• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN ISTERI DALAM PERKAWINAN JUJUR PADA MASYARAKAT ADAT LAMPUNG PEPADUN DI DESA TIUH BALAK KECAMATAN BARADATU KABUPATEN WAY KANAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEDUDUKAN ISTERI DALAM PERKAWINAN JUJUR PADA MASYARAKAT ADAT LAMPUNG PEPADUN DI DESA TIUH BALAK KECAMATAN BARADATU KABUPATEN WAY KANAN"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN ISTRI DALAM PERKAWINAN JUJUR PADA MASYARAKAT ADAT LAMPUNG PEPADUN

DI DESA TIUH BALAK KECAMATAN BARADATU KABUPATEN WAY KANAN

Oleh

Lely Myutiara Susanti

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

KEDUDUKAN ISTERI DALAM PERKAWINAN JUJUR PADA MASYARAKAT ADAT LAMPUNG PEPADUN

DI DESA TIUH BALAK KECAMATAN BARADATU KABUPATEN WAY KANAN

Oleh

LELY MYUTIARA SUSANTI

Masyarakat adat Lampung Pepadun terdapat beberapa kelompok masyarakat adat yang salah satunya adalah di Desa Tiuh Balak Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan. Masyarakat di Desa Tiuh Balak menggunakan bentuk perkawinan jujur. Menurut hukum adat Lampung pepadun setelah isteri berada di dalam lingkungan kerabat suami, maka isteri di dalam segala perbuatan hukumnya harus berdasarkan persetujuan suami. Isteri tidak boleh bertindak sendiri, oleh karena isteri dianggap sebagai pendamping atau pembantu suami dalam mengatur kehidupan rumah tangga, baik dalam hubungan kekerabatan maupun dalam hubungan kemasyarakatan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah kedudukan isteri dalam perkawinan jujur pada masyarakat Lampung Pepadun di Desa Tiuh Balak Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan.

Jenis penelitian yang dilakukan adalah normatif empiris, dengan tipe penelitian bersifat deskriptif dan menggunakan pendekatan secara yuridis. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dan wawancara terhadap masyarakat adat dan tokoh adat, data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Analisis data dilakukan dengan cara analisis kualitatif.

(3)

dan ketika terjadi perceraian maka harta bawaan dan pemberian akan dibagi kedua belah pikah. Dari pergeseran kedudukan isteri di Desa Tiuh Balak tersebut di pengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor ekonomi, pendidikan, budaya dan lingkungan.

(4)
(5)
(6)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wilayah Indonesia sangat luas, juga mempunyai puluhan bahkan ratusan adat

budaya. Begitu juga dengan sistem kekerabatan yang dianut, berbeda sukunya

maka berbeda pula sistem kekerabatannya. Masyarakat Lampung sebagai salah

satu suku di Indonesia yang bertempat tinggal di ujung selatan Pulau Sumatera.

Masyarakat Lampung dibedakan dalam dua golongan masyarakat adat yaitu

golongan masyarakat Lampung Saibatin dan masyarakat Lampung Pepadun.

Masyarakat yang beradat Saibatin memakai dialek (A api/apa) dan masyarakat

Pepadun memakai dialek (O nyow/apa).

Masyarakat Lampung yang beradat Pepadun umumnya mendiami daerah-daerah

pedalaman seperti Abung, Way Kanan, Sungkai, Tulang Bawang serta Pubian.

Masyarakat Lampung yang beradat Saibatin, umumnya menempati daerah

sepanjang Teluk Betung, Teluk Semangka, Krui, Belalau, Liwa, Pesisir Raja

Basa, Melinting dan Kalianda.1

Pada susunan masyarakat hukum, bentuk perkawinan adat dapat dibedakan, yaitu

bentuk perkawinan adat masyarakat patrilineal, matrilineal dan parental/bilateral.

1

(7)

Masyarakat yang menggunakan sistem kekerabatan patrilineal yaitu masyarakat

yang kekerabatannya mengutamakaan keturunan garis laki-laki. Pada masyarakat

patrilineal kaum pria mendapatkan penghargaan lebih tinggi dari kaum wanita.

Masyarakat yang menganut sistem patrilineal umumnya melaksanakan bentuk

perkawinan “jujur”, sedangkan di kalangan masyarakat adat yang mengikuti

sistem kekerabatan matrilineal pada umumnya menganut bentuk perkawinan

“semanda”, dan pada masyarakat adat parental menganut bentuk perkawinan

“mentas”. Bentuk perkawinan jujur adalah perkawinan yang dilakukan dengan

pembayaran “jujur” yaitu dalam bentuk barang atau uang kepada pihak isteri.

Diterimanya barang atau uang jujur oleh pihak wanita maka berarti setelah

perkawinan si wanita akan mengalihkan kedudukannya kepada keanggotaan

kerabat suami untuk selama ia mengikatkan dirinya dalam perkawinan itu.2

Menurut hukum adat Lampung Pepadun setelah isteri berada di dalam lingkungan

kerabat suami, maka isteri di dalam segala perbuatan hukumnya harus

berdasarkan persetujuan suami. Isteri tidak boleh bertindak sendiri, oleh karena

isteri dianggap sebagai pendamping atau pembantu suami dalam mengatur

kehidupan rumah tangga, baik dalam hubungan kekerabatan maupun dalam

hubungan kemasyarakatan. Namun dengan demikian tidak berarti hubungan

hukum dan hubungan biologis antara si isteri dengan orang tua kerabat asalnya

hilaang sama sekali.

