• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Perlindungan Pengungsi Dilihat Dari Hukum Nasional Dan Hukum Internasional (Studi Kasus Penanganan Pengungsi Rohingya Di Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Aspek Perlindungan Pengungsi Dilihat Dari Hukum Nasional Dan Hukum Internasional (Studi Kasus Penanganan Pengungsi Rohingya Di Kota Medan)"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

ASPEK PERLINDUNGAN PENGUNGSI DILIHAT DARI HUKUM NASIONAL DAN HUKUM INTERNASIONAL ( STUDI KASUS PENANGANAN ROHINGYA DI KOTA

MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas

Dan Memenuhi Syarat-Syarat

Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

DISUSUN OLEH:

SAMITHA ANDIMAS

110200327

Departemen Hukum Internasional

2015

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ASPEK PERLINDUNGAN PENGUNGSI DILIHAT DARI HUKUM NASIONAL DAN HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KASUS PENANGANAN PENGUNGSI

ROHINGYA DI KOTA MEDAN)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Oleh:

SAMITHA ANDIMAS NIM: 110200327

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Internasional

Chairul Bariah, S.H.,M.Hum NIP: 195612101986012001

Pembimbing I Pembimbing II

Sutiarnoto, S.H., M.Hum. Chairul Bariah, S.H., M.Hum NIP: 195610101986031003 NIP: 195612101986012001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Adapun judul yang diangkat penulis adalah “Aspek Perlindungan Pengungsi Dilihat Dari Hukum Nasional Dan Hukum Internasional (Studi Kasus Penanganan Pengungsi Rohingya Di Kota Medan)”

Dalam penyusunan skripsi ini, tentunya banyak tantangan serta hambatan dihadapi, tetapi Alhamdulillah semua itu dapat diatasi berkat motivasi dan bantuan dari berbagai pihak yang terkait,sehingga skripsi ini pada akhirnya dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Kedua Orangtua Penulis yakni Syamsul Bahri dan Sita Yohana yang telah membesarkan dan membimbing penulis sejak lahir hingga dewasa sekarang serta bersusah payah dalam mendukung penulis, hingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi in,serta seluruh pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi baik moril maupun materil.

Kepada Yang Terhormat:

1. Bapak Runtung Sitepu, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utarra

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum USU Universitas Sumatera Utara.

(4)

4. Bapak Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum USU Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing II

6. Bapak Dr. Jely Leviza, S.H., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hukum Sumatera Utara.

7. Bapak Dr. Sutiarnoto, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing I 8. Ibu Rafiqoh Lubis, S.H., M.Hum selaku Dosen Penasihat Akademis

9. Ibu Rosmalinda Rohan selaku Supervisor Penulis di Mata Kuliah Klinik Hukum Perlindungan Perempuan Dan Anak

10. Bapak Edy Ikhsan

11. Kawan-kawan penulis dari grup H semester 1 Aan Febriyanto, Arnold Halomoan Sihombing,Ashari Maulana Reza Siregar, Charlene Fortuna Tania, Hadi Astra, Hengky Simajuntak, Jekson Pakpahan, Nurul Bashiroh, Rizky Novia Karolina, Sabrina Amanda, Pranto Situmorang, Rahmad Kharisman Nasution(yang sebenarnya bukan anak grup H tapi keselip), Dedi Syahputra Lubis, Jhony Prabowo. Terimakasih telah menwarnai hari-hari penulis,love you guys

(5)

13. Teman-teman Klinik Perlindungan Perempuan dan Anak Saidesi,Ika, Ulun,, Adi, Andri,Gunawan

14.Teman-teman ILSA 2011

15. Teman-teman “ILSA GOES To Beijing” William, Kathy,Mila, Bagus, Isaak, Idho, Gennady,Elisa,Ribka, Dian Ekawati, Dian Julia, Yohana Rosendra, Ray,Upay, Dita, Novi, Fanny dll plus koko steven I’ll never forget those days that we spent together

16.Buat adekku satu-satunya Ghozi Adib Nugraha yang bawel dan sok tua. Nih udah siap mbakmu dek, jangan lama-lama kayak mbak mitha ya good luck anak teknik mesin

17.Kak Ai, kawan naik becak pas ngampus

18.Keluarga Wak Mansur terutama Wak Mansur dan Kak Pia (yang sudah penulis anggap kayak Pembimbing III dan Pembimbing IV),Wak Upik,Ucu, Opi,Dini 19.Pak Ngadimun dengan becaknya yang mengantar penulis sedari penulis masih

duduk di bangku sekolah hingga kuliah

20. Wulan Mayasari , Riskhany Yuliarti, Fadillah Eka, Punki Dewi dan Nur qistiyah sohib penulis dari jaman masih abg alay pas sekolah di SMP 4 Cirebon, nanti kita ngumpul lagi ya

21. Teman-teman SMA Negeri 8 Cirebon yang walaupun kenal cuma 6 bulan tapi meninggalkan kesan di hati penulis

(6)

23.Seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan namanya satu-satu. Terimakasih banyak atas dukungan yang diberikan kepada penulis.

Saya menyadari skripsi ini masih jauhdari kesempurnaan, untuk itu saya menerima segala perbaikan sebagai masukan yang membangun.

Dan akhirya saya mengucapkan terimakasih untuk seluruh dukungan dan perhatian yang diterima selama ini, semoga skripsi ini bermanfaat.

Medan , Oktober 2015

(7)

ASPEK PERLINDUNGAN PENGUNGSI DILIHAT DARI HUKUM NASIONAL DAN HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KASUS PENANGANAN PENGUNGSI

ROHINGYA DI KOTA MEDAN) ABSTRAKSI

Samitha Andimas* Sutiarnoto, S.H., M.Hum** Chairul Bariah, S.H., M.Hum***

Permasalahan pengungsi merupakan permasalahan klasik yang dihadapi umat manusia sejak zaman dahulu kala Perang Dunia II, isu–isu mengenai hak asasi manusia menjadi sebuah pembahasan yang sangat penting dalam dunia Internasional hingga sekarang. Belakangan ini masyarakat dunia disuguhkan dengan berbagai permasalahan pengungsi,tidak terkecuali Indonesia. Letak geografis Indonesia yang strategis membuat Indonesia seringkali menjadi negara transit bagi pengungsi-pengungsi tersebut. Padahal Indonesia bukanlah negara peserta dari Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Penentuan Status Pengungsi. Indonesia juga belum mempunyai peraturan perundang-undangan yang membahas secara khusus tentang penanganan pengungsi. Saat ini salah satu masalah pengungsi yang sedang dihadapi pemerintah Indonesia adalah masalah Pengungsi Rohingya. Rohingnya adalah komunitas muslim yang merupakan kelompok minoritas yang menetap di Arakan, sebelah barat Myammar. Dalam perjalanan waktu sejak Myanmar dikuasai oleh Junta Militer, orang-orang Rohingnya menjadi sasaran dari berbagai bentuk kekerasan dan tindakan lain yang melanggar HAM. Hukum pengungsi telah mengalami perkembangan dalam mengatur mengenai penanganan dan perlindungan pengungsi. Atas permasalahan pengungsi tersebut, timbul pertanyaan bagaimana pengaturan mengenai perlindungan pengungsi di Indonesia? Bagaimana perlindungan terhadap pengungsi menurut hukum Internasional? Dan bagaimana penerapan hukum di Indonesia dan hukum Internasional terhadap penanganan terhadap pengungsi Rohingya yang berada di wilayah Indonesia?

(8)

data-data dari berbagai macam buku,pendapat sarjana,kamus,ensiklopedia dan literature hukum Internasional yang berkaitan dengan penulisan skripsi

Hukum Pengungsi Internasional adalah turunan dan salah satu pengaturan hukum Internasional. Hukum pengungsi Internasional lahir demi menjamin keamanan dan keselamatan pengungsi Internasional di negara tujuan mengungsi. Selain memberikan perlindungan di negara tujuan, pengungsi intemasional juga dilindungi oleh negara- negara yang dilewatinya dalam perjalanan ke negara tujuan mengungsi. Dalam dunia intemasional yang mengalami perkembangan baik dari segi informasi, teknologi serta juga dalam bidang hukum Internasional. Sejumlah instrumen Internasional menetapkan dan menjelaskan standar-standar pokok tentang perlakuan terhadap pengungsi.Instrumen yang paling penting adalah Konvensi PBB tentang Kedudukan Pengungsi 1951 dan Protokol tentang Kedudukan Pengungsi 1967. Hukum pengungsi lahir bersamaan dengan disahkannya Konvensi 1951. Konvensi 1951 dan Protokol 1967 bisa dikatakan sebagai fondasi dari hukum pengungsi Internasional.

Masalah pengungsi Rohingya sebenarnya sudah terjadi sekian lama. Namun keadaan semakin parah dengan dikeluarkannya Undang-Undang diskriminatif “Burma Citizenship Law 1982) yang menganggap kaum Rohingya sebagai orang asing serta tidak diperbolehkan melakukan kegiatan perdagangan. Tidak hanya itu saja, beredar propaganda berbau Islamophobia yang membuat pengungsi Rohingya diperlakukan secara semena-mena.

(9)

Internasional. Konvensi tersebut merupakan instrumen yang bertujuan melindungi orang-perorangan berkaitan dengan keadaannya di dalam masyarakat.

