ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA
PERBUATAN TIDAK MENYENANGKAN PADA PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MENGGALA
No.39/Pid.B/2010/PN.Mgl.
Oleh
AGUS PRASETYO
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
Abstrak
ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA
PERBUATAN TIDAK MENYENANGKAN (Studi Kasus Perkara No.39/Pid.B/2010/PN.Mgl)
Oleh Agus Prasetyo
Hakim adalah aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan penegakan hukum yang menentukan putusan terhadap suatu perkara yang disandarkan pada intelektual, moral, dan integritas hakim terhadap nilai-nilai keadilan. Memang sulit untuk mengukur putusan hakim yang bagaimana yang memenuhi rasa keadilan itu. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat dan merasakan suatu putusan telah memenuhi rasa keadilan atau tidak antara lain dapat ditemukan di dalam “pertimbangan hukum” yang merupakan dasar argumentasi hakim dalam memutuskan suatu perkara. Permasalahan dalam skripsi ini adalah apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana tidak menyenangkan, dan apakah alasan hakim dalam mengesampingkan Pasal 63 KUHP dalam menjatuhkan pidana pada putusan Pengadilan Negeri Menggala No.39/Pid.B/2010/PN.Mgl.
Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan, dan data skunder yang diperoleh dari studi pustaka. Data yang diperoleh kemudian dianalisis kualitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah Hakim pada Pengadilan Negeri Menggala, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Menggala, dan Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.
mengakibatkan Salimi Bin Sihabudin tidak senang sehingga perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang melanggar hukum, dan unsur-unsurnya telah terbukti secara sah menurut hukum. Pertimbangan kedua adalah pertimbangan bersifat non yuridis yang terdiri dari latar belakang, kondisi jasmani rohani, serta akibat yang ditimbulkan terdakwa. Hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Kemudian alasan hakim dalam mengesampingkan Pasal 63 KUHP dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap terdakwa adalah motif terdakwa hanya emosi sehingga melakukan perbuatan tidak menyenangkan, sikap terdakwa setelah melakukan tindak pidana tersebut sungguh menyesalinya, akibat yang ditimbulkan perbuatan terdakwa utamanya hanya pada perbuatan tidak menyenangkan, dan tujuan pidana yang diberikan untuk mengingatkan terdakwa agar tidak mengulang perbuatannya.
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I. PENDAHULUAN ... ... 1
A. Latar Belakang ………. 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ……….. … 5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ……… 5
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ………... 7
E. Sistematika Penulisan ……….. 11
BAB II. TINJUAUAN PUSTAKA ………. 13
A. Pengertian Hakim ... … 13
1. Hakim ... … 13
2. Kewajiban Hakim ... … 14
3. Peranan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan ... … 15
B. Pengertian Dasar Pertimbangan Hakim ... … 18
C. Pengertian Tindak Pidana ... …. 23
D. Pengertian Tindak Pidana Perbuatan Tidak Menyenangkan ... … 25
BAB III. METODE PENELITIAN ……… 27
A. Pendekatan Masalah ... … 27
B. Sumber dan Jenis Data ... … 28
C. Penentuan Populasi dan Sampel ... … 29
D. Metode Pengolahan Data dan Pengumpulan Data ... …. 30
E. Analisis Data ... .. .. 31
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 32
A. Karakteristik Responden .. ... ... . 32
D. Alasan Hakim Mengesampingkan Pasal 63 KUHP dalam
Menjatuhkan Vonis terhadap Terdakwa……….. 54
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ... … 59
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hakim adalah aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan penegakan hukum. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap
suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap nilai-nilai keadilan. Sedangkan pengertian hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili (Pasal 1 butir 8
KUHAP).
Hakim berbeda dengan pejabat-pejabat yang lain, ia harus benar-benar menguasai hukum, bukan sekedar mengandalkan kejujuran dan kemauan baiknya. Wirjono
Prodjodikoro berpendapat bahwa perbedaan antara pengadilan dan instansi-instansi lain ialah, bahwa pengadilan dalam melakukan tugasnya sehari-hari selalu secara positif dan aktif memperhatikan dan melaksanakan tugasnya sehari-hari
selalu secara positif dan aktif memperhatikan dan melaksanakan macam-macam peraturan hukum yang berlaku dalam suatu Negara. Di bidang hukum pidana
suatu perbuatan melanggar hukum pidana. Untuk menetapkan ini oleh hakim harus dinyatakan secara tepat Hukum Pidana yang telah dilanggar.1
Pemeriksaan dalam sidang pengadilan, hakim yang memimpin jalannya
persidangan harus aktif bertanya dan memberi kesempatan kepada pihak terdakwa yang diwakili penasihat hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada penuntut umum (UU 8 tahun 1981 Pasal 277). Hakim harus ekstra
hati-hati dalam menjatuhkan putusan. Jangan sampai orang yang tidak bersalah dihukum, begitu juga secara mudah pula melepaskan pelaku kejahatan dari
hukuman yang seharusnya dijatuhkan. Hal itu tentu saja harus sesuai dengan keyakinan hakim yang profesional dalam memutus sebuah perkara agar
terwujudnya rasa keadilan bagi masyarakat sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 RI.
