• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistematika Penulisan …………………………………………………... 1 2

BAB I PENDAHULUAN

E. Sistematika Penulisan …………………………………………………... 1 2

Setelah dalam Bab I penulis memaparkan latar belakang masalah, pokok-pokok masalah, tujuan, metode, serta sistematika penulisan, pada BAB II penulis

mencoba memaparkan dengan jelas tentang riwayat hidup Muhammad Baqîr al-Shadr mulai dari latar belakang sosial, perjalanan intelektual hingga hasil karya dan pengaruh pemikirannya.

Pada BAB III, penulis akan membahas konsep sistem sosial dan beberapa persoalan terkait dengan sistem itu dalam masyarakat modern, baik yang terjadi pada masyarakat kapitalis maupun masyarakat yang berada di dalam bingkai sosialisme. Hal ini menjadi pijakan awal dari analisis selanjutnya di mana Muhammad Baqîr al-Shadr mengembangkan analisisnya dalam rangka melihat peran tauhid bagi terciptanya sistem sosial yang ideal. Sedangkan BAB IV yang menjadi pokok inti tulisan ini, penulis sudah masuk pada pembahasan tentang pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr tentang peran tauhid dalam menjawab problem sistem sosial masyarakat modern sekaligus dalam menciptakan sistem sosial yang ideal.

Bab IV diawali dengan pandangan dunia (worldview) Islam. Pada sub pokok selanjutnya, akan dipaparkan kedudukan tauhid dalam Islam sebagai landasan hidup dan Tuhan sebagai pusat realitas.

Selain itu, di bab IV akan dijelaskan peran tauhid dalam kemerdekaan dan keadilan. Dari kemerdekaan ini kemudian mengejawantah suatu pencapaian tujuan dari sistem sosial yakni kesejahteraan dan kebahagiaan.

Sementara pada bab V penulis akan menyimpulkan dari seluruh bahasan dan masalah yang menjadi fokus kajian serta merekomendasikan sejumlah saran terkait peran tauhid dalam menciptakan sistem sosial yang ideal.

BAB II

BIOGRAFI MUHAMMAD BAQÎR AL-SHADR

A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Sosial

Muhammad Baqîr al-Shadr al-Sayyid Haydar b. Ismâ„îl adalah seorang ulama, sarjana, failasuf, dan salah satu tokoh politik revolusioner Irak. Dia lahir di Kazmain, Baghdad, pada 25 Zhû al-Qâ„dah 1353 H./1 Maret 1935 M. dari keluarga religius dan termasyhur. Ayahnya, Haydar al-Shadr, sangat dihormati dan merupakan alim Syî„ah peringkat tinggi. Garis keturunannya kembali ke Nabi Muhammad melalui imam Syî„ah yang ketujuh yaitu Mûsâ Kazhîm. Beberapa tokoh kenamaan juga lahir dari keluarganya seperti Sayyid Shadr al-Dîn al-Shadr, seorang marja‘1 di Qum, Iran; Muhammad al-Shadr, salah seorang pemimpin religius yang memainkan peran penting dalam revolusi Irak melawan Inggris dan mendirikan Haras al-Istiqlâl (Pengawal Kemerdekaan); dan Mûsâ al-Shadr, seorang pemimpin Syî„ah di Lebanon.2

Pada usia empat tahun, Muhammad Baqîr al-Shadr kehilangan ayahnya dan kemudian diasuh oleh ibu dan kakak laki-lakinya, Ismâ„îl, yang juga seorang mujtahid3 kenamaan di Irak. Pada usia sepuluh tahun, dia mulai berceramah tentang sejarah Islam dan beberapa aspek lain tentang kultur Islam. Dia sudah mampu menangkap wacana teologis tanpa bantuan seorang guru pun. Ketika berusia sebelas tahun, dia mengambil studi logika dan menulis buku yang

1Ulama yang dijadikan otoritas rujukan tertinggi dalam madzhab Syî„ah.

