• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAYAGUNAAN KONTEKS DALAM TINDAK TUTUR ANAK USIA TUJUH TAHUN DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH DASAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENDAYAGUNAAN KONTEKS DALAM TINDAK TUTUR ANAK USIA TUJUH TAHUN DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH DASAR"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PENDAYAGUNAAN KONTEKS DALAM TINDAK TUTUR ANAK USIA TUJUH TAHUN DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN

BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH DASAR

Oleh

PURNAWAN WAHYU PRATAMA 0913041052

Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pendayagunaan konteks dalam tindak tutur tidak langsung anak usia tujuh tahun. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan pendayagunaan konteks dalam tindak tutur aak usia tujuh tahun.

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

ABSTRAK ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

RIWAYAT HIDUP ... iv

PERSEMBAHAN ... v

MOTO ... vi

SANWACANA ... vii

DAFTAR ISI ... viii

I. PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 5

1.3Tujuan Penelitian ... 5

1.4Manfaat Penelitian ... 5

1.5Ruang Lingkup Penelitian ... 6

II. LANDASAN TEORI 2.1Peristiwa Tutur ... 7

2.1.1 Aspek-Aspek Situasi Tutur ... 8

2.1.2 Aspek Mitra Tutur dalam Tindak Tutur ... 10

2.2Tindak Tutur... 11

2.2.1 Hakikat Tindak Tutur ... 11

2.2.2 Jenis-jenis Tindak Tutur ... 12

2.2.2.1 Jenis Tindak Tutur Langsung... 13

1. Tindak Tutur Langsung pada Sasaran ... 13

2. Tindak Tutur Langsung dengan Alasan... 14

2.2.2.2 Tindak Tututr Tidak Langsung ... 14

1. Modus dalam Tindak Tutur Tidak Langsung... 15

2.3Konteks ... 16

2.3.1Pengertian Konteks ... 16

2.3.2Unsur-Unsur Konteks ... 17

2.3.3Jenis-Jenis Konteks ... 20

1. Konteks Tempat ... 20

2. Konteks Waktu ... 21

3. Konteks Peristiwa ... 21

4. Konteks Suasana ... 21

5. Konteks Orang Sekitar... 22

(8)

III.METODE PENELITIAN

3.1Pendekatan Penelitian ... 29

3.2Sumber Data ... 30

3.3Teknik Pengumpulan Data ... 30

3.4Teknik Analisis Data ... 31

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1Hasil ... 35

4.2Pembahasan ... 37

4.2.1 Pendayagunaan Konteks waktu ... 37

4.2.2 Pendayagunaan Konteks tempat ... 42

4.2.3 Pendayagunaan Konteks peristiwa ... 45

4.2.4 Pendayagunaan Konteks suasana ... 49

4.2.5 Pendayagunaan Konteks orang sekitar ... 51

4.2.6 Pendayagunaan Konteks Cuaca ... 56

4.2.7 Pendayagunaan Konteks Usia ... 59

4.3 Implikasi pada Pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Dasar... 62

V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1Simpulan ... 67

5.2Saran ... 68

(9)
(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Manusia sebagai mahluk sosial pasti melakukan proses komunikasi dalam ke-hidupan bermasyarakat, karena untuk membentuk suatu hubungan atau kerja sama pasti diawali dengan komunikasi yang baik. Manusia dalam proses komunikasi pasti memerlukan alat untuk saling berinteraksi antara satu sama lainnya, alat komunikasi tersebut merupakan bahasa. Bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat, berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Keraf dalam Edi Suyanto, 2011: 15).

(11)

Konteks secara sederhana dapat diartikan tempat, situasi, peristiwa, dan suasana yang melatari suatu komunikasi. Pengaruh konteks memang sangat besar pada proses komunikasi. Sperber & Wilson juga mengemukakan bahwa, kajian terhadap penggunaan bahasa harus memperhatikan konteks yang seutuh-utuhnya (Rusminto, 2011: 55). Jika dalam proses komunikasi tidak memperhatikan konteks, bisa terjadi konflik dalam sebuah peristiwa tutur. Misal, dalam sebuah situasi tutur terjadi peristiwa tutur antara penutur dan mitra tutur. Situasinya saat itu mitra tutur sedikit emosi karena suatu hal dan penutur memanggil mitra tutur dengan panggilan yang agak menghina dan kasar, tentu mitra tutur pasti akan marah. Peristiwa seperti ini terjadi karena penutur kurang memperhatikan konteks yang ada pada situasi tutur. Contoh tadi membuktikan bahwa konteks sangat penting dalam sebuah proses komunikasi. Jika dalam berkomunikasi tidak memperhatikan konteks yang ada, pasti berpotensi menghadirkan perselisihan. Oleh karena itu, tidak jarang seorang penutur mendayagunakan konteks untuk mendukung keberhasilan tuturannya. Lalu apakah anak-anak juga sudah mampu mendayagunakan konteks untuk mendukung keberhasilan tindak tuturnya?

(12)

Anak-anak mendapatkan ciri tuturannya berdasarkan budaya keluarga dan lingkungannya. Ada anak yang dalam tindak tuturnya tanpa basa basi (langsung) dan ada pula yang cenderung dengan basa-basi (tidak langsung). Posisi anak dalam keluarga juga berpengaruh, misal si anak adalah anak terakhir atau anak satu-satunya di dalam keluarganya, apalagi jika sang orang tua memanjakannya, tentu anak akan menjadi manja pula dalam tuturan, dan cenderung tanpa basa-basi dalam bertutur. Namun walau demikian, segala hal di atas tentu akan berubah seiring situasi tutur yang ada, karena situasi tutur yang berisi konteks tertentu bisa membuat tuturan berubah 180 derajat. Hal inilah yang menarik perhatian penulis, apakah dengan faktor-faktor yang ada dan situasi tutur tertentu anak juga mendayagunakan konteks dalam tindak tuturnya.