2

(8)

Pada masyarakat Lampung Pepadun, anak-anak perempuan sejak kecil hingga

dewasa sebelum menikah mengikuti kekerabatan ayahnya, namun setelah

menikah akan menjadi anak orang lain dan menjadi warga adat orang lain. Namun

demikian tidak berarti hubungan hukum dan hubungan biologis antara si wanita

dengan orang tua kerabat asalnya hilang sama sekali, tetapi tugas dan peranannya

sudah berlainan harus lebih mengutamakan kepentingan kerabat pihak suami dari

pada kepentingan kerabat asalnya. Secara umum kedudukan istri pada masyarakat

Lampung adalah di bawah pimpinan suami, isteri sebagai pendamping suami.

Berbicara mengenai kedudukan isteri dalam bentuk perkawinan jujur dengan

perkembangan zaman yang menganut persamaan hak, keadilan, kesetaraan gender

dan non diskriminasi merupakan dua sisi yg berbeda, yang mana dalam suatu

perkawinan jujur kedudukan isteri tidak lebih dominan dari pada suami atau

kedudukan suami lebih tinggi daripada kedudukan isteri dihubungkan dengan

perkembangan zaman yang menghendaki adanya persamaan gender, keadilan dan

kesetaraan. Sehingga bagaimaana kedudukan isteri dalam bentuk perkawinan jujur

pada masyarakat Lampung dewasa ini.

Guna memperjelas hal di atas, maka penulis tertarik untuk menuliskan dalam

(9)

B. Rumusan Masalah dan Ruang lingkup 1. Permasalahan

Permasalahan dalam skripsi ini adalah:

Bagaimanakah Kedudukan Isteri Dalam Perkawinan Jujur Pada Masyarakat

Adat Lampung Pepadun di Desa Tiuh Balak Kecamatan Baradatu Kabupaten

Way Kanan?

Pokok bahasan pada penelitian ini adalah:

a.Kedudukan isteri dalam keluarga.

b.Kedudukan isteri dalam kekerabatan.

c.Kedudukan isteri terhadap harta kekayaan.

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah hukum adat yang didalamnya

membahas tentang hukum perkawinan adat, kekerabatan adat dan waris adat

pada masyarakat Lampung Pepadun. Kedudukan isteri dalam skripsi ini

menjadi kajian hukum adat yang menyangkut perkawinan jujur pada

masyarakat adat Lampung Pepadun. Lingkup bidang ilmu dalam penelitian

ini adalah hukum perkawinan adat.

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini

(10)

jujur pada masyarakat Lampung Pepadun di Desa Tiuh Balak Kecamatan

Baradatu Kabupaten Way Kanan dengan pokok bahasan:

a. Kedudukan isteri dalam keluarga;

b. Kedudukan isteri dalam kekerabatan;

c. Kedudukan isteri terhadap harta kekayaan.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan yang diharapkan dari hasil penelitian ini sebagai berikut:

a. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran dan

perkembangan ilmu pengetahuan tentang hukum perkawinan adat,

khususnya kedudukan isteri dalam bentuk perkawinan jujur pada

masyarakat adat Lampung Pepadun.

b. Kegunaan Praktis

1. Sebagai upaya pengembangan wawasan keilmuan dan pengetahuan

penelitian di bidang hukum khususnya hukum perdata;

2. Menambah bahan informasi bagi pihak-pihak yang membutuhkan

referensi yang dapat digunakan untuk penelitian lanjutan yang berkaitan

dengan permasalahan dalam pokok bahasan mengenai kedudukan isteri

dalam perkawinan jujur menurut hukum adat Lampung Pepadun.

3. Sebagai pemenuhan salah satu syarat akademik bagi peneliti untuk

(11)

II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat hukum adat disebut juga dengan istilah “masyarakat tradisional” atau

the indigenous people, dalam kehidupan sehari-hari lebih sering dan populer

disebut dengan istilah “masyarakat adat”.1 Masyarakat hukum adat adalah

komunitas manusia yang patuh pada peraturan atau hukum yang mengatur tingkah

laku manusia dalam hubungannya satu sama lain baik berupa keseluruhan dari

kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup karena diyakini dan dianut, jika

dilanggar pelakunya mendapat sanksi dari penguasa adat.

Pengertian masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan

di wilayah tertentu, yang berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh

penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya, dengan rasa solidaritas yang

sangat besar diantara para anggota masyarakat sebagai orang luar dan

menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaannya hanya dapat

dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya.2

1

Djamanat Samosir. 2013.Hukum Adat Indonesia.Medan: CV. Nuansa Aulia, hal.69

2

(12)

Masyarakat merupakan sistem sosial, yang menjadi wadah dari pola-pola interaksi

sosial atau hubungan interpersonal maupun hubungan antar kelompok sosial.

Maka suatu masyarakat merupakan suatu kehidupan bersama, yang

warga-warganya hidup bersama untuk jangka waktu yang cukup lama, sehingga

menghasilkan kebudayaan. Masyarakat hukum adat adalah sekumpulan orang

yang tetap hidup dalam keteraturan dan didalamnya ada sistem kekuasaan dan

secara mandiri, yang mempunyai kekayaan yang berwujud atau tidak berwujud.

