• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kitosan kulit pupa ulat Sutera Sebagai pengganti Formalin terhadap daya simpan tahu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Kitosan kulit pupa ulat Sutera Sebagai pengganti Formalin terhadap daya simpan tahu"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KITOSAN KULIT PUPA ULAT SUTERA

SEBAGAI PENGGANTI FORMALIN TERHADAP DAYA

SIMPAN TAHU

TAUFIQ FIRDAUS ALGHIFARI ATMADJA

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Kitosan Kulit Pupa Ulat Sutera sebagai Pengganti Formalin terhadap Daya Simpan Tahu adalah benar karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun, kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka pada bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2014

Taufiq Firdaus Alghifari Atmadja

(4)

ABSTRAK

TAUFIQ FIRDAUS ALGHIFARI ATMADJA. Pengaruh Kitosan Kulit Pupa Ulat Sutera sebagai Pengganti Formalin terhadap Daya Simpan Tahu. Dibimbing oleh CLARA M. KUSHARTO dan PIPIH SUPTIJAH

Kitosan kulit pupa ulat sutera merupakan turunan kitin dari bahan baku kulit pupa ulat sutera yang bisa digunakan sebagai bahan pengawet alami dan aman karena tidak beracun dan memiliki aktivitas antimikroba. Aplikasi kitosan sebagai bahan pengawet pada penelitian ini terhadap kualitas tahu, karena tahu merupakan bahan pangan yang sangat mudah rusak (high perishable food). Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh kitosan terhadap daya simpan tahu. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial untuk perlakuan perendaman dan lama penyimpanan. Perlakuan kitosan memberikan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap nilai organoleptik warna dan aroma; nilai pH dan nilai TPC (Total Plate Count) tahu. Perlakuan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap nilai pH dan nilai organoleptik. Tahu yang diberi perlakuan kitosan 250 ppm memiliki laju kemunduran mutu tahu yang lebih lambat dibandingkan dengan tahu kontrol, formalin 50 ppm, kitosan 500 ppm, dan kitosan 1000 ppm. Kitosan 250 ppm mampu mempertahankan mutu tahu, baik secara organoleptik, proksimat, pH, maupun TPC.

Kata kunci : Kitosan, Kulit Pupa Ulat Sutera, Tahu

ABSTRACT

TAUFIQ FIRDAUS ALGHIFARI ATMADJA. Effect of chitosan of silkworm pupae skin as formalin subtitution on storage ability of tofu. Supervised by CLARA M. KUSHARTO and PIPIH SUPTIJAH

Chitosan is a derivative of chitin from silkworm pupae skin that can be used as a natural and safe preservative because it is non-toxic and it has an antimicrobial activity. Application of chitosan as preservative in this research was done on tofu, because tofu is a high perishable food. The purpose of this research was to study the effect of chitosan on storage ability of tofu. The experimental design was a Completely Randomized Factorial Design for immersion treatment and length of the storage treatment. Chitosan treatment resulted a significant effect in organoleptic (color and flavor), pH and TPC (Total Plate Count) scores (p<0.05). Length of the storage treatment also showed a significant effect in pH and organoleptic scores (p<0.05). Tofu treated with 250 ppm chitosan had a lower quality of deterioration rate than control tofu, formalin 50 ppm, chitosan 500 ppm and chitosan 1000 ppm. 250 ppm of chitosan was able to mantain the quality of tofu, in organoleptic, proximate, pH, or TPC aspect.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

PENGARUH KITOSAN KULIT PUPA ULAT SUTERA

SEBAGAI PENGGANTI FORMALIN TERHADAP DAYA

SIMPAN TAHU

TAUFIQ FIRDAUS ALGHIFARI ATMADJA

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul : Pengaruh Kitosan Kulit Pupa Ulat Sutera Sebagai Pengganti Formalin Terhadap Daya Simpan Tahu

Nama : Taufiq Firdaus Alghifari Atmadja NIM : I14100140

Disetujui oleh

Prof. Dr. drh. Clara M. Kusharto, M.Sc. Pembimbing I

Dr. Dra. Pipih Suptijah, MBA. Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Rimbawan Ketua Departemen

(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penelitian dengan judul ―Pengaruh Kitosan Kulit Pupa Ulat Sutera Sebagai Pengganti Formalin Terhadap Daya Simpan Tahu‖ ini dapat diselesaikan sebagai bagian dari syarat memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada sejumlah pihak yang telah berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian tugas akhir ini. Perkenankanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. drh. Clara M. Kusharto, M.Sc., dan Dr. Dra. Pipih Suptijah, MBA., selaku dosen pembimbing skripsi atas arahan, bimbingan, nasihat dan bantuan yang sangat berharga kepada penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M.Si., selaku dosen penguji skripsi atas saran dan masukan dalam perbaikan penulisan skripsi ini.

3. Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS., selaku dosen pembimbing akademik atas arahan, bimbingan dan nasihat yang sangat berharga selama penulis menjadi mahasiswa gizi masyarakat.

4. Ayahanda (Alm) Rosid Atmadja, Ibunda Nonoh dan keluarga besar yang demikian sabar dan sangat perhatian, selalu memberikan semangat, dukungan dan dorongan kepada penulis. Terima kasih atas kasih sayang dan

support baik moril maupun materil yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis bisa mencapai jenjang sarjana.

5. DP2M Dikti Kemendikbud atas dana hibah Hilink dengan judul ―Diversifikasi Produk Dari Hasil Samping Usaha Persuteraan Alam Di Sentra Kain Sutera Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan‖ Tahun Anggaran 2014

6. Sahabat-sahabat terbaik penulis di kelas GM 47: (1) Mochammad Enra Sujanawan dan Erik Sunandar yang telah membuat hidup ini lebih berwarna dengan segala keceriaan, canda tawa, serta keunikannya. (2) Teman-teman seperjuangan GM 47 yang selama ini berjuang bersama untuk meraih gelas sarjana S.Gz.

7. Sahabat terbaik penulis yaitu Usup Supriyadi yang senantiasa menemani dan memberikan semangat kepada penulis dari awal penelitian hingga penyelesaian skripsi.

8. Teman-teman Laboratorium teknologi hasil perairan yaitu Mas Eko dan Pipih yang selalu memberikan masukan dan semangat dalam melakukan penelitian.

9. Teman-teman Laboratorium analisis gizi yaitu Almira, Taufik, Farid, Evi, Kiki, Zahra, Putri, Gita, Miftachur, Alam, Dita, dll.

Bogor, Oktober 2014

(10)
(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

METODE 2

Tempat dan Waktu Penelitian 2

Bahan 3

Alat 3

Metode Penelitian 3

Rancangan Percobaan 6

Analisis dan Pengolahan Data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Rendemen Kitosan 7

Karakteristik Kitosan 7

Analisis Total Plate Count (TPC) Tahu 9

Analisis Derajat Keasaman (pH) Tahu 11

Analisis Uji Bakteri Spesifik Tahu 12

Analisis Proksimat Tahu 13

Uji Organoleptik Tahu 17

SIMPULAN DAN SARAN 22

Simpulan 22

Saran 23

(12)

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram proses ekstraksi kitosan 4

2 Diagram alir tahap pembuatan larutan kitosan 4

3 Perubahan nilai TPC tahu 9

4 Nilai pH tahu 11

5 Pengujian bakteri spesifik tahu 12

6 Nilai rata-rata kadar air tahu 13

7 Nilai rata-rata kadar abu tahu 14

8 Nilai rata-rata kadar protein tahu 15

9 Nilai rata-rata kadar lemak tahu 16

10 Nilai organoleptik warna tahu 17

11 Nilai organoleptik aroma tahu 18

12 Nilai organoleptik tekstur pada tahu 19

13 Nilai organoleptik lendir tahu 20

14 Nilai organoleptik fungi tahu 21

DAFTAR LAMPIRAN

1 Analisis statistik nilai TPC Tahu 27

2 Analisis statistik pH Tahu 28

3 Analisis statistik kadar air tahu 30

4 Analisis statistik kadar abu tahu 31

5 Analisis statistik kadar protein tahu 32

6 Analisis statistik kadar lemak tahu 33

7 Analisis Friedman Warna 33

8 Analisis Friedman Aroma 34

9 Analisis Friedman Tekstur 35

10 Analisis Friedman Lendir 36

11 Analisis Friedman Fungi 36

12 Prosedur analisis kimia 36

13 Format uji organoleptik 39

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 28 tahun 2004 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan pembuatan makanan dan minuman (Saparinto & Diana 2006). Seiring dengan kemajuan teknologi manusia cenderung memilih pangan yang enak, aman dan sehat. Bahkan permintaan konsumen terhadap produk pangan dengan kualitas tinggi dan tanpa bahan pengawet menjadi perhatian utama bagi para produsen.

