ABSTRACT
POLICY IMPLEMENTATION OF PIONEERING OF INTERNATIONAL
SCHOOL
(Comparison Study in DKI Jakarta)
By
LAYLA RAHMADANTY
Pioneering of international school (RSBI) policy is a beginning for school in order
to be considered as school with a degree of international school. This policy has
been regulated by the government in Permendiknas Number 78 Year of 2009
which there was a regulation regarding the implementation of school to be
afterward be an international school. This research was conducted to find out how
the implementation of RSBI and what are the constraints that are in the process of
implementation.
This research is focused on implementation of RSBI at the level of senior high
school. This research is also a comparison study in DKI Jakarta by taken two
samples of high school, 68 Senior High School dan 81 Senior High School. This
research have type a descriptive qualitative with a case studies based on the real
phenomenon.
Based on the research that has been done, the implementation of RSBI basically is
well done although there was some constraints that influence this policy
implementation process. The implementation of RSBI at 81 Senior High School
more going well than 68 Senior High School. There are two constraints that
influence this policy implementation process, those are low budgetary and low
public support.
ABSTRAK
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN RINTISAN SEKOLAH BERTARAF
INTERNASIONAL
(Studi Komparasi di Propinsi DKI Jakarta)
Oleh
LAYLA RAHMADANTY
Kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) merupakan suatu
permulaan bagi sekolah agar dapat dikatakan sebagai sekolah dengan gelar SBI.
Kebijakan tersebut telah diatur oleh pemerintah dalam Permendiknas Nomor 78
Tahun 2009 yang didalamnya terdapat aturan mengenai pelaksanaan sekolah
untuk kemudian dapat menjadi SBI. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
bagaimana implementasi kebijakan RSBI dan apa saja kendala-kendala yang
terdapat dalam proses implementasinya selama ini.
Kebijakan RSBI yang diteliti adalah implementasi kebijakan RSBI pada jenjang
SMA. Penelitian ini merupakan sebuah studi komparasi yang dilakukan di
Propinsi DKI Jakarta dengan mengambil dua sampel sekolah. Kedua sekolah
tersebut adalah SMAN 68 dan SMAN 81 Jakarta. Penelitian ini dilakukan
menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian deskriptif. Jenis
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis studi kasus. Desain
penelitian yang digunakan adalah desain multikasus.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa
implementasi kebijakan RSBI lebih berjalan dengan baik di SMAN 81 Jakarta
dibandingkan dengan SMAN 68 Jakarta. Terdapat pula dua hal yang menjadi
kendala pada implementasi kebijakan RSBI ini, yaitu dana yang kurang memadai
dan minimnya dukungan publik terhadap kebijakan ini.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK
ABSTRACT RIWAYAT HIDUP MOTTO
PERSEMBAHAN
SANWACANA
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR GAMBAR ... v
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 11
C. Tujuan Penelitian ... 11
D. Manfaat Penelitian ... 12
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13
A. Tinjauan Tentang Kebijakan Publik ... 13
1.Definisi Kebijakan Publik ... 13
2.Ciri-Ciri Kebijakan Publik ... 15
3.Tahap-Tahap Kebijakan Publik ... 16
B. Tinjauan Tentang Implementasi Kebijakan Publik ... 19
1.Definisi Implementasi Kebijakan Publik ... 19
2.Model Implementasi Kebijakan Publik ... 22
C. Tinjauan Tentang Kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional .. 29
C. Unit Analisis dan Lokasi Penelitian ... 41
D. Sumber Data ... 43
E. Teknik Pengumpulan Data ... 44
F. Analisis Data ... 46
G. Teknik Keabsahan Data ... 47
IV.GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN, HASIL DAN PEMBAHASAN ... 48
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 48
1.Gambaran Umum Dinas Pendidikan Propinsi DKI Jakarta ... 48
2.Gambaran Umum SMA Negeri 68 Jakarta dan SMA Negeri 81 Jakarta ... 50
a.Gambaran Umum SMA Negeri 68 Jakarta ... 50
1)Sejarah SMA Negeri 68 Jakarta ... 50
2)Visi dan Misi Pendidikan SMA Negeri 68 Jakarta ... 51
3)Struktur Organisasi SMA Negeri 68 Jakarta... 52
b.Gambaran Umum SMA Negeri 81 Jakarta ... 53
1)Sejarah SMA Negeri 81 Jakarta ... 53
2)Visi dan Misi SMA Negeri 81 Jakarta ... 54
3)Struktur Organisasi SMA Negeri 81 Jakarta... 55
B. Penyajian Data ... 56
1.Implementasi Kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional ... 57
a.Karakteristik Masalah ... 59
b.Daya Dukung Peraturan ... 63
c.Variabel Lingkungan ... 79
2.Kendala-kendala dalam Implementasi Kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional ... 76
a.Kendala Internal ... 77
b.Kendala Eksternal ... 78
3.Model Empiris Implementasi Kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional ... 78
C. Pembahasan ... 83
1.Implementasi Kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional ... 83
a.Karakteristik Masalah ... 83
b.Daya Dukung Peraturan ... 88
c.Variabel Lingkungan ... 97
2.Kendala-kendala dalam Implementasi Kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional ... 107
a.Kendala Internal ... 108
b.Kendala Eksternal ... 109
3.Komparasi Kebijakan di Kedua Sekolah ... 109
4.Model Rekomendasi Implementasi Kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional ... 117
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 120
A. Kesimpulan ... 120
Peraturan-peraturan Implementasi Kebijakan RSBI Panduan Wawancara
Surat Riset Tabel Triangulasi Foto-foto Penelitian
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Perkembangan Peringkat Human Development Indeks Indonesia ... 3
2. Daftar SMA RSBI di Jakarta ... 8
3. Dokumentasi Penelitian ... 46
4. Data Jumlah Sekolah, Siswa, dan Guru Tahun Ajaran 2011/2012 ... 56
5. Data SMA RSBI tahap awal di Propinsi DKI Jakarta ... 57
6. Bantuan Dana SMA RSBI ... 66
7. Hasil Penelitian menggunakan Model Mazmanian dan Sabatier ... 111
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Proses Kebijakan Publik I ... 17
2. Model Implementasi Top-Down Mazmanian dan Sabatier ... 27
3. Mekanisme Penetapan SMA RSBI ... 34
4. Kerangka Pikir ... 37
5. Komponen dalam analisis data (interactive model) ... 46
6. Struktur Organisasi Dinas Pendidikan ... 49
7. Model Empiris Implementasi Kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional ... 82
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada era globalisasi seperti sekarang ini, Human Development Index (HDI) atau yang lebih dikenal dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan sebuah tolak ukur yang digunakan untuk menilai klasifikasi setiap negara. HDI adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan, dan standar hidup untuk semua negara di seluruh dunia. HDI mengukur peringkat suatu negara dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan ekonomi.