Anak-anak akan jauh berkembang perbendaharaan kata dan kemampuan bahasanya pada masa sekolah. Pada perkembangan masa sekolah, orientasi seorang anak dapat berbeda-beda. Ada anak yang lebih impulsif dari pada anak yang lain, lebih refleksif dan berhati-hati, cenderung lebih jelas dan nyata dalam berekspresi, lebih senang belajar dengan bermain-main, sementara yang lain lebih pragmatis dalam pemakaian bahasa. Setiap bahasa anak akan mencerminkan kepribadiannya sendiri pada masa ini.

(13)

anak dengan teman yang akrab dengannya dan yang kurang akrab akan mempengaruhi tuturannya. Dengan temannya yang akrab tentu tuturan anak akan cenderung langsung dalam bertutur, karena memiliki hubungan baik. Sedangkan dengan teman yang kurang akrab terutama dengan kakak kelas tentu tuturan anak cenderung tidak langsung.

Selain adanya jarak sosial, semakin banyak variasi mitra tutur anak tentu semakin variatif pula situasi tuturnya. Hal ini tentu membuat anak berada pada konteks tuturan yang berbeda-beda. Sehingga mau tidak mau anak memperhatikan konteks itu. Hal ini akan mempengaruhi pola pikir anak, anak akan mulai berpikir tentang keadaan di sekitarnya yang mendukung atau membahayakan proses tuturannya. Jadi, anak-anak pada masa sekolah ini lebih berkemungkinan mendayagunakan konteks untuk mendukung tindak tuturnya.

Hampir disetiap penelitian mengenai tindak tutur pasti memasukan konteks ke dalam pembahasaannya. Seperti pada penelitian Winda Patricia mengenai “Kesantunan dalam Tindak Tutur Meminta Anak-Anak”, dan juga pada penelitian

(14)

1.2Rumusan Masalah

Dari uraian di atas dapat dirumuskan bahwa yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah ”bagaimanakah pendayagunaan konteks dalam tindak tutur

anak usia tujuh tahun dan implikasinya pada pembelajaran Bahasa Indonesia di SD?”

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pendayagunaan konteks dalam tindak tutur anak usia tujuh tahun dan implikasinya pada pembelajaran Bahasa Indonesia di SD.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi keilmuan dan bagi pembelajaran bahasa.

1. Manfaat Teoretis

Manfaat dari segi keilmuan diharapkan dapat memperkaya kajian analisis percakapan, khususnya tindak tutur anak-anak

2. Manfaat Praktis

(15)

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini meliputi hal-hal sebagai berikut.

1. Subjek penelitian ini adalah anak usia tujuh tahun, bernama Dinda Bintang Wahyu Adhira.

2. Objek penelitian ini adalah pendayagunaan konteks dalam tindak tutur anak usia tujuh tahun.

(16)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Peristiwa Tutur

Peristiwa tutur (speech event) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu (Chaer, 1995: 61). Jadi, interaksi yang berlangsung antara seorang pedagang dan pembeli di pasar pada waktu tertentu dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur. Peristiwa serupa kita dapati juga dalam acara diskusi di ruang kuliah, rapat dinas di kantor, sidang di pengadilan, dan sebagainya.

(17)

Situasi tutur berbeda dengan peristiwa tutur. Menurut Hymes situasi tidak murni komunikatif dan tidak mengatur adanya aturan bicara, tetapi mengacu pada konteks yang menghasilkan aturan bicara. Sementara itu, peristiwa tutur terjadi dalam satu situasi tutur dan peristiwa itu mengandung satu atau lebih tindak tutur.

2.1.1 Aspek – Aspek Situasi Tutur

Leech dalam bukunya yang berjudul principles of pragmatics (1983: 13-14) mengungkapkan bahwa pragmatics studies meaning in relation to speech situation. Pragmatik berbeda dengan semantik, pragmatik menyangkut makna dalam hubungan pada sebuah situasi tutur. Leech mengungkapkan sejumlah aspek yang harus dipertimbangkan dalam sebuah situasi tutur. Berikut akan disajikan aspek-aspek situasi tutur menurut Leech.

1. Penutur dan Lawan tutur (addressers or addressees)

Penutur dan lawan tutur ini mencakup penulis dan pembaca dalam wacana tulis. Aspek – aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini adalah usia, latar belakang sosial, ekonomi, jenis kelamin, dan tingkat keakraban.

2. Konteks tuturan (the context of an utterance)

Konteks dapat dimengerti dengan beragam cara. Konteks pada dasarnya merupakan segala latar belakang pengetahuan, yakni antara penutur dan mitratutur yang merupakan kontribusi interpretasi mitratutur dari apa yang dimaksudkan oleh penutur dari sebuah tuturan yang diberikan dan dipahami bersama.

(18)

Tujuan atau fungsi sebuah tuturan lebih berbicara tentang maksud tuturan tersebut, atau maksud penutur dalam tuturannya. Dalam pragmatik , berbicara merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan.