* Mahasiswi Fakultas Hukum USU Medan

** Dosen Pembimbing I

(10)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar... i

Abstrak... iv

Daftar Isi... v

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 8

D. Keaslian Penulisan... 9

E. Tinjauan Kepustakaan... 9

F. Metode Penelitian... 21

G. Sistematika Penulisan……….. 23

BAB II PERLINDUNGAN PENGUNGSI DILIHAT DARI HUKUM NASIONAL... 25

A. Instrumen Hukum Nasional Terkait Dengan Masalah Pengungsi…………... 25

B. Kendala Yang Dihadapi Dalam Menghadapi Permasalahan Pengungsi Di Indonesia……... 32

C. Perlunya Indonesia Meratifikasi Konvensi 1951 ... 42

(11)

A.Sejarah Hukum Pengungsi………... 54

B.Peranan Organisasi Internasional Dalam Menangani pengungsi... 69

C. Konvensi Internasional Tekait Dengan Pengungsi………... 92

BAB IV PENANGANAN PENGUNGSI ROHINGYA DI KOTA MEDAN... 105

A. Sejarah Pengungsi Rohingya…………... 105

B. Penanganan Pengungsi Rohingya Oleh Pihak Imigrasi Di Kota Medan………...………... 135

C. Penanganan Pengungsi Rohingya Di Kota Medan Oleh UNHCR………... 137

BAB V PENUTUP... 139

A. Kesimpulan... 139

B. Saran... 141

(12)

ASPEK PERLINDUNGAN PENGUNGSI DILIHAT DARI HUKUM NASIONAL DAN HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KASUS PENANGANAN PENGUNGSI

ROHINGYA DI KOTA MEDAN) ABSTRAKSI

Samitha Andimas* Sutiarnoto, S.H., M.Hum** Chairul Bariah, S.H., M.Hum***

Permasalahan pengungsi merupakan permasalahan klasik yang dihadapi umat manusia sejak zaman dahulu kala Perang Dunia II, isu–isu mengenai hak asasi manusia menjadi sebuah pembahasan yang sangat penting dalam dunia Internasional hingga sekarang. Belakangan ini masyarakat dunia disuguhkan dengan berbagai permasalahan pengungsi,tidak terkecuali Indonesia. Letak geografis Indonesia yang strategis membuat Indonesia seringkali menjadi negara transit bagi pengungsi-pengungsi tersebut. Padahal Indonesia bukanlah negara peserta dari Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Penentuan Status Pengungsi. Indonesia juga belum mempunyai peraturan perundang-undangan yang membahas secara khusus tentang penanganan pengungsi. Saat ini salah satu masalah pengungsi yang sedang dihadapi pemerintah Indonesia adalah masalah Pengungsi Rohingya. Rohingnya adalah komunitas muslim yang merupakan kelompok minoritas yang menetap di Arakan, sebelah barat Myammar. Dalam perjalanan waktu sejak Myanmar dikuasai oleh Junta Militer, orang-orang Rohingnya menjadi sasaran dari berbagai bentuk kekerasan dan tindakan lain yang melanggar HAM. Hukum pengungsi telah mengalami perkembangan dalam mengatur mengenai penanganan dan perlindungan pengungsi. Atas permasalahan pengungsi tersebut, timbul pertanyaan bagaimana pengaturan mengenai perlindungan pengungsi di Indonesia? Bagaimana perlindungan terhadap pengungsi menurut hukum Internasional? Dan bagaimana penerapan hukum di Indonesia dan hukum Internasional terhadap penanganan terhadap pengungsi Rohingya yang berada di wilayah Indonesia?

(13)

data-data dari berbagai macam buku,pendapat sarjana,kamus,ensiklopedia dan literature hukum Internasional yang berkaitan dengan penulisan skripsi

Hukum Pengungsi Internasional adalah turunan dan salah satu pengaturan hukum Internasional. Hukum pengungsi Internasional lahir demi menjamin keamanan dan keselamatan pengungsi Internasional di negara tujuan mengungsi. Selain memberikan perlindungan di negara tujuan, pengungsi intemasional juga dilindungi oleh negara- negara yang dilewatinya dalam perjalanan ke negara tujuan mengungsi. Dalam dunia intemasional yang mengalami perkembangan baik dari segi informasi, teknologi serta juga dalam bidang hukum Internasional. Sejumlah instrumen Internasional menetapkan dan menjelaskan standar-standar pokok tentang perlakuan terhadap pengungsi.Instrumen yang paling penting adalah Konvensi PBB tentang Kedudukan Pengungsi 1951 dan Protokol tentang Kedudukan Pengungsi 1967. Hukum pengungsi lahir bersamaan dengan disahkannya Konvensi 1951. Konvensi 1951 dan Protokol 1967 bisa dikatakan sebagai fondasi dari hukum pengungsi Internasional.

Masalah pengungsi Rohingya sebenarnya sudah terjadi sekian lama. Namun keadaan semakin parah dengan dikeluarkannya Undang-Undang diskriminatif “Burma Citizenship Law 1982) yang menganggap kaum Rohingya sebagai orang asing serta tidak diperbolehkan melakukan kegiatan perdagangan. Tidak hanya itu saja, beredar propaganda berbau Islamophobia yang membuat pengungsi Rohingya diperlakukan secara semena-mena.

(14)

Internasional. Konvensi tersebut merupakan instrumen yang bertujuan melindungi orang-perorangan berkaitan dengan keadaannya di dalam masyarakat.

* Mahasiswi Fakultas Hukum USU Medan

** Dosen Pembimbing I

(15)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Masalah pengungsi dan perpindahan penduduk di dalam negeri merupakan persoalan yang paling sulit dihadapi masyarakat dunia saat ini. Banyak diskusi tengah dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang terus berusaha mencari cara-cara lebih efektif untuk melindungi dan membantu kelompok yang sangat rentan ini1

Pada awalnya perpindahan penduduk hanyalah sebuah persoalan domestik suatu negara tetapi seiring dengan banyaknya negara yang menaruh perhatian terhadap persoalan ini sehingga kemudian menjadi persoalan bersama. Pengungsi yang melintasi batas negara dan masuk dalam suatu wilayah yang memiliki kedaulatan memang pantas mendapat perhatian sebab merupakan persoalan universal. Pengungsi yang meninggalkan tempat asalnya disebabkan oleh berbagai macam faktor yang biasanya karena hal-hal yang dapat membahayakan nyawa pengungsi tersebut apabila masih menetap wilayah asalnya seperti perang atau penganiayaan. Mereka tidak mendapatkan perlindungan dari negaranya sendiri, bahkan sering kali pemerintahnya sendiri yang mengancam akan menganiaya mereka. Hal tersebut sama dengan memberi keputusan mati bagi mereka hidup sengsara di dalam bayangan kehidupan tanpa adanya sarana hidup dan tanpa Masalah pengungsi adalah persoalan klasik yang sering timbul dalam sejarah peradaban umat manusia. Terdapat berbagai penyebab yang membuat orang-orang mengungsi. Hal-hal tersebut bisa disebabkan karena adanya rasa takut yang mengancam keselamatan mereka.

1

(16)

adanya hak bagi mereka, jika negara lain tidak mau menerima mereka, dan tidak menolong mereka setelah masuk ke negaranya.2

Hak dasar yang dimaksud yaitu hak atas rasa aman. Hak tersebut sudah tidak dapat mereka peroleh di negaranya oleh karena itu para korban tersebut ingin mencari perlindungan di negara lain yang mereka anggap aman dan dapat menampung mereka sebagai pengungsi untuk melanjutkan hidup mereka. Negara yang dimaksud sebagai negara tujuan pada umumnya

Perlindungan terhadap pengungsi Internasional berangkat dari pemahaman mengenai hak asasi manusia pada umumnya bahwa setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama. Begitu pula dengan hukum yang mengatur mengenai perlakuan terhadap pengungsi berangkat dari hukum Internasional mengenai hak asasi manusia. Sehingga berbicara mengenai pengungsi tidak dapat dipisahkan dari pembahasan mengenai hak asasi manusia.

Pasca Perang Dunia II, isu–isu mengenai hak asasi manusia menjadi sebuah pembahasan yang sangat penting dalam dunia Internasional hingga sekarang ini, melihat banyaknya tragedi kemanusiaan yang terjadi pada saat Perang Dunia II seperti tragedi Nanking, Auschwitz, Hiroshima, dan Nagasaki. Dampak perang terhadap HAM juga terjadi pada saat Perang Dingin dengan banyaknya penduduk Vietnam yang pada saat itu ramai –ramai mengungsi ke Pulau Galang di Indonesia.

Dewasa ini dampak perang terhadap HAM juga terjadi pada negara – negara di kawasan Timur Tengah seperti Suriah, Afghanistan, Irak, dan Iran, yang dimana penduduk darinegara – negara tersebut mengungsi ke negara tetangga dan bahkan mencari suaka ke negara lain seperti Australia. Contoh kasus di atas menjelaskan bagaimana dampak perang dalam suatu negara yang mengabaikan aspek penting dalam kehidupan yaitu HAM.

2

(17)

merupakan negara yang telah meratifikasi konvensi mengenai pengungsi seperti Australia. Untuk mencapai negara tersebut mereka pada umumnya menggunakan jalur laut namun dengan tingkat keamanan dan pengetahuan pelayaran yang minim serta perbekalan yang tidak mencukupi.