Peringkat perkembangan pembangunan manusia dalam HDR dikategorikan kedalam empat kelompok, yaitu: Very High Human Development (kelompok Negara berperingkat pembangunan sangat tinggi, 1−47), High Human Development (kelompok negara berperingkat pembangunan manusianya tinggi, 48−94), Medium Human Development (kelompok negara berperingkat pembangunan manusianya sedang, 95−141), dan Low Human Development (kelompok negara berperingkat pembangunan manusianya rendah, 142−187). (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Indeks_Pembangunan_Manusia/, diakses pada tanggal 21 Oktober 2012)
Peringkat Indonesia dalam HDR selama 11 tahun (1999−2010) selalu berada pada peringkat 102 hingga 112. Sehingga Indonesia masuk kedalam kategori Medium Human Development. Peringkat terbaik dicapai oleh Indonesia pada tahun 2001, yaitu peringkat 102 dan tahun 1999 dengan peringkat 105. Sedangkan peringkat terburuk terjadi pada tahun 2003, yaitu peringkat ke-112. (Sumber: HDR 2011, UNDP)
Padahal, pada tahun 2010 Indonesia berada di peringkat 108. (Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2011/11/02/indonesia-ranks-124th-2011-human-development-index.html/, diakses pada tanggal 23 Oktober 2012)
Tabel 1. Perkembangan Peringkat Human Development Indeks Indonesia Tahun Peringkat HDI Indonesia
1999 105
Sumber: UNDP, HDR 1999-2012 yang telah diolah
Perubahan peringkat dari 108 menjadi 124 ini menunjukkan bahwa pembangunan manusia di Indonesia mengalami perlambatan dibandingkan negara-negara lain. Derajat kesejahteraan masyarakat Indonesia mengalami penurunan secara drastis, hal ini ditunjukkan dari usia harapan hidup (life expectancy at birth). HDR 2010 menunjukkan usia harapan hidup masyarakat Indonesia adalah 71,5 tahun, sedangkan HDR pada tahun 2011 menunjukkan usia harapan hidup masyarakat Indonesia berada di usia 69,4 tahun.
guna menghasilkan sumber daya manusia yang mampu dan siap melaksanakan pembangunan Indonesia dikemudian hari.
Melihat kenyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa titik terlemah pembangunan Indonesia berada di sektor pendidikan. Kinerja tertinggi bidang pendidikan di ASEAN diraih oleh Malaysia, yang rata-rata penduduknya mampu menempuh jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) ke atas. Sedangkan penduduk Indonesia rata-rata hanya mampu mendapatkan pendidikan hingga lulus Sekolah Dasar (SD) saja. Padahal, yang dibicarakan dalam hal ini hanya dilihat dari sisi kuantitas, bukan kualitas. Dapat dikatakan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih belum bisa bersaing dengan dunia internasional.
Melihat fenomena tersebut, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang ada di Indonesia. Berbagai kebijakan maupun program dibuat dan dilaksanakan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Kepedulian pemerintah dalam mewujudkan pendidikan yang lebih berkualitas diawali dari adanya program pendidikan yang bermutu. Salah satu kebijakan tersebut adalah adanya program pendidikan Wajib Belajar 9 Tahun.
komitmen antara pemerintah dan masyarakat, seperti yang tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 bahwa tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan Wajib Belajar 9 Tahun sejalan dengan semangat untuk membebaskan bangsa Indonesia dari kebodohan dan kemiskinan. Bahkan, program Wajib Belajar 9 Tahun mengakomodir semangat pendidikan secara internasional. Pengakuan bahwa pendidikan merupakan hak setiap umat manusia termuat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang pada pasal 26 ayat (1) berbunyi
“Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus dengan cuma-cuma, setidak-tidaknya untuk tingkatan sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan. Pendidikan teknik dan kejuruan secara umum harus terbuka bagi semua orang dan pendidikan tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang sama, berdasarkan kepantasan.”
Namun, program tersebut pada saat implementasinya ternyata tidak dapat berjalan sesuai dengan harapan pemerintah. Masih banyak anak-anak di Indonesia yang belum merasakan indahnya pendidikan selama sembilan tahun. Hal ini dikarenakan biaya pendidikan yang terbilang cukup mahal bagi kalangan menengah ke bawah. Untuk menyiasati hal tersebut, pemerintah menggalakkan program dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) untuk SD dan SMP Negeri. Dengan adanya dana BOS ini, diharapkan tujuan pemerintah untuk mengatasi permasalahan pendidikan yang masih minim dapat teratasi.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 ayat (3) yang berbunyi “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan yang akan dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf Internasional”. Dengan adanya landasan tersebut, pemerintah Indonesia membuat Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Kebijakan ini dibuat dalam rangka peningkatan mutu sekolah dan lulusannya agar dapat bersaing di dunia internasional.
Pelaksanaan kebijakan SBI pada dasarnya merupakan strategi alternatif perbaikan mutu pendidikan dalam memenuhi hak tiap warga negara sesuai amanat Undang-undang untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Kebijakan SBI ini juga merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk memeratakan mutu sekolah yang ada di seluruh penjuru tanah air dengan maksud untuk meningkatkan daya saing lulusan-lulusan sekolah itu sendiri. Penyelenggaraan kebijakan ini dapat mendorong setiap sekolah yang menerapkan kebijakan ini dapat mengembangkan keunggulan dari potensi yang dimiliki sekolah itu sendiri. Sekolah Berstandar Internasional itu sendiri adalah sekolah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan yang diperkaya dengan keunggulan mutu tertentu yang berasal dari negara anggota Organization for Economic Co-operation & Development (OECD) atau negara maju lainnya. (Sumber: Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 78 Tahun 2009)
harus terlebih dahulu melalui tahapan, mulai dari Sekolah Standar Nasional (SSN) yang kemudian berlanjut menjadi Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan pada akhirnya dapat dikatakan sebagai Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).
Kebijakan RSBI merupakan suatu permulaan bagi sekolah agar dapat dikatakan sebagai sekolah dengan gelar SBI. Pada dasarnya, kebijakan mengenai pelaksanaan RSBI memiliki acuannya yang sama dengan kebijakan SBI, karena kebijakan RSBI merupakan bagian dari kebijakan SBI. Kebijakan tersebut telah diatur oleh pemerintah dalam Permendiknas Nomor 78 Tahun 2009 yang di dalamnya terdapat aturan mengenai pelaksanaan sekolah untuk kemudian dapat menjadi SBI.
Sekolah-sekolah RSBI memiliki cara masing-masing untuk meningkatkan mutu dan kualitasnya sehingga sekolah tersebut layak untuk dinyatakan sebagai SBI. Oleh karena itu, pelaksanaan kebijakan SBI yang pada saat ini masih berada pada tahap RSBI, menjadi hal yang penting bagi kemajuan sekolah tersebut. Masing-masing sekolah memiliki cara unuk melaksanakan kebijakan ini sesuai dengan potensi yang terdapat dalam sekolah itu sendiri, namun tetap mengikuti prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam aturannya yang terdapat dalam Permendiknas Nomor 78 Tahun 2009.
demikian, implementasi kebijakan RSBI dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah.
