• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komersialisasi Pendidikan Di Indonesia: Suatu Tinjauan Dari Aspek Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Komersialisasi Pendidikan Di Indonesia: Suatu Tinjauan Dari Aspek Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Komersialisasi Pendidikan di Indonesia: Suatu Tinjauan dari

Aspek Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya

Irawaty A. Kahar

Staf Pengajar Program Studi Ilmu Perpustakaan

Tingginya tingkat pendidikan dan tingginya taraf kebudayaan rakyat akan menjadi barometer bagi pertumbuhan bangsa dan negara yang bersangkutan. Akan tetapi bagaimana orang dapat, mencapai pendidikan tinggi apabila biaya pendidikan tersebut

mahal yang hanya dapat dinikmati oleh masyarakat golongan ekonomi mapan saja

Pendahuluan

Maraknya komersialisasi pendidikan dibicarakan pada akhir-akhir ini membuat penulis sangat antusias untuk membahasnya lebih jauh. Berbagai opini pro dan kontra yang dilontarkan oleh masyarakat melalui tulisan-tulisan di media massa yang merupakan suatu fenomena, di antaranya pada harian Kompas edisi Selasa, 3 Mei 20051, menulis bahwa begitu memprihatinkan pendidikan Indonesia.

Sistem pendidikan nasional dalam praktiknya masih jauh dari apa yang diharapkan serta yang digagaskan bahkan kini ada kecenderungan bahwa dunia pendidikan kita akan terjebak ke arah komersialisasi, bahwa pendidikan sebagai komoditas yang bisa diperjual belikan, kemudian Achmad F. Syaifudin menuliskan2 bahwa selama ini pendidikan kita masih berorientasi pada hasil ketimbang proses, sementara Lidus Yardi3 menyebutkan bahwa pendidikan yang mahal pun di Indonesia masih jauh dari mutu, sehingga tidak salah jika kemudian timbul “Industrialisasi” dan “komersialisasi” di dunia pendidikan saat ini. Pernyataan-pernyataan yang dibuat pada media massa di atas menunjukkan gambaran bahwa komersialisasi pendidikan menjadi sorotan masyarakat. Di samping itu fakta di lapangan memperlihatkan lembaga-lembaga pendidikan tinggi dengan status yang kurang jelas tumbuh subur terutama di kota besar. Dengan berbagai cara mereka mengiklankan

1 Kompas 3 Mei 2005. Diragukan, Komitmen Penguasa Memajukan Rakyat

2 Kompas 17 September 2004. Menghargai kerja keras Bisa Dibangun Lewat Pendidikan

3

Lidus Ardi .File//C\My doc…\Artikel pendidikan. Net Work-Mengkritisi Pendidikan

dan menawarkan program pendidikan untuk mendapatkan gelar seperti MBA (Magister Bisnis Administration), MM (Magister Management) tanpa melalui proses pembelajaran. Lembaga seperti ini telah “melacurkan” karena lebih mementingkan keuntungan dari pada mutu sehingga dapat membunuh idealisme pendidikan Indonesia. Seiring dengan itu juga muncul sekolah-sekolah dengan program dan perlengkapan yang serba mahal mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai pada tingkat perguruan tinggi seperti Perguruan Al-Azhar dan Perguruan Tinggi Pelita Harapan di Jakarta yang hanya dinikmati oleh masyarakat golongan ekonomi mapan. Meskipun dampak dari pendidikan mahal ini tidak seburuk program pendidikan yang hanya menawarkan gelar saja, praktik semacam itu telah mengotori dunia pendidikan antara keluarga mampu dan tidak mampu.

Fenomena dan fakta pendidikan di atas merupakan suatu masalah yang lambat laun secara politik bakal menumbuh suburkan

culture capitalism maupun ideologi neoliberilsm di lembaga pendidikan kita dengan modus klasik “komersialisasi pendidikan”. Kondisi itu tentu akan mendorong menurunnya mutu pendidikan nasional serta merusak budaya bangsa tanpa menghiraukan lagi nilai-nilai moral, dan dari segi sosial pendidikan mahal tidak mengangkat strata sosial masyarakat yang kurang mampu.

