PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM
SOSIAL
IDEAL
(Telaah Kritis Pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)
Oleh
Mohalli
NIM: 103033127754
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
SOSIAL IDEAL (TELAAH KRITIS PEMIKIRAN MUHAMMAD BAQÎR AL-SHADR) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 15 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat memeroleh gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I) pada Program
Studi Aqidah Filsafat.
Jakarta, 15 Juni 2010
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Drs. Agus Darmaji, M.Fils. Dra. Tien Rahmatin, M.Ag.
NIP:19610827199303031002 NIP: 196808031994032002
Anggota,
Prof. Dr. Rd. Mulyadhi Kartanegara, M.A. Drs. Nanang Tahqiq, M.A.
PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM SOSIAL
IDEAL
(Telaah Kritis Pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai
Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)
Oleh:
MOHALLI NIM: 103033127754
Di bawah Bimbingan
Drs. Nanang Tahqiq, MA.
NIP. 196602011991031001
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memeroleh gelar Strata Satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 31 Mei 2010
ABSTRAKSI Mohalli
Peran Tauhid dalam Menciptakan Sistem Sosial Ideal (Telaah Kritis Pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr)
Sejarah kehidupan masyarakat selalu dihadapkan pada persoalan bagaimana menciptakan tatanan yang harmonis, adil, makmur, dan sejahtera? Persoalan ini diupayakan sedemikian rupa oleh sistem sosial yang mengorganisasi kehidupan bersama baik di bidang sosial budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Dalam sistem sosial, terdapat suprastruktur yang menjadi pandangan dunia seseorang serta dijadikan landasan bagi setiap tindakan. Ketika suprastruktur itu membeku sebagai sebuah keyakinan bersama disertai cita-cita yang ditetapkan di dalamnya, maka terbentuklah ideologi. Tujuan sistem sosial diperjuangkan dalam bingkai ideologi ini.
Di dunia modern, terdapat dua ideologi besar yang saling bertikai yaitu liberalisme dan sosialisme. Akar liberalisme bisa dilacak dari pemikiran John Locke yang mengumandangkan hak individu atas kebebasan dan kekayaan (hak milik). Sistem sosial harus berlandaskan atas hak ini, menjaga dan melindunginya. Dalam masalah ekonomi, liberalisme kemudian percaya kepada sistem kapitalisme di mana individu bebas mengupayakan serta mengembangkan usahanya. Semakin individu didorong untuk mengejar kepentingan dan keuntungan pribadi, maka kesejahteraan masyarakat akan semakin terjamin.
Sedangkan sosialisme secara konseptual dapat ditelusuri dari pemikiran Karl Marx yang mencita-citakan masyarakat komunis, yakni masyarakat tanpa kelas. Komunisme menentang kepemilikan pribadi karena menjadi sumber dari munculnya kelas. Kesenjangan sosial dan berbagai konflik yang terjadi di dalamnya disebabkan oleh kepemilikan pribadi atas sarana-sarana produksi. Karena itu, sarana produksi harus dipindahkan menjadi milik bersama, dikerjakan dan dinikmati bersama sehingga tidak ada lagi pertentangan kelas.
Akan tetapi, baik liberalisme maupun sosialisme menurut Muhammad Baqîr al-Shadr sama-sama menemui kegagalan. Dia mengeritik kebebasan dalam liberalisme-kapitalisme karena membelenggu dan menutup peluang orang miskin untuk mendapatkan kekayaan. Sementara para pemilik modal cukup dimanjakan
sehingga berlaku ungkapan “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”.
Demikian pula dengan sosialisme-komunisme di mana cita-citanya hanya utopia belaka karena bertentangan dengan kodrat manusia yang cenderung ingin memiliki sesuatu, apalagi dalam masyarakat materialis.
Baqîr al-Shadr kemudian mengajukan sistem sosial yang berlandaskan atas tauhid (pengesaan Tuhan). Penelitian ini ingin menelusuri bagaimana peran tauhid dalam menciptakan sistem sosial ideal dalam pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr. Melalui pembacaan kritis terhadap karyanya, dapat dikemukakan bahwa peran tauhid cukup signifikan sekali. Dalam tauhid terkandung nilai-nilai seperti kebebasan, keadilan dan persamaan yang akan mengantarkan masyarakat pada cita-cita kehidupan. Bahkan dia meyakini bahwa tujuan kehidupan sosial tidak akan pernah tercapai kecuali di bawah eksistensi Islam.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah yang telah
melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan
skripsi ini.
Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat
mendapatkan gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I) pada jurusan Aqidah Filsafat
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam upaya memenuhi persyaratan tersebut, maka skripsi ini ditulis
dengan judul “Peran Tauhid dalam Menciptakan Sistem Sosial Ideal )Telaah Kritis Pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr(”.
Selanjutnya, penulis menyadari bahwa skripsi ini terdapat banyak
kekurangan di dalam penulisan sehingga penulis membutuhkan masukan, saran
atau kritik dari berbagai pihak. Penulis menyadari bahwa tanpa kontribusi
pemikiran, gagasan serta dorongan berbagai pihak, sulit dibayangkan skripsi dapat
terselesaikan. Berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, maka sebagai
ungkapan rasa hormat yang dalam, penulis mengucapkan banyak terima kasih
kepada:
1. Drs. Nanang Tahqiq, MA. selaku pembimbing skripsi yang dengan
sabar dan bijak terus membimbing, menasehati, dan mengarahkan
penulis untuk menghasilkan karya yang terbaik.
2. Bapak Prof. Dr. Zainun Kamaluddin F, MA. selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin, Bapak Drs. Agus Darmaji, M. Fils. selaku ketua jurusan
Aqidah Filsafat, dan Dra. Tien Rahmatin, M.Ag. sebagai sekretaris
iii
jurusan Aqidah Filsafat beserta seluruh staf pengajar di jurusan
Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Ayahanda H. Ahmad dan Ibunda Hj. Rafi‘ah, terima kasih atas kasih
sayang, bimbingan, dan motivasi yang tak kenal henti sehingga
penulis mampu mengenyam pendidikan yang layak untuk bekal
masa depan. Sebagai wujud terima kasih, penulis persembahkan
skripsi ini untuk mereka berdua. Doa mereka senantiasa penulis
harapkan dalam mengarungi bahtera kehidupan ini. Terima kasih
pula untuk kak Fauzi dan kak As’adi yang terus memberikan
semangat dan bantuan moril maupun materil bagi penulis.
4. Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan Indonesian Culture
Academy (INCA) terutama Subairi, Fakhru, dan Rosi atas semangat,
bantuan, dan diskusinya yang menggelora. Terima kasih kepada
Mawardi atas “curhat” dan masukannya yang cukup berarti dalam
menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa terima kasih kepada sahabat
abadi Guno dan adik Wardi yang selalu ada untuk penulis. Ali
Chemal (ditunggu skripsinya), Ramfalak, Syafa’at dan teman-teman
yang tak bisa penulis sebutkan satu-persatu, terima kasih atas
segalanya.
5. Terima kasih kepada kakanda dan teman-teman Madura terutama
kak Adi, kak Nabil, kak Idris, kak Fathur, kak Mahrus, bung Ozan,
bantuannya. Penulis selalu membutuhkan serta merindukan arti dari
pergulatan ini. Terima kasih pula kepada kawan-kawan FORMAD;
Jakfar, Anis, Muhdhari, Laili, Abdi, Wafa, Wasil, Rahmatun dan
teman-teman di Masjid Al-Husaini, Rusun, dan lainnya.
6. Terima kasih kepada teman-teman Himpunan Mahasiswa Islam
khususnya KOMFUF; Kak Asy’ari, Su’udi, Fikri, Fahmi, Guruh,
Andi, Akib, Arma, Ay Sumiyati, Syifa, dan Mona. Teman-teman
KOMTAR; Ikhwan, Irma dan Risfa, dan teman-teman komunitas
Aqidah Filsafat; Dedi, Ali Makmur, dan Eli (ditunggu skripsinya),
Bana (kuliah yang benar), Euis, Mu’is, Anwar, Nanang, Riyan,
Reza, Dhani, Dita dan Uphie (terima kasih atas inspirasinya). Tak
lupa kepada Intan Latifah, Ibell dan semua teman-teman yang telah
mengisi dan menghiasi kisah perjalanan hidup penulis.
Kritik dan saran yang sifatnya konstruktif sangat penulis harapkan.
Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya, dan bagi
masyarakat pada umumnya. Akhirnya, penulis memohon kepada Allah semoga
senantiasa membimbing langkah kita menuju masa depan yang lebih baik. Âmîn!