Pada saat ini, banyak sekolah-sekolah yang telah menjadi RSBI. Data hingga tahun 2012 menyatakan bahwa SMA RSBI yang ada di seluruh Indonesia saat ini mencapai 357 sekolah, dengan rincian 301 SMA Negeri dan 56 SMA Swasta. Data ini sudah banyak meningkat sejak pertama kali dicetuskannya kebijakan pemerintah tentang SBI pada tahun 2006 lalu, yaitu sebanyak 100 sekolah, baik SMA Negeri dan Swasta se-Indonesia. (Sumber : Dit. PSMA Kemendikbud)
Sesuai dengan judul dari penelitian ini, peneliti mengambil contoh implementasi kebijakan RSBI di dua sekolah yang bertempat di Propinsi DKI Jakarta. Agar
lebih spesifik, daftar secara rinci mengenai SMA RSBI yang ada di Propinsi DKI Jakarta dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2. Daftar SMA RSBI di Propinsi DKI Jakarta
No. Nama Sekolah Kabupaten/Kota Tahun
Penetapan 1 SMA Negeri 68 Jakarta Kota Administrasi Jakarta
Pusat 2006
2 SMA Negeri 13 Jakarta Kota Administrasi Jakarta Utara 2006 3 SMA Negeri 78 Jakarta Kota Administrasi Jakarta Barat 2006 4 SMA Negeri 8 Jakarta Kota Administrasi Jakarta Selatan 2006 5 SMA Negeri 70 Jakarta Kota Administrasi Jakarta Selatan 2006 6 SMA Islam Al Azhar 1
Jakarta Kota Administrasi Jakarta Selatan 2006 7 SMA Labschool Jakarta Kota Administrasi Jakarta Timur 2006 8 SMA Negeri 81 Jakarta Kota Administrasi Jakarta
Timur 2006
9 SMA Negeri 28 Jakarta Kota Administrasi Jakarta Selatan 2007 10 SMA Negeri 61 Jakarta Kota Administrasi Jakarta Timur 2007 11 SMA Islam Al Azhar
Keberhasilan kebijakan RSBI dapat dilihat dari meningkatnya standar pendidikan Indonesia, seperti sarana dan prasarana yang menjadi jauh lebih baik, standar kelulusan SMA yang meningkat, dan juga tingginya passing grade untuk masuk
ke SMA RSBI tersebut. Dapat dilihat pula dari kemajuan setiap SMA RSBI yang banyak memenangkan olimpiade-olimpiade yang diadakan baik di tingkat regional, nasional, bahkan internasional. Tingkat penerimaan siswa di berbagai Perguruan Tinggi Negeri (PTN) juga menjadi salah satu indikator keberhasilan dari implementasi RSBI tersebut.
Kebijakan RSBI ini juga menimbulkan banyak kontra dengan alasan kebijakan ini dirasa lebih banyak memiliki kegagalan dibanding dengan keberhasilan. Kegagalan dari kebijakan ini antara lain, kebijakan RSBI dianggap tidak sesuai dengan Pancasila karena menggunakan bilingual dalam kegiatan belajar-mengajarnya, biaya yang terlalu mahal sehingga dianggap tidak sesuai dengan amanat Undang-undang yang menginginkan pendidikan harus diterapkan kepada seluruh lapisan sosial, dan memiliki konsep yang kurang matang.
tujuan. Setiap sekolah juga memiliki strategi masing-masing dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut.
Kebijakan RSBI di Propinsi DKI Jakarta sudah dimulai sejak tahun 2006. Hingga saat ini, SMA RSBI di Propinsi DKI Jakarta ada 14 sekolah dengan rincian 10 SMA Negeri dan empat SMA Swasta. Kebijakan ini pada awalnya hanya berupa pemberian predikat kepada sekolah-sekolah yang sebelumnya telah ditetapkan menjadi SSN. Dengan adanya SMA RSBI, daftar sekolah unggulan yang ada di Jakarta juga semakin terlihat. Sekolah yang berpredikat sebagai RSBI diasumsikan menjadi sekolah unggulan dan selalu menjadi favorit bagi para lulusan-lulusan SMP. Berbagai prestasi juga diukir oleh siswa sebagai bentuk dari implementasi kebijakan RSBI yang berusaha unggul di setiap bidang. Sebagai kota besar, Jakarta sering dijadikan teladan bagi kota-kota lain sehingga studi-studi banding sering sekali. Studi banding dilakukan dengan tujuan untuk memahami apa strategi dibalik keberhasilan Jakarta, khususnya di bidang pendidikan.
perbandingan implementasi kebijakan RSBI di masing-masing sekolah. Pada akhirnya, penelitian ini akan diharapkan dapat dijadikan masukan agar masing-masing sekolah dapat mengimplementasikan kebijakan RSBI dengan lebih baik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang ada dalam latar belakang, maka permasalahan yang timbul adalah :
1. Bagaimanakah implementasi kebijakan RSBI di SMA Negeri yang ada di Propinsi DKI Jakarta, studi komparasi pada SMA Negeri 68 Jakarta dan SMA Negeri 81 Jakarta?
2. Apasajakah kendala-kendala yang mempengaruhi implementasi kebijakan RSBI di SMA Negeri di Jakarta, studi komparasi pada SMA Negeri 68 Jakarta dan SMA Negeri 81 Jakarta?
C. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian dari sebuah fenomena atau masalah pasti mempunyai tujuan yang hendak dicapai, karena dengan adanya tujuan tersebut penelitian akan dapat memberikan manfaat yang sesuai dengan harapan peneliti. Oleh karena itu, tujuan peneliti melakukan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui implementasi kebijakan RSBI di SMA Negeri di Jakarta, studi komparasi pada SMA Negeri 68 Jakarta dan SMA Negeri 81 Jakarta serta membandingkannya sesuai dengan kajian Ilmu Administrasi Negara. 2. Untuk mengetahui kendala-kendala apa sajakah yang mempengaruhi
D. Manfaat Penelitian
Dengan dilakukannya penelitian ini, peneliti berharap akan adanya manfaat yang dapat diambil baik bagi peneliti maupun masyarakat. Manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua bentuk, yaitu :
1. Teoritis
Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan pengetahuan secara lebih mendalam mengenai implementasi sebuah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, yang dalam hal ini berupa kebijakan dalam bidang pendidikan, yaitu kebijakan RSBI.
2. Praktis
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Kebijakan Publik
1. Definisi Kebijakan Publik
Dewasa ini, kebijakan publik menjadi suatu hal yang tidak asing lagi bahkan di
kalangan masyarakat awam. Setiap saat terasa sekali bahwa di sekeliling kita saat
ini telah hadir fenomena kebijakan publik. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini
kebijakan publik telah menjadi sesuatu yang banyak mempengaruhi kehidupan
manusia, baik disadari maupun tidak. Makna yang terkandung dalam kebijakan
publik juga menjadi beragam. Istilah kebijakan seringkali disamakan dengan
keputusan atau usulan-usulan dari para pembuat kebijakan. Para ahli administrasi
publik terkait dengan definisi kebijakan publik, secara umum juga memberikan
penafsiran yang berbeda-beda. Akan tetapi, ada juga yang memiliki kesamaan
persepsi atas definisi kebijakan publik tersebut.
Menurut Charles O. Jones dalam Winarno (2007:16), istilah kebijakan (policy
term) digunakan dalam praktek sehari-hari namun digunakan untuk
menggantikan kegiatan atau keputusan yang sangat berbeda. Istilah ini sering
dipertukarkan dengan tujuan (goals), program, keputusan (decision), standar,
kebijakan sering disama-artikan dengan pengertian kebijaksanaan. Istilah
“policy” seringkali diartikan sebagai tujuan (goals), program, keputusan,
undang-undang, ketentuan-ketentuan, usulan-usulan, dan rancangan-rancangan
besar.
Definisi kebijakan publik yang paling populer atau dikenal adalah pendapat dari
Thomas R. Dye, 1995 dalam Agustino (2012:7) yang berbunyi kebijakan publik
adalah apa yang dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan.
Dye mengatakan, jika pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus
memiliki tujuan dan kebijaksanaan negara harus meliputi semua tindakan
pemerintah, bukan hanya keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja.
Definisi lainnya mengenai kebijakan publik yang ditawarkan oleh James
Anderson dalam Winarno (2007:18) menggambarkan bahwa kebijakan
merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang
aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan.
Konsep kebijakan ini dianggap tepat karena memusatkan perhatian pada kegiatan
yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada kegiatan yang diusulkan atau
dimaksudkan. Selain itu, konsep ini juga membedakan kebijakan dari keputusan
yang merupakan pilihan di antara berbagai alternatif yang ada.