(2)

mempunyai gagasan serta gambaran tentang sosok pendidikan yang lebih baik, lebih sesuai dengan sistem yang diinginkan yang disebut sebagai sistem pendidikan yang lebih “pantas, lebih santun”, progresif dan sebagainya. Untuk menjawab pertanyaan penulis akan melakukan serangkaian pembahasan dari berbagai aspek dan paradigma yaitu: aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Komersialisasi Pendidikan

Komersialisasi pendidikan dapat bermakna memperdagangkan pendidikan, karena menurut kamus, kata komersial atau

commercialize berarti memperdagangkan. Adapun istilah “komersialisasi pendidikan”. Sekarang ini istilah komersialisasi pendidikan mengacu pada dua pengertian yang berbeda, yaitu:

1. Komersialisasi pendidikan yang mengacu lembaga pendidikan dengan program serta perlengkapan mahal. Pada pengertian ini, pendidikan hanya dapat dinikmati oleh sekelompok masyarakat ekonomi kuat, sehingga lembaga seperti ini tidak dapat disebut dengan istilah komersialisasi karena mereka memang tidak memperdagangkan pendidikan. Pemungutan biaya yang tinggi adalah untuk menfasilitasi jasa pendidikan serta menyediakan infrastruktur pendidikan yang bermutu, seperti menyediakan fasilitas teknologi informasi, laboratorium dan perpustakaan yang baik, serta memberikan kepada para guru atau dosen gaji menurut standar. Sisa anggaran yang mereka peroleh, mereka tanamkan kembali bentuk infrastruktur pendidikan. Komersialisasi pendidikan jenis ini tidak akan mengancam idealisme pendidikan nasional atau idealisme Pancasila, akan tetapi perlu dicermati juga, karena dapat menimbulkan pendiskriminasian dalam pendidikan nasional.

2. Komersialisasi pendidikan yang mengacu kepada lembaga pendidikan yang hanya mementingkan uang

pendaftaran dan uang kuliah saja, tetapi mengabaikan kewajiban-kewajiban pendidikan.4 komersialisasi pendidikan ini biasanya, dilakukan oleh lembaga atau sekolah-sekolah yang menjanjikan pelayanan pendidikan tetapi tidak sepadan dengan uang yang mereka pungut. Pada lembaga atau sekolah yang seperti ini, laba atau selisih anggaran yang diperoleh tidak ditanam kembali ke dalam infrastruktur pendidikan, melainkan dipergunakan untuk memperkaya atau menghidupi pihak-pihak yang tidak secara langsung bekerja menyajikan pelayanan di lembaga tersebut. Pihak-pihak tersebut adalah anggota yayasan atau badan amal pendidikan yang menguasai lembaga pendidikan. Itu hal yang lebih berbahaya lagi, komersialisasi jenis kedua ini dapat pula melaksanakan praktik pendidikan untuk maksud memburu gelar akademik tanpa melalui proses serta mutu yang telah ditentukan sehingga dapat membunuh idealisme pendidikan Pancasila. Hal tersebut jelas tercantum di dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada bab 1 pasal 1 yang berbunyi: pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak yang mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara5. Dalam bab tersebut jelas dinyatakan bahwa pendidikan itu harus melalui proses belajar dan berakhlak mulia, mungkin ini kurang terdapat dalam komersialisasi pendidikan jenis kedua di atas.

4 Muchtari Buchtari. Komersialisasi Idealisme Bukan Tabu. 2001.

5

(3)

