KEDUDUKAN ISTRI DALAM PERKAWINAN JUJUR PADA MASYARAKAT ADAT LAMPUNG PEPADUN
DI DESA TIUH BALAK KECAMATAN BARADATU KABUPATEN WAY KANAN
Oleh
Lely Myutiara Susanti
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRAK
KEDUDUKAN ISTERI DALAM PERKAWINAN JUJUR PADA MASYARAKAT ADAT LAMPUNG PEPADUN
DI DESA TIUH BALAK KECAMATAN BARADATU KABUPATEN WAY KANAN
Oleh
LELY MYUTIARA SUSANTI
Masyarakat adat Lampung Pepadun terdapat beberapa kelompok masyarakat adat yang salah satunya adalah di Desa Tiuh Balak Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan. Masyarakat di Desa Tiuh Balak menggunakan bentuk perkawinan jujur. Menurut hukum adat Lampung pepadun setelah isteri berada di dalam lingkungan kerabat suami, maka isteri di dalam segala perbuatan hukumnya harus berdasarkan persetujuan suami. Isteri tidak boleh bertindak sendiri, oleh karena isteri dianggap sebagai pendamping atau pembantu suami dalam mengatur kehidupan rumah tangga, baik dalam hubungan kekerabatan maupun dalam hubungan kemasyarakatan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah kedudukan isteri dalam perkawinan jujur pada masyarakat Lampung Pepadun di Desa Tiuh Balak Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan.
Jenis penelitian yang dilakukan adalah normatif empiris, dengan tipe penelitian bersifat deskriptif dan menggunakan pendekatan secara yuridis. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dan wawancara terhadap masyarakat adat dan tokoh adat, data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Analisis data dilakukan dengan cara analisis kualitatif.
dan ketika terjadi perceraian maka harta bawaan dan pemberian akan dibagi kedua belah pikah. Dari pergeseran kedudukan isteri di Desa Tiuh Balak tersebut di pengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor ekonomi, pendidikan, budaya dan lingkungan.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wilayah Indonesia sangat luas, juga mempunyai puluhan bahkan ratusan adat
budaya. Begitu juga dengan sistem kekerabatan yang dianut, berbeda sukunya
maka berbeda pula sistem kekerabatannya. Masyarakat Lampung sebagai salah
satu suku di Indonesia yang bertempat tinggal di ujung selatan Pulau Sumatera.
Masyarakat Lampung dibedakan dalam dua golongan masyarakat adat yaitu
golongan masyarakat Lampung Saibatin dan masyarakat Lampung Pepadun.
Masyarakat yang beradat Saibatin memakai dialek (A api/apa) dan masyarakat
Pepadun memakai dialek (O nyow/apa).
Masyarakat Lampung yang beradat Pepadun umumnya mendiami daerah-daerah
pedalaman seperti Abung, Way Kanan, Sungkai, Tulang Bawang serta Pubian.
Masyarakat Lampung yang beradat Saibatin, umumnya menempati daerah
sepanjang Teluk Betung, Teluk Semangka, Krui, Belalau, Liwa, Pesisir Raja
Basa, Melinting dan Kalianda.1
Pada susunan masyarakat hukum, bentuk perkawinan adat dapat dibedakan, yaitu
bentuk perkawinan adat masyarakat patrilineal, matrilineal dan parental/bilateral.
1
Masyarakat yang menggunakan sistem kekerabatan patrilineal yaitu masyarakat
yang kekerabatannya mengutamakaan keturunan garis laki-laki. Pada masyarakat
patrilineal kaum pria mendapatkan penghargaan lebih tinggi dari kaum wanita.
Masyarakat yang menganut sistem patrilineal umumnya melaksanakan bentuk
perkawinan “jujur”, sedangkan di kalangan masyarakat adat yang mengikuti
sistem kekerabatan matrilineal pada umumnya menganut bentuk perkawinan
“semanda”, dan pada masyarakat adat parental menganut bentuk perkawinan
“mentas”. Bentuk perkawinan jujur adalah perkawinan yang dilakukan dengan
pembayaran “jujur” yaitu dalam bentuk barang atau uang kepada pihak isteri.
Diterimanya barang atau uang jujur oleh pihak wanita maka berarti setelah
perkawinan si wanita akan mengalihkan kedudukannya kepada keanggotaan
kerabat suami untuk selama ia mengikatkan dirinya dalam perkawinan itu.2
Menurut hukum adat Lampung Pepadun setelah isteri berada di dalam lingkungan
kerabat suami, maka isteri di dalam segala perbuatan hukumnya harus
berdasarkan persetujuan suami. Isteri tidak boleh bertindak sendiri, oleh karena
isteri dianggap sebagai pendamping atau pembantu suami dalam mengatur
kehidupan rumah tangga, baik dalam hubungan kekerabatan maupun dalam
hubungan kemasyarakatan. Namun dengan demikian tidak berarti hubungan
hukum dan hubungan biologis antara si isteri dengan orang tua kerabat asalnya
hilaang sama sekali.
