• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran tauhid dalam menceiptakan sistem sosial ideal: telaah kritis pemikiran Muhammad Baqir al-Shadr

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran tauhid dalam menceiptakan sistem sosial ideal: telaah kritis pemikiran Muhammad Baqir al-Shadr"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM

SOSIAL

IDEAL

(Telaah Kritis Pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)

Oleh

Mohalli

NIM: 103033127754

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

SOSIAL IDEAL (TELAAH KRITIS PEMIKIRAN MUHAMMAD BAQÎR AL-SHADR) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 15 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai

salah satu syarat memeroleh gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I) pada Program

Studi Aqidah Filsafat.

Jakarta, 15 Juni 2010

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Drs. Agus Darmaji, M.Fils. Dra. Tien Rahmatin, M.Ag.

NIP:19610827199303031002 NIP: 196808031994032002

Anggota,

Prof. Dr. Rd. Mulyadhi Kartanegara, M.A. Drs. Nanang Tahqiq, M.A.

(3)

PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM SOSIAL

IDEAL

(Telaah Kritis Pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai

Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)

Oleh:

MOHALLI NIM: 103033127754

Di bawah Bimbingan

Drs. Nanang Tahqiq, MA.

NIP. 196602011991031001

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(4)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memeroleh gelar Strata Satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 31 Mei 2010

(5)

ABSTRAKSI Mohalli

Peran Tauhid dalam Menciptakan Sistem Sosial Ideal (Telaah Kritis Pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr)

Sejarah kehidupan masyarakat selalu dihadapkan pada persoalan bagaimana menciptakan tatanan yang harmonis, adil, makmur, dan sejahtera? Persoalan ini diupayakan sedemikian rupa oleh sistem sosial yang mengorganisasi kehidupan bersama baik di bidang sosial budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Dalam sistem sosial, terdapat suprastruktur yang menjadi pandangan dunia seseorang serta dijadikan landasan bagi setiap tindakan. Ketika suprastruktur itu membeku sebagai sebuah keyakinan bersama disertai cita-cita yang ditetapkan di dalamnya, maka terbentuklah ideologi. Tujuan sistem sosial diperjuangkan dalam bingkai ideologi ini.

Di dunia modern, terdapat dua ideologi besar yang saling bertikai yaitu liberalisme dan sosialisme. Akar liberalisme bisa dilacak dari pemikiran John Locke yang mengumandangkan hak individu atas kebebasan dan kekayaan (hak milik). Sistem sosial harus berlandaskan atas hak ini, menjaga dan melindunginya. Dalam masalah ekonomi, liberalisme kemudian percaya kepada sistem kapitalisme di mana individu bebas mengupayakan serta mengembangkan usahanya. Semakin individu didorong untuk mengejar kepentingan dan keuntungan pribadi, maka kesejahteraan masyarakat akan semakin terjamin.

Sedangkan sosialisme secara konseptual dapat ditelusuri dari pemikiran Karl Marx yang mencita-citakan masyarakat komunis, yakni masyarakat tanpa kelas. Komunisme menentang kepemilikan pribadi karena menjadi sumber dari munculnya kelas. Kesenjangan sosial dan berbagai konflik yang terjadi di dalamnya disebabkan oleh kepemilikan pribadi atas sarana-sarana produksi. Karena itu, sarana produksi harus dipindahkan menjadi milik bersama, dikerjakan dan dinikmati bersama sehingga tidak ada lagi pertentangan kelas.

Akan tetapi, baik liberalisme maupun sosialisme menurut Muhammad Baqîr al-Shadr sama-sama menemui kegagalan. Dia mengeritik kebebasan dalam liberalisme-kapitalisme karena membelenggu dan menutup peluang orang miskin untuk mendapatkan kekayaan. Sementara para pemilik modal cukup dimanjakan

sehingga berlaku ungkapan “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”.

Demikian pula dengan sosialisme-komunisme di mana cita-citanya hanya utopia belaka karena bertentangan dengan kodrat manusia yang cenderung ingin memiliki sesuatu, apalagi dalam masyarakat materialis.

Baqîr al-Shadr kemudian mengajukan sistem sosial yang berlandaskan atas tauhid (pengesaan Tuhan). Penelitian ini ingin menelusuri bagaimana peran tauhid dalam menciptakan sistem sosial ideal dalam pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr. Melalui pembacaan kritis terhadap karyanya, dapat dikemukakan bahwa peran tauhid cukup signifikan sekali. Dalam tauhid terkandung nilai-nilai seperti kebebasan, keadilan dan persamaan yang akan mengantarkan masyarakat pada cita-cita kehidupan. Bahkan dia meyakini bahwa tujuan kehidupan sosial tidak akan pernah tercapai kecuali di bawah eksistensi Islam.

(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah yang telah

melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan

skripsi ini.

Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat

mendapatkan gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I) pada jurusan Aqidah Filsafat

Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam upaya memenuhi persyaratan tersebut, maka skripsi ini ditulis

dengan judul “Peran Tauhid dalam Menciptakan Sistem Sosial Ideal )Telaah Kritis Pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr(”.

Selanjutnya, penulis menyadari bahwa skripsi ini terdapat banyak

kekurangan di dalam penulisan sehingga penulis membutuhkan masukan, saran

atau kritik dari berbagai pihak. Penulis menyadari bahwa tanpa kontribusi

pemikiran, gagasan serta dorongan berbagai pihak, sulit dibayangkan skripsi dapat

terselesaikan. Berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, maka sebagai

ungkapan rasa hormat yang dalam, penulis mengucapkan banyak terima kasih

kepada:

1. Drs. Nanang Tahqiq, MA. selaku pembimbing skripsi yang dengan

sabar dan bijak terus membimbing, menasehati, dan mengarahkan

penulis untuk menghasilkan karya yang terbaik.

2. Bapak Prof. Dr. Zainun Kamaluddin F, MA. selaku Dekan Fakultas

Ushuluddin, Bapak Drs. Agus Darmaji, M. Fils. selaku ketua jurusan

Aqidah Filsafat, dan Dra. Tien Rahmatin, M.Ag. sebagai sekretaris

(7)

iii

jurusan Aqidah Filsafat beserta seluruh staf pengajar di jurusan

Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Ayahanda H. Ahmad dan Ibunda Hj. Rafi‘ah, terima kasih atas kasih

sayang, bimbingan, dan motivasi yang tak kenal henti sehingga

penulis mampu mengenyam pendidikan yang layak untuk bekal

masa depan. Sebagai wujud terima kasih, penulis persembahkan

skripsi ini untuk mereka berdua. Doa mereka senantiasa penulis

harapkan dalam mengarungi bahtera kehidupan ini. Terima kasih

pula untuk kak Fauzi dan kak As’adi yang terus memberikan

semangat dan bantuan moril maupun materil bagi penulis.

4. Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan Indonesian Culture

Academy (INCA) terutama Subairi, Fakhru, dan Rosi atas semangat,

bantuan, dan diskusinya yang menggelora. Terima kasih kepada

Mawardi atas “curhat” dan masukannya yang cukup berarti dalam

menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa terima kasih kepada sahabat

abadi Guno dan adik Wardi yang selalu ada untuk penulis. Ali

Chemal (ditunggu skripsinya), Ramfalak, Syafa’at dan teman-teman

yang tak bisa penulis sebutkan satu-persatu, terima kasih atas

segalanya.

5. Terima kasih kepada kakanda dan teman-teman Madura terutama

kak Adi, kak Nabil, kak Idris, kak Fathur, kak Mahrus, bung Ozan,

(8)

bantuannya. Penulis selalu membutuhkan serta merindukan arti dari

pergulatan ini. Terima kasih pula kepada kawan-kawan FORMAD;

Jakfar, Anis, Muhdhari, Laili, Abdi, Wafa, Wasil, Rahmatun dan

teman-teman di Masjid Al-Husaini, Rusun, dan lainnya.

6. Terima kasih kepada teman-teman Himpunan Mahasiswa Islam

khususnya KOMFUF; Kak Asy’ari, Su’udi, Fikri, Fahmi, Guruh,

Andi, Akib, Arma, Ay Sumiyati, Syifa, dan Mona. Teman-teman

KOMTAR; Ikhwan, Irma dan Risfa, dan teman-teman komunitas

Aqidah Filsafat; Dedi, Ali Makmur, dan Eli (ditunggu skripsinya),

Bana (kuliah yang benar), Euis, Mu’is, Anwar, Nanang, Riyan,

Reza, Dhani, Dita dan Uphie (terima kasih atas inspirasinya). Tak

lupa kepada Intan Latifah, Ibell dan semua teman-teman yang telah

mengisi dan menghiasi kisah perjalanan hidup penulis.

Kritik dan saran yang sifatnya konstruktif sangat penulis harapkan.

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya, dan bagi

masyarakat pada umumnya. Akhirnya, penulis memohon kepada Allah semoga

senantiasa membimbing langkah kita menuju masa depan yang lebih baik. Âmîn!