Jakarta, 30 Mei 2010
v
DATAR ISI
ABSTRAK ………. i
KATA PENGANTAR ……….. ii
DAFTAR ISI ………. v
PEDOMAN TRANSLITERASI ..………. vii
BAB I PENDAHULUAN ……… 1
A. Latar Belakang Masalah ……… 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……….. 11
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian …………... 11
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ………. 12
E. Sistematika Penulisan ………... 12 BAB II BIOGRAFI MUHAMMAD BAQÎR AL-SHADR ………..14 A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Sosial ……….. 14 B. Karya Tulis ………... 19
C. Perkembangan dan Pengaruh Pemikiran ……….. 26 BAB III SISTEM SOSIAL DAN PERMASALAHANNYA ……….. 36 A. Teori Sistem Sosial ……….. 36 B. Masalah Utama Sistem Sosial ……….. 38 C. Masalah Keadilan ………. 42 1. Liberalisme ………... 44 2. Sosialisme ……… 48 D. Persoalan dalam Liberalisme dan Sosialisme ……….. 51
BAB IV PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM SOSIAL IDEAL ………. 56
A. Tesis Muhammad Baqîr al-Shadr………. 56
1. Tauhid ……….. 57
2. Tuhan sebagai Pusat Realitas ……….. 62
B. Tauhid dan Kebebasan ……… 64
1. Kemerdekaan Pribadi ………... 66
2. Kemerdekaan Sosial ………. 69
C. Tauhid dan Keadilan ……… 73
D. Tauhid dan Tujuan Sistem Sosial ………. 79
E. Catatan Kritis ………... 82
BAB V PENUTUP……….. 87
A. Kesimpulan ……….. 87
B. Saran-saran ………... 89
PEDOMAN TRANSLITERASI
= a = f
= b = q
= t = k
= ts = l
= j = m
= h = n
= kh = w
= d = h
= dz = ’
= r = y
= z
= s Untuk Madd dan Diftong
= sy = â
= sh = î
= dh = û
= th = aw
= zh = ay
= ‘
= gh
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Salah satu karakteristik pengetahuan dalam Islam adalah meyakini bahwa
Tuhan merupakan Realitas Pertama yang menjadi sumber realitas, baik material
maupun imaterial atau fisik dan non-fisik, yang keberadaan-Nya tidak bergantung
kepada hal eksternal apapun di luar diri-Nya (wâjib al-wujûd). Ia niscaya dalam
Zat dan Esensi-Nya. Sementara, realitas lain tidak dapat eksis tanpa
menggantungkan diri pada Tuhan sehingga keberadaannya tidak niscaya
melainkan hanyalah mungkin (mumkin al-wujûd).1 Oleh sebab itu, ontologi dalam
Islam mengambil bentuk metafisika2 di mana Tuhan menjadi Sebab Final atau
Sebab Pertama (Prima Causa) segala sesuatu.
Bagian pertama dari kesaksian iman Islam lâ ilâha illâ Allâh (Tiada Tuhan
Selain Allah) menjadi prinsip dasar bahwa Tuhan satu dan niscaya dalam
esensi-Nya, dalam nama-nama dan sifat-esensi-Nya, dan dalam perbuatan-Nya. Dengan
demikian, konsekuensi dari kesaksian tauhid ini adalah mengakui semua realitas
tidak ada, dan hanya ada karena Realitas Tuhan. Semua penyelidikan pengetahuan
dalam Islam harus berada dalam bingkai ini sebab semua realitas ketika
memanifestasikan diri tidak bisa mengingkari asal-usul metafisiknya, yaitu
1 Murtadhâ Muthahharî,
Pengantar Ilmu-ilmu Islam, terj. Ibrahim Husain al-Habsyi dkk,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h. 351-377.
2 Dalam falsafat, penyelidikan tentang Tuhan disebut metafisika khusus yang dibedakan dari metafisika umum yang membahas mengenai “ada” pada umumnya (ontologi). Lihat Louis
Leahy, Filsafat Ketuhanan Kontemporer,(Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 18.
2
Tuhan.3 Hal ini ditegaskan al-Qur‟ân dalam QS. 21: 22 bahwa “Seandainya pada
keduanya (di langit dan di bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya
telah binasa. Maha Suci Allah yang memiliki Arasy dari apa yang mereka
sifatkan. Karena itu, kesaksian tauhid menjadi pernyataan pengetahuan pertama
tentang realitas.
Walaupun demikian, bukan berarti pengetahuan dalam Islam
mengesampingkan sama sekali prosedur ilmiah dalam ilmu pengetahuan.
Penyelidikan ilmiah dengan metode eksperimentasi dan observasi dengan
menggunakan penalaran induktif sudah dikenal sebelum Roger Bacon
memerkenalkan metode eksperimentasi ke dunia sains Eropa. Para ilmuwan
Muslim semisal al-Râzî, Ibn Sînâ, al-Bîrûnî, Ibn Haytsâm, al-Zahrawî, dan lain
sebagainya dikenal dengan kekuatan observasi dan eksperimentasinya dalam
kajian ilmu alam termasuk kedokteran.4 Hal ini disebabkan karena realitas
material juga harus dikuasai dan dipahami oleh umat Islam selain realitas
metafisik. Tetapi umat Islam tidak mengandalkan penyelidikan itu pada
penyelidikan ilmiah saja.
Al-Qur‟ân, sebagai sumber pengetahuan, menghimbau kepada umat Islam
untuk mengamati tanda-tanda Tuhan yang termanifestasi di alam semesta,
jiwa-jiwa manusia, dan ruang-ruang lain yang tidak terdeteksi secara empiris. Ini
mengandung arti bahwa model penyelidikan berbeda-beda satu sama lain, yakni
tajrîbî (eksperimen) untuk objek fisik, burhânî (demonstratif atau rasional) untuk
3 Osman Bakar,
Tauhid & Sains: Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam,terj.
Yuliani Liputo, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. 12.
4 Mulyadhi Kartanegara,
Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, (Tangerang:
matematika dan objek metafisik, dan ‘irfânî (intuitif).5 Kenyataan ini sekaligus
berbeda dari epistemologi Barat modern, khususnya materialisme, yang
menganggap objek material sebagai satu-satunya realitas objektif yang absah
dalam penyelidikan pengetahuan seraya menafikan objek metafisik. Tidak hanya
itu, materialisme bahkan menganggap pemikiran metafisika sebagai takhayul
belaka serta tidak memunyai landasan dasar yang kokoh.
Di Barat, semangat ilmiah dengan penolakan terhadap berbagai bentuk
tradisi dan dogma mengejawantah dalam aliran positivisme pada abad 19 yang
diwakili oleh Saint-Simon dan Auguste Comte dalam bidang ilmu sosial.
Positivisme menunjuk pada pendekatan terhadap pengetahuan empiris disertai
penolakan atas wahyu sebagai sumber pengetahuan. Dalam menyelidiki objek
sosial, Comte menerapkan metode penelitian empiris yang meliputi pengamatan,
eksperimen, dan komparasi. Hasil penyelidikan empiris Comte tentang dinamika
kemajuan sosial dikenal sebagai hukum tiga tahap yang menyatakan bahwa
masyarakat berkembang dari tahap teologis, metafisik, dan terakhir positivis.6
Positivisme menjadi tahap terakhir perkembangan manusia di mana akal manusia
tidak lagi memercayai takhayul, pengertian absolut, asal dan tujuan alam semesta
melainkan pada data empiris dan hasil ilmu pengetahuan.
5 Pendekatan ‘
irfânî digunakan untuk seluruh objek pengetahuan. Akan tetapi, secara
ontologis, kaum ‘irfân berbeda dari para failasuf dalam memandang realitas beserta
pendekatannya. Failasuf menganggap bahwa Tuhan maupun benda sama-sama objektif (absah dijadikan objek penyelidikan pengetahuan) dengan perbedaan bahwa jika Tuhan adalah wâjib al-wujûd dan ada dengan sendiri-Nya maka benda-benda selain Tuhan hanyalah ada karena sesuatu
yang lain atau akibat dari wâjib al-wujûd. Sementara kaum ‘irfân menganggap bahwa tidak ada
tempat bagi sesuatu selain Tuhan yang ada di sisi-Nya meski ia adalah akibat dari Tuhan. Jika alat failasuf adalah akal, logika, dan deduksi maka alat seorang ‘ârif (sebutan subjek ‘irfân) adalah
hati, usaha hati, penyucian dan disiplin diri serta dinamisme batin. Lihat, Murtadhâ Muthahharî,
Pengantar Ilmu-ilmu Islam,h.377-378.
6 Doyle Paul Johnson,
Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid I, terj. M.Z. Lawang,
4
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa mayoritas pergulatan pemikiran
Barat pasca Renaisans bermuara pada matinya metafisika sebagai objek dan bahan
penyelidikan. Serangan paling telak ditunjukkan oleh kalangan materialisme
dalam bidang falsafat yang menganggap realitas material sebagai satu-satunya
realitas objektif. Bahkan, sebagaimana materialisme dialektik dalam Marxisme,
akal atau pikiran manusia dianggap bagian dari materi.7 Dalam artian bahwa
pikiran merupakan bagian dari alam atau produk alam dan ekspresi tertinggi
tentangnya. Ini disebabkan manusia adalah produk alam, maka pikiran juga
bagian dan produk alam. Karena itu, akal tidak dapat merefleksikan pengetahuan
apapun di luar objek material seperti objek metafisik. Dalam falsafatnya,
Marxisme menerapkan metode dialektika terhadap objek material termasuk
manusia (materialisme dialektis) yang diklaim sebagai pendekatan objektif dalam
menemukan hukum-hukum perkembangan alam, manusia, dan objek material
lainnya. Dengan bersandar pada bangunan epistemologisnya, Marxisme berhasil
melahirkan sistem ekonomi politik sosialisme-komunisme.