Di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia, masih dijumpai permasalahan produk pangan yang tidak mematuhi syarat keamanan pangan. Rendahnya kesadaran masyarakat akan keamanan pangan tercermin dari masih banyaknya proses pengolahan dan upaya memperpanjang umur simpan yang tidak sesuai. Penelitian Badan POM Tahun 2002 terhadap 700 sampel produk yang diambil dari Jawa, Sulawesi, dan Lampung menunjukkan bahwa 56% produk tersebut menggunakan formalin (Susanti 2010). Salah satu produk pangan yang sering menggunakan formalin adalah tahu.

Penggunaan formalin pada produk tahu sudah berlangsung lama, hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian Untajana et al. (1996) menunjukan bahwa hampir semua jenis tahu yang meliputi tahu cina, tahu biasa dan tahu kuning yang dijual di pasar tradisional dan swalayan di kota Bogor juga menggunakan pengawet formalin dengan kandungan tertinggi pada tahu cina yaitu 805 ppb dan terendah 1 ppb terdapat pada tahu kuning. Selain itu di kota Tangerang, dari 20 industri yang diteliti, yang terdiri dari 11 industri tahu kuning dan 9 industri tahu putih diketahui bahwa seluruh tahu mengandung formalin dengan kandungan formalin tertinggi ditemukan pada tahu putih yaitu 42.44 ppm dan terendah pada tahu kuning dengan hasil 3.79 ppm (Tresniani 2003).

Kemajuan teknologi menghasilkan penemuan baru di bidang pangan terutama sebagai pengganti formalin dalam penggunaan pengawet bahan alami. Salah satu contoh bahan pengawet alami yang memberikan efek antimikroba yang kuat dan dapat digunakan pada bahan pangan karena sifatnya yang tidak beracun dan aman bagi tubuh manusia adalah kitosan (Zheng dan Zhu 2003).

Kitosan merupakan turunan kitin yang terbentuk dari hasil ekstraksi rangka luar udang dan kepiting atau rajungan melalui proses deasetilasi atau penghilangan gugus asetil yang menyisakan gugus amina bebas. Menurut Rismana (2006) Sumber bahan baku kitosan antara lain kulit udang dan cangkang kepiting dengan kandungan kitin antara 65-70 persen dan kalajengking, fungi, cumi, gurita, serangga, laba-laba dan ulat sutera dengan kandungan kitin antara 5-45 persen.

(14)

2

pengaruh positif dalam pertumbuhan bakteri. Penggunaan larutan kitosan 0.1% dengan daya simpan satu minggu mempunya daya hambat terhadap pertumbuhan bakteri aureus sebesar 97.1% sedangkan untuk bakteri E. coli daya hambatnya sebesar 96.3% (Maulana 2007). Berdasarkan hasil penelitian efek kitosan terhadap daya hambat pembusukan yang memperlama daya simpan, maka penelitian ini mencoba memanfaatkan kitosan kulit pupa ulat sutera untuk memperpanjang daya simpan tahu sebagai pengganti formalin

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh kitosan kulit pupa ulat sutera sebagai pengganti formalin terhadap daya simpan tahu.

Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk: 1. Mempelajari karakteristik kitosan kulit pupa ulat sutera.

2. Menganalisis pengaruh kitosan dan lama penyimpanan terhadap nilai TPC dan pH tahu.

3. Menganalisis pengaruh kitosan dan lama penyimpanan terhadap mutu organoleptik tahu.

4. Menganalisis pengaruh kitosan terhadap kandungan gizi tahu.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan alternatif solusi dalam penggunaan bahan pengawet pengganti formalin.

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

(15)

3 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tahu segar, kitosan, asam asetat 1%, akuades, larutan garam fisiologis, media Nutrient Agar, cairan spirtus, garam NaCl, K2SO4, HgO, H2SO4, tablet kjehdahl, NaOH 40%, H3BO3, cairan indikator (campuran metil merah 0.2% dalam alkohol dan metilen blue 0.2% dalam alkohol dengan perbandingan 2:1), dan pelarut heksana.

Alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi plastik, baskom, gelas plastik, saringan, nampan kecil, talenan, pisau, pinset, gunting, alumunium foil,

magnet stirrer, kertas label, kapas, kertas saring, plastik wrapping, form penilaian organoleptik, dan alat-alat analisis yang meliputi gelas piala, gelas ukur, tabung reaksi, erlenmeyer, pipet, cawan porselen kecil, kompor listrik, desikator, oven, tanur pengabuan, alat homogenizer, pH-meter, cawan porselen, mortar, rak tabung reaksi, sudip, bunsen, pipet mikro, tip, vortex, inkubator, labu kjehdahl, alat destilasi, selongsong lemak, tabung soxhlet, dan labu lemak.

Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam 2 tahapan yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Tahap penelitian pendahuluan meliputi persiapan bahan dan pembuatan kitosan kulit pupa ulat sutera. Penelitian utama meliputi karakteristik kitosan, aplikasi kitosan pada tahu, uji TPC, uji pH, uji bakteri spesifik, uji proksimat dan uji organoleptik.

Pembuatan kitosan

(16)

4

Gambar 1 Diagram proses pembuatan kitosan (Suptijah et al. 1992)

Gambar 2 Diagram alir tahap pembuatan larutan kitosan Kulit Pupa

Pencucian

Pengeringan

Demineralisasi (HCl 1 N 1:7 selama 2 jam pada suhu 900C)

Pemisahan dan Pencucian

Deproteinasi (NaOH 3 N 1:10 selama 2 jam pada suhu 90°C)

Pemisahan

Kitin

Deasetilasi ( NaOH 50% 1:20 selama 2 jam pada suhu 140°C)

Kitosan (bentuk serpihan)

Serpihan kitosan

Penimbangan (1 gram)

Pelarutan dengan asam asetat 1% hingga terbentuk larutan tersuspensi

Pengenceran dengan akuades hingga mencapai 100 ml

(17)

5 Aplikasi Kitosan Pada Tahu

Aplikasi pengawetan kitosan pada tahu segar dilakukan melalui empat tahap, yaitu tahap persiapan, tahap perendaman, tahap penyimpanan, dan tahap pengujian. Tahap persiapan dilakukan dengan cara menyiapkan semua bahan-bahan dan alat-alat yang akan digunakan dalam tahap perendaman, tahap penyimpanan dan tahap pengujian. Tahap perendaman dilakukan dengan cara merendam tahu segar dalam beberapa perlakuan yang diberikan perlakuan perendaman akuades (A1), perendaman formalin 50 ppm (A2), perendaman kitosan 250 ppm (A3), perendaman kitosan 500 ppm (A4), perendaman kitosan 1000 ppm (A5). Setelah itu dilakukan tahap penyimpanan tahu pada suhu ruang selama 3 hari dengan selang pengamatan hari ke-0, hari ke-1, dan hari ke-2. Tahap pengujian yang dilakukan, di antaranya yaitu penentuan nilai total koloni bakteri yang tumbuh selama penyimpanan (Total Plate Count), uji bakteri spesifik, pengukuran pH, uji organoleptik, dan analisis proksimat tahu, yang meliputi uji kadar air, kadar abu, kadar lemak, dan kadar protein.

Uji Total Plate Count (TPC)

Perhitungan koloni bakteri dilakukan dengan mekanisme pengenceran. Sebanyak 5 gram tahu dari masing-masing perlakuan dihaluskan dengan mortar, kemudian dimasukan ke dalam Erlenmeyer yang berisi 45 ml larutan garam fisiologis 0.85% steril dan dikocok sampai homogen. Sebanyak 1 ml diambil dari suspensi untuk diencerkan ke dalam 9 ml larutan fisiologis lalu dikocok. Pengenceran dilakukan hingga tingkat pengenceran berikut: 10-3 (hari ke-1), 10-4 (hari ke-2) 10-5 (hari ke-3), dan 10-5 (hari ke-4).

Sebanyak 1 ml dari tabung pengenceran terakhir dipindahkan ke dalam cawan pentri, kemudian dicampur dengan PCA bersuhu 45-500C dan disebar secara merata. Setelah agar mengeras, cawan diinkubasi pada suhu 370C dengan posisi terbalik selama 48 jam. Koloni yang tumbuh dihitung dan dinyatakan sebagai jumlah colony forming unit (cfu) per gram berdasarkan Standar Plate Count (SPC). Jumlah koloni dihitung dengan rumus sebagai berikut :

∑ koloni = ∑ koloni rata-rata x (1/ fp) Keterangan :

fp : faktor pengenceran

Analisis Proksimat

Analisis kimia yang diamati pada penelitian ini adalah kadar air, kadar abu, protein, dan lemak. Penetapan kadar air dan kadar abu dengan metode oven

(Kusnandar et al.2011), penetapan kadar protein dilakukan dengan metode Mikro

Kjeldahl (Kusnandar et al.2011), penetapan kadar lemak menggunakan metode

(18)

6

Pengukuran pH

Sebanyak 3 gram sampel dari masing-masing perlakuan dihaluskan dan ditambahkan 3 ml akuades. pH suspensi diukur sebanyak dua kali setiap hari. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan pH meter.