Sulit untuk mengukur keputusan Hakim yang bagaimana yang memenuhi rasa
keadilan itu. Akan tetapi tentu saja ada indikator yang dapat digunakan untuk melihat dan merasakan bahwa suatu putusan telah memenuhi rasa keadilan atau tidak. Indikator itu antara lain dapat ditemukan di dalam “pertimbangan hukum”
yang digunakan Hakim. Pertimbangan hukum merupakan dasar argumentasi hakim dalam memutuskan suatu perkara. Jika argumen hukum itu tidak benar dan
tidak sepantasnya, maka orang kemudian dapat menilai bahwa putusan itu tidak benar dan tidak adil.
1
Majelis hakim Putusan Pengadilan Negeri Menggala No. 39/Pid.B/2010/PN.Mgl telah memvonis Pedrayansyah Bin Birman melanggar Pasal 335 Ayat (1) KUHP,
dengan hukuman penjara selama dua bulan. Majelis hakim menganggap Pedrayansyah Bin Birman telah dengan sengaja melakukan tindak pidana
perbuatan tidak menyenangkan kepada korban Salimi Bin Sihabudin. Terdakwa telah berkata kasar dan kotor sambil memaksa korban dengan nada emosi di hadapan keluarga korban. Kemudian terdakwa merusak kaca jendela korban
dengan melemparnya menggunakan batu dan memasuki rumah korban. Sehingga korban menderita kerugian secara materil dan psikis yang menyebabkan korban
harus dirawat di rumah sakit karena penyakit stroke yang diderita korban kambuh akibat kejadian tersebut.
Terdakwa Pedrayansyah Bin Birman oleh jaksa penuntut umum didakwa dengan dakwaan telah melanggar Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang perbuatan tidak
menyenangkan dan Pasal 406 ayat (1) KUHP tentang tindak pidana menghancurkan/ merusakkan barang milik orang lain.
Unsur-unsur pidana pada pasal-pasal dakwaan tersebut sudah terpenuhi, pada
Pasal 335 (1) terdakwa Pedrayansyah Bin Birman telah memaksa korban Salimi Bin Sihabudin dengan ancaman kekerasan yang dengan sadar diketahui terdakwa
bahwa itu adalah melanggar hukum, dan perbuatan terdakwa disaksikan oleh beberapa saksi ketika kejadian itu. Sedangkan pada Pasal 406 ayat (1) terdakwa
adalah melanggar hukum. Terdapat barang bukti berupa pecahan kaca dan 12 buah batu yang digunakan oleh terdakwa.
Setelah melihat uraian di atas penulis merasa ada kejanggalan dalam Putusan
Pengadilan Negeri Menggala No. 39/pid.B/2010/PN.Mgl. Dalam putusan tersebut terdakwa hanya divonis atas dakwaan perbuatan tidak menyenangkan Pasal 335 ayat (1) KUHP. Sedangkan terdakwa juga telah melanggar Pasal 406 ayat (1)
KUHP karena telah merusak barang milik orang lain dengan sengaja melanggar hukum yang seharusnya menjadi acuan hakim dalam menjatuhkan vonis terhadap
terdakwa. Karena Pasal 406 ancaman pidana pokoknya lebih berat, hal ini berdasarkan asas pembarengan tindak pidana concursus idealis yaitu
pembarengan tindak pidana yang lebih dari satu tindak pidana.
Asas concursus idealis diatur dalam Pasal 63 ayat (1) KUHP yang berbunyi “Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan
hanya satu dari aturan-aturan itu; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat”. Sehingga jelas dalam pasal tersebut
bahwa sanksi pidana seharusnya dijatuhkan adalah pasal yang memuat ancaman
sanski pidana pokok paling berat.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji dan meneliti dalam bentuk skripsi yang berjudul “Analisis Dasar Pertimbangan Hakim
Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Tindak Pidana Perbuatan Tidak Menyenangkan Pada Putusan Pengadilan Negeri Menggala
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada latar belakang di atas maka
permasalahan yang dikaji dalam hal ini adalah:
a. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan?
b. Apakah alasan hakim mengesampingkan Pasal 63 KUHP dalam menjatuhkan sanksi pidana pada Putusan Pengadilan Negeri Menggala
No.39/Pid.B/2010/PN.Mgl?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dalam penulisan ini dibatasi pada kajian ilmu hukum pidana dan hukum acara pidana, tentang analisis dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan sanksi perbuatan tidak menyenangkan pada Putusan Pengadilan Negeri Menggala No.39/Pid.B/2010/PN.Mgl. Sedangkan lokasi penelitian dilakukan di Pengadilan Negeri Menggala.