Pandangan materialis ini menjalar ke aspek-aspek lain, seperti ke bidang
sosial, ekonomi, dan politik, tidak terkecuali materialisme Karl Marx. Untuk
bidang sosio-ekonomi, materialisme Karl Marx menjadi konsep
sosialisme-komunisme. Konsep ini berdiri dalam rangka penentangannya terhadap
liberalisme yang di dalamnya bercokol sistem ekonomi kapitalisme. Sistem
terakhir bisa dilacak secara konseptual dari pemikiran Bernard de Mandeville dan
Adam Smith pada abad ke-18. Keduanya adalah pendukung „masyarakat pasar‟
7 Frederick Engels,
yang bercirikan pembagian kerja secara rasional dan terperinci, penghormatan hak
milik pribadi, dan pengutamaan kepentingan pribadi.8 Menurut Smith,
kesejahteraan masyarakat akan terjamin dalam jangka panjang apabila individu
dibiarkan untuk mengejar kepentingan dan keuntungan pribadinya. Hal ini
dikarenakan adanya tangan yang tidak kelihatan (invisible hand) di mana individu
secara tidak sadar akan menyumbangkan yang terbaik buat masyarakat dengan
memenuhi kebutuhan orang lain demi kepentingannya sendiri.9 Sebuah hukum
pasar yang didasarkan pada mekanisme ilmiah Newton membawa implikasi
kebijakan ekonomi laissez fair yakni, pembatasan seminimal mungkin kontrol
pemerintah atas pasar.
Baik sosialisme komunisme maupun liberalisme merupakan manifestasi
dari semangat zaman pasca Renaisans hingga Pencerahan yang dalam kerangka
epistemologisnya menolak keabsahan metafisika sebagai objek penyelidikan
ilmiah. Peradaban Barat modern disandarkan pada semangat ilmiah, empiris,
positivis, dan rasional. Tak dapat dipungkiri semangat ilmiah tersebut pada
dasarnya adalah sumbangan Islam. Peradaban Islam yang pada Abad Pertengahan
mencapai puncak keemasan juga karena sains. Akan tetapi, sistem kepercayaan
Islam tidak semata mengandalkan sains tetapi juga metafisika sebagaimana tertera
dalam kitab suci al-Qur‟ân dan telah diterangkan di muka tentang penyelidikan
digunakan Islam. Maka keliru bila kemunduran Islam dikarenakan metafisika.
Justru terbukti pada suatu masa bahwa puncak keemasan peradaban Islam telah
muncul dan berkembang maju di bawah nilai ajaran metafisika Islam.
8 F. Budi Hardiman,
Filsafat Modern,h.101-103.
9 Doyle Paul Johnson,
6
Sejak lahir masa Renaisans di Italia pada abad ke-14 dengan semangat
penghargaan kembali kepada kebudayaan pra-Kristiani Yunani dan Romawi yang
membuka pandangan mereka tentang manusia, lahirlah humanisme dengan homo
universale (manusia universal) sebagai cita-citanya. Humanisme menempatkan
manusia ke dalam pusat dunia. Pandangan ini mereformasi total faham realitas
teosentris abad pertengahan menjadi antroposentris dengan memusatkan manusia
sebagai subjek yang berhadapan dengan ciptaan lain.10 Dengan kata lain, ciri khas
masa Renaisans adalah ditemukannya subjektivitas yang bertolak dari perubahan
perspektif manusia yang fundamental.
Kemudian, sebagai tanggapan terhadap humanisme yang sangat ekstrovert
dan dinilai sekular, muncullah penentangan dan penolakan dari para pangeran dan
kelas penguasa di kota-kota kaya seperti Firense, Genova, Vanesia dan juga
terlebih pemimpin rohani Gereja Katolik, para uskup, dan Paus Roma. Akibatnya,
hal ini malah melahirkan gerakan reformasi Kristen Protestan yang diprakarsai
Martin Luther melawan pimpinan Gereja dan para penguasa dunia yang berkroni
dengan Gereja, dengan memaklumatkan kebebasan orang Kristen.
Di satu sisi, Luther menentang keduniawian dan antroposentrisme
Renaisans yang bersifat Eropa Selatan dan sekularistik, mendikotomikan urusan
dunia dan agama. Namun pada sisi lain, sebenarnya ia justru memantapkan
antroposentrisme itu dengan menekankan kebebasan dan kesadaran hati religius
sebagai ukuran dan dasar kepercayaan seseorang. Dalam pandangannya, manusia
tidak dapat dipaksa untuk memercayai sesuatu. Hal ini terungkap dalam tuntutan
10 Franz Magnis Suseno,
Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h.
bahwa setiap orang Kristiani berhak untuk membaca Kitab Suci, memahami serta
menafsirkannya sendiri, dan bukan lagi menjadi hak para pemimpin Gereja
semata.11 Ini adalah sebuah kebebasan untuk tidak memercayai sesuatu yang
bertentangan dengan suara hati. Kebebasan yang mendorong subjektivitas sekular
ke subjektivisme religius.
Pandangan sekularistik masyarakat Eropa menyebabkan tersisihnya peran
agama di wilayah publik dan sepenuhnya menjadi urusan pribadi (privat) belaka.
Bahkan, sejarah „sakit‟ terjadi ketika muncul pertentangan antara ilmu
pengetahuan objektif dan doktrin Gereja di mana para ilmuwan positivis
mendapat inkuisisi seperti Galileo Galilei akibat penemuannya bertentangan
dengan otoritas Gereja, akhirnya membuat masyarakat tidak memercayai doktrin
agama. Hingga pada taraf tertentu, peradaban Barat dengan humanisme
sekularnya menggilas kepercayaan teosentris seraya meyakini berpijarnya
peradaban baru yang didasarkan pada rasionalitas dan semangat ilmiah.
Peradaban tersebut mencapai puncaknya pada abad 18 dengan lahirnya
sebuah gerakan zaman yang memengaruhi kehidupan ilmu pengetahuan, sosial,
politik, dan budaya yang disebut zaman pencerahan atau (Jerman: Aufklärung,
Inggris: Enlighment). Dalam sebuah majalah Berlinische Monasschrift, Desember
1784, Immanuel Kant menulis artikel dengan judul “Beantwortung der Frage:
Was ist Aufklärung? (Menjawab Pertanyaan: Apa itu Pencerahan?) Tulisan itu
secara tegas menegaskan ciri dari masyarakat pencerahan sebagai keluarnya anak
dari kategori bawah umur ke kedewasaan. Kategori bawah umur berarti ketika
11
8
seseorang tidak bisa atau tidak berani menggunakan akal budinya secara mandiri
dan masih perlu bimbingan orang lain. Pencerahan ditandai oleh penggunaan akal
budi seluas-luasnya dengan semboyan sapere aude! (beranilah berpikir sendiri).12
Dirayakannya akal budi sekaligus menandai keterpisahan manusia modern dari
pandangan tradisional yang diliputi oleh kungkungan tradisi dan dogma. Sebagai
gantinya, individu menjadi subjek otonom yang dewasa yang tidak bergantung
lagi pada nilai dan norma apapun selain atas akal budinya.
Selain itu, Immanuel Kant dalam bukunya Kritik der reinen Vernunft
(Kritik atas Rasio Murni) berhasil melakukan penyelidikan transendental atas
asas-asas a priori dalam rasio yang berkaitan dengan objek dunia luar yang
disebut syarat-syarat kemungkinan bagi pengetahuan. Dalam penyelidikannya,
Kant menetapkan putusan sintetis apriori sebagai pengetahuan yang bersifat
ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. Rumusan epistemologis Kant disebut
revolusi Kopernikan karena pengetahuan sebelumnya mengandaikan bahwa
subjek mengarahkan diri pada objek, padahal seharusnya, dengan forma apriori
yang melekat pada subjek, objek mengarahkan diri pada subjek. Akibatnya,
metafisika akan tercampakkan karena berada pada wilayah nomena atau das ding
an sich (ada pada dirinya sendiri) sedangkan pengetahuan manusia hanya mampu
menangkap wilayah fenomena (penampakan indrawi) saja.13
Dalam sejarah pemerintahan Islam, Nabi Muhammad telah berhasil
membangun suatu tatanan negara baru di Madînah sebagai penentangan pada
12 A. Setyo Wibowo, “Menjadi Dewasa dan Resikonya: Pencerahan di Mata Kant dan Nietzsche” dalam makalah diskusi LSAF, Jakarta, 24 Septempber, 2007, h. 1-2.