Uji Organoleptik

Uji organoleptik dilakukan setiap hari oleh 30 panelis tetap. Uji ini merupakan mutu indrawi terhadap warna, aroma, tekstur, fungi dan lendir selama penyimpanan dengan tujuan mengetahui tanggapan panelis terhadap produk tahu yang diawetkan dengan kitosan.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan penelitian terhadap data analisis mikrobiologi dan kimia ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RAL) untuk perlakuan perendaman dan lama penyimpanan, yang terdiri atas 5 taraf perlakuan perendaman tahu (kontrol, formalin 50 ppm, kitosan 250 ppm, kitosan 500 ppm dan kitosan 1000 ppm) dan 3 taraf perlakuan penyimpanan tahu (hari ke-0, hari ke-1 dan hari ke-2) dengan ulangan percobaan sebanyak 2 kali. Model Rancangan Acak Lengkap Faktorial adalah sebagai berikut:

Yij = μ + αi + βj + (αβij) + ɛ ijk Keterangan:

Yijk = Hasil pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan taraf ke-i dan taraf ke-j

μ = Nilai rata-rata

αi = Pengaruh perlakuan ke-i faktor α βj = Pengaruh perlakuan ke-j faktor β

ɛ ijk = Pengaruh acak satuan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan

Pengolahan dan Analisis Data

(19)

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rendemen Kitosan

Proses pembuatan kitosan dilakukan berdasarkan metode yang telah dilakukan Suptijah et al. (1992), isolasi kitin dilakukan dengan proses demineralisasi dan deproteinasi, selanjutnya kitin diproses deasetilasi untuk menghasilkan kitosan. Kitosan kulit pupa ulat sutera merupakan kitosan yang terbuat dari bahan baku kulit pupa ulat sutera. Rendemen kitosan kulit pupa ulat sutera yang dihasilkan yaitu sebesar 7% yang diperoleh dari berat kitosan yang dihasilkan 10.2 gram dibagi dengan berat kulit pupa ulat sutera awal 144 gram. Jika dibandingkan dengan rendemen kitosan dari bahan baku lainnya hasil percobaan Setiawan (2012) menunjukkan rendemen kitosan yang dihasilkan dari limbah udang berkisar 17%. Rendemen kitosan kulit pupa ulat sutera yang rendah dapat diakibatkan oleh kandungan bahan baku kitin pada kulit pupa ulat sutera. Menurut Rismana (2006), ulat sutera hanya mengandung kitin antara 5-45%, sehingga rendemen kitosan kulit pupa ulat sutera yang dihasilkan lebih rendah jika dibandingkan dengan kitosan dari sumber lainnya. Selain itu, perlakuan pada setiap proses tahapan pembuatan kitosan yang dapat mengakibatkan komponen-komponen mineral, protein, dan gugus asetil yang terdapat pada limbah kulit pupa ulat sutera akan larut dan terbuang saat proses penetralan.

Karakteristik Kitosan

Kitosan yang dihasilkan dianalisis untuk mendapatkan karakteristik kitosan kemudian dibandingkan dengan karakteristik kitosan standar dari Laboratorium Protan. Hasil karakteristik kitosan kulit pupa ulat sutera yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Karakteristik Kitosan Kulit Pupa Ulat Sutera

Parameter Nilai

Kitosan Standar 1 Kitosan udang 2 Kitosan uji

Bentuk partikel Serpihan-serbuk Serpihan kecil Serpihan kecil

Kadar Air (% bb) ≤ 10% 7.89% 7.4%

Kadar Abu (% bk) ≤ 2% 0.79% 0.34%

Kadar Nitrogen (% bk) ≤ 5% 5.86% 4.98%

Derajat Deasetilasi (%) >70% 73.86% 73.5%

Warna Larutan Jernih Jernih Jernih

Sumber : 1) Protan Laboratories (1987), 2) Setiawan (2012)

(20)

8

Kadar abu menunjukkan kandungan mineral yang masih tersisa dalam suatu bahan. Semakin rendah nilai kadar abu kitosan maka tingkat keefektifan proses demineralisasi semakin tinggi. Kadar abu pada kitosan merupakan parameter penting yang dapat memengaruhi kelarutan, mengakibatkan viskositas rendah dan dapat memengaruhi karakteristik produk akhir (No dan Meyers 1995). Kadar abu kitosan yang dihasilkan yaitu sebesar 0.34%. Standar kadar abu dalam kitosan yaitu ≤ 2% maka kadar abu kitosan kulit pupa ulat sutera yang dihasilkan sudah memenuhi standar mutu kitosan. Faktor yang memengaruhi kadar abu adalah proses demineralisasi dan air yang digunakan ketika penetralan. Air yang digunakan untuk penetralan tidak mengandung mineral karena dapat meningkatkan kadar mineral dalam bahan, sehingga jumlah pengotor semakin banyak (Suptijah 2006).

Kadar air kitosan yang dihasilkan yaitu sebesar 7.4%. Standar kadar air dalam kitosan yaitu ≤ 10% maka kadar air kitosan kulit pupa ulat sutera yang dihasilkan sudah memenuhi standar mutu. Proses yang berperan terhadap kadar air kitosan adalah proses pengeringan, lamanya pengeringan berlangsung, jumlah kitosan yang dikeringkan dan luas permukaan tempat kitosan diletakkan (Saleh et al. 1994). Menurut Sophanodora dan Benjakula (1993) bahwa kadar air kitosan tidak dipengaruhi oleh jumlah bahan, nisbah dan waktu proses, tetapi dipengaruhi oleh waktu pengeringan yang dilakukan terhadap kitosan.

Kadar nitrogen menunjukkan kandungan nitrogen yang terdapat pada kitosan. Semakin rendah kadar nitrogen maka kualitas kitosan semakin baik, karena jika sisa nitrogen dalam kitosan lebih banyak kemungkinan disebabkan adanya residu protein. Protein terikat secara kovalen dengan kitosan membentuk struktur stabil sehingga sulit untuk menghasilkan produk yang bebas dari residu protein (Austin et al. 1981). Kadar total nitrogen yang tertinggal setelah proses deproteinasi dapat dijadikan parameter efektivitas proses deproteinasi (Hong et al.

1989). Kadar nitrogen kitosan yang dihasilkan yaitu sebesar 4.98%. Standar kadar nitrogen dalam kitosan yaitu ≤ 5% maka kadar nitrogen kitosan kulit pupa ulat sutera yang dihasilkan sudah memenuhi standar.

(21)

9 Analisis Total Plate Count (TPC) Tahu

Tahu merupakan bahan pangan yang sangat mudah rusak sehingga digolongkan ke dalam High Perishable Food (Shurtleff dan Aoyagi 1979). Kerusakan tahu mempunyai kaitan erat dengan aktivitas mikroorganisme. Mikroorganisme yang biasanya menjadi penyebab kerusakan pada bahan pangan yang berkadar air dan protein tinggi dengan pH sekitar netral adalah golongan bakteri.

Pengukuran seberapa jauh tingkat kerusakan tahu, dapat dilihat dari banyaknya bakteri yang tumbuh pada tahu tersebut dengan menggunakan salah satu metode pengukuran, yaitu pengukuran Total Plate Count TPC. Nilai TPC dapat memengaruhi perubahan fisik tahu. Semakin tinggi nilai TPC, maka semakin menurun kualitas dari tahu tersebut. Pengujian TPC ini dilakukan setiap hari hingga jumlah bakteri koloni yang tumbuh melebihi standar SNI.

Berdasarkan hasil penelitian, jumlah bakteri yang tumbuh pada tahu berkisar antara 5.1 cfu/g(1.25 x 105) sampai 7.08 cfu/g(1.2 x 107). Hasil analisis TPC tahu disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Perubahan nilai TPC tahu

Keterangan : Huruf dengan superscript berbeda menunjukkan ada perbedaan nyata (p<0.05) antar perlakuan.

Gambar 3 menunjukkan bahwa semua perlakuan mengalami peningkatan nilai TPC setiap hari yang menunjukkan adanya pertumbuhan dan perkembangan bakteri pada tahu. Lama penyimpanan memberikan pengaruh terhadap peningkatan jumlah bakteri. Secara keseluruhan, hari ke-0 perendaman sudah memasuki fase logaritmik. Menurut Fardiaz (1987), fase logaritmik pada kurva pertumbuhan mikroorganisme merupakan fase ketika pertumbuhan jumlahnya mengikuti kurva logaritmik. Pada fase ini, kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh kondisi medium, seperti pH, kandungan nutrien, suhu, dan kelembapan udara.