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan.
b. Untuk mengetahui alasan hakim lebih memilih memutuskan pidana perbuatan tidak menyenangkan daripada pengrusakan barang milik orang lain dengan
mengesampingkan Pasal 63 KUHP pada Putusan Pengadilan Negeri Menggala No.39/Pid.B/2010/PN.Mgl.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah:
a. Secara teoritis
Diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam pengkajian ilmu hukum mengenai pertanggungjawaban pelaku tindak pidana perbuatan tidak
menyenangkan dan dapat menjadi pengetahuan awal untuk penelitian lebih lanjut.
b. Secara praktis
Penelitian skripsi ini diharapkan dapat digunakan untuk sumbangan pikiran pada ilmu hukum pidana dan penegakan hukum khususnya serta mencari
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Setiap penelitian akan ada kerangka teoritis yang menjadi acuan dan bertujuan mengidentifikasi terhadap dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.2 Kata teoritis adalah bentuk adjective dari kata “teori”. Teori adalah yang teruji
kebenarannya, atau pendapat/cara/aturan untuk melakukan sesuatu, atau asas/hukum umum yang menjadi dasar ilmu pengetahuan, atau keterangan
mengenai suatu peristiwa/ kejadian.
Pembahasan dalam permasalahan skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan dengan teori pembuktian pidana. Ada 4 (empat) sistem pembuktian yaitu :
1. Pertama sistem pembuktian keyakinan belaka, menurut sistem ini hakim dianggap cukup mendasarkan terbuktinya suatu keadaan atas keyakinan
belaka, dengan tidak terikat oleh suatu peraturan hukum, hingga dengan sistem ini hakim dapat mencari dasar putusannya itu menurut perasaan semata-mata, hingga dengan demikian atas dasar perasaan itu dapat dipakai
untuk menentukan apakah sesuatu keadaan dianggap telah terbukti atau tidak. 2. Sistem pembuktian menurut undang-undang yang positif (positief wettelijk),
dalam sistem ini undang-undang menentukan alat bukti yang dapat dipakai oleh hakim, cara bagaimana hakim dapat mempergunakannya, asal alat bukti
itu telah dipakai secara yang ditentukan oleh undang-undang maka hakim harus dan berwenang untuk menetapkan terbukti atau tidaknya suatu perkara
2
yang diperiksanya, walaupun barangkali hakim sendiri belum begitu yakin atas kebenaran putusan itu.
3. Sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif (negatief wettelijk), menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila
sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu. Dalam pada itu Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa. Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya
4. Sistem pembuktian bebas (vrije bewijstheorie), dalam teori ini ditentukan
bahwa hakim di dalam memakai dan menyebutkan alasan-alasan untuk mengambil keputusan sama sekali tidak terikat pada penyebutan alat-alat bukti
yang termaktub dalam undang-undang, melainkan hakim tersebut secara bebas diperkenankan memakai alat-alat bukti lain, asalkan semuanya itu berlandaskan alasan-alasan yang tetap menurut logika.
Sedangkan unsur-unsur tindak pidana sendiri terdiri dari:
1. Unsur subjektif
Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan”.
2. Unsur Objektif
Unsur objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku, yang terdiri atas:
a. Perbuatan manusia, berupa:
1) Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif
2) Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan
b. Akibat (result) perbuatan manusia. Akibat tersebut membahayakan atau
merusak bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak
milik, kehormatan dan sebagainya.
c. Keadaan-keadaan (circumstances). Pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara keadaan pada saat perbuatan dilakukan dan keadaan
setelah perbuatan dilakukan.
d. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum. Sifat dapat dihukum
berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau
perintah.
Semua unsur delik di atas merupakan suatu kesatuan. Salah satu unsur saja tidak
dapat terbukti maka dapat menyebabkan terdakwa dibebaskan oleh pengadilan.
Penulis juga menggunakan pendekatan dengan teori pembarengan tindak pidana (Concursus Idealis) dan unsur-unsur tindak pidana. Teori pembarengan tindak
dari aturan-aturan itu; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat”.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan adanya pembarengan
tindak pidana adalah Ada dua/ lebih tindak pidana dilakukan, bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut belum ada yang diadili bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut akan diadili sekaligus.
Pada dasarnya teori pembarengan tindak pidana dimaksudkan untuk menentukan pidana apa dan berapa ancaman maksimum pidana yang dapat dijatuhkan
terhadap seseorang yang telah melakukan lebih dari satu tindak pidana.
2. Konseptual
Kerangka konseptual, merupakan kerangka yang menghubungkan atau
menggambarkan konsep-konsep khusus yang menggabungkan kumpulan dari arti
yang berkaitan dengan istilah.3
Mengenai kerangka konseptual ini penulis menguraikan pengertian-pengertian yang berhubungan erat dengan penulisan skripsi ini. Uraian ini ditujukan untuk
memberikan kesatuan pemahaman yaitu:
a. Analisis adalah suatu proses berpikir manusia tentang suatu kejadian atau peristiwa untuk memberikan suatu jawaban atas kejadian atau peristiwa
tersebut.