13 F. Budi Hardiman,
Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, (Jakarta:
tatanan kaum Quraysy yang tidak beradab. Islam membentuk suatu komunitas
yang berkuasa di Madînah dengan membina pemerintahan yang lebih berkembang
di mana kaum Muslim dan non-Muslim digolongkan atas dasar kehidupan sosial
yang umum.14 Karena dasar dibangun Rasulullah inilah, terutama dasar
metafisika, Islam menguasai dunia hingga delapan abad. Baru pada akhir abad 16,
pemerintahan dalam Islam mengalami kemunduran. Demikian pula pemikiran
Islam dan ilmu pengetahuan mulai ditinggalkan oleh orang Muslim.
Maka tidak mengherankan apabila para pemikir modern dalam Islam
seperti Jamâluddîn al-Afghânî dan sebagainya, mendiagnosis kemunduran Islam
untuk kemudian melakukan analisis konstruktif dalam upaya membangun kembali
peradaban yang telah rapuh bahkan hancur. Banyak tantangan mengemuka di
tengah melakukan upaya itu, terutama konteks zaman di mana para pemikir
pembaharu dihadapkan pada arus modernisasi yang menuntut pertemuan global
dengan peradaban dan ideologi Barat. Akibatnya, mereka „dipaksa‟ menjawab
tantangan tersebut tanpa tercerabut dari akar ideologisnya dengan cara menilainya
dari perspektif Islam.
Dalam bingkai inilah Muhammad Baqîr al-Shadr melakukan analisis
spesifik terhadap sistem sosial yang berlandaskan nilai-nilai Islam menjadi sistem
yang ideal. Menurutnya, persoalan paling mendesak untuk segera diselesaikan
adalah persoalan sistem sosial yang di dalamnya terdapat suprastruktur nilai yang
bisa membawa kesejahteraan bagi umat Islam dan manusia pada umumnya. Hal
14 Marshall Hodgson,
10
ini disebabkan sistem sosial yang ada yang disandarkan pada pandangan dunia
(worldview) Barat gagal mewujudkan kesejahteraan.
Berbeda dari Barat, pandangan dunia Islam yang didasarkan pada tauhid
diyakini Muhammad Baqîr al-Shadr mampu menciptakan sistem sosial yang
membawa kesejahteraan. Tauhid di sini dalam pengertian keyakinan dan
kesaksian bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah”. Pernyataan ini mengandung
makna paling agung dan kaya dalam seluruh khazanah Islam. Semua keragaman,
kebudayaan dan pengetahuan serta kebajikan dan peradaban dalam Islam
diringkas dalam kalimat pendek lâ ilâha illâ Allâh.15
Karena itu, tauhid bagi Muhammad Baqîr al-Shadr adalah dasar
pandangan hidup yang melihat segala sesuatu sebagai suatu keseluruhan yang
memanifestasikan keesaan Allah. Tidak ada dualitas dan kontradiksi dalam jagad
raya ini seperti manusia dan alam, ruh dan badan, kapitalis dan proletar apalagi
meletakkannya dalam jalinan hirarkis antara superior dan inferior. Semuanya
memunyai posisi sama dan setara di dalam sebuah sistem total yang terwujud dari
keesaan Allah.
Hanya Allah yang patut disembah, tempat segala sesuatu bergantung dan
berserah diri. Selain Allah tidak layak dipertuhankan karena keberadaannya tidak
mandiri. Oleh sebab itu, Islam tidak mengenal penyerahan kepada bentuk dan
corak apapun selain kepada-Nya.16 Penyerahan dan ketundukan terhadap berhala,
belenggu sosial, rezim yang korup, dan sebagainya dikatakan syirk
(menyekutukan Allah).
15Ismâ„îl Râjî al-Fârûqî,
Tauhid,terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1988), h. 9.
16 Muhammad Baqîr al-Shadr,
Problem Masa Kini dan Problem Sosial, terj. M. Hashem,
Dengan demikian, di dalam keyakinan tauhid terkandung spirit
pembebasan yang akan mengangkat martabat manusia. Pembebasan dari berbagai
macam perbudakan, tirani, hegemoni, kemiskinan, dan sebagainya sehingga
tercipta kehidupan sosial yang merdeka, adil, dan sejahtera. Sebuah tatanan
kehidupan yang selama ini menjadi tujuan dari sistem sosial.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Demi menjaga efektifitas agar pembahasan tetap terfokus pada persoalan,
maka penulis membatasi pembahasan pada peran tauhid dalam menciptakan
sistem sosial yang ideal dalam pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr.
Dengan pembatasan seperti itu, maka permasalahan yang akan menjadi
objek dan fokus penulisan adalah: Bagaimana peran tauhid dalam menciptakan
sistem sosial yang ideal menurut Muhammad Baqîr al-Shadr?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memahami dan menguraikan
secara rinci pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr tentang peran tauhid dalam
menciptakan sistem sosial yang ideal serta melakukan analisis kritis terhadapnya.
Sedangkan kegunaan penelitian ini adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai
berikut:
1. Mengetahui latar belakang Muhammad Baqîr al-Shadr dalam melihat
peran tauhid bagi terbentuknya sistem sosial yang ideal.
12
3. Mengetahui peran tauhid dalam menjawab problem dalam sistem sosial
4. Mengetahui peran tauhid bagi terbentuknya sistem sosial yang ideal
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode studi pustaka
(library research) terhadap karya-karya Muhammad Baqîr al-Shadr.
Pengumpulan data diambil dan dipilih dari karya Muhammad Baqîr al-Shadr dan
karya lain yang memiliki relevansi dengan uraian skripsi ini.
Secara teknis, analisis data yang digunakan bersifat kualitatif dengan
teknik pembahasan deskriptif analitis yang bertujuan menggambarkan pemikiran
Muhammad Baqîr al-Shadr dalam melihat peran tauhid dalam menciptakan sistem
sosial yang ideal. Teknik pengumpulan data dan pembahasan masalah dalam
skripsi ini disesuaikan dengan standar Pedoman Karya Ilmiah (Skripsi Tesis, dan
Desertasi) yang diterbitkan Center for Quality Development and Assurance
(CeQDa) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sementara, teknik penulisan dalam
skripsi ini berdasarkan pada panduan penulisan skripsi Fakultas Ushuluddin yang
termuat dalam Pedoman Akademik 2006/2007. Sedangkan penulisan transliterasi
menggunakan pedoman transliterasi penerbit buku Paramadina dengan perubahan
pada huruf ض, dari /dl/ menjadi /dh/ dalam skripsi ini.
E. Sistematika Penulisan
Setelah dalam Bab I penulis memaparkan latar belakang masalah,
mencoba memaparkan dengan jelas tentang riwayat hidup Muhammad Baqîr
al-Shadr mulai dari latar belakang sosial, perjalanan intelektual hingga hasil karya
dan pengaruh pemikirannya.
Pada BAB III, penulis akan membahas konsep sistem sosial dan beberapa
persoalan terkait dengan sistem itu dalam masyarakat modern, baik yang terjadi
pada masyarakat kapitalis maupun masyarakat yang berada di dalam bingkai
sosialisme. Hal ini menjadi pijakan awal dari analisis selanjutnya di mana
Muhammad Baqîr al-Shadr mengembangkan analisisnya dalam rangka melihat
peran tauhid bagi terciptanya sistem sosial yang ideal. Sedangkan BAB IV yang
menjadi pokok inti tulisan ini, penulis sudah masuk pada pembahasan tentang
pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr tentang peran tauhid dalam menjawab
problem sistem sosial masyarakat modern sekaligus dalam menciptakan sistem
sosial yang ideal.
Bab IV diawali dengan pandangan dunia (worldview) Islam. Pada sub
pokok selanjutnya, akan dipaparkan kedudukan tauhid dalam Islam sebagai
landasan hidup dan Tuhan sebagai pusat realitas.
Selain itu, di bab IV akan dijelaskan peran tauhid dalam kemerdekaan dan
keadilan. Dari kemerdekaan ini kemudian mengejawantah suatu pencapaian
tujuan dari sistem sosial yakni kesejahteraan dan kebahagiaan.