Jakarta, 30 Mei 2010

(9)

v

DATAR ISI

ABSTRAK ………. i

KATA PENGANTAR ……….. ii

DAFTAR ISI ………. v

PEDOMAN TRANSLITERASI ..………. vii

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……….. 11

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian …………... 11

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ………. 12

E. Sistematika Penulisan ………... 12 BAB II BIOGRAFI MUHAMMAD BAQÎR AL-SHADR ………..14 A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Sosial ……….. 14 B. Karya Tulis ………... 19

C. Perkembangan dan Pengaruh Pemikiran ……….. 26 BAB III SISTEM SOSIAL DAN PERMASALAHANNYA ……….. 36 A. Teori Sistem Sosial ……….. 36 B. Masalah Utama Sistem Sosial ……….. 38 C. Masalah Keadilan ………. 42 1. Liberalisme ………... 44 2. Sosialisme ……… 48 D. Persoalan dalam Liberalisme dan Sosialisme ……….. 51

BAB IV PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM SOSIAL IDEAL ………. 56

A. Tesis Muhammad Baqîr al-Shadr………. 56

1. Tauhid ……….. 57

(10)

2. Tuhan sebagai Pusat Realitas ……….. 62

B. Tauhid dan Kebebasan ……… 64

1. Kemerdekaan Pribadi ………... 66

2. Kemerdekaan Sosial ………. 69

C. Tauhid dan Keadilan ……… 73

D. Tauhid dan Tujuan Sistem Sosial ………. 79

E. Catatan Kritis ………... 82

BAB V PENUTUP……….. 87

A. Kesimpulan ……….. 87

B. Saran-saran ………... 89

(11)

PEDOMAN TRANSLITERASI

= a = f

= b = q

= t = k

= ts = l

= j = m

= h = n

= kh = w

= d = h

= dz = ’

= r = y

= z

= s Untuk Madd dan Diftong

= sy = â

= sh = î

= dh = û

= th = aw

= zh = ay

= ‘

= gh

(12)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Salah satu karakteristik pengetahuan dalam Islam adalah meyakini bahwa

Tuhan merupakan Realitas Pertama yang menjadi sumber realitas, baik material

maupun imaterial atau fisik dan non-fisik, yang keberadaan-Nya tidak bergantung

kepada hal eksternal apapun di luar diri-Nya (wâjib al-wujûd). Ia niscaya dalam

Zat dan Esensi-Nya. Sementara, realitas lain tidak dapat eksis tanpa

menggantungkan diri pada Tuhan sehingga keberadaannya tidak niscaya

melainkan hanyalah mungkin (mumkin al-wujûd).1 Oleh sebab itu, ontologi dalam

Islam mengambil bentuk metafisika2 di mana Tuhan menjadi Sebab Final atau

Sebab Pertama (Prima Causa) segala sesuatu.

Bagian pertama dari kesaksian iman Islam lâ ilâha illâ Allâh (Tiada Tuhan

Selain Allah) menjadi prinsip dasar bahwa Tuhan satu dan niscaya dalam

esensi-Nya, dalam nama-nama dan sifat-esensi-Nya, dan dalam perbuatan-Nya. Dengan

demikian, konsekuensi dari kesaksian tauhid ini adalah mengakui semua realitas

tidak ada, dan hanya ada karena Realitas Tuhan. Semua penyelidikan pengetahuan

dalam Islam harus berada dalam bingkai ini sebab semua realitas ketika

memanifestasikan diri tidak bisa mengingkari asal-usul metafisiknya, yaitu

1 Murtadhâ Muthahharî,

Pengantar Ilmu-ilmu Islam, terj. Ibrahim Husain al-Habsyi dkk,

(Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h. 351-377.

2 Dalam falsafat, penyelidikan tentang Tuhan disebut metafisika khusus yang dibedakan dari metafisika umum yang membahas mengenai “ada” pada umumnya (ontologi). Lihat Louis

Leahy, Filsafat Ketuhanan Kontemporer,(Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 18.

(13)

2

Tuhan.3 Hal ini ditegaskan al-Qur‟ân dalam QS. 21: 22 bahwa “Seandainya pada

keduanya (di langit dan di bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya

telah binasa. Maha Suci Allah yang memiliki Arasy dari apa yang mereka

sifatkan. Karena itu, kesaksian tauhid menjadi pernyataan pengetahuan pertama

tentang realitas.

Walaupun demikian, bukan berarti pengetahuan dalam Islam

mengesampingkan sama sekali prosedur ilmiah dalam ilmu pengetahuan.

Penyelidikan ilmiah dengan metode eksperimentasi dan observasi dengan

menggunakan penalaran induktif sudah dikenal sebelum Roger Bacon

memerkenalkan metode eksperimentasi ke dunia sains Eropa. Para ilmuwan

Muslim semisal al-Râzî, Ibn Sînâ, al-Bîrûnî, Ibn Haytsâm, al-Zahrawî, dan lain

sebagainya dikenal dengan kekuatan observasi dan eksperimentasinya dalam

kajian ilmu alam termasuk kedokteran.4 Hal ini disebabkan karena realitas

material juga harus dikuasai dan dipahami oleh umat Islam selain realitas

metafisik. Tetapi umat Islam tidak mengandalkan penyelidikan itu pada

penyelidikan ilmiah saja.

Al-Qur‟ân, sebagai sumber pengetahuan, menghimbau kepada umat Islam

untuk mengamati tanda-tanda Tuhan yang termanifestasi di alam semesta,

jiwa-jiwa manusia, dan ruang-ruang lain yang tidak terdeteksi secara empiris. Ini

mengandung arti bahwa model penyelidikan berbeda-beda satu sama lain, yakni

tajrîbî (eksperimen) untuk objek fisik, burhânî (demonstratif atau rasional) untuk

3 Osman Bakar,

Tauhid & Sains: Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam,terj.

Yuliani Liputo, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. 12.

4 Mulyadhi Kartanegara,

Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, (Tangerang:

(14)

matematika dan objek metafisik, dan ‘irfânî (intuitif).5 Kenyataan ini sekaligus

berbeda dari epistemologi Barat modern, khususnya materialisme, yang

menganggap objek material sebagai satu-satunya realitas objektif yang absah

dalam penyelidikan pengetahuan seraya menafikan objek metafisik. Tidak hanya

itu, materialisme bahkan menganggap pemikiran metafisika sebagai takhayul

belaka serta tidak memunyai landasan dasar yang kokoh.

Di Barat, semangat ilmiah dengan penolakan terhadap berbagai bentuk

tradisi dan dogma mengejawantah dalam aliran positivisme pada abad 19 yang

diwakili oleh Saint-Simon dan Auguste Comte dalam bidang ilmu sosial.

Positivisme menunjuk pada pendekatan terhadap pengetahuan empiris disertai

penolakan atas wahyu sebagai sumber pengetahuan. Dalam menyelidiki objek

sosial, Comte menerapkan metode penelitian empiris yang meliputi pengamatan,

eksperimen, dan komparasi. Hasil penyelidikan empiris Comte tentang dinamika

kemajuan sosial dikenal sebagai hukum tiga tahap yang menyatakan bahwa

masyarakat berkembang dari tahap teologis, metafisik, dan terakhir positivis.6

Positivisme menjadi tahap terakhir perkembangan manusia di mana akal manusia

tidak lagi memercayai takhayul, pengertian absolut, asal dan tujuan alam semesta

melainkan pada data empiris dan hasil ilmu pengetahuan.

5 Pendekatan

irfânî digunakan untuk seluruh objek pengetahuan. Akan tetapi, secara

ontologis, kaum ‘irfân berbeda dari para failasuf dalam memandang realitas beserta

pendekatannya. Failasuf menganggap bahwa Tuhan maupun benda sama-sama objektif (absah dijadikan objek penyelidikan pengetahuan) dengan perbedaan bahwa jika Tuhan adalah wâjib al-wujûd dan ada dengan sendiri-Nya maka benda-benda selain Tuhan hanyalah ada karena sesuatu

yang lain atau akibat dari wâjib al-wujûd. Sementara kaum ‘irfân menganggap bahwa tidak ada

tempat bagi sesuatu selain Tuhan yang ada di sisi-Nya meski ia adalah akibat dari Tuhan. Jika alat failasuf adalah akal, logika, dan deduksi maka alat seorang ‘ârif (sebutan subjek ‘irfân) adalah

hati, usaha hati, penyucian dan disiplin diri serta dinamisme batin. Lihat, Murtadhâ Muthahharî,

Pengantar Ilmu-ilmu Islam,h.377-378.

6 Doyle Paul Johnson,

Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid I, terj. M.Z. Lawang,

(15)

4

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa mayoritas pergulatan pemikiran

Barat pasca Renaisans bermuara pada matinya metafisika sebagai objek dan bahan

penyelidikan. Serangan paling telak ditunjukkan oleh kalangan materialisme

dalam bidang falsafat yang menganggap realitas material sebagai satu-satunya

realitas objektif. Bahkan, sebagaimana materialisme dialektik dalam Marxisme,

akal atau pikiran manusia dianggap bagian dari materi.7 Dalam artian bahwa

pikiran merupakan bagian dari alam atau produk alam dan ekspresi tertinggi

tentangnya. Ini disebabkan manusia adalah produk alam, maka pikiran juga

bagian dan produk alam. Karena itu, akal tidak dapat merefleksikan pengetahuan

apapun di luar objek material seperti objek metafisik. Dalam falsafatnya,

Marxisme menerapkan metode dialektika terhadap objek material termasuk

manusia (materialisme dialektis) yang diklaim sebagai pendekatan objektif dalam

menemukan hukum-hukum perkembangan alam, manusia, dan objek material

lainnya. Dengan bersandar pada bangunan epistemologisnya, Marxisme berhasil

melahirkan sistem ekonomi politik sosialisme-komunisme.