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan perendaman memberikan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap nilai TPC tahu baik pada penyimpanan hari ke-0, hari ke-1 maupun hari ke-2. Pada penyimpanan hari ke-0 perbedaan yang nyata terjadi antara tahu perlakuan kontrol dengan tahu perlakuan formalin dan tahu perlakuan kitosan 1000 ppm. Pada penyimpanan hari ke-1 perbedaan yang nyata terjadi antara tahu perlakuan kontrol dengan tahu perlakuan formalin

a

Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2

(22)

10

dan tahu perlakuan kitosan pada masing-masing konsentrasi. Pada penyimpanan hari ke-2 perbedaan yang nyata terjadi antara tahu perlakuan kontrol dengan tahu perlakuan formalin dan dengan tahu perlakuan kitosan pada masing-masing konsentrasi. Perlakuan kitosan tidak memberikan perbedaan yang nyata pada masing-masing konsentrasi hingga penyimpanan hari ke-2. Tahu dengan perlakuan kitosan, baik konsentrasi 250 ppm, 500 ppm, 1000 ppm, memiliki nilai TPC yang lebih rendah dibandingkan dengan tahu perlakuan kontrol dan tahu perlakuan formalin dan mampu mempertahankan SNI tahu hingga penyimpanan hari ke-2, sedangkan tahu dengan perlakuan formalin hanya mampu mempertahankan SNI tahu hingga penyimpanan hari ke-1. Berbeda dengan hasil penelitian Danggi (2008), yang menunjukkan bahwa tahu dengan metode edible coating kitosan udang pada suhu ruang hanya mampu mempertahankan SNI tahu hingga penyimpanan hari ke-1.

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan lama penyimpanan tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap nilai TPC tahu. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan kitosan mampu menghambat pertumbuhan bakteri secara efektif, meskipun ternyata pada saat penyimpanan hari ke-0, ke-1 dan ke-2 perlakuan kitosan tidak berbeda nyata dengan kontrol.

Menurut Tsai et al. (2002), kitosan memiliki sifat antimokroba yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri, baik bakteri gram negatif maupun bakteri gram positif. Sifat antimikroba pada kitosan disebabkan oleh adanya muatan positif pada gugus amino yang dapat berinteraksi dengan muatan negatif yang terdapat pada sel membran mikroba (Leuba et al. 1986), yang mampu menyebabkan terjadinya kebocoran protein dan komponen intraseluler pada mikroorganisme (Shahidi et al. 1999). Polikationik kitosan, pada konsentrasi rendah (0,2 mg/ml), mampu mengikat pada muatan negatif yang terdapat di permukaan bakteri tersebut hingga mengakibatkan aglutinasi, sedangkan pada konsentrasi tinggi, sebagian besar muatan positif dapat menyebabkan terjadi suspensi (Dutta et al. 2009).

Peningkatan jumlah bakteri pada tahu menunjukkan bahwa tahu mengalami penurunan mutu selama penyimpanan. Arpah (2001) menyatakan bahwa pertumbuhan mikroba pada produk pangan dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik pertumbuhan mikroba antara lain pH, aw, kandungan nutrisi, struktur biologis, dan kandungan mikroba, sedangkan untuk faktor ekstrinsik antara lain temperatur penyimpanan, kelembaban relatif, serta jenis dan jumlah gas pada lingkungan.

(23)

11 Analisis Derajat Keasaman (pH) Tahu

Pengukuran nilai derajat keasaman (pH) bertujuan untuk melihat perubahan pH tahu selama penyimpanan. Nilai derajat keasaman merupakan salah satu faktor penting yang menentukan ketahanan bahan pangan terhadap pembusukan yang disebabkan oleh pertumbuhan bakteri (Lawrie 1995).

Berdasarkan hasil penelitian, nilai pH pada tahu berkisar antara 4.28 sampai 4.92. Adapun hasil analisis pH tahu disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Nilai pH tahu

Keterangan : Huruf dengan superscript berbeda menunjukkan ada perbedaan nyata (p<0.05) antar perlakuan.

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan perendaman memberikan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap nilai pH pada penyimpanan hari ke-2. Perbedaan yang nyata terjadi antara tahu perlakuan kontrol dengan tahu perlakuan formalin dan kitosan pada masing-masing konsentrasi. Perlakuan kitosan tidak memberikan perbedaan yang nyata pada masing-masing konsentrasi. Tahu dengan perlakuan kitosan, baik konsentrasi 250 ppm, 500 ppm, dan 1000 ppm, memiliki nilai pH yang lebih rendah dibandingkan dengan tahu kontrol. Penurunan nilai pH pada tahu yang diberi perlakuan kitosan terjadi karena kitosan mampu memberikan efek penghambatan yang besar terhadap pertumbuhan dan aktivitas bakteri (Dutta et al. 2008), yang dapat mempengaruhi perusakan protein sehingga penguraian protein yang dapat mengakibatkan peningkatan nitrogen penyebab basa, ikut terhambat.

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap nilai pH. Perbedaan yang nyata terjadi pada penyimpanan hari ke-0, ke-1, ke-2. Semakin lama penyimpanan maka pH tahu semakin tinggi. Menurut Fennema (1985) kenaikan pH tahu disebabkan oleh terbentuknya senyawa-senyawa hasil penguraian protein tahu yang bersifat basa oleh mikroba. Nilai pH tahu yang diberi perlakuan kitosan memiliki nilai pH yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai pH tahu kontrol.

Kitosan memberikan pengaruh terhadap kondisi lingkungan dan faktor-faktor pertumbuhan bakteri, salah satunya adalah pH (Frazier dan Westhoff 1978). Perlakuan larutan kitosan menghasilkan pH yang lebih rendah. Hal ini dikarenakan kitosan memiliki muatan positif yang secara kimiawi sangat reaktif untuk mengikat ion hidroksil (OH-). Proses pengikatan ini akan menyebabkan

a

Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2

(24)

12

jumlah OH- terdisosiasi menjadi lebih sedikit karena terikat oleh muatan positif kitosan sehingga menjadi tidak terdisosiasi (Fessenden dan Fessenden 1986). Bhumkar dan Pokharkar (2006) menguatkan bahwa pada lingkungan asam, kitosan akan bersifat polikationik yang akan mengikat banyak muatan negatif di sekitarnya (termasuk ion hidrogen).

Semakin rendahnya nilai pH pada suatu produk umumnya akan meningkatkan daya simpan produk, karena bakteri akan sulit hidup dalam pH rendah, kecuali bakteri yang tahan pada pH rendah (acidophilic) (Soeparno 2005).

Analisis Uji Bakteri Spesifik Tahu

Pengujian bakteri spesifik bertujuan untuk mengetahui kemampuan kitosan dalam menghambat pertumbuhan bakteri spesifik baik itu bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif. Pada penelitian ini pengujian bakteri spesifik dilakukan pada penyimpanan hari ke-2 dan membandingkan antara tahu kontrol dengan kitosan 500 ppm. Hasil pengujian bakteri spesifik tahu dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Pengujian bakteri spesifik

Berdasarkan Gambar 5 di atas menunjukkan bahwa tahu dengan kitosan memiliki sifat antibakteri yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri, baik bakteri gram positif (Stapylococcus) maupun bakteri gram negatif (E.coli dan

Salmonella) dibandingkan dengan tahu kontrol. Penelitian Darmadji dan Izumimoto (1996) membuktikan bahwa kitosan dengan konsentrasi 0.5%-1% dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk pada daging sapi selama penyimpanan. Penelitian Coma et al. (2002), membuktikan bahwa edible film

kitosan dapat menghambat pertumbuhan dua bakteri patogen pada makanan, di antaranya Staphylococcus aureus dan Listeria monicytogenes.

Mekanisme penghambatan bakteri oleh kitosan berbeda antara bakteri gram positif dan gram negatif. Perbedaan tersebut ditunjukkan oleh adanya perbedaan efek yang ditimbulkan oleh kitosan terhadap bakteri Staphylococcus aureus (gram positif) dengan Escherichia coli (gram negatif). Pada S. aureus, aktivitas penghambatan bakteri oleh kitosan meningkat seiring dengan meningkatnya berat molekul kitosan, sedangkan pada E.coli, aktivitas

(25)

13 penghambatan bakteri oleh kitosan meningkat saat berat molekul kitosan semakin menurun. Artinya, pada S. aureus, kitosan pada saat berikatan dengan permukaan sel, akan membentuk membran polimer yang dapat menghambat nutrisi untuk masuk ke dalam sel, sedangkan pada E.coli, kitosan dengan berat molekul rendah akan memasuki sel dengan cara memisahkan antara dinding sel dengan membran sel hingga terjadi kebocoran sampai kematian sel (Dutta et al. 2008).