Dengan melihat definisi-definisi yang telah diungkapkan oleh beberapa ahli di
atas, maka kebijakan publik dapat diartikan sebagai serangkaian keputusan dan
tindakan yang diambil serta dilakukan oleh pemerintah (institusi publik)
bersama-sama dengan aktor-aktor elit politik untuk dilakukan atau tidak dilakukan dalam
masyarakat. Kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) adalah
serangkaian keputusan dan tindakan yang diambil serta dilakukan oleh
pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan standar kompetensi lulusan,
khususnya SMA dengan menampilkan keunggulan lokal yang mampu bersaing di
tingkat internasional.
2. Ciri-Ciri Kebijakan Publik
Ciri-ciri yang melekat pada kebijakan publik bersumber pada kenyataan bahwa
kebijakan dirumuskan oleh apa yang David Easton dalam Wahab (2005:5) sebut
sebagai orang-orang yang memiliki wewenang, yakni para tetua adat, ketua suku,
eksekutif, legislator, hakim, administrator, dan lain sebagainya.
Ciri-ciri kebijakan publik yang dikemukakan dalam Wahab (2005:6) ada empat
ciri, yaitu:
a. Kebijakan publik merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan daripada
sebagai tindakan yang kebetulan (tindakan yang berpola);
b. Kebijakan publik merupakan tindakan-tindakan yang saling terkait dengan
berpola yang dilakukan oleh pejabat-pejabat publik atau pemerintah dan
bukan merupakan keputusan yang berdiri sendiri;
c. Kebijakan publik merupakan tindakan yang senyata-nyatanya telah
dilakukan oleh pemerintah dalam bidang-bidang tertentu;
d. Kebijakan publik mempunyai dampak positif dan negatif.
Berdasarkan ciri-ciri yang telah disebutkan di atas, kebijakan RSBI merupakan
baik. Kebijakan ini adalah salah satu tahap dimana SMA RSBI nantinya akan
menjadi SMA bertaraf internasional. Kebijakan ini diambil dan diputuskan
berdasarkan proses yang jelas dengan berbagai landasan hukum dan
pertimbangan-pertimbangan matang yang pada akhirnya terciptalah kebijakan
RSBI. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang diambil oleh pemerintah di
bidang pendidikan. Berdasarkan ciri yang terakhir, setiap kebijakan tentu saja
mempunyai dampak positif maupun negatif. Oleh karena itu, nantinya sebuah
kebijakan akan mengalami tahap yang disebut evaluasi sehingga dampak-dampak
yang dihasilkan dapat diatasi dan membuat kebijakan tersebut kembali seperti
tujuan awalnya.
3. Tahap-Tahap Kebijakan Publik
Dalam Winarno (2007:32), dijelaskan bahwa proses kebijakan publik merupakan
proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang
harus dikaji. Oleh karena itu, beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk
mengkaji kebijakan membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik ke
dalam beberapa tahap. Tahap-tahap kebijakan publik yang ada juga sangat
beragam, mulai dari yang sederhana, hingga yang rumit. Dalam Winarno
(2007:33), tahapannya dibagi menjadi lima, yaitu penyusunan agenda, formulasi
kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan.
Tahap penyusunan agenda merupakan sebuah tahap dimana pembuat kebijakan
menyusun dan merancang pokok-pokok permasalahan dalam suatu kebijakan.
Pada akhirnya, masalah yang telah difokuskan akan dimasukkan ke dalam agenda
diformulasikan oleh pembuat kebijakan. Dalam formulasi kebijakan,
permasalahan yang ada akan dicari pemecahan masalah yang paling baik.
Kemudian, pada tahap adopsi kebijakan, alternatif kebijakan yang sebelumnya
telah dibuat nantinya akan diadopsi dengan dukungan dari pihak legislatif.
Tahapan selanjutnya adalah implementasi kebijakan yang merupakan tahap
dimana alternatif kebijakan yang telah diambil akan dilaksanakan oleh pelaksana
kebijakan. Tahap ini merupakan tahap yang sangat penting karena keberhasilan
suatu kebijakan salah satunya dapat dilihat dari bagaimana pelaksanaan kebijakan
tersebut. Kebijakan tanpa implementasi hanyalah berupa berkas yang tidak
berguna. Oleh karena itu, tahapan ini merupakan tahapan yang paling penting
dalam seluruh tahapan kebijakan. Selanjutnya ada tahap evaluasi, yaitu tahap
dimana kebijakan tersebut akan ditinjau kembali apakah kebijakan tersebut harus
dilanjutkan atau diperbaiki.
Proses kebijakan publik secara sederhana dapat dilihat pada skema di bawah ini :
Gambar 1. Proses Kebijakan Publik I
Sumber: Winarno (2007:33) yang telah diolah peneliti, 2012 Agenda
Setting
Evaluasi Kebijakan Publik
Implementasi Kebijakan Publik Perumusan
Kebijakan Publik
Output Outcome
Penjelasan dari skema diatas adalah tahap pembuatan kebijakan publik berawal
dari adanya agenda setting yang selanjutnya dirumuskan, kemudian dilakukanlah
adopsi atas kebijakan tersebut yang selanjutnya kebijakan akan
diimplementasikan. Pada akhirnya, kebijakan yang telah diimplementasikan
tersebut akan sampai pada tahap evaluasi kebijakan publik. Dari evaluasi
kebijakan akan muncul dua hasil dari implementasi kebijakan tersebut, yaitu
output (dampak yang dirasakan secara langsung) dan outcome (dampak yang
dirasakan oleh masyarakat dalam jangka panjang). Dari hasil evaluasi tersebut,
pembuat kebijakan akan dapat mengetahui apakah kebijakan yang telah dibuat
dapat kembali diimplementasikan, diperbaiki atau harus dihapuskan.
Seperti penjelasan di atas, tahap implementasi kebijakan merupakan tahap
dimana kebijakan yang telah dibuat dapat dijalankan dan dilihat apakah kebijakan
tersebut berjalan sesuai dengan rumusan dan tujuan, sehingga kedepannya dapat
dilakukan evaluasi kebijakan. Implementasi merupakan tahapan yang krusial,
rumit, dan kompleks dalam proses kebijakan publik. Namun, implementasi
memegang peran yang cukup vital dalam proses kebijakan. Tanpa adanya tahap
implementasi kebijakan, program-program kebijakan yang telah disusun hanya
akan menjadi catatan-catatan resmi saja. Pada saat implementasi, dilakukan
pemantauan untuk memastikan implementasi kebijakan konsisten dengan
rumusan kebijakan. Hasil implementasi kebijakan adalah kinerja kebijakan. Pada
saat inilah diperlukan evaluasi kebijakan. Hasil evaluasi akan menentukan apakah
kebijakan dilanjutkan atau membawa isu kebijakan baru, yang mengarah pada
Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan diteliti tahap implementasi dalam
kebijakan publik. Penelitian ini dilakukan karena kebijakan RSBI merupakan
sebuah kebijakan bidang pendidikan yang memiliki tujuan baik bagi peningkatan
mutu pendidikan di Indonesia, sehingga tahap implementasinya merupakan tahap
yang paling tepat untuk diteliti serta untuk melihat apakah tujuan dari kebijakan
tersebut telah tercapai dalam pelaksanaannya dan efektif untuk dilaksanakan.