4. Tuturan berupa perbuatan / tindak tutur ilokusi (the utterance as a form of act or activity : speech act)

Pragmatik menguraikan tindakan- tindakan verbal atau performansi-performansi yang berlangsung dalam situasi-situasi khusus dalam waktu tertentu. Dalam hal ini pragmatik menggarap bahasa dalam tingkatan yang lebih konkret daripada tata bahasa. Ucapan dianggap sebagai suatu bentuk kegiatan ; suatu tindak ujaran.

5. Tuturan sebagai suatu produk tindak verbal (the utterance as a product of a verbal act)

Tuturan adalah elemen bahasa yang maknanya kita pelajari dalam pragmatik. Tuturan yang dipakai dalam pragmatik mengacu pada produk suatu tindak verbal dan bukan hanya kepada tindak verbal itu sendiri. Sebenarnya kita dapat mendeskripsikan bahwa pragmatik merupakan ilmu yang menelaah makana tuturan, sedangkan semantik merupakan ilmu yang menelaah tentang makana kalimat.

Kelima aspek di atas merupakan hal yang harus diperhatikan oleh penutur pada peristiwa tutur tertentu.

2.1.2 Aspek Mitra Tutur dalam Tindak Tutur

(19)

Demikian juga dengan status sosial anak dibandingkan dengan mitra tutur yang dihadapinya pun berbeda-beda, tingkat kedekatan hubungan antara anak dengan mitra tutur dan status sosial anak dibandingkan dengan mitra tutur tersebut berpengaruh terhadap strategi yang digunakan oleh anak dalam bertutur (Rusminto, 2010: 103)

1. Aspek Kedekatan Hubungan

Kedekatan hubungan yang dimaksud berkaitan dengan tingkat keakraban dan kemesraan hubungan antara penutur dan mitra tutur yang dihadapinya. Untuk mempermudah pembahasan, kedekatan hubungan dalam kajian ini diklasifikasikan dalam empat klasifikasi, yaitu klasifikasi hubungan sangat dekat, klasifikasi hubungan cukup dekat, klasifikasi hubungan cukup jauh, dan klasifikasi hubungan sangat jauh (Rusminto, 2010: 103).

2. Aspek Status Sosial

Status sosial yang dimaksud adalah kedudukan dan peran individu dalam keluarga atau lingkungan sekitar dibandingkan dengan mitra tuturnya. di samping itu, aspek status sosial ini pada kasus tertentu, juga dikaitkan dengan usia anak dibandingkan dengan mitra tuturnya. Sementara itu, unsur jenis kelamin, kepribadian, dan kekuasaan tidak dipertimbangkan karena tidak cukup relevan untuk dikaitkan dengan kajian dalam kajian ini (Rusminto, 2010: 127).

2.2 Tindak Tutur

(20)

atau arti tindakan dalam tuturannya, tetapi peristiwa tutur lebih melihat pada tujuan peristiwanya. Tindak tutur dan peristiwa tutur merupakan dua gejala yang terdapat pada satu proses, yakni proses komunikasi (Chaer, 1995: 65).

2.2.1 Hakikat Tindak Tutur

Istilah dan teori mengenai tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J.L. Austin, seorang guru besar di Universitas Harvard, pada tahun 1956. Teori yang berasal dari materi kuliah itu kemudian dibukukan oleh J.O. Urmson (1965) dengan judul How to do Thing with Word? Tetapi teori tersebut baru menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah Searle (1969) menerbitkan buku berjudul Speech Act and Essay in The Philosophy of Language (Chaer & Agustine 1995: 65).

(21)

2.2.2 Jenis Tindak Tutur

Searle di dalam bukunya Speech Acts: An Essay in The Philosophy of Language (Wijana,1996: 17). Mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yaitu tindak lokusi (locutionary act),tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act). Dalam suatu tindak ilokusi berdasarkan konteks situasinya ada dua macam tindak tutur, yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung (Chaer & Agustine, 1995: 73).

Secara singkat, Djajasudarma (1994: 65) menjelaskan, tindak tutur langsung adalah tindak tutur yang menunjukkan fungsinya dalam keadaan langsung dan literal (penuturan sesuai dengan kenyataan). Sedangkan tindak tutur tidak langsung adalah tindak tutur yang dinyatakan dengan menggunakan bentuk lain dan tidak literal (penuturan yang tidak sesuai dengan kenyataan) dengan maksud memperhalus, menghindari konflik, dan mengupayakan agar komunikasi tetap menyenangkan.

(22)

ilokusi. Dari penjelasan di atas maka terhubunglah antara penutur dan mitra tutur sehingga menjadi suatu kesatuan tindak tutur, oleh karena itu menurut Leech, keduanya tidak harus dipisahkan.

2.2.2.1 Tindak Tutur Langsung

Pembahasan sebelumnya menyebutkan bahwa, tindak tutur langsung menunjukkan fungsinya secara langsung. Berdasarkan hasil kajiannya, Rusminto (2010: 63) menjelaskan dalam tindak tutur langsungnya, anak-anak lebih sering menggunakan kata-kata imperatif penanda permintaan, seperti minta, belikan, ambilkan, keluarkan, dan sebagainya. Rusminto (2010: 63) mengklasifikasikan tindak tutur secara langsung menjadi dua, yaitu tindak tutur langsung pada sasaran dan tindak tutur langsung dengan alasan atau argumentasi.