Analisis Proksimat Tahu

Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui sifat kimia dari tahu setelah diberikan perlakuan, baik pada penyimpanan hari ke-0 maupun hari ke-2. Analisis yang dilakukan meliputi uji kadar air, abu, protein, dan lemak.

Kadar Air

Kadar air merupakan salah satu faktor yang memiliki pengaruh yang besar terhadap bahan olahan (Winarno 1997). Kandungan air dalam komponen bahan pangan dapat memengaruhi sifat fisik, perubahan kimia, perubahan mikrobiologi dan perubahan enzimatis. Perubahan-perubahan tersebut akan memengaruhi tekstur, penampakan, bau dan cita rasa makanan (Buckle et al.1987). Hasil analisis kadar air tahu pada awal penyimpanan hari ke-0 maupun hari ke-2 dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Nilai kadar air tahu

Keterangan : Huruf dengan superscript berbeda menunjukkan ada perbedaan nyata (p<0.05) antar perlakuan.

(26)

14

Menurut Knorr (1982), kitosan memiliki gugus hidrofilik, yaitu pada gugus hidroksil primer dan sekunder pada C-3 dan C-6 yang menyebabkan kitosan memiliki reaktivitas kimia tinggi, sehingga kitosan memiliki kemampuan dalam mengikat air. Kadar air berkaitan dengan daya mengikat air dari tahu itu sendiri. Makin tinggi kadar air suatu produk, maka akan semakin rendah daya mengikat air produk tersebut.

Berdasarkan Lawrie (1985), penurunan daya ikat air yang menyebabkan terjadinya peningkatan kadar air disebabkan oleh makin banyaknya asam laktat yang terakumulasi akibatnya banyak protein yang rusak, sehingga diikuti dengan kehilangan kemampuan protein untuk mengikat air. Setelah dilakukan penyimpanan selama 2 hari, diketahui bahwa perlakuan kitosan, belum efektif dalam menghambat terjadinya peningkatan kadar air pada tahu.

Kadar Abu

Kadar abu suatu bahan pangan menunjukkan besarnya jumlah mineral yang terkandung dalam bahan pangan. Kadar abu adalah sisa yang tertinggal bila suatu sampel bahan pangan dibakar sempurna di dalam tungku pengabuan. Kadar abu menggambarkan banyaknya mineral yang tidak terbakar menjadi zat yang mudah menguap (Apriyantono et al. 1989). Hasil analisis kadar abu tahu pada awal penyimpanan hari ke-0 maupun hari ke-2 dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Nilai kadar abu tahu

Keterangan : Huruf dengan superscript berbeda menunjukkan ada perbedaan nyata (p<0.05) antar perlakuan.

(27)

15 Suptijah et al. (1992) menunjukan bahwa kitosan mengandung unsur mineral berupa CaCO3 dan sedikit Ca3(PO4)2 yang tidak larut dalam air. Penurunan kadar abu tahu terjadi karena mulai berkembangnya bakteri sehingga unsur-unsur mineral yang terkandung pada tahu, digunakan untuk nutrisi pertumbuhan dan perkembangan dari bakteri tersebut. Bakteri membutuhkan unsur-unsur kimia dasar untuk pertumbuhan, di antaranya fosfor, magnesium, besi, dan lain-lain (Rospiati 2006).

Kadar Protein

Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh manusia, karena protein selain berfungsi sebagai bahan bakar, protein juga berfungsi sebagai bahan pengatur dan bahan pembangun (Winarno 2004). Hasil analisis kadar protein tahu pada awal penyimpanan hari ke-0 maupun hari ke-2 dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Nilai kadar protein tahu

Keterangan : Huruf dengan superscript berbeda menunjukkan ada perbedaan nyata (p<0.05) antar perlakuan.

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan perendaman tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap kadar protein tahu baik pada penyimpanan hari ke-0 maupun penyimpanan hari ke-2. Namun dari gambar di atas dapat dilihat bahwa setelah penyimpanan hari ke-2 perlakuan kitosan dengan konsentrasi 250 ppm memiliki kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Perlakuan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap kadar protein tahu. Semakin lama penyimpanan maka kadar protein tahu semakin menurun.

Hal ini disebabkan oleh adanya perlakuan kitosan yang mampu menghambat terjadinya denaturasi protein, sehingga protein dalam tahu mampu dipertahankan. Penurunan protein selama penyimpanan terjadi karena adanya degradasi protein, yang disebabkan oleh pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme yang terdapat pada tahu. Mikroorganisme dalam pertumbuhannya membutuhkan nutrisi, salah satunya yaitu protein yang menyediakan sumber energi untuk pertumbuhan mikroorganisme (Mead 2004). Mikroorganisme mampu menghasilkan enzim proteolitik yang dapat memecah

(28)

16

molekul protein dalam bahan pangan (Rahardyani 2011). Semakin cepat pertumbuhan bakteri, maka akan menyebabkan terjadinya degradasi protein yang semakin cepat pula, sehingga menyebabkan kadar protein dalam tahu semakin menurun. Bakteri dapat memecah molekul-molekul kompleks dan zat-zat organik, misalnya polisakarida, lemak, dan protein menjadi uni yang lebih sederhana. Pemecahan awal ini dapat terjadi akibat ekskresi enzim ekstraseluler yang sangat erat hubungannya dengan proses pembusukan bahan pangan (Buckle et al. 1987).

Kadar Lemak

Lemak merupakan zat makanan penting untuk menjaga kesehatan tubuh dan sumber energi yang lebih efektif dibandingkan protein dan karbohidrat (Winarno 1997). Hasil analisis kadar lemak tahu pada awal penyimpanan hari ke-0 maupun hari ke-2 dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Nilai kadar lemak tahu

Keterangan : Huruf dengan superscript berbeda menunjukkan ada perbedaan nyata (p<0.05) antar perlakuan.

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan perendaman tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap kadar lemak tahu baik pada penyimpanan hari ke-0 maupun penyimpanan hari ke-2. Namun dari gambar di atas dapat dilihat bahwa setelah penyimpanan hari ke-2 perlakuan kitosan dengan konsentrasi 1000 ppm memiliki kadar lemak yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Perlakuan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap kadar lemak tahu. Semakin lama penyimpanan maka kadar lemak tahu semakin menurun.

Menurut Knorr (1982), kitosan memiliki gugus amino pada C-2 menyebabkan kitosan memiliki reaktivitas kimia tinggi, sehingga kitosan memiliki sifat hidrofobik, yaitu memiliki kemampuan untuk mengikat lemak. Seiring dengan lama penyimpanan, nilai kadar lemak akan semakin menurun akibat semakin tingginya jumlah mikroba (Irawati et al. 1997), sehingga mengakibatkan terjadinya degradasi lemak yang terjadi secara perlahan-lahan (Situmorang 2008) yang ditunjukkan dengan terjadinya proses oksidasi lemak akibat adanya kontak udara dengan asam lemak yang mengakibatkan proses

(29)

17 kerusakan (Winarno 1997). Setelah dilakukan penyimpanan hingga hari ke-2, ternyata adanya perlakuan kitosan pada tahu belum mampu secara efektif dalam menghambat terjadinya peningkatan kadar lemak tahu selama penyimpanan berlangsung.

Uji Organoleptik Tahu

Uji organoleptik merupakan suatu metode pengujian yang dilakukan dengan panca indera dalam menilai kualitas dari suatu produk pangan. Penilaian secara indrawi ini memiliki peran penting dalam menilai kualitas produk pangan, salah satunya dapat melihat sampai sejauh mana produk masih layak dikonsumsi, dengan melihat dari perubahan fisik produk itu sendiri. Beberapa parameter yang digunakan dalam uji organoleptik ini antara lain warna, tekstur, bau, lendir dan fungi. Pengujian dilakukan di awal penyimpanan hari ke-0 hingga penyimpanan hari ke-2.

Warna

Warna merupakan faktor penting dalam penerimaan dan penolakan produk pangan yang akan dikonsumsi dan dapat memengaruhi kualitas sensori lainnya (Francis and Clydesdale 1975 dalam Fletcher 2006). Perubahan warna akan menunjukkan perubahan nilai gizi, sehingga perubahan warna dijadikan indikator tingkat nilai gizi maksimum yang diterima (Arpah 2001). Hasil uji organoleptik warna tahu dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Nilai organoleptik warna tahu

Keterangan : Huruf dengan superscript berbeda menunjukkan ada perbedaan nyata (p<0.05) antar perlakuan.

