• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan dan Pengaruh Pemikiran ……………………………….. 2 6

BAB I PENDAHULUAN

C. Perkembangan dan Pengaruh Pemikiran ……………………………….. 2 6

Muhammad Baqîr al-Shadr merupakan seorang intelektual Muslim brilian dan progresif yang memunyai kesadaran sejarah pada zamannya. Dia menekuni dan menguasai ilmu-ilmu Islam serta menulis dalam berbagai bidang keilmuan. Walaupun demikian, bukan berarti Muhammad Baqîr al-Shadr tidak memunyai konsentrasi khusus berkenaan dengan spesialisasi pemikiran. Lebih tepat jika dipahami bahwa semua masalah yang dijabarkan berkaitan dengan bidang-bidang itu mengacu pada suatu proyek pemikiran keislaman dalam rangka menciptakan sistem sosial yang ideal.

Tujuan itu dirasakan sangat penting karena konteks historis pasca Perang Dunia II diwarnai oleh ketegangan ideologis mengenai persoalan kehidupan sosial, ekonomi dan politik antara sosialisme-komunisme dan

kapitalisme-liberalisme. Pengaruh ketegangan itu menjangkiti pemerintah dan masyarakat Irak sehingga terjadi penyimpangan dalam bentuk orientasi ateisme. Kejadian tersebut muncul setelah revolusi 14 Juli 1958 dalam rangka menentang pemerintahan monarki yang dipimpin oleh jenderal Abdul Karim Kassem dan berhasil mengubah sistem pemerintahan dari monarki menjadi republik. Kondisi inilah yang menggerakkan Muhammad Baqîr al-Shadr untuk menemukan sistem sosial yang didasarkan atas keyakinan Islam.

Dengan sendirinya, tujuan itu menuntut dia untuk menggali dan mengembangkan lebih jauh khazanah pemikiran keislaman serta menghadapkannya pada beberapa pemikiran dalam konteks kekinian. Dalam pengertian ini, maka wajar apabila karyanya bertebaran dalam berbagai bidang keilmuan. Semuanya dilakukan untuk mencari dasar pijakan dalam rangka membangun konsep ideal tentang sistem sosial tanpa tercerabut dari akar keyakinannya. Apalagi sistem sosial serta upaya mencapai tujuannya, membutuhkan konsep dan prinsip-prinsip yang menyeluruh yang mampu membawahi seluruh aspek kehidupan sosial, politik maupun ekonomi.

Pencarian dasar pijakan itu dilakukan Muhammad Baqîr al-Shadr secara ekstensif dengan argumen-argumen yang bisa dipertanggungjawabkan secara rasional. Dia menyadari betul bahwa landasan dari setiap pemikiran harus benar-benar kokoh sehingga bangunan pemikiran yang dihasilkan tidak rapuh di depan pengujian kebenaran. Oleh karena itu, dia masuk ke dalam ranah falsafat untuk membuktikan kebenaran pandangan dunia Islam. Selanjutnya, dari pandangan

28

dunia, dia membangun pemikirannya tentang sistem sosial Islam yang dikonfrontasikan dengan sistem sosial lain.

Pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr memberikan pengaruh signifikan khususnya bagi dinamika kehidupan sosial masyarakat Irak dan pemikiran Islam pada umumnya. Hal ini disebabkan, di samping pemikirannya dibangun di atas landasan yang kokoh berhadapan dengan ideologi pemikiran Barat, ia juga mengupayakan pemikirannya agar menjadi praksis dalam suatu perjuangan ideologis melalui kajian dan gerakan kelompok akademis dan partai politik. Gerakan ini berkonfrontasi langsung terhadap partai penguasa di mana tidak jarang sikap serta kebijakannya ditentang oleh Muhammad Baqîr al-Shadr. Dalam pemikiran Islam, pengaruhnya paling mencolok dapat dilihat dalam pemikiran ekonomi lewat karyanya Iqtishâdunâ.