2 Biografi Muhammad Baqîr al-Shadr ditulis dalam bukunya Falsafatunâ, terj. M. Nur Mufid bin Ali, (Bandung: Mizan, 1991), h. 11.

3 Orang alim yang telah mencapai tingkat tertinggi di kalangan teolog Muslim.

mengeritik para failasuf. Pada usia tiga belas tahun, kakaknya mengajarkan Ushûl

‘Ilm al-Fiqh (Asas-asas Ilmu tentang Prinsip-prinsip Hukum Islam). Pada usia enam belas tahun, ia pergi ke Najaf untuk menempuh pendidikan yang lebih baik dalam berbagai cabang ilmu Islam di Universitas Najaf al-Asyraf, Irak. Sekitar empat tahun kemudian, dia menulis sebuah eksiklopedia tentang Ushûl Ghâyah al-Fikr fî al-Ushûl (Pemikiran Puncak dalam ushûl). Karya ini hanya berhasil diterbitkan satu volume. Ketika usia dua puluh tahun, dia mulai mengajar bahts al-kharîj (tahap akhir ushul) dan fiqh. Dan, pada usia tiga puluh tahun, Muhammad Baqîr al-Shadr telah menjadi mujtahid. 4

Dunia karirnya tidak begitu gemilang kecuali sebagai pengajar, penceramah, dan penulis. Karena tulisannya banyak bersinggungan dengan masalah ekonomi, terutama Iqtishâdunâ yang banyak mengeritik Marxisme dan kapitalisme dengan mengajukan prinsip ekonomi Islam, ia kemudian sering dimintai konsultasi oleh berbagai organisasi Islam, seperti Bank Pembangunan Islam. Ia juga ditugaskan oleh pemerintah Kuwait untuk menilai bagaimana kekayaan minyak negara dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Selain itu, ia juga diminta untuk membangun dan meletakkan dasar-dasar bagi pembentukan bank-bank Islam modern.

Sebagai seorang pemikir kontemporer terkemuka, Muhammad Baqîr al-Shadr melambungkan kebangkitan intelektual yang berlangsung di Najaf antara tahun 1950-1980. Tulisannya sarat dengan makna dan muatan teologis-falsafatis yang kerap menyerang konsepsi falsafat Barat seraya mengajukan konsep Islam

4

16

dalam membedakan antara kebenaran dan kesalahan.5 Hal ini dapat dimaklumi karena kondisi Irak pasca terjadinya revolusi 1958, dalam rangka menentang pemerintahan monarki, berada dalam ketidakpastian yang dihantui oleh merebaknya berbagai pemikiran dengan tendensi ateisme. Pemikiran itu dianggap telah berusaha memengaruhi akal, emosi, dan naluri sehingga akan terjadi kehampaan pada Islam dan kaum Muslim. Kondisi itu pula yang menggugah beberapa ulama di Najaf al-Asyraf untuk menerbitkan majalah al-Adwa’ al -Islâmiyyah di mana Muhammad Baqîr al-Shadr menjadi pimpinan dan tokoh yang paling menonjol. Kehadirannya diharapkan menjadi juru bicara Islam dalam menghadapi pelbagai penyimpangan pemikiran dan gerakan.6 Hawzah7 ilmiah di Najaf al-Asyraf sadar bahwa keadaan itu memerlukan alat-alat baru di tengah pergulatan mengisi kekosongan pemikiran dalam rangka restrukturisasi dan reformulasi sistem yang lebih baik.

Muhammad Baqîr al-Shadr merupakan tokoh paling produktif menuangkan tulisannya di majalah tersebut sebagai suatu bentuk perjuangan pemikiran dan gerakan ideologis. Namun, dia tidak dapat melanjutkan aktivitas menulisnya di al-Adwa’ lantaran ada tekanan dari sentral kekuatan di hawzah ilmiah. Alasannya karena mereka khawatir akan adanya dampak negatif yang akan menimpa masa depannya di mana dia diharapkan menjadi pemangku jabatan sebagai pusat rujukan keagamaan (al-marja‘iyyah al-islâmiyyah). Alasan itu tak

5 Karya yang secara khusus dan sistematis mengeritik bangunan konseptual falsafat Barat bisa dilihat dalam Falsafatunâ.

6 Sayyid Muhammad Husayn Fadhlullah “Kata Pengantar” dalam Muhammad Baqîr al-Shadr, Syahadat Kedua: Ketika Keimanan saja Tak Cukup, terj. Muhammad Abdul Qadir Al-Caff, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h. 15-16.