Hasil uji friedman menunjukan bahwa perlakuan perendaman hanya berpengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap warna tahu pada penyimpanan hari ke-2. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa terjadi perbedaan yang nyata antara perlakuan kontrol dengan kitosan pada konsentrasi 250 ppm dan 1000 ppm. Hal ini terlihat dari nilai organoleptik warna tahu yang diberikan perlakuan kitosan 250 ppm dan 1000 ppm memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan

Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2

(30)

18

Perbedaan yang nyata antara tahu yang diberi perlakuan kitosan 250 ppm dan 1000 ppm dengan tahu kontrol menunjukkan bahwa dengan adanya penambahan kitosan memberikan hasil organoleptik warna tahu yang lebih baik. Menurut Kittur et al. (1998), kitosan sebagai edible coating dapat mengontrol perubahan fisiologi, mikrobiologi, dan fisikokimia produk pangan.

Hasil uji statistik, perlakuan lama penyimpanan juga memberikan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap mutu organoleptik warna tahu. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa terjadi perbedaan yang nyata (p<0.05) terhadap mutu organoleptik warna tahu, baik saat penyimpanan hari ke-0, ke-1, dan ke-2. Warna tahu mengalami perubahan selama penyimpanan. Tahu yang terlalu lama disimpan akan semakin kusam, karena adanya interaksi antara warna produk pangan dengan oksigen (Baeza 2004)

Aroma

Aroma merupakan salah satu indikator pembusukan yang dapat memengaruhi penerimaan dan penolakan produk pangan (Mead 2004). Aroma suatu makanan banyak menentukan rasa enak dari makanan itu sendiri karena dengan indera penciuman, manusia mengenal enak atau tidaknya suatu makanan yang belum dilihat hanya dengan mencium bau makanan tersebut dari jauh (Soekarto 1985). Hasil uji organoleptik aroma tahu dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Nilai organoleptik aroma tahu

Keterangan : Huruf dengan superscript berbeda menunjukkan ada perbedaan nyata (p<0.05) antar perlakuan.

Hasil uji friedman menunjukan bahwa perlakuan perendaman memberikan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap aroma tahu pada penyimpanan hari ke-2. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa terjadi perbedaan yang nyata antara perlakuan kontrol dengan kitosan pada konsentrasi 500 ppm. Hal ini terlihat dari nilai organoleptik aroma tahu yang diberikan perlakuan kitosan 500 ppm memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahu kontrol.

Perlakuan perendaman kitosan mampu memberikan pengaruh yang baik terhadap mutu aroma tahu. Hal ini sesuai dengan penelitian Prasetyaningrum et al. (2007) yang menunjukkan bahwa perendaman kitosan memberikan pengaruh yang baik terhadap tingkat mutu aroma tahu sampai penyimpanan hari ke-2. Hal

a

Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2

(31)

19 ini dikarenakan kitosan sebagai edible coating memiliki kemampuan menghambat keluarnya senyawa volatile yang menyebabkan timbulnya bau yang tidak diinginkan pada tahu.

Perlakuan lama penyimpanan juga memberikan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap mutu organoleptik aroma tahu. Berdasarkan hasil uji lanjut

Duncan, terjadi perbedaan yang nyata (p<0.05) antara nilai mutu organoleptik aroma tahu pada saat penyimpanan hari ke-0, hari ke-1, dan hari ke-2. Aroma tahu sebelum dilakukan penyimpanan masih memiliki aroma yang segar. Setelah dilakukan penyimpanan, aroma tahu akan semakin berubah. Seiring dengan lamanya penyimpanan yang dilakukan, aroma tahu akan semakin menurun. Semakin lama tahu disimpan maka lambat laun aroma tahu yang dihasilkan akan mendekati netral, hingga mencapai bau yang sangat busuk.

Aroma tahu yang semakin menurun disebabkan oleh tingginya jumlah bakteri pada tahu yang menyebabkan terurainya protein menjadi senyawa-senyawa volatil yang menghasilkan bau busuk karena produksi sulfur, hidrogen sulfida (H2S), amoniak (NH3), metal merkaptan, dimetil sulfida, dan dimetil disulfida. Tingginya jumlah bakteri juga mengakibatkan degradasi lemak yang dapat merusak mutu tahu, salah satunya aroma tahu itu sendiri. Terjadinya degradasi lemak akibat pertumbuhan mikroba dapat membentuk bau yang tengik atau busuk (Baèza 2004). Bau busuk pada bahan pangan disebabkan oleh aktivitas golongan bakteri koliform dan beberapa spesies bakteri yang bersifat putrefactive

(pembuat busuk), di antaranya Clostridium dan Pseudomonas (Frazier dan Westhoff 1978).

Tekstur

Tekstur merupakan faktor terakhir yang dilihat oleh konsumen setelah penampakan, warna, bau, dan rasa dari suatu makanan (Muchtadi 2008). Tekstur bisa dikatakan sebagai penentu terakhir dari suatu penilaian bahan makanan. Ketika tekstur dalam keadaan yang tidak baik, maka suatu makanan dapat ditolak atau tidak jadi dikonsumsi. Hasil uji organoleptik tekstur tahu dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Nilai organoleptik tekstur pada tahu

Keterangan : Huruf dengan superscript berbeda menunjukkan ada perbedaan nyata (p<0.05) antar perlakuan.

Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2

(32)

20

Hasil uji friedman menunjukan bahwa perlakuan perendaman tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap mutu organoleptik tekstur tahu hingga hari ke-2. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan kitosan belum mampu menghambat penurunan mutu organoleptik tekstur tahu sehingga dapat dikatakan bahwa mutu organoleptik tekstur tahu yang diberi perlakuan larutan kitosan sama dengan tahu kontrol. Namun pada gambar di atas dapat dilihat bahwa rata-rata nilai mutu tekstur penyimpanan hari ke-2 pada perlakuan kitosan 250 ppm memberikan nilai tertinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Perlakuan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap mutu organoleptik tekstur tahu. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada mutu organoleptik tekstur tahu antara penyimpanan hari ke-0, hari ke-1, dan hari ke-2.

Semakin lama penyimpanan yang dilakukan akan menyebabkan kadar air pada bahan pangan juga semakin meningkat (Winarno 1997) sehingga menyebabkan tekstur bahan pangan semakin lembek. Tekstur tahu sebelum dilakukan proses penyimpanan masih dalam keadaan kompak jika ditekan jari. Seiring dengan lamanya penyimpanan, tekstur tahu semakin menurun, yaitu menjadi semakin lunak. Tingginya kadar air tahu dapat menyebabkan semakin tingginya pertumbuhan dan perkembangan bakteri, serta degradasi protein yang dapat mengakibatkan pelepasan air pada tahu meningkat (Winarno 1997), sehingga terjadi perubahan fisik berupa menurunnya tingkat konsistensi suatu bahan pangan, yang ditandai dengan semakin lunak dan berairnya bahan pangan tersebut (Peranginangin et al. 1999).

Lendir

Lendir merupakan salah satu indikator terjadi kemunduran mutu suatu produk pangan karena disebabkan oleh adanya pertumbuhan dan aktivitas mikroba (Arpah 2001). Hasil uji organoleptik lendir pada tahu dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Nilai organoleptik lendir

Keterangan : Huruf dengan superscript berbeda menunjukkan ada perbedaan nyata (p<0.05) antar perlakuan.

Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2

(33)

21 Hasil uji friedman menunjukan bahwa perlakuan perendaman tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap mutu organoleptik lendir tahu hingga hari ke-2. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan kitosan belum mampu menghambat penurunan mutu organoleptik lendir tahu sehingga dapat dikatakan bahwa mutu organoleptik lendir tahu yang diberi perlakuan larutan kitosan sama dengan tahu kontrol. Namun pada gambar di atas dapat dilihat bahwa rata-rata nilai mutu lendir penyimpanan hari ke-2 pada perlakuan kitosan 250 ppm memberikan nilai terendah dibandingkan dengan perlakuan yang lain.

Perlakuan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap mutu organoleptik lendir tahu. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada mutu organoleptik tekstur tahu antara penyimpanan hari ke-0, hari ke-1, dan hari ke-2. Semakin lama penyimpanan mengakibatkan semakin menurunnya mutu tahu, salah satunya ditandai dengan adanya lendir pada tahu. Lendir yang dihasilkan pada tahu sebelum dilakukan proses penyimpanan hampir tidak ada. Setelah dilakukan penyimpanan hingga hari ke-2, mulai terjadi peningkatan lendir.

