)
Tabel 2. Metode pemurnian untuk mengisolasi β-glukosidase dari komponen selulase
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan bakteri penghasil enzim fitase termostabil dari sumber air panas di Sumatera Bara pada medium yang mengandung asam fitat sebagai sumber

Prosedur danhasil penelitian tentangpengaruh perbedaan konsentrasi inokulum dan waktu inkubasi terhadap produktifitas crude enzim selulase dari kapang Aspergillus

Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Inokulum Dan Lama Inkubasi Terhadap Aktivitas Crude Enzim Selulase Dari Kapang Aspergillus Niger Dengan Substrat Jerami Sebagai Bahan

Isolasi bakteri endofit dari tanaman pare ( Momordica charantia) menggunakan medium Natrium Agar pada suhu ruang didapatkan 5 isolat bakteri yang dapat menghambat

enzim selulase yang dapat menghidrolisis ikatan β (1 - 4) glikosidik pada selulosa dimana merupakan hasil dari hidrolisis enzim (Idiawati, dkk., 2014: 1), salah satu jenis

Hasil isolasi pada media HV setelah 7 hari inkubasi pada suhu ruang menghasilkan beberapa koloni aktinomiset. Media HV agar merupakan media yang digunakan untuk

Data aktivitas enzim protease isolat kapang endofit yang dipengaruhi ketiga suhu terhadap waktu inkubasi selama 7 hari pada media produksi enzim substrat susu

Isolasi bakteri endofit dari tanaman pare (Momordica charantia) menggunakan medium Natrium Agar pada suhu ruang didapatkan 5 isolat bakteri yang dapat menghambat