2
Pada masyarakat Lampung Pepadun, anak-anak perempuan sejak kecil hingga
dewasa sebelum menikah mengikuti kekerabatan ayahnya, namun setelah
menikah akan menjadi anak orang lain dan menjadi warga adat orang lain. Namun
demikian tidak berarti hubungan hukum dan hubungan biologis antara si wanita
dengan orang tua kerabat asalnya hilang sama sekali, tetapi tugas dan peranannya
sudah berlainan harus lebih mengutamakan kepentingan kerabat pihak suami dari
pada kepentingan kerabat asalnya. Secara umum kedudukan istri pada masyarakat
Lampung adalah di bawah pimpinan suami, isteri sebagai pendamping suami.
Berbicara mengenai kedudukan isteri dalam bentuk perkawinan jujur dengan
perkembangan zaman yang menganut persamaan hak, keadilan, kesetaraan gender
dan non diskriminasi merupakan dua sisi yg berbeda, yang mana dalam suatu
perkawinan jujur kedudukan isteri tidak lebih dominan dari pada suami atau
kedudukan suami lebih tinggi daripada kedudukan isteri dihubungkan dengan
perkembangan zaman yang menghendaki adanya persamaan gender, keadilan dan
kesetaraan. Sehingga bagaimaana kedudukan isteri dalam bentuk perkawinan jujur
pada masyarakat Lampung dewasa ini.
Guna memperjelas hal di atas, maka penulis tertarik untuk menuliskan dalam
B. Rumusan Masalah dan Ruang lingkup 1. Permasalahan
Permasalahan dalam skripsi ini adalah:
Bagaimanakah Kedudukan Isteri Dalam Perkawinan Jujur Pada Masyarakat
Adat Lampung Pepadun di Desa Tiuh Balak Kecamatan Baradatu Kabupaten
Way Kanan?
Pokok bahasan pada penelitian ini adalah:
a.Kedudukan isteri dalam keluarga.
b.Kedudukan isteri dalam kekerabatan.
c.Kedudukan isteri terhadap harta kekayaan.
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah hukum adat yang didalamnya
membahas tentang hukum perkawinan adat, kekerabatan adat dan waris adat
pada masyarakat Lampung Pepadun. Kedudukan isteri dalam skripsi ini
menjadi kajian hukum adat yang menyangkut perkawinan jujur pada
masyarakat adat Lampung Pepadun. Lingkup bidang ilmu dalam penelitian
ini adalah hukum perkawinan adat.
C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
jujur pada masyarakat Lampung Pepadun di Desa Tiuh Balak Kecamatan
Baradatu Kabupaten Way Kanan dengan pokok bahasan:
a. Kedudukan isteri dalam keluarga;
b. Kedudukan isteri dalam kekerabatan;
c. Kedudukan isteri terhadap harta kekayaan.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan yang diharapkan dari hasil penelitian ini sebagai berikut:
a. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran dan
perkembangan ilmu pengetahuan tentang hukum perkawinan adat,
khususnya kedudukan isteri dalam bentuk perkawinan jujur pada
masyarakat adat Lampung Pepadun.
b. Kegunaan Praktis
1. Sebagai upaya pengembangan wawasan keilmuan dan pengetahuan
penelitian di bidang hukum khususnya hukum perdata;
2. Menambah bahan informasi bagi pihak-pihak yang membutuhkan
referensi yang dapat digunakan untuk penelitian lanjutan yang berkaitan
dengan permasalahan dalam pokok bahasan mengenai kedudukan isteri
dalam perkawinan jujur menurut hukum adat Lampung Pepadun.
3. Sebagai pemenuhan salah satu syarat akademik bagi peneliti untuk
II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat hukum adat disebut juga dengan istilah “masyarakat tradisional” atau
the indigenous people, dalam kehidupan sehari-hari lebih sering dan populer
disebut dengan istilah “masyarakat adat”.1 Masyarakat hukum adat adalah
komunitas manusia yang patuh pada peraturan atau hukum yang mengatur tingkah
laku manusia dalam hubungannya satu sama lain baik berupa keseluruhan dari
kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup karena diyakini dan dianut, jika
dilanggar pelakunya mendapat sanksi dari penguasa adat.
Pengertian masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan
di wilayah tertentu, yang berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh
penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya, dengan rasa solidaritas yang
sangat besar diantara para anggota masyarakat sebagai orang luar dan
menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaannya hanya dapat
dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya.2
1
Djamanat Samosir. 2013.Hukum Adat Indonesia.Medan: CV. Nuansa Aulia, hal.69
2
Masyarakat merupakan sistem sosial, yang menjadi wadah dari pola-pola interaksi
sosial atau hubungan interpersonal maupun hubungan antar kelompok sosial.
Maka suatu masyarakat merupakan suatu kehidupan bersama, yang
warga-warganya hidup bersama untuk jangka waktu yang cukup lama, sehingga
menghasilkan kebudayaan. Masyarakat hukum adat adalah sekumpulan orang
yang tetap hidup dalam keteraturan dan didalamnya ada sistem kekuasaan dan
secara mandiri, yang mempunyai kekayaan yang berwujud atau tidak berwujud.