Sementara pada bab V penulis akan menyimpulkan dari seluruh bahasan
dan masalah yang menjadi fokus kajian serta merekomendasikan sejumlah saran
BAB II
BIOGRAFI MUHAMMAD BAQÎR AL-SHADR
A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Sosial
Muhammad Baqîr al-Shadr al-Sayyid Haydar b. Ismâ„îl adalah seorang
ulama, sarjana, failasuf, dan salah satu tokoh politik revolusioner Irak. Dia lahir di
Kazmain, Baghdad, pada 25 Zhû al-Qâ„dah 1353 H./1 Maret 1935 M. dari
keluarga religius dan termasyhur. Ayahnya, Haydar al-Shadr, sangat dihormati
dan merupakan alim Syî„ah peringkat tinggi. Garis keturunannya kembali ke Nabi
Muhammad melalui imam Syî„ah yang ketujuh yaitu Mûsâ Kazhîm. Beberapa
tokoh kenamaan juga lahir dari keluarganya seperti Sayyid Shadr al-Dîn al-Shadr,
seorang marja‘1 di Qum, Iran; Muhammad al-Shadr, salah seorang pemimpin
religius yang memainkan peran penting dalam revolusi Irak melawan Inggris dan
mendirikan Haras al-Istiqlâl (Pengawal Kemerdekaan); dan Mûsâ al-Shadr,
seorang pemimpin Syî„ah di Lebanon.2
Pada usia empat tahun, Muhammad Baqîr al-Shadr kehilangan ayahnya
dan kemudian diasuh oleh ibu dan kakak laki-lakinya, Ismâ„îl, yang juga seorang
mujtahid3 kenamaan di Irak. Pada usia sepuluh tahun, dia mulai berceramah
tentang sejarah Islam dan beberapa aspek lain tentang kultur Islam. Dia sudah
mampu menangkap wacana teologis tanpa bantuan seorang guru pun. Ketika
berusia sebelas tahun, dia mengambil studi logika dan menulis buku yang
1Ulama yang dijadikan otoritas rujukan tertinggi dalam madzhab Syî„ah. 2 Biografi Muhammad Baqîr al-Shadr ditulis dalam bukunya
Falsafatunâ, terj. M. Nur
Mufid bin Ali, (Bandung: Mizan, 1991), h. 11.
3 Orang alim yang telah mencapai tingkat tertinggi di kalangan teolog Muslim.
mengeritik para failasuf. Pada usia tiga belas tahun, kakaknya mengajarkan Ushûl
‘Ilm al-Fiqh (Asas-asas Ilmu tentang Prinsip-prinsip Hukum Islam). Pada usia
enam belas tahun, ia pergi ke Najaf untuk menempuh pendidikan yang lebih baik
dalam berbagai cabang ilmu Islam di Universitas Najaf al-Asyraf, Irak. Sekitar
empat tahun kemudian, dia menulis sebuah eksiklopedia tentang Ushûl Ghâyah
al-Fikr fî al-Ushûl (Pemikiran Puncak dalam ushûl). Karya ini hanya berhasil
diterbitkan satu volume. Ketika usia dua puluh tahun, dia mulai mengajar bahts
al-kharîj (tahap akhir ushul) dan fiqh. Dan, pada usia tiga puluh tahun,
Muhammad Baqîr al-Shadr telah menjadi mujtahid. 4
Dunia karirnya tidak begitu gemilang kecuali sebagai pengajar,
penceramah, dan penulis. Karena tulisannya banyak bersinggungan dengan
masalah ekonomi, terutama Iqtishâdunâ yang banyak mengeritik Marxisme dan
kapitalisme dengan mengajukan prinsip ekonomi Islam, ia kemudian sering
dimintai konsultasi oleh berbagai organisasi Islam, seperti Bank Pembangunan
Islam. Ia juga ditugaskan oleh pemerintah Kuwait untuk menilai bagaimana
kekayaan minyak negara dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Selain itu,
ia juga diminta untuk membangun dan meletakkan dasar-dasar bagi pembentukan
bank-bank Islam modern.
Sebagai seorang pemikir kontemporer terkemuka, Muhammad Baqîr
al-Shadr melambungkan kebangkitan intelektual yang berlangsung di Najaf antara
tahun 1950-1980. Tulisannya sarat dengan makna dan muatan teologis-falsafatis
yang kerap menyerang konsepsi falsafat Barat seraya mengajukan konsep Islam
4
16
dalam membedakan antara kebenaran dan kesalahan.5 Hal ini dapat dimaklumi
karena kondisi Irak pasca terjadinya revolusi 1958, dalam rangka menentang
pemerintahan monarki, berada dalam ketidakpastian yang dihantui oleh
merebaknya berbagai pemikiran dengan tendensi ateisme. Pemikiran itu dianggap
telah berusaha memengaruhi akal, emosi, dan naluri sehingga akan terjadi
kehampaan pada Islam dan kaum Muslim. Kondisi itu pula yang menggugah
beberapa ulama di Najaf al-Asyraf untuk menerbitkan majalah al-Adwa’ al
-Islâmiyyah di mana Muhammad Baqîr al-Shadr menjadi pimpinan dan tokoh yang
paling menonjol. Kehadirannya diharapkan menjadi juru bicara Islam dalam
menghadapi pelbagai penyimpangan pemikiran dan gerakan.6 Hawzah7 ilmiah di
Najaf al-Asyraf sadar bahwa keadaan itu memerlukan alat-alat baru di tengah
pergulatan mengisi kekosongan pemikiran dalam rangka restrukturisasi dan
reformulasi sistem yang lebih baik.
Muhammad Baqîr al-Shadr merupakan tokoh paling produktif
menuangkan tulisannya di majalah tersebut sebagai suatu bentuk perjuangan
pemikiran dan gerakan ideologis. Namun, dia tidak dapat melanjutkan aktivitas
menulisnya di al-Adwa’ lantaran ada tekanan dari sentral kekuatan di hawzah
ilmiah. Alasannya karena mereka khawatir akan adanya dampak negatif yang
akan menimpa masa depannya di mana dia diharapkan menjadi pemangku jabatan
sebagai pusat rujukan keagamaan (al-marja‘iyyah al-islâmiyyah). Alasan itu tak
5 Karya yang secara khusus dan sistematis mengeritik bangunan konseptual falsafat Barat
bisa dilihat dalam Falsafatunâ.
6 Sayyid Muhammad Husayn Fadhlullah “Kata Pengantar” dalam Muhammad Baqîr
al-Shadr, Syahadat Kedua: Ketika Keimanan saja Tak Cukup, terj. Muhammad Abdul Qadir Al-Caff,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h. 15-16.
7
Hawzah dalam pengertian bahasa berarti wilayah. Dalam konteks ini berarti wilayah
berlebihan karena Muhammad Baqîr al-Shadr secara progresif seringkali
menganjurkan suatu gerakan Islam yang mengorganisasikan sebuah partai sentral
yang dapat bekerja dengan berbagai unit dalam naungan bangsa Islam untuk
perubahan sosial yang diinginkan. Sebagai akibatnya, dia kemudian mendirikan
partai Da‘wah al-Islâmiyyah (Partai Dakwah Islam) seraya menegaskan bahwa
politik adalah bagian dari Islam. Dia menyerukan kepada kaum Muslim supaya
mengenali kekayaan khazanah Islam dan melepaskan diri dari pengaruh eksternal
apapun, khususnya kapitalisme dan Marxisme.8
Melalui gerakannya, dia menyerukan kaum Muslim agar bangun dari tidur
panjang dan menyadari bahwa imperialis sedang berupaya membunuh ideologi
Islam dengan menyebarkan ideologi mereka. Kaum Muslim harus bersatu dalam
melawan pengaruh dan intervensi itu, baik dalam sistem sosial, ekonomi, dan
politik. Di samping itu, ajaran dan gerakan politik Muhammad Baqîr al-Shadr
secara langsung berhadapan dengan rezim Ba‟ats yang ditentangnya sebagai rezim
diktator yang melanggar hak asasi manusia dan Islam.9 Akibatnya, pada tahun
8 Muhammad Baqîr al-Shadr,
Falsafatunâ, h. 12.
9 Bagi Muhammad Baqîr al-Shadr, Islam menolak monarki, pemerintahan diktator, dan
aristokrasi. Dia mengusulkan pemerintahan yang dikenal dengan wilâyah al-ummah yang terdiri
dari khulafâ’ al-insân (manusia sebagai ahli waris atau wali Allah) dan syahâdah al-anbiyâ’
(kesaksian para Nabi). Menurutnya, sepanjang sejarah manusia terdapat dua garis peran dan fungsi pemerintahan yang saling berkaitan, yang pertama khalîfah sebagai wali yang mewarisi bumi Allah, dan yang kedua syâhid atau saksi. Khalîfah adalah hak dan kewajiban yang diberikan oleh
Allah kepada setiap orang untuk mengurusi persoalan dunia dan karena itu, dalam konteks negara, diidentifikasi sebagai hak rakyat di mana legitimasi pemerintahan berasal dari rakyat bukan ulama. Sementara syâhid adalah orang yang berperan sebagai saksi atau melakukan pengawasan atas pemerintahan di mana tanggung jawabnya diberikan kepada para nabi, imam sebagai pewaris nabi, dan terakhir marja‘iyyah. Fungsi ke-khalîfah-an (pemerintahan) dan syahâdah (pengawasan) pada
18
1977 dia ditahan dan dipindahkan dari Najaf ke Baghdad tetapi berhasil
dibebaskan karena popularitasnya. Dua tahun kemudian, dia ditahan lagi di Najaf
pada tahun 1979. Kondisi ini membuat saudara perempuannya, Bint al-Hudâ,
yang juga seorang sarjana teologi Islam, gusar dan mengorganisir suatu gerakan
yang menentang penahanan atas seorang marja‘. Protes juga dilakukan oleh
gerakan lain di dalam dan di luar Irak sehingga dia berhasil dibebaskan meski
tetap dikenai tahanan rumah selama delapan bulan.