Secara ringkas sepak terjang Muhammad Baqîr al-Shadr memiliki dua pengaruh, baik bagi negerinya maupun dunia internasional, dalam mana kedua elemen tersebut terkait dengan eksistensi Syî„ah sebagai aliran agama ia anut. Pertama, bagi dinamika kehidupan sosial masyarakat Irak, Muhammad Baqîr al-Shadr menjadi ikon perlawanan terhadap rezim yang lalim dan menindas umat Islam Syî„ah yang merupakan penduduk mayoritas Islam Irak, yaitu 57 persen dari 25 juta penduduk Irak.14 Umat Islam Syî„ah di Irak dicurigai gerak-geriknya sebagai kelompok yang dianggap membahayakan kekuasaan Sunnî dari partai Ba‟ats, Saddam Hussein. Bahkan pihak penguasa waktu itu melakukan, meminjam istilah Chibli Mallat, Sunnisasi serta Ba‟atsisasi terhadap masyarakat

Irak sehingga menimbulkan ketegangan akibat pertentangan massif dari kelompok Syî„ah.

Sunnisasi dan Ba‟atsisasi panggung politik Irak menjadi sebab utama penentangan kaum Syî„ah terhadap rezim Saddam sehingga muncul dua organisasi Syî„ah yaitu partai Da‘wah al-Islâmiyyah dan Al-Mujâhidîn. Kedua organisasi itu sama-sama mengakui kepemimpinan imam Syî„ah Irak, Muhammad Baqîr al-Shadr. Maka wajar apabila ia disebut oleh Hanna Batatu sebagai “the most learned of Iraq’s Ayatullah” (sosok paling terpelajar dari komunitas Ayatullah Irak) karena ia memang seorang alim yang sangat kharismatik baik dilihat dari segi peranan politik maupun karya-karyanya. Dalam hal ini ia dapat disejajarkan dengan Imam Khomeini di Iran atau Imam Mûsâ al-Shadr di Libanon.15 Di bawah kepemimpinannya, kelompok Syî„ah mulai diperhitungkan sebagai sebuah kekuatan politik yang sangat potensial.

Pada tahun 1974 dan 1977, ketika prosesi memeringati hari ‘Asyûrâ (hari untuk mengenang kesyahidan Imam Husayn), kaum Syî„ah Irak melakukan demonstrasi mengutuk pemuka partai Ba‟ats. Dan ketika Revolusi Republik Islam Iran berhasil meruntuhkan dinasti Pahlevi, pada Juni 1979 Muhammad Baqîr al-Shadr merencanakan memimpin long march dari Najaf ke Teheran untuk memberi selamat kepada Imam Khomeini. Namun rezim Ba‟ats yang tidak menghendaki rencana itu segera menangkap Muhammad Baqîr al-Shadr sehingga menimbulkan kerusuhan anti Saddam dari kalangan Syî„ah selama hampir satu

15

30

tahun. Kerusuhan itu memuncak pada dieksekusinya Muhammad Baqîr al-Shadr dan saudara perempuannya Bint al-Hudâ.16

Sepeninggal Muhammad Baqîr al-Shadr, aksi represif rezim Saddam menjadi hari-hari tersulit bagi kelompok Syî„ah Irak. Akan tetapi kondisi itu tidak membuat kobaran semangat mereka padam. Hanya saja mereka kehilangan ikon pemersatu yang ditandai dengan berdirinya berbagai organisasi Syî„ah seperti Organisasi Aksi Islam, Dewan Ulama untuk Revolusi Islam Irak, Tentara Revolusioner untuk Pembebasan Irak, Kelompok Ulama Pejuang Irak, dan Biro Revolusi Islam Irak. Namun, organisasi itu tidak bertahan lama kecuali Organisasi Aksi Islam (Munazhzhamât al-‘Amal al-Islâm). Hal ini disebabkan tidak adanya pengakuan dari Imam Khomeini dan belum terpecahkannya masalah kepemimpinan pasca wafatnya Muhammad Baqîr al-Shadr. Sementara organisasi lama, Da‘wah al-Islâmiyyah dan Al-Mujâhidîn, dianggap tidak representatif lagi.