7

Hawzah dalam pengertian bahasa berarti wilayah. Dalam konteks ini berarti wilayah yang dijadikan pusat pendidikan agama Islam.

berlebihan karena Muhammad Baqîr al-Shadr secara progresif seringkali menganjurkan suatu gerakan Islam yang mengorganisasikan sebuah partai sentral yang dapat bekerja dengan berbagai unit dalam naungan bangsa Islam untuk perubahan sosial yang diinginkan. Sebagai akibatnya, dia kemudian mendirikan partai Da‘wah al-Islâmiyyah (Partai Dakwah Islam) seraya menegaskan bahwa politik adalah bagian dari Islam. Dia menyerukan kepada kaum Muslim supaya mengenali kekayaan khazanah Islam dan melepaskan diri dari pengaruh eksternal apapun, khususnya kapitalisme dan Marxisme.8

Melalui gerakannya, dia menyerukan kaum Muslim agar bangun dari tidur panjang dan menyadari bahwa imperialis sedang berupaya membunuh ideologi Islam dengan menyebarkan ideologi mereka. Kaum Muslim harus bersatu dalam melawan pengaruh dan intervensi itu, baik dalam sistem sosial, ekonomi, dan politik. Di samping itu, ajaran dan gerakan politik Muhammad Baqîr al-Shadr secara langsung berhadapan dengan rezim Ba‟ats yang ditentangnya sebagai rezim diktator yang melanggar hak asasi manusia dan Islam.9 Akibatnya, pada tahun

8 Muhammad Baqîr al-Shadr, Falsafatunâ, h. 12.

9 Bagi Muhammad Baqîr al-Shadr, Islam menolak monarki, pemerintahan diktator, dan aristokrasi. Dia mengusulkan pemerintahan yang dikenal dengan wilâyah al-ummah yang terdiri dari khulafâ’ al-insân (manusia sebagai ahli waris atau wali Allah) dan syahâdah al-anbiyâ’

(kesaksian para Nabi). Menurutnya, sepanjang sejarah manusia terdapat dua garis peran dan fungsi pemerintahan yang saling berkaitan, yang pertama khalîfah sebagai wali yang mewarisi bumi Allah, dan yang kedua syâhid atau saksi. Khalîfah adalah hak dan kewajiban yang diberikan oleh Allah kepada setiap orang untuk mengurusi persoalan dunia dan karena itu, dalam konteks negara, diidentifikasi sebagai hak rakyat di mana legitimasi pemerintahan berasal dari rakyat bukan ulama. Sementara syâhid adalah orang yang berperan sebagai saksi atau melakukan pengawasan atas pemerintahan di mana tanggung jawabnya diberikan kepada para nabi, imam sebagai pewaris nabi, dan terakhir marja‘iyyah. Fungsi ke-khalîfah-an (pemerintahan) dan syahâdah (pengawasan) pada zaman para nabi menyatu dalam diri mereka. Tetapi karena tidak ada nabi lagi pasca Nabi Muhammad maka fungsi khalîfah diberikan kepada umat sedangkan syahâdah kepada para ulama

(marja‘). Karena itu, konsep politik Muhammad Baqîr al-Shadr mengandung prinsip-prinsip demokrasi dengan menganjurkan agar setiap orang menggunakan haknya untuk memilih pemimpin eksekutif, entah disebut presiden atau perdana menteri (setelah pencalonannya diakui oleh walî al-faqîh), dan secara langsung dan bebas memilih dewan legislatif yang mewakili