Pada dasarnya, setiap negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi orang-orang yang berada di wilayahnya, baik warga negaranya maupun orang asing yang sedang berada di wilayah kedaulatannya, termasuk bagi mereka yang mencari perlindungan dengan status pengungsi atau pencari suaka. Bentuk perlindungan tersebut salah satunya adalah perlindungan hukum dimana negara tersebut berkewajiban untuk memenuhi hak-hak hukum yang melekat pada subyek hukum individu tersebut.3

Kewajiban negara asal yang tidak mampu lagi melindungi hak-hak dasar warga negaranya ataupun negara lain yang menolak kedatangan pengungsi akan diambil alih oleh masyarakat internasional. Masyarakat internasional melakukan upaya-upaya yang diperlukan guna menjamin dan memastikan bahwa hak-hak dasar seseorang tetap dilindungi dan dihormati. Pada status perlindungan internasional tersebut, seseorang yang dalam kapasitas sebagai pengungsi atau pencari suaka, wajib mendapat proteksi atas hak-hak dasarnya sebagai manusia. Perlindungan hak asasi merupakan hak pokok dalam penanganan mereka. Hal itu menjadi bagian dari kewajiban dari masyarakat internasional, pada sisi lain juga menjadi kewajiban nasional suatu Negara.4

Indonesia adalah salah satu negara yang belum menandatangani Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 . Meskipun begitu, secara geografis letak Indonesia dinilai strategis bagi para pengungsi dan pencari suaka. Indonesia merupakan Negara di Asia Tenggara yang terletak di garis Khatulistiwa dan berada diantara benua Asia dan benua Australia. Mengingat letaknya

3

Yanuarda Yudo Persian. Pengaturan Dalam Hukum Internasional Mengenai Pemgungsi Akibat Perubahan Iklim yang Melintasi Batas Internasional (Environmental Refugees). Hlm 10

4

(18)

yang berada di antara dua samudera dan dua benua, Indonesia disebut juga sebagai Nusantara (KepulauanAntara). Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau 5

Menurut data dari United Nations High Commissioner for Refugees( selanjutnya disingkat UNHCR) pada Januari 2012 misalnya,terdapat 3275 pencari suaka dan 1052 pengungsi . Keberadaan pengungsi dan pencari suaka di Indonesia bukan lah merupakan hal yang baru. Keberadaan mereka telah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Pada era kepemimpinan Soeharto, Indonesia menjadi negara tujuan pencari suaka dan pengungsi Vietnam pada tahun 1979 setelah Saigon (ibukota Vietnam Selatan) jatuh ke tangan Vietnam Utara.

. Secara geografis letak Indonesia yang strategis menjadikan Indonesia harus menerima konsekuensi sebagai wilayah yang terbuka dengan dunia luar khususnya yang berbatasan dengan negara terdekat. Dampak tersebut berupa masuknya ribuan pencari suaka atau yang biasa disebut asylum seeker yang ingin mendapatkan status pengungsi. Mereka masuk melalui beberapa perbatasan di wilayah Indonesia.

6

Ratusan ribu orang meninggalkan wilayah ini untuk mencari perlindungan di Negara lain baik dengan berbagai cara baik lewat menyusuri sungai,jalur udara, maupun melalui jalur laut.7

belum ada peraturan hukum nasional yang secara khusus mengatur tentang pencari suaka dan pengungsi di Indonesia.Sebagai negara transit,Indonesia telah melaksanakan berbagai upaya dalam hal penanganan pengungsi yang lebih baik, misalnya meratifikasi berbagai instrumen Hak Asasi manusia (selanjutnya disingkat HAM) Internasional dan juga menghasilkan instrumen HAM nasional. Upaya-upaya tersebut tidak lain sebagai komitmen Indonesia untuk menegakkan

Indonesia bukan Negara anggota Konvensi 1951 tentang pengungsi dan protocol 1967, serta

5

UNHCR. “Operation Fact Sheet Indonesia”, http://www.unhcr.or.id/images/pdf/pu-blications/operational_fact_sheet_indonesia_final.pdf

6

Atik Krustiyati,Penanganan Pengungsi di Indonesia ,Surabaya: Brilian Internasional,2010,hlm.18.

7

(19)

HAM. Hal ini dilakukan oleh Indonesia sebagai anggota PBB yang secara moral ikut bertanggung jawab melaksanakan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (selanjutnya disingkat DUHAM). Hal tersebut juga sejalan dengan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI) 1945 disebutkan bahwa salah satu tujuan negara adalah ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial.8

Indonesia tidak termasuk dalam negara pihak konvensi mengenai status pengungsi tahun 1951 dan Protokol 1967, namun Indonesia secara langsung tidak berkewajiban atas penanganan pengungsi yang ada di wilayah Indonesia. Dalam hal ini UNHCR-lah sebagai komisi tinggi di PBB untuk urusan pengungsi yang memiliki kewenangan untuk mengurusi pengungsi di Indonesia.

9

Salah satu pengungsi yang sedang menjadi pemberitaan saat ini adalah pengungsi Rohingnya. Rohingnya adalah komunitas muslim yang merupakan kelompok minoritas yang menetap di Arakan, sebelah barat Myammar. Ciri-ciri orang-orang Rohingnya terlihat dari tampilan fisik, bahasa,dan budaya yang menunjukkan kedekatan orang-orang Rohingnya dengan masyarakat Asia Selatan, khususnya orang-orang Chitagonian. Dalam perjalanan waktu sejak Myanmar dikuasai oleh Junta Militer, orang-orang Rohingnya menjadi sasaran dari berbagai bentuk kekerasan dan tindakan lain yang melanggar HAM mereka. Banyak diantara mereka yang

8

Lembar disposisi Direktorat Keamanan Diplomatik, 2010, Illegal Migrant, Jakarta: Direktorat Keamanan Diplomatik Kementerian Luar Negeri, hlm. 2

9

(20)

diperkerjakan secara paksa untuk membangun jalan dan kamp militer, dianiaya dan kaum perempuan menjadi korban perkosaan.10

Pemerintah Myanmar yang harusnya bertanggung jawab terhadap orang-orang Rohingnya malah mengambil sikap yang terbalik dan membiarkan nasib orang Rohingnya dalam kondisi memilukan. Akibatnya, sampai saat ini masih terjadi gelombang pelarian dan pengungsian dari orang Rohingnyayang menyebar ke berbagai negeri, termasuk juga ke Indonesia. Kondisi yang demikian menyebabkan orang-orang Rohingnya dan juga orang-orang dari etnis minoritas lain yang berasal dari wilayah Myanmar lain menjadi “stateless citizen” (penduduk yang kehilangan status kewarganegaraan). Tidak seperti kelompok etnis lainnya yang diakui kewarganegaraannya oleh pemerintah Myammar. Masyarakat Rohingnya tidak dianggap warga Negara dan mengalami diskriminasi oleh pemerintah Myammar. Karena itu mereka berbondong-bondong meninggalkan Myammar demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Berbeda dengan sikap Thailand yang menolak dan mengusir pengungsi Rohingya, pihak Pemerintah Indonesia justru menerima dan menampung sementara pengungsi tersebut berdasarkan alasan kemanusiaan, meskipun kondisi dalam negeri Indonesia sendiri tak terlalu kondusif. Sikap dan tindakan Thailand melakukan pengusiran jelas memperlihatkan tindakan tidak manusiawi. Bahkan berita terakhir menyebutkan bahwa Pemerintah Thailand telah mengirim pulang secara paksa sekitar 1.300 pengungsi muslim Rohingya ke negara asal mereka, Myanmar.11Berdasarkan penelitian dari Tindaon12

10

http//indiesblog.wordpress.com/2009/02/14/tentang-rohingya

11

Thailand Telah Deportasi 1300 Pengungsi Rohingya. SINDOnews.com

12

Septiana Tindaon,, Perlindungan Pengungsi Rohingya Dilihat Dari Hukum Nasional Dan Hukum Internasional(jurnal), Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Internasional, 2012

(21)

Human Rights, International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), International Covenant on Civil dan Political Rights (ICCPR), Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights (16 Desember 1966), Rome Statute of the International Criminal Court (Statuta Roma), Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide dan Convention Against Torture and Other Cruel, in Human or Degrading Treatment or Punishment.

Pengungsi-pengungsi yang berada di Indonesia membutuhkan perlindungan. Perlindungan terhadap pengungsi tidak hanya mengenai pemberian suaka, namun dalam bentuk lain yaitu perlindungan hukum atas hak-hak mereka dan juga perlindungan terhadap kekerasan serta ancaman untuk dipulangkan ke negara asal mereka. Belajar dari kasus Rohingnya tersebut, terdapat banyak persoalan yang dapat diambil manfaatnya, mengingat sampai saat ini Indonesia belum menjadi pihak pada Konvensi Jenewa Tahun 1951 tentang Pengungsi dan Protokol 1967. Padahal dari hari kehari jumlah pengungsi yang masuk keIndonesia semakin banyak yang mau tidak mau akan menjadi beban dari Pemerintah Indonesia.13 Berdasarkan fakta-fakta dan opini- opini yang ada diatas, penulis tertarik untuk membahas dan melakukan penelitian terkait masalah ini dengan judul “ Aspek Perlindungan Pengungsi Dilihat Dari Hukum Nasional dan Internasional (Kasus Pengungsi Rohingnya di Kota Medan)”

13

(22)

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka penulis dapat merumuskan masalahnya sebagai berikut :

1. Bagaimanakah aspek perlindungan terhadap pengungsi dilihat dari Hukum Nasional?

2. Bagaimanakah aspek perlindungan terhadap pengungsi dilihat dari Hukum Internasional?

3. Bagaimana dengan penerapan kedua hukum tersebut terhadap Kasus yang terjadi Indonesia (Studi Kasus Pengungsi Rohingya di Kota Medan)

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui aspek perlindungan pengungsi dari segi Hukum Nasional 2. Untuk mengetahui aspek perlindungan pengungsi dari segi Hukum Internasional 3. Untuk mengetahui penerapam kedua hukum tersebut langsung terhadap kasus

pengungsi yang berada di wilayah Indonesia (Pengungsi Rohingnya di Kota Medan)