Masyarakat hukum adat juga merupakan suatu kesatuan manusia yang saling
berhubungan dengan pola berulang tetap, yaitu suatu masyarakat dengan
pola-pola perilaku yang sama, dimana perilaku tersebut tumbuh dan diwujudkan oleh
masyarakat, dari pola tersebut diwujudkan aturan-aturan untuk mengatur
pergaulan hidup itu. Suatu pergaulan hidup dengan pola pergaulan yang sama,
hanya akan terjadi apabila adanya suatu komunitas hubungan dengan pola
berulang tetap.
Masyarakat hukum adat adalah komunitas manusia yang patuh pada peraturan
atau hukum yang mengatur tingkah laku manusia dalam hubungannya satu sama
lain baik berupa keseluruhan dari kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar
hidup karena diyakini dan dianut, jika dilanggar pelakunya mendapatkan sanksi
Macam-macam masyarakat hukum adat yang terdapat di Negara Republik
Indonesia terbagi menjadi 4 (empat), yaitu:
1. Masyarakat adat yang susunan kekerabatannya kebapakan (Patrilinial), yaitu
masyarakat yang kekerabatannya mengutamakan keturunan garis laki-laki.
2. Masyarakat adat yang susunan kekerabatannya keibuan (Matrilinial), yaitu
masyarakat yang kekerabatannya mengutamakan keturunan menurut garis
wanita.
3. Masyarakat adat yang bersendi keibu-bapakan (Parental), yaitu masyarakat
yang kekerabatannya tidak mengutamakan keturunan laki-laki ataupun
wanita.
4. Masyarakat adat yang bersendi kebapakan beralih (Alternatif) maksudnya
yaitu kekerabatan yang mengutamakan garis keturunan laki-laki namun
adakalanya mengikuti garis keturunan wanita karena adanya faktor pengaruh
lingkungan waktu dan tempat.
Masyarakat hukum adat di Indonesia dapat dibagi atas dua golongan menurut
dasar susunannya, yaitu yang berdasarkan pertalian suatu keturunan (genealogi)
dan berdasar lingkungan daerah (teritorial).3 Masyarakat hukum atau persekutuan
hukum yang teritorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang
anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam
kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai
tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur. Masyarakat atau persekutuan hukum
3
yang bersifat genealogis adalah suatu kesatuan masyarakat teratur, dimana para
anggotanya terikat pada suatu keturunan yang sama dan leluhur, baik secara
langsung karena hubungan darah (keturunan) atau secara tidak langsung karena
pertalian keturunan atau pertalian adat.
Melalui sudut bentuknya, maka masyarakat hukum adat tersebut ada yang berdiri
sendiri, menjadi bagian dari masyarakat hukum adat yang lebih tinggi atau
mencakup beberapa masyarakat hukum adat yang lebih rendah, serta merupakan
perserikatan dari beberapa masyarakat hukum adat yang sederajat.
C. Masyarakat Hukum Adat Lampung
Masyarakat hukum adat yang diambil berdasarkan data primer, adalah masyarakat
hukum adat yang dijumpai di daerah Lampung. Orang-orang Lampung
(“Lampung” berasal dari kata “lampung” yang berarti mengambang di air).4
Masyarakat Lampung mempunyai dasar genealogis yang tegas; faktor teritorial
baru kemudian menampakkan diri sebagai faktor penting juga. Kesatuan
genealogis yang terbesar bernama Buay (atau kebuayan) yang di daerah Pesisir
dinamakan Suku-Asal.5
Menyatakan bahwa marga dan tiyuh menunjukkan pada wilayah, sedangkan buay,
suku, canki dan nuwo secara tegas menunjukkan pada suatu kesatuan genealogis.
Maka, menurut dasar dan bentuknya, masyarakat Lampung Pepadun merupakan
masyarakat hukum adat yang genealogis-teritorial dan bertingkat. Pada akhirnya,
4
Ibid,hal.98 5
masyarakat hukum adat genealogis-teritorial yang bertingkat.
Kata Pepadun sendiri artinya adalah sebuah kursi singgasana yang terbuat dari
kayu, yang digunakan ketika melakukan upacara adat pepadun, dengan kata lain
pepadun adalah suatu benda berupa bangku yang terbuat dari kayu yang
merupakan lambang dari tingkatan kedudukan dalam masyarakat mengenai suatu
keluarga keturunan.6
Adapun kita sering mendengar istilah cakak pepadun dalam upacara-upacara adat
pepadun, cakak pepadun itu sendiri diartikan sebagai suatu peristiwa pelantikan
penyimbang menurut adat istiadat masyarakat Lampung Pepadun, dimana
sesorang yang akan mendapatkan gelar adat duduk di Pepadun dengan
mengadakan gawi adat yang wajib dilaksanakan bagi seseorang yang akan berhak
memperoleh pangkat atau kedudukan sebagai penyimbang yang dilakukan oleh
lembaga perwatin adat. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, masyarakat Pepadun
secara kekerabatan terdiri dari empat klen besar yang masing-masing dapat dibagi
lagi menjadi kelompok-kolompok kerabat yang disebut Buay.
D. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Adat
Tata cara dan upacara perkawinan adat Lampung pada umumnya berbentuk
perkawinan jujur dengan menurut garis keturunan bapak (patrilineal), yaitu
ditandai dengan adanya pemberian sejumlah uang kepada pihak perempuan untuk
6
menyiapkan sesan, yaitu berupa alat-alat keperluan rumah tangga. Sesan tersebut
akan diserahkan kepada pihak keluarga mempelai laki-laki pada upacara
perkawinan berlangsung yang sekaligus sebagai penyerahan (secara adat)
mempelai wanita kepada keluarga/ klan mempelai laki-laki.7
Secara hukum adat, maka putus pula hubungan keluarga antara mempelai wanita
dengan orangtuanya. Upacara perkawinan tersebut dalam pelaksanaannya dapat
dengan cara adat Hibal Serbo, Bumbang Aji, Ittar Padang, Ittar Manom (cakak
manuk) dan Sebambangan.
Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja
berarti sebagai „perikatan perdata , tetapi juga merupakan „perikatan adat dan
sekaligus merupakan „perikatan kekerabatan dan ketetanggaan .8 Perkawinan
menurut hukum adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara seorang pria
dan wanita sebagai suami isteri untuk maksud mendapatkan keturunan dan
membangun serta membina kehidupan rumah tangga saja, tetapi juga suatu
hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak isteri dan
pihak suami. Di samping itu dengan terjadinya perkawinan berarti berlakunya
ikatan kekerabatan untuk dapat saling membantu dan menjunjung yang rukun dan
damai.
Perkawinan juga bisa merupakan urusan kerabat, keluarga, persekutuan, martabat
dan bisa merupakan urusan pribadi. Bergantung pada tatanan susunan masyarakat
7
Sabaruddin SA. 2013. Lampung Pepadun dan Saibatin/Pesisir. Jakarta: Buletin Way Lima Manjau, hal.71-72
8
yang bersangkutan di dalamnya.
Perkawinan merupakan tujuan semua insan namun semuanya tidak terlepas dari
masalah bahkan bisa berakibatkan pada perencanaan. Perkawinan selain
berpegang teguh pada adat istiadat juga berpegang teguh pada syariat agama,
misalnya agama Islam, karena masyarakat Lampung mayoritas beragama Islam
maka syariat Islam telah meletakkan ukuran dan timbangan dalam memilih
pasangan hidup tidak hanya didasari oleh kesenangan atau kepuasan sesaat, akan
tetapi perkawinan harus dibangun di atas pondasi yang kokoh sehingga kehidupan
bisa ditegaskan diatasnya.9 Sejalan yang dikatakan oleh Hadikusuma bahwa
perkawinan bagi orang Lampung bukan semata-mata urusan pribadi, melainkan
juga urusan keluarga, kerabat, dan masyarakat adat.10
Pada pengertian di atas maka dapat diambil intisari bahwa perkawinan adalah
ikatan lahir dan batin antara pria dan wanita sebagai suami isteri dalam
membentuk keluarga yang syah untuk saling memenuhi hak dan kewajiban dan
untuk mendapatkan keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua atau
kerabatnya, serta dapat dimengerti bahwa perkawinan menurut hukum adat adalah
suatu peristiwa sakral (suci), yang sangat penting dan perkawinan ini melibatkan
orang tua, saudara sekandung, saudara sekandung mempelai, keluarga lain.
9
Darwis. 2003.Arsitektur Tradisional. Bandung: Depdikbud, hal.20
10Hilman Hadikusuma. 2003.Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara Adat. Bandung:
Perkawinan adalah unsur tali-temali yang meneruskan kehidupan manusia dalam
masyarakat (generasi), dengan kata lain terjadi perkawinan berarti berlakunya
ikatan kekerabatan untuk dapat saling membantu dan menunjang hubungan
kekerabatan yang rukun dan damai serta adanya silsilah yang menggambarkan
kedudukan seseorang sebagai anggota kerabat merupakan sejarah dari asal-usul
keturunan seseorang yang baik dan teratur.11
Pada dasarnya perkawinan adat Lampung, mengandung nilai sakral. Dikatakan
sakral karena terlaksanya perkawinan yang sah menurut agama, apabila mempelai
belum diresmikan masuk menjadi warga adat (kugrug adat) Lampung, berarti
mereka belum diakui sebagai warga kekerabatan adat. Perkawinan dalam hukum
adat Lampung adalah suatu bentuk upacara perkawinan antara pria dan wanita
yang dilakukan melalui acara“mosok-majew”(menyuap mempelai) dengan tindih
sila. Upacara mosok-majew ini di pimpin oleh tetua adat wanita. Biasanya
penyimbang (pemuka adat) dan dibantu oleh beberapa wanita sehingga juru bicara
dan pembawa syair perkawinan.
E. Tujuan Perkawinan Adat
Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan adalah
untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis keturunan
bapak atau ibu maupun kedua-duanya, untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga
11
mempertahankan kewarisan.
Oleh karena sistem keturunan dan kekerabatan suku di Indonesia berbeda. Maka
tujuan perkawinan adat bagi masyarakat adat berbeda pula mengakibatkan hukum
perkawinan dan upacara perkawinannya berbeda juga.
Pada masyarakat kekerabatan adat yang patrilineal perkawinan bertujuan
mempertahankan garis keturunan bapak sehingga anak laki-laki (tertua) harus
melaksanakan bentuk perkawinan ambil isteri (dengan perkawinan uang jujur),
dimana setelah terjadinya perkawinan isteri ikut masuk kekerabatan bapaknya.