Namun, keadaan itu tidak menyurutkan langkah Muhammad Baqîr
al-Shadr untuk tetap berjuang dalam bingkai gerakan ideologis yang diyakininya.
Bahkan, ketegangan antara partai Ba‟ats dan dia semakin menjadi kentara. Hal ini
dapat dilihat dari fatwanya yang mengharamkan seorang Muslim bergabung
dengan partai Ba‟ats dan dukungannya terhadap revolusi Islam. Akibatnya, pada 5
April 1980, dia ditahan lagi bersama dengan adiknya dan dipindahkan ke
Baghdad. Keduanya dipenjarakan dan dieksekusi mati tiga hari kemudian oleh
rezim Saddam Hussein. Diduga bahwa Muhammad Baqîr al-Shadr dibunuh
dengan cara dipaku tepat di kepalanya.10 Jasad mereka dibawa dan dimakamkan
di Najaf. Selain mereka, ribuan pelajar di Hawzah diusir ke luar Irak, sebagian
dipenjara, dan para ulama dihukum gantung tanpa proses pengadilan.
Tragedi pengeksekusian itu membuat reputasi Muhammad Baqîr al-Shadr
semakin diakui di berbagai kalangan masyarakat. Namanya melintas jauh ke
ummah. Lihat di www. "http://en.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Baqir_al-Sadr", diakses tanggal
10 Maret 2009. Penjelasan lebih spesifik dan rinci mengenai prinsip dan landasan pemerintahan Islam bisa dilihat dalam buku Muhammad Baqîr al-Shadr, Sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar, terj. Arif Mulyadi, (Jakarta: Lentera, 2001), h. 101-113.
10 www. "http://en.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Baqir_al-Sadr". Artikel diakses pada
Mediterania, Eropa hingga Amerika Serikat. Terbukti pada tahun 1981, Hanna
Batatu, dalam sebuah artikel di Middle East Journal, Washington, menunjukkan
betapa pentingnya Baqîr al-Shadr bagi gerakan bawah tanah Islam di Irak. Sebuah
peranan yang juga tak bisa diabaikan bagi kebangkitan berbagai gerakan politik
Islam di dunia.
B. Karya Tulis
Sebagai seorang intelektual, Muhammad Baqîr al-Shadr sangat produktif
membuat karya tulis, baik yang berbentuk buku maupun artikel. Mayoritas
karyanya ditulis dengan menggunakan bahasa Arab. Kurang lebih dua puluh tujuh
buku telah ditulisnya (beberapa diterjemahkan ke bahasa lain seperti bahasa
inggris dan bahasa Indonesia) dan tiga puluh satu artikel dipublikasikan di
berbagai majalah khususnya al-Adwa’ al-Islâmiyyah. Sebagian artikel itu,
diterbitkan secara berkesinambungan sesuai dengan tema dan judul tulisan
sehingga dibentuk dan diterbitkan menjadi buku. Karyanya berkonsentrasi pada
ilmu dan masalah-masalah keislaman yang cukup kompleks sehingga
pemikirannya menyebar dalam berbagai bidang seperti sosial, politik, ekonomi,
sejarah, teologi, falsafat, fiqh dan sebagainya.
Hal itu menunjukkan keluasan cakrawala pengetahuan dan keragaman
penguasaannya atas berbagai disiplin ilmu serta mencerminkan reputasi
intelektual yang tinggi. Ciri khas tulisannya sarat dengan nuansa kritik terhadap
berbagai pemikiran Barat seraya memberikan tanggapan dengan bersandar secara
20
teologis dan falsafi, bukan retorika terkesan apologetik dengan tendensi ideologis
yang dipaksakan.
Karya falsafat yang secara khusus mengeritik bangunan falsafat Barat
tertuang dalam Falsafatunâ: Dirâsah al-Mawdhû‘iyyah fî al-Mu‘tarak al-Shirâ’
al-Fikrî al-Qâ’im bayna al-Mukhtalaf al-Thayarât al-Falsafiyyah wa al-Falsafah
al-Islâmiyyah wa al-Mâddiyah al-Diyaliktikiyyah (al-Marksiyyah). Dalam buku
ini, Muhammad Baqîr al-Shadr menyajikan kritik epistemologis terhadap
pandangan dunia Barat yang mengakhiri matinya metafisika khususnya
materialisme dialektis dalam Marxisme. Selanjutnya dia menjelaskan bagaimana
Islam mengajukan konsep mendasar tentang dunia beserta metode berfikirnya. Di
sini terlihat konfrontasi pemikiran yang sangat kentara antara Islam dan Barat
dengan argumen falsafi cukup mendalam dan menyeluruh.
Buku itu terdiri dari dua bagian pembahasan. Yang pertama adalah tentang
epistemologi di mana Muhammad Baqîr al-Shadr membedakan dua bentuk
pengetahuan: konsepsi dan tashdîqî (penilaian kebenaran pengetahuan atau
aksiologi ilmu). Dalam bahasan ini ia mengeritik epistemologi dalam
masing-masing tradisi atau aliran falsafat Barat. Yang kedua tentang metafisika dan
konsep falsafat tentang dunia. Di sini dia mencoba mematahkan kerangka berpikir
falsafat yang mengganggap metafisika sebagai takhayul dan kata-kata kosong
dengan prinsip prima causa (sebab pertama) sebagai sesuatu yang menyebabkan
adanya sesuatu yang lain. Menurutnya bahwa jika di alam semesta berlaku hukum
kausalitas, maka mustahil sebab itu tidak berhingga. Gerak mundur sebab itu akan
tunduk pada hukum kausalitas yang menyatakan bahwa setiap sesuatu merupakan
akibat dari sebab sebelumnya. Ini dikarenakan keberadaan Sebab Pertama pada
esensinya niscaya, mandiri, dan tidak membutuhkan sebab. Baru dari Sebab
Pertama kemudian muncul matarantai sebab yang berlaku umum bagi alam
semesta.
Selain karya itu, Muhammad Baqîr al-Shadr juga menulis masalah
keimanan Islam dalam buku Mujâz fî Ushûl Dîn: Mursil, Rasûl,
al-Risâlah.11 Dalam buku ini dia mengeksplorasi tiga hal penting dalam iman Islam
yaitu Allah, Rasul, dan Islam beserta pesan-pesan yang terkandung di dalamnya.
Khususnya keimanan kepada Allah, dia mengajukan argumen falsafi dan
akademik dalam rangka membuktikan akan keberadaan-Nya serta sifat-sifat-Nya
seperti keadilan. Demikian pula hal sama ia lakukan ketika membahas tentang
Nabi Muhammad sebagai rasul penutup yang membawa pesan bagi seluruh umat
manusia.
Bagian terakhir buku itu menjelaskan tentang pesan Islam sebagaimana
tertera dalam al-Qur‟ân yang diyakini memunyai keistimewaan dan karakteristik
tersendiri dibanding pesan-pesan surgawi lainnya. Salah satu karakteristik itu
adalah terjaganya al-Qur‟ân dari perubahan-perubahan baik dalam bentuk huruf
maupun dalam bentuk keimanan sebagaimana telah terpatri dalam jiwa religius
seorang Muslim. Al-Qur‟ân juga mengandung pesan yang mencakup seluruh
aspek kehidupan yang membawahi dikotomi antara kehidupan material dan
spiritual, dan sebagainya. Melalui karya ini, Muhammad Baqîr al-Shadr
11 Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Mahmoud M. Ayoub menjadi
22
menunjukkan bahwa keimanan dalam Islam memunyai landasan kebenaran yang
kokoh di mana pembuktiannya bisa dilakukan secara rasional dan ilmiah.
Setelah menghadirkan bukti-bukti rasional dan akademik, Muhammad
Baqîr al-Shadr berusaha membangkitkan kesadaran umat Islam akan kebenaran
keimanan tersebut beserta implikasinya bagi kehidupan dalam buku Risâlatunâ
(Misi Kami).12 Upaya ini dilakukan karena menurutnya keimanan bukan sekedar
taqlid saja melainkan suatu pemahaman dan pengakuan akan kebenarannya
sehingga memengaruhi kesadaran dan tindakan seseorang. Dia meyakini bahwa
seorang Muslim yang menyadari kebenaran iman Islam akan membawa kemajuan
bagi kehidupan, membawa rahmat bagi seluruh alam sebagaimana tugas dan
tanggung jawab khalifah yang diberikan Allah kepada manusia. Muslim yang
sadar akan keimanannya tidak akan tinggal diam ketika melihat kenyataan yang
bertentangan dengan tugas sejatinya, tidak pernah takut pada segala macam
penindasan dan ketidakadilan yang merugikan kehidupan.