18

1977 dia ditahan dan dipindahkan dari Najaf ke Baghdad tetapi berhasil dibebaskan karena popularitasnya. Dua tahun kemudian, dia ditahan lagi di Najaf pada tahun 1979. Kondisi ini membuat saudara perempuannya, Bint al-Hudâ, yang juga seorang sarjana teologi Islam, gusar dan mengorganisir suatu gerakan yang menentang penahanan atas seorang marja‘. Protes juga dilakukan oleh gerakan lain di dalam dan di luar Irak sehingga dia berhasil dibebaskan meski tetap dikenai tahanan rumah selama delapan bulan.

Namun, keadaan itu tidak menyurutkan langkah Muhammad Baqîr al-Shadr untuk tetap berjuang dalam bingkai gerakan ideologis yang diyakininya. Bahkan, ketegangan antara partai Ba‟ats dan dia semakin menjadi kentara. Hal ini dapat dilihat dari fatwanya yang mengharamkan seorang Muslim bergabung dengan partai Ba‟ats dan dukungannya terhadap revolusi Islam. Akibatnya, pada 5 April 1980, dia ditahan lagi bersama dengan adiknya dan dipindahkan ke Baghdad. Keduanya dipenjarakan dan dieksekusi mati tiga hari kemudian oleh rezim Saddam Hussein. Diduga bahwa Muhammad Baqîr al-Shadr dibunuh dengan cara dipaku tepat di kepalanya.10 Jasad mereka dibawa dan dimakamkan di Najaf. Selain mereka, ribuan pelajar di Hawzah diusir ke luar Irak, sebagian dipenjara, dan para ulama dihukum gantung tanpa proses pengadilan.

Tragedi pengeksekusian itu membuat reputasi Muhammad Baqîr al-Shadr semakin diakui di berbagai kalangan masyarakat. Namanya melintas jauh ke ummah. Lihat di www. "http://en.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Baqir_al-Sadr", diakses tanggal 10 Maret 2009. Penjelasan lebih spesifik dan rinci mengenai prinsip dan landasan pemerintahan Islam bisa dilihat dalam buku Muhammad Baqîr al-Shadr, Sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar, terj. Arif Mulyadi, (Jakarta: Lentera, 2001), h. 101-113.

10 www. "http://en.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Baqir_al-Sadr". Artikel diakses pada tanggal 20 April 2010.

Mediterania, Eropa hingga Amerika Serikat. Terbukti pada tahun 1981, Hanna Batatu, dalam sebuah artikel di Middle East Journal, Washington, menunjukkan betapa pentingnya Baqîr al-Shadr bagi gerakan bawah tanah Islam di Irak. Sebuah peranan yang juga tak bisa diabaikan bagi kebangkitan berbagai gerakan politik Islam di dunia.

B. Karya Tulis

Sebagai seorang intelektual, Muhammad Baqîr al-Shadr sangat produktif membuat karya tulis, baik yang berbentuk buku maupun artikel. Mayoritas karyanya ditulis dengan menggunakan bahasa Arab. Kurang lebih dua puluh tujuh buku telah ditulisnya (beberapa diterjemahkan ke bahasa lain seperti bahasa inggris dan bahasa Indonesia) dan tiga puluh satu artikel dipublikasikan di berbagai majalah khususnya al-Adwa’ al-Islâmiyyah. Sebagian artikel itu, diterbitkan secara berkesinambungan sesuai dengan tema dan judul tulisan sehingga dibentuk dan diterbitkan menjadi buku. Karyanya berkonsentrasi pada ilmu dan masalah-masalah keislaman yang cukup kompleks sehingga pemikirannya menyebar dalam berbagai bidang seperti sosial, politik, ekonomi, sejarah, teologi, falsafat, fiqh dan sebagainya.