Pandangan materialis ini menjalar ke aspek-aspek lain, seperti ke bidang

sosial, ekonomi, dan politik, tidak terkecuali materialisme Karl Marx. Untuk

bidang sosio-ekonomi, materialisme Karl Marx menjadi konsep

sosialisme-komunisme. Konsep ini berdiri dalam rangka penentangannya terhadap

liberalisme yang di dalamnya bercokol sistem ekonomi kapitalisme. Sistem

terakhir bisa dilacak secara konseptual dari pemikiran Bernard de Mandeville dan

Adam Smith pada abad ke-18. Keduanya adalah pendukung „masyarakat pasar‟

7 Frederick Engels,

(16)

yang bercirikan pembagian kerja secara rasional dan terperinci, penghormatan hak

milik pribadi, dan pengutamaan kepentingan pribadi.8 Menurut Smith,

kesejahteraan masyarakat akan terjamin dalam jangka panjang apabila individu

dibiarkan untuk mengejar kepentingan dan keuntungan pribadinya. Hal ini

dikarenakan adanya tangan yang tidak kelihatan (invisible hand) di mana individu

secara tidak sadar akan menyumbangkan yang terbaik buat masyarakat dengan

memenuhi kebutuhan orang lain demi kepentingannya sendiri.9 Sebuah hukum

pasar yang didasarkan pada mekanisme ilmiah Newton membawa implikasi

kebijakan ekonomi laissez fair yakni, pembatasan seminimal mungkin kontrol

pemerintah atas pasar.

Baik sosialisme komunisme maupun liberalisme merupakan manifestasi

dari semangat zaman pasca Renaisans hingga Pencerahan yang dalam kerangka

epistemologisnya menolak keabsahan metafisika sebagai objek penyelidikan

ilmiah. Peradaban Barat modern disandarkan pada semangat ilmiah, empiris,

positivis, dan rasional. Tak dapat dipungkiri semangat ilmiah tersebut pada

dasarnya adalah sumbangan Islam. Peradaban Islam yang pada Abad Pertengahan

mencapai puncak keemasan juga karena sains. Akan tetapi, sistem kepercayaan

Islam tidak semata mengandalkan sains tetapi juga metafisika sebagaimana tertera

dalam kitab suci al-Qur‟ân dan telah diterangkan di muka tentang penyelidikan

digunakan Islam. Maka keliru bila kemunduran Islam dikarenakan metafisika.

Justru terbukti pada suatu masa bahwa puncak keemasan peradaban Islam telah

muncul dan berkembang maju di bawah nilai ajaran metafisika Islam.

8 F. Budi Hardiman,

Filsafat Modern,h.101-103.

9 Doyle Paul Johnson,

(17)

6

Sejak lahir masa Renaisans di Italia pada abad ke-14 dengan semangat

penghargaan kembali kepada kebudayaan pra-Kristiani Yunani dan Romawi yang

membuka pandangan mereka tentang manusia, lahirlah humanisme dengan homo

universale (manusia universal) sebagai cita-citanya. Humanisme menempatkan

manusia ke dalam pusat dunia. Pandangan ini mereformasi total faham realitas

teosentris abad pertengahan menjadi antroposentris dengan memusatkan manusia

sebagai subjek yang berhadapan dengan ciptaan lain.10 Dengan kata lain, ciri khas

masa Renaisans adalah ditemukannya subjektivitas yang bertolak dari perubahan

perspektif manusia yang fundamental.

Kemudian, sebagai tanggapan terhadap humanisme yang sangat ekstrovert

dan dinilai sekular, muncullah penentangan dan penolakan dari para pangeran dan

kelas penguasa di kota-kota kaya seperti Firense, Genova, Vanesia dan juga

terlebih pemimpin rohani Gereja Katolik, para uskup, dan Paus Roma. Akibatnya,

hal ini malah melahirkan gerakan reformasi Kristen Protestan yang diprakarsai

Martin Luther melawan pimpinan Gereja dan para penguasa dunia yang berkroni

dengan Gereja, dengan memaklumatkan kebebasan orang Kristen.

Di satu sisi, Luther menentang keduniawian dan antroposentrisme

Renaisans yang bersifat Eropa Selatan dan sekularistik, mendikotomikan urusan

dunia dan agama. Namun pada sisi lain, sebenarnya ia justru memantapkan

antroposentrisme itu dengan menekankan kebebasan dan kesadaran hati religius

sebagai ukuran dan dasar kepercayaan seseorang. Dalam pandangannya, manusia

tidak dapat dipaksa untuk memercayai sesuatu. Hal ini terungkap dalam tuntutan

10 Franz Magnis Suseno,

Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h.

(18)

bahwa setiap orang Kristiani berhak untuk membaca Kitab Suci, memahami serta

menafsirkannya sendiri, dan bukan lagi menjadi hak para pemimpin Gereja

semata.11 Ini adalah sebuah kebebasan untuk tidak memercayai sesuatu yang

bertentangan dengan suara hati. Kebebasan yang mendorong subjektivitas sekular

ke subjektivisme religius.

Pandangan sekularistik masyarakat Eropa menyebabkan tersisihnya peran

agama di wilayah publik dan sepenuhnya menjadi urusan pribadi (privat) belaka.

Bahkan, sejarah „sakit‟ terjadi ketika muncul pertentangan antara ilmu

pengetahuan objektif dan doktrin Gereja di mana para ilmuwan positivis

mendapat inkuisisi seperti Galileo Galilei akibat penemuannya bertentangan

dengan otoritas Gereja, akhirnya membuat masyarakat tidak memercayai doktrin

agama. Hingga pada taraf tertentu, peradaban Barat dengan humanisme

sekularnya menggilas kepercayaan teosentris seraya meyakini berpijarnya

peradaban baru yang didasarkan pada rasionalitas dan semangat ilmiah.

Peradaban tersebut mencapai puncaknya pada abad 18 dengan lahirnya

sebuah gerakan zaman yang memengaruhi kehidupan ilmu pengetahuan, sosial,

politik, dan budaya yang disebut zaman pencerahan atau (Jerman: Aufklärung,

Inggris: Enlighment). Dalam sebuah majalah Berlinische Monasschrift, Desember

1784, Immanuel Kant menulis artikel dengan judul “Beantwortung der Frage:

Was ist Aufklärung? (Menjawab Pertanyaan: Apa itu Pencerahan?) Tulisan itu

secara tegas menegaskan ciri dari masyarakat pencerahan sebagai keluarnya anak

dari kategori bawah umur ke kedewasaan. Kategori bawah umur berarti ketika

11

(19)

8

seseorang tidak bisa atau tidak berani menggunakan akal budinya secara mandiri

dan masih perlu bimbingan orang lain. Pencerahan ditandai oleh penggunaan akal

budi seluas-luasnya dengan semboyan sapere aude! (beranilah berpikir sendiri).12

Dirayakannya akal budi sekaligus menandai keterpisahan manusia modern dari

pandangan tradisional yang diliputi oleh kungkungan tradisi dan dogma. Sebagai

gantinya, individu menjadi subjek otonom yang dewasa yang tidak bergantung

lagi pada nilai dan norma apapun selain atas akal budinya.

Selain itu, Immanuel Kant dalam bukunya Kritik der reinen Vernunft

(Kritik atas Rasio Murni) berhasil melakukan penyelidikan transendental atas

asas-asas a priori dalam rasio yang berkaitan dengan objek dunia luar yang

disebut syarat-syarat kemungkinan bagi pengetahuan. Dalam penyelidikannya,

Kant menetapkan putusan sintetis apriori sebagai pengetahuan yang bersifat

ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. Rumusan epistemologis Kant disebut

revolusi Kopernikan karena pengetahuan sebelumnya mengandaikan bahwa

subjek mengarahkan diri pada objek, padahal seharusnya, dengan forma apriori

yang melekat pada subjek, objek mengarahkan diri pada subjek. Akibatnya,

metafisika akan tercampakkan karena berada pada wilayah nomena atau das ding

an sich (ada pada dirinya sendiri) sedangkan pengetahuan manusia hanya mampu

menangkap wilayah fenomena (penampakan indrawi) saja.13

Dalam sejarah pemerintahan Islam, Nabi Muhammad telah berhasil

membangun suatu tatanan negara baru di Madînah sebagai penentangan pada

12 A. Setyo Wibowo, “Menjadi Dewasa dan Resikonya: Pencerahan di Mata Kant dan Nietzsche” dalam makalah diskusi LSAF, Jakarta, 24 Septempber, 2007, h. 1-2.

13 F. Budi Hardiman,

Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, (Jakarta:

(20)

tatanan kaum Quraysy yang tidak beradab. Islam membentuk suatu komunitas

yang berkuasa di Madînah dengan membina pemerintahan yang lebih berkembang

di mana kaum Muslim dan non-Muslim digolongkan atas dasar kehidupan sosial

yang umum.14 Karena dasar dibangun Rasulullah inilah, terutama dasar

metafisika, Islam menguasai dunia hingga delapan abad. Baru pada akhir abad 16,

pemerintahan dalam Islam mengalami kemunduran. Demikian pula pemikiran

Islam dan ilmu pengetahuan mulai ditinggalkan oleh orang Muslim.