1. Tindak Tutur Langsung pada Sasaran

(23)

2. Tindak Tutur Langsung dengan Alasan/Argumentasi

Tindak tutur langsung dengan alasan atau argumentasi yang dimaksudkan adalah tindak tutur secara langsung yang disertai dengan pernyatan-pernyataan yang digunakan oleh anak untuk meyakinkan atau memengaruhi mitra tutur agar memahami dan memaklumi tuturannya. Argumentasi ini biasanya berada di depan dan di akhir permintaan. Penggunaan pada awal diharap dapat menyiapkan kondisi tertentu agar permintaan layak disampaikan, sedangkan penempatan alasan pada akhir kalimat bertujuan memberikan alasan lebih lanjut dari permintaan yang telah disampaikan.

Tindak tutur langsung ini dilakukan karena beberapa alasan. Pertama, “alasan” digunakan karena permintaan yang diajukan termasuk kategori istimewa, misalnya harganya mahal. Kedua, “alasan” digunakan karena yang diminta merupakan sesuatu yang selama ini menjadi larangan bagi si anak, dapat berupa makanan, barang, atau aktivitas yang berdampak negatif bagi anak. Ketiga, “alasan” digunakan karena yang diminta oleh anak merupakan hal yang tak lazim

dilakukan atau diminta oleh anak, atau tidak sesuai dengan kebiaasaanya. Keempat, “alasan” digunakan oleh anak karena sebelumnya mendapat respon

negatif dari lawan bicaranya.

2.2.2.2 Tindak Tutur Tidak langsung

(24)

menangkap permintaannya. Untuk lebih mendukung keberhasilan dalam tindak tuturnya ini anak-anak biasanya mendayagunakan segala hal yang ada disekitarnya (konteks) dan juga modus-modus tertentu.

1. Modus dalam Tindak Tutur Tidak Langsung

Secara formal modus kalimat dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif). Ketiga modus tersebut tentu biasa digunakan sesuai kegunaannya, kalimat berita untuk memberitakan sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya kepada seseorang, dan kalimat perintah untuk memerintah atau meminta sesuatu kepada seseorang. Namun terkadang dalam komunikasi sehari-hari perintah dilakukan menggunakan kalimat tanya maupun berita. Keadaan seperti ini biasanya terjadi karena beberapa hal, seperti untuk membuat kalimat menjadi lebih halus, ataupun menjaga perasaan mitra tutur.

(25)

2.3 Konteks

Kata konteks berasal dari kata con-text yang berarti kata-kata dan kalimat-kalimat sebelum dan sesudah kalimat tertentu yang sedang dipelajari seseorang. Dari pengertian itu, dahulu konteks hanya berhubungan dengan kata dan kalimat dari sebuah teks, sebelum akhirnya Malinowski menciptakan istilah “konteks Situasi”

yang berarti lingkungan teks (Halliday dan Hasan, 1992: 7).

2.3.1 Pengertian Konteks

Sehubungan dengan teori konteks situasi yang disampaikan oleh Malinowski, seorang pakar ilmu bahasa J.R Firth (yang oleh banyak orang dipandang sebagai pelopor linguistik modern) tertarik dan mengambil alih pemikiran Manilowski. Pada makalahnya yang ditulis pada tahun 1935 Firth berpendapat, semua ilmu bahasa adalah kajian tentang makna dan semua makna merupakan fungsi dalam konteks (Halliday dan Hasan, 1992: 10).

(26)

Dari penjelasan di atas, awal mula dari konteks adalah penemuan Malinowski yang dahulu disebut konteks situasi. Seiring perkembangannya istilah konteks situasi sudah jarang digunakan, saat ini istilah konteks lebih mewakili segala hal yang melatari terjadinya tindak tutur. Pakar-pakar ilmu bahasa saat ini lebih sering menggunakan istilah konteks saja. Contohnya Secara singkat Leech (1983: 20) mengartikan konteks sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur dan yang membantu mitra tutur menafsirkan makna tuturan.

Syafi’ie dengan cara lebih kongkret membedakan konteks ke dalam empat

klasifikasi, yaitu (1) konteks fisik yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam suatu komunikasi, (2) konteks epistemis atau latar belakang pengetahuan sama-sama diketahui oleh penutur dan mitra tutur, (3) konteks lingustik yang terdiri atas kalimat-kalimat atau ujaran-ujaran yang mendahului atau mengikuti ujaran tertentu dalam suatu peristiwa komunikasi; konteks linguistik ini disebut juga dengan istilah konteks, dan (4) konteks sosial, yakni relasi sosial dan latar yang melengkapi hubungan antara penutur dan mitra tutur (Rusminto 2009: 55).

2.3.2 Unsur-Unsur Konteks

(27)

S (= Setting and scene) P (=Participants)

E (= Ends : Purpose and goal) A (= Act sequences)

K (= Key : tone or spirit of act) I (= Instrumentalities)

N (=Norms of Interaction and interpretation) G (= Gennres)

1) Setting and scene. Di sini setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu, atau situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. Berbicara di lapangan sepak bola waktu ada pertandingan sepak bola dalam situasi yang ramai tentu berbeda dengan pembicaraan di ruang perpustakaan pada waktu banyak orang membaca dan dalam keadaan sunyi. Di lapangan sepak bola kita bisa berbicara keras-keras, tapi di ruang perpustakaan harus seperlahan mungkin.

(28)

berbicara dengan orang tuanya atau gurunya bila dibandingkan kalau dia berbicara dengan teman-teman sebayanya.