3
b. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka untuk umum yang dapat pemidanaan atau bebas atau lepas
dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 ayat (11) KUHAP).
c. Hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili (Pasal 1 butir 8 KUHAP).
d. Perbuatan tidak menyenangkan adalah setiap perlakuan yang menyinggung
perasaan orang. Perlakuan ini dapat berupa ucappan kata-kata atau perbuatan-perbuatan yang tidak langsung mengenai orangnya.4
E. Sistematika Penulisan
Penggunaan sistematika penulisan, digunakan untuk mempermudah dalam pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan, maka penulis menguraikan
sistematika penulisan skripsi ini sebagai berikut:
I. PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pendahuluan yang akan menguraikan tentang latar
belakang permasalahan, ruang lingkup penelitian, tujuan, kegunaan penulisan, kerangka teori dan konseptual serta sistematika penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini merupakan tinjauan pustaka yang berisikan tentang pengertian tindak pidana tidak menyenangkan, serta unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal
4
335 Ayat (1) Ke-1 KUHP Jo Pasal (1) Ke-1 KUHP, pengertian tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan, tugas dan wewenang hakim, peranan hakim
dalam menjatuhkan putusan, putusan pengadilan, putusan hakim pada perkara pidana.
III.METODE PENELITIAN
Pada bab ini penulis memuat metode penelitian yang meliputi pendekatan
masalah, sumber, jenis data, cara pengumpulan data, dan pengolahan data, serta analisis data.
IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini merupakan penjelasan dan pembahasan tentang permasalahan yang ada, yaitu pembahasan tentang analisis sanksi pidana terhadap pelaku tindak
pidana perbuatan tidak menyenangkan karena pada bab ini akan dibahas permasalahan-permasalahan yang ada.
V. PENUTUP
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Hakim
1. Hakim
Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk mengadili (Pasal 1 butir 8 KUHAP). Sedangkan istilah hakim artinya orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau Mahkamah; Hakim juga berarti pengadilan, jika orang berkata “perkaranya telah diserahkan kepada Hakim”. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselengaranya negara hukum Republik Indonesia (Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 1 UUD No.48/2009). Berhakim berarti minta diadili perkaranya; menghakimi artinya berlaku sebagai hakim terhadap seseorang;
kehakiman artinya urusan hukum dan pengadilan, adakalanya istilah hakim dipakai terhadap seseorang budiman, ahli, dan orang yang bijaksana.
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan
(Pasal 3 Undang-Undang No.48 Tahun 2009).
2. Kewajiban Hakim
Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara (mengadili), mengadili
adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang
pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 Ayat (9) KUHAP). Ia tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak
ada aturan hukumnya atau aturan hukumnya kurang jelas. Oleh karena hakim itu dianggap mengetahui hukum maka jika aturan hukum tidak ada ia harus menggalinya dengan ilmu pengetahuan hukum, jika aturan hukum kurang jelas
maka ia harus menafsirkan dan jika tidak ada aturan hukum tertulis ia dapat menggunakan hukum adat.
Hakim sebagai pejabat negara dan penegak hukum, wajib menggali, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, jujur, adil profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (Pasal 5
Undang-Undang No.48 Tahun 2009).
suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat. Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia
mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak
yang berperkara. (pasal 17 Ayat (3-5) Undang-Undang No.48 Tahun 2009).
Hakim ketua dalam memeriksa perkara di sidang pengadilan harus menggunakan
bahasa Indonesia yang dapat dimengerti oleh para penggugat dan tergugat atau terdakwa dan saksi (Pasal 153 KUHP). Di dalam praktik adakalanya hakim
menggunakan bahasa daerah, jika yang bersangkutan masih kurang paham terhadap apa yang diucapkannya atau ditanyakan hakim.
Hakim ketua membuka sidang dengan menyatakan terbuka untuk umum, kecuali
perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak. Jika hakim dalam memeriksa perkara menggunakan bahasa yang tidak dimengerti oleh terdakwa
atau saksi dan mereka tidak bebas memberikan jawaban, dapat berakibat putusan batal demi hukum.
3. Peranan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan
Hakim berbeda dengan pejabat-pejabat lain, ia harus benar-benar menguasai hukum sesuai dengan sistem yang dianut di Indonesia dalam pemeriksaan di
sidang pengadilan. Hakim harus aktif bertanya dan memberi kesempatan kepada pihak terdakwa yang diwakili oleh Penasihat Hukum untuk bertanya kepada
kebenaran materil dan pada akhirnya hakimlah yang bertanggungjawab atas segala yang diputuskannya.1
Ada lima hal menjadi tanggung jawab Hakim yaitu:2
a. Justisialis Hukum; yang dimaksud justisialis adalah meng-adilkan. Jadi putusan Hakim yang dalam praktiknya memperhitungkan kemanfaatan doel matigheid perlu di-adilkan. Makna dari hukum de zin van het recht terletak
dalam gerechtigheid keadilan. Tiap putusan yang diambil dan dijatuhkan dan berjiwa keadilan, sebab itu adalah tanggung jawab jurist yang terletak dalam
justisialisasi daripada hukum.