F. Asas-asas Perkawinan Adat yang Berlaku Pada Masyarakat Lampung
Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berati ikatan antara seorang
pria dengan wanita sebagai suami-isteri untuk maksud mendapatkan keturunan
dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga
menyangkut hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak
isteri dan suami.
Asas-asas perkawinan menurut adat yang berlaku pada masyarakat Lampung
adalah:
1. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga/ rumah tangga dan di lingkungan
kekerabatannya yang rukun, damai, bahagia dan kekal (sakinah mawadah
2. Perkawinan tidak syah dilaksanakan menurut hukum agama dan kepercayaan,
tetapi juga harus dapat pengakuan dari anggota kerabat lainnya.
3. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan seorang wanita yang
mana kedudukannya masing-masing ditentukan hukum adat setempat.
4. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orangtua dan anggota kerabat/
masyarakat adat.
5. Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur/
masih anak-anak (kawin gantung).
6. Perkawinan harus seizin orang tua, baik kawin gantung atau perkawinan yang
sudah cukup umur.
7. Perceraian ada yang diperbolehkan dan ada yang tidak, karena perceraian
pasangan suami-isteri dapat membawa renggangnya hubungan kedua
kelompok kekerabatan mereka.
8. Keseimbangan kedudukan suami-isteri berdasarkan ketentuan adat yang
sudah dibakukan.
Begitu pentingnya arti perkawinan menurut hukum adat, maka bagi masyarakat
bentuk upacara resmi menurut adat. Besar atau kecilnya upacara tergantung pada
kemampuan dan permufakatan keluarga atau kerabat serta dipengaruhi pula oleh
kedudukan yang bersangkutan di dalam masyarakat adat.12
12
Bentuk perkawinan pada masyarakat adat di Indonesia berbeda-beda, hal ini
dikarenakan banyaknya suku-suku di Indonesia yang melahirkan adat istiadat
yang berbeda-beda. Misalkan, di kalangan masyarakat Lampung yang menganut
sistem patrilineal pada umumnya yang dianut adalah bentuk perkawinan jujur dan
pada masyarakat adat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal mera pada
umumnya yang dianut adalah bentuk perkawinan semanda dan ada pula bentuk
perkawinan mentas, perkawinan ini sering dianut oleh masyarakat Jawa.
Bentuk perkawinan pada masyarakat adat berbeda satu sama lain, hal ini
dikarenakan susunan masyarakat yang berbeda pula. Terdapat 4 (empat) bentuk
perkawinan:
1. Perkawinan Jujur
Perkawinan jujur adalah perkawinan yang dilakukan dengan pembayaran
jujur dari pihak pria kepada pihak wanita. Diterimanya uang jujur oleh pihak
wanita, maka berarti setelah menikah si wanita akan mengalihkan
kedudukannya ke dalam keanggotaan kekerabatan suami untuk selama ia
mengikat dirinya dalam perkawinan itu atau selama hidupnya.13
Perkawinan jujur hanya dikenal dalam sistem kekerabatan patrilineal yaitu
suatu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan laki-laki. Pada kata
lain sistem kekerabatan patrilineal mewujudkan adanya hubungan pertalian
darah yang mengutamakan garis keturunan laki-laki, bahwa prinsip keturunan
13
Hilman Hadikusuma. 2003.Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara Adat.
patrilineal adalah yang menghitung kekerabatan yang melalui orang laki-laki
saja dan karena itu melibatkan setiap individu di dalam masyarakat. Semua
kaum kerabat ayah masih di dalam batas hubungan kekerabatannya,
sedangkan semua kerabat ibunya jatuh di luar batas itu.
Pemaparan di atas jelas bahwa kaum laki-lakilah yang memegang peranan,
sehingga dalam jabatan-jabatan adat pun dikuasai oleh pihak laki-laki. Bila
orang tuanya meninggal, maka secara otomatis ia yang akan menggantikan
kedudukan orangtuanya. Hal tersebut masih berlaku hingga sekarang dan
berlaku turun temurun. Hal ini kedudukan seorang suami lebih tinggi
daripada kedudukan isteri, isteri sebagai pendamping dalam menegakkan
rumah tangga, isteri mengikut kepada kekerabatan suami setelah menikah dan
suami adalah kepala keluarga dalam rumah tangga.
2. Perkawinan Semenda
Perkawinan semenda adalah bentuk perkawinan tanpa pembayaran uang jujur
dari pihak pria kepada pihak wanita. Setelah perkawinan suami masuk dalam
kekerabatan si isteri dan bertanggungjawab dalam meneruskan keturunan di
pihak isteri. Perkawinan semenda dalam arti sebenarnya adalah suatu
perkawinan dimana suami setelah perkawinan menetap dan berkedudukan di
pihak isteri dan melepaskan hak dan kedudukan di pihak kekerabatannya
sendiri.14
14
kekerabatannya matrilineal, di daerah Rejang Lembong Bengkulu, yang
susunan kekerabatannya Alternerend atau beralih-alih menurut perkawinan
orang tua, di daerah Sumatera Selatan, Lampung Pesisir atau juga di
tempat-tempat lain seperti perkawinan "ambil piara" di Ambon.