3) Ends, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang terjadi di ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara, namun para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan si terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa si terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil. Dalam peristiwa tutur di ruang kuliah linguistik, ibu dosen yang cantik itu berusaha menjelaskan materi kuliah agar dapat dipahami mahasiswanya namun, barangkali di antara para mahasiswa itu ada yang datang hanya untuk memandang wajah bu dosen yang cantik itu.

4) Act sequence, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Bentuk ujaran dalam kuliah umum, dalam percakapan biasa, dan dalam pesta adalah berbeda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan.

5) Key, mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan disampaikan: dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat.

(29)

mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialek, fragam, atau register.

7) Norm of Interaction and Interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Misalnya yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya, dan sebagainya. Juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara.

8) Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan sebagainya.

(Djajasudarma,1994: 29)

2.3.3 Jenis-Jenis Konteks

Ketika membicarakan hubungannya dengan bahasa anak-anak, konteks sangat sering digunakan untuk mendukung agar maksud dari yang disampaikan dipahami oleh mitra tuturnya, pemanfaatan konteks inilah yang disebut dengan pendayagunaan konteks. Rusminto (2010: 133-146) membagi lima konteks yang sering digunakan anak-anak dalam tuturannya, lima konteks tersebut antara lain.

2.2.3.1 Konteks Tempat

(30)

2.2.3.2 Konteks waktu

Konteks waktu yang melatari peristiwa tutur pada saat anak-anak bertutur, ada kalanya juga dimanfaatkan oleh anak untuk mendukung keberhasilan tuturan yang dilakukannya. Konteks waktu didayagunakan oleh anak-anak tidak hanya dikaitkan dengan waktu sekarang, pada saat tuturan dilakukan, tetapi juga berkaitan dengan waktu tertentu di masa lalu dan di masa yang akan datang yang bersangkutan paut dengan tuturan anak.

2.2.3.3 Konteks Peristiwa

Tindak tutur yang dilakukan oleh anak-anak selalu terjadi dalam konteks peristiwa tertentu. Peristiwa-peristiwa tersebut tidak saja menjadi faktor yang cukup menentukan dalam peristiwa tutur yang terjadi, tetapi juga sering dimanfaatkan oleh anak-anak untuk mendukung keberhasilan tuturannya. Anak-anak sering menggunakan peristiwa ini untuk memengaruhi pendapat atau pandangan mitra tuturnya sehubungan dengan tindak tutur yang dilakukanya. Konteks peristiwa yang didayagunakan oleh anak-anak untuk mendukung keberhasilan tuturannya dapat berupa peristiwa yang merugikan anak atau peristiwa istimewa milik anak.

2.2.3.4Konteks Suasana

(31)

2.2.3.5 Konteks Orang Sekitar

Ketika anak-anak bertutur, ada kalanya terdapat orang lain yang berada di sekitar anak yang terlibat dalam peristiwa tutur tersebut selain anak dan mitra tuturnya. Orang sekitar yang dimaksudkan dalam kajian ini tidak hanya berkaitan dengan orang-orang yang berada di sekitar anak secara langsung ketika anak menyampaikan tuturannya, tetapi juga orang lain yang berada di tempat lain tetapi bersangkut paut dengan tuturan yang disampaikan oleh anak. Orang sekitar ini tidak saja sangat berpengaruh terhadap peristiwa tutur yang terjadi, tetapi lebih dari itu keberadaanya juga sering dimanfaatkan oleh anak untuk mendukung keberhasilan tuturan agar dikabulkan oleh mitra tuturannya. Bedasarakan hasil kajian, ditemukan bahwa pendayagunaan konteks orang sekitar ini dapat dilakukan oleh anak-anak dengan menggunakan tiga macam cara. Pertama menyebut orang sekitar sebagai pihak yang berkepentingan dengan tuturan yang dilakukan oleh anak. Kedua, menyebut orang sekitar sebagai pendukung permintaan yang diajukan anak. Ketiga, memanfaatkan pengaruh kehadiran orang sekitar diantara penutur dan mitra tutur.

2.3.4 Peranan Konteks dalam Tindak Tutur

(32)

Bahasa sebagai alat dari wacana pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dari konteks. Dalam hal ini Brown dan Yule (1996: 27) berpendapat, penganalisis wacana semestinya menggunakan pendekatan pragmatis terhadap penyelidikan pemakaian bahasa untuk mempertimbangkan sejumlah persoalan yang biasanya tidak banyak diperhatikan oleh ahli linguistik formal, misalnya memperhatikan konteks tempat. Brown dan Yule juga berpendapat sekurang-kurangnya penganalisis sebuah tindak tutur harus mengetahui siapa penutur, mitra tutur, dan waktu produksi wacana.

Besarnya peranan konteks bagi pemahaman sebuah tuturan dapat dibuktikan dengan adanya kenyataan bahwa sebuah tuturan seperti pada contoh berikut dapat memiliki maksud yang berbeda jika terjadi pada konteks yang berbeda.

(1) “Pandai sekali kamu!”

Tuturan pada contoh wacana (1) dapat memiliki dua makna jika dilihat dari beberapa sudut pandang konteks. Tuturan wacana (1) dapat mengandung maksud ‘memuji karena “kamu” benar-benar pandai ’ jika disampaikan dalam konteks “kamu” baru saja menerima rapor dan nilai dalam rapor “kamu” memuaskan.

Sebaliknya, tuturan tersebut dapat mengandung maksud ‘mengejek kamu’ jika disampaikan dalam konteks kamu baru saja menerima rapor dengan nilai yang rendah.