b. Penjiwaan Hukum; dalam berhukum recht doen tidak boleh merosot menjadi
suatu adat yang hampa tanpa jiwa, melainkan senantiasa diresapi oleh jiwa untuk berhukum. Jadi hakim harus memperkuat hukum dan harus tampak sebagai pembela hukum dalam memberi putusan.
c. Pengintegrasian Hukum; hukum perlu senantiasa sadar bahwa hukum dalam kasus tertentu merupakan ungkapan daripada hukum pada umumnya. Oleh
karena itu putusan Hakim pada kasus tertentu tidak hanya perlu diadakan dan dijiwakan melainkan perlu diintegrasikan dalam sistem hukum yang sedang berkembang oleh perundang-undangan, peradilan dan kebiasaan. Perlu dijaga
supaya putusan hukum dapat diintegrasikan dalam hukum positif sehingga semua usaha berhukum senantiasa menuju ke pemulihan pada posisi asli
restitutio in integrum.
1
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP (Rineka Cipta: Jakarta, 1996) hal.101
2
d. Totalitas Hukum; maksudnya menempatkan hukum keputusan Hakim dalam keseluruhan kenyataan. Hakim melihat dari dua segi hukum, di bawah ia
melihat kenyataan ekonomis dan sosial, sebaliknya di atas Hakim melihat dari segi moral dan religi yang menuntut nilai-nilai kebaikan dan kesucian. Kedua
tuntutan itu perlu dipertimbangkan oleh Hakim dalam keputusan hukumnya, di saat itu juga segi social-ekonomis menuntut pada Hakim agar keputusannya memperhitungkan situasi dan pengaruh kenyataan sosial-ekonomis.
e. Personalisasi Hukum; personalisasi hukum ini mengkhususkan keputusan pada personal (kepribadian) dari para pihak yang mencari keadilan dalam
proses. Perlu diingat dan disadari bahwa mereka yang berperkara adalah manusia yang berpribadi yang mempunyai keluhuran. Dalam personalisasi hukum ini memunculkan tanggung jawab hakim sebagai pengayom
(pelindung), di sini hakim dipanggil untuk bisa memberikan pengayoman kepada manusia-manusia yang wajib dipandangnya sebagai pribadi yang
mencari keadilan.
Ketika hakim dihadapkan oleh suatu perkara, dalam dirinya berlangsung suatu proses pemikiran untuk kemudian memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut:3
1. Keputusan mengenai peristiwanya, yaitu apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang telah dituduhkan kepadanya.
3
2. Keputusan mengenai hukumnya, yaitu apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah
serta dapat dipidana.
3. Keputusan mengenai pidananya, yaitu terdakwa memang dapat dipidana.
Sebelum menjatuhkan putusan, hakim akan menilai dengan arif dan bijaksana serta penuh kecermatan kekuatan pembuktian dari memeriksa dan kesaksian dalam sidang pengadilan (Pasal 188 Ayat (3) KUHAP), sesudah itu hakim
akan mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan yang didasarkan atas surat dakwaan dan didasarkan atas surat dakwaan dan segala
sesuatu yang telah terbukti dalam pemeriksaan sidang.
B. Pengertian Dasar Pertimbangan Hakim
Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana bersyarat perlu
didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan
praktek. Salah satu usaha untuk mencapai kepastian hukum dengan penegakan hukum secara tegas adalah melalui kekuasaan kehakiman, di mana hakim merupakan aparat penegak hukum yang melalui putusannya dapat menjadi tolok
ukur tercapainya suatu kepastian hukum.
Pokok Kekuasaan Kehakiman diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab IX
24 ayat (1) dan penjelasan Pasal 1 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009, yaitu Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945,
demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan ini
mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal sebagaimana disebut
dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Kemudian pada Pasal 24 ayat (2) menegaskan bahwa: Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Menurut Andi Hamzah dalam bukunya yang berjudul “Hukum Acara Pidana Indonesia”, hakim yang
bebas dan tidak memihak telah menjadi ketentuan universal. Hal ini menjadi ciri
suatu Negara hukum. 4
Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak memihak (impartial judge) Pasal 5 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009. Istilah tidak memihak di
4
sini haruslah diartikan tidak harfiah, karena dalam menjatuhkan putusannya hakim harus memihak pada yang benar. Dalam hal ini hakim tidak memihak diartikan
tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Lebih tepatnya perumusan UU No.48 tahun 2009 Pasal 5 ayat (1): “Pengadilan mengadili
menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.
Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak
memihak. Hakim dalam memberikan suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian memberi
penilaian terhadap peristiwa tersebut dan menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Setelah itu hakim baru dapat menjatuhkan putusan terhadap
peristiwa tersebut.