Maka tidak mengherankan apabila para pemikir modern dalam Islam

seperti Jamâluddîn al-Afghânî dan sebagainya, mendiagnosis kemunduran Islam

untuk kemudian melakukan analisis konstruktif dalam upaya membangun kembali

peradaban yang telah rapuh bahkan hancur. Banyak tantangan mengemuka di

tengah melakukan upaya itu, terutama konteks zaman di mana para pemikir

pembaharu dihadapkan pada arus modernisasi yang menuntut pertemuan global

dengan peradaban dan ideologi Barat. Akibatnya, mereka „dipaksa‟ menjawab

tantangan tersebut tanpa tercerabut dari akar ideologisnya dengan cara menilainya

dari perspektif Islam.

Dalam bingkai inilah Muhammad Baqîr al-Shadr melakukan analisis

spesifik terhadap sistem sosial yang berlandaskan nilai-nilai Islam menjadi sistem

yang ideal. Menurutnya, persoalan paling mendesak untuk segera diselesaikan

adalah persoalan sistem sosial yang di dalamnya terdapat suprastruktur nilai yang

bisa membawa kesejahteraan bagi umat Islam dan manusia pada umumnya. Hal

14 Marshall Hodgson,

(21)

10

ini disebabkan sistem sosial yang ada yang disandarkan pada pandangan dunia

(worldview) Barat gagal mewujudkan kesejahteraan.

Berbeda dari Barat, pandangan dunia Islam yang didasarkan pada tauhid

diyakini Muhammad Baqîr al-Shadr mampu menciptakan sistem sosial yang

membawa kesejahteraan. Tauhid di sini dalam pengertian keyakinan dan

kesaksian bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah”. Pernyataan ini mengandung

makna paling agung dan kaya dalam seluruh khazanah Islam. Semua keragaman,

kebudayaan dan pengetahuan serta kebajikan dan peradaban dalam Islam

diringkas dalam kalimat pendek lâ ilâha illâ Allâh.15

Karena itu, tauhid bagi Muhammad Baqîr al-Shadr adalah dasar

pandangan hidup yang melihat segala sesuatu sebagai suatu keseluruhan yang

memanifestasikan keesaan Allah. Tidak ada dualitas dan kontradiksi dalam jagad

raya ini seperti manusia dan alam, ruh dan badan, kapitalis dan proletar apalagi

meletakkannya dalam jalinan hirarkis antara superior dan inferior. Semuanya

memunyai posisi sama dan setara di dalam sebuah sistem total yang terwujud dari

keesaan Allah.

Hanya Allah yang patut disembah, tempat segala sesuatu bergantung dan

berserah diri. Selain Allah tidak layak dipertuhankan karena keberadaannya tidak

mandiri. Oleh sebab itu, Islam tidak mengenal penyerahan kepada bentuk dan

corak apapun selain kepada-Nya.16 Penyerahan dan ketundukan terhadap berhala,

belenggu sosial, rezim yang korup, dan sebagainya dikatakan syirk

(menyekutukan Allah).

15Ismâ„îl Râjî al-Fârûqî,

Tauhid,terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1988), h. 9.

16 Muhammad Baqîr al-Shadr,

Problem Masa Kini dan Problem Sosial, terj. M. Hashem,

(22)

Dengan demikian, di dalam keyakinan tauhid terkandung spirit

pembebasan yang akan mengangkat martabat manusia. Pembebasan dari berbagai

macam perbudakan, tirani, hegemoni, kemiskinan, dan sebagainya sehingga

tercipta kehidupan sosial yang merdeka, adil, dan sejahtera. Sebuah tatanan

kehidupan yang selama ini menjadi tujuan dari sistem sosial.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Demi menjaga efektifitas agar pembahasan tetap terfokus pada persoalan,

maka penulis membatasi pembahasan pada peran tauhid dalam menciptakan

sistem sosial yang ideal dalam pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr.

Dengan pembatasan seperti itu, maka permasalahan yang akan menjadi

objek dan fokus penulisan adalah: Bagaimana peran tauhid dalam menciptakan

sistem sosial yang ideal menurut Muhammad Baqîr al-Shadr?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memahami dan menguraikan

secara rinci pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr tentang peran tauhid dalam

menciptakan sistem sosial yang ideal serta melakukan analisis kritis terhadapnya.

Sedangkan kegunaan penelitian ini adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai

berikut:

1. Mengetahui latar belakang Muhammad Baqîr al-Shadr dalam melihat

peran tauhid bagi terbentuknya sistem sosial yang ideal.

(23)

12

3. Mengetahui peran tauhid dalam menjawab problem dalam sistem sosial

4. Mengetahui peran tauhid bagi terbentuknya sistem sosial yang ideal

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode studi pustaka

(library research) terhadap karya-karya Muhammad Baqîr al-Shadr.

Pengumpulan data diambil dan dipilih dari karya Muhammad Baqîr al-Shadr dan

karya lain yang memiliki relevansi dengan uraian skripsi ini.

Secara teknis, analisis data yang digunakan bersifat kualitatif dengan

teknik pembahasan deskriptif analitis yang bertujuan menggambarkan pemikiran

Muhammad Baqîr al-Shadr dalam melihat peran tauhid dalam menciptakan sistem

sosial yang ideal. Teknik pengumpulan data dan pembahasan masalah dalam

skripsi ini disesuaikan dengan standar Pedoman Karya Ilmiah (Skripsi Tesis, dan

Desertasi) yang diterbitkan Center for Quality Development and Assurance

(CeQDa) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sementara, teknik penulisan dalam

skripsi ini berdasarkan pada panduan penulisan skripsi Fakultas Ushuluddin yang

termuat dalam Pedoman Akademik 2006/2007. Sedangkan penulisan transliterasi

menggunakan pedoman transliterasi penerbit buku Paramadina dengan perubahan

pada huruf ض, dari /dl/ menjadi /dh/ dalam skripsi ini.

E. Sistematika Penulisan

Setelah dalam Bab I penulis memaparkan latar belakang masalah,

(24)

mencoba memaparkan dengan jelas tentang riwayat hidup Muhammad Baqîr

al-Shadr mulai dari latar belakang sosial, perjalanan intelektual hingga hasil karya

dan pengaruh pemikirannya.

Pada BAB III, penulis akan membahas konsep sistem sosial dan beberapa

persoalan terkait dengan sistem itu dalam masyarakat modern, baik yang terjadi

pada masyarakat kapitalis maupun masyarakat yang berada di dalam bingkai

sosialisme. Hal ini menjadi pijakan awal dari analisis selanjutnya di mana

Muhammad Baqîr al-Shadr mengembangkan analisisnya dalam rangka melihat

peran tauhid bagi terciptanya sistem sosial yang ideal. Sedangkan BAB IV yang

menjadi pokok inti tulisan ini, penulis sudah masuk pada pembahasan tentang

pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr tentang peran tauhid dalam menjawab

problem sistem sosial masyarakat modern sekaligus dalam menciptakan sistem

sosial yang ideal.

Bab IV diawali dengan pandangan dunia (worldview) Islam. Pada sub

pokok selanjutnya, akan dipaparkan kedudukan tauhid dalam Islam sebagai

landasan hidup dan Tuhan sebagai pusat realitas.

Selain itu, di bab IV akan dijelaskan peran tauhid dalam kemerdekaan dan

keadilan. Dari kemerdekaan ini kemudian mengejawantah suatu pencapaian

tujuan dari sistem sosial yakni kesejahteraan dan kebahagiaan.

Sementara pada bab V penulis akan menyimpulkan dari seluruh bahasan

dan masalah yang menjadi fokus kajian serta merekomendasikan sejumlah saran

(25)

BAB II

BIOGRAFI MUHAMMAD BAQÎR AL-SHADR

A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Sosial

Muhammad Baqîr al-Shadr al-Sayyid Haydar b. Ismâ„îl adalah seorang

ulama, sarjana, failasuf, dan salah satu tokoh politik revolusioner Irak. Dia lahir di

Kazmain, Baghdad, pada 25 Zhû al-Qâ„dah 1353 H./1 Maret 1935 M. dari

keluarga religius dan termasyhur. Ayahnya, Haydar al-Shadr, sangat dihormati

dan merupakan alim Syî„ah peringkat tinggi. Garis keturunannya kembali ke Nabi

Muhammad melalui imam Syî„ah yang ketujuh yaitu Mûsâ Kazhîm. Beberapa

tokoh kenamaan juga lahir dari keluarganya seperti Sayyid Shadr al-Dîn al-Shadr,

seorang marja‘1 di Qum, Iran; Muhammad al-Shadr, salah seorang pemimpin

religius yang memainkan peran penting dalam revolusi Irak melawan Inggris dan

mendirikan Haras al-Istiqlâl (Pengawal Kemerdekaan); dan Mûsâ al-Shadr,

seorang pemimpin Syî„ah di Lebanon.2

Pada usia empat tahun, Muhammad Baqîr al-Shadr kehilangan ayahnya

dan kemudian diasuh oleh ibu dan kakak laki-lakinya, Ismâ„îl, yang juga seorang

mujtahid3 kenamaan di Irak. Pada usia sepuluh tahun, dia mulai berceramah

tentang sejarah Islam dan beberapa aspek lain tentang kultur Islam. Dia sudah

mampu menangkap wacana teologis tanpa bantuan seorang guru pun. Ketika

berusia sebelas tahun, dia mengambil studi logika dan menulis buku yang

1Ulama yang dijadikan otoritas rujukan tertinggi dalam madzhab Syî„ah. 2 Biografi Muhammad Baqîr al-Shadr ditulis dalam bukunya

Falsafatunâ, terj. M. Nur

Mufid bin Ali, (Bandung: Mizan, 1991), h. 11.