Aspek-Aspek yang Memunculkan

“Komersialisasi” Pendidikan

a. Aspek Politik

Pendidikan yang merupakan

kebutuhan dasar manusia dan yang harus dipenuhi oleh setiap manusia juga memiliki aspek politik karena dalam pengelolaan harus berdasarkan ideologi yang dianut negara. Adapun ideologi pendidikan kita adalah ideologi demokrasi Pancasila, yaitu setiap warga negara mendapat kebebasan dan hak yang sama dalam mendapat pendidikan. Dalam Pembukaan UUD 45 pada alinea ke-4 , hal ini pun tercermin ada kalimat mencerdaskan kehidupan bangsa. Atas dasar itu sudah seharusnya pemerintah dalam menetapkan setiap kebijakan pendidikan merujuk pada ideologi negara. Akan tetapi dalam kenyataannya melalui pemerintah mengeluarkan peraturan (PP) No. 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum, pemerintah telah memberikan otonomi pada perguruan tinggi dalam mengelola pendidikan lembaganya termasuk pencarian dana bagi biaya operasionalnya. Akibatnya muncul tempat-tempat pendidikan dengan biaya mahal dan tidak terjangkau oleh golongan ekonomi lemah, sehingga hak masyarakat untuk mendapatkan hak yang sama memperoleh pendidikan jauh dari kenyataan. Tanpa disadari dunia pendidikan kita yang berlandaskan Pancasila telah masuk ke dalam mesin giling ideologi kapitalisme yang lumat dalam mekanisme pasar serta kurang menghiraukan kaum lemah, malahan menjadi komoditas yang sangat mahal nilainya. Kuasa uang begitu mudah memasuki arena pendidikan kita yang mengalahkan moralitas pendidikan itu sendiri. Diakui pendidikan membutuhkan uang tetapi uang bukanlah segala-galanya untuk meraih pendidikan atas kondisi yang demikian, strata sosial, harkat dan martabat mereka tetap berada di bawah. Apabila pendidikan tetap mahal dan dikomersialisasikan, masyarakat yang kurang mampu tidak akan dapat meningkatkan status sosial mereka, dan ironisnya komersialisasi pendidikan ini didukung oleh tatanan sosial dan diterima oleh masyarakat.

Akibat longgarnya sanksi sosial dan kurangnya kontrol pemerintah, komersialisasi pendidikan tumbuh subur serta membentuk social gap atau diskriminasi dalam pendidikan antara masyarakat yang mampu dengan yang tidak mampu.

b. Aspek Budaya

Budaya bangsa kita mengagungkan gelar akademis dan sebagai contoh dihampir setiap dinding rumah yang keluarganya berpendidikan selalu terpajang foto wisuda anggota keluarga lulusan dari universitas manapun.Hal ini menunjukkan bahwa bangsa kita masih menganut budaya yang degree minded.

Budaya berburu gelar ini berkembang pada lembaga pemerintah yang mengangkat atau mempromosikan pegawai yang memiliki gelar sarjana tanpa terlebih dahulu diteliti dan dites kemampuan akademik mereka. Ironisnya program pendidikan seperti ini banyak diminati oleh pejabat-pejabat. Dengan komersialisasi pendidikan berarti ideologi kapitalisme telah masuk kampus. Ideologi ini memberikan kebebasan pada individu atau kelompok untuk berusaha, sementara intervensi pemerintah harus berkurang.6 Akibat masuknya ideologi ini akan dapat menggeser pendidikan demokrasi Pancasila kalau pemerintah tidak cepat tanggap dalam hal ini.

c. Aspek Ekonomi

Ekonomi sudah pasti kita akan membicarakan aspek ekonomi terkait dengan masalah biaya. Biaya pendidikan nasional seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, akan tetapi dengan keluarnya UU No. 20 Tahun 2003 pada bab XIV pasal 50 ayat 6 dinyatakan bahwa perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan lembaganya.7 Hal ini menunjukkan ketidak mampuan pemerintah membiayai pendidikan nasional, khususnya pendidikan tinggi yang dulu mendapat subsidi dari pemerintah

6 httpp://www. Kebangkitan Neo Liberalisme.

com/cetak//06603/228/022.htm.

(4)

sebanyak 75% dan 25% lagi berasal dari biaya masyarakat termasuk dana SPP. Namun subsidi 75% dicabut dan kemudian pemerintah memberikan status BHMN (Badan Hukum Milik Negara) kepada beberapa perguruan tinggi negeri agar mengelola keuangannya masing-masing.