Hal itu menunjukkan keluasan cakrawala pengetahuan dan keragaman penguasaannya atas berbagai disiplin ilmu serta mencerminkan reputasi intelektual yang tinggi. Ciri khas tulisannya sarat dengan nuansa kritik terhadap berbagai pemikiran Barat seraya memberikan tanggapan dengan bersandar secara otentik pada prinsip atau konsep Islam. Tulisan-tulisannya mengandung makna

20

teologis dan falsafi, bukan retorika terkesan apologetik dengan tendensi ideologis yang dipaksakan.

Karya falsafat yang secara khusus mengeritik bangunan falsafat Barat tertuang dalam Falsafatunâ: Dirâsah al-Mawdhû‘iyyah fî al-Mu‘tarak al-Shirâ’

al-Fikrî al-Qâ’im bayna al-Mukhtalaf al-Thayarât al-Falsafiyyah wa al-Falsafah al-Islâmiyyah wa al-Mâddiyah al-Diyaliktikiyyah (al-Marksiyyah). Dalam buku ini, Muhammad Baqîr al-Shadr menyajikan kritik epistemologis terhadap pandangan dunia Barat yang mengakhiri matinya metafisika khususnya materialisme dialektis dalam Marxisme. Selanjutnya dia menjelaskan bagaimana Islam mengajukan konsep mendasar tentang dunia beserta metode berfikirnya. Di sini terlihat konfrontasi pemikiran yang sangat kentara antara Islam dan Barat dengan argumen falsafi cukup mendalam dan menyeluruh.

Buku itu terdiri dari dua bagian pembahasan. Yang pertama adalah tentang epistemologi di mana Muhammad Baqîr al-Shadr membedakan dua bentuk pengetahuan: konsepsi dan tashdîqî (penilaian kebenaran pengetahuan atau aksiologi ilmu). Dalam bahasan ini ia mengeritik epistemologi dalam masing-masing tradisi atau aliran falsafat Barat. Yang kedua tentang metafisika dan konsep falsafat tentang dunia. Di sini dia mencoba mematahkan kerangka berpikir falsafat yang mengganggap metafisika sebagai takhayul dan kata-kata kosong dengan prinsip prima causa (sebab pertama) sebagai sesuatu yang menyebabkan adanya sesuatu yang lain. Menurutnya bahwa jika di alam semesta berlaku hukum kausalitas, maka mustahil sebab itu tidak berhingga. Gerak mundur sebab itu akan berhenti pada Sebab Pertama yang niscaya. Sedangkan Sebab Pertama itu tidak

tunduk pada hukum kausalitas yang menyatakan bahwa setiap sesuatu merupakan akibat dari sebab sebelumnya. Ini dikarenakan keberadaan Sebab Pertama pada esensinya niscaya, mandiri, dan tidak membutuhkan sebab. Baru dari Sebab Pertama kemudian muncul matarantai sebab yang berlaku umum bagi alam semesta.

Selain karya itu, Muhammad Baqîr al-Shadr juga menulis masalah keimanan Islam dalam buku Mujâz fî Ushûl Dîn: Mursil, Rasûl, al-Risâlah.11 Dalam buku ini dia mengeksplorasi tiga hal penting dalam iman Islam yaitu Allah, Rasul, dan Islam beserta pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Khususnya keimanan kepada Allah, dia mengajukan argumen falsafi dan akademik dalam rangka membuktikan akan keberadaan-Nya serta sifat-sifat-Nya seperti keadilan. Demikian pula hal sama ia lakukan ketika membahas tentang Nabi Muhammad sebagai rasul penutup yang membawa pesan bagi seluruh umat manusia.

Bagian terakhir buku itu menjelaskan tentang pesan Islam sebagaimana tertera dalam al-Qur‟ân yang diyakini memunyai keistimewaan dan karakteristik tersendiri dibanding pesan-pesan surgawi lainnya. Salah satu karakteristik itu adalah terjaganya al-Qur‟ân dari perubahan-perubahan baik dalam bentuk huruf maupun dalam bentuk keimanan sebagaimana telah terpatri dalam jiwa religius seorang Muslim. Al-Qur‟ân juga mengandung pesan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang membawahi dikotomi antara kehidupan material dan spiritual, dan sebagainya. Melalui karya ini, Muhammad Baqîr al-Shadr

11 Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Mahmoud M. Ayoub menjadi The Revealer, the Messenger, the Message, (Tehran: Word Organization for Islamic Services, 1986).