Keadaan tersebut membuat prihatin para aktivis Syî„ah di Iran sehingga pada 17 November 1982, mereka sepakat membentuk Dewan Tertinggi Revolusi Islam Irak atau The Supreme Assembly of the Islamic Revolution in Iraq (SAIRI) di bawah kepemimpinan Sayyid Muhammad Baqîr al-Hakîm. Sejak saat itu, atas restu Khomeini, dia diakui sebagai pemimpin Syî„ah Irak. Namun, al-Hakîm belum bisa disejajarkan dengan Muhammad Baqîr al-Shadr karena karyanya tidak ada yang mampu menandingi Iqtishâdunâ, Falsafatunâ atau karya lainnya. Ia justru berada di bawah bayang-bayang kebesaran ayahnya, Ayatullah al-„Uzmâ

16

Muhsin al-Hakîm. Selain itu, selama menjabat sebagai pemimpin, ia belum mampu menyatukan kelompok Syî„ah sampai ia meninggal dunia.17

Setelah itu, SAIRI dipimpin oleh saudaranya yaitu „Abdul „Azîz al-Hakîm. Akan tetapi, ia dinilai kurang kharismatik terutama setelah ia menempuh jalan kompromi dengan penguasa pendudukan Amerika di Irak. Maka saat itulah pamor dinasti al-Shadr mulai naik kembali. Melalui tokoh muda Ayatullah Muhammad Shadîq al-Shadr, ia menjadi ikon baru bagi perlawanan Syî„ah Irak terhadap rezim Saddam Hussein dan pasukan pendudukan Amerika pasca Saddam Hussein. Dalam salah satu khutbah Jum„at di kota suci Najaf tahun 1998, ia bersuara lantang dengan mengatakan “Katakan tidak untuk Amerika, Israel dan tidak untuk imperialisme”. Ayatullah Muhammad Shadîq Shadr bersama Imam Mûsâ al-Shadr dan Ayatullah Husayn Fadhlullah (dari Libanon) serta Imam Khomeini pada tahun 1970-an sering bertemu di Najaf. Mereka memunyai pandangan keharusan kepemimpinan politik ulama atau yang disebut dengan wilâyah al-faqîh.

Dia mengajak para ulama untuk masuk dalam perjuangan politik dan bagi yang menolaknya sama dengan mendukung kezaliman rezim Saddam. Namun lantaran semakin lantang melawan penguasa, Ayatullah Muhammad Shadîq al-Shadr akhirnya dibunuh pada 18 Februari 1999 di kota Najaf. Kemudian Ayatullah Muqtadhâ al-Shadr, anak Muhammad Shadîq al-Shadr dan cucu Muhammad Baqîr al-Shadr, menggantikan posisi ayahnya dan meneruskan perlawanan terhadap rezim Saddam Hussein. Tetapi waktu itu, namanya belum

17

32

diperhitungkan di panggung politik nasional Irak. Baru ketika terjadi invasi Amerika ke Irak namanya mulai populer dan melambung tinggi. Hal ini terbukti pada 7 April tahun 2003, dua hari sebelum Irak jatuh ke tangan AS, para pengikut setianya merebut kawasan Saddam di Baghdad dan segera mengganti namanya menjadi kota Shadr.18

Selain itu, pada Agustus tahun 2003, Ayatullah Muqtadhâ al-Shadr mendeklarasikan pembentukan tentara Mahdî yang diperkirakan memiliki 10.000 pasukan berani syahid. Pasukan ini mulai melancarkan perlawanan sengit terhadap pasukan penjajah AS di sejumlah kota penting seperti Kûfah, Karbalâ‟, Najaf, al-Kut, dan kota Shadr. Kemudian pada tahun 2004, Ayatullah Muqtadhâ al-Shadr dan pasukannya bertempur habis-habisan melawan pasukan AS di sejumlah kota di Irak terutama di Najaf.19 Meski dari segi persenjataan jauh lebih sedikit dan kuno dibandingkan dengan milik AS, pasukan Mahdî tetap berani syahid karena doktrin yang telah tertancap rapat dalam keimanan mereka sebagaimana telah dikobarkan sebelumnya oleh Muhammad Baqîr al-Shadr.