Pada perkawinan semenda kedudukan suami lebih rendah daripada
kedudukan isteri. Suami sebagai pembantu isteri dalam menegakkan rumah
tangga dan mempertahankan serta meneruskan keturunan isteri. Disini isteri
yang memegang kendali dalam urusan rumah tangga, keluarga serta kerabat.
3. Perkawinan Mentas
Perkawinan mentas adalah bentuk perkawinan dimana kedudukan suami dan
isteri dilepaskan dari tanggung jawab orangtua atau keluarga kedua belah
pihak agar dapat berdiri sendiri membangun keluarga, rumah tangga yang
bahagia dan kekal.15
Bentuk perkawinan ini terdapat dalam masyarakat adat ibu dan ayah. Pada
perkawinan ini yang penting adalah persetujuan kedua orang tua atau wali
dari pria dan wanita, serta persetujuan dari mereka berdua yang akan
menikah. Pada rumah tangga, antara suami dan isteri mempunyai kedudukan
yang seimbang baik dalam harta benda maupun pergaulan diantara keduanya.
Suami sebagai kepala rumah tangga dan isteri sebagai ibu rumah tangga
berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Pada perkawinan mentas, orang
15
tua atau keluarga hanya bersifat membantu, karena kedua suami isteri tersebut
sudah dianggap mampu untuk membina rumah tangga sendiri.16
4. Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran adalah perkawinan yang terjadi antara pria dan wanita
yang berbeda keanggotaan masyarakat hukum adatnya, dimana masyarakat
Lampung perkawinan campuran berlaku hukum adat yang bersamaan dengan
hukum adat Lampung, yaitu dimana mempelai wanita yang bukan adat
Lampung sebelum perkawinan ia harus dimasukkan terlebih dahulu dalam
keanggotaan marga si pria.
H. Sistem Perkawinan 1. Sistem Exogami
Di lingkungan masyarakat adat Batak di bagian utara yang sebagian besar
menganut agama Kristen, masih tetap mempertahankan susunan kekerabatan
yang sifatnyaasymmetrisch connubium, maka perkawinan yang dianut adalah
sistem perkawinan exogami dimana seorang pria harus mencari calon isteri di
luar marga (klen-patrilinial) dan larang kawin dengan wanita yang semarga.
2. Sistem Endogami
Sistem perkawinan endogami adalah seorang pria diharuskan mencari calon
isteri dalam lingkungan kerabat (suku, klen, famili) sendiri dan dilarang
mencari seorang isteri keluar dari lingkungan kerabat, yang di masa lampau
16
masyarakat kasta Bali.
3. Sistem Eleutherogami
Sistem perkawinan eleutherogami dimana seorang pria tidak lagi diharuskan
atau dilarang untuk mencari calon isteri di luar ataupun di dalam lingkungan
kerabat atau suku melainkan dalam batas-batas hubungan keturunan dekat
(nasab) atau periparan (musyaharah) sebagaimana ditentukan oleh hukum
Islam atau hukum perundang-undangan yang berlaku.17
I. Pengertian Kedudukan
Istilah kedudukan dalam bahasa sehari-hari biasanya diartikan sebagai posisi
yang terpandang dan tertinggi. Kedudukan adalah status keadaan atau
tingkatan orang.18 Dalam ilmu Antropologi, Sosiologi dan ilmu-ilmu sosial
lainnya, istilah kedudukan mempunyai arti yang lebih netral, dapat tinggi atau
rendah dan dapat pula terpandang atau tidak terpandang.
Kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu
kelompok masyarakat, sehubungan dengan orang lain dalam kelompok
tersebut dalam arti lingkungan pergaulannya, prestasinya, hak-hak
kewajibannya. Sesungguhnya manusia pribadi dilahirkan ke muka bumi ini
mempunyai nilai-nilai yang sama, seperti nilai hidup (nyawa), kemerdekaan,
kesejahteraan, kehormatan dan kebendaan, tetapi kehidupan masyarakat adat
17
Djamanat Samosir. 2013.Hukum Adat Indinesia.Medan: CV. Nuansa Aulia, hal.288
18
budaya serta pengaruh agama yang dianut manusia menyebabkan penilaian
terhadap manusia menjadi tidak sama kedudukannya.19
Jadi, dapat dikatakan bahwa kedudukan adalah tempat seseorang di dalam
suatu sistem sosial yang didalamnya terkandung nilai-nilai sosial dan tidak
dapat dilepaskan dari masyarakat yang mengandung hak dan kewajiban
J. Kerangka Pikir
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia. Di kalangan masyarakat Lampung Pepadun yang susunannya
19
yaitu dalam bentuk barang atau uang kepada pihak isteri.
Diterimanya barang atau uang jujur oleh pihak wanita setelah perkawinan
maka si wanita akan mengalihkan kedudukannya dari keanggotaan kerabat
suami untuk selama ia mengikatkan dirinya dalam perkawinan itu. Maka akan
tercipta hak dan kewajiban antara suami dan isteri yang berbeda. Hak dan
kewajiban yang berbeda itu pula akan menentukan kedudukan isteri yang
berbeda dengan kedudukan suami, baik dalam keluarga, dalam masyarakat,
bahkan dalam hal pembagian harta perkawinan karena permasalahan tersebut
di atas maka perlu untuk dibahas:
1. Kedudukan isteri dalam keluarga pada masyarakat adat Lampung
Pepadun.