Berbagai program pendidikan ditawarkan oleh pengelola perguruan tinggi untuk memaksimalkan potensi intuisinya dalam mencari sumber pendanaan. Beberapa perguruan tinggi ternama seperti UI, ITB, UGM, IPB, dan USU membuka jalur khusus dalam penerimaan mahasiswa baru dengan tarif mulai dari Rp.15 juta sampai dengan Rp.150 juta.8 Hal ini terjadi akibat dari lepasnya tanggung jawab pemerintah dalam membiayai pendidikan sehingga berdampak pada komersialisasi pendidikan di perguruan tinggi negeri (berstatus BHMN), yang tentu saja menguntungkan. Alasan untuk menciptakan pendidikan yang bermutu perlu biaya besar dan mahal bagi kalangan masyarakat yang kehidupan ekonominya lemah, maka status BHMN akan menjadi momok yang menakutkan. Sebagai contoh di Perguruan Tinggi Swasta Pelita Harapan yang memungut biaya puluhan juta rupiah per semester, ini menyediakan berbagai fasilitas terutama teknologi informasi serta tenaga pengajar yang bertaraf internasional. Tampaknya perguruan tinggi serupa ini disediakan khusus bagi kalangan atas dan mahasiswa disiapkan benar-benar mampu bersaing dalam era globalisasi. Komersialisasi pendidikan jenis ini perlu didukung karena kita harus menyadari bahwa masyarakat kita terdiri dari berbagai segmen ekonomi yang berbeda. Menyediakan perguruan tinggi dengan biaya mahal dan bertaraf internasional berarti kita telah menarik masyarakat yang mempunyai kemampuan dalam finansial untuk menyekolahkan anak mereka di dalam negeri dan tidak lagi harus ke luar negeri. Ini akan mencegah masuknya devisa negara kita ke negara asing dan sangat membantu perekonomian indonesia.

8Ibid, Lidus Yardi, Loc.cit

d. Aspek Sosial

Aspek sosial terkait dengan dari hubungan dengan manusia. Pendidikan sangat menentukan perubahan strata sosial seseorang, yaitu semakin tinggi pendidikan seseorang, akan semakin meningkat pula strata sosialnya, begitu juga sebaliknya. Sesuai dengan pendapat Kartono (1997: 97)9 yang menyatakan: tingginya tingkat pendidikan dan tingginya taraf kebudayaan rakyat akan menjadi barometer bagi pertumbuhan bangsa dan negara yang bersangkutan. Akan tetapi bagaimana orang dapat, mencapai pendidikan tinggi apabila biaya pendidikan tersebut mahal dan hanya dapat dinikmati oleh masyarakat golongan ekonomi mapan saja. Bagaimana dengan masyarakat golongan ekonomi lemah? Berapa banyak penduduk Indonesia yang tidak dapat melanjutkan pendidikan karena kekurangan biaya. 80% wilayah Indonesia terdiri dari desa yang sebagian besar penduduknya tidak mampu untuk bersekolah tinggi, dan rata-rata pendidikan mereka hanya tingkat SD dan SLTP. Hal ini tentu akan membuat nasib mereka makin terpuruk.

Kendala yang dihadapi dalam dunia pendidikan kita saat ini tak lain disebabkan oleh beberapa hal yang sangat

urgen dan sangat mendasar bagi masyarakat, seperti:

1. Tingginya biaya pendidikan menyebabkan masyarakat kurang mampu tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini berakibat pada kehidupan sosial mereka dalam masyarakat, sebab kondisi ini menyulitkan mereka untuk dapat berkompetisi secara global melalui pendidikan. Untuk mengatasi hal ini masyarakat yang kurang mampu harus diberi jalan untuk mendapat pendidikan yang lebih tinggi dengan konsekuensi memberikan subsidi 20% dari anggaran APBN, menggalakkan Gerakan Orang Tua Asuh (GNOTA), pemerintah mengeluarkan kebijakan yang ditujukan bagi perusahaan yang ada di Indonesia untuk mengeluarkan 1% dari keuntungan mereka per tahun bagi dana pendidikan.

(5)

2. Mengejar dan mengagungkan gelar akademis telah menjadi budaya di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Hal ini mengakibatkan masyarakat melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan gelar akademis tersebut seperti jalan pintas tanpa melalui proses pembelajaran dengan mengandalkan uang sehingga praktik komersialisasi pendidikan semakin subur. Budaya ini harus diberantas dengan cara adanya kebijakan pemerintah yang tegas untuk menutup lembaga pendidikan yang telah melakukan kecurangan pendidikan yang dapat mengurangi kualitas mutu pendidikan. Di samping itu lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta yang ada harus tegas untuk tidak merekrut atau mempromosikan mereka yang memperoleh gelar akademis melalui jalan pintas tersebut, dan diharapkan juga adanya sebuah kotrol sosial dari masyarakat.