3 Orang alim yang telah mencapai tingkat tertinggi di kalangan teolog Muslim.

(26)

mengeritik para failasuf. Pada usia tiga belas tahun, kakaknya mengajarkan Ushûl

‘Ilm al-Fiqh (Asas-asas Ilmu tentang Prinsip-prinsip Hukum Islam). Pada usia

enam belas tahun, ia pergi ke Najaf untuk menempuh pendidikan yang lebih baik

dalam berbagai cabang ilmu Islam di Universitas Najaf al-Asyraf, Irak. Sekitar

empat tahun kemudian, dia menulis sebuah eksiklopedia tentang Ushûl Ghâyah

al-Fikr fî al-Ushûl (Pemikiran Puncak dalam ushûl). Karya ini hanya berhasil

diterbitkan satu volume. Ketika usia dua puluh tahun, dia mulai mengajar bahts

al-kharîj (tahap akhir ushul) dan fiqh. Dan, pada usia tiga puluh tahun,

Muhammad Baqîr al-Shadr telah menjadi mujtahid. 4

Dunia karirnya tidak begitu gemilang kecuali sebagai pengajar,

penceramah, dan penulis. Karena tulisannya banyak bersinggungan dengan

masalah ekonomi, terutama Iqtishâdunâ yang banyak mengeritik Marxisme dan

kapitalisme dengan mengajukan prinsip ekonomi Islam, ia kemudian sering

dimintai konsultasi oleh berbagai organisasi Islam, seperti Bank Pembangunan

Islam. Ia juga ditugaskan oleh pemerintah Kuwait untuk menilai bagaimana

kekayaan minyak negara dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Selain itu,

ia juga diminta untuk membangun dan meletakkan dasar-dasar bagi pembentukan

bank-bank Islam modern.

Sebagai seorang pemikir kontemporer terkemuka, Muhammad Baqîr

al-Shadr melambungkan kebangkitan intelektual yang berlangsung di Najaf antara

tahun 1950-1980. Tulisannya sarat dengan makna dan muatan teologis-falsafatis

yang kerap menyerang konsepsi falsafat Barat seraya mengajukan konsep Islam

4

(27)

16

dalam membedakan antara kebenaran dan kesalahan.5 Hal ini dapat dimaklumi

karena kondisi Irak pasca terjadinya revolusi 1958, dalam rangka menentang

pemerintahan monarki, berada dalam ketidakpastian yang dihantui oleh

merebaknya berbagai pemikiran dengan tendensi ateisme. Pemikiran itu dianggap

telah berusaha memengaruhi akal, emosi, dan naluri sehingga akan terjadi

kehampaan pada Islam dan kaum Muslim. Kondisi itu pula yang menggugah

beberapa ulama di Najaf al-Asyraf untuk menerbitkan majalah al-Adwa’ al

-Islâmiyyah di mana Muhammad Baqîr al-Shadr menjadi pimpinan dan tokoh yang

paling menonjol. Kehadirannya diharapkan menjadi juru bicara Islam dalam

menghadapi pelbagai penyimpangan pemikiran dan gerakan.6 Hawzah7 ilmiah di

Najaf al-Asyraf sadar bahwa keadaan itu memerlukan alat-alat baru di tengah

pergulatan mengisi kekosongan pemikiran dalam rangka restrukturisasi dan

reformulasi sistem yang lebih baik.

Muhammad Baqîr al-Shadr merupakan tokoh paling produktif

menuangkan tulisannya di majalah tersebut sebagai suatu bentuk perjuangan

pemikiran dan gerakan ideologis. Namun, dia tidak dapat melanjutkan aktivitas

menulisnya di al-Adwa’ lantaran ada tekanan dari sentral kekuatan di hawzah

ilmiah. Alasannya karena mereka khawatir akan adanya dampak negatif yang

akan menimpa masa depannya di mana dia diharapkan menjadi pemangku jabatan

sebagai pusat rujukan keagamaan (al-marja‘iyyah al-islâmiyyah). Alasan itu tak

5 Karya yang secara khusus dan sistematis mengeritik bangunan konseptual falsafat Barat

bisa dilihat dalam Falsafatunâ.

6 Sayyid Muhammad Husayn Fadhlullah “Kata Pengantar” dalam Muhammad Baqîr

al-Shadr, Syahadat Kedua: Ketika Keimanan saja Tak Cukup, terj. Muhammad Abdul Qadir Al-Caff,

(Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h. 15-16.

7

Hawzah dalam pengertian bahasa berarti wilayah. Dalam konteks ini berarti wilayah

(28)

berlebihan karena Muhammad Baqîr al-Shadr secara progresif seringkali

menganjurkan suatu gerakan Islam yang mengorganisasikan sebuah partai sentral

yang dapat bekerja dengan berbagai unit dalam naungan bangsa Islam untuk

perubahan sosial yang diinginkan. Sebagai akibatnya, dia kemudian mendirikan

partai Da‘wah al-Islâmiyyah (Partai Dakwah Islam) seraya menegaskan bahwa

politik adalah bagian dari Islam. Dia menyerukan kepada kaum Muslim supaya

mengenali kekayaan khazanah Islam dan melepaskan diri dari pengaruh eksternal

apapun, khususnya kapitalisme dan Marxisme.8

Melalui gerakannya, dia menyerukan kaum Muslim agar bangun dari tidur

panjang dan menyadari bahwa imperialis sedang berupaya membunuh ideologi

Islam dengan menyebarkan ideologi mereka. Kaum Muslim harus bersatu dalam

melawan pengaruh dan intervensi itu, baik dalam sistem sosial, ekonomi, dan

politik. Di samping itu, ajaran dan gerakan politik Muhammad Baqîr al-Shadr

secara langsung berhadapan dengan rezim Ba‟ats yang ditentangnya sebagai rezim

diktator yang melanggar hak asasi manusia dan Islam.9 Akibatnya, pada tahun

8 Muhammad Baqîr al-Shadr,

Falsafatunâ, h. 12.

9 Bagi Muhammad Baqîr al-Shadr, Islam menolak monarki, pemerintahan diktator, dan

aristokrasi. Dia mengusulkan pemerintahan yang dikenal dengan wilâyah al-ummah yang terdiri

dari khulafâ’ al-insân (manusia sebagai ahli waris atau wali Allah) dan syahâdah al-anbiyâ’

(kesaksian para Nabi). Menurutnya, sepanjang sejarah manusia terdapat dua garis peran dan fungsi pemerintahan yang saling berkaitan, yang pertama khalîfah sebagai wali yang mewarisi bumi Allah, dan yang kedua syâhid atau saksi. Khalîfah adalah hak dan kewajiban yang diberikan oleh

Allah kepada setiap orang untuk mengurusi persoalan dunia dan karena itu, dalam konteks negara, diidentifikasi sebagai hak rakyat di mana legitimasi pemerintahan berasal dari rakyat bukan ulama. Sementara syâhid adalah orang yang berperan sebagai saksi atau melakukan pengawasan atas pemerintahan di mana tanggung jawabnya diberikan kepada para nabi, imam sebagai pewaris nabi, dan terakhir marja‘iyyah. Fungsi ke-khalîfah-an (pemerintahan) dan syahâdah (pengawasan) pada

(29)

18

1977 dia ditahan dan dipindahkan dari Najaf ke Baghdad tetapi berhasil

dibebaskan karena popularitasnya. Dua tahun kemudian, dia ditahan lagi di Najaf

pada tahun 1979. Kondisi ini membuat saudara perempuannya, Bint al-Hudâ,

yang juga seorang sarjana teologi Islam, gusar dan mengorganisir suatu gerakan

yang menentang penahanan atas seorang marja‘. Protes juga dilakukan oleh

gerakan lain di dalam dan di luar Irak sehingga dia berhasil dibebaskan meski

tetap dikenai tahanan rumah selama delapan bulan.

Namun, keadaan itu tidak menyurutkan langkah Muhammad Baqîr

al-Shadr untuk tetap berjuang dalam bingkai gerakan ideologis yang diyakininya.