Masyarakat hukum adat juga merupakan suatu kesatuan manusia yang saling

berhubungan dengan pola berulang tetap, yaitu suatu masyarakat dengan

pola-pola perilaku yang sama, dimana perilaku tersebut tumbuh dan diwujudkan oleh

masyarakat, dari pola tersebut diwujudkan aturan-aturan untuk mengatur

pergaulan hidup itu. Suatu pergaulan hidup dengan pola pergaulan yang sama,

hanya akan terjadi apabila adanya suatu komunitas hubungan dengan pola

berulang tetap.

Masyarakat hukum adat adalah komunitas manusia yang patuh pada peraturan

atau hukum yang mengatur tingkah laku manusia dalam hubungannya satu sama

lain baik berupa keseluruhan dari kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar

hidup karena diyakini dan dianut, jika dilanggar pelakunya mendapatkan sanksi

(13)

Macam-macam masyarakat hukum adat yang terdapat di Negara Republik

Indonesia terbagi menjadi 4 (empat), yaitu:

1. Masyarakat adat yang susunan kekerabatannya kebapakan (Patrilinial), yaitu

masyarakat yang kekerabatannya mengutamakan keturunan garis laki-laki.

2. Masyarakat adat yang susunan kekerabatannya keibuan (Matrilinial), yaitu

masyarakat yang kekerabatannya mengutamakan keturunan menurut garis

wanita.

3. Masyarakat adat yang bersendi keibu-bapakan (Parental), yaitu masyarakat

yang kekerabatannya tidak mengutamakan keturunan laki-laki ataupun

wanita.

4. Masyarakat adat yang bersendi kebapakan beralih (Alternatif) maksudnya

yaitu kekerabatan yang mengutamakan garis keturunan laki-laki namun

adakalanya mengikuti garis keturunan wanita karena adanya faktor pengaruh

lingkungan waktu dan tempat.

Masyarakat hukum adat di Indonesia dapat dibagi atas dua golongan menurut

dasar susunannya, yaitu yang berdasarkan pertalian suatu keturunan (genealogi)

dan berdasar lingkungan daerah (teritorial).3 Masyarakat hukum atau persekutuan

hukum yang teritorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang

anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam

kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai

tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur. Masyarakat atau persekutuan hukum

3

(14)

yang bersifat genealogis adalah suatu kesatuan masyarakat teratur, dimana para

anggotanya terikat pada suatu keturunan yang sama dan leluhur, baik secara

langsung karena hubungan darah (keturunan) atau secara tidak langsung karena

pertalian keturunan atau pertalian adat.

Melalui sudut bentuknya, maka masyarakat hukum adat tersebut ada yang berdiri

sendiri, menjadi bagian dari masyarakat hukum adat yang lebih tinggi atau

mencakup beberapa masyarakat hukum adat yang lebih rendah, serta merupakan

perserikatan dari beberapa masyarakat hukum adat yang sederajat.

C. Masyarakat Hukum Adat Lampung

Masyarakat hukum adat yang diambil berdasarkan data primer, adalah masyarakat

hukum adat yang dijumpai di daerah Lampung. Orang-orang Lampung

(“Lampung” berasal dari kata “lampung” yang berarti mengambang di air).4

Masyarakat Lampung mempunyai dasar genealogis yang tegas; faktor teritorial

baru kemudian menampakkan diri sebagai faktor penting juga. Kesatuan

genealogis yang terbesar bernama Buay (atau kebuayan) yang di daerah Pesisir

dinamakan Suku-Asal.5

Menyatakan bahwa marga dan tiyuh menunjukkan pada wilayah, sedangkan buay,

suku, canki dan nuwo secara tegas menunjukkan pada suatu kesatuan genealogis.

Maka, menurut dasar dan bentuknya, masyarakat Lampung Pepadun merupakan

masyarakat hukum adat yang genealogis-teritorial dan bertingkat. Pada akhirnya,

4

Ibid,hal.98 5

(15)

masyarakat hukum adat genealogis-teritorial yang bertingkat.

Kata Pepadun sendiri artinya adalah sebuah kursi singgasana yang terbuat dari

kayu, yang digunakan ketika melakukan upacara adat pepadun, dengan kata lain

pepadun adalah suatu benda berupa bangku yang terbuat dari kayu yang

merupakan lambang dari tingkatan kedudukan dalam masyarakat mengenai suatu

keluarga keturunan.6

Adapun kita sering mendengar istilah cakak pepadun dalam upacara-upacara adat

pepadun, cakak pepadun itu sendiri diartikan sebagai suatu peristiwa pelantikan

penyimbang menurut adat istiadat masyarakat Lampung Pepadun, dimana

sesorang yang akan mendapatkan gelar adat duduk di Pepadun dengan

mengadakan gawi adat yang wajib dilaksanakan bagi seseorang yang akan berhak

memperoleh pangkat atau kedudukan sebagai penyimbang yang dilakukan oleh

lembaga perwatin adat. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, masyarakat Pepadun

secara kekerabatan terdiri dari empat klen besar yang masing-masing dapat dibagi

lagi menjadi kelompok-kolompok kerabat yang disebut Buay.

D. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Adat

Tata cara dan upacara perkawinan adat Lampung pada umumnya berbentuk

perkawinan jujur dengan menurut garis keturunan bapak (patrilineal), yaitu

ditandai dengan adanya pemberian sejumlah uang kepada pihak perempuan untuk

6

(16)

menyiapkan sesan, yaitu berupa alat-alat keperluan rumah tangga. Sesan tersebut

akan diserahkan kepada pihak keluarga mempelai laki-laki pada upacara

perkawinan berlangsung yang sekaligus sebagai penyerahan (secara adat)

mempelai wanita kepada keluarga/ klan mempelai laki-laki.7

Secara hukum adat, maka putus pula hubungan keluarga antara mempelai wanita

dengan orangtuanya. Upacara perkawinan tersebut dalam pelaksanaannya dapat

dengan cara adat Hibal Serbo, Bumbang Aji, Ittar Padang, Ittar Manom (cakak

manuk) dan Sebambangan.

Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja

berarti sebagai „perikatan perdata , tetapi juga merupakan „perikatan adat dan

sekaligus merupakan „perikatan kekerabatan dan ketetanggaan .8 Perkawinan

menurut hukum adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara seorang pria

dan wanita sebagai suami isteri untuk maksud mendapatkan keturunan dan

membangun serta membina kehidupan rumah tangga saja, tetapi juga suatu

hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak isteri dan

pihak suami. Di samping itu dengan terjadinya perkawinan berarti berlakunya

ikatan kekerabatan untuk dapat saling membantu dan menjunjung yang rukun dan

damai.

Perkawinan juga bisa merupakan urusan kerabat, keluarga, persekutuan, martabat

dan bisa merupakan urusan pribadi. Bergantung pada tatanan susunan masyarakat

7

Sabaruddin SA. 2013. Lampung Pepadun dan Saibatin/Pesisir. Jakarta: Buletin Way Lima Manjau, hal.71-72

8

(17)

yang bersangkutan di dalamnya.

Perkawinan merupakan tujuan semua insan namun semuanya tidak terlepas dari

masalah bahkan bisa berakibatkan pada perencanaan. Perkawinan selain

berpegang teguh pada adat istiadat juga berpegang teguh pada syariat agama,

misalnya agama Islam, karena masyarakat Lampung mayoritas beragama Islam

maka syariat Islam telah meletakkan ukuran dan timbangan dalam memilih

pasangan hidup tidak hanya didasari oleh kesenangan atau kepuasan sesaat, akan

tetapi perkawinan harus dibangun di atas pondasi yang kokoh sehingga kehidupan

bisa ditegaskan diatasnya.9 Sejalan yang dikatakan oleh Hadikusuma bahwa

perkawinan bagi orang Lampung bukan semata-mata urusan pribadi, melainkan

juga urusan keluarga, kerabat, dan masyarakat adat.10

Pada pengertian di atas maka dapat diambil intisari bahwa perkawinan adalah

ikatan lahir dan batin antara pria dan wanita sebagai suami isteri dalam

membentuk keluarga yang syah untuk saling memenuhi hak dan kewajiban dan

untuk mendapatkan keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua atau

kerabatnya, serta dapat dimengerti bahwa perkawinan menurut hukum adat adalah

suatu peristiwa sakral (suci), yang sangat penting dan perkawinan ini melibatkan

orang tua, saudara sekandung, saudara sekandung mempelai, keluarga lain.

9

Darwis. 2003.Arsitektur Tradisional. Bandung: Depdikbud, hal.20

10Hilman Hadikusuma. 2003.Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara Adat. Bandung:

(18)

Perkawinan adalah unsur tali-temali yang meneruskan kehidupan manusia dalam

masyarakat (generasi), dengan kata lain terjadi perkawinan berarti berlakunya

ikatan kekerabatan untuk dapat saling membantu dan menunjang hubungan

kekerabatan yang rukun dan damai serta adanya silsilah yang menggambarkan

kedudukan seseorang sebagai anggota kerabat merupakan sejarah dari asal-usul

keturunan seseorang yang baik dan teratur.11

Pada dasarnya perkawinan adat Lampung, mengandung nilai sakral. Dikatakan

sakral karena terlaksanya perkawinan yang sah menurut agama, apabila mempelai

belum diresmikan masuk menjadi warga adat (kugrug adat) Lampung, berarti

mereka belum diakui sebagai warga kekerabatan adat. Perkawinan dalam hukum

adat Lampung adalah suatu bentuk upacara perkawinan antara pria dan wanita

yang dilakukan melalui acara“mosok-majew”(menyuap mempelai) dengan tindih

sila. Upacara mosok-majew ini di pimpin oleh tetua adat wanita. Biasanya

penyimbang (pemuka adat) dan dibantu oleh beberapa wanita sehingga juru bicara

dan pembawa syair perkawinan.

E. Tujuan Perkawinan Adat

Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan adalah

untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis keturunan

bapak atau ibu maupun kedua-duanya, untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga

11

(19)

mempertahankan kewarisan.

Oleh karena sistem keturunan dan kekerabatan suku di Indonesia berbeda. Maka

tujuan perkawinan adat bagi masyarakat adat berbeda pula mengakibatkan hukum

perkawinan dan upacara perkawinannya berbeda juga.

Pada masyarakat kekerabatan adat yang patrilineal perkawinan bertujuan

mempertahankan garis keturunan bapak sehingga anak laki-laki (tertua) harus

melaksanakan bentuk perkawinan ambil isteri (dengan perkawinan uang jujur),

dimana setelah terjadinya perkawinan isteri ikut masuk kekerabatan bapaknya.

F. Asas-asas Perkawinan Adat yang Berlaku Pada Masyarakat Lampung

Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berati ikatan antara seorang

pria dengan wanita sebagai suami-isteri untuk maksud mendapatkan keturunan

dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga

menyangkut hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak

isteri dan suami.