Kehidupan masyarakat saat ini yang semakin komplek dituntut adanya penegakan hukum dan keadilan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Untuk figur
seorang hakim sangat menentukan melalui putusan-putusannya karena pada hakekatnya hakimlah yang menjalankan kekuasaan hukum peradilan demi terselenggaranya fungsi peradilan itu.5
Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga ia tidak boleh menolak
memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU No.35 Tahun 1999 jo.UU No.48 Tahun 2009 yaitu:
pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara
5
yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan untuk bercermin
pada yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Menurut pendapat Wirjono Projodikoro dalam menemukan hukum tidak berarti bahwa seorang hakim menciptakan hukum, menurut beliau seorang hakim hanya
merumuskan hukum.6 Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (1) UU No.40 Tahun 2009 yaitu: “Hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.
Hakim oleh karena itu dalam memberikan putusan harus berdasar penafsiran
hukum yang sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat, juga faktor lain yang mempengaruhi seperti faktor budaya,
sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain. Dengan demikian seorang hakim dalam memberikan putusan dalam kasus yang sama dapat berbeda karena antara hakim yang satu dengan yang lainnya mempunyai cara pandang serta dasar
pertimbangan yang berbeda pula. Dalam doktrin hukum pidana sesungguhnya ada yang dapat dijadikan pedoman sementara waktu sebelum KUHP Nasional
diberlakukan. Pedoman tersebut dalam konsep KUHP baru Pasal 55 ayat (1), yaitu:
a. Kesalahan pembuat tindak pidana;
b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
6
c. Sikap batin pembuat tindak pidana;
d. Apakah tindak pidana dilakukan berencana;
e. Cara melakukan tindak pidana;
f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
g. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana; h. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
j. Pemaafan dari korban atau keluarganya;
k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
Seorang pelaku tindak pidana dapat tidaknya dijatuhi pidana maka perbuatan
pelaku harus mengandung unsur kesalahan, hal ini berdasarkan asas kesalahan Geen Straf Zonder Schuld (tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum tanpa ada
kesalahan). Berdasarkan hal tersebut, dalam menjatuhkan hukuman terhadap
pelaku hakim harus melihat kepada kesalahan yang dilakukan oleh pelaku sesuai dengan perbuatan yang dilakukan. Selain itu dalam menjatuhkan hukuman kepada
pelaku hakim juga melihat kepada motif, tujuan, cara perbuatan dilakukan dan dalam hal apa perbuatan itu dilakukan (perbuatan itu direncanakan).
Konsep KUHP baru yang didasarkan pada Pasal 55 menyatakan bahwa hakim
dalam menjatuhkan hukuman kepada pelaku selain melihat dan mempertimbangkan kepada aspek lain yakni melihat aspek akibat, korban dan
yang dilakukan selain berdampak kepada pelaku, hal ini juga berakibat kepada korban dan juga keluarga korban.
C. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau
kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan seperti yang terwujud in-abstractio dalam pengertian pidana.
Sedangkan kejahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup dalam masyarakat secara konkret.
Mengenai pengertian tindak pidana (strafbaar feit) beberapa sarjana memberikan
pengertian yang berbeda sebagai berikut:
a. Pompe memberikan pengertian tindak pidana menjadi 2 (dua) definisi, yaitu:
1. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.
2. Definisi menurut pakar positif adalah suatu kejadian/ feit yang oleh peraturan perundang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat
dihukum.7
7
Bambang Poernomo, Hukum Acara Pidana: Pokok-Pokok tata Cara Peradilan Pidana Indonesia
b. Simons
Tindak pidana adalah “kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana,
yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab”.8
c. Vos
Tindak pidana adalah “suatu kelakuan manusia diancam pidana oleh peraturan
perundang-undangan, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana”.9
d. Van Hamell
Tindak pidana adalah “kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet, yang
bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan”.10
e. Moeljanto
Perbuatan pidana (tindak pidana) adalah “perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut”.11
f. Wirjono Prodjodikoro
Tindak pidana adalah “suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana”.12
8
Moeljanto, Azas-Azas Hukum Pidana (Bina Aksara: Jakarta, Indonesia, 1987) hal.56
9
Ibid., hal.86
10
Moeljanto, op.cit., hal.54
11
Ibid., hal.54
12
Berdasarkan pengertian tindak pidana yang dikemukakan oleh para pakar di atas, dapat diketahui bahwa tataran teoritis tidak ada kesatuan pendapat diantara para
pakar hukum dalam memberikan definisi tentang tindak pidana.
D. Pengertian Tindak Pidana Perbuatan Tidak Menyenangkan
Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), terdapat ketentuan atau
peraturan yang mengatur tentang tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan. Yaitu Bab XVIII, tentang kejahatan terhadap kemerdekaan orang, khususnya
Pasal 335 KUHP.
Pada Pasal 335 KUHP:
(1) “Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”:
Ke-1 “barangsiapa secara sengaja melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, suatu perbuatan lain maupun perlakuan tidak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, suatu perbuatan lain maupun perbuatan tidak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri atau orang lain”.
Ke-2 “Barangsiapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis”.
(2) “Dalam hal diterangkan Ke-2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena”.
Penjelasan pasal di atas mengenai “melakukan kekerasan” adalah
mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil, secara tidak sah.