Bahkan, ketegangan antara partai Ba‟ats dan dia semakin menjadi kentara. Hal ini

dapat dilihat dari fatwanya yang mengharamkan seorang Muslim bergabung

dengan partai Ba‟ats dan dukungannya terhadap revolusi Islam. Akibatnya, pada 5

April 1980, dia ditahan lagi bersama dengan adiknya dan dipindahkan ke

Baghdad. Keduanya dipenjarakan dan dieksekusi mati tiga hari kemudian oleh

rezim Saddam Hussein. Diduga bahwa Muhammad Baqîr al-Shadr dibunuh

dengan cara dipaku tepat di kepalanya.10 Jasad mereka dibawa dan dimakamkan

di Najaf. Selain mereka, ribuan pelajar di Hawzah diusir ke luar Irak, sebagian

dipenjara, dan para ulama dihukum gantung tanpa proses pengadilan.

Tragedi pengeksekusian itu membuat reputasi Muhammad Baqîr al-Shadr

semakin diakui di berbagai kalangan masyarakat. Namanya melintas jauh ke

ummah. Lihat di www. "http://en.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Baqir_al-Sadr", diakses tanggal

10 Maret 2009. Penjelasan lebih spesifik dan rinci mengenai prinsip dan landasan pemerintahan Islam bisa dilihat dalam buku Muhammad Baqîr al-Shadr, Sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar, terj. Arif Mulyadi, (Jakarta: Lentera, 2001), h. 101-113.

10 www. "http://en.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Baqir_al-Sadr". Artikel diakses pada

(30)

Mediterania, Eropa hingga Amerika Serikat. Terbukti pada tahun 1981, Hanna

Batatu, dalam sebuah artikel di Middle East Journal, Washington, menunjukkan

betapa pentingnya Baqîr al-Shadr bagi gerakan bawah tanah Islam di Irak. Sebuah

peranan yang juga tak bisa diabaikan bagi kebangkitan berbagai gerakan politik

Islam di dunia.

B. Karya Tulis

Sebagai seorang intelektual, Muhammad Baqîr al-Shadr sangat produktif

membuat karya tulis, baik yang berbentuk buku maupun artikel. Mayoritas

karyanya ditulis dengan menggunakan bahasa Arab. Kurang lebih dua puluh tujuh

buku telah ditulisnya (beberapa diterjemahkan ke bahasa lain seperti bahasa

inggris dan bahasa Indonesia) dan tiga puluh satu artikel dipublikasikan di

berbagai majalah khususnya al-Adwa’ al-Islâmiyyah. Sebagian artikel itu,

diterbitkan secara berkesinambungan sesuai dengan tema dan judul tulisan

sehingga dibentuk dan diterbitkan menjadi buku. Karyanya berkonsentrasi pada

ilmu dan masalah-masalah keislaman yang cukup kompleks sehingga

pemikirannya menyebar dalam berbagai bidang seperti sosial, politik, ekonomi,

sejarah, teologi, falsafat, fiqh dan sebagainya.

Hal itu menunjukkan keluasan cakrawala pengetahuan dan keragaman

penguasaannya atas berbagai disiplin ilmu serta mencerminkan reputasi

intelektual yang tinggi. Ciri khas tulisannya sarat dengan nuansa kritik terhadap

berbagai pemikiran Barat seraya memberikan tanggapan dengan bersandar secara

(31)

20

teologis dan falsafi, bukan retorika terkesan apologetik dengan tendensi ideologis

yang dipaksakan.

Karya falsafat yang secara khusus mengeritik bangunan falsafat Barat

tertuang dalam Falsafatunâ: Dirâsah al-Mawdhû‘iyyah fî al-Mu‘tarak al-Shirâ’

al-Fikrî al-Qâ’im bayna al-Mukhtalaf al-Thayarât al-Falsafiyyah wa al-Falsafah

al-Islâmiyyah wa al-Mâddiyah al-Diyaliktikiyyah (al-Marksiyyah). Dalam buku

ini, Muhammad Baqîr al-Shadr menyajikan kritik epistemologis terhadap

pandangan dunia Barat yang mengakhiri matinya metafisika khususnya

materialisme dialektis dalam Marxisme. Selanjutnya dia menjelaskan bagaimana

Islam mengajukan konsep mendasar tentang dunia beserta metode berfikirnya. Di

sini terlihat konfrontasi pemikiran yang sangat kentara antara Islam dan Barat

dengan argumen falsafi cukup mendalam dan menyeluruh.

Buku itu terdiri dari dua bagian pembahasan. Yang pertama adalah tentang

epistemologi di mana Muhammad Baqîr al-Shadr membedakan dua bentuk

pengetahuan: konsepsi dan tashdîqî (penilaian kebenaran pengetahuan atau

aksiologi ilmu). Dalam bahasan ini ia mengeritik epistemologi dalam

masing-masing tradisi atau aliran falsafat Barat. Yang kedua tentang metafisika dan

konsep falsafat tentang dunia. Di sini dia mencoba mematahkan kerangka berpikir

falsafat yang mengganggap metafisika sebagai takhayul dan kata-kata kosong

dengan prinsip prima causa (sebab pertama) sebagai sesuatu yang menyebabkan

adanya sesuatu yang lain. Menurutnya bahwa jika di alam semesta berlaku hukum

kausalitas, maka mustahil sebab itu tidak berhingga. Gerak mundur sebab itu akan

(32)

tunduk pada hukum kausalitas yang menyatakan bahwa setiap sesuatu merupakan

akibat dari sebab sebelumnya. Ini dikarenakan keberadaan Sebab Pertama pada

esensinya niscaya, mandiri, dan tidak membutuhkan sebab. Baru dari Sebab

Pertama kemudian muncul matarantai sebab yang berlaku umum bagi alam

semesta.

Selain karya itu, Muhammad Baqîr al-Shadr juga menulis masalah

keimanan Islam dalam buku Mujâz fî Ushûl Dîn: Mursil, Rasûl,

al-Risâlah.11 Dalam buku ini dia mengeksplorasi tiga hal penting dalam iman Islam

yaitu Allah, Rasul, dan Islam beserta pesan-pesan yang terkandung di dalamnya.

Khususnya keimanan kepada Allah, dia mengajukan argumen falsafi dan

akademik dalam rangka membuktikan akan keberadaan-Nya serta sifat-sifat-Nya

seperti keadilan. Demikian pula hal sama ia lakukan ketika membahas tentang

Nabi Muhammad sebagai rasul penutup yang membawa pesan bagi seluruh umat

manusia.

Bagian terakhir buku itu menjelaskan tentang pesan Islam sebagaimana

tertera dalam al-Qur‟ân yang diyakini memunyai keistimewaan dan karakteristik

tersendiri dibanding pesan-pesan surgawi lainnya. Salah satu karakteristik itu

adalah terjaganya al-Qur‟ân dari perubahan-perubahan baik dalam bentuk huruf

maupun dalam bentuk keimanan sebagaimana telah terpatri dalam jiwa religius

seorang Muslim. Al-Qur‟ân juga mengandung pesan yang mencakup seluruh

aspek kehidupan yang membawahi dikotomi antara kehidupan material dan

spiritual, dan sebagainya. Melalui karya ini, Muhammad Baqîr al-Shadr

11 Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Mahmoud M. Ayoub menjadi

(33)

22

menunjukkan bahwa keimanan dalam Islam memunyai landasan kebenaran yang

kokoh di mana pembuktiannya bisa dilakukan secara rasional dan ilmiah.

Setelah menghadirkan bukti-bukti rasional dan akademik, Muhammad

Baqîr al-Shadr berusaha membangkitkan kesadaran umat Islam akan kebenaran

keimanan tersebut beserta implikasinya bagi kehidupan dalam buku Risâlatunâ

(Misi Kami).12 Upaya ini dilakukan karena menurutnya keimanan bukan sekedar

taqlid saja melainkan suatu pemahaman dan pengakuan akan kebenarannya

sehingga memengaruhi kesadaran dan tindakan seseorang. Dia meyakini bahwa

seorang Muslim yang menyadari kebenaran iman Islam akan membawa kemajuan

bagi kehidupan, membawa rahmat bagi seluruh alam sebagaimana tugas dan

tanggung jawab khalifah yang diberikan Allah kepada manusia. Muslim yang

sadar akan keimanannya tidak akan tinggal diam ketika melihat kenyataan yang

bertentangan dengan tugas sejatinya, tidak pernah takut pada segala macam

penindasan dan ketidakadilan yang merugikan kehidupan.

Untuk menuju kesadaran dan kebangkitan Islam itu, ada tiga syarat yang

harus dimiliki oleh umat, yaitu adanya ajaran yang benar, adanya pemahaman

terhadap ajaran tersebut, dan terakhir, sebagai konsekuensi dari keduanya, adanya

keimanan. Tiga syarat ini tak boleh diabaikan karena bagaimana pun juga

kesadaran tidak lahir dari ruang yang kosong. Kesadaran muncul dari keimanan

seseorang yang memahami akan kebenaran ajarannya yang kemudian dijadikan

landasan dalam setiap tindakan. Tanpa itu, seseorang akan tercabik-cabik oleh

12 Dalam edisi Indonesia diterjemahkan dengan judul berbeda dari aslinya yaitu

Syahadat Kedua: Ketika Keimanan saja Tak Cukup. Menurut hemat penulis, judul ini lebih ditekankan pada

(34)

ketidakpastian keadaan sehingga langkahnya goyah dan gontai bahkan sama

sekali stagnan alias mati suri.