MANFAAT PENULISAN

(23)

2. Manfaat praktis dari penulisan skripsi ini adalah menjadi acuan dalam kerangka berpikir bagi upaya dan solusi perlindungan pengungsi di Indonesia, serta dapat bermanfaat sebagai masukan untuk menyelesaikan permasalahan pengungsi di Indonesia

D. KEASLIAN PENULISAN

(24)

E. TINJAUAN PUSTAKA

Pengungsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kata benda yang berarti orang yang mengungsi. Sedangkan akar kata dari pengungsi adalah “ungsi” dan kata kerjanya adalah mengungsi, yaitu pergi mengungsi (menyingkirkan) diri dari bahaya atau menyelamatkan diri (ke tempat yang memberikan rasa aman).14 Pengungsi berasal dari kata dalam bahasa inggris yaitu refugee. Istilah pengungsi dalam penggunaan sehari-hari mempunyai arti yang lebih luas yaitu seseorang yang dalam pelarian yang berusaha melarikan diri dari kondisi yang dalam tidak bisa ditolerir. Tujuan dari pelarian ini adalah untuk mendapatkan kebebasan dan rasa aman. Alasan seseorang melakukan pelarian ini bisa saja disebabkan karena penindasan, ancaman keselamatan jiwanya, penuntutan, kemiskinan, perang atau bencana alam.15

14

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua, Jakarta: Balai Pustaka, 1995.

15

Guy S Godwin-Grill, The Refugee in Internasional Law, Second Edition, Great Britain: Clarendon Press-Oxford, 1966, hlm. 3.

(25)

Definisi ini kemudian dijelaskan dalam Black‟s Law Dictionary pengungsi diartikan sebagai “A person who arrives in a country to settle there permanently; a person who immigrates”.16

Sedangkan pada Statuta UNHCR, khususnya pada Pasal 6B pengungsi didefinisikan sebagai orang yang berada di luar negaranya atau tempat tinggal aslinya. Dengan demikian batasan pengungsi berhubungan dengan batas lintas negara. Alasannya untuk dapat disebut sebagai pengungsi kurang lebih substansinya sama dengan Konvensi 1951 bahwa seseorang atau sekelompok orang dapat disebut sebagai pengungsi ketika adanya ketakutan yang sah akan

Batasan pengungsi menurut Pasal 1A ayat (2) , Konvensi 1951 tentang Penentuan Status Pengungsi adalah:

“...as one who owing to will founded fear of being persecuted for reason of frase, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion, is outside the country of his nationality and unable or owing to such fear, is unwilling to avail himself of the protection of that country or who, not having nationality and being outside the country of his former habitual residence as result of such events, is unable or owing to such fear, is unwilling to return to it”.

Batasan yang diperjelas pada pasal tersebut adalah orang yang berada di luar negara asalnya atau tempat tinggal aslinya. Hal ini didasarkan atas terjadinya ketakutan yang sah akan diganggu keselamatannya sebagai akibat kesukuan, agama, kewarganegaraan, keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu atau pendapat politik yang dianutnya. Serta seseorang atau sekelompok orang yang tidak mampu atau tidak ingin memperoleh perlindungan bagi dirinya dari negara asal tersebut atau kembaktersebut, ataupun kembali ke sana, karena adanya kekhawatiran akan keselamatan dirinya.

16

(26)

diganggu keselamatannya sebagai akibat kesukuan, agama, kewarganegaraan, keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu, atau pendapat politik yang dianutnya. Di samping itu, harus bisa dibuktikan kemudian bahwa mereka tidak memperoleh perlindungan bagi dirinya dari negara asalnya.

Mengamati secara cermat definisi atau batasan tersebut, dalam penjelasannya, Hukum Pengungsi Internasional sejatinya dalam penjabaran mengatakan bahwa terdapat tiga hal pokok penting yang terkandung dalam pengertian pengungsi. Pertama, seseorang itu harus berada di luar negaranya. Kedua, dalam suatu kondisi well-founded fear, adalah suatu kondisi di mana kemungkinan akan terjadinya (atau berpotensi) terjadinya persecution. Ketiga, suatu kondisi yang dapat dibuktikan dalam keadaan unable atau unwilling untuk mempercayakan perlindungan dari negara asalnya.

Definisi pengungsi ini juga bertujuan untuk mengetahui status pengungsi dan membedakannya dengan pencari suaka (asylum seeker). Status sebagai pengungsi adalah tahapan dari proses pencarian suaka di luar negara asal. Seorang pengungsi adalah sekaligus pencari suaka. Hal demikian ini berlaku karena sebelum status sebagai pengungsi, orang tersebut adalah pencari suaka. Sebaliknya, pencari suaka belum tentu statusnya merupakan pengungsi. Ia baru bisa dikategorikan sebagai pengungsi setelah diakui statusnya melalui instrumen hukum internasional.

Sistem suaka nasional sekarang sudah ada untuk menentukan pencari suaka mana yang pantas mendapat perlindungan internasional. Mereka yang setelah melalui prosedur yang benar ternyata tidak diakui sebagai pengungsi,atau dinyatakan tidak membutuhkan perlindungan internasional apapun, dapat dikirim pulang ke negara asalnya.17

17

UNHCR. 2008. Melindungi Pengungsi dan Peran UNHCR. Switzerland: Media Relation and Public UNHCR, hlm. 8

(27)

sebagai pengungsi tersebut timbullah konsekuensi yaitu adanya hak-hak,perlindungan terhadap hak-hak tersebut dan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan. Badan hukum yang dirancang untuk melindungi pengungsi mengalami tekanan yang berat. Pengawasan di perbatasan selalu diperkuat dan diperketat.18

Inventarisasi beberapa terminologi atau istilah juga dilakukan oleh Achmad Romsan. Setidaknya Romsan pernah mengidentifikasi enam istilah yang berhubungan. Atau jumbuh dengan pengungsi.19 Pertama , economic migrant ( migran ekonomi). Romsan mendefininiskan istilah tersebut dengan “ person who, in pursuit of employment or a better over all standard of living (that is motivated by economic considerations) leave their country to take residence else where”.20 Economic migrant merupakan seseorang atau sekelompok orang yang mencari pekerjaan,dan meninggalkan negaranya dengan pertimbangan aspek ekonomi. Kedua, refugees sur place(pengunsi sur place). Romsan mendeskripsikannya sebagai “ A person who was not a refugee when she left her country but who became a refugee at a later date. A person became a refugee sur place due to circumstances arising in her country of origin during her absence”. Refugee sur place merupakan seorang atau sekelompok orang yang bukan pengungsi sewaktu berada di negaranya namun kemudian menjadi pengungsi karena di Negara asalnya sewaktu orang atau kelompok orang tersebut tidak berada di negaranya.21

Romsan mendefinisikannya sebagai “ persons who meet the definitions of international instruments concerning refugees prior to the 1951 Conventiom are usually referred to as “statutory refugees”. Statutory refugees merupakan seseorang atau sekelompok orang yang Ketiga , statutory refugees(pengungsi statuta) .

18

Ibid., hlm 9

19

Wagiman.2012.op cit, hlm.100.

20

Achmad Romsan dkk., Pengantar Hukum Pengungsi Internasional, Sanic Offset, Bandung ,2002, hlm.29.

21

(28)

memenuhi criteria pengungsi menurut instrumen hukum pengungsi internasional sebelum 1951. Keempat, war refugees yang didefinisikan Romsan sebagai “ persons compelled to leave their country of origin as a result of international or national armed conflict are not normally considered refugees under the 1951 Convention of 1967 Protocol. They do,however have the protectionprovided for in other international instruments , i.e. the Geneva Conventions of 1949 , et.al. in the caswof forces invansion and subsequent occupation, occupying forces may begin to persecute segments of the populations. In such cases,asylum seekers may meet the conditions of the Convention definition.” Kelima , mandate refugees dan keenam, statute refugees.

Malcom Proudfoot memberikan pengertian pengungsi dengan melihat keadaan para pengungsi akibat Perang Dunia II.Walaupun tidak secara jelas dalam memberikan pengertian tentang pengungsi, pengertiannya yaitu :

“These forced movements, …were the result of thepersecution, forcible deportation, or flight of Jews and political opponents of the authoritarians governments; the transference of ethnic population back to their homeland or to newly created provinces acquired by war or treaty; the arbitatry rearrangement of prewar boundaries of sovereign states; the mass flight of the air and the terror of bombarmentfrom the air and under the threat or pressure of advance orretreat of armies over immense areas of Europe; the forcedremoval of populations from coastal or defence areas under military dictation; and the deportation for forced labour tobloster the German war effort’.22

orang-orang Yahudi dan perlawanan politik pemerintah yang berkuasa, pengembalian etnik tertentu ke negara asal mereka atauprovinsi baru yang timbul akibat perang atau

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengungsi adalah orang-orang yang terpaksa pindah ke tempat lain akibat adanya penganiayaan, deportasi secara paksa, atau pengusiran

22

(29)

perjanjian,penentuan tapal batas secara sepihak sebelum perang terjadi. Perpindahan penduduk sipil secara besar-besaran akibat adanya serangan udara dan adanya tekanan atau ancaman dari para militer di beberapa wilayah Eropa, pindahan secara paksa penduduk dari wilayah pantai atau daerah pertahanan berdasarkan perintah militer, serta pemulangan tenaga kerja paksa untuk ikut dalam perang Jerman.