Kedua, pengaruh Muhammad Baqîr al-Shadr bagi pemikiran Islam dalam bidang ekonomi. Hal ini nampak dalam bukunya Iqtishâdunâ yang membahas tentang masalah ekonomi. Melalui buku itu, Muhammad Baqîr al-Shadr membedah ilmu ekonomi berikut pelbagai madzhab ekonomi, serta mengeritik ekonomi konvensional beserta madzhab ekonomi yang berkembang seperti kapitalisme dan sosialisme.

18

Ibid, h. 94.

19

Menurutnya, ada dua perbedaan penting antara ilmu ekonomi dan madzhab atau doktrin ekonomi. Ilmu ekonomi merupakan ilmu yang berhubungan dengan penjelasan terperinci perihal kehidupan ekonomi, peristiwa-peristiwa, gejala atau fenomena lahiriahnya serta hubungan antara peristiwa atau gejala tersebut dengan sebab-sebab dan faktor umum yang memengaruhinya. Jadi ilmu ekonomi mengaji efek-efek peristiwa yang ada di masyarakat seperti ilmuwan fisika mengaji hukum-hukum tentang panas dan efek-efeknya. Sedangkan madzhab ekonomi adalah cara yang dipilih dan diakui oleh masyarakat dalam memecahkan problem praktis ekonomi yang dihadapinya. Madzhab ekonomi memerkenalkan dan mengembangkan suatu sistem pengaturan kehidupan ekonomi yang didasarkan pada konsepsi keadilan.20

Melalui perbedaan ini, Muhammad Baqîr al-Shadr menyimpulkan bahwa ekonomi Islam merupakan madzhab dan bukanlah ilmu pengetahuan karena ia adalah cara yang ditawarkan Islam dalam mengejar kehidupan ekonomi. Ekonomi Islam bukanlah suatu ilmu yang mengandung tafsiran terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan ekonomi dan terhadap hukum-hukum yang berlaku di dalamnya. Islam tidak menjelaskan ilmu ekonomi melainkan suatu penjelasan tentang pengaturan kehidupan ekonomi seperti distribusi, kepemilikan, produksi, jaminan sosial, keseimbangan sosial dan semacamnya.

Oleh sebab itu, Muhammad Baqîr al-Shadr menggunakan istilah Iqtishâdunâ untuk menyebut ekonomi Islam. Iqtishâd bukan sekedar alih bahasa istilah ekonomi ke dalam bahasa Arab. Arti asal kata itu adalah seimbang atau

20 Muhammad Baqîr al-Shadr, Keunggulan Ekonomi Islam: Mengkaji Sistem Ekonomi Barat dengan Kerangka Pemikiran Sistem Ekonomi Islam, terj. M. Hashem, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002), h. 135-137.

34

pertengahan. Istilah ekonomi sebagaimana pengertian ilmu ekonomi konvensional ditolaknya karena berbeda dari Islam. Perbedaan paling mencolok adalah terletak pada pandangan bahwa dalam ekonomi konvensional, masalah ekonomi muncul karena keinginan manusia yang tak terbatas sementara sumber daya alam yang tersedia sangat terbatas. Hal ini berbeda dari Islam yang menyatakan bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-tepatnya.

Konsekuensi pandangan tersebut dalam pemikiran ekonomi Islam melahirkan apa yang disebut dengan madzhab ekonomi Baqîr al-Shadr. Menurut Adiwarman A. Karim, terdapat tiga madzhab ekonomi Islam kontemporer yaitu madzhab ekonomi Baqîr al-Shadr, madzhab mainstream, dan madzhab alternatif kritis. Para pendukung Madzhab Baqîr al-Shadr antara lain Abbas Mirakhor, Baqîr al-Hasan, Qadîm al-Shadr, Iraj Taotounchian, dan Hedayati.