Sedangkan karya yang berkaitan dengan kehidupan sosial umat di zaman

modern, salah satunya termuat dalam bukunya Al-Insân al-Mu‘ashshir wa

al-Musykilah al-Ijtimâ‘iyyah (Manusia Masa Kini dan Problema Sosial). Ini

merupakan salah satu karya yang diterbitkan dalam bentuk seri aliran pemikiran

Islam. Dalam karya ini, Muhammad Baqîr al-Shadr berbicara tentang persoalan

kehidupan sosial modern dan solusinya yang dibenturkan dengan solusi yang

ditawarkan oleh pemikiran Barat khususnya sosialisme-komunisme dan

kapitalisme-liberalisme. Buku ini berpijak di atas landasan konseptual

sebagaimana terdapat dalam Falsafatunâ yang memberikan kritik epistemologis

terhadap pemikiran Barat. Hanya saja cakupannya lebih luas dan lebih menyentuh

pada persoalan praksis kehidupan, baik sosial maupun ekonomi.

Menurut pandangannya, masalah yang paling mendesak untuk segera

diselesaikan adalah masalah sistem sosial. Melalui sistem sosial, tujuan kehidupan

individu dan masyarakat diupayakan bersama sehingga bisa mencapai hasil yang

lebih baik dan maksimal. Karena itu, pencarian terhadap sistem yang sesuai

dengan tujuan manusia serta mampu mewujudkannya sangat diperlukan. Sejarah

telah menunjukkan bahwa dalam setiap zaman manusia selalu bergulat dalam

sebuah sistem untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Penerapan sistem itu

menjadi eksperimen tersendiri bagi kehidupan selanjutnya untuk membangun dan

(35)

24

sistem itu mengejawantah dalam sosialisme-komunisme dan

kapitalisme-liberalisme.

Dalam masing-masing sistem itu terdapat tujuan dan nilai-nilai yang

dipercayai dan menjadi pandangan hidup (way of life) masyarakat. Di samping itu,

terdapat pula seperangkat cara untuk mencapai tujuan tersebut sehingga

membentuk organisme padu antara elemen-elemen yang ada di dalamnya. Dan

sejauh ini, menurut penilaian Muhammad Baqîr al-Shadr, sistem-sistem itu gagal

mewujudkan tujuan dari kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun

sebagai makhluk sosial. Dia mengeritik sistem sosial yang selama ini saling

bertikai dalam kehidupan modern dan kemudian menawarkan sistem sosial yang

disandarkan atas Islam sebagai satu-satunya sistem yang ideal. Disebut ideal

karena sistem itu diyakini mampu mencapai tujuan sebagaimana yang diinginkan

bersama dalam kehidupan.

Karya lain berkenaan dengan masalah sosial khususnya tentang kehidupan

politik umat Islam adalah Manâbi’ al-Qudrah fî al-Dawlah al-Islâmiyyah

(Sumber-sumber Kekuasaan dalam Pemerintahan Islam). Dalam karya ini

Muhammad Baqîr al-Shadr menjelaskan tentang sumber kekuasaan di bawah

sistem keyakinan Islam, bentuk pemerintahan, peran fungsi serta tujuan yang akan

dicapai. Menurutnya, sumber pemerintahan Islam berasal dari Allah yang

memberikan tanggung jawab ke-khalîfah-an kepada manusia dan mendeklarasikan

Allah sebagai tujuan atau terminal akhir kafilah kemanusiaan. Sedangkan tugas

(36)

masyarakat dan membebaskan mereka dari ketertindasan baik ekonomi, politik,

dan intelektual.

Akan tetapi, walaupun sumber pemerintahan berasal dari Allah bukan

berarti secara gampangan seorang penguasa dapat menggunakannya sebagai

sentimen untuk melegitimasi kekuasaannya. Ini disebabkan tugas pemerintahan

(khalîfah) tidak hanya diberikan kepada satu orang saja melainkan kepada seluruh

manusia. Dengan demikian, dalam politik seorang penguasa tidak dapat

mengklaim kekuasaannya bersumber atau ditentukan langsung oleh Allah tetapi

harus mendapatkan legitimasi dari semua orang di dalamnya. Setiap orang

memiliki tanggung jawab untuk mengurusi dunia dan kehidupan sehingga dia

memunyai hak untuk menentukan pemimpin pemerintahan. Berangkat dari

pemikiran ini, Muhammad Baqîr al-Shadr menuntut diadakannya pemilu serta

menyerukan agar masyarakat menggunakan haknya dengan memberikan suara

untuk memilih dewan perwakilan mereka. Konsep pemerintahannya adalah

wilâyah al-ummah yang terdiri dari khalîfah (pemerintahan eksekutif dan

legislatif) dan syahâdah (kesaksian atau pengawasan yang dilakukan oleh ulama

atau walî al-faqîh).

Selain politik, karya Muhammad Baqîr al-Shadr menyangkut kehidupan

sosial juga berkaitan dengan masalah ekonomi. Pemikirannya tentang ekonomi

termuat dalam buku Al-Madrasah al-Islâmiyyah13 (Sekolah Islam) dan

Iqtishâdunâ (Ekonomi Kami). Dalam karya ini, dia mengeritik sistem ekonomi

kapitalisme dan sosialisme yang dinilai gagal mengupayakan tercapainya tujuan

13 Dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan judul

(37)

26

sistem sosial. Sebagai gantinya, dia mengajukan konsep ekonomi Islam dengan

mengurai prinsip-prinsip yang harus menjadi landasan dalam ekonomi. Kajiannya

sangat mendalam dan komprehensif, khususnya dalam buku Iqtishâduna,

sehingga mendapatkan nilai kesarjanaan yang cukup tinggi. Berbeda dari ekonomi

syari„ah yang hanya menekankan pada praktik atau transaksi tanpa ribâ (bunga),

ekonomi Islam perspektif Muhammad Baqîr al-Shadr berlandaskan pada

nilai-nilai keadilan yang membawahi seluruh aspek ekonomi. Pemikirannya dapat

menjadi alternatif baru di tengah runtuhnya komunisme dan gagalnya kapitalisme.

Karena sumbangannya yang begitu besar dan sangat berarti dalam ekonomi, dia

kemudian lebih dikenal sebagai ekonom Islam.

C. Perkembangan dan Pengaruh Pemikiran

Muhammad Baqîr al-Shadr merupakan seorang intelektual Muslim brilian

dan progresif yang memunyai kesadaran sejarah pada zamannya. Dia menekuni

dan menguasai ilmu-ilmu Islam serta menulis dalam berbagai bidang keilmuan.

Walaupun demikian, bukan berarti Muhammad Baqîr al-Shadr tidak memunyai

konsentrasi khusus berkenaan dengan spesialisasi pemikiran. Lebih tepat jika

dipahami bahwa semua masalah yang dijabarkan berkaitan dengan bidang-bidang

itu mengacu pada suatu proyek pemikiran keislaman dalam rangka menciptakan

sistem sosial yang ideal.

Tujuan itu dirasakan sangat penting karena konteks historis pasca Perang

Dunia II diwarnai oleh ketegangan ideologis mengenai persoalan kehidupan

(38)

kapitalisme-liberalisme. Pengaruh ketegangan itu menjangkiti pemerintah dan masyarakat Irak

sehingga terjadi penyimpangan dalam bentuk orientasi ateisme. Kejadian tersebut

muncul setelah revolusi 14 Juli 1958 dalam rangka menentang pemerintahan

monarki yang dipimpin oleh jenderal Abdul Karim Kassem dan berhasil

mengubah sistem pemerintahan dari monarki menjadi republik. Kondisi inilah

yang menggerakkan Muhammad Baqîr al-Shadr untuk menemukan sistem sosial

yang didasarkan atas keyakinan Islam.

Dengan sendirinya, tujuan itu menuntut dia untuk menggali dan

mengembangkan lebih jauh khazanah pemikiran keislaman serta

menghadapkannya pada beberapa pemikiran dalam konteks kekinian. Dalam

pengertian ini, maka wajar apabila karyanya bertebaran dalam berbagai bidang

keilmuan. Semuanya dilakukan untuk mencari dasar pijakan dalam rangka

membangun konsep ideal tentang sistem sosial tanpa tercerabut dari akar

keyakinannya. Apalagi sistem sosial serta upaya mencapai tujuannya,

membutuhkan konsep dan prinsip-prinsip yang menyeluruh yang mampu

membawahi seluruh aspek kehidupan sosial, politik maupun ekonomi.

Pencarian dasar pijakan itu dilakukan Muhammad Baqîr al-Shadr secara

ekstensif dengan argumen-argumen yang bisa dipertanggungjawabkan secara

rasional. Dia menyadari betul bahwa landasan dari setiap pemikiran harus

benar-benar kokoh sehingga bangunan pemikiran yang dihasilkan tidak rapuh di depan

pengujian kebenaran. Oleh karena itu, dia masuk ke dalam ranah falsafat untuk

(39)

28

dunia, dia membangun pemikirannya tentang sistem sosial Islam yang

dikonfrontasikan dengan sistem sosial lain.

Pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr memberikan pengaruh signifikan

khususnya bagi dinamika kehidupan sosial masyarakat Irak dan pemikiran Islam

pada umumnya. Hal ini disebabkan, di samping pemikirannya dibangun di atas

landasan yang kokoh berhadapan dengan ideologi pemikiran Barat, ia juga

mengupayakan pemikirannya agar menjadi praksis dalam suatu perjuangan

ideologis melalui kajian dan gerakan kelompok akademis dan partai politik.