B. Tinjauan Tentang Implementasi Kebijakan Publik
1. Definisi Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi kebijakan merupakan sebuah tahapan dari kebijakan publik setelah
sebelumnya adalah perumusan kebijakan. Seperti yang telah dipaparkan
sebelumnya, tahap implementasi merupakan tahap dimana sebuah kebijakan yang
sebelumnya telah dirumuskan, kemudian dilaksanakan oleh para pelaksana
kebijakan. Implementasi kebijakan merupakan tahap dari proses kebijakan segera
setelah penetapan undang-undang atau peraturan tertulis lainnya. Tahap
implementasi ini adalah suatu tahapan yang penting dalam sebuah kebijakan.
Implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang dinamis, dimana para
pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan sesuai dengan
perumusan kebijakan yang sebelumnya telah dilakukan, sehingga pada akhirnya
akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran dari
kebijakan itu sendiri. Namun, dalam praktiknya implementasi kebijakan
merupakan suatu proses yang sangat kompleks dan tidak jarang bermuatan politis
dengan adanya intervensi dari berbagai kelompok. Oleh karena itu, implementasi
Van Meter dan Van Horn dalam Winarno (2007:146) membatasi implementasi
kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau
kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijakan sebelumnya.
Tindakan-tindakan tersebut dilakukan untuk mengubah keputusan-keputusan
menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu serta
melanjutkan usaha-usaha tersebut untuk mencapai perubahan-perubahan besar
dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan.
Sementara itu, Grindle dalam Winarno (2007:146) juga memberikan
pandangannya tentang implementasi dengan mengatakan bahwa secara umum,
tugas implementasi adalah membentuk suatu kaitan (linkage) yang memudahkan
tujuan-tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan
pemerintah. Dengan demikian, kebijakan publik diterjemahkan ke dalam
program-program tindakan yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan
yang dinyatakan dalam suatu kebijakan. Dengan demikian, berbagai program bisa
dikembangkan untuk merespon tujuan-tujuan kebijakan yang sama.
Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1979) dalam Wahab (2005:65),
menjelaskan makna implementasi ini dengan mengatakan bahwa:
Dari ketiga pendapat para ahli di atas, dapat disederhanakan bahwa pendapat
Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier tentang implementasi lebih terfokus
pada apa yang menjadi tujuan dari kebijakan tersebut secara tegas, agar proses
pelaksanaannya yang berupa kegiatan-kegiatan tidak melenceng dari apa yang
telah ditetapkan. Sedangkan, tidak jauh berbeda dengan Daniel A. Mazmanian
dan Paul A. Sabatier, Van Meter dan Van Horn mengemukakan selain proses dan
pencapaian tujuan, implementasi juga harus melihat kelangsungan dari kebijakan
tersebut agar dapat ditransformasikan menjadi pola-pola operasional, intinya
bahwa implementasi kebijakan tersebut pada dasarnya harus berkelanjutan.
Terakhir, pendapat dari Grindle juga memiliki persamaan dengan pendapat
Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier yang memberikan penjelasan bahwa
implementasi kebijakan harus berfokus pada tujuan kebijakan, agar output dan
outcome tidak menyimpang dari apa yang diharapkan .
Melihat paparan berbagai definisi implementasi kebijakan di atas, dapat
disimpulkan bahwa implementasi kebijakan adalah serangkaian kegiatan yang
merupakan tindak lanjut dari suatu kebijakan setelah kebijakan tersebut
ditetapkan guna merealisasikan program sebagai hasil dari aktivitas pemerintah
terhadap kebijakan tersebut. Dari definisi tersebut, dalam penelitian ini
implementasi kebijakan RSBI pada awalnya berwujud Undang-undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang didalamnya menyinggung
permasalahan tentang pendidikan bertaraf internasional yang pada akhirnya
dirumuskanlah Permendiknas tentang SBI. Kebijakan RSBI sendiri merupakan
sebuah tahap bagi sekolah untuk mencapai tahap SBI. Hal ini sejalan dengan
dimana setelah adanya sebuah keputusan maka selanjutnya kebijakan tersebut
akan ditransformasikan secara operasional ke dalam kegiatan, dalam hal ini
adalah kebijakan RSBI.
2. Model Implementasi Kebijakan Publik
Dalam mengimplementasikan kebijakan publik, ada beberapa model yang perlu
digunakan untuk menjadi pedoman atau penuntun agar pada saat pelaksanaan,
kebijakan tersebut tidak akan menyimpang dari apa yang sebelumnya telah
dirumuskan. Model implementasi kebijakan merupakan kerangka dalam
melakukan analisis terhadap proses implementasi kebijakan sebagai alat untuk
menggambarkan situasi dan kondisi yang terjadi setelah ditetapkannya kebijakan
tersebut, sehingga perilaku yang terjadi di dalamnya dapat dijelaskan. Oleh
karena itu, penggunaan model implementasi kebijakan sangat diperlukan untuk
melakukan studi implementasi kebijakan. Ada beberapa model implementasi
kebijakan menurut para ahli yang seringkali diterapkan. Pada umumnya,
model-model tersebut menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi
kebijakan yang diarahkan pada pencapaian kebijakan.
Model Merilee S. Grindle dalam Agustino (2012:154) mengemukakan bahwa
ada dua variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik.
Keberhasilan implementasi suatu kebijakan publik dapat diukur dari proses
pencapaian hasil akhir (outcomes), yaitu tercapai atau tidaknya tujuan yang ingin
diraih. Pengukuran keberhasilan implementasi kebijakan publik dapat dilihat dari
atau tidak. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan publik juga sangat
ditentukan oleh tingkat implementability kebijakan tersebut yang terdiri atas:
a. Content of policy yang meliputi kepentingan-kepentingan yang
mempengaruhi, tipe manfaat, derajat perubahan yang ingin dicapai, letak
pengambilan keputusan, pelaksana program, dan sumber-sumber daya yang
digunakan.
b. Context of policy yang meliputi kekuasaan, kepentingan-kepentingan, dan
strategi dari aktor-aktor yang terlibat, karakteristik lembaga-lembaga dan
rezim yang berkuasa, serta tingkat kepatuhan dan adanya respon dari
pelaksana.
Model implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horn dalam Agustino
(2012:141) adalah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu
atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang
diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam
kebijaksanaan. Implementasi kebijakan menyangkut tiga hal, yaitu adanya tujuan
dan sasaran, adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan, dan adanya hasil
kegiatan. Dalam implementasi ini, terdapat enam variabel yang membentuk
hubungan antara kebijakan dan pelaksanaan, antara lain:
a. Standar dan tujuan kebijakan merupakan apa yang hendak dicapai oleh
program atau kebijakan, baik yang berwujud maupun tidak, jangka pendek,
menengah atau panjang.
b. Sumber daya, terdiri dari sumber daya manusia dan sumber daya finansial.
menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Sumber daya finansial
juga ikut menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan.
c. Komunikasi antar-organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan, komunikasi
merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan publik.
d. Karakteristik agen pelaksana, yaitu pusat perhatian pada agen pelaksana
meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat dalam
proses implementasi kebijakan publik.
e. Lingkungan ekonomi, sosial, dan politik, ketiga kondisi ini mengacu pada
sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan suatu
kebijakan publik yang telah diterapkan.
f. Sikap dan kecenderungan para pelaksana, yaitu sikap penerimaan atau
penolakan dari para pelaksana kebijakan banyak mempengaruhi keberhasilan
kinerja implementasi kebijakan publik.