22

menunjukkan bahwa keimanan dalam Islam memunyai landasan kebenaran yang kokoh di mana pembuktiannya bisa dilakukan secara rasional dan ilmiah.

Setelah menghadirkan bukti-bukti rasional dan akademik, Muhammad Baqîr al-Shadr berusaha membangkitkan kesadaran umat Islam akan kebenaran keimanan tersebut beserta implikasinya bagi kehidupan dalam buku Risâlatunâ (Misi Kami).12 Upaya ini dilakukan karena menurutnya keimanan bukan sekedar taqlid saja melainkan suatu pemahaman dan pengakuan akan kebenarannya sehingga memengaruhi kesadaran dan tindakan seseorang. Dia meyakini bahwa seorang Muslim yang menyadari kebenaran iman Islam akan membawa kemajuan bagi kehidupan, membawa rahmat bagi seluruh alam sebagaimana tugas dan tanggung jawab khalifah yang diberikan Allah kepada manusia. Muslim yang sadar akan keimanannya tidak akan tinggal diam ketika melihat kenyataan yang bertentangan dengan tugas sejatinya, tidak pernah takut pada segala macam penindasan dan ketidakadilan yang merugikan kehidupan.

Untuk menuju kesadaran dan kebangkitan Islam itu, ada tiga syarat yang harus dimiliki oleh umat, yaitu adanya ajaran yang benar, adanya pemahaman terhadap ajaran tersebut, dan terakhir, sebagai konsekuensi dari keduanya, adanya keimanan. Tiga syarat ini tak boleh diabaikan karena bagaimana pun juga kesadaran tidak lahir dari ruang yang kosong. Kesadaran muncul dari keimanan seseorang yang memahami akan kebenaran ajarannya yang kemudian dijadikan landasan dalam setiap tindakan. Tanpa itu, seseorang akan tercabik-cabik oleh

12 Dalam edisi Indonesia diterjemahkan dengan judul berbeda dari aslinya yaitu Syahadat Kedua: Ketika Keimanan saja Tak Cukup. Menurut hemat penulis, judul ini lebih ditekankan pada konten buku yang mengaitkan keimanan dan implikasinya bagi kebangkitan Umat.

ketidakpastian keadaan sehingga langkahnya goyah dan gontai bahkan sama sekali stagnan alias mati suri.

Sedangkan karya yang berkaitan dengan kehidupan sosial umat di zaman modern, salah satunya termuat dalam bukunya Al-Insân al-Mu‘ashshir wa al-Musykilah al-Ijtimâ‘iyyah (Manusia Masa Kini dan Problema Sosial). Ini merupakan salah satu karya yang diterbitkan dalam bentuk seri aliran pemikiran Islam. Dalam karya ini, Muhammad Baqîr al-Shadr berbicara tentang persoalan kehidupan sosial modern dan solusinya yang dibenturkan dengan solusi yang ditawarkan oleh pemikiran Barat khususnya sosialisme-komunisme dan kapitalisme-liberalisme. Buku ini berpijak di atas landasan konseptual sebagaimana terdapat dalam Falsafatunâ yang memberikan kritik epistemologis terhadap pemikiran Barat. Hanya saja cakupannya lebih luas dan lebih menyentuh pada persoalan praksis kehidupan, baik sosial maupun ekonomi.