Gerakan ini berkonfrontasi langsung terhadap partai penguasa di mana tidak

jarang sikap serta kebijakannya ditentang oleh Muhammad Baqîr al-Shadr. Dalam

pemikiran Islam, pengaruhnya paling mencolok dapat dilihat dalam pemikiran

ekonomi lewat karyanya Iqtishâdunâ.

Secara ringkas sepak terjang Muhammad Baqîr al-Shadr memiliki dua

pengaruh, baik bagi negerinya maupun dunia internasional, dalam mana kedua

elemen tersebut terkait dengan eksistensi Syî„ah sebagai aliran agama ia anut.

Pertama, bagi dinamika kehidupan sosial masyarakat Irak, Muhammad Baqîr

al-Shadr menjadi ikon perlawanan terhadap rezim yang lalim dan menindas umat

Islam Syî„ah yang merupakan penduduk mayoritas Islam Irak, yaitu 57 persen

dari 25 juta penduduk Irak.14 Umat Islam Syî„ah di Irak dicurigai gerak-geriknya

sebagai kelompok yang dianggap membahayakan kekuasaan Sunnî dari partai

Ba‟ats, Saddam Hussein. Bahkan pihak penguasa waktu itu melakukan,

meminjam istilah Chibli Mallat, Sunnisasi serta Ba‟atsisasi terhadap masyarakat

14 M. Reza Sihbudi,

(40)

Irak sehingga menimbulkan ketegangan akibat pertentangan massif dari kelompok

Syî„ah.

Sunnisasi dan Ba‟atsisasi panggung politik Irak menjadi sebab utama

penentangan kaum Syî„ah terhadap rezim Saddam sehingga muncul dua

organisasi Syî„ah yaitu partai Da‘wah al-Islâmiyyah dan Al-Mujâhidîn. Kedua

organisasi itu sama-sama mengakui kepemimpinan imam Syî„ah Irak, Muhammad

Baqîr al-Shadr. Maka wajar apabila ia disebut oleh Hanna Batatu sebagai “the

most learned of Iraq’s Ayatullah” (sosok paling terpelajar dari komunitas

Ayatullah Irak) karena ia memang seorang alim yang sangat kharismatik baik

dilihat dari segi peranan politik maupun karya-karyanya. Dalam hal ini ia dapat

disejajarkan dengan Imam Khomeini di Iran atau Imam Mûsâ al-Shadr di

Libanon.15 Di bawah kepemimpinannya, kelompok Syî„ah mulai diperhitungkan

sebagai sebuah kekuatan politik yang sangat potensial.

Pada tahun 1974 dan 1977, ketika prosesi memeringati hari ‘Asyûrâ (hari

untuk mengenang kesyahidan Imam Husayn), kaum Syî„ah Irak melakukan

demonstrasi mengutuk pemuka partai Ba‟ats. Dan ketika Revolusi Republik Islam

Iran berhasil meruntuhkan dinasti Pahlevi, pada Juni 1979 Muhammad Baqîr

al-Shadr merencanakan memimpin long march dari Najaf ke Teheran untuk

memberi selamat kepada Imam Khomeini. Namun rezim Ba‟ats yang tidak

menghendaki rencana itu segera menangkap Muhammad Baqîr al-Shadr sehingga

menimbulkan kerusuhan anti Saddam dari kalangan Syî„ah selama hampir satu

15

(41)

30

tahun. Kerusuhan itu memuncak pada dieksekusinya Muhammad Baqîr al-Shadr

dan saudara perempuannya Bint al-Hudâ.16

Sepeninggal Muhammad Baqîr al-Shadr, aksi represif rezim Saddam

menjadi hari-hari tersulit bagi kelompok Syî„ah Irak. Akan tetapi kondisi itu tidak

membuat kobaran semangat mereka padam. Hanya saja mereka kehilangan ikon

pemersatu yang ditandai dengan berdirinya berbagai organisasi Syî„ah seperti

Organisasi Aksi Islam, Dewan Ulama untuk Revolusi Islam Irak, Tentara

Revolusioner untuk Pembebasan Irak, Kelompok Ulama Pejuang Irak, dan Biro

Revolusi Islam Irak. Namun, organisasi itu tidak bertahan lama kecuali Organisasi

Aksi Islam (Munazhzhamât al-‘Amal al-Islâm). Hal ini disebabkan tidak adanya

pengakuan dari Imam Khomeini dan belum terpecahkannya masalah

kepemimpinan pasca wafatnya Muhammad Baqîr al-Shadr. Sementara organisasi

lama, Da‘wah al-Islâmiyyah dan Al-Mujâhidîn, dianggap tidak representatif lagi.

Keadaan tersebut membuat prihatin para aktivis Syî„ah di Iran sehingga

pada 17 November 1982, mereka sepakat membentuk Dewan Tertinggi Revolusi

Islam Irak atau The Supreme Assembly of the Islamic Revolution in Iraq (SAIRI)

di bawah kepemimpinan Sayyid Muhammad Baqîr al-Hakîm. Sejak saat itu, atas

restu Khomeini, dia diakui sebagai pemimpin Syî„ah Irak. Namun, al-Hakîm

belum bisa disejajarkan dengan Muhammad Baqîr al-Shadr karena karyanya tidak

ada yang mampu menandingi Iqtishâdunâ, Falsafatunâ atau karya lainnya. Ia

justru berada di bawah bayang-bayang kebesaran ayahnya, Ayatullah al-„Uzmâ

16

(42)

Muhsin al-Hakîm. Selain itu, selama menjabat sebagai pemimpin, ia belum

mampu menyatukan kelompok Syî„ah sampai ia meninggal dunia.17

Setelah itu, SAIRI dipimpin oleh saudaranya yaitu „Abdul „Azîz al-Hakîm.

Akan tetapi, ia dinilai kurang kharismatik terutama setelah ia menempuh jalan

kompromi dengan penguasa pendudukan Amerika di Irak. Maka saat itulah pamor

dinasti al-Shadr mulai naik kembali. Melalui tokoh muda Ayatullah Muhammad

Shadîq al-Shadr, ia menjadi ikon baru bagi perlawanan Syî„ah Irak terhadap rezim

Saddam Hussein dan pasukan pendudukan Amerika pasca Saddam Hussein.

Dalam salah satu khutbah Jum„at di kota suci Najaf tahun 1998, ia bersuara

lantang dengan mengatakan “Katakan tidak untuk Amerika, Israel dan tidak untuk

imperialisme”. Ayatullah Muhammad Shadîq Shadr bersama Imam Mûsâ

al-Shadr dan Ayatullah Husayn Fadhlullah (dari Libanon) serta Imam Khomeini

pada tahun 1970-an sering bertemu di Najaf. Mereka memunyai pandangan

keharusan kepemimpinan politik ulama atau yang disebut dengan wilâyah

al-faqîh.

Dia mengajak para ulama untuk masuk dalam perjuangan politik dan bagi

yang menolaknya sama dengan mendukung kezaliman rezim Saddam. Namun

lantaran semakin lantang melawan penguasa, Ayatullah Muhammad Shadîq

al-Shadr akhirnya dibunuh pada 18 Februari 1999 di kota Najaf. Kemudian

Ayatullah Muqtadhâ al-Shadr, anak Muhammad Shadîq al-Shadr dan cucu

Muhammad Baqîr al-Shadr, menggantikan posisi ayahnya dan meneruskan

perlawanan terhadap rezim Saddam Hussein. Tetapi waktu itu, namanya belum

17

Referensi

Dokumen terkait

Kalimat (27) termasuk contoh tuturan prohibitives melarang. Tuturan tersebut disampaikan oleh penutur kepada lawan tutur untuk tidak melakukan tindakan seperti.. yang diujarkan

Kawasan Kampung Madras dan Kawasan Kota Lama Labuhan Deli memiliki nilai faktor pendukung wisata yang sedang karena pada kedua kawasan tersebut, ketersediaan fasilitas

Pada uji Anova One way didapatkan nilai sig (0.000) sehingga Ho ditolak dan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan rata-rata penurunan kadar kolesterol dalam darah pada

Pengujian dilakukan untuk mengetahui perbedaan kadar asap yang keluar dari ujung test section dalam kondisi perbedaan temperatur anatara dua plat sejajar berbeda-beda..

Bakteri intraseluler terbagi atas dua jenis, yaitu bakteri intraseluler fakultatif   dan obligat. Bakteri intraseluler fakultatif adalah bakteri yang mudah difagositosis

Tuanku Canselor Universiti Putra Malaysia (UPM), Sultan Sharafuddin Idris Shah bertitah dengan konsep dunia tanpa sempadan, graduan harus bersedia dengan perubahan

artinya pancasila memiliki peranan paling penting sebagai dasar dan ideologi serta unsur lainnya seperti yang telah saya bahas sebelumnya, dengan kesempurnaan

Kalibrasi yang paling tepat dilakukan adalah pada saat musim kemarau, dengan asumsi bahwa debit terukur (debit total) yang ada di sungai, sebagian besar adalah berasal dari