(33)

aturan-aturan yang mengikat (Rusminto 2009: 61). Sementara itu, Brown dan Yule (1996: 27-67) menyatakan dalam menginterpretasi makna sebuah ujaran, penginterpretasi harus memperhatikan konteks, sebab konteks itulah yang akan menentukan makna ujaran.

Kaitannya dengan pembahasan sebelumnya, J.R. Firth seorang pelopor linguistik Inggris modern, menyatakan bahwa bahasa sebaiknya jangan dipisahkan sama sekali dari konteks sosial tempat berfungsinya, dan semua teks dalam bahasa-bahasa lisan modern sebaiknya dipandang sebagai ‘mengandung implikasi ujaran’

dan oleh karenanya harus dikaitkan pada pelibatan para peserta kegiatan berbahasa (Brown dan Yule, 1996: 36). Oleh karena itu, konteks situasi dapat dipandang sebagai bentuk skematis yang sangat sesuai diterapkan pada peristiwa-peristiwa bahasa. Konteks situasi yang menghubungkan kategori-kategori berikut sebagai suatu jalinan yang saling berkaitan.

(1) Ciri-ciri yang relevan dari peserta, yang meliputi (a) perbuatan verbal para peserta dan (b) perbuatan nonverbal para peserta.

(2) Tujuan-tujuan yang relevan (3) Akibat-akibat perbuatan verbal

(34)

2.4 Perkembangan Pemerolehan Bahasa Anak

Menurut Ruqayyah (Winda 2010: 22) perkembangan pemerolehan bahasa anak dapat dibagi atas tiga bagian penting yaitu sebagai berikut.

1. Perkembangan Prasekolah

Perkembangan pemerolehan bahasa anak pada masa prasekolah dapat dibagi lagi atas perkembangan pralinguistik, yaitu anak mengembangkan konsep dirinya. Ia berusaha membedakan dirinya dengan orang lain, serta hubungan dengan objek dan tindakan.

Selain itu ada pula tahap satu kata, yaitu anak terus-menerus berupaya mengumpulkan nama-nama, seperti benda, orang, tempat dan sebagainya. Selanjutnya ada sarana ekspresif, sarana ini berupa kemunculan morfem-morfem gramatikal secara inklusif dalam ujaran anak, pengertian atau penyambungan bersama-sama hubungan dua hal tersebut dan perluasan istilah dalam suatu hubungan atau relasi. Hal ini membuat tuturan anak menjadi lebih panjang.

(35)

Menurut Nuraeni (Patricia 2010: 23), panjang ucapan anak kecil merupakan indikator atau petunjuk perkembangan bahasa yang lebih baik dari pada urutan usianya. Jumlah morfem rata-rata per ucapan dapat digunakan sebagai ukuran panjangnya.

2. Perkembangan Ujaran Kombinatori

Perkembangan ujaran kombinatori anak-anak dapat dibagi dalam empat bagian, yaitu perkembangan negatif, interogatif, penggabungan kalimat, dan perkembangan sistem bunyi. Perkembangan beberapa proposisi menjadi sebuah kalimat tunggal memerlukan rentang masa selama beberapa tahun dalam perkembangan bahasa anak-anak.

3. Perkembangan Masa Sekolah

Pada perkembangan masa sekolah, orientasi seorang anak dapat berbeda-beda. Ada anak yang lebih impulsif dari pada anak yang lain, lebih refleksif dan berhati-hati, cenderung lebih jelas dan nyata dalam berekspresi, lebih senang belajar dengan bermain-main, sementara yang lain lebih pragmatis dalam pemakaian bahasa. Setiap bahasa anak akan mencerminkan kepribadiannya sendiri.

(36)

2.5Kurikulum Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar

Seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan kegiatan pembelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan terdapat pada sebuah kurikulum. Kurikulum yang berlaku di sekolah dasar perlu disempurnakan secara terus menerus sejalan dengan dinamika perkembangan masyarakat, kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya, serta berdasarkan pada tanggapan, kritik, masukan, dan saran dari para praktisi, pakar, ahli dan masyarakat.

Pelaksanan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Bahasa Indonesia sejak tahun 2006 merupakan salah satu bentuk konkret dari pemerintah Indonesia dalam menyikapi permasalahan pendidikan nasional, terutama mengenai input dan output pendidikan. Kurikulum tersebut membekali peserta didik dengan berbagai kemampuan yang sesuai dengan tuntunan zaman dan tuntunan reformasi guna menjawab tantangan arus globalisasi.

Secara umum tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia di SD adalah sebagai berikut.

a. siswa bangga terhadap bahasa indonesia sebagai bahasa persatuan (Nasional) dan bahasa negara;

b. siswa membiasakan diri menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari;

(37)
(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pendayagunaan konteks dalam tindak tutur anak usia tujuh tahun. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan metode deskriptif, dan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun buatan manusia, karena pada dasarnya kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa data lisan dari perilaku orang yang diamati (Bodgan dan Tailor dalam Prastowo, 2011: 22).

Berdasarkan jenis datanya, penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) karena korpus data yang digunakan berupa teks lisan. Penelitian lapangan merupakan metode untuk mengumpulkan data kualitatif. peneliti

berangkat ke ‘lapangan’ untuk mengadakan pengamatan tentang sesuatu

(39)

3.2 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini ialah tindak tutur dari anak bernama Dinda Bintang Wahyu Adhira, sehari-hari dipanggil dek Bin. Sumber data lahir pada 7 Desember 2005 dan pada saat pengambilan data pertama sang anak berumur Tujuh tahun. Sang anak merupakan anak ke empat dari empat bersaudara dari pasangan Ahmad Dahlan, S.Pd. dan Sunarsih. Sang anak sedang bersekolah di SD Negeri 1 Purwosari. Ayahnya merupakan keturunan Sunda dan Palembang namun justru fasih berbahasa Jawa karena faktor lingkungan, sedangkan ibunya berlatar belakang bahasa Jawa Timur jadi cenderung agak keras.