2. Kedudukan isteri dalam kekerabatan pada masyarakat adat Lampung
Pepadun.
3. Kedudukan isteri terhadap harta kekayaan pada masyarakat adat
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian normatif empiris. Penelitian hukum normatif yaitu
penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari aspek teori, sejarah, filosofi,
perbandingan, stuktur dan komposisi, lingkup dan materi, penjelasan umum dari
pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang tetapi
tidak mengikat aspek terapan atau implementasinya.1 Penelitian empiris adalah
penelitian hukum positif tidak tertulis mengenai perilaku anggota masyarakat
dalam hubungan hidup bermasyarakat.2 Penelitian hukum normatif dengan cara
mengkaji hukum tertulis yang bersifat mengikat dari segala aspek yang kaitannya
dengan pokok bahasan yang diteliti. Penelitian hukum empiris dengan cara
mengkaji kedudukan isteri dalam perkawinan jujur pada masyarakat Lampung
Pepadun di Desa Tiuh Balak Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan.
B. Tipe Penelitian
Tipe penelitian adalah tipe penelitian deskriptif yaitu penelitian yang
menggambarkan secara jelas, rinci dan sistematis mengenai obyek yang akan
✁
Abdulkadir Muhamad.2004.Hukum dan Penelitian Hukum.Bandung:PT. Citra Aditya Bakti,
hal. 101
2
sistematis mengenai kedudukan istri perkawinan jujur pada masyarakat adat
Lampung Pepadun.
C. Pendekatan Masalah
Dalam penelitian ini secara pendekatan yuridis yang artinya pendekatan dengan
melihat peristiwa dan prilaku masyarakat khususnya yang terjadi pada kedudukan
isteri dalam perkawinan jujur pada masyarakat Lampung Pepadun.
D. Data dan Sumber Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui penelitian di
lapangan yaitu dengan cara wawancara kepada informan bapak Mat Saleh
dengan gelar Setamba Kura (Kepala Desa Tiuh Balak) dan pembagian
kuesioner kepada responden yang diperoleh dari pasangan suami istri yang
melakukan perkawinan jujur pada masyarakat Lampung Pepadun di Desa
Tiuh Balak Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan.
2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka dan
sumber hukum adat. Data sekunder pada penelitian ini adalah tentang hukum
perkawinan adat pada masyarakat hukum adat, artikel-artikel yang
berhubungan dengan kedudukan isteri dalam perkawinan jujur pada
3
masyarakat hukum adat Lampung Pepadun di Desa Tiuh Balak Kecamatan
Baradatu Kabupaten Way Kanan.
3. Data tersier adalah bahan yang memberikan informasi, penjelasan, terhadap
bahan hukum primer dan skunder yaitu kamus, surat kabar atau jurnal,
internet dan informasi lainnya yang mendukung penelitian.
E. Populasi dan Sampel
Populasi diartikan dalam penelitian ini adalah suatu masyarakat dalam suatu
wilayah yang merupakan sebagai objek. Populasi dalam penelitian ini adalah
masyarakat Lampung Pepadun di Desa Tiuh Balak Kecamatan Baradatu
Kabupaten Way Kanan yang telah melakukan perkawinan jujur sebanyak ± 400
Kepala keluarga dan sampel merupakan penarikan dari suatu populasi untuk
dijadikan suatu objek guna keperluan penelitian. Pada poin ini yang menjadi
sampel adalah masyarakat adat Lampung Pepadun yang melaksanakan bentuk
perkawinan jujur, dalam penelitian ini berjumlah 5% dari jumlah kepala keluarga
yang telah melakukan perkawinan jujur yang berdomisili di Desa Tiuh Balak
Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan. Pada perkawinan jujur berkisar 20
pasang.
F. Metode Pengumpulan Data dan Metode Pengolahan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:
1. Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan bahan data sekunder, dengan
data yang sesuai dengan permasalahan dan pokok bahasan.
2. Studi lapangan dilakukan dengan cara terjun langsung ke lapangan dengan
menggunakan teknik interview atau wawancara. Interview atau wawancara
merupakan tanya jawab secara lisan dimana dua orang atau lebih berhadapan
secara langsung. Dalam proses interviewatau wawancara ada dua pihak yang
menempati kedudukan yang berbeda. Satu pihak berfungsi sebagai pencari
informan atau interviewer sedangkan pihak lain berfungsi sebagai pemberi
informan atau responden. Wawancara dilakukan secara langsung kepada
kepala desa dan pasangan suami isteri yang melakukan perkawinan jujur pada
masyarakat adat Lampung Pepadun di Desa Tiuh Balak Kecamatan Baradatu
Kabupaten Way Kanan, kemudian diadakan hasil tanya jawab tersebut.
Setelah melakukan pengumpulan data, selanjutnya dilakukan pengolahan data
sehingga data yang diperoleh dapat digunakan untuk menganalisis permasalahan
yang diteliti.