Perbuatan lain yang dimaksud adalah pada umumnya semua perbuatan yang tidak termasuk dalam pengertian kekerasan, tetapi juga tidak terdiri atas ucapan
kata-kata. Misalnya, pemogok kerja dan lain-lain, sedangkan yang dimaksud dengan “perbuatan yang tak menyenangkan” adalah setiap perlakuan yang menyinggung
perasaan orang. Perlakuan tidak menyenangkan ini dapat berupa pengucapan kata-kata atau perbuatan-perbuatan yang secara tidak langsung mengenai orangnya.
Terdapat kesalahan-kesalahan yang beredar di masyarakat bahwa Pasal 335 atau yang populer dikenal dengan nama “Pasal Perbuatan Tidak Menyenangkan Hati”
tersebut mengatur perbuatan orang lain yang dirasa tidak menyenangkan, seperti ditunjuknya seseorang pada jabatan tertentu, padahal yang dimaksud dalam pasal
ini adalah pemaksaan dari orang lain agar melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu
perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.
Contoh dari perbuatan ini dipaksa menceburkan diri ke selokan yang kotor dengan
ancaman tertentu, banyak orang tidak membaca unsur pemaksaan dalam pasal ini padahal apabila salah satu unsur dalam perbuatan tindak pidana tidak ada, maka
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Pada penelitian ini penulis melakukan dua hal pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan yuridis normatif
Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan penulis dalam
usaha mencari kebenaran dengan melihat asas-asas yang terdapat dalam berbagai peraturan undang-undang terutama yang berhubungan dengan Putusan Pengadilan
No.39/Pid.B/2010/PN.Mgl, yang berlokasi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Menggala tentang Tindak Pidana Perbuatan Tidak Menyenangkan tersebut.
2. Pendekatan yuridis empiris
Pendekatan yuridis empiris yaitu menelaah hukum sebagai pola perilaku yang
ditunjukkan pada penerapan peraturan hukum. Pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi-informasi di lapangan yang
benar terhadap permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian guna penulisan skripsi ini.
B. Sumber Data dan Jenis Data
Sumber data penelitian ini berasal dari data lapangan dan data kepustakaan. Sedangkan jenis data terdiri atas data primer dan data sekunder.
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan atau data yang langsung diperoleh langsung dari masyarakat. Data primer dalam penulisan ini
diperoleh dari pengamatan atau wawancara dengan para responden, dalam hal ini adalah pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan masalah skripsi ini, khususnya di wilayah hukum Pengadilan Negeri Menggala.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
a. Bahan hukum primer antara lain:
(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
(2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
(3) Undang-Undang No.48 tahun 2008 tentang Kekuasaan Kehakiman
b. Bahan hukum sekunder, yaitu putusan hakim pada Pengadilan No.39/Pid.B/2010/PN.Mgl, serta bahan-bahan yang memberikan penjelasan
makalah-makalah, dan lain-lain yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.
c. Bahan hukum tersier, yaitu kamus-kamus yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
C. Penentuan Populasi dan Sampel
1. Penentuan Populasi
Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan
diduga.1 Populasi adalah jumlah keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai test atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik di dalam
suatu penelitian. Untuk penulisan skripsi ini penulis mengambil populasi penelitian yang ada kaitannya dengan masalah-masalah yang dibahas. Adapun
populasi dalam penelitian ini adalah Hakim, Jaksa, dan Dosen.2
2. Penentuan Sampel
Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi dengan menggunakan
cara-cara tertentu.3
Penentuan sampel dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode pengambilan sampel berupa Proportional Purposive Sampling, yaitu dalam menentukan sampel
1
Masri Singarimbun, Metode Survei (LP3ES: Jakarta, 1987) hal.152
2
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Universitas Gajah Mada: Pers. Yogyakarta, 1987) hal.141
3
sesuai dengan wewenang atau kedudukan sampel yang dianggap telah mewakili dengan masalah yang hendak diteliti. Adapun responden dalam penelitian ini
adalah:
a. Hakim pada Pengadilan Negeri Menggala : 2 orang
b. Jaksa pada Pengadilan Negeri Menggala : 2 orang c. Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 orang
Jumlah : 5 orang
D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Studi Kepustakaan
Untuk memperoleh data sekunder, penulis melakukan dengan cara membaca,
mencatat, atau mengutip dari perundang-undangan yang berlaku serta literatur-literatur dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan putusan tersebut.
b. Studi Lapangan
Untuk memperoleh data primer, studi lapangan ditempuh dengan cara melakukan wawancara untu mendapatkan gambaran yang jelas tentang permasalahan yang
2. Pengolahan Data
Setelah data yang dikehendaki terkumpul baik dari studi kepustakaan maupun dari lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah
sebagai berikut: a. Seleksi data
Seleksi data dilakukan untuk mengetahui apakah data yang diperlukan sudah
mencakup atau belum dan data tersebut berhubungan atau tidak berhubungan dengan pokok permasalahan yang dibahas.
b. Klasifikasi data
Klasifikasi data yang telah diperoleh disusun menurut klasifikasi yang telah
ditentukan.
c. Penyusun data
Penyusun data dimaksudkan untuk mendapatkan data dalam susunan yang
sistematis dan logis serta berdasarkan kerangka pikir. Dalam tiap tahap ini data dapat dimasukkan ke dalam tabel apabila diperlukan.