Model implementasi kebijakan publik selanjutnya adalah model yang
dikemukakan oleh George C. Edward III dalam Indiahono (2009:31) yang
menunjuk pada empat variabel yang berperan penting dalam pencapaian
keberhasilan implementasi. Empat variabel tersebut adalah komunikasi, sumber
daya, disposisi, dan struktur birokrasi.
a. Komunikasi, setiap kebijakan akan dapat dilaksanakan dengan baik jika
terjalin komunikasi yang efektif. Terdapat tiga indikator yang dapat
digunakan dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi. Tiga
indikator tersebut adalah transmisi, kejelasan, dan konsistensi.
b. Sumber daya, setiap kebijakan harus didukung oleh sumber daya yang
Indikator-indikator yang digunakan untuk melihat implementasi kebijakan
adalah staf, informasi, wewenang, fasilitas, dan anggaran (budgetary).
c. Disposisi, yaitu kecenderungan perilaku atau watak pelasana kebijakan.
Faktor-faktor yang menjadi perhatian Edward III mengenai disposisi dalam
implementasi kebijakan adalah pengangkatan birokrat dan insentif.
d. Struktur birokrasi, menunjuk bahwa struktur birokrasi menjadi penting
dalam implementasi kebijakan. Menurut Edward III, terdapat dua
karakteristik utama dari birokrasi, yaitu Standard Operational Procedure
(SOP) dan fragmentasi.
Selanjutnya adalah model implementasi kebijakan yang dapat dikatakan telah
merangkum seluruh model-model implementasi kebijakan yang telah ada
sebelumnya, yaitu model implementasi kebijakan Daniel A. Mazmanian dan Paul
A. Sabatier yang sering disebut sebagai Frame Work for Implementation
Analysis. Dalam Agustino (2012:144−149) Daniel A. Mazmanian dan Paul A.
Sabatier menyatakan bahwa implementasi kebijakan adalah pelaksanaan
keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun
dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang
penting atau keputusan badan peradilan. Peran penting dari implementasi
kebijakan publik adalah kemampuannya dalam mengidentifikasi
variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan
proses implementasi. Model ini memiliki tiga variabel pokok, antara lain:
a. Karakteristik masalah atau tingkat kesulitan masalah yang harus dipecahkan
melalui implementasi suatu kebijakan. Semakin sulit masalah yang harus
kebijakan. Variabel ini meliputi ketersediaan teknologi dan teori teknis,
keragaman perilaku kelompok sasaran, persentase populasi, dan perubahan
perilaku yang diharapkan.
b. Daya dukung peraturan atau kemampuan kebijakan dalam merespon masalah
yang akan dipecahkan. Semakin jelas tujuan, dukungan, sumber daya, dan
lain-lain maka akan semakin besar peluang keberhasilan implementasi
kebijakan. Variabel ini meliputi kecermatan dan kejelasan penjenjangan
tujuan-tujuan resmi yang akan dicapai, teori kausalitas, ketepatan alokasi
sumber dana, keterpaduan hierarki di dalam lingkungan dan di antara
instansi-instansi pelaksana, aturan-aturan pembuat keputusan dari
badan-badan pelaksana, kesepakatan para pejabat terhadap tujuan yang termaktub
dalam undang-undang, rekrutmen dan akses formal pihak-pihak luar.
c. Lingkungan kebijakan yang mempengaruhi implementasi. Semakin baik
dukungan lingkungan kebijakan, maka akan semakin besar pula peluang
keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Variabel ini meliputi kondisi
sosio-ekonomi, perhatian terhadap kebijakan, dukungan publik, sikap dan
sumber daya, dukungan kewenangan, serta komitmen dan kepemimpinan
pejabat pelaksana.
Ketiga variabel di atas merupakan hal-hal yang dapat mempengaruhi
implementasi kebijakan, namun penekanannya masih sangat bergantung kepada
tipologi pelaksana dan masih bersifat administratif dengan menitikberatkan pada
bagaimana cara untuk mencapai tujuan. Ketiga variabel ini disebut sebagai
variabel bebas (independent variable), dibedakan dari tahap-tahap implementasi
Variabel terikat yang ditunjukkan melalui tahapan dalam proses implementasi
mencakup: (i) output kebijakan badan pelaksana, (ii) kesediaan kelompok sasaran
mematuhi output kebijakan, (iii) dampak nyata output kebijakan, (iv) dampak
output kebijakan sebagaimana yang dipersepsikan, dan (v) perbaikan.
Inti dari pemikiran Mazmanian dan Sabatier ini dapat dilihat pada gambar
berikut:
Gambar 2. Model Implementasi Top-Down Mazmanian dan Sabatier
Sumber: Mazmanian dan Sabatier (1983) dalam Purwanto dan Sulistyastuti (2012:41), yang telah dialih bahasakan oleh peneliti, 2013
Variabel Terikat Proses Implementasi: Karakteristik Masalah:
13. Ketersediaan teknologi dan teori teknis 14. Keragaman perilaku kelompok sasaran 15. Persentase populasi
16. Perubahan perilaku yang diharapkan
Daya dukung peraturan:
22. Kejelasan dan konsistensi tujuan yang hendak dicapai
23. Teori kausalitas
24. Ketepatan alokasi sumber dana 25. Keterpaduan hierarki di dalam
lingkungan
26. Kesepakatan terhadap tujuan yang termaktub dalam undang-undang 27. Rekrutmen
28. Akses formal pelaksana organisasi
Variabel non-peraturan: 16. Kondisi sosio ekonomi 17. Dukungan publik 18. Sikap dan sumber daya 19. Dukungan kewenangan 20. Komitmen dan kemampuan
pejabat pelaksana
9. Ketersediaan teknologi dan teori teknis 10. Keragaman perilaku kelompok sasaran 11. Persentase populasi
12. Perubahan perilaku yang diharapkan
Daya dukung peraturan:
15. Kejelasan dan konsistensi tujuan yang hendak dicapai
16. Teori kausalitas
17. Ketepatan alokasi sumber dana 18. Keterpaduan hierarki di dalam
lingkungan
19. Kesepakatan terhadap tujuan yang termaktub dalam undang-undang 20. Rekrutmen
21. Akses formal pelaksana organisasi
Variabel non-peraturan: 11. Kondisi sosio ekonomi 12. Dukungan publik 13. Sikap dan sumber daya 14. Dukungan kewenangan 15. Komitmen dan kemampuan
pejabat pelaksana Karakteristik Masalah:
5. Ketersediaan teknologi dan teori teknis 6. Keragaman perilaku kelompok sasaran 7. Persentase populasi
8. Perubahan perilaku yang diharapkan
Daya dukung peraturan:
8. Kejelasan dan konsistensi tujuan yang hendak dicapai
9. Teori kausalitas
10. Ketepatan alokasi sumber dana 11. Keterpaduan hierarki di dalam
lingkungan
12. Kesepakatan terhadap tujuan yang termaktub dalam undang-undang 13. Rekrutmen
14. Akses formal pelaksana organisasi
Variabel non-peraturan: 6. Kondisi sosio ekonomi 7. Dukungan publik 8. Sikap dan sumber daya 9. Dukungan kewenangan 10. Komitmen dan kemampuan
pejabat pelaksana Karakteristik Masalah:
1. Ketersediaan teknologi dan teori teknis 2. Keragaman perilaku kelompok sasaran 3. Persentase populasi
4. Perubahan perilaku yang diharapkan
Daya dukung peraturan:
1. Kejelasan dan konsistensi tujuan yang hendak dicapai
2. Teori kausalitas
3. Ketepatan alokasi sumber dana 4. Keterpaduan hierarki di dalam
lingkungan
5. Kesepakatan terhadap tujuan yang termaktub dalam undang-undang 6. Rekrutmen
7. Akses formal pelaksana organisasi
Variabel non-peraturan: 1. Kondisi sosio ekonomi 2. Dukungan publik 3. Sikap dan sumber daya 4. Dukungan kewenangan 5. Komitmen dan kemampuan
Model implementasi kebijakan Mazmanian dan Sabatier ini termasuk dalam
kategori model top-down. Model top-down merupakan suatu pola kebijakan yang
dikerjakan oleh pemerintah untuk rakyat. Dalam model top-down, implementasi
kebijakan yang dilakukan tersentralisasi dan dimulai dari aktor tingkat pusat yang
keputusannya diambil pula dari tingkat pusat. Model top-down bertitik tolak dari
perspektif bahwa keputusan-keputusan politik atau kebijakan yang telah
ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh
administrator-administrator atau birokrat-birokrat pada level di bawahnya.