Untuk menuju kesadaran dan kebangkitan Islam itu, ada tiga syarat yang
harus dimiliki oleh umat, yaitu adanya ajaran yang benar, adanya pemahaman
terhadap ajaran tersebut, dan terakhir, sebagai konsekuensi dari keduanya, adanya
keimanan. Tiga syarat ini tak boleh diabaikan karena bagaimana pun juga
kesadaran tidak lahir dari ruang yang kosong. Kesadaran muncul dari keimanan
seseorang yang memahami akan kebenaran ajarannya yang kemudian dijadikan
landasan dalam setiap tindakan. Tanpa itu, seseorang akan tercabik-cabik oleh
12 Dalam edisi Indonesia diterjemahkan dengan judul berbeda dari aslinya yaitu
Syahadat Kedua: Ketika Keimanan saja Tak Cukup. Menurut hemat penulis, judul ini lebih ditekankan pada
ketidakpastian keadaan sehingga langkahnya goyah dan gontai bahkan sama
sekali stagnan alias mati suri.
Sedangkan karya yang berkaitan dengan kehidupan sosial umat di zaman
modern, salah satunya termuat dalam bukunya Al-Insân al-Mu‘ashshir wa
al-Musykilah al-Ijtimâ‘iyyah (Manusia Masa Kini dan Problema Sosial). Ini
merupakan salah satu karya yang diterbitkan dalam bentuk seri aliran pemikiran
Islam. Dalam karya ini, Muhammad Baqîr al-Shadr berbicara tentang persoalan
kehidupan sosial modern dan solusinya yang dibenturkan dengan solusi yang
ditawarkan oleh pemikiran Barat khususnya sosialisme-komunisme dan
kapitalisme-liberalisme. Buku ini berpijak di atas landasan konseptual
sebagaimana terdapat dalam Falsafatunâ yang memberikan kritik epistemologis
terhadap pemikiran Barat. Hanya saja cakupannya lebih luas dan lebih menyentuh
pada persoalan praksis kehidupan, baik sosial maupun ekonomi.
Menurut pandangannya, masalah yang paling mendesak untuk segera
diselesaikan adalah masalah sistem sosial. Melalui sistem sosial, tujuan kehidupan
individu dan masyarakat diupayakan bersama sehingga bisa mencapai hasil yang
lebih baik dan maksimal. Karena itu, pencarian terhadap sistem yang sesuai
dengan tujuan manusia serta mampu mewujudkannya sangat diperlukan. Sejarah
telah menunjukkan bahwa dalam setiap zaman manusia selalu bergulat dalam
sebuah sistem untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Penerapan sistem itu
menjadi eksperimen tersendiri bagi kehidupan selanjutnya untuk membangun dan
24
sistem itu mengejawantah dalam sosialisme-komunisme dan
kapitalisme-liberalisme.
Dalam masing-masing sistem itu terdapat tujuan dan nilai-nilai yang
dipercayai dan menjadi pandangan hidup (way of life) masyarakat. Di samping itu,
terdapat pula seperangkat cara untuk mencapai tujuan tersebut sehingga
membentuk organisme padu antara elemen-elemen yang ada di dalamnya. Dan
sejauh ini, menurut penilaian Muhammad Baqîr al-Shadr, sistem-sistem itu gagal
mewujudkan tujuan dari kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun
sebagai makhluk sosial. Dia mengeritik sistem sosial yang selama ini saling
bertikai dalam kehidupan modern dan kemudian menawarkan sistem sosial yang
disandarkan atas Islam sebagai satu-satunya sistem yang ideal. Disebut ideal
karena sistem itu diyakini mampu mencapai tujuan sebagaimana yang diinginkan
bersama dalam kehidupan.
Karya lain berkenaan dengan masalah sosial khususnya tentang kehidupan
politik umat Islam adalah Manâbi’ al-Qudrah fî al-Dawlah al-Islâmiyyah
(Sumber-sumber Kekuasaan dalam Pemerintahan Islam). Dalam karya ini
Muhammad Baqîr al-Shadr menjelaskan tentang sumber kekuasaan di bawah
sistem keyakinan Islam, bentuk pemerintahan, peran fungsi serta tujuan yang akan
dicapai. Menurutnya, sumber pemerintahan Islam berasal dari Allah yang
memberikan tanggung jawab ke-khalîfah-an kepada manusia dan mendeklarasikan
Allah sebagai tujuan atau terminal akhir kafilah kemanusiaan. Sedangkan tugas
masyarakat dan membebaskan mereka dari ketertindasan baik ekonomi, politik,
dan intelektual.
Akan tetapi, walaupun sumber pemerintahan berasal dari Allah bukan
berarti secara gampangan seorang penguasa dapat menggunakannya sebagai
sentimen untuk melegitimasi kekuasaannya. Ini disebabkan tugas pemerintahan
(khalîfah) tidak hanya diberikan kepada satu orang saja melainkan kepada seluruh
manusia. Dengan demikian, dalam politik seorang penguasa tidak dapat
mengklaim kekuasaannya bersumber atau ditentukan langsung oleh Allah tetapi
harus mendapatkan legitimasi dari semua orang di dalamnya. Setiap orang
memiliki tanggung jawab untuk mengurusi dunia dan kehidupan sehingga dia
memunyai hak untuk menentukan pemimpin pemerintahan. Berangkat dari
pemikiran ini, Muhammad Baqîr al-Shadr menuntut diadakannya pemilu serta
menyerukan agar masyarakat menggunakan haknya dengan memberikan suara
untuk memilih dewan perwakilan mereka. Konsep pemerintahannya adalah
wilâyah al-ummah yang terdiri dari khalîfah (pemerintahan eksekutif dan
legislatif) dan syahâdah (kesaksian atau pengawasan yang dilakukan oleh ulama
atau walî al-faqîh).
Selain politik, karya Muhammad Baqîr al-Shadr menyangkut kehidupan
sosial juga berkaitan dengan masalah ekonomi. Pemikirannya tentang ekonomi
termuat dalam buku Al-Madrasah al-Islâmiyyah13 (Sekolah Islam) dan
Iqtishâdunâ (Ekonomi Kami). Dalam karya ini, dia mengeritik sistem ekonomi
kapitalisme dan sosialisme yang dinilai gagal mengupayakan tercapainya tujuan
13 Dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan judul
26
sistem sosial. Sebagai gantinya, dia mengajukan konsep ekonomi Islam dengan
mengurai prinsip-prinsip yang harus menjadi landasan dalam ekonomi. Kajiannya
sangat mendalam dan komprehensif, khususnya dalam buku Iqtishâduna,
sehingga mendapatkan nilai kesarjanaan yang cukup tinggi. Berbeda dari ekonomi
syari„ah yang hanya menekankan pada praktik atau transaksi tanpa ribâ (bunga),
ekonomi Islam perspektif Muhammad Baqîr al-Shadr berlandaskan pada
nilai-nilai keadilan yang membawahi seluruh aspek ekonomi. Pemikirannya dapat
menjadi alternatif baru di tengah runtuhnya komunisme dan gagalnya kapitalisme.
Karena sumbangannya yang begitu besar dan sangat berarti dalam ekonomi, dia
kemudian lebih dikenal sebagai ekonom Islam.
C. Perkembangan dan Pengaruh Pemikiran
Muhammad Baqîr al-Shadr merupakan seorang intelektual Muslim brilian
dan progresif yang memunyai kesadaran sejarah pada zamannya. Dia menekuni
dan menguasai ilmu-ilmu Islam serta menulis dalam berbagai bidang keilmuan.
Walaupun demikian, bukan berarti Muhammad Baqîr al-Shadr tidak memunyai
konsentrasi khusus berkenaan dengan spesialisasi pemikiran. Lebih tepat jika
dipahami bahwa semua masalah yang dijabarkan berkaitan dengan bidang-bidang
itu mengacu pada suatu proyek pemikiran keislaman dalam rangka menciptakan
sistem sosial yang ideal.
Tujuan itu dirasakan sangat penting karena konteks historis pasca Perang
Dunia II diwarnai oleh ketegangan ideologis mengenai persoalan kehidupan
kapitalisme-liberalisme. Pengaruh ketegangan itu menjangkiti pemerintah dan masyarakat Irak
sehingga terjadi penyimpangan dalam bentuk orientasi ateisme. Kejadian tersebut
muncul setelah revolusi 14 Juli 1958 dalam rangka menentang pemerintahan
monarki yang dipimpin oleh jenderal Abdul Karim Kassem dan berhasil
mengubah sistem pemerintahan dari monarki menjadi republik. Kondisi inilah
yang menggerakkan Muhammad Baqîr al-Shadr untuk menemukan sistem sosial
yang didasarkan atas keyakinan Islam.