Madzhab mainstream kurang lebih sama dengan ekonomi konvensional yang memandang bahwa titik pusat persoalan ekonomi adalah terletak pada kelangkaan sumber daya alam. Tetapi untuk memerkuat argumentasi, mereka juga menggunakan dalil al-Qur‟ân. Pendukung madzhab ini di antaranya adalah Umer Chapra, MA Mannan, dan Najatullah Siddiqi.

Sedangkan madzhab alternatif kritis adalah kalangan yang mengeritik kedua madzhab tersebut. Mereka mengeritik madzhab Baqîr al-Shadr karena berusaha menemukan sesuatu yang baru padahal sebenarnya sudah ditemukan oleh orang lain, sehingga merasa seakan-akan telah menghancurkan teori lama dengan menggantinya dengan perspektif yang baru. Adapun madzhab mainstream mereka katakan sekedar jiplakan saja dari ekonomi konvensional dan hanya

menghilangkan unsur riba dan memasukkan unsur zakat dan niat. Madzhab ini juga mengeritik ekonomi sosialisme dan kapitalisme. Mereka yakin bahwa Islam itu benar, tetapi ekonomi Islam yang merupakan tafsiran manusia terhadap al-Qur‟ân dan al-Sunnah harus selalu diuji kebenarannya. Pelopor madzhab ini salah satunya adalah Timur Koran, Jomo, dan Muhammad Arif. 21

21http://www.sescipb.co.cc/index.php?option=com, Artikel diakses pada tanggal 17 April 2010.

36

BAB III

SISTEM SOSIAL DAN PERMASALAHANNYA

A. Teori Sistem Sosial

Sistem sosial seringkali menjadi pembincangan sengit dan kompleks dalam membicarakan masyarakat. Kompleksitas ini disebabkan keluasan wilayah cakupan sistem itu beserta berbagai persoalan yang terkandung di dalamnya. Selama manusia hidup di dalam masyarakat, selama itu pula persoalan sistem sosial tidak akan pernah terelakkan. Di sini akan dijelaskan upaya Muhammad Baqîr al-Shadr dalam melihat sistem sosial dan permasalahannya beserta analisis dan kritiknya terhadap sistem sosial modern.

Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa masyarakat merupakan kumpulan individu yang saling berinteraksi satu sama lain. Tindakan individu dalam masyarakat didasarkan pada orientasi subjektif masing-masing. Orientasi subjektif yang terdapat dalam setiap individu berbeda-beda. Namun karena orientasi itu tidak dapat terpenuhi tanpa adanya interaksi dalam ruang lingkup sosial, maka orientasi subjektif individu menghasilkan tindakan yang saling bergantung dan membentuk sistem sosial. Interaksi membutuhkan hubungan timbal balik antara orientasi individu dengan individu lainnya sehingga tercipta keseimbangan dan kesesuaian.

Sebelum terbentuk masyarakat, individu bertindak secara bebas sesuai dengan keinginan dan kekuatannya. Tidak ada yang membatasi kebebasannya kecuali keterbatasan kekuatan untuk mewujudkan keinginan itu. Batasan terhadap

tindakan baru muncul ketika individu berinteraksi dengan individu lainnya. Hal ini disebabkan penggunaan kebebasan dan kekuatan secara mutlak hanya akan menimbulkan konflik antar-individu sehingga merugikan orang lain, sebagaimana dinyatakan Muhammad Baqîr al-Shadr:

Sejak awal manusia percaya bahwa kekuatan mutlak adalah tidak mungkin bagi orang yang tinggal di tengah-tengah masyarakat, karena kekuatan mutlak dari semua individu akan berefek pada hilangnya kebebasan bagi semua orang dan akan berpuncak pada chaos serta kesemrawutan… Dari awal kehidupan sosial manusia, persoalan penting yang dihadapinya adalah peniadaan batasan kebebasan individu dalam masyarakat.1