Menurut pandangannya, masalah yang paling mendesak untuk segera diselesaikan adalah masalah sistem sosial. Melalui sistem sosial, tujuan kehidupan individu dan masyarakat diupayakan bersama sehingga bisa mencapai hasil yang lebih baik dan maksimal. Karena itu, pencarian terhadap sistem yang sesuai dengan tujuan manusia serta mampu mewujudkannya sangat diperlukan. Sejarah telah menunjukkan bahwa dalam setiap zaman manusia selalu bergulat dalam sebuah sistem untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Penerapan sistem itu menjadi eksperimen tersendiri bagi kehidupan selanjutnya untuk membangun dan menerapkan sistem baru yang dipandang lebih baik. Dalam konteks modern,

24

sistem itu mengejawantah dalam sosialisme-komunisme dan kapitalisme-liberalisme.

Dalam masing-masing sistem itu terdapat tujuan dan nilai-nilai yang dipercayai dan menjadi pandangan hidup (way of life) masyarakat. Di samping itu, terdapat pula seperangkat cara untuk mencapai tujuan tersebut sehingga membentuk organisme padu antara elemen-elemen yang ada di dalamnya. Dan sejauh ini, menurut penilaian Muhammad Baqîr al-Shadr, sistem-sistem itu gagal mewujudkan tujuan dari kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Dia mengeritik sistem sosial yang selama ini saling bertikai dalam kehidupan modern dan kemudian menawarkan sistem sosial yang disandarkan atas Islam sebagai satu-satunya sistem yang ideal. Disebut ideal karena sistem itu diyakini mampu mencapai tujuan sebagaimana yang diinginkan bersama dalam kehidupan.

Karya lain berkenaan dengan masalah sosial khususnya tentang kehidupan politik umat Islam adalah Manâbi’ al-Qudrah fî al-Dawlah al-Islâmiyyah (Sumber-sumber Kekuasaan dalam Pemerintahan Islam). Dalam karya ini Muhammad Baqîr al-Shadr menjelaskan tentang sumber kekuasaan di bawah sistem keyakinan Islam, bentuk pemerintahan, peran fungsi serta tujuan yang akan dicapai. Menurutnya, sumber pemerintahan Islam berasal dari Allah yang memberikan tanggung jawab ke-khalîfah-an kepada manusia dan mendeklarasikan Allah sebagai tujuan atau terminal akhir kafilah kemanusiaan. Sedangkan tugas dan peran pemerintahan itu adalah mengakhiri segala bentuk eksploitasi dalam

masyarakat dan membebaskan mereka dari ketertindasan baik ekonomi, politik, dan intelektual.

Akan tetapi, walaupun sumber pemerintahan berasal dari Allah bukan berarti secara gampangan seorang penguasa dapat menggunakannya sebagai sentimen untuk melegitimasi kekuasaannya. Ini disebabkan tugas pemerintahan (khalîfah) tidak hanya diberikan kepada satu orang saja melainkan kepada seluruh manusia. Dengan demikian, dalam politik seorang penguasa tidak dapat mengklaim kekuasaannya bersumber atau ditentukan langsung oleh Allah tetapi harus mendapatkan legitimasi dari semua orang di dalamnya. Setiap orang memiliki tanggung jawab untuk mengurusi dunia dan kehidupan sehingga dia memunyai hak untuk menentukan pemimpin pemerintahan. Berangkat dari pemikiran ini, Muhammad Baqîr al-Shadr menuntut diadakannya pemilu serta menyerukan agar masyarakat menggunakan haknya dengan memberikan suara untuk memilih dewan perwakilan mereka. Konsep pemerintahannya adalah wilâyah al-ummah yang terdiri dari khalîfah (pemerintahan eksekutif dan legislatif) dan syahâdah (kesaksian atau pengawasan yang dilakukan oleh ulama atau walî al-faqîh).

Selain politik, karya Muhammad Baqîr al-Shadr menyangkut kehidupan sosial juga berkaitan dengan masalah ekonomi. Pemikirannya tentang ekonomi termuat dalam buku Al-Madrasah al-Islâmiyyah13 (Sekolah Islam) dan Iqtishâdunâ (Ekonomi Kami). Dalam karya ini, dia mengeritik sistem ekonomi kapitalisme dan sosialisme yang dinilai gagal mengupayakan tercapainya tujuan

Dokumen terkait