Asas-asas perkawinan menurut adat yang berlaku pada masyarakat Lampung

adalah:

1. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga/ rumah tangga dan di lingkungan

kekerabatannya yang rukun, damai, bahagia dan kekal (sakinah mawadah

(20)

2. Perkawinan tidak syah dilaksanakan menurut hukum agama dan kepercayaan,

tetapi juga harus dapat pengakuan dari anggota kerabat lainnya.

3. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan seorang wanita yang

mana kedudukannya masing-masing ditentukan hukum adat setempat.

4. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orangtua dan anggota kerabat/

masyarakat adat.

5. Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur/

masih anak-anak (kawin gantung).

6. Perkawinan harus seizin orang tua, baik kawin gantung atau perkawinan yang

sudah cukup umur.

7. Perceraian ada yang diperbolehkan dan ada yang tidak, karena perceraian

pasangan suami-isteri dapat membawa renggangnya hubungan kedua

kelompok kekerabatan mereka.

8. Keseimbangan kedudukan suami-isteri berdasarkan ketentuan adat yang

sudah dibakukan.

Begitu pentingnya arti perkawinan menurut hukum adat, maka bagi masyarakat

bentuk upacara resmi menurut adat. Besar atau kecilnya upacara tergantung pada

kemampuan dan permufakatan keluarga atau kerabat serta dipengaruhi pula oleh

kedudukan yang bersangkutan di dalam masyarakat adat.12

12

(21)

Bentuk perkawinan pada masyarakat adat di Indonesia berbeda-beda, hal ini

dikarenakan banyaknya suku-suku di Indonesia yang melahirkan adat istiadat

yang berbeda-beda. Misalkan, di kalangan masyarakat Lampung yang menganut

sistem patrilineal pada umumnya yang dianut adalah bentuk perkawinan jujur dan

pada masyarakat adat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal mera pada

umumnya yang dianut adalah bentuk perkawinan semanda dan ada pula bentuk

perkawinan mentas, perkawinan ini sering dianut oleh masyarakat Jawa.

Bentuk perkawinan pada masyarakat adat berbeda satu sama lain, hal ini

dikarenakan susunan masyarakat yang berbeda pula. Terdapat 4 (empat) bentuk

perkawinan:

1. Perkawinan Jujur

Perkawinan jujur adalah perkawinan yang dilakukan dengan pembayaran

jujur dari pihak pria kepada pihak wanita. Diterimanya uang jujur oleh pihak

wanita, maka berarti setelah menikah si wanita akan mengalihkan

kedudukannya ke dalam keanggotaan kekerabatan suami untuk selama ia

mengikat dirinya dalam perkawinan itu atau selama hidupnya.13

Perkawinan jujur hanya dikenal dalam sistem kekerabatan patrilineal yaitu

suatu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan laki-laki. Pada kata

lain sistem kekerabatan patrilineal mewujudkan adanya hubungan pertalian

darah yang mengutamakan garis keturunan laki-laki, bahwa prinsip keturunan

13

Hilman Hadikusuma. 2003.Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara Adat.

(22)

patrilineal adalah yang menghitung kekerabatan yang melalui orang laki-laki

saja dan karena itu melibatkan setiap individu di dalam masyarakat. Semua

kaum kerabat ayah masih di dalam batas hubungan kekerabatannya,

sedangkan semua kerabat ibunya jatuh di luar batas itu.

Pemaparan di atas jelas bahwa kaum laki-lakilah yang memegang peranan,

sehingga dalam jabatan-jabatan adat pun dikuasai oleh pihak laki-laki. Bila

orang tuanya meninggal, maka secara otomatis ia yang akan menggantikan

kedudukan orangtuanya. Hal tersebut masih berlaku hingga sekarang dan

berlaku turun temurun. Hal ini kedudukan seorang suami lebih tinggi

daripada kedudukan isteri, isteri sebagai pendamping dalam menegakkan

rumah tangga, isteri mengikut kepada kekerabatan suami setelah menikah dan

suami adalah kepala keluarga dalam rumah tangga.

2. Perkawinan Semenda

Perkawinan semenda adalah bentuk perkawinan tanpa pembayaran uang jujur

dari pihak pria kepada pihak wanita. Setelah perkawinan suami masuk dalam

kekerabatan si isteri dan bertanggungjawab dalam meneruskan keturunan di

pihak isteri. Perkawinan semenda dalam arti sebenarnya adalah suatu

perkawinan dimana suami setelah perkawinan menetap dan berkedudukan di

pihak isteri dan melepaskan hak dan kedudukan di pihak kekerabatannya

sendiri.14

14

(23)

kekerabatannya matrilineal, di daerah Rejang Lembong Bengkulu, yang

susunan kekerabatannya Alternerend atau beralih-alih menurut perkawinan

orang tua, di daerah Sumatera Selatan, Lampung Pesisir atau juga di

tempat-tempat lain seperti perkawinan "ambil piara" di Ambon.

Pada perkawinan semenda kedudukan suami lebih rendah daripada

kedudukan isteri. Suami sebagai pembantu isteri dalam menegakkan rumah

tangga dan mempertahankan serta meneruskan keturunan isteri. Disini isteri

yang memegang kendali dalam urusan rumah tangga, keluarga serta kerabat.