Terbentuknya lendir disebabkan oleh semakin tingginya jumlah bakteri yang tumbuh dan berkembang dalam tahu. Semakin tinggi jumlah bakteri yang tumbuh dan berkembang akan menghasilkan lendir semakin banyak (Raharjo dan Santosa 2005). Bakteri yang dapat menstimulasi pembentukan lendir (slime forming bacteria) adalah bakteri kontaminasi yang umumnya bersifat aerobik, antara lain Pseudomonas, Alcaligenes, Lactobacillus, Streptococcus, dan koliform (Frazier dan Westhoff 1978).

Fungi

Adanya fungi pada tahu menandakan bahwa tahu tersebut telah mengalami kemunduran mutu. Hasil uji organolepptik fungi dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14 Nilai organoleptik fungi

Keterangan : Huruf dengan superscript berbeda menunjukkan ada perbedaan nyata (p<0.05) antar perlakuan.

Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2

(34)

22

Hasil uji friedman menunjukan bahwa perlakuan perendaman tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap mutu organoleptik fungi tahu hingga hari ke-2. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan kitosan belum mampu menghambat penurunan mutu organoleptik fungi tahu sehingga dapat dikatakan bahwa mutu organoleptik fungi tahu yang diberi perlakuan larutan kitosan sama dengan tahu kontrol. Namun pada gambar di atas dapat dilihat bahwa rata-rata nilai mutu fungi penyimpanan hari ke-2 pada perlakuan kitosan 250 ppm memberikan nilai terendah dibandingkan dengan perlakuan yang lain.

Perlakuan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap mutu organoleptik fungi tahu. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada mutu organoleptik fungi tahu antara penyimpanan hari ke-0, hari ke-1, dan hari ke-2. Semakin lama penyimpanan mengakibatkan semakin menurunnya mutu tahu, salah satunya ditandai dengan adanya fungi pada tahu. Fungi yang dihasilkan pada tahu sebelum dilakukan proses penyimpanan hampir tidak ada. Setelah dilakukan penyimpanan hingga hari ke-2, mulai terjadi peningkatan fungi.

Kitosan dapat berfungsi sebagai antibakteri dan antifungal. El Ghaouth et al. (1994) mengemukakan bahwa polikation alami dari kitosan dapat menghambat pertumbuhan kapang dan fungi patogen. Hal inilah yang menyebabkan fungi dengan perlakuan kitosan memiliki rata-rata nilai yang lebih sedikit dibandingkan dengan kontrol.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Karakteristik kitosan kulit pupa ulat sutera memiliki rendemen sebesar 7% dari total bobot kulit pupa ulat sutera yang digunakan. Kitosan yang dihasilkan dalam penelitian telah memenuhi standar laboratorium protan dilihat dari karakteristik bentuk partikel, warna larutan, kadar air, kadar abu, kadar protein dan derajat deasetilasi. Derajat deasetilasi yang dihasilkan sebesar 73.5% dan telah memenuhi standar kitosan sebagai bahan pengawet.

Hasil pengujian Total Plate Count menunjukkan bahwa larutan kitosan mampu menghambat pertumbuhan bakteri pada tahu dan mempertahankan SNI tahu hingga penyimpanan hari ke-2. Selain itu hasil uji bakteri spesifik menunjukkan bahwa larutan kitosan mampu menghambat jenis bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif. Perlakuan kitosan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0.05) terhadap nilai organoleptik warna, dan aroma; nilai pH, dan nilai TPC tahu, sedangkan perlakuan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap nilai organoleptik dan nilai pH tahu. Peningkatan jumlah bakteri pada tahu selama penyimpanan memiliki peranan penting dalam kemunduran mutu tahu.

(35)

23 Saran

Penelitian selanjutnya sebaiknya perlu diperhatikan optimalisasi proses dalam pembuatan kitosan kulit pupa ulat sutera agar memperoleh rendemen kitosan yang lebih besar. Dan perlu dilakukan pengujian lanjutan dengan diaplikasikan ke bahan pangan lainnya yang sering menggunakan pengawet seperti bakso.

DAFTAR PUSTAKA

Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989.

Petunjuk Laboratorium Analisa Pangan. Bogor: IPB Press Arpah. 2001.

Penetapan Kadaluarsa Pangan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor.

Arpah. 2001. Penerapan Kadaluarsa Pangan. Bogor(ID): Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor.

Austin PR, Brine CJ, Castle JE, Zikakis JP. 1981. Chitin: New facets of research. Science 212:749-753.

Baèza E. 2004. Measuring quality parameters. Dalam Poultry Meat Processing and Quality. Mead GC (Ed). Cambridge, England: Woodhead Publishing Limited.

Buckle, K. A., R. A. Edwards, G.H. Fleet, dan M.Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Penerjemah : Hari Purnomo dan Adiono. Jakarta(ID): UI-Press

Darmadji P, Izumimoto M. 1996. Effect of chitosan in meat preservation. Meat Science. 38(2), 243–254.

Danggi, Erni. 2008. Aplikasi kitosan dengan penambahan esensial oil kunyit sebagai pengawet dan edible coating produk tahu [tesis]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Dutta PK, Tripathi S, Mehrotra GK , Dutta J. 2008. Perspectives for chitosan based antimicrobial films in food applications. Food Chemistry . 114: 1173-1182.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1988. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Bahan Tambahan Makanan, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Makanan (Edisi II).

El Ghaouth A, Grenier JA, Benhamou N, Asselin A, Belenger. 1994. Effect of chitosan on cucumber plant suppression of Phytium aphandenidermatum and introduction of defense reaction. Journal of Phytopathology 84:3 Faozan, A. 2001. Pengaruh konsentrasi NaOH dan suhu proses terhadap derajat

deasetilasi kitosan [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor,.

Fardiaz F. 1987. Mikrobiologi Pangan Jilid I. Bogor(ID): PAU.

(36)

24

Fletcher DL. 2006. Poultry meat colour. Dalam Poultry Meat Science. Poultry Science Symposium Series vol. 25. Richardson RI and GC Mead (Ed). London: CAB International Publishing.

Frazier WC, DC Westhoff. 1978. Food microbiology. 3rd Edition. New Delhi: Hill Publishing Company Limited.

Hadi HNSS. 2008. Aplikasi kitosan dengan penambahan ekstrak bawang putih sebagai pengawet dan edible coating bakso sapi. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Hong KN, Meyers SP, Lee KS. 1989. Isolation and Characterization of Chitin from Crawfish Shell Waste. J Agricultural F. Chemstry. 37:375-579p. Irawati Z, Nurcahya CM, Handayani D, Sanjoko. 1997. Pengaruh iradiasi gamma

pada kualitas daging segar. Prosiding Seminar Teknologi Pangan 33: 372-383.

Knorr D. 1982. Dye binding properties of chitin and chitosan. Journal Food Science. 48(1): 36-37.

Kittur FS, Kumar KR, Tharanathan RN. 1998. Functional packaging properties of chitosan film.

Kusumaningjati F. 2009. Aplikasi kitosan sebagai bahan pengawet pada tahu. [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Leuba JL, Stössel P. 1986. Chitosan and other polyamines: Antifungal activity and interaction with biological membranes. In: Muzzarelli R, Jeuniaux C, Gooday G (Ed). Chitin in nature and technology. New York: Plenum Press. 215-221.

Lawrie RA. 1985. Meat science. New York: Peargamon Press.

Mead GC. 1984. Processing of poultry. London: Elsevier Applied Science.

Muchtadi TR. 2008. Teknologi Proses Pengolahan Bahan Pangan. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Maulana DM. 2007. Stabilitas larutan dan kitosan 1.5% sebagai antibakteri pada penyimpanan suhu ruang [skripsi]. Bogor: Program Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

No HK, Meyers SP. 1995. Preparation and Characterization of Chitinand chitosan-a review. J aqua Food Prod Tecnol 42(2):27-52

Peranginangin RS, Wibowo, Fawzya YN. 1999. Teknologi Pengolahan Surimi. Jakarta: Instalansi Penelitian Perikanan Laut Slipi.

Protan Laboratories. 1987. Cation Polymer for Recovery Valuable by Products from Processing Waste Burgess.

(37)

25 Rospiati E. 2006. Evaluasi mutu dan nilai gizi nugget daging merah ikan tuna (Thunnus sp.) yang diberi perlakuan titanium dioksida. [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Rahardyani R. 2011. Efek daya hambat kitosan sebagai edible coating terhadap mutu daging sapi selama penyimpanan suhu dingin. [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Rismana, 2006. Serat Kitosan Mengikat Lemak. http://www.kompas.com (Diakses pada tanggal 10 Agustus 2014).

Saleh MR, Abdillah, Suherman E, Basmal J, indriarti N. 1994. Pengaruh suhu, waktu dan konsentrasi pelarut pada ekstraksi khitosan dari limbah pengolahan udang beku terhadap beberapa parameter mutu khitosan.