Model milik Mazmanian dan Sabatier ini dikenal dan dianggap sebagai salah satu
model top-down yang paling maju dan paling lengkap dalam menggabungkan
berbagai variabel yang ada dari hasil peneliti sebelumnya. Sehingga dalam
penelitian ini, dimana kebijakan RSBI merupakan sebuah bentuk kebijakan
top-down, maka peneliti menggunakan model ini karena dirasa paling tepat untuk
mengungkap fenomena implementasi kebijakan RSBI beserta faktor-faktor yang
mempengaruhi dan juga kendala apa saja yang mungkin dihadapi dalam
implementasi kebijakan RSBI.
Model implementasi top-down digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor
yang membuat implementasi sukses ataupun gagal. Kebijakan RSBI merupakan
kebijakan yang termasuk pula dalam model top-down karena kebijakan ini dibuat
oleh pemerintah dan keputusannya diambil oleh pihak pemerintah pusat. Dengan
menggunakan model milik Mazmanian dan Sabatier, akan dapat diketahui
faktor-faktor apa saja yang menjadi pendukung maupun penghambat implementasi
Model implementasi kebijakan Mazmanian dan Sabatier ini juga termasuk dalam
mekanisme paksa. Mekanisme paksa adalah model yang mengedepankan arti
penting lembaga publik sebagai lembaga tunggal yang mempunyai monopoli.
Karena kebijakan RSBI merupakan sebuah kebijakan dengan model top-down
yang memiliki pola dari atas ke bawah, maka mekanisme yang digunakan adalah
mekanisme paksa dimana pemerintah pusat membuat kebijakan RSBI untuk
dilaksanakan oleh para pelaksana kebijakannya, bukan mekanisme pasar yang
orientasinya kepada model bottom-up dimana pelaksanaannya berpola dari bawah
ke atas atau dari rakyat ke pemerintah.
Penggunaan model implementasi kebijakan Mazmanian dan Sabatier ini diambil
oleh peneliti dengan dasar pemikiran bahwa tidak ada pilihan model yang terbaik,
yang ada adalah pilihan-pilihan yang harus kita pilih secara bijaksana sesuai
dengan kebutuhan kebijakannya sendiri. Berdasarkan hal tersebut, peneliti
memilih model ini karena unsur-unsur pokok dalam suatu implementasi
kebijakan terutama karakteristik masalah, daya dukung peraturan, variabel
lingkungan dan juga proses implementasi lebih dibahas secara detail dalam
model implementasi kebijakan Mazmanian dan Sabatier.
C. Tinjauan Tentang Kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional
Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) adalah sekolah yang sudah memenuhi
standar nasional pendidikan dan diperkaya dengan mengacu pada standar
pendidikan salah satu negara anggota Organization for Economic Development
(OECD) atau negara tertentu yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 pasal 1 “pendidikan
bertaraf internasional adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi
Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan standar pendidikan
negara maju”. Sedangkan dalam pasal 143 dijelaskan bahwa satuan pendidikan
bertaraf internasional merupakan satuan pendidikan yang telah memenuhi SNP
dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju.
Penyelenggaraan SBI yang didahului dengan penyelenggaraan Rintisan Sekolah
Bertaraf Internasional (RSBI) menjadi kebutuhan mendesak karena membangun
sekolah yang sudah memenuhi seluruh SNP dan diperkaya dengan keunggulan
mutu tertentu yang berasal dari negara maju merupakan modal dasar dari
pembangunan. Dalam konteks ini, implementasi kebijakan RSBI hakekatnya
merupakan strategi alternatif perbaikan mutu pendidikan yang dilakukan
pemerintah dalam memenuhi hak tiap warga negara sesuai amanat
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Variasi kualitas penyelenggaraan pendidikan dapat teramati dari berbagai
komponen, yaitu kmasukan, proses, dan keluaran. Komponen masukan meliputi
kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, siswa, bahan ajar, teknologi,
ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan, kondisi lingkungan, manajemen
sekolah, serta kendali mutu. Komponen proses meliputi pemanfaatan sarana dan
prasarana dalam bentuk kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan.
Komponen keluaran berupa hasil penilaian, hasil ujian nasional dan internasional,
lulusan yang kompetitif, terserap didunia kerja dan diterima di perguruan tinggi
Implementasi kebijakan RSBI mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional (Permendiknas) Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan
Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Selain Permendiknas, kebijakan RSBI di Indonesia juga menggunakan berbagai
landasan hukum dalam implementasinya, yaitu sebagai berikut:
1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Pasal 50 ayat (3) yang menyebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah
Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada
semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan
bertaraf internasional.
2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
3. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
4. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan
Nasional.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan.
6. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang
Standar lsi.
7. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Standar Kompetensi Lulusan.
8. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 6 Tahun 2007 sebagai
penyempurnaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun
9. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009.
10.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 61 Tahun 2007 tentang
Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Dibuat dan diimplementasikannya kebijakan RSBI memiliki tujuan, yaitu tujuan
secara umum dan khusus. Tujuan secara umum kebijakan RSBI ini adalah:
1. Meningkatkan kualitas pendidikan nasional.
2. Memberi peluang pada sekolah yang berpotensi untuk mencapai kualitas
bertaraf nasional dan internasional.
3. Memberi layanan kepada siswa berpotensi untuk mencapai prestasi bertaraf
nasional dan internasional.
4. Menyiapkan lulusan yang mampu berperan dalam masyarakat global.
Sedangkan tujuan khusus kebijakan ini adalah untuk menyiapkan lulusan SMA
yang memiliki kompetensi seperti tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan
yang diperkaya dengan standar kompetensi lulusan berciri internasional sehingga
lulusan yang dihasilkan diharapkan akan menjadi:
1. Individu yang nasionalis dan berwawasan global.
2. Individu yang cinta damai dan toleran.
3. Pemikir yang kritis, kreatif, dan produktif.
4. Pemecah masalah yang efektif dan inovatif.
5. Komunikator yang efektif.
6. Individu yang mampu bekerjasama.
Menurut Direktorat Jenderal Mendikdasmen Kementerian Pendidikan Nasional,
terdapat beberapa kriteria yang harus dimiliki RSBI, yaitu sebagai berikut:
1. Telah memiliki akreditasi “A” dari Badan Akreditasi Sekolah.
2. SMA Kategori Mandiri (SKM).
3. Diutamakan Kabupaten/Kota yang belum ada Rintisan SMA Bertaraf
Internasional.
4. Kabupaten/Kota yang telah mempunyai program Rintisan SMP Bertaraf
Internasional.
5. Penyelenggaraan sekolah satu shift (tidak double shift).
6. Memiliki sarana dan prasarana yang lengkap antara lain:
a. Memiliki tiga laboratorium IPA (Fisika, Kimia, dan Biologi).
b. Memiliki perpustakaan yang memadai.
c. Memiliki laboratorium komputer.
d. Ada akses internet.
e. Memiliki web sekolah.
f. Tersedia ruang kelas yang sesuai dengan rombongan belajar.
g. Memiliki kultur sekolah yang memadai (bersih dan bebas asap rokok).