3. Perkawinan Mentas

Perkawinan mentas adalah bentuk perkawinan dimana kedudukan suami dan

isteri dilepaskan dari tanggung jawab orangtua atau keluarga kedua belah

pihak agar dapat berdiri sendiri membangun keluarga, rumah tangga yang

bahagia dan kekal.15

Bentuk perkawinan ini terdapat dalam masyarakat adat ibu dan ayah. Pada

perkawinan ini yang penting adalah persetujuan kedua orang tua atau wali

dari pria dan wanita, serta persetujuan dari mereka berdua yang akan

menikah. Pada rumah tangga, antara suami dan isteri mempunyai kedudukan

yang seimbang baik dalam harta benda maupun pergaulan diantara keduanya.

Suami sebagai kepala rumah tangga dan isteri sebagai ibu rumah tangga

berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Pada perkawinan mentas, orang

15

(24)

tua atau keluarga hanya bersifat membantu, karena kedua suami isteri tersebut

sudah dianggap mampu untuk membina rumah tangga sendiri.16

4. Perkawinan Campuran

Perkawinan campuran adalah perkawinan yang terjadi antara pria dan wanita

yang berbeda keanggotaan masyarakat hukum adatnya, dimana masyarakat

Lampung perkawinan campuran berlaku hukum adat yang bersamaan dengan

hukum adat Lampung, yaitu dimana mempelai wanita yang bukan adat

Lampung sebelum perkawinan ia harus dimasukkan terlebih dahulu dalam

keanggotaan marga si pria.

H. Sistem Perkawinan 1. Sistem Exogami

Di lingkungan masyarakat adat Batak di bagian utara yang sebagian besar

menganut agama Kristen, masih tetap mempertahankan susunan kekerabatan

yang sifatnyaasymmetrisch connubium, maka perkawinan yang dianut adalah

sistem perkawinan exogami dimana seorang pria harus mencari calon isteri di

luar marga (klen-patrilinial) dan larang kawin dengan wanita yang semarga.

2. Sistem Endogami

Sistem perkawinan endogami adalah seorang pria diharuskan mencari calon

isteri dalam lingkungan kerabat (suku, klen, famili) sendiri dan dilarang

mencari seorang isteri keluar dari lingkungan kerabat, yang di masa lampau

16

(25)

masyarakat kasta Bali.

3. Sistem Eleutherogami

Sistem perkawinan eleutherogami dimana seorang pria tidak lagi diharuskan

atau dilarang untuk mencari calon isteri di luar ataupun di dalam lingkungan

kerabat atau suku melainkan dalam batas-batas hubungan keturunan dekat

(nasab) atau periparan (musyaharah) sebagaimana ditentukan oleh hukum

Islam atau hukum perundang-undangan yang berlaku.17

I. Pengertian Kedudukan

Istilah kedudukan dalam bahasa sehari-hari biasanya diartikan sebagai posisi

yang terpandang dan tertinggi. Kedudukan adalah status keadaan atau

tingkatan orang.18 Dalam ilmu Antropologi, Sosiologi dan ilmu-ilmu sosial

lainnya, istilah kedudukan mempunyai arti yang lebih netral, dapat tinggi atau

rendah dan dapat pula terpandang atau tidak terpandang.

Kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu

kelompok masyarakat, sehubungan dengan orang lain dalam kelompok

tersebut dalam arti lingkungan pergaulannya, prestasinya, hak-hak

kewajibannya. Sesungguhnya manusia pribadi dilahirkan ke muka bumi ini

mempunyai nilai-nilai yang sama, seperti nilai hidup (nyawa), kemerdekaan,

kesejahteraan, kehormatan dan kebendaan, tetapi kehidupan masyarakat adat

17

Djamanat Samosir. 2013.Hukum Adat Indinesia.Medan: CV. Nuansa Aulia, hal.288

18

(26)

budaya serta pengaruh agama yang dianut manusia menyebabkan penilaian

terhadap manusia menjadi tidak sama kedudukannya.19

Jadi, dapat dikatakan bahwa kedudukan adalah tempat seseorang di dalam

suatu sistem sosial yang didalamnya terkandung nilai-nilai sosial dan tidak

dapat dilepaskan dari masyarakat yang mengandung hak dan kewajiban

J. Kerangka Pikir

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia. Di kalangan masyarakat Lampung Pepadun yang susunannya

19

(27)

yaitu dalam bentuk barang atau uang kepada pihak isteri.

Diterimanya barang atau uang jujur oleh pihak wanita setelah perkawinan

maka si wanita akan mengalihkan kedudukannya dari keanggotaan kerabat

suami untuk selama ia mengikatkan dirinya dalam perkawinan itu. Maka akan

tercipta hak dan kewajiban antara suami dan isteri yang berbeda. Hak dan

kewajiban yang berbeda itu pula akan menentukan kedudukan isteri yang

berbeda dengan kedudukan suami, baik dalam keluarga, dalam masyarakat,

bahkan dalam hal pembagian harta perkawinan karena permasalahan tersebut

di atas maka perlu untuk dibahas:

1. Kedudukan isteri dalam keluarga pada masyarakat adat Lampung

Pepadun.

2. Kedudukan isteri dalam kekerabatan pada masyarakat adat Lampung

Pepadun.

3. Kedudukan isteri terhadap harta kekayaan pada masyarakat adat

(28)

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian normatif empiris. Penelitian hukum normatif yaitu

penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari aspek teori, sejarah, filosofi,

perbandingan, stuktur dan komposisi, lingkup dan materi, penjelasan umum dari

pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang tetapi

tidak mengikat aspek terapan atau implementasinya.1 Penelitian empiris adalah

penelitian hukum positif tidak tertulis mengenai perilaku anggota masyarakat

dalam hubungan hidup bermasyarakat.2 Penelitian hukum normatif dengan cara

mengkaji hukum tertulis yang bersifat mengikat dari segala aspek yang kaitannya

dengan pokok bahasan yang diteliti. Penelitian hukum empiris dengan cara

mengkaji kedudukan isteri dalam perkawinan jujur pada masyarakat Lampung

Pepadun di Desa Tiuh Balak Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan.

B. Tipe Penelitian

Tipe penelitian adalah tipe penelitian deskriptif yaitu penelitian yang

menggambarkan secara jelas, rinci dan sistematis mengenai obyek yang akan

Abdulkadir Muhamad.2004.Hukum dan Penelitian Hukum.Bandung:PT. Citra Aditya Bakti,

hal. 101

2

(29)

sistematis mengenai kedudukan istri perkawinan jujur pada masyarakat adat

Lampung Pepadun.

C. Pendekatan Masalah

Dalam penelitian ini secara pendekatan yuridis yang artinya pendekatan dengan

melihat peristiwa dan prilaku masyarakat khususnya yang terjadi pada kedudukan

isteri dalam perkawinan jujur pada masyarakat Lampung Pepadun.

D. Data dan Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui penelitian di

lapangan yaitu dengan cara wawancara kepada informan bapak Mat Saleh

dengan gelar Setamba Kura (Kepala Desa Tiuh Balak) dan pembagian

kuesioner kepada responden yang diperoleh dari pasangan suami istri yang

melakukan perkawinan jujur pada masyarakat Lampung Pepadun di Desa

Tiuh Balak Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan.

2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka dan

sumber hukum adat. Data sekunder pada penelitian ini adalah tentang hukum

perkawinan adat pada masyarakat hukum adat, artikel-artikel yang

berhubungan dengan kedudukan isteri dalam perkawinan jujur pada

3

(30)

masyarakat hukum adat Lampung Pepadun di Desa Tiuh Balak Kecamatan

Baradatu Kabupaten Way Kanan.

3. Data tersier adalah bahan yang memberikan informasi, penjelasan, terhadap

bahan hukum primer dan skunder yaitu kamus, surat kabar atau jurnal,

internet dan informasi lainnya yang mendukung penelitian.

E. Populasi dan Sampel

Populasi diartikan dalam penelitian ini adalah suatu masyarakat dalam suatu

wilayah yang merupakan sebagai objek. Populasi dalam penelitian ini adalah

masyarakat Lampung Pepadun di Desa Tiuh Balak Kecamatan Baradatu

Kabupaten Way Kanan yang telah melakukan perkawinan jujur sebanyak ± 400

Kepala keluarga dan sampel merupakan penarikan dari suatu populasi untuk

dijadikan suatu objek guna keperluan penelitian. Pada poin ini yang menjadi

sampel adalah masyarakat adat Lampung Pepadun yang melaksanakan bentuk

perkawinan jujur, dalam penelitian ini berjumlah 5% dari jumlah kepala keluarga

yang telah melakukan perkawinan jujur yang berdomisili di Desa Tiuh Balak

Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan. Pada perkawinan jujur berkisar 20

pasang.

F. Metode Pengumpulan Data dan Metode Pengolahan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:

1. Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan bahan data sekunder, dengan

(31)

data yang sesuai dengan permasalahan dan pokok bahasan.

2. Studi lapangan dilakukan dengan cara terjun langsung ke lapangan dengan

menggunakan teknik interview atau wawancara. Interview atau wawancara

merupakan tanya jawab secara lisan dimana dua orang atau lebih berhadapan

secara langsung. Dalam proses interviewatau wawancara ada dua pihak yang

menempati kedudukan yang berbeda. Satu pihak berfungsi sebagai pencari

informan atau interviewer sedangkan pihak lain berfungsi sebagai pemberi

informan atau responden. Wawancara dilakukan secara langsung kepada

kepala desa dan pasangan suami isteri yang melakukan perkawinan jujur pada

masyarakat adat Lampung Pepadun di Desa Tiuh Balak Kecamatan Baradatu

Kabupaten Way Kanan, kemudian diadakan hasil tanya jawab tersebut.

Setelah melakukan pengumpulan data, selanjutnya dilakukan pengolahan data

sehingga data yang diperoleh dapat digunakan untuk menganalisis permasalahan

yang diteliti.

Pengolahan data penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara:

1. Pemeriksaan data (editing), yaitu melakukan pemeriksaan data yang terkumpul

apakah sudah cukup lengkap, sudah cukup benar dan sesuai dengan

permasalahan. Memperbaiki tulisan apabila terjadi kesalahan dalam penulisan,

dan pemeriksaan relevan dan data yang sesuai agar diseleksi mana yang sesuai

dan mana yang tidak sesuai atau relevan dengan data yang di inginkan.

2. Klasifikasi data, yaitu dilakukan dengan cara mengelompokkan data sesuai

(32)

dengan aturan yang telah ditetapklan dalam permasalahan sehingga diperoleh

data yang sebenar-benarnya untuk penulisan ini.

3. Sistematisasi data, yaitu dilakukan dengan cara menyusun dan menempatkan

data pada tiap-tiap pokok bahasan dengan melihat jenisnya serta hubungannya

yang sesuai dengan permasalaahan sehingga memudahkan dalam

pembahasannya.