Batasan tindakan individu dalam masyarakat mengejawantah dalam nilai-nilai dan norma sosial seperti nilai-nilai budaya dan norma hukum. Nilai budaya muncul dari pengetahuan individu terhadap diri dan lingkungannya yang dieksternalisasi dan kemudian disepakati bersama. Menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, budaya menggambarkan karakter dan kecenderungan mental suatu masyarakat.2 Sedangkan norma hukum dilahirkan dari kesepakatan individu mengenai aturan-aturan yang harus dikuti oleh masyarakat. Hukum merupakan salah satu institusi yang ada dalam sistem sosial. Hukum diperlukan untuk mengatur hak-hak individu, menegakkan keadilan, dan menjamin stabilitas dan keutuhan masyarakat.3

Karena sistem sosial terbentuk dari individu-individu, maka syarat umum dari sistem itu harus mampu menjamin kebutuhan dasar para anggotanya, mengorganisasi tindakan yang mengarah pada integrasi, stabilitas, dan harmoni

1 Muhammad Baqîr al-Shadr, Sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar, terj. Arif Mulyadi, (Jakarta: Lentera, 2001), h. 138.

2 Muhammad Baqîr al-Shadr, Keunggulan Ekonomi Islam: Mengkaji Sistem Ekonomi Barat dengan Pemikiran Sistem Ekonomi Islam, terj. M. Hashem, (Jakrta: Pustaka Zahra, 2002), h. 21. Lihat pula halaman 27.

38

serta menetapkan tujuan demi kesejahteraan bersama. Hal ini dinyatakan oleh Muhammad Baqîr al-Shadr bahwa:

Entitas sosial manusia muncul dari ikatan-ikatan individu yang terjalin satu sama lain oleh pertalian dan ikatan bersama. Pertalian ini tentu memerlukan pengarahan-pengarahan umum dan organisasi. Pada derajat keserasian antara sistem tersebut dengan realitas kemanusiaan yang ada serta buah dari keserasian itu, bergantung stabilitas maupun kesejahteraan masyarakat.4

Oleh sebab itu, selain budaya dan hukum, sistem sosial memerlukan sub-sistem yang berfungsi mengupayakan semua hal tersebut seperti sub-sistem politik, ekonomi, dan institusi sosial lainnya. Politik berkaitan dengan upaya mewujudkan cita-cita kehidupan sosial yang dilakukan melalui institusi pemerintah atau partai politik dan sebagainya. Sedangkan ekonomi berhubungan dengan upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam hal keberlangsungan dan kesejahteraan hidup. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keseluruhan total dari masyarakat yang terdiri dari budaya, politik, hukum, ekonomi, dan institusi sosial lainnya disebut sistem sosial.

B. Masalah Utama Sistem Sosial

Sebagai sistem yang bertujuan mewujudkan keadilan, kesejahteraan, kemakmuran, dan keutuhan anggotanya, sistem sosial memunyai peran dan tantangan yang tidak mudah. Upaya mewujudkan itu membutuhkan suatu konsep utuh yang menjadikan sistem sosial beroperasi secara efektif sesuai dengan yang diharapkan. Menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, konsep menjadi persoalan

4 Muhammad Baqîr al-Shadr, Manusia Masa Kini dan Problema Sosial, terj. M. Hashem, (Jakarta: Pustaka, 1984), h. 4.

utama yang akan menentukan keberhasilan suatu upaya mencapai tujuan sistem sosial. Konsepsi menyeluruh berkaitan dengan pandangan tentang masyarakat yang menentukan prinsip-prinsip kebajikan untuk mencapai kesejahteraan bersama merupakan konsepsi ideal yang tertuju pada ideal sosial. Kebutuhan konsepsi semacam itu dirasakan betul oleh Muhammad Baqîr al-Shadr dengan mengintroduksi pernyataan yang diawali pertanyaan:

Sistem apakah yang paling sesuai bagi umat manusia sehingga mereka dapat mencapai kehidupan sosial yang bahagia? Sudah sifatnya masalah sosial selalu menempati posisi yang menonjol dan membawa bahaya. Di dalam kerumitan serta keanekaragaman penyelesaian yang disarankan untuknya, ia bisa merupakan suatu sumber bahaya bagi umat manusia sendiri, karena dalam penjabaran kehidupan manusia selalu terlibat suatu sistem tertentu yang memengaruhi inti entitas sosialnya.5

Menurutnya, masalah sistem sosial sudah lama muncul sejak manusia mulai mengenal kehidupan bersama. Dalam setiap zaman, manusia berjuang mengatasi masalah tersebut sesuai kondisi yang dialaminya. Perjalanan perjuangan itu digambarkan secara metaforis ibarat kapal yang berlayar melewati berbagai rintangan menuju tempat berlabuh yang damai dan sejahtera, sebuah kehidupan yang stabil, adil, dan tentram.6 Sejarah perjuangan itu kemudian secara kontinyu mewariskan beberapa persoalan yang memberi pelajaran bagi epos sejarah kehidupan selanjutnya.

Oleh karena itu, menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, penting sekali mengevaluasi perjalanan upaya manusia dalam mengatasi masalah sosialnya. Hal ini bisa dilakukan dengan cara melihat ideologi yang diterapkan. Menurutnya, masyarakat merupakan bentuk yang kongkrit dari ideologi tertentu yang

5

Ibid, h. 3.

6

40

mengarahkan kehidupan manusia. Dengan kata lain, upaya komprehensif mencapai tujuan sistem sosial dilakukan dalam bingkai ideologis yang meliputi pandangan dunia, doktrin politik, falsafat, agama, dan moral beserta mekanisme perwujudannya. Dia menyatakan bahwa:

Manusia adalah makhluk yang memunyai ideologi. Manusia berjalan berdasarkan panduannya dalam kehidupan di dunia. Di masa lampau dan di masa akan datang tidak ada masyarakat yang menjalani kehidupannya tanpa ideologi. Jika tidak ada suatu ideologi atau suatu sistem, masyarakat pun tidak akan pernah ada. Ideologi manusia merupakan jendela yang darinya manusia memandang dunia. Jendela itu yang menentukan cara-cara hubungannya dengan lingkungan materi dan sosial yang mengelilinginya.7

Dalam kehidupan modern, terdapat dua ideologi besar yang saling bertikai, yakni liberalisme dan sosialisme. Liberalisme sebagai ideologi politik, ekonomi, dan sosial berakar dari pemikiran Thomas Hobbes dan John Locke pada abad ke-17. Sementara sosialisme disandarkan atas sistem pemikiran falsafat Karl Marx yang meliputi sejarah, kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Liberalisme mendapat legitimasinya ketika negara federasi Uni Soviet runtuh tahun 1991. Peristiwa itu diintroduksi oleh Francis Fukuyama dalam The End of History and

7 Muhammad Baqîr al-Shadr, Syahadat Kedua: Ketika Keimanan saja Tak Cukup, terj. Muhammad Abdul Qadir Alcaff, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h. 101-102. Bandingkan dengan pandangan Martin Slinger dalam John B. Thomson, Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia,terj. Haqqul Yaqin, (Yogyakarta: Ircisod, 2003), h. 129-133. Slinger melihat ideologi sebagai sistem kepercayaan yang menjadi orientasi tindakan seseorang yang diorganisasi dalam satu sistem yang koheren. Sistem itu terbuat dari sejumlah elemen yaitu deskripsi, analisis, preskripsi moral, preskripsi teknis, implement, dan rejection. Seluruh ideologi mencampuradukkan secara bersama antara deskripsi faktual dan analisis situasi dengan preskripsi moral tentang apa yang benar dan baik serta pertimbangan teknis tentang kehati-hatian dan efisiensi. Selanjutnya, ideologi

Dokumen terkait