7. Memiliki sumber daya manusia yang memadai:
a. Memiliki kepala sekolah:
1. SK Pengangkatan dari pejabat yang berwenang.
2. Mampu mengoperasikan komputer.
3. Memiliki kemampuan Bahasa Inggris minimal secara pasif.
b. Memiliki guru mata pelajaran yang cukup (minimal 80% mengajar
c. Memiliki staf penunjang yang memadai (staf TU, Laboran, Pustakawan,
Teknisi).
8. Memiliki minimal sembilan rombongan belajar.
9. Mengajukan proposal.
Setelah melihat kriteria yang ada, dapat dikatakan bahwa kebijakan ini memiliki
mekanisme dalam rangka memilih sebuah sekolah untuk diputuskan menjadi
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, khususnya dalam penelitian ini adalah
SMA. Mekanisme tersebut dilakukan agar dalam penetapannya, sekolah-sekolah
tersebut telah melalui dan memenuhi standar dan kriteria sebuah sekolah Rintisan
Sekolah Bertaraf Internasional.
Mekanisme penetapan SMA RSBI dapat dilihat dari bagan berikut ini:
Tidak
Proposal Ya
Gambar 3. Mekanisme Penetapan SMA RSBI
Sumber: PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan
Penilai Seleksi dan Verifikasi
D. Kerangka Pikir
Pada saat ini permasalahan mengenai mutu pendidikan di Indonesia menjadi
sangat penting dalam pembangunan yang sedang berlangsung. Oleh karena itu,
dibuatlah sebuah kebijakan yang diharapkan dapat membantu meningkatkan
mutu pendidikan di Indonesia, yaitu kebijakan RSBI. Kebijakan RSBI dimulai
pada tahun 2006 berdasarkan amanah dari adanya Undang-undang Sisdiknas
Nomor 20 Tahun 2003 dan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. Setelah tiga tahun berjalan, Kemendikbud akhirnya mengeluarkan
peraturan yang mengatur tentang kebijakan RSBI tersebut. Peraturan tersebut
adalah Permendiknas Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah
Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Peraturan
tersebut dikeluarkan agar kebijakan ini dapat berjalan lebih spesifik sehingga
menghasilkan apa yang telah menjadi tujuan dan amanah Undang-undang
Sisdiknas sebelumnya.
Dikeluarkannya peraturan tersebut yang di dalamnya telah dijelaskan secara lebih
rinci mengenai hal-hal yang bersangkutan tentang penyelenggaraan kebijakan
RSBI ini, saat ini sekolah-sekolah yang berpredikat RSBI menggunakan
peraturan tersebut sebagai pedoman dalah menjalankan sekolahnya. Pada
dasarnya RSBI merupakan sebuah tahap dimana pada akhirnya sekolah yang
mendapatkan predikat RSBI ini akan menjadi SBI seperti yang diharapkan oleh
pemerintah. Apabila telah memiliki kelayakan dan telah memenuhi standar yang
telah ditetapkan, pada akhirnya nanti RSBI ini akan menjadi SBI dan diharapkan
Untuk menjadi sekolah yang mendapat predikat RSBI, tentu saja harus melewati
proses dimana pada awalnya yang kemudian akan diseleksi oleh tim penilai
sehingga sekolah tersebut dinyatakan layak diberikan predikat RSBI atau masih
harus melewati pembinaan kembali oleh Dinas Pendidikan. Penilaian tersebut
dilakukan agar sekolah yang mendapatkan predikat tersebut benar-benar sesuai
dengan kriteria dan memiliki kualitas yang baik untuk menjadi SBI. Setelah
penetapan sekolah-sekolah tersebut, dimulailah implementasi kebijakan RSBI
sesuai dengan peraturan yang telah dibuat. Dalam penelitian ini, implementasi
kebijakan RSBI difokuskan pada dua tempat di wilayah Jakarta, yaitu Jakarta
Timur dan Jakarta Pusat. Implementasi kebijakan ini akan dilihat dari
masing-masing wilayah yang diwakilkan oleh satu sekolah yang berpredikat RSBI, yaitu
SMA Negeri 68 dan SMA Negeri 81 Jakarta.
Implementasi kebijakan RSBI ini menggunakan model implementasi kebijakan
Mazmanian dan Sabatier, karena model ini paling lengkap jika digunakan dalam
studi implementasi kebijakan dan juga dapat digunakan untuk membandingkan
implementasi dari kebijakan tersebut. Sehubungan dengan studi komparasi yang
dilakukan dalam penelitian ini, maka model inilah yang digunakan oleh peneliti.
Menurut model ini, dalam implementasi kebijakan terdapat beberapa variabel dan
indikator yang mempengaruhi berjalannya kebijakan tersebut. Variabel tersebut
adalah karakteristik masalah, daya dukung peraturan, dan variabel lingkungan.
Selain itu, peneliti juga akan melihat kendala-kendala apa saja yang terdapat
dalam implementasi kebijakan RSBI ini. Alur kerangka pikir dalam tulisan ini
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah metode penelitian yang
memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasar perwujudan
satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan sosial manusia. Penelitian
kualitatif merupakan proses penelitian yang bertujuan memahami suatu masalah
kemanusiaan yang didasarkan pada penyusunan suatu gambaran yang kompleks
dan menyeluruh menurut pandangan yang rinci dari para informan serta
dilaksanakan di tengah setting alamiah.
Bogdan dan Taylor (1992) dalam Basrowi dan Suwandi (2008:1) menyatakan
bahwa penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang
yang diamati. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang pemecahan masalahnya
dilakukan dengan menggunakan data empiris.
Alasan digunakannya pendekatan ini adalah karena penelitian ini ingin lebih
dilakukan oleh pemerintah dalam bidang pendidikan yang berupa kebijakan RSBI
dalam rangka mewujudkan tujuan dan amanat yang terkandung dalam
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Selain itu, penelitian ini juga disusun dengan sifat kontekstualisasi, maksudnya
penelitian ini hanya dapat dilakukan pada fenomena ini saja dan tidak dapat
dipakai secara generalisasi seperti pada penelitian kuantitatif.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis studi kasus.
Studi kasus adalah suatu pendekatan untuk mempelajari, menerangkan, atau
menginterpretasi suatu kasus dalam konteksnya secara natural tanpa adanya
intervensi dari pihak luar. Jenis penelitian ini akan segera berlaku jika terdapat
pertanyaan mengenai bagaimana (how) dan mengapa (why). Kecenderungan
dalam studi kasus ini adalah bahwa studi ini berusaha untuk menyoroti suatu
keputusan atau seperangkat keputusan, dan mengapa keputusan tersebut diambil,
bagaimana pelaksanaannya, dan apakah hasilnya.
Alasan digunakannya jenis penelitian studi kasus adalah karena metode penelitian
yang digunakan merupakan metode penelitian deskriptif, dimana metode
kualitatif ini dalam pelaksanaannya dapat dilakukan melalui studi kasus maupun
studi komparasi. Berdasarkan hal tersebut, jenis penelitian studi kasus ini dipilih
juga karena sifat kecenderungannya yang biasa memperhatikan permasalahan
mengenai mengapa suatu kebijakan diambil dan bagaimana pelaksanannya,
karena dalam penelitian ini yang ingin diteliti adalah bagaimana implementasi
kebijakