BAB II
ASPEK PERLINDUNGAN PENGUNGSI DILIHAT DARI HUKUM NASIONAL
A. Instrumen Hukum Nasional Terkait Masalah Pengungsi
Indonesia termasuk negara yang bukan merupakan peserta dari Konvensi 1951 dan
Protokol 1967 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia belum ada yang
secara khusus menyoroti masalah tentang pengungsi. Meskipun demikian, pemerintah Indonesia
tidak bisa lepas tangan terhadap permasalahan pengungsi yang berada di wilayah
Indonesia.Selain itu, Indonesia merupakan anggota aktif dari Persatuan Bangsa Bangsa (PBB)
Indonesia mempunyai tanggung jawab dan hukum dalam menjunjung tinggi nilai-nilai Hak
Asasi Manusia (HAM) baik bagi warga negara Indonesia maupun bangsa negara lain. Hal
tersebut dapat kita lihat dari Undang-Undang Dasar republik Indonesia 1945(UUD RI 1945), sila
ke-2 Pancasila yang berbunyi “ kemanusiaan yang adil dan beradab” dan alinea ke-4 pembukaan
UUD RI 1945 beserta perubahannya dan juga Undang-Undang Republik Indonesia No 39 tahun
1999 tentang HAM Terlihat jelas bahwa pemerintah Republik Indonesia memberi apresiasi
terhadap perlindungan,penegakan, pemenuhan dan pemajuan HAM.24
Permasalahan pengungsi Internasional tidak terkecuali menjadi tugas pemerintah, apalagi
pengungsi-pengungsi Internasional tersebut berada di wilayah negara Indonesia. Beberapa
undang-undang menyinggung tentang masalah penanganan pengungsi, meskipun begitu belum
ada peraturan perundang-undangan khusus yang membahas tentang pengungsi.Meskipun belum
ada ketentuan hukum khusus yang membahas tentang pengungsi dan pencari suaka di dalam
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, masalah pengungsi telah dibahas pada beberapa
24
peraturan perundang-undangan di Indonesia,meskipun masalah pengungsi dibahas secara
terbatas. Di dalam pasal 28 G ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen ke-4 tahun
2000) menyatakan: “ Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusiadan berhak memperoleh suaka politik dari Negara lain.”
Dengan adanya pasal diatas di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan Konstitusi
dari Negara Republik Indonesia , dapat kita lihat bahwa hak untuk mencari suaka telah
ditegaskan dan hak untuk mencari suaka tersebut merupakan hak yang dijamin secara
konstitusional.
Hal mengenai penegasan hak untuk mencari suaka tidak hanya dituangkan di dalam pasal
28 G UUD 1945 (Amandemen ke-4 tahun 2000) namun juga ditegaskan dalam pasal 28
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Dalam pasal 28 Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
disebutkan:
1. Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindunganpolitik dari negara
lain.
2. Hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi mereka yang melakukan
kejahatan non politik atau perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Salah satu bagian di dalam Tap MPR No.XVII/MPR/1998 yang terdiri dari tiga bagian yang
mengakui keberadaan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang mana di dalam
salah satu pasalnya yaitu pasal 24 menyatakan: “ Setiap orang berhak untuk mencari suaka untuk
memperoleh perlindungan politik dari Negara lain”
Meskipun bukan sebagai Negara yang meratifikasi Konvensi pengungsi 1951 dan Protokol
dan Perlakuan Lain yang Kejam ,Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia yang
menyebabkan terlahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1998 menyatakan bahwa:
“ Tidak boleh ada Negara yang menolak,mengembalikan,mengekstradisi seseorang ke
Negara yang mana terdapat keyakinan/alas an yang kuat bahawa dia akan berbahaya karena
menjadi sasaran penyiksaan
Masalah ini juga kemudian di bahas di dalam UU No. 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar
Negeri di dalam pasal 25 hingga pasal 27.
pasal 25 UU No. 37 Tahun 1999 menyebutkan :
1. Kewenangan pemberian suaka kepada orang asing berada di tangan Presiden dengan
memperhatikan pertimbangan Menteri.
2. Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Keputusan Presiden.
Pasal 26 Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 meyebutkan bahwa: Pemberian suaka kepada
orang asing dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional
3. serta dengan memperhatikan hukum, kebiasaan, dan praktek Internasional.
Pasal 26 Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 meyebutkan bahwa: Pemberian suaka
kepada orang asing dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional
serta dengan memperhatikan hukum, kebiasaan, dan praktek Internasional.
Pasal 27 Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 meyebutkan :
1. Presiden menetapkan kebijakan masalah pengungsi dari luar negeri dengan
2. Pokok-pokok kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan
Presiden.
UU No. 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri pada Bab VI Pasal 25-27 yang
selama ini digunakan sebagai acuan dalam pemberian suaka dan penanganan pengungsi, sama
sekali tidak menjelaskan secara khusus bagaimana proses pemberian suaka maupun penanganan
pengungsi yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Peraturan dan UU yang dibuat oleh
pemerintah tersebut, pada dasarnya sudah tidak dapat lagi menjawab permasalahan pengungsi di
Indonesia.
Indonesia merupakan Negara peserta yang meratifikasi Konvensi Hak Sipil dan Politik.
Yang berakhir dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 yang merupakan
pengesahan dari konvensi tersebut. Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005
menyatakan bahwa :
“Setiap orang bebas meninggalkan negara manapun termasuk negaranya.”
Pasal 1 ayat (9) Undang-undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian disebutkan mengenai
ketentuan bagi orang asing bahwa Orang Asing adalah orang yang bukan warga negara
Indonesia. Di dalam Undang-Undang Keimigrasian bahwa seorang pengungsi atau pencari suaka
merujuk pada pasal tersebut bahwa mereka masih termasuk dalam golongan umum yaitu disebut
dan disetarakan sebagai orang asing. Itulah yang menyebabkan Indonesia masih belum
meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dikarenakan masih ada instrument hukum nasional yang
mengatur mengenai pengungsi.
Di dalam Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI-1489.UM08.05 Tahun 2010
disebutkan dalam pasal 1 sampai pasal 6 tentang penangan pengungsi dan pencari suka.
Pasal 1
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Imigran ilegal adalah orang asing yang masuk ke dan atau berada di wilayah Indonesia
tidak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. United Nation High Commissioner for Refugees yang selanjutnya disebutsebagai
UNHCR yang berkedudukan di Indonesia adalah Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa
Bangsa untuk Pengungsi yang memberikan perlindungan dan bantuan kepada pengungsi
dan pencari suaka berdasarkan Memorandum Saling Pengertian dengan Pemerintah
Republik Indonesia.
Pasal 2
1. Imigran ilegal yang saat diketahui berada di Indonesia, dikenakan tindakan keimigrasian.
2. Dalam hal imigran ilegal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan keinginan
untuk mencari suaka dan/atau karena alas an tertentu tidak dapat dikenakan
pendeportasian, dikoordinasikan dengan organisasi Internasional yang menangani
masalah pengungsi atau UNHCR untuk penentuan statusnya.
Pasal 3
1. Imigran ilegal dapat tidak dipermasalahkan status izin tinggalnya selama berada di
Indonesia dalam hal:
a. telah memperoleh Attestation Letter atau Surat Keterangan sebagaipencari suaka;
b. berstatus sebagai seseorang yang berada di bawah perlindunganUNHCR; atau
2. Terhadap Imigran ilegal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditempatkan
ditempat tertentu dengan fasilitas organisasi Internasional fasilitasi organisasi UNHCR
dan wajib dilaporkan keberadaannya oleh UNHCR kepada Direktur jenderal Imigrasi:
a. dapat ditempatkan ditempat tertentu dengan Internasional yang menangani masalah
pengungsi atau UNHCR sambil menunggupenentuan statusnya; dan
b. wajib dilaporkan oleh UNHCR kepada Direktur Penyidikan dan Penindakan
Keimigrasian.
3. Penempatan imigran ilegal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) :
a. Wajib mentaati ketentuan peraturan perundang-undangan dan mengisi surat pernyataan yang
formatnya sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Direktur Jenderal ini; dan
b. Pengawasan penempatannya menjadi tanggung jawab Kepala Kantor Imigrasi setempat.
Pasal 4
1. Imigran ilegal yang ditolak permohonan suakanya dan telah ditutup kasusnya oleh
UNHCR wajib dilaporkan oleh UNHCR kepada DirekturJenderal Imigrasi.
2. Terhadap Imigran Ilegal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan Tindakan
Keimigrasian.
Pasal 5
1. Dalam hal imigran ilegal memperoleh Attestation Letter atau Surat Keterangan sebagai
pencari suaka atau sebagai seseorang yang berada dibawah perlindungan UNHCR atau
mendapatkan status pengungsi dari UNHCR yang tidak berkedudukan di Indonesia,
2. Dalam hal imigran ilegal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karena alas an tertentu
tidak dapat dikenakan tindakan keimigrasian, untuk dikoordinasikan dengan organisasi
Internasional yang menangani masalah pengungsian dan/atau UNHCR.
Pasal 6
Segala sesuatu yang berkaitan dengan tempat tinggal dan biaya hidup imigran ilegal
selama dalam proses atau berada di bawah perlindungan UNHCR, tidak menjadi
beban/tanggungan Kantor Imigrasi, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM, atau
Direktorat Jenderal Imigrasi.
Pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 Pasal 5 ayat (1) tentang ekstradisi disebutkan
bahwa :
“Ekstradisi tidak diberlakukan terhadap kejahatan politik”
Hal tersebut kemudian diperjelas dalam Pasal 14 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979
tentang ekstradisi yaitu:
“ Permintaan ekstradisi ditolak,jika terdapat sangkaan yang cukup kuat,bahwa yang
dimintakan ekstradisinya akan dituntut, dipidana,atau dikenakan tindakan lain karena alasan
yang bertalian dengan agamanya, keyakinan politiknya atau kewarganegaraannya, atau karena ia
termasuk suatu suku bangsa atau golongan penduduk tertentu.”
Berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum di atas,sudah jelas bahwa Indonesia tidak bisa
lepas tangan di dalam penanganan pengungsi. Dan pemerintah Indonesia juga tidak bisa menolak
kehadiran para pengungsi dan pencari suaka. Hal tersebut disebabkan Indonesia merupakan salah
satu negara yang meratifikasi Konvensi Hak Sipil Dan Politik dan Menentang Penyiksaan dan
konvensi tersebut merupakan konvensi dimana prinsip Non-refoulment menjadi fondasinya.
Prinsip non-refoulmentPrinsip non refoulement merupakan aspek dasar hukum pengungsi yang
melarang negara untuk mengusir atau mengembalikan seseorang ke negara asalnya dimana
kehidupan dan kebebasannya akan terancam. Prinsip non refoulement merupakan aspek dasar
dari hukum pengungsi dan telah dikembangkan menjadi norma jus cogens dan kebiasaan hukum
Internasional sehingga prinsip ini harus tetap diterapkan di suatu negara dimana pengungsi
mencari perlindungan, walaupun negara tersebut bukan merupakan negara peserta peratifikasi
Konvensi 1951.
Mekanisme penanganan pengungsi di Indonesia bergantung kepada bagaimana kita
melihat pengungsi tersebut dan dari sudut pandang mana. Sejauh ini permasalahan pengungsi di
Indonesia hanya dilihat dari sudut pandang keimigrasian. Masalah pengungsi di Indonesia belum
dilihat dari sudut pandang HAM. Para pengungsi dan pencari suaka posisinya masih disamakan
dengan imigran. Padahal definisi antara pengungsi, pencari suaka dan imigran berbeda satu sama
lainnya.
B. KENDALA YANG DIHADAPI DALAM MENGHADAPI PERMASALAHAN PENGUNGSI DI INDONESIA
Penanganan pengungsi di Indonesia mengalami kesulitan karena beberapa faktor. Padahal
Indonesia menjadi negara utama para pengungsi sebagai negara persinggahan , terutama, ke
Australia. Beberapa kendala menjadi penghambat penanganan pengungsi di Indonesia.
Kendala-kendala tersebut diantaranya adalah:
Sampai saat ini Indonesia belum menjadi pihak pada Konvensi Jenewa Tahun 1951 tentang
Pengungsi dan Protokol 1967. Negara pihak peserta Konvensi 1951 memiliki tanggung jawab
dan wewenang dalam menentukan status serta kelangsungan hidup pengungsi beserta semua
implikasinya. Dengan demikian, maka bukan lagi wewenang UNHCR dalam mengurus masalah
pengungsi. . Posisi Indonesia sebagai negara bukan peratifkasi konvensi 1951 menyebabkan
Indonesia tidak memiliki kewajiban dalam menangani masalah pengungsi. Dalam kondisi yang
demikian, Indonesia belum mengeluarkan ketentuan yang memiliki kekuatan yuridis bagi
pengungsi dan pencari suaka dan pemerintah Indonesia tidak memiliki keterlibatan yang lebih
daripada sebagai negara persinggahan sementara setra membantu mecarikan tempat bagi
pengungsi sampai mereka diberangkatkan ke negara tujuan yag ditawarkan atau direpatriasi.
Dengan belum menjadi pihak pada Konvensi Tahun 1951 dan Protokol 1967, maka
Pemerintah Indonesia juga tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan penentuan status
pengungsi atau yang biasa disebut dengan “Refugee Status Determination”(RSD), sehingga
pengaturan permasalahan mengenai pengungsi ditetapkan oleh UNHCR (Badan PBB yang
mengurusi soal pengungsi) sesuai dengan mandat yang diterimanya berdasarkan Statuta UNHCR
Tahun 1950.25 Kewenangan tersebut dilakukan mengingat bahwa Indonesia bukan negara pihak
Konvensi Tahun 1951. Semua negara termasuk yang belum meratifikasi Konvensi Pengungsi
wajib menjunjung tinggi standar perlindungan pengungsi yang telah menjadi bagian dari hukum
Internasional umum, karena konvensi tersebut sudah menjadi jus cogens, dan tak seorang
pengungsi pun dapat dikembalikan ke wilayah di mana hidup atau kebebasannya terancam. 26
25
Atik Krustiyati, op.cit hlm 174. 26
Atik Krustiyati, “Aspek Hukum Internasional Penyelesaian Pengungsi Timor Leste sebagai Upaya Peningkatan Hubungan Bilateral Antara Indonesia dan Timor Leste”,Jurnal Yustika, Vol.II, No.1-Juli 2008
Indonesia tidak mempunyai payung hukum untuk penanganan pengungsi di Indonesia.,
padahal dari hari kehari jumlah pengungsi yang masuk ke Indonesia semakin banyak. Ketiadaan
peraturan hukum khusus mengenai pengungsi menyebabkan kekosongan hukum dalam
menangani pengungsi. Pada level praktis ketiadaan instrument hukum ini telah menimbulkan
kebingungan dan tumpang-tindih kewenangan di antara institusi-institusi yang merasa
berkepentingan untuk menangani persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pengungsi dan
pencari suaka di Indonesia. Dengan adanya kekosongan instrument hukum operasional untuk
menjadi rujukan bagi institusi yang berkepentingan untuk mengantisipasi persoalan pengungsi
dan pencari suaka ini jelaslah bahwa instrument hukum pengungsi perlu dilembagakan dalam
sistem hukum nasional di Indonesia..27
2. Kurangnya Perlindungan Hukum yang Memadai di Indonesia
Persoalan pengungsi di Indonesia masih diposisikan dari sudut pandang imigrasi sehingga
semata-mata persoalan pengungsi ini dilihat dari perspektif keimigrasian. Hukum positif
keimigrasian di Indonesia tidak memuat ketentuan berlaku secara khusus (lex specialis) bagi
pencari suaka dan pengungsi. Misalnya tidak ada prosedur administrasi keimigrasian secara
spesifik. Tidak ada ketentuan tentang izin tinggal secara temporer,tempat penampungan,
mekanisme penangananm dan proses evaluasinya. Undang-Undang Nomor 9 Tahun1992 tentang
keimigrasian yang dirancang akhir 1980-an belum menjadikan HAM sebagai pertimbangan
penting sebagai standar di dalamnya.28
Sifat dasar kerangka hukum nasional Indonesia berkaitan dengan Pencari Suaka dan Pengungsi
menunjukkan bahwa Pengungsi, Pencari Suaka dan orang-orang tanpa kewarganegaraan
diperlakukan sebagai imigran gelap, dan terancam untuk dimasukkan ke dalam Rumah Detensi
27
Wagiman,op cit, hlm.133 28
Imigrasi (Rudenim) serta secara legal terancam untuk dideportasi. Ini membawa kepada situasi
yang membahayakan karena tinggal di Indonesia memiliki resiko untuk ditangkap dan
dikembalikan ke negara di mana mereka mengalami ketakutan akan adanya penganiayaan
(refoulement).
Bagi negara seperti Indonesia yang memiliki jalur imigrasi akan melihat setiap permasalahan
orang asing dari sudut pandang keimigrasian . Orang asing yang masuk ke Indonesia tanpa surat
perjalanan dianggap tindakan illegal. Apabila merujuk pada kasus-kasus konkret umumnya
pengungsi atau pencari suaka tidak mungkin memiliki dokumen lengkap perjalanan. Sebab tidak
mungkin mereka dalam keadaan terpaksa meninggalkan negaranya terlebih dahulu mengurus
visa,paspor, atau surat-surat lainnya. Pada kebanyakan kasus yang terjadi ,sebagaian besar dari
pengungsi atau pencari suaka tidak memiliki kelengkapan dokumen perjalanan.
Di dalam Pasal 31 Konvensi 1951 menyatakan diamanatkan bahwa jangan sampai
pengungsi atau pencari suaka yang masuk ke dalam suatu negara ditahan atau dihukum. Hal
tersebut dapat diatasi dengan cara pengungsi atau pencari suaka tersebut melapor kepada pejabat
yang memiliki kewenangan dengan mengemukakakan alasan mengapa mereka masuk ke negara
yang bersangkutan secara tidak sah. Karena Indonesia bukanlah negara peratifikasi Konvensi
1951 dan Protokol 1967, senbenarnya Indonesia bisa saja mengenakan hukuman kepada mereka.
Namun demikian, berdasarkan hubungan kerjasama yang terjalin antara imigrasi dan UNHCR,
maka pihak imigrasi akan segera memberitahu pihak UNHCR yang kemudian akan
mewawancarai pencari suaka untuk menentukan statusnya sebagai pengungsi atau bukan.
Mekanisme penanganan pengungsi di Indonesia yang biasa dilakukan adalah melaporkan
kepada kepolisian setempat. Kemudian, kepolisian setempat akan melaporkkan ke Mabes Polri.
Perwakilan UNHCR di Indonesia..Selanjutnya petugas UNHCR akan melakukan sesi wawancara
dan menempatkan mereka di suatu tempat yang biayanya dibiayai oleh UNHCR. Seharusnya,
penanganan mereka yang mengklaim sebagai di garis depan adalah bagian imigrasi. Masalahnya
adalah di Indonesia, Tempat Pelaporan Imigrasi (TPI) hanya berada di beberapa kota besar,
sehingga bila di tempat-tempat terpencil seperti di dekat pantai ,maka semestinya daerah
setempatlah yang terlebih dahulu ditemui yakni Lurah.
Petugas kepolisian ditemui karena segi kepraktisan saja,sebagai Polsek lebih mudah
untuk dijumpai dimana saja dibandingkan dengan imigrasi.Karena Indonesia bukanlah
penandatangan Konvensi Pengungsi tahun 1951, pemerintah telah mengizinkan dua lembaga
Internasional untuk mengurusi para Pencari Suaka: Kantor United Nations High Commissioner
for Refugees (UNHCR) yang mengawasi proses penentuan status sebagai Pengungsi,
penempatan ke negara ketiga, dan repatriasi.International Organisation for Migration (IOM)
bertanggung jawab untuk memberikan bantuan sehari-hari, meliputi penyediaan makanan,
akomodasi, dan perawatan kesehatan; Pencari Suaka dan Pengungsi menjadi tanggung jawab
IOM sampai mereka ditempatkan ke negara ketiga atau secara sukarela kembali ke negara asal.
Baik UNHCR Indonesia maupun IOM Indonesia sangat kekurangan sumber daya dan memiliki
beban kerja yang tinggi.29
3. Penentuan Status sebagai Pengungsi
UNHCR beroperasi di Indonesia dengan persetujuan dari Pemerintah Republik Indonesia.
Direktur Jendral Keimigrasian Indonesia mengeluarkan Instruksi pada tahun 2010
(No:IMI-1489.UM.08.05) yang menyatakan bahwa orang-orang yang mencari suaka atau status pengungsi
harus dirujuk kepada UNHCR untuk mengikuti proses penentuan status sebagai Pengungsi dan
bahwa “status dan kehadiran orang asing yang memegang Attestation Letters atau kartu identitas
29
yang dikeluarkan oleh UNHCR sebagai Pencari Suaka, Pengungsi atau orang yang dilayani oleh
UNHCR, harus dihormati”. Orang-orang yang tak memiliki dokumen-dokumen tersebut akan
terancam untuk dimasukkan ke dalam Rumah Detensi Imigrasi, terkena denda, dan/atau
dideportasi.
Walaupun UNHCR beroperasi di Indonesia dengan izin dari pemerintah Indonesia,
kapasitasnya sangat terbatas oleh karena meningkatnya jumlah Pencari Suaka yang mencari
bantuan di Indonesia. UNHCR memiliki 60 staff di Indonesia.Para Pencari Suaka yang telah
terdaftar dapat mengajukan Pengakuan Status sebagai Pengungsi yang dinilai oleh UNHCR
melalui proses yang disebut prosedur Penentuan Status sebagai Pengungsi (Refugee Status
Determination/RSD). Para Pencari Suaka diwawancarai oleh petugas RSD yang dibantu oleh
seorang penerjemah berkaitan dengan pengajuan mereka untuk mendapatkan perlindungan.
Ketika pengajuan untuk mendapatkan perlindungan ditolak, prosedur RSD masih memberikan
satu kesempatan lagi untuk mengajukan banding atas keputusan negatif itu.
Pada umumnya, bantuan dan nasihat hukum tidak disediakan, sehingga banyak keputusan
negatif itu merupakan akibat dari Pencari Suaka yang tidak memahami proses yang harus mereka
patuhi, akibat dari kendala bahasa, ketakutan untuk berbicara kepada pihak yang berwenang, dan
karena mereka tidak mengetahui hak dan tanggung jawab mereka sebagai orang yang
mengajukan status sebagai Pengungsi. Dalam praktiknya, hak untuk mendapatkan Penasihat
Hukum bagi para Pencari Suaka dan Pengungsi juga belum sepenuhnya diakui oleh UNHCR dan
pemerintah. Hal ini membahayakan integritas proses RSD karena Pencari Suaka tidak
sepenuhnya menyadari hak-hak dan tanggung jawab mereka, maupun proses yang melibatkan
mereka. Penelitian yang dilakukan oleh para akademisi dari Australia menunjukkan bahwa
Indonesia yang harus diperhatikan. Salah satu solusi yang diajukan adalah menyediakan bantuan
hukum mandiri karena “sebagian besar Pencari Suaka dan Pengungsi yang diwawancarai itu
tampaknya memiliki sedikit pemahaman tentang substansi hukum dari kasus mereka atau tentang
prosedur Penentuan Status sebagai Pengungsi yang dilakukan oleh UNHCR di Indonesia”
(Taylor and Rafferty-Brown, 2010).30
4. Penempatan ke Negara ketiga
Pemulangan kembali secara sukarela (apabila konflik di negara asal orang tersebut telah
selesai) dan Penyatuan dengan masyarakat setempat Penyatuan dengan masyarakat local tidak
mungkin menjadi pilihan di Indonesia karena pemerintah Indonesia tidak mengizinkan para
Pengungsi yang sudah mendapatkan pengakuan UNHCR sebagai pengungsi untuk tinggal di
negara ini.
Pada tahun 2013, 898 orang telah meninggalkan Indonesia untuk ditempatkan di negara
ketiga.Ini merupakan jumlah penempatan tertinggi dari Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir.
Sampai dengan 31 Desember 2013, 88 orang pengungsi yang lain telah diterima untuk
ditempatkan ke negara ketiga dan sedang menunggu keberangkatan, sementara 966 kasus yang
lain telah diajukan oleh UNHCR untuk dipertimbangan penempatannya, dan masih menunggu
keputusan dari negara yang bersangkutan. Namun, 2.152 pengungsi yang lain masih menunggu
pengajuan atau pengajuan kembali kasus mereka oleh UNHCR kepada negara-negara ketiga.31
5. Kurangnya Layanan Bantuan
Terbatasnya kapasitas UNHCR di Indonesia untuk mengurusi Pencari Suaka yang jumlahnya
semakin meningkat dan kurangnya tempat untuk penempatan ke negara ketiga mengakibatkan
30 Ibid
waktu tunggu yang panjang. Kurangnya informasi dan bantuan yang tersedia bagi para Pencari
Suaka dan Pengungsi untuk membantu diri mereka sendiri maupunkeluarga mereka
mengakibatkan frustrasi dan depresi bagi banyak orang yang dilayani.
Pada umumnya, kurangnya akses terhadap hak atas perawatan kesehatan, pendidikan dan
pekerjaan mengakibatkan para pengungsi dan pencari suaka menjadi sangat rentan terhadap
kedaruratan kesehatan maupun kehidupan sehari-hari. Daftar tunggu untuk mendapatkan bantuan
seperti tempat tinggal dan perawatan kesehatan sangatlah panjang. Tanpa hak untuk bekerja,
tidak ada sarana bagi para Pencari Suaka untuk menghidupi diri mereka sendiri dan keluarga
mereka ketika mereka transit di Indonesia atau ketika menunggu proses penempatan ke negara
ketiga. UNHCR melaporkan bahwa sampai bulan Desember 2013, hanya 322 orang rentan yang
dilayani, melalui pelayanan lembaga mitra pelaksana yaitu Church World Service (CWS).
Organisasi masyarakat sipil lain seperti Jesuit Refugee Service (JRS) di Indonesia hanya dapat
memberikan bantuan yang terbatas untuk makanan dan tempat tinggal. Pada tahun 2013, JRS
membantu 143 orang yang berlokasi di Bogor dan Jakarta. Bahkan bagi para Pencari Suaka dan
Pengungsi yang telah menerima bantuan, bantuan finansial dari UNHCR dilaporkan sangat
sedikit.
Para pencari Suaka dan Ppengungsi hanya dapat menerima layanan dari Internasional
Organization for Migration (IOM) melalui rujukan dari petugas Imigrasi, akibatnya banyak dari
antara mereka menjadi terlantar.Pencari Suaka dan Pengungsi di Indonesia juga tidak dapat
memperoleh dokumen identitas setempat seperti surat izin status resmi yang dikenal sebagai
Kartu Tanda Penduduk (KTP), atau kartu identitas nasional. Tanpa dokumen itu mereka tak
Tidak adanya status hukum yang jelas juga seringkali membatasi kemampuan mereka
untuk mendapatkan layanan sosial seperti fasilitas kesehatan dan pendidikan, ketidakmampuan
untuk menyekolahkan anak sebagaimana dinyatakan oleh banyak keluarga pencari suaka dan
pengungsi, sungguh sangat memprihatinkan. Anak-anak Pencari Suaka dan Pengungsi yang lahir
ketika orang tuanya berada di Indonesia juga tidak dapat mendapatkan akte kelahiran. Sebagian
kelompok Pencari Suaka dan Pengungsi sangat rentan menjadi tunawisma. Keluarga-keluarga
yang memiliki anak-anak kecil dan anak-anak tanpa pendamping, misalnya, sangatlah beresiko.
Kelompok rentan lainnya di Indonesia meliputi mereka yang mengalami penganiayaan dan
trauma; orang-orang difabel atau mereka yang memiliki masalah kesehatan mental, perempuan
lajang, dan gadis remaja.32
6. Rumah Detensi Imigrasi
Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) semakin banyak digunakan sebagai tempat untuk
menampung para imigran, yang meliputi Pengungsi, Pencari Suaka dan orang-orang tanpa
kewarganegaraan yang tidak akan secara biasanya berada dalam posisi mendapatkan jalur
migrasi yang “biasa”. Jaringan Pembela Hak-hak Pengungsi kawasan Asia Pasifik (Asia Pacific
Refugee Rights Network/APRRN) telah menegaskan keprihatinan tentang Detensi Imigrasi di
kawasan ini sebagai berikut:
a. Penggunaan penahanan sewenang-wenang dan yang tidak diperlukan yang tidak
memenuhi standar Internasional
b. Pengabaian hak-hak dasar
c. Pembatasan terhadap prosedur suaka dan bantuan hukum, dan
d. Penahanan terhadap kelompok rentan seperti anak-anak, anak-anak tanpa pendamping,
perempuan hamil, orang lanjut usia, dan orang-orang yang mengalami gangguan
kesehatan fisik dan mental.
Rumah-rumah Detensi Imigrasi Indonesia dijalankan oleh pemerintah Indonesia, namun
sistemnya tidak memiliki mekanisme pengawaan yang memadai, tidak transparan atau tak
memiliki prosedur pengaduan. Ini mengakibatkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia
menjadi hal yang biasa terjadi.
Beberapa kasus pelecehan dan pelanggaran hak asasi manusia di Rumah-rumah Detensi
Imigrasi Indonesia telah didokumentasikan. Pelanggaran-pelanggaran yang terdokumentasikan
itu meliputi laporan tentang Pencari Suaka yang dipenjara di dalam sel selama berbulan-bulan
tanpa diizinkan untuk pergi ke ruang umum atau ke luar ruangan, Pencari Suaka ditahan di dalam
fasilitas penjara daripada di Rumah Detensi Imigrasi, pemerasan dan kekerasan fisik. Sayangnya,
Indonesia tidak memiliki sistem pengawasan independen maupun prosedur pengaduan yang
memadai. Perlakuan yang diberikan bersifat sewenang-wenang dan sangat beragam dari satu
Rudenim ke satu Rudenim lain. Praktik korupsi dan suap sering terjadi di mana-mana.
Undang-undang Indonesia menyatakan bahwa warga negara lain dapat ditahan apabila
mereka memasuki dan tinggal di negara ini tanpa dokumen yang dibutuhkan. Tidak ada kriteria
tentang siapa yang semestinya (atau tidak boleh) ditahan, dan berapa lama. Ada
peraturan-peraturan yang mengizinkan untuk membebaskan sekelompok orang tertentu dari Rumah
Detensi Imigrasi, seperti anak-anak, untuk ditangani oleh oraganisasi-oraganisasi Internasional
(seperti International Organization for Migration atau lembaga mitra dari UNHCR). UNHCR
telah melaporkan bahwa sampai dengan 31 Desember 2013, ada 1.773 orang yang berada di
Dari anatara mereka yang ditahan, 274 orang merupakan perempuan dan 297 anak-anak (dan 87
anak di antaranya adalah anak-anak tanpa pendamping).33
a. Kebebasan mempraktekkan agama dan pendidikan agama bagi anak-anak pengungsi
(Pasal 4);
C. PERLUNYA INDONESIA MERATIFIKASI KONVENSI 1951
Keberadaan pengungsi yang jumlahnya cenderung meningkat yang membuat usaha
penanganan pengungsi terus diperhatikan oleh pemerintah Indonesia. Disisi lain, Indonesia tidak
memiliki undang-undang khusus atau peraturan hukum nasional mengenai pengungsi maupun
pencari suaka. Indonesia memang memiliki acuan dalam pemberian suaka dan penanganan
pengungsi seperti yang tertuang dalam UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Internasional.
Akan tetapi pada pelaksanaanya peraturan tersebut kurang efektif dikarenakan sudah tidak up to
date untuk menangani permasalahan pengungsi saat ini, dikarenakan undang-undang tersebut
tidak menjelaskan secara eksplisit bagaimana penanganan pengungsi yang harus dilakukan.
Dengan belum diratifikasinya Konvensi 1951 dan Protokol 1967 maka pemerintah
Indonesia tidak punya wewenang dalam menangani masalah pengungsi yang berada di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga wewenang penuh dalam menangani pengungsi
diberikan kepada UNHCR. Sebelum menjadi pihak pada Konvensi 1951 dan atau Protokol 1967,
ada baiknya melihat hak apa saja yang dipunyai oleh pengungsi, agar dapat dipertimbangkan
apakah suatu negara khususnya Pemerintah Indonesia mampu memenuhi hak tersebut ataukah
tidak. Beberapa hak tersebut antara lain:
b. Hak atas milik bergerak dan tidak bergerak (Pasal 13);
c. Hak berserikat (Pasal 15); 4. Hak berswakarya (Pasal 18);
d. Hak menjalankan profesi liberal (Pasal 19);
e. Hak atas pendidikan (Pasal 22);
f. Hak atas kondisi kerja yang layak dan jaminan sosial (Pasal 24);
g. Kebebasan berpindah tempat (Pasal 26).
Mencermati beberapa hak tersebut di atas, maka yang tidak boleh direservasi adalah
ketentuan Pasal 4. Pasal-pasal lain yang tidak boleh dilakukan reservasi, dapat dilihat dalam
ketentuan pasal 42 Konvensi 1951, yaitu:
a. . Definisi istilah pengungsi (pasal 1);
b. Non diskriminasi (pasal 3);
c. Kebebasan beragama (pasal 4 );
d. Akses ke pengadilan (pasal 6 ayat 1);
e. Non Refoulement (pasal 33)
f. Klausula akhir (pasal 36-46).
1. Landasan Teori dan Konseptual
Terdapat landasan teori dan konseptual yang melatarbelakangi perlunya Indonesia
meratfikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 antara lain:
a. Konsep Kepentingan Nasional (National Interest)
Kepentingan Nasional (National Interest) adalah tujuan-tujuan yang ingin dicapai
sehubungan dengan kebutuhan bangsa/negara atau sehubungan dengan hal yang
dicita-citakan.Dalam hal ini kepentingan nasional yang relatif tetap dan sama diantara semua negara
adalah keamanan (security) mencakup kelangsungan hidup rakyatnya dan kebutuhan wilayah
pokok bagi para pengambil keputusan (decision makers) masing-masing negara sebelum
merumuskan dan menetapkan sikap atau tindakan.34
Konsep kepentingan nasional mengarah kepada tujuan kesejahteraan negara di dunia
Internasional, seperti memelihara dan menjaga interdependensi politik serta integritas teritori
negara. Selain itu, kepentingan nasional sejatinya berbanding lurus dengan keamanan nasional. 35
Donald E. Nuchterlein menyatakan bahwa kepentingan nasional adalah kebutuhan dan tujuan
yang ingin dicapai suatu negara yang juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan eksternal36
b. Teori Rezim Internasional (International Regime Theory)
. Dalam
hal ratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967, pemerintah merasa perlu memperhatikan dan
mempertimbangkan kondisi dan resiko pasca ratifikasi, yang sangat mempengaruhi kepentingan
dasar negara berupa physical safety dan material well-being agar dapat mencapai kepentingan
nasional tingkat core values.
Teori rezim berasal dari tradisi liberal yang berargumen bahwa berbagai institusi atau rezim
Internasional mempengaruhi perilaku negara-negara (maupun actor Internasional yang lain).
Rezim Internasional dipahami sebagai bentuk-bentuk institusionalisasi perilaku yang didasarkan
pada norma ataupun aturan untuk mengelola konflik dan masalah-masalah saling ketergantungan
di berbagai bidang dalam hubungan Internasional. Stephen D. Krasner mendefinisikan rezim
Internasional sebagai seperangkat prinsip-prinsip, norma-norma, aturan-aturan, dan
prosedur-prosedur pembuatan keputusan baik eksplisit maupun implisit di mana harapan-harapan para
34
Ria Rosiana Simbolon,Penundaan Ratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 Tentang Status Pengungsi Oleh Pemerintah Indonesia(jurnal), Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman,Samarinda,2004,hlm.452.
35
Felix E Oppenheim, National Interest, Rationality, and Morality : Political Theory, Vol.15, No. 3, 1987.hlm.369-389.
36
aktoraktor yang ada berkumpul dalam sebuah wilayah hubungan tertentu. Rezim Internasional
membantu negara-negara untuk konsisten dengan apa yang menjadi tujuan dan ekspektasi
mereka dalam menyikapi sebuah isu tertentu karena rezim Internasional sifatnya sangat spesifik
dan cenderung hanya berfokus pada satu hal saja. Perjanjian merupakan kesepakatan adhoc,
sebaliknya rezim memfasilitasi pembuatan kesepakatan-kesepakatan substantif dengan
memberikan kerangka aturan, norma, prinsip dan prosedur negosiasi.37
Berdasarkan ciri-ciri dan sarana yang dimiliki sebagai sebuah rezim Internasional, Indonesia
dipandang perlu untuk meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Keberadaan kedua rezim
pengungsi Internasional tersebut dengan berbagaiprinsip, norma, aturan, prosedur serta sarana
pelaksanaannya melalui penyusunan standar, alokasi dan larangan, ikut mempengaruhi Indonesia
untuk ikut mempertimbangakan ratifikasi rezim pengungsi Internasional tersebut. Hal ini
dikarenakan Konvensi 1951 dan Protokol 1967 juga sejalan dengan salah satu tujuan negara
yang tertuang dalam alinea ke-empat pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Sebagai salah satu
anggota PBB, Indonesia secara moral juga ikut bertanggung jawab untuk melaksanakan
Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights). 38
Hak asasi manusia dalam konteks rezim pengungsi Internasional sendiri setidaknya
berhubungan dengan tiga hal yaitu perlindungan terhadap penduduk sipil akibat konflik
bersenjata, perlindungan secara umum yang diberikan kepada penduduk sipil dalam keadaan
37
Ria Rosiana Simbolon,Op.cit,hlm.452. 38
Sri BadiniAmidjojo,Perlindungan Hukum Terhadap Pengungsi Berdasarkan Konvensi Jenewa 1951, Badan Pembinaan Hukum Nasional
biasa, dan perlindungan terhadap pengungsi baik pengungsi internal maupun pengungsi lintas
batas.39
2. Alasan Pemerintah Indonesia Menunda Ratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 Tentang Status Pengungsi
Di sebagian besar negara, persetujuan formal oleh badan legislatif nasional diperlukan untuk
meratifikasi atau menyetujui sebuah perjanjian. Ratifikasi sebuah Konvensi biasanya
memerlukan beberapa langkah yang dilakukan oleh badan eksekutif dan badan legislatif
pemerintahan. Begitu badan eksekutif telah menyetujui ratifikasi atau persetujuan terhadap
Konvensi tersebut, maka biasanya akan menyusun dan menyampaikan proposal ratifikasi kepada
badan legislative nasional.Lembaga legislatif merupakan badan perwakilan rakyat yang memiliki
otoritas untuk membuat sebuah kebijakan untuk rakyat disuatu negara. Indonesia memiliki
peraturan yang mengatur kinerja dari lembaga legislatif (DPR-RI), hal ini tertuang didalam UU
No. 37 Tahun 1999 , pasal 6. 40
39
Wagiman,2012, Op.cit, hlm.28. 40
Syahmin, Hukum Diplomatik dalam Kerangka Studi Analisis, PT. Raja Grafindo Persada,2008, hal. 279.
Dalam pasal tersebut menjelaskan bahwa untuk mengesahkan
sebuah perjanjian Internasional dengan negara lain, wewenang tersebut diberikan kepada DPR
untuk mengesahkan sebuah perjanjian Internasional sebelum disahkan oleh presiden sendiri.
Pada dasarnya lembaga legislatif Indonesia dalam hal ini DPR, mendukung ratifikasi Konvensi
1951 dan Protokol 1967 tersebut. Tetapi, proses ratifikasi suatu perjanjian Internasional—baik
bilateral maupun multilateral—menempatkan DPR pada pihak yang pasif, dalam arti menunggu
adanya pengajuan dari pemerintah. Akibatnya lembaga legislatif tidak dapat membuat rancangan
permintaan untuk meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967, hal ini bukan dikarenakan
sikap tidak setuju pemerintah terhadap ratifikasi hukum pengungsi Internasional tersebut.
Rencana atau program ratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi
telah dicantumkan dalam dua periode Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM),
yaitu periode tahun 2004-2009 dan periode tahun2010-2014. Pada periode RANHAM tahun
2004-2009, ratifikasi kedua hukum pengungsi Internasional tersebut direncanakan akan
direalisasikan pada tahun2009. Namun rencana ratifikasi tersebut tertunda sampai dibuatnya
RANHAM periode tahun 2010-2014. Direncanakan kembali Konvensi 1951 akan diratifikasi
pada tahun 2013 sementara Protokol 1967 pada tahun 2014 yang sampai saat ini belum
terlaksana setelah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono digantikan oleh Pesiden
Joko Widodo. Melalui RANHAM periode 2004-2009 dan 2010-2014 pemerintah telah
menunjukkan respon yang positif terhadap usaha ratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967.
Namun, karena kondisi negara saat ini yang rentan sehingga tidak memungkinkan untuk
meratifikasi Konvensi dan Protokol tersebut. Untuk itu pemerintah menunda ratifikasi Konvensi
1951 dan Protokol 1967 dengan memperhatikan beberapa faktor-faktor pendukung dan
penghambat yangmenjadi pertimbangan pemerintah Indonesia. Faktor-faktor tersebut
diantaranya41
i. Faktor Pendukung Pemerintah Indonesia untuk Meratifikasi Konvensi
:
1951 dan Protokol 1967
Ketiadaan Hukum Nasional terkait Penanganan Pengungsi di Indonesia.
41
UU No. 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri pada Bab VI Pasal 25-27 yang selama
ini digunakan sebagai acuan dalam pemberian suaka dan penanganan pengungsi, sama sekali
tidak menjelaskan secara khusus bagaimana proses pemberian suaka maupun penanganan
pengungsi yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Peraturan dan UU yang dibuat oleh
pemerintah tersebut, pada dasarnya sudah tidak dapat lagi menjawab permasalahan pengungsi di
Indonesia. Ketiadaan hukum nasional mengenai penanganan pengungsi tersebut, membuat
ketidakjelasan tugas lembaga dan instansi yang terkait dalam penanganan pengungsi yang
menyebabkan adanya kebijakan yang tumpang-tindih antar lembaga. Dari segi keimigrasian
sendiri, berdasarkan UU, pengungsi masih dikategorikan sebagai imigran ilegal. Sehingga
petugas imigrasi masih memperlakukan pengungsi sebagai kriminal seperti imigran ilegal
lainnya.Sementara disisi lain, dari segi kemanusiaan, pengungsi tidak dapat disamakan dengan
imigran ilegal. Pengungsi berdasarkan Konvensi 1951 dan Protokol 1967 memiliki hak sama
seperti warga negara lain di negara mereka berada. Perbedaan persepsi ini secara tidak langsung
semakin melemahkan penegakan dan pengawasan hukum di Indonesia.42
ii. Faktor Penghambat Pemerintah Indonesia untuk Meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967.
1. Faktor Eksternal
a. Beberapa Pasal dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967 yang Sulit Dipenuhi oleh
Pemerintah Indonesia.
Konvensi dan Protokol 1967 telah menetapkan aturan dan norma yang harus dipenuhi oleh
negara-negara peratifikasi melalui pasal-pasal yang terdapat didalamnya. Diantara pasal-pasal
tersebut, ada beberapa pasal dalam Konvensi1951 yang cukup berat dan sulit dipenuhi oleh
42
pemerintah Indonesia. Pasal-pasal tersebut diantaranya adalah Pasal 13, 14, dan 30, yaitu negara
peratifikasi diwajibkan membantu atau bahkan mempermudah pemindahan hak milik dan
aset-aset pengungsi ke negara tempat ia akan menetap Pasal 17, 18 dan 19. Ketiga pasal ini pada
dasarnya memberikan kebebebasan kepada pengungsi untuk mendapatkan pekerjaan yang
menghasilkan upah, melakukan usaha sendiri seperti pertanian dan mendirikan perusahaan. Di
sisi lain, pemerintah masih kesulitan dalam menciptakan lapangan pekerjaan bagi warga
negaranya, yang berakibat pada banyaknya jumlah pengangguran di Indonesia akibat sulitnya
masyarakat Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan. Pasal 22. Pengungsi mempunyai hak untuk
mendapatkan pendidikan dan pemerintah berkewajiban untuk memenuhinya. Pemerintah
tentunya mengalami dilema tersendiri dalam hal ini. Disatu sisi, masih banyak masyarakat
Indonesia yang belum mendapatkan pendidikan. Sementara disisi yang lain, pemerintah
diwajibkan memberikan pendidikan kepada para pengungsi Pasal 21 dan 24. Kedua pasal ini
pada intinya memberikan hak atas kesejahteraan kepada pengungsi seperti perumahan dan
tunjangan-tunjangan. Pasal ini secara tidak langsung mengharuskan negara peratifikasi untuk
menyiapkan anggaran lebih guna memenuhi tunjangan-tunjangan selain upah yang diterima
dalam pekerjaannya.
b. Berkurangnya Keterlibatan UNHCR Dalam Penanganan Pengungsi di Indonesia.
Seperti yang diketahui, UNHCR banyak terlibat dalam penanganan pengungsi di Indonesia.
Bahkan sebagai negara yang belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967, UNHCR
adalah lembaga yang diberikan hak untuk menentukan status pengungsi di Indonesia. Dengan
anggaran terbatas untuk penanganan pengungsi dan pencari suaka yang dimiliki Indonesia,
kehadiran UNHCR tentu sangat membantu Indonesia mengatasi persoalan tersebut. Ketika
UNHCR dalam proses penanganan pengungsi di Indonesia akan sangat berkurang. Mandat
proses penentuan status pengungsi yang dimiliki oleh UNHCR dan pemenuhan kebutuhan
pengungsi dan pencari suaka selama berada di Indonesia akan langsung dilimpahkan kepada
pemerintah Indonesia. Untuk kebutuhan pengungsi dan pencari suaka sendiri, pemerintah perlu
membuat anggaran khusus untuk memenuhi hak-hak mereka sesuai dengan Konvensi 1951 dan
Protokol 1967.
c. Kekhawatiran Meningkatnya Jumlah Pengungsi dan Kejahatan Lintas Batas Negara
(Transnasional).
Jika kedua rezim pengungsi tersebut diratifikasi, pemerintah berkewajiban melindungi pengungsi
selama berada di wilayah Indonesia. Pemerintah tidak dapat lagi memperlakukan pengungsi
seperti imigran ilegal dan menampung mereka di rudenim . Dengan begitu, pengungsi akan
merasa sangat aman jika memasuki wilayah Indonesia, karena perlindungan dan hak-hak yang
dapat mereka terima dari pemerintah Indonesia. Sehingga secara tidak langsung, jumlah
pengungsi di Indonesia juga dapat semakin meningkat.Belum lagi negara tujuan pengungsi,
Australia, semakin meningkatkan aturan hukum nasionalnya tentang penanganan pengungsi.
Sehingga tidak menutup kemungkinan status Indonesia dari yang awalnya hanya sebagai negara
transit akan meningkat menjadi negara tujuan bagi para pengungsi.Masuknya individu yang
menyatakan diri sebagai pengungsi namun tidak memiliki dokumen yang resmi, membuat
pemerintah tidak dapat mengetahui identitas para pengungsi secara detail, yang kemudian
menyebabkan lemahnya pengawasan terhadap para pengungsi. Hal ini tentunya menjadi potensi
ancaman tersendiri bagi Indonesia. Beberapa individu yang mengaku pengungsi, bisa saja
memiliki maksud dan tujuan tertentu memasuki wilayah Indonesia, yang secara tidak langsung
2. Faktor Internal
a. Penguatan Kapasitas Hukum di Indonesia.
Jika pemerintah memutuskan untuk meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967, maka
pemerintah harus meningkatkan kekuatan hukum di Indonesia. Salah satunya adalah dengan
meningkatkan pengawasan diperbatasan serta pertahanan dan keamanan maritim. Pertahanan dan
keamanan maritim tentunya membutuhkan pengadaan peralatan dan persenjataan yang lengkap
dan dalam kondisi yang baik, bagi petugas dalam berpatroli di laut dan wilayah perbatasan
Indonesia. Sementara itu peningkatan pengawasan perbatasan serta pertahanan dan keamanan
maritim sendiri, tidak hanya dilihat melalui sisi militer atau pengadaan peralatan dan
persenjataan yang lengkap semata.
b. Meningkatnya Jumlah Biaya yang Harus Dikeluarkan Oleh Pemerintah Untuk
Menangani Pengungsi.
Ratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentunya juga dapat berdampak pada
perekonomian Indonesia. Hal ini terkait dengan pembiayaan penanganan pengungsi dan pencari
suaka akan sepenuhnya ditanggung oleh Pemerintah. Biaya tersebut antara lain untuk :
1) Membiayai pelatihan bagi instansi yang nantinya akan terkait baik secara langsung
maupun tidak langsung terhadap penanganan pengungsi. Seperti Kepolisian, Angkatan
Laut, petugas di TPI, Dirjen Imigrasi, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,
termasuk Kementerian Luar Negeri.
2) Menentukan status pengungsi juga memerlukan dana yang tidak sedikit. Dana ini
diantaranya adalah pembiayaan tenaga-tenaga professional dalam registrasi dan
dapat berkomunikasi menggunakan bahasa inggris terlebih lagi bahasa Indonesia, maka
dibutuhkan interpreter terpercaya berdasarkan kebutuhan pada saat registrasi sesuai
dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh interpreter dan pengungsi atau pencari suaka.
Selain itu selama proses penentuan status pengungsi, Indonesia juga berkewajiban
memberikan dan memenuhi kebutuhan dasar pengungsi seperti tempat tinggal, makanan,
pendidikan dan lain sebagainya.
Setelah status pengungsi ditetapkan, maka selanjutnya menentukan solusi jangka panjang
bagi para pengungsi. Jika integrasi lokal tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah, maka pengungsi
akan diberikan pilihan berupa pemulangan sukarela ke negara asal (repatriasi sukarela) dengan
syarat kondisi negara asal telah kondusif atau pilihan re-settlement untuk ditempatkan ke
negara-negaraketiga. Biaya untuk kedua pilihan tersebut tentunya tidak sedikit terlebih lagi dengan
jumlah pengungsi yang sangat banyak. Selain itu proses masuknya pengungsi yang tidak
melengkapi dokumen imigrasi tentunya tidak melakukan prosedur migrasi dengan benar dapat
membuat suatu negara mengalami kerugian karena tidak terkena devisa. Dimana devisa
merupakan salah satu penghasilan negara, sehingga negara tersebut akan mengalami kerugian.
Dari segi ekonomi, maka tentunya pemerintah tidak hanya mengalami kerugian akibat devisa
yang tidak didapat oleh masuknya pengungsi, tetapi juga pemerintah harus memiliki anggaran
khusus untuk menangani pengungsi.
c. . Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Indonesia.
Jika pemerintah meratifikasi Konvensi dan Protokol tersebut, maka ada beberapa solusi
jangka panjang untuk penanganan pengungsi yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia,
yang ada terdiri dari integrasi lokal, pemulangan secara sukarela, atau penempatan di negara
berdampingan sebagaimana harapan pemerintah, tentunya dapat menimbulkan konflik internal
dan masalah baru yang dapat mengganggu ketertiban dan keamanan sosial di Indonesia.
Perlakuan yang didapat pengungsi dari pemerintah jika meratifikasi rezim pengungsi
Internasional tersebut dapat menimbulkan persepsi negatif di masyarakat. Hal yang dapat
memicu munculnya persepsi negatif dan permasalahan baru tersebut yaitu kecemburuan sosial
antara masyarakat setempat dan pengungsi. Masyarakat Indonesia yang belum dapat merasakan
perlakuan yang sama seperti yang didapatkan pengungsi, tentunya akan merasa kurang atau
bahkan tidak mendapat perhatian dari pemerintah dibandingkan dengan pengungsi yang sudah
jelas hanya pendatang. Keberadaan pengungsi di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam
budaya tentunya juga dapat berpengaruh. Ini terutama terjadi karena para pengungsi tetap
memilih untuk mempertahankan identitas budaya yang tidak selalu selaras dengan nilai-nilai
masyarakat setempat. Masuknya budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa,
secara tidak langsung dapat mempengaruhi bahkan merubah budaya bangsa masyarakat
Indonesia.43
43