Jurnal Pasca Panen Perikanan. No. 81. ha1 30-43.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1992. Petunjuk Pengujian Organoleptik.

Bogor: FATETA IPB.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1995. Bahan Tambahan Makanan. SNI 01-222-1995. Dewan Standardisasi Indonesia.

[Seafast] Southeast Asis Food and Agricultural Science and Technology. 2008. Analisis Lempeng Total Aerobik Metod Cawan. Bogor(ID): IPB.

Soekarto E. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Situmorang EN. 2008. Pengawetan daging ayam (Gallus Gallus Domesticus) dengan larutan garam dingin. [skripsi]. Medan: Program Sarjana, Universitas Sumatera Utara.

Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta(ID): Gadjah Mada University Press.

Setiawan, Wahyu Kamal. 2012. Pemanfaatan kulit udang menjadi kitosan sebagai bahan antibakteri dan pengawet alami pada filet kakap merah [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sophanodora S, Benjakula S. 1993. Convertion and utilization of chitosan from prawn shell. Dalan Developent of food Science and Technology in Southeast Asia. Prosiding at The 4th Asean Food Conferences.

Shahidi J, Arachchi KV, Jeon YJ. 1999. Food aplication of chitin and chitosan. Trend in Food Science and Technology. 10:37-51.

Saparinto, Diana H.2006. Bahan Tambahan Makanan. Yogyakarta(ID): Kanisius. Susanti Sanny. 2010. Penetapan kadar formaldehid pada tahu yang dijual di pasar

ciputat dengan metode spektrofotometri uv-vis disertai kolorimetri menggunakan pereaksi nash. [Skripsi]. Jakarta: Program Sarjana, Universitas Islam Negeri.

(38)

26

Tresniani, A. 2003. Kandungan Formalin dan Jenis Zat Warna pada Tahu Produksi Industri Rumah Tangga di Kota Tangerang. [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Tsai GJ, Su WH, Chen HC, Pan CL. 2002. Antimicrobial activity of shrimp chitin and chitosan from different treatments and applications of fish preservation. Fisheries Science. 68: 170-177.

Untajana, A. D. E.,Aryeti dan Eti. 1996. Uji Formaldehida dalam Tahu di Kotamadya Bogor. Buletin Kimia, Bogor.

Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta(ID): Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.

. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta(ID): Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama

Zhang D, Quantick PC. 1998. Antifungal effects of chitosan coating on fresh strawberries and raspberries during storage. Journal of Horticultural Science and Biotechnology. 7(6): 763-767.

(39)

27 Lampiran 1 Analisis statistik nilai TPC Tahu

Data rataan nilai TPC Tahu (log cfu/gram)

Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3

Perlakuan*Waktu 3.970E10 12 3.309E9 4.502 .002

Error 1.470E10 20 7.350E8

Intercept 388090.000 1 388090.000 356.046 .000

(40)

28

Intercept 5490810.000 1 5490810.000 197.725 .000 Perlakuan 1.168E7 4 2919660.000 105.137 .000

(41)

29 Analisis varian nilai pH

(42)

30

Duncan penyimpanan hari ke-2

Perlakuan N Subset

Lampiran 3 Analisis statistik kadar air tahu Data rataan kadar air tahu

Hari ke-0 Hari ke-2 Analisis varian kadar air

Source Type III Sum

of Squares

df Mean Square F Sig.

Corrected Model 22.800a 9 2.533 6.333 .004

Intercept 146547.200 1 146547.200 3.664E5 .000

(43)

31 Lampiran 4 Analisis statistik kadar abu tahu

Data rataan kadar abu tahu

Hari ke-0 Hari ke-2 Analisis varian kadar abu

(44)

32

Lampiran 5 Analisis statistik kadar protein tahu Data rataan kadar protein tahu

Hari ke-0 Hari ke-2

Intercept 1757.812 1 1757.812 3.950E

4

Intercept 840.889 1 840.889 1.064E

(45)

33 Lampiran 6 Analisis statistik kadar lemak tahu

Data rataan kadar lemak tahu

Hari ke-0 Hari ke-2

Lampiran 7 Analisis Friedman Warna Penyimpanan hari ke-0

N 64

Chi-Square 8.824

df 4

(46)

34

Penyimpanan hari ke-1

N 64

Chi-Square 2.325

Df 4

Asymp. Sig. .676

Penyimpanan hari ke-2

N 64

Chi-Square 16.309

Df 4

Asymp. Sig. .003

Duncan

Perlakuan N Subset

1 2

kontrol 64 2.6563

kitosan 500 ppm 64 2.7969 2.7969 formalin 50 ppm 64 2.8594 2.8594

kitosan 1000 ppm 64 3.0156

kitosan 250 ppm 64 3.0781

Sig. .162 .060

Lampiran 8 Analisis Friedman Aroma Penyimpanan hari ke-0

N 64

Chi-Square 8.286

Df 4

Asymp. Sig. .082

Penyimpanan hari ke-1

N 64

Chi-Square 17.935

Df 4

Asymp. Sig. .001

Duncan

Perlakuan N Subset

1 2

kitosan 1000 ppm 64 2.8750 kitosan 500 ppm 64 2.9375

Akuades 64 2.9844

kitosan 250 ppm 64 3.0781

formalin 50 ppm 64 3.3906

(47)

35 Penyimpanan hari ke-2

N 64

Chi-Square 11.622

df 4

Asymp. Sig. .020

Duncan

Perlakuan N Subset

1 2

kontrol 64 2.8437

kitosan 250 ppm 64 3.0625 3.0625 kitosan 1000 ppm 64 3.0625 3.0625

kitosan 500 ppm 64 3.1406

formalin 50 ppm 64 3.2031

Sig. .128 .350

Lampiran 9 Analisis Friedman Tekstur Penyimpanan hari ke-0

N 64

Chi-Square 6.232

df 4

Asymp. Sig. .182

Penyimpanan hari ke-1

N 64

Chi-Square 20.970

df 4

Asymp. Sig. .000

Duncan

Perlakuan N Subset

1 2

kitosan 250 ppm 64 3.2656

Akuades 64 3.2812

kitosan 500 ppm 64 3.4219 3.4219 kitosan 1000 ppm 64 3.4687 3.4687

formalin 50 ppm 64 3.6094

Sig. .093 .109

Penyimpanan hari ke-2

N 64

Chi-Square 8.344

df 4

(48)

36

Lampiran 10 Analisis Friedman Lendir Penyimpanan hari ke-0

N 64

Chi-Square .

Df 4

Asymp. Sig. .

Penyimpanan hari ke-1

N 64

Chi-Square 4.360

Df 4

Asymp. Sig. .360 Penyimpanan hari ke-2

N 63

Chi-Square 5.535

Df 4

Asymp. Sig. .237

Lampiran 11 Analisis Friedman Fungi Penyimpanan hari ke-0

N 64

Chi-Square .

Df 4

Asymp. Sig. .

Penyimpanan hari ke-1

N 64

Chi-Square 5.730

Df 4

Asymp. Sig. .220 Penyimpanan hari ke-2

N 64

Chi-Square 1.580

Df 4

Asymp. Sig. .812

Lampiran 12 Prosedur analisis kimia Kadar Air (Kusnandar et al.2011)

1. Bahan yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 2 gram kemudian

dimasukkan kedalam cawan yang telah diketahui beratnya.

Gambar

Gambar 2 Diagram alir tahap pembuatan larutan kitosan
Tabel 1 Karakteristik Kitosan Kulit Pupa Ulat Sutera
Gambar 3 Perubahan nilai TPC tahu
Gambar 4 Nilai pH tahu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Road Transport Investment Model (RTIM) dan HDM-III telah digunakan secara luas, dan telah berperan dalam meningkatkan pemeliharaan dan rehabilitasi jalan di

jawab, serta bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan

Berdasarkan analisis deskriptif dari hasil penelitian diperoleh nilai rata - rata kemampuan interpretasi teks puisi peserta didik kelas III SD Kartika XX-2 Armed sebelum

ceramah sebab “metode ceramah adalah metode dasar yang sukar untuk ditinggalkan”. Guru cenderung memegang kendali proses pembelajaran secara aktif dalam metode

Berbeda dengan sejumlah receiver yang memiliki kemampuan jaringan, AzBox Premium HD Plus tidak hanya bisa mengakses jaringan lokal atau internet, namun juga bisa diatur

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa, pada hasil tes awal (pretest) yang dilakukan terhadap kemampuan menulis teks prosedur

Seluruh pegawai Museum Manusia Purba Gilimanuk yang telah menerima penulis dengan baik serta memberikan izin pengambilan sampel terhadap kapak perunggu tipe jantung koleksi

Jaya Bersama Poultry Farm Desa Sei Merahi, Kecamatan Selesai, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di