Pietro Verri memberikan definisi tentang pengungsi dengan mengutip bunyi pasal 1 UN Convention on the Status of Refugees tahun 1951 adalah ‘applies to many person who has fled the country of his nationality to avoid persecution or the threat of persecution’.23

1. Alasannya harus berdasarkan faktor politik

Jadi menurut Pietro Verri pengungsi adalah orang-orang yang meninggalkan negaranya karena adanya rasa ketakutan akan penyiksaan atau ancaman penyiksaan. Menurut Konvensi Tahun 1951 terhadap mereka yang mengungsi masih dalam lingkup wilayah negaranya belum dapat disebut sebagai pengungsi.

S. Prakash Sinha memberikan pengertian pengungsi sebagai berikut:

“The international political refugee may defined as a person who is forced leave or stay out his state of nationality or habitual residence for political reasons arising from events occurring between that state and its citizents which make his stay there imposible or intolerable, and who has taken refugee in another state without having acquired a new nationality.” Dari pendapat tersebut, dapat ditegaskan bahwa secara umum, seorang pengungsi haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut:

2. Permasalahan politik tersebut timbul antara negara dan warga negaranya;

23

(30)

3. Ada keadaan yang mengharuskan orang tersebut meninggalkan negaranya atau tempat tinggalnya, baik secara sukarela maupun terpaksa;

4. Kembali ke negaranya atau ketempat tinggalnya tidak mungkin dilakukan,karena sangat membahayakan dirinya;

5. Orang tersebut harus meminta status sebagai pengungsi di negara lain; 6. Orang tersebut tidak mendapatkan kewarganegaraan baru

Prinsip penentuan status pengungsi

Prinsip penentuan status seseorang agar dapat disebut pengungsi diatur secara yuridis seperti dalam konvensi tahun 1951 di dalamnya juga mengatur tentang “The exlusion clauses dan the cessasions clauses. Suatu keadaan di mana seseorang tidak diberikan status sebagai pengungsi yang termasuk dalam kategori “The exclusions clausses kalau telah memenuhi kriteria sebagai pengungsi namun tidak membutuhkan atau berhak untuk mendapatkan perlindungan, misalnya dalam Konvensi 1951, hal ini berarti bahwa status pengungsi itu sudah ada sebelum yang bersangkutan dinyatakan secara formal atau resmi. Oleh karena itu, pengakuan seseorang menjadi pengungsi sebenarnya tidak membuat orang itu menjadi pengungsi tetapi hanya pengakuan yang menyatakan bahwa statusnya adalah pengungsi.

Sementara ketika menyinggung bagaimana penetapan status pengungsi tentu harus merujuk pada sebuah dasar ketetapan sebab status pengungsi merupakan ketetapan yang hanya menyatakan apa yang sebenarnya sudah ada. Dengan kata lain, orang tersebut tidak menjadi pengungsi sebab pengakuan tetapi justru pengakuan diadakan karena dia memang sudah pengungsi.

(31)

1. Penemuan atau penetapan yang menentukan bahwa dari fakta yang ada memang orang tersebut adalah refugee.

2. Fakta dihubungkan dengan persyaratan yang terdapat di dalam konvensi 1951 dan protokol 1967. Setelah itu, dihubungkan apakah yang bersangkutan termasuk sebagai pengungsi atau bukan.

Tipologi Pengungsi

Dalam hukum pengungsi internasional istilah pengungsi (refugee) dikenal beragam dengan istilah yang berkaitan dengan pengungsi. Istilah ini kemudian menjurus ke arah tipe-tipe pengungsi. Ada faktor pembeda antara tiap pengungsi, beragam motif, latar belakang sehingga orang bisa dikenal statusnya sebagai pengungsi. Kalau varian motifnya beragam maka pengungsi dapat dikenal dengan beragam istilah seperti; Economic migrant, Refugees sur place, Statutory refugees, War refugees. Sementara kalau variabel latar belakang terjadinya pengungsi maka dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis, yakni :

1. Pengungsian karena bencana alam (Natural Disaster). Pengungsian ini pada prinsipnya masih dilindungi negaranya keluar untuk menyelamatkan jiwanya, dan orang-orang ini masih dapat minta tolong pada negara dari mana ia berasal.

2. Pengungsian karena bencana yang dibuat manusia (Man Made Disaster). Pengungsian disini pada prinsipnya pengungsi keluar dari negaranya karena menghindari tuntutan (persekusi) dari negaranya. Biasanya pengungsi ini karena alas an` politik terpaksa meninggalkan negaranya, orang-orang ini tidak lagi mendapat perlindungan dari pemerintah dimana ia berasal.

(32)

tidak diatur dan dilindungi oleh hukum internasional. Kembali lagi pada pembahasan istilah pengungsi dari varian motifnya, dikenal dalam Hukum Pengungsi Internasional yang disebut dengan Statutory Refugees adalah pengungsi-pengungsi yang berasal dari suatu negara tertentu yang tidak mendapatkan perlindungan diplomatik. Yang dapat dikategorikan sebagai Statutory Refugees adalah mereka yang memenuhi persyaratan seperti yang disebut dalam perjanjian internasional sebelum 1951.

Sebenarnya, sebelum tahun 1951 sudah ada instrumen hukum internasional berupa persetujuan namun sifatnya regional atau setempat misalnya, di Amerika dan Eropa yang membuat peraturan-peraturan pengungsi tetapi hanya berlaku setempat. Perjanjian Internasional sifatnya regional biasanya menyangkut tiga hal, yaitu:

1. Asylum Seeker ( pencari suaka)

2. Travel Document (dokumen perjalanan) 3. Travel Facilities ( fasilitas perjalanan)

Pemberian asylum terutama di negara-negara Amerika Latin dengan membuat banyak perjanjian regional, di samping itu juga banyak terdapat di Afrika tentang aspek-aspek khusus dari masalah pengungsi yang ditandatangani 1969, kemudan di Asia yang berupa deklarasi yaitu pernyataan oleh Komite Konsultatif Hukum Asia-Afrika di Bangkok, anggota-anggotanya adalah Sarjana Hukum dari Asia dan Afrika, diadakan pada tahun 1966 yang menyatakan prinsip-prinsip perlakuan terhadap pengungsi ada sifatnya universal juga regional. Pemberian status sebagai Asylum Seeker untuk membedakan dengan status pengungsi juga sangatlah penting. Sebab perbedaan itu sifatnya substansif, bahwa semua pengungsi bisa dikategorikan Asylum Seeker, tetapi tidak semua Asylum Seeker bisa dikategorikan pengungsi.

(33)

1. Statutory Refugee adalah status dari suatu pengungsi sesuai dengan persetujuan internasional sebelum tahun 1951.

2. Convention Refugee adalah status pengungsi berdasarkan Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Di sini pengungsi berada pada suatu negara pihak atau peserta konvensi. Yang menetapkan status pengungsi adalah negara tempat pengungsian (negara dimana pengungsi itu berada) dengan kejasama dari negara tersebut dengan UNHCR, wujud kerja sama itu misalnya: dengan mengikut sertakan UNHCR dalam komisi yang menetapkan status pengungsi, bentuk kerjasama lainnya negara yang bersangkutan menyerahkan mandate sepenuhnya pada UNHCR untuk menetapkan apakah seseorang itu termasuk pengungsi atau bukan pengungsi.

3. Mandate Refugee adalah menentukan status pengungsi bukan dari Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tapi berdasarkan mandat dari UNHCR. Di sini pengungsi berada pada negara yang bukan peserta konvensi atau bukan negara pihak. Yang berwenang menetapkan status pengungsi adalah UNHCR bukan negara tempat pengungsian. Mengapa Mandate Refugee tidak ditetapkan oleh negara tempat pengungsi? Hal ini disebabkan karena negara tersebut bukan negara pihak dalam konvensi tadi,akibatnya ia tidak bisa melakukan tindakan hukum seperti dalam konvensi tadi.

4. Pengungsi-pengungsi lain (sebab manusia):

Ada yang tidak dilindungi oleh UNHCR, misalnya : Palestine Liberation Organization (PLO), sebab PLO sudah diurus dan dilindungi badan PBB lain maka tidak termasuk lingkungan kekuasaan UNHCR.

(34)

a) Human Rights Refugees adalah mereka yang terpaksa meninggalkan negara atau kampung halaman mereka karena adanya “fear of being persecuted”, yang disebabkan masalah ras, agama, kebangsaan atau keyakinan politik.

b) Humanitarian Refugess adalah mereka yang (terpaksa) meninggalkan negara atau kampung halaman mereka karena merasa tidak aman disebabkan karena ada konflik (bersenjata) yang berkecamuk dalam negara mereka. Mereka pada umumnya, di negara dimana mereka mengungsi dianggap sebagai “alien”. Menurut Konvensi Geneva 1949, “alien” ini diperlakukan sebagai “protected persons”. Dengan demikian mereka mendapat perlindungan seperti yang diatur, baik dalam Konvensi Geneva 1949 (terutama Bag. IV), maupun dalam Protokol Tambahan II tahun 1977.

(35)

meninggalkan wilayah konflik, dan pada tahapan tertentu statusnya akan ditetapkan sebagai pengungsi.

F. METODE PENELITIAN

1. Pendekatan Dan Jenis penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang melakukan analisa hukum atas peraturan perundang-undaangan dan keputusan hakim dalam penulisan ini pendekatan yuridis normatif ini dilakukan untuk menelti norma-norma hukum yang berlaku yang mengatur tentang perlindungan pengungsi sebagaimana yang terdapat di dalam perangkat hukum nasional maupun perangkat hukum Internasional.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian bersifat deskriptif yaitu metode penelitian yang menggambarkan semua data kemudian dianalisis dan dibandingkan berdasarkan kenyataan yang sedang berlangsung dan selanjutnya mencoba untuk memberikan pemecahan masalahnya

2. Sumber data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

a. Bahan hukum primer,yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang merupakan landasan utama yang digunakan dalam penelitian ini. Bahan hukum Primer yang digunakan di dalam penelitian ini adalah Konvensi 1951 dan Protokol 1967 Mengenai Penentuan Status Pengungsi sera Konvensi-konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang memiliki kaitan dengan permasalahan pengungsi

(36)

dan pendapat para ahli hukum internasional yang terkait dengan masalah pengungsi

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, berupa kamus hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis melalui (Penelitian Pustaka (Library Research).. Pengumpulan data ini dilakukan dengan cara mempelajari dan menganalisis berbagai macam bahan bacaan yang berkaitan dengan objek kajian dalam skripsi ini antara lain berupa buku, jurnal, dokumen-dokumen, artikel dan karya-karya tulis dalam bentuk media cetak dan media internet.Hal ini dilakukan untuk mendapatkan landasan dalam menganalisa data-data yang diperoleh dari berbagai sumber yang dapat dipercaya maupun tidak langsung (internet). Dengan demikian akan diperoleh kesimpulan yang lebih terarah dari pokok bahasan

4. Analisis Data

(37)

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pemahaman dalam upaya kearah mendapatkan jawaban atas rumusan permasalahan, maka pembahasan akan diuraikan secara garis besar melalui sistematika penulisan. Tujuannya agar tidak terjadi kesimpangsiuran pemikiran dalam menguraikan lebih lanjut mengenai inti sari permasalahan yang akan dicari jawabannya. Pada bagian ini terdapat ringkasan garis besar dari lima bab yang terdapat di dalam skripsi.

Setiap bab terdiri dari beberapa sub-bab yang akan mendukung keutuhan pembahasan setiap bab. Sistematikanya adalah sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Dalam Bab I dibahas mengenai latar belakang yang menjelaskan alas an pemilihan judul penelitian yang kemudian akan dilanjutkan dengan perumusan masalah dan diikuti dengan tujuan penelitian serta manfaat dari penelitian. Bab ini juga membahas mengenai keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan serta metodologi penelitian yang digunakan dan diakhiri dengan sistematika penulisan.

(38)

BAB III: PERLINDUNGAN PENGUNGSI DILIHAT DARI HUKUM NASIONAL Dalam Bab III dibahas mengenai sejarah perkembangan hukum Pengungsi Internasional ,dimulai dari zaman Liga Bangsa-Bangsa hingga terlahirnya UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees). Selain itu juga dibahas mengenai peranan beberapa organisasi Internasional dalam membantu menangani pengungsi dan juga beberapa konvensi yang terkait mengenai permasalahan pengungsi.

BAB IV: PENANGANAN PENGUNGSI ROHINGYA DI KOTA MEDAN

Dalam Bab IV ini dibahas mengenai sejarah pengungsi Rohingya yang dimulai dari awal mula kaum Rohingya bermukim di Rakhine Myammar hingga bagaimana pengungsi Rohingya bisa tiba di Indonesia serta apa yang menjadi penghalang bagi Indonesia untuk meangani permasalah Rohingya. Bab ini juga membahas bagaimana penanganan pengungsi Rohingya oleh Pihak imigrasi di Kota Medan serta penanganan yang dilakukan UNHCR terhadap pengungsi Rohingya yang berada di Kota Medan

BAB V: PENUTUP

(39)

BAB II

ASPEK PERLINDUNGAN PENGUNGSI DILIHAT DARI HUKUM NASIONAL

A. Instrumen Hukum Nasional Terkait Masalah Pengungsi

Indonesia termasuk negara yang bukan merupakan peserta dari Konvensi 1951 dan Protokol 1967 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia belum ada yang secara khusus menyoroti masalah tentang pengungsi. Meskipun demikian, pemerintah Indonesia tidak bisa lepas tangan terhadap permasalahan pengungsi yang berada di wilayah Indonesia.Selain itu, Indonesia merupakan anggota aktif dari Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) Indonesia mempunyai tanggung jawab dan hukum dalam menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) baik bagi warga negara Indonesia maupun bangsa negara lain. Hal tersebut dapat kita lihat dari Undang-Undang Dasar republik Indonesia 1945(UUD RI 1945), sila ke-2 Pancasila yang berbunyi “ kemanusiaan yang adil dan beradab” dan alinea ke-4 pembukaan UUD RI 1945 beserta perubahannya dan juga Undang-Undang Republik Indonesia No 39 tahun 1999 tentang HAM Terlihat jelas bahwa pemerintah Republik Indonesia memberi apresiasi terhadap perlindungan,penegakan, pemenuhan dan pemajuan HAM.24

Permasalahan pengungsi Internasional tidak terkecuali menjadi tugas pemerintah, apalagi pengungsi-pengungsi Internasional tersebut berada di wilayah negara Indonesia. Beberapa undang-undang menyinggung tentang masalah penanganan pengungsi, meskipun begitu belum ada peraturan perundang-undangan khusus yang membahas tentang pengungsi.Meskipun belum ada ketentuan hukum khusus yang membahas tentang pengungsi dan pencari suaka di dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, masalah pengungsi telah dibahas pada beberapa

24

(40)

peraturan perundang-undangan di Indonesia,meskipun masalah pengungsi dibahas secara terbatas. Di dalam pasal 28 G ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen ke-4 tahun 2000) menyatakan: “ Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusiadan berhak memperoleh suaka politik dari Negara lain.” Dengan adanya pasal diatas di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan Konstitusi dari Negara Republik Indonesia , dapat kita lihat bahwa hak untuk mencari suaka telah ditegaskan dan hak untuk mencari suaka tersebut merupakan hak yang dijamin secara konstitusional.

Hal mengenai penegasan hak untuk mencari suaka tidak hanya dituangkan di dalam pasal 28 G UUD 1945 (Amandemen ke-4 tahun 2000) namun juga ditegaskan dalam pasal 28 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Dalam pasal 28 Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 disebutkan:

1. Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindunganpolitik dari negara lain.

2. Hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi mereka yang melakukan kejahatan non politik atau perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Salah satu bagian di dalam Tap MPR No.XVII/MPR/1998 yang terdiri dari tiga bagian yang mengakui keberadaan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang mana di dalam salah satu pasalnya yaitu pasal 24 menyatakan: “ Setiap orang berhak untuk mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari Negara lain”

(41)

dan Perlakuan Lain yang Kejam ,Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia yang menyebabkan terlahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 menyatakan bahwa:

“ Tidak boleh ada Negara yang menolak,mengembalikan,mengekstradisi seseorang ke Negara yang mana terdapat keyakinan/alas an yang kuat bahawa dia akan berbahaya karena menjadi sasaran penyiksaan

Masalah ini juga kemudian di bahas di dalam UU No. 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri di dalam pasal 25 hingga pasal 27.

pasal 25 UU No. 37 Tahun 1999 menyebutkan :

1. Kewenangan pemberian suaka kepada orang asing berada di tangan Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Menteri.

2. Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden.

Pasal 26 Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 meyebutkan bahwa: Pemberian suaka kepada orang asing dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional

3. serta dengan memperhatikan hukum, kebiasaan, dan praktek Internasional.

Pasal 26 Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 meyebutkan bahwa: Pemberian suaka kepada orang asing dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta dengan memperhatikan hukum, kebiasaan, dan praktek Internasional.

Pasal 27 Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 meyebutkan :

(42)

2. Pokok-pokok kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden.

UU No. 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri pada Bab VI Pasal 25-27 yang selama ini digunakan sebagai acuan dalam pemberian suaka dan penanganan pengungsi, sama sekali tidak menjelaskan secara khusus bagaimana proses pemberian suaka maupun penanganan pengungsi yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Peraturan dan UU yang dibuat oleh pemerintah tersebut, pada dasarnya sudah tidak dapat lagi menjawab permasalahan pengungsi di Indonesia.

Indonesia merupakan Negara peserta yang meratifikasi Konvensi Hak Sipil dan Politik. Yang berakhir dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 yang merupakan pengesahan dari konvensi tersebut. Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 menyatakan bahwa :

“Setiap orang bebas meninggalkan negara manapun termasuk negaranya.”

Pasal 1 ayat (9) Undang-undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian disebutkan mengenai ketentuan bagi orang asing bahwa Orang Asing adalah orang yang bukan warga negara Indonesia. Di dalam Undang-Undang Keimigrasian bahwa seorang pengungsi atau pencari suaka merujuk pada pasal tersebut bahwa mereka masih termasuk dalam golongan umum yaitu disebut dan disetarakan sebagai orang asing. Itulah yang menyebabkan Indonesia masih belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dikarenakan masih ada instrument hukum nasional yang mengatur mengenai pengungsi.

(43)

Pasal 1

Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:

1. Imigran ilegal adalah orang asing yang masuk ke dan atau berada di wilayah Indonesia tidak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. United Nation High Commissioner for Refugees yang selanjutnya disebutsebagai UNHCR yang berkedudukan di Indonesia adalah Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Pengungsi yang memberikan perlindungan dan bantuan kepada pengungsi dan pencari suaka berdasarkan Memorandum Saling Pengertian dengan Pemerintah Republik Indonesia.

Pasal 2

1. Imigran ilegal yang saat diketahui berada di Indonesia, dikenakan tindakan keimigrasian. 2. Dalam hal imigran ilegal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan keinginan

untuk mencari suaka dan/atau karena alas an tertentu tidak dapat dikenakan pendeportasian, dikoordinasikan dengan organisasi Internasional yang menangani masalah pengungsi atau UNHCR untuk penentuan statusnya.

Pasal 3

1. Imigran ilegal dapat tidak dipermasalahkan status izin tinggalnya selama berada di Indonesia dalam hal:

(44)

2. Terhadap Imigran ilegal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditempatkan ditempat tertentu dengan fasilitas organisasi Internasional fasilitasi organisasi UNHCR dan wajib dilaporkan keberadaannya oleh UNHCR kepada Direktur jenderal Imigrasi: a. dapat ditempatkan ditempat tertentu dengan Internasional yang menangani masalah

pengungsi atau UNHCR sambil menunggupenentuan statusnya; dan

b. wajib dilaporkan oleh UNHCR kepada Direktur Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian.

3. Penempatan imigran ilegal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) :

a. Wajib mentaati ketentuan peraturan perundang-undangan dan mengisi surat pernyataan yang formatnya sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Direktur Jenderal ini; dan

b. Pengawasan penempatannya menjadi tanggung jawab Kepala Kantor Imigrasi setempat.

Pasal 4

1. Imigran ilegal yang ditolak permohonan suakanya dan telah ditutup kasusnya oleh UNHCR wajib dilaporkan oleh UNHCR kepada DirekturJenderal Imigrasi.

2. Terhadap Imigran Ilegal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan Tindakan Keimigrasian.

Pasal 5

(45)

2. Dalam hal imigran ilegal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karena alas an tertentu tidak dapat dikenakan tindakan keimigrasian, untuk dikoordinasikan dengan organisasi Internasional yang menangani masalah pengungsian dan/atau UNHCR.

Pasal 6

Segala sesuatu yang berkaitan dengan tempat tinggal dan biaya hidup imigran ilegal selama dalam proses atau berada di bawah perlindungan UNHCR, tidak menjadi beban/tanggungan Kantor Imigrasi, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM, atau Direktorat Jenderal Imigrasi.

Pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 Pasal 5 ayat (1) tentang ekstradisi disebutkan bahwa :

“Ekstradisi tidak diberlakukan terhadap kejahatan politik”

Hal tersebut kemudian diperjelas dalam Pasal 14 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi yaitu:

“ Permintaan ekstradisi ditolak,jika terdapat sangkaan yang cukup kuat,bahwa yang dimintakan ekstradisinya akan dituntut, dipidana,atau dikenakan tindakan lain karena alasan yang bertalian dengan agamanya, keyakinan politiknya atau kewarganegaraannya, atau karena ia termasuk suatu suku bangsa atau golongan penduduk tertentu.”

(46)

konvensi tersebut merupakan konvensi dimana prinsip Non-refoulment menjadi fondasinya. Prinsip non-refoulment Prinsip non refoulement merupakan aspek dasar hukum pengungsi yang melarang negara untuk mengusir atau mengembalikan seseorang ke negara asalnya dimana kehidupan dan kebebasannya akan terancam. Prinsip non refoulement merupakan aspek dasar dari hukum pengungsi dan telah dikembangkan menjadi norma jus cogens dan kebiasaan hukum Internasional sehingga prinsip ini harus tetap diterapkan di suatu negara dimana pengungsi mencari perlindungan, walaupun negara tersebut bukan merupakan negara peserta peratifikasi Konvensi 1951.

Mekanisme penanganan pengungsi di Indonesia bergantung kepada bagaimana kita melihat pengungsi tersebut dan dari sudut pandang mana. Sejauh ini permasalahan pengungsi di Indonesia hanya dilihat dari sudut pandang keimigrasian. Masalah pengungsi di Indonesia belum dilihat dari sudut pandang HAM. Para pengungsi dan pencari suaka posisinya masih disamakan dengan imigran. Padahal definisi antara pengungsi, pencari suaka dan imigran berbeda satu sama lainnya.

B. KENDALA YANG DIHADAPI DALAM MENGHADAPI PERMASALAHAN PENGUNGSI DI INDONESIA

Penanganan pengungsi di Indonesia mengalami kesulitan karena beberapa faktor. Padahal Indonesia menjadi negara utama para pengungsi sebagai negara persinggahan , terutama, ke Australia. Beberapa kendala menjadi penghambat penanganan pengungsi di Indonesia. Kendala-kendala tersebut diantaranya adalah:

(47)

Sampai saat ini Indonesia belum menjadi pihak pada Konvensi Jenewa Tahun 1951 tentang Pengungsi dan Protokol 1967. Negara pihak peserta Konvensi 1951 memiliki tanggung jawab dan wewenang dalam menentukan status serta kelangsungan hidup pengungsi beserta semua implikasinya. Dengan demikian, maka bukan lagi wewenang UNHCR dalam mengurus masalah pengungsi. . Posisi Indonesia sebagai negara bukan peratifkasi konvensi 1951 menyebabkan Indonesia tidak memiliki kewajiban dalam menangani masalah pengungsi. Dalam kondisi yang demikian, Indonesia belum mengeluarkan ketentuan yang memiliki kekuatan yuridis bagi pengungsi dan pencari suaka dan pemerintah Indonesia tidak memiliki keterlibatan yang lebih daripada sebagai negara persinggahan sementara setra membantu mecarikan tempat bagi pengungsi sampai mereka diberangkatkan ke negara tujuan yag ditawarkan atau direpatriasi.

Dengan belum menjadi pihak pada Konvensi Tahun 1951 dan Protokol 1967, maka Pemerintah Indonesia juga tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan penentuan status pengungsi atau yang biasa disebut dengan “Refugee Status Determination”(RSD), sehingga pengaturan permasalahan mengenai pengungsi ditetapkan oleh UNHCR (Badan PBB yang mengurusi soal pengungsi) sesuai dengan mandat yang diterimanya berdasarkan Statuta UNHCR Tahun 1950.25 Kewenangan tersebut dilakukan mengingat bahwa Indonesia bukan negara pihak Konvensi Tahun 1951. Semua negara termasuk yang belum meratifikasi Konvensi Pengungsi wajib menjunjung tinggi standar perlindungan pengungsi yang telah menjadi bagian dari hukum Internasional umum, karena konvensi tersebut sudah menjadi jus cogens, dan tak seorang pengungsi pun dapat dikembalikan ke wilayah di mana hidup atau kebebasannya terancam. 26

25

Atik Krustiyati, op.cit hlm 174.

26 Atik Krustiyati, “Aspek Hukum Internasional Penyelesaian Pengungsi Timor Leste sebagai Upaya Peningkatan

(48)

Indonesia tidak mempunyai payung hukum untuk penanganan pengungsi di Indonesia., padahal dari hari kehari jumlah pengungsi yang masuk ke Indonesia semakin banyak. Ketiadaan peraturan hukum khusus mengenai pengungsi menyebabkan kekosongan hukum dalam menangani pengungsi. Pada level praktis ketiadaan instrument hukum ini telah menimbulkan kebingungan dan tumpang-tindih kewenangan di antara institusi-institusi yang merasa berkepentingan untuk menangani persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pengungsi dan pencari suaka di Indonesia. Dengan adanya kekosongan instrument hukum operasional untuk menjadi rujukan bagi institusi yang berkepentingan untuk mengantisipasi persoalan pengungsi dan pencari suaka ini jelaslah bahwa instrument hukum pengungsi perlu dilembagakan dalam sistem hukum nasional di Indonesia..27

2. Kurangnya Perlindungan Hukum yang Memadai di Indonesia

Persoalan pengungsi di Indonesia masih diposisikan dari sudut pandang imigrasi sehingga semata-mata persoalan pengungsi ini dilihat dari perspektif keimigrasian. Hukum positif keimigrasian di Indonesia tidak memuat ketentuan berlaku secara khusus (lex specialis) bagi pencari suaka dan pengungsi. Misalnya tidak ada prosedur administrasi keimigrasian secara spesifik. Tidak ada ketentuan tentang izin tinggal secara temporer,tempat penampungan, mekanisme penangananm dan proses evaluasinya. Undang-Undang Nomor 9 Tahun1992 tentang keimigrasian yang dirancang akhir 1980-an belum menjadikan HAM sebagai pertimbangan penting sebagai standar di dalamnya.28

Sifat dasar kerangka hukum nasional Indonesia berkaitan dengan Pencari Suaka dan Pengungsi menunjukkan bahwa Pengungsi, Pencari Suaka dan orang-orang tanpa kewarganegaraan diperlakukan sebagai imigran gelap, dan terancam untuk dimasukkan ke dalam Rumah Detensi

27

Wagiman,op cit, hlm.133

28

(49)

Imigrasi (Rudenim) serta secara legal terancam untuk dideportasi. Ini membawa kepada situasi yang membahayakan karena tinggal di Indonesia memiliki resiko untuk ditangkap dan dikembalikan ke negara di mana mereka mengalami ketakutan akan adanya penganiayaan (refoulement).

Bagi negara seperti Indonesia yang memiliki jalur imigrasi akan melihat setiap permasalahan orang asing dari sudut pandang keimigrasian . Orang asing yang masuk ke Indonesia tanpa surat perjalanan dianggap tindakan illegal. Apabila merujuk pada kasus-kasus konkret umumnya pengungsi atau pencari suaka tidak mungkin memiliki dokumen lengkap perjalanan. Sebab tidak mungkin mereka dalam keadaan terpaksa meninggalkan negaranya terlebih dahulu mengurus visa,paspor, atau surat-surat lainnya. Pada kebanyakan kasus yang terjadi ,sebagaian besar dari pengungsi atau pencari suaka tidak memiliki kelengkapan dokumen perjalanan.

Di dalam Pasal 31 Konvensi 1951 menyatakan diamanatkan bahwa jangan sampai pengungsi atau pencari suaka yang masuk ke dalam suatu negara ditahan atau dihukum. Hal tersebut dapat diatasi dengan cara pengungsi atau pencari suaka tersebut melapor kepada pejabat yang memiliki kewenangan dengan mengemukakakan alasan mengapa mereka masuk ke negara yang bersangkutan secara tidak sah. Karena Indonesia bukanlah negara peratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967, senbenarnya Indonesia bisa saja mengenakan hukuman kepada mereka. Namun demikian, berdasarkan hubungan kerjasama yang terjalin antara imigrasi dan UNHCR, maka pihak imigrasi akan segera memberitahu pihak UNHCR yang kemudian akan mewawancarai pencari suaka untuk menentukan statusnya sebagai pengungsi atau bukan.

(50)

Perwakilan UNHCR di Indonesia..Selanjutnya petugas UNHCR akan melakukan sesi wawancara dan menempatkan mereka di suatu tempat yang biayanya dibiayai oleh UNHCR. Seharusnya, penanganan mereka yang mengklaim sebagai di garis depan adalah bagian imigrasi. Masalahnya adalah di Indonesia, Tempat Pelaporan Imigrasi (TPI) hanya berada di beberapa kota besar, sehingga bila di tempat-tempat terpencil seperti di dekat pantai ,maka semestinya daerah setempatlah yang terlebih dahulu ditemui yakni Lurah.

Petugas kepolisian ditemui karena segi kepraktisan saja,sebagai Polsek lebih mudah untuk dijumpai dimana saja dibandingkan dengan imigrasi.Karena Indonesia bukanlah penandatangan Konvensi Pengungsi tahun 1951, pemerintah telah mengizinkan dua lembaga Internasional untuk mengurusi para Pencari Suaka: Kantor United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) yang mengawasi proses penentuan status sebagai Pengungsi, penempatan ke negara ketiga, dan repatriasi.International Organisation for Migration (IOM) bertanggung jawab untuk memberikan bantuan sehari-hari, meliputi penyediaan makanan, akomodasi, dan perawatan kesehatan; Pencari Suaka dan Pengungsi menjadi tanggung jawab IOM sampai mereka ditempatkan ke negara ketiga atau secara sukarela kembali ke negara asal. Baik UNHCR Indonesia maupun IOM Indonesia sangat kekurangan sumber daya dan memiliki beban kerja yang tinggi.29

3. Penentuan Status sebagai Pengungsi

UNHCR beroperasi di Indonesia dengan persetujuan dari Pemerintah Republik Indonesia. Direktur Jendral Keimigrasian Indonesia mengeluarkan Instruksi pada tahun 2010 (No:IMI-1489.UM.08.05) yang menyatakan bahwa orang-orang yang mencari suaka atau status pengungsi harus dirujuk kepada UNHCR untuk mengikuti proses penentuan status sebagai Pengungsi dan bahwa “status dan kehadiran orang asing yang memegang Attestation Letters atau kartu identitas

29

(51)

yang dikeluarkan oleh UNHCR sebagai Pencari Suaka, Pengungsi atau orang yang dilayani oleh UNHCR, harus dihormati”. Orang-orang yang tak memiliki dokumen-dokumen tersebut akan terancam untuk dimasukkan ke dalam Rumah Detensi Imigrasi, terkena denda, dan/atau dideportasi.

Walaupun UNHCR beroperasi di Indonesia dengan izin dari pemerintah Indonesia, kapasitasnya sangat terbatas oleh karena meningkatnya jumlah Pencari Suaka yang mencari bantuan di Indonesia. UNHCR memiliki 60 staff di Indonesia.Para Pencari Suaka yang telah terdaftar dapat mengajukan Pengakuan Status sebagai Pengungsi yang dinilai oleh UNHCR melalui proses yang disebut prosedur Penentuan Status sebagai Pengungsi (Refugee Status Determination/RSD). Para Pencari Suaka diwawancarai oleh petugas RSD yang dibantu oleh seorang penerjemah berkaitan dengan pengajuan mereka untuk mendapatkan perlindungan. Ketika pengajuan untuk mendapatkan perlindungan ditolak, prosedur RSD masih memberikan satu kesempatan lagi untuk mengajukan banding atas keputusan negatif itu.

(52)

Indonesia yang harus diperhatikan. Salah satu solusi yang diajukan adalah menyediakan bantuan hukum mandiri karena “sebagian besar Pencari Suaka dan Pengungsi yang diwawancarai itu tampaknya memiliki sedikit pemahaman tentang substansi hukum dari kasus mereka atau tentang prosedur Penentuan Status sebagai Pengungsi yang dilakukan oleh UNHCR di Indonesia” (Taylor and Rafferty-Brown, 2010).30

4. Penempatan ke Negara ketiga

Pemulangan kembali secara sukarela (apabila konflik di negara asal orang tersebut telah selesai) dan Penyatuan dengan masyarakat setempat Penyatuan dengan masyarakat local tidak mungkin menjadi pilihan di Indonesia karena pemerintah Indonesia tidak mengizinkan para Pengungsi yang sudah mendapatkan pengakuan UNHCR sebagai pengungsi untuk tinggal di negara ini.

Pada tahun 2013, 898 orang telah meninggalkan Indonesia untuk ditempatkan di negara ketiga.Ini merupakan jumlah penempatan tertinggi dari Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir. Sampai dengan 31 Desember 2013, 88 orang pengungsi yang lain telah diterima untuk ditempatkan ke negara ketiga dan sedang menunggu keberangkatan, sementara 966 kasus yang lain telah diajukan oleh UNHCR untuk dipertimbangan penempatannya, dan masih menunggu keputusan dari negara yang bersangkutan. Namun, 2.152 pengungsi yang lain masih menunggu pengajuan atau pengajuan kembali kasus mereka oleh UNHCR kepada negara-negara ketiga.31

5. Kurangnya Layanan Bantuan

Terbatasnya kapasitas UNHCR di Indonesia untuk mengurusi Pencari Suaka yang jumlahnya semakin meningkat dan kurangnya tempat untuk penempatan ke negara ketiga mengakibatkan

30

Ibid

31

(53)

waktu tunggu yang panjang. Kurangnya informasi dan bantuan yang tersedia bagi para Pencari Suaka dan Pengungsi untuk membantu diri mereka sendiri maupunkeluarga mereka mengakibatkan frustrasi dan depresi bagi banyak orang yang dilayani.

Pada umumnya, kurangnya akses terhadap hak atas perawatan kesehatan, pendidikan dan pekerjaan mengakibatkan para pengungsi dan pencari suaka menjadi sangat rentan terhadap kedaruratan kesehatan maupun kehidupan sehari-hari. Daftar tunggu untuk mendapatkan bantuan seperti tempat tinggal dan perawatan kesehatan sangatlah panjang. Tanpa hak untuk bekerja, tidak ada sarana bagi para Pencari Suaka untuk menghidupi diri mereka sendiri dan keluarga mereka ketika mereka transit di Indonesia atau ketika menunggu proses penempatan ke negara ketiga. UNHCR melaporkan bahwa sampai bulan Desember 2013, hanya 322 orang rentan yang dilayani, melalui pelayanan lembaga mitra pelaksana yaitu Church World Service (CWS). Organisasi masyarakat sipil lain seperti Jesuit Refugee Service (JRS) di Indonesia hanya dapat memberikan bantuan yang terbatas untuk makanan dan tempat tinggal. Pada tahun 2013, JRS membantu 143 orang yang berlokasi di Bogor dan Jakarta. Bahkan bagi para Pencari Suaka dan Pengungsi yang telah menerima bantuan, bantuan finansial dari UNHCR dilaporkan sangat sedikit.

(54)

Tidak adanya status hukum yang jelas juga seringkali membatasi kemampuan mereka untuk mendapatkan layanan sosial seperti fasilitas kesehatan dan pendidikan, ketidakmampuan untuk menyekolahkan anak sebagaimana dinyatakan oleh banyak

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian untuk menjelaskan dan menganalisis hak-hak para pengungsi Vietnam telah terpenuhi berdasrkan konvensi Wina 1951 tentang pengungsi baik dari UNHCR maupun

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kedudukan hukum etnis Rohingya dan perlindungannya menurut Hukum Pengungsi Internasional serta untuk mengetahui pemenuhan

Titik Juniati Ismaniar Gede Marhaendra Wija Atmadja, Penerapan “Prinsip non refoulement” Terhadap Pengungsi Dalam Negara yang Bukan Merupakan Peserta konvensi Mengenai

Etnis Rohingya telah mengalami berbagai tekanan dan perlakuan-per- lakuan diskriminatif sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 Konvensi ten- tang Pengungsi yang

Kekhawatiran Meningkatnya Jumlah Pengungsi dan Kejahatan Lintas Batas Negara (Transnasional). Jika kedua rezim pengungsi tersebut diratifikasi, pemerintah berkewajiban

Indonesia sampai dengan saat ini belum memiliki regulasi yang jelas mengenai penanganan pengungsi internasional dan Indonesia bukan termasuk negara

Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan Amerika Serikat tentang penangguhan seluruh penerimaan pengungsi yang ditinjau dari Konvensi tentang Status Pengungsi

Titik Juniati Ismaniar Gede Marhaendra Wija Atmadja, Penerapan “Prinsip non refoulement” Terhadap Pengungsi Dalam Negara yang Bukan Merupakan Peserta konvensi Mengenai