Sang anak merupakan anak terakhir, kesemua kakaknya laki-laki, hal ini berpengaruh kepada sikapnya yang agak tomboi dan juga manja. Saat bertutur dengan kakak dan teman-temannya ia cenderung keras, namun sangat manja kepada ayahnya. Sang anak menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari. Selain itu, sang anak juga mudah bergaul, tidak hanya dengan teman sebaya tetapi juga dengan orang yang lebih tua sehingga memudahkan peneliti untuk mengambil data.

Data dalam penelitian ini berupa pendayagunaan konteks dalam tindak tutur yang dilakukan oleh subjek penelitian. Data diperoleh dari tuturan yang dihasilkan oleh subjek penelitian dalam percakapan sehari-hari dengan mitra tuturnya.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

(40)

dengan cara berpartisipasi sambil menyimak, berpartisipasi dalam pembicaraan, dan menyimak pembicaraan, berarti peneliti juga berpartisipasi langsung di dalam percakapan yang terjadi. Di samping itu juga digunakan teknik simak bebas libat cakap, di mana peneliti tidak terlibat dalam percakapan atau hanya berperan sebagai pengamat (Mahsun, 2005: 93).

Teknik ini dikombinasikan dengan teknik catatan lapangan, teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data dari sang anak. Peneliti mengadakan pengamatan (observasi), pencatatan data, dan penganalisisan data dan berbagai hal yang terjadi di lapangan secara objektif dan apa adanya. Peneliti mengumpulkan data dari anak ketika subjek penelitian bercakap-cakap dengan peneliti maupun dengan mitra tutur yang lain, peneliti mencatat percakapan tersebut jika memungkinkan bisa merekamnya. Tidak ada jadwal khusus untuk melakukan pengumpulan data, namun ditentukan berapa lama proses pengumpulan datanya, bisa satu bulan atau dua bulan. Data yang diperoleh tidak dituangkan dalam bentuk bilangan atau angka statistik, melainkan dalam bentuk kualitatif yang dinyatakan dalam kata-kata.

3.4. Teknik Analisis Data

(41)
[image:41.595.134.490.259.458.2]

berdasarkan berbagai kemungkinan/dugaan sementara, kemudian dugaan sementara itu disesuaikan dengan fakta-fakta pendukung yang ada di lapangan. Bila hipotesis tidak teruji, akan dibuat hipotesis yang baru. Hipotesis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah praanggapan/dugaan sementara.

Gambar Bagan 3.1 Analisis Heuristik

Leech (1983: 61) mengemukakan bahwa di dalam analisis heuristik, analisis berawal dari problem yang dilengkapi proposisi, informasi latar belakang konteks, kemudian dirumuskan hipotesis tujuan. Berdasarkan data yang ada, hipotesis diuji kebenarannya. Bila hipotesis sesuai dengan bukti-bukti kontekstual yang tersedia, berarti pengujian berhasil. Hipotesis diterima kebenarannya dan menghasilkan interprestasi baku yang menunjukkan bahwa tuturan mengandung satuan pragmatik. Jika pengujian gagal, maka terjadi karena hipotesis tidak sesuai dengan bukti yang tersedia. Proses pengujian ini dapat berulang-ulang sampai diperoleh hipotesis yang dapat diterima. Berikut contoh analisisnya.

2. Hipotesis 1.Problem

3. Pemeriksaan

4a. Pengujian berhasil

5. Interpretasi default

(42)

Bagan 1.2 Contoh (1) Diuji Menggunakan Analisis Heuristik

Tuturan pada contoh (1) termasuk sebuah kalimat pernyataan, tetapi setelah diperiksa dengan menggunakan analisis heuristik dengan memasukkan data-data direktif pernyataan, ternyata tuturan (1) merupakan tindak tutur tidak langsung berupa perintah, yang memanfaatkan konteks orang sekitar. Maksud dari tindak tutur tersebut, anak bukan hanya menyatakan bahwa sang kakak pintar, tetapi juga bermaksud meminta kakak membantunya mengerjakan tugas mata pelajaran aksara Lampung. Si anak menyatakan hal tersebut sambil melakukan tindakan yakni memegang buku pelajaran aksara Lampung. Si anak melakukan tindak tutur tidak langsung dengan modus memuji, bisa dilihat si anak disini memuji kakaknya pintar pelajaran aksara lampung. Si anak melakukan hal ini bertujuan untuk membuat hati sang kakak senang sehingga maksud dari tuturannya tercapai dan sang kakak mau membantunya.

2. Hipotesis

1. Adik hanya menyatakan bahwa kakaknya pintar pelajaran aksara lampung

2. Adik meminta diajari pelajaran aksara Lampung

3. Pemeriksaan

1. Adik sedang mengerjakan tugas aksara Lampung 2. Adik mengerjakan tugas didekat kakaknya

3. Adik kesulitan dalam mengerjakan tugas aksara lampung

4. Adik mengeluh kepada kakaknya.

5. Interpretasi Default

4a. Pengujian 2 Berhasil 4b. Pengujian 1 Gagal

1. Problem

(interpretasi tuturan)

(43)

Langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis data adalah sebagai berikut.

1. Menyimak dan mencatat semua data alamiah/ujaran spontan anak yang muncul termasuk mencatat konteks pada saat anak melakukan pertuturan.

2. Data yang didapat segera dianalisis dengan menggunakan catatan deskriptif dan catatan reflektif juga menggunakan analisis heuristik, yakni analisis konteks.

3. Mengidentifikasi percakapan yang terjadi pada saat anak melakukan pertuturan yang mendayagunakan konteks.

4. Mengidentifikasi konteks dalam tindak tutur anak.

5. Mengklasifikasikan data berdasarkan jenis konteksnya.

6. Berdasarkan hasil identifikasi dan klasifikasi data, dilakukan kegiatan penarikan simpulan sementara.

7. Memeriksa/mengecek kembali data yang sudah diperoleh.

8. Penarikan simpulan akhir.

(44)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

(45)

Hasil penelitian tentang pendayagunaan konteks dalam tindak tutur anak usia tujuh tahun juga diimplikasikan ke dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Implikasi dilakukan ke kelas rendah, yakni kelas satu semester dua, lebih tepatnya pada standar kompetensi berbicara poin kedua yakni Mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi, secara lisan dengan perkenalan dan tegur sapa, pengenalan benda dan fungsi anggota tubuh, dan deklamasi dan pada kompetensi dasar menyapa orang lain dengan menggunakan kalimat sapaan yang tepat dan bahasa yang santun. Data hasil penelitian dapat dijadikan acuan oleh guru untuk membuat strategi dan media pembelajaran yang sesuai.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah disajikan pada bab sebelumnya, dapat penulis sarankan hal-hal sebagai berikut.

1. Untuk Guru SD

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk pendayagunaan konteks anak usia tujuh tahun ini sudah bermacam, mereka sudah peka terhadap hal-hal disekitar mereka. Sebagai pendidik hendaknya lebih memahami potensi anak-anak ini, agar dapat lebih dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan anak bertutur dengan cara yang sesuai dan santun dengan memanfaatkan konteks yang ada disekitarnya.

2. Untuk orang tua dan calon orang tua

(46)

tutur anak-anak, agar saat nanti mampu memahami kemampuan anak, dan paham tentang potensi yang dimiliki anak.

3. Untuk peneliti

(47)

DAFTAR PUSTAKA

Brown, Gillian dan Yule, George. 1983. Discourse Analysis I(Analisis Wacana). Terjemahan Oleh I. Soetikno. 1996. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Chaer, Abdul dan L. Agustina.1995. Sosiolinguistik Suatu Pengantar.

Jakarta: Rineka Cipta.

Chandra, Pratiwi. 2013. Kesantunan dalam Tuturan Memerintah Anak Usia Sekolah Dasar. Skripsi. Bandarlampung: Universitas Lampung.

Dardjowidjojo, Soendjono. 2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Djajasudarma, T. Fatimah. 1994. Wacana: Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Bandung: PT Eresco Bandung.

Halliday, M.A.K. dan Hasan, Ruqaiya. 1985. Bahasa, Konteks, dan Teks. Aspek-aspek Bahasa dalam Semiotik. Terjemahan oleh Asrudin Baroni Tou. 1992. Yogyakarta: Gajahmada University press.

Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Terjemahan oleh Oka, M.D.D. 1993. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).

Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Moleong, L. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya. Prastowo, Andi. 2012. Metode Penelitian Kualitatif dalam Prespektif Rancangan

Penelitian. Jakarta: Yuma Ar-Ruzz media.

Rusminto, N.E. 2009. Analisis Wacana Bahasa Indonesia. (Buku Ajar). Bandarlampung: FKIP Universitas Lampung.

Rusminto, N.E. 2010. Memahami Bahasa Anak-Anak. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

(48)

Gambar

Gambar Bagan 3.1 Analisis Heuristik

Referensi

Dokumen terkait

Dalam tahap awal ini penulis merumuskan masalah yang di angkat yaitu masalah apa saja yang dialami pihak Gereja GKPI Palmerah Jambi untuk menemukan kekurangan yang

Data hasil penelitian meliputi pengaruh jenis kedelai terhadap jumlah kutu kubul pada berbagai stadia, hubungan antar populasi telur, nimfa, pupa dan imago,

Hal yang diukur dalam eksperimen antara lain total waktu tidur, denyut jantung ketika istirahat, waktu reaksi dengan teknik PVT ( Psychomotor Vigilance Task ) serta berat

Seperti pada gambar V.5 di atas, Halaman manajemen kamar adalah form yang berisikan sub menu informasi asrama yang di dalamnya terdapat data asrama yang aktif di UINAM dan sub

Pengambilan Hidrokarbon yang Bisa Mengembun Hidrokarbon lebih berat dari metana yang ada dalam gas alam merupakan bahan mentah berharga dan bahan bakar yang penting.. Hidrokarbon

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah (KTI) dengan judul “Gambaran

2. Asas ius soli atau asas kedaerahan, yaitu merupakan kewarganegaraan seseorang yang ditentukan berdasarkan tempat dimana ia dilahirkan. Conthnya, seseorang yang dilahirkan di

Pendekatan struktural adalah pendekatan yang digunakan untuk memahami karya sastra dengan memperhitungkan struktur atau unsur-unsur pembentuk karya sastra sebagai jalinan yang