Dengan sendirinya, tujuan itu menuntut dia untuk menggali dan
mengembangkan lebih jauh khazanah pemikiran keislaman serta
menghadapkannya pada beberapa pemikiran dalam konteks kekinian. Dalam
pengertian ini, maka wajar apabila karyanya bertebaran dalam berbagai bidang
keilmuan. Semuanya dilakukan untuk mencari dasar pijakan dalam rangka
membangun konsep ideal tentang sistem sosial tanpa tercerabut dari akar
keyakinannya. Apalagi sistem sosial serta upaya mencapai tujuannya,
membutuhkan konsep dan prinsip-prinsip yang menyeluruh yang mampu
membawahi seluruh aspek kehidupan sosial, politik maupun ekonomi.
Pencarian dasar pijakan itu dilakukan Muhammad Baqîr al-Shadr secara
ekstensif dengan argumen-argumen yang bisa dipertanggungjawabkan secara
rasional. Dia menyadari betul bahwa landasan dari setiap pemikiran harus
benar-benar kokoh sehingga bangunan pemikiran yang dihasilkan tidak rapuh di depan
pengujian kebenaran. Oleh karena itu, dia masuk ke dalam ranah falsafat untuk
28
dunia, dia membangun pemikirannya tentang sistem sosial Islam yang
dikonfrontasikan dengan sistem sosial lain.
Pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr memberikan pengaruh signifikan
khususnya bagi dinamika kehidupan sosial masyarakat Irak dan pemikiran Islam
pada umumnya. Hal ini disebabkan, di samping pemikirannya dibangun di atas
landasan yang kokoh berhadapan dengan ideologi pemikiran Barat, ia juga
mengupayakan pemikirannya agar menjadi praksis dalam suatu perjuangan
ideologis melalui kajian dan gerakan kelompok akademis dan partai politik.
Gerakan ini berkonfrontasi langsung terhadap partai penguasa di mana tidak
jarang sikap serta kebijakannya ditentang oleh Muhammad Baqîr al-Shadr. Dalam
pemikiran Islam, pengaruhnya paling mencolok dapat dilihat dalam pemikiran
ekonomi lewat karyanya Iqtishâdunâ.
Secara ringkas sepak terjang Muhammad Baqîr al-Shadr memiliki dua
pengaruh, baik bagi negerinya maupun dunia internasional, dalam mana kedua
elemen tersebut terkait dengan eksistensi Syî„ah sebagai aliran agama ia anut.
Pertama, bagi dinamika kehidupan sosial masyarakat Irak, Muhammad Baqîr
al-Shadr menjadi ikon perlawanan terhadap rezim yang lalim dan menindas umat
Islam Syî„ah yang merupakan penduduk mayoritas Islam Irak, yaitu 57 persen
dari 25 juta penduduk Irak.14 Umat Islam Syî„ah di Irak dicurigai gerak-geriknya
sebagai kelompok yang dianggap membahayakan kekuasaan Sunnî dari partai
Ba‟ats, Saddam Hussein. Bahkan pihak penguasa waktu itu melakukan,
meminjam istilah Chibli Mallat, Sunnisasi serta Ba‟atsisasi terhadap masyarakat
14 M. Reza Sihbudi,
Irak sehingga menimbulkan ketegangan akibat pertentangan massif dari kelompok
Syî„ah.
Sunnisasi dan Ba‟atsisasi panggung politik Irak menjadi sebab utama
penentangan kaum Syî„ah terhadap rezim Saddam sehingga muncul dua
organisasi Syî„ah yaitu partai Da‘wah al-Islâmiyyah dan Al-Mujâhidîn. Kedua
organisasi itu sama-sama mengakui kepemimpinan imam Syî„ah Irak, Muhammad
Baqîr al-Shadr. Maka wajar apabila ia disebut oleh Hanna Batatu sebagai “the
most learned of Iraq’s Ayatullah” (sosok paling terpelajar dari komunitas
Ayatullah Irak) karena ia memang seorang alim yang sangat kharismatik baik
dilihat dari segi peranan politik maupun karya-karyanya. Dalam hal ini ia dapat
disejajarkan dengan Imam Khomeini di Iran atau Imam Mûsâ al-Shadr di
Libanon.15 Di bawah kepemimpinannya, kelompok Syî„ah mulai diperhitungkan
sebagai sebuah kekuatan politik yang sangat potensial.
Pada tahun 1974 dan 1977, ketika prosesi memeringati hari ‘Asyûrâ (hari
untuk mengenang kesyahidan Imam Husayn), kaum Syî„ah Irak melakukan
demonstrasi mengutuk pemuka partai Ba‟ats. Dan ketika Revolusi Republik Islam
Iran berhasil meruntuhkan dinasti Pahlevi, pada Juni 1979 Muhammad Baqîr
al-Shadr merencanakan memimpin long march dari Najaf ke Teheran untuk
memberi selamat kepada Imam Khomeini. Namun rezim Ba‟ats yang tidak
menghendaki rencana itu segera menangkap Muhammad Baqîr al-Shadr sehingga
menimbulkan kerusuhan anti Saddam dari kalangan Syî„ah selama hampir satu
15
30
tahun. Kerusuhan itu memuncak pada dieksekusinya Muhammad Baqîr al-Shadr
dan saudara perempuannya Bint al-Hudâ.16
Sepeninggal Muhammad Baqîr al-Shadr, aksi represif rezim Saddam
menjadi hari-hari tersulit bagi kelompok Syî„ah Irak. Akan tetapi kondisi itu tidak
membuat kobaran semangat mereka padam. Hanya saja mereka kehilangan ikon
pemersatu yang ditandai dengan berdirinya berbagai organisasi Syî„ah seperti
Organisasi Aksi Islam, Dewan Ulama untuk Revolusi Islam Irak, Tentara
Revolusioner untuk Pembebasan Irak, Kelompok Ulama Pejuang Irak, dan Biro
Revolusi Islam Irak. Namun, organisasi itu tidak bertahan lama kecuali Organisasi
Aksi Islam (Munazhzhamât al-‘Amal al-Islâm). Hal ini disebabkan tidak adanya
pengakuan dari Imam Khomeini dan belum terpecahkannya masalah
kepemimpinan pasca wafatnya Muhammad Baqîr al-Shadr. Sementara organisasi
lama, Da‘wah al-Islâmiyyah dan Al-Mujâhidîn, dianggap tidak representatif lagi.
Keadaan tersebut membuat prihatin para aktivis Syî„ah di Iran sehingga
pada 17 November 1982, mereka sepakat membentuk Dewan Tertinggi Revolusi
Islam Irak atau The Supreme Assembly of the Islamic Revolution in Iraq (SAIRI)
di bawah kepemimpinan Sayyid Muhammad Baqîr al-Hakîm. Sejak saat itu, atas
restu Khomeini, dia diakui sebagai pemimpin Syî„ah Irak. Namun, al-Hakîm
belum bisa disejajarkan dengan Muhammad Baqîr al-Shadr karena karyanya tidak
ada yang mampu menandingi Iqtishâdunâ, Falsafatunâ atau karya lainnya. Ia
justru berada di bawah bayang-bayang kebesaran ayahnya, Ayatullah al-„Uzmâ
16
Muhsin al-Hakîm. Selain itu, selama menjabat sebagai pemimpin, ia belum
mampu menyatukan kelompok Syî„ah sampai ia meninggal dunia.17
Setelah itu, SAIRI dipimpin oleh saudaranya yaitu „Abdul „Azîz al-Hakîm.
Akan tetapi, ia dinilai kurang kharismatik terutama setelah ia menempuh jalan
kompromi dengan penguasa pendudukan Amerika di Irak. Maka saat itulah pamor
dinasti al-Shadr mulai naik kembali. Melalui tokoh muda Ayatullah Muhammad
Shadîq al-Shadr, ia menjadi ikon baru bagi perlawanan Syî„ah Irak terhadap rezim
Saddam Hussein dan pasukan pendudukan Amerika pasca Saddam Hussein.
Dalam salah satu khutbah Jum„at di kota suci Najaf tahun 1998, ia bersuara
lantang dengan mengatakan “Katakan tidak untuk Amerika, Israel dan tidak untuk
imperialisme”. Ayatullah Muhammad Shadîq Shadr bersama Imam Mûsâ
al-Shadr dan Ayatullah Husayn Fadhlullah (dari Libanon) serta Imam Khomeini
pada tahun 1970-an sering bertemu di Najaf. Mereka memunyai pandangan
keharusan kepemimpinan politik ulama atau yang disebut dengan wilâyah
al-faqîh.
Dia mengajak para ulama untuk masuk dalam perjuangan politik dan bagi
yang menolaknya sama dengan mendukung kezaliman rezim Saddam. Namun
lantaran semakin lantang melawan penguasa, Ayatullah Muhammad Shadîq
al-Shadr akhirnya dibunuh pada 18 Februari 1999 di kota Najaf. Kemudian
Ayatullah Muqtadhâ al-Shadr, anak Muhammad Shadîq al-Shadr dan cucu
Muhammad Baqîr al-Shadr, menggantikan posisi ayahnya dan meneruskan
perlawanan terhadap rezim Saddam Hussein. Tetapi waktu itu, namanya belum
17