Kesimpulan dan Solusi

1. Seperti yang telah disebutkan, pengertian komersialisasi pendidikan mengacu pada dua hal yaitu komersialisasi dalam arti:

a. Memungut biaya mahal dengan fasilitas pendidikan yang mewah, lengkap, tenaga pengajar berkualitas dan bertaraf Internasional

b. Komersialisasi didasarkan pada pengambilan keuntungan semata untuk mencapai hasil dan gelar dengan jalan pintas tanpa melalui proses pembelajaran. Dari kedua jenis komersialisasi itu, maka komersialisasi jenis kedua dianggap tidak berkualitas yang akan berpengaruh pada sumber daya manusia yang dihasilkan kelak. Oleh sebab itu perlu dibentuk tim pengawas independen dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. 2. Munculnya komersialisasi pendidikan

adalah sebagai akibat dari pelepasan tanggung jawab pemerintah yang telah mencabut subsidi pembiayaan terutama pada perguruan tinggi dan pemberian hak otonomi serta status BHMN pada perguruan tinggi negeri. Hal ini

mengakibatkan ideologi kapitalisme mulai merebak di dalam dunia pendidikan yang pada akhirnya lebih mengutamakan keuntungan bagi pihak-pihak tertentu saja. Komersialisasi di perguruan tinggi negeri boleh-boleh saja asalkan mutu pendidikan tetap dipertahankan dan pola akses masuk anak didik untuk masuk perguruan tinggi negeri jangan sampai diubah. 3. Komersialisasi di perguruan tinggi negeri

dengan jalur khususnya bertujuan untuk mengumpulkan modal untuk membiayai pendidikan mereka. Akan bisa positif bila dalam pelaksanaannya, uang tersebut diputarkan dengan cara penanaman modal di bursa atau sertifikat Bank Indonesia, obligasi/swasta yang dapat memberikan keuntungan hingga dapat dipergunakan Universitas. Dengan cara seperti ini modal pokok tidak terpakai (seperti Jamsostek). Untuk operasionalnya: harus ada Fund Manager yang duduk di Universitas yang ahli dalam pemutaran dan mencari saluran dana yang dapat memberikan keuntungan untuk membiayai universitas. Fund manager letaknya di bawah rektor yang diangkat oleh rektorat, dan ia harus mempunyai staf sendiri bukan merupakan pekerjaan sambilan.

Daftar Pustaka

Ardi, Lidus. File//C.\My doc.\Artikel Pendidikan. Net Work-Mengkritisi Pendidikan Mahal. Ht.

Buchori, muchtar. Komersialisasi idealisme Bukan tabu. Yogyakarta: Kanisius. 2001 Depdiknas. Undang Undang no.20 Tahun

2003 Sistem Pendidikan Nasional

Httpp://www. Kebangitan Neo Liberalisme. Com/cetak//06603/228/022htm Kartono, Kartini. Tinjauan Politik Mengenai

Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Pradnya Paramita. 1997

Kompas. 3 Mei 2005. Diragukan Komitmen Penguasa Memajukan Rakyat

Referensi

Dokumen terkait

After analyzing the data gathered during the observation and interview, the researcher discovered that several factors influenced the English teacher's decision to switch

"Conversation Analysis and Language Alternation", John Benjamins Publishing Company,

The procedures for this national collaborative research were (1) The researchers asked for permission from the university, faculty, department and then the coordinator

Feedback Workshop for English Teachers in Designing Questions Based on Higher Order Thinking Skill", AL-ISHLAH: Jurnal Pendidikan, 2022

Therefore, the current study aims to find out whether there is an improvement in teacher competence and the quality of English language questions at the Junior High School level

Referring to the research questions or research objectives, this section will be devoted to discussing two key findings, that is the readiness of the teacher in promoting

"Mastery of STEM-Based Research Approach of Science Teachers In Jakarta", AL-ISHLAH: Jurnal.

"The Effects of Trained Peer Feedback for High School Students", World Journal of English Language,