G. Analisis Data

Bahan hukum (data) hasil pengolahan tersebut dianalisis dengan menggunakan

metode analisis secara kualitatif, yaitu menguraikan data secara bermutu dalam

bentuk kalimat yang tersusun secara teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih

dan efektif. Sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil

analisis.4

Data dalam penelitian ini akan diuraikan ke dalam kalimat-kalimat yang tersusun

secara sistematis, sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan pada akhirnya

dapat ditarik kesimpulan secara induktif sebagai jawaban singkat dari

permasalahan yang diteliti.

4

(33)
(34)

V. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian dari hasil dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka ditarik

kesimpulan:

1. Kedudukan isteri dalam keluarga, isteri merupakan ibu rumah tangga dan

kepala rumah tangga dipegang oleh suami. Isteri diberi kewenangan sebagai

pemegang kekuasaan untuk mengelola dan mengurus segala keperluan dan

urusan di dalam rumah demikian juga keuangan keluarga (rumah tangga)

dipegang dan dikelola oleh isteri. Kebutuhan hidup merupakan tanggung

jawab bersama antara suami dan isteri, namun isteri tidak diwajibkan ikut

bekerja seperti suami. Di dalam pengambilan keputusan-keputusan penting

akan diambil melalui diskusi dan musyawarah keluarga, namun keputusan

tetap diambil dan diputuskan oleh suami sebagai kepala rumah tangga dan

isteri diberi hak untuk ikut berdiskusi dan memberi pendapat sebelum

keputusan ditetapkan oleh suami.

2. Kedudukan isteri dalam kekerabatan (acara adat) mengikuti posisi dan

kedudukan suami. Isteri mempunyai hak untuk ikut serta dan dilibatkan

dalam setiap acara dan pesta adat, karena isteri mempunyai tugas yang sangat

penting juga dalam setiap acara adat. Isteri juga dilibatkan dalam musyawarah

(35)

barisan suami dan diberi hak untuk mengajukan pendapat saja.

3. Kedudukan isteri terhadap harta kekayaan, isteri berhak untuk ikut

menentukan pembagian warisan dalam keluarga. Apabila suami masih hidup,

maka keputusan pewarisan ada di tangan suami namun harus melalui diskusi

dengan isteri. Apabila suami meninggal maka hak pewarisan jatuh kepada

isteri, namun apabila sebelumnya sudah ditentukan oleh suami maka isteri

hanya meneruskan dan mengikuti keputusan yang sudah diambil oleh suami.

Isteri hanya sebagai pewaris bukan sebagai ahli waris. Apabila suami

meninggal sedangkan pernikahannya tidak menghasilkan keturunan, maka

harta turunan akan dikembalikan kepada kerabat suami. Sedangkan harta

yang diperoleh bersama setelah pernikahan akan diperoleh isteri dan diberi

hak untuk membawanya apabila hendak meninggalkan keluarga suami.

Apabila terjadi perceraian, maka harta bawaan akan kembali dibawa

masing-masing, sedangkan harta yang diperoleh bersama setelah perkawinan akan

dibagi berdasarkan kesepakatan bersama kedua belah pihak. Seiring

perkembangan semakin mendekati keseimbangan dengan kedudukan suami,

hal tersebut di pengaruhi beberapa faktor yaitu faktor ekonomi, faktor

(36)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku:

Darwis. 2003. Arsitektur Tradisional. Bandung: Depdikbud.

Hadikusuma, Hilman. 2003. Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara Adat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

__________________ 2007. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: CV. Mandar Maju.

Imron, Ali. 2005. Pola Perkawinan Saibatin. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Muhamad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Paksi, Kiay. 1995. Buku Handak II Lampung Pubian. Bandar Lampung: Gunung Pesagi.

Puspawidjaja, Rizani. 2008. Dinamika Pembentukan Kelompok Sosial Dalam Masyarakat Indonesia. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

SA, Sabaruddin. 2013. Lampung Pepadun dan Saibatin/Pesisir. Jakarta: Buletin Way Lima Manjau.

Samosir, Djamanat. 2013. Hukum Adat Indonesia. Medan: CV. Nuansa Aulia.

Soekanto, Soerjono. 2010. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

B.Sumber Lain

Referensi

Dokumen terkait

Persediaan yang cukup dapat mempelancar proses produksi serta barang jadi yang dihasilkan harus dapat menjamin efektifitas kegiatan pemasaran, yaitu memberikan

Penelitian ini menggunakan carbon black sebagai bahan pengisi penguat sebanyak 25 phr (<30 phr) dalam jumlah yang konstan untuk semua formula kompon, maka

(3) Untuk mengetahui apakah Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dikembangkan dapat meningkatkan hasil belajar materi pokok bangun ruang sisi datar siswa kelas VIII SMP Negeri

Hasil kajian juga menunjukkan walaupun tiada pasukan atau atlet Malaysia mengambil bahagian kejohanan sukan utama dunia, namun kedua-dua akhbar telah memberi laluan yang

dalam penelitian ini adalah ekstrak buah lakum ( Cayratia trifolia (L) Domin) yang diperoleh dari Kecamatan Pematang Tujuh, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat,

[r]

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui bagaimana hubungan antara biaya promosi dengan hasil penjualan produk yang dicapai oleh PT.Astra International H.S.O. Metodologi

Setelah dianalisis berdasarkan neraca dan laporan rugi laba koperasi Bappenas dan semua rasio-rasio rentabilitas maka dapat diketahui bahwa keadaan keuangan koperasi Bappenas