E. Analisis Data
Data yang sudah terkumpul dan tersusun secara sistematis kemudian dianalisis
dengan metode kualitatif, yaitu mengungkapkan dan memahami kebenaran masalah dan pembahasan dengan menafsirkan data yang diperoleh dari hasil
BAB V PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka simpulan dalam penelitian ini
adalah:
1. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan No.39/Pid.B/2010/PN.Mgl atas nama
Pedrayansyah Bin Birman dilakukan dengan memperhatikan tingkat kesalahan yang dilakukan, ancaman terhadap pasal yang didakwakan, hasil yang
memberatkan dan meringankan, hasil laporan kemasyarakatan dari BAPAS, keterangan para saksi-saksi, fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan. Setelah diketahui bahwa perbuatan itu melanggar hukum, maka
hakim menentukan terhadap diri si pelaku berupa pemidanaan dengan jenis pidana penjara selama 2 (dua) bulan penjara untuk bertanggung jawab atas
perbuatan yang telah dilakukannya. Hakim dalam menjatuhkan pidana tersebut menggunakan pertimbangan yang bersifat yuridis dan non yuridis.
keyakinan yang dianut terdakwa, kondisi jasmani dan rohani terdakwa, serta akibat perbuatan terdakwa. Hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang
meringankan dan memberatkan terdakwa. Tujuan hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap terdakwa yaitu selain hakim menjatuhkan pidana penjara
sebagai sarana pembalasan terhadap terdakwa agar tidak mengulangi perbuatannya dan memberi contoh bagi masyarakat agar tidak mengikuti perbuatan tersebut.
2. Alasan hakim lebih memutuskan pidana perbuatan tidak menyenangkan daripada pengrusakan barang milik orang lain dengan mengesampingkan
Pasal 63 KUHP pada Putusan Pengadilan Negeri menggala No.39/Pid.B/2010/PN.Mgl adalah Hakim sebagai pejabat Negara yang berhak mengadili perkara tersebut dalam menjatuhkan sanksi tidak semata-mata
hanya selalu mengacu pada ketentuan undang-undang yang ada, karena hakim tidak hanya ingin memberikan balasan kepada terdakwa, tetapi juga
mempertimbangkan sisi dari korban maupun pelaku dan sisi lain yang dianggap perlu dalam mempertimbangkan penjatuhan sanksi yang diberikan, selain itu hakim juga memperhatikan hal-hal lain seperti motif dilakukannya
tindak pidana, sikap pelaku setelah melakukan tindak pidana, akibat yang ditimbulkan, dan pengaruh pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan adalah:
menjadi dasar pertimbangan hakim. Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat
berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menuntut cara yang diatur dalam undang-undang, selain itu untuk
menjamin keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat yang bertujuan agar memberikan kepercayaan keapda masyarakat bahwa semua orang di mata hukum itu sama.
2. Seharusnya pidana yang dikenakan oleh hakim adalah pasal 406 KUHP, karena hukuman pokok Pasal 406 KUHP lebih berat dari pada Pasal 335 KUHP. Sesuai ketentuan pasal 63 KUHP “Jika suatu perbuatan termasuk ke
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Andi. 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia. Saptha Artha Jaya. Jakarta.
………. 2004. KUHP dan KUHAP. Rineka Cipta. Jakarta.
Moeljanto. 1987. Azas-Azas Hukum Pidana. Bina Aksara. Jakarta. Indonesia. Muladi, dan Barda Nawawi Arif. 1998. Teori-Teori dan Kebijaksanaan Pidana.
Alumni. Bandung.
Nanda Agung Dewantara. 1987. Masalah Kebebasan Hakim dalam Menangani Suatu Perkara Pidana. Aksara Persada. Jakarta. Indonesia.
Nawawi, Hadari. 1987. Metode Penelitian Bidang Sosial. Universitas Gajah Mada. Pers. Yogyakarta.
Poernomo, Bambang. 1986. Hukum Acara Pidana: Pokok-Pokok Tata Cara Peradilan Pidana Indonesia dalam Undang-Undang R.I No.8 Tahun 1981. Liberty. Jakarta.
Prodjodikoro Wirjono. 2003. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Refika Aditama. Bandung.
……... 1986. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Eresco. Bandung. …….... 2003. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Refika Aditama. Bandung.
Putusan Pengadilan Negeri Menggala tanggal 17 Mei 2010 Nomor 39/Pid.B/2010/PN.Mgl.
Singarimbun, Masri. 1987. Metode Survai. LP3ES. Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia. Jakarta.
Soedarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni. Bandung.
Universitas lampung. 2007. Format Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.