Pengolahan data penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara:
1. Pemeriksaan data (editing), yaitu melakukan pemeriksaan data yang terkumpul
apakah sudah cukup lengkap, sudah cukup benar dan sesuai dengan
permasalahan. Memperbaiki tulisan apabila terjadi kesalahan dalam penulisan,
dan pemeriksaan relevan dan data yang sesuai agar diseleksi mana yang sesuai
dan mana yang tidak sesuai atau relevan dengan data yang di inginkan.
2. Klasifikasi data, yaitu dilakukan dengan cara mengelompokkan data sesuai
dengan aturan yang telah ditetapklan dalam permasalahan sehingga diperoleh
data yang sebenar-benarnya untuk penulisan ini.
3. Sistematisasi data, yaitu dilakukan dengan cara menyusun dan menempatkan
data pada tiap-tiap pokok bahasan dengan melihat jenisnya serta hubungannya
yang sesuai dengan permasalaahan sehingga memudahkan dalam
pembahasannya.
G. Analisis Data
Bahan hukum (data) hasil pengolahan tersebut dianalisis dengan menggunakan
metode analisis secara kualitatif, yaitu menguraikan data secara bermutu dalam
bentuk kalimat yang tersusun secara teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih
dan efektif. Sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil
analisis.4
Data dalam penelitian ini akan diuraikan ke dalam kalimat-kalimat yang tersusun
secara sistematis, sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan pada akhirnya
dapat ditarik kesimpulan secara induktif sebagai jawaban singkat dari
permasalahan yang diteliti.
4
V. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dari hasil dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka ditarik
kesimpulan:
1. Kedudukan isteri dalam keluarga, isteri merupakan ibu rumah tangga dan
kepala rumah tangga dipegang oleh suami. Isteri diberi kewenangan sebagai
pemegang kekuasaan untuk mengelola dan mengurus segala keperluan dan
urusan di dalam rumah demikian juga keuangan keluarga (rumah tangga)
dipegang dan dikelola oleh isteri. Kebutuhan hidup merupakan tanggung
jawab bersama antara suami dan isteri, namun isteri tidak diwajibkan ikut
bekerja seperti suami. Di dalam pengambilan keputusan-keputusan penting
akan diambil melalui diskusi dan musyawarah keluarga, namun keputusan
tetap diambil dan diputuskan oleh suami sebagai kepala rumah tangga dan
isteri diberi hak untuk ikut berdiskusi dan memberi pendapat sebelum
keputusan ditetapkan oleh suami.
2. Kedudukan isteri dalam kekerabatan (acara adat) mengikuti posisi dan
kedudukan suami. Isteri mempunyai hak untuk ikut serta dan dilibatkan
dalam setiap acara dan pesta adat, karena isteri mempunyai tugas yang sangat
penting juga dalam setiap acara adat. Isteri juga dilibatkan dalam musyawarah
barisan suami dan diberi hak untuk mengajukan pendapat saja.
3. Kedudukan isteri terhadap harta kekayaan, isteri berhak untuk ikut
menentukan pembagian warisan dalam keluarga. Apabila suami masih hidup,
maka keputusan pewarisan ada di tangan suami namun harus melalui diskusi
dengan isteri. Apabila suami meninggal maka hak pewarisan jatuh kepada
isteri, namun apabila sebelumnya sudah ditentukan oleh suami maka isteri
hanya meneruskan dan mengikuti keputusan yang sudah diambil oleh suami.
Isteri hanya sebagai pewaris bukan sebagai ahli waris. Apabila suami
meninggal sedangkan pernikahannya tidak menghasilkan keturunan, maka
harta turunan akan dikembalikan kepada kerabat suami. Sedangkan harta
yang diperoleh bersama setelah pernikahan akan diperoleh isteri dan diberi
hak untuk membawanya apabila hendak meninggalkan keluarga suami.
Apabila terjadi perceraian, maka harta bawaan akan kembali dibawa
masing-masing, sedangkan harta yang diperoleh bersama setelah perkawinan akan
dibagi berdasarkan kesepakatan bersama kedua belah pihak. Seiring
perkembangan semakin mendekati keseimbangan dengan kedudukan suami,
hal tersebut di pengaruhi beberapa faktor yaitu faktor ekonomi, faktor
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku:
Darwis. 2003. Arsitektur Tradisional. Bandung: Depdikbud.
Hadikusuma, Hilman. 2003. Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara Adat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
__________________ 2007. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: CV. Mandar Maju.
Imron, Ali. 2005. Pola Perkawinan Saibatin. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Muhamad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Paksi, Kiay. 1995. Buku Handak II Lampung Pubian. Bandar Lampung: Gunung Pesagi.
Puspawidjaja, Rizani. 2008. Dinamika Pembentukan Kelompok Sosial Dalam Masyarakat Indonesia. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
SA, Sabaruddin. 2013. Lampung Pepadun dan Saibatin/Pesisir. Jakarta: Buletin Way Lima Manjau.
Samosir, Djamanat. 2013. Hukum Adat Indonesia. Medan: CV. Nuansa Aulia.
Soekanto, Soerjono. 2010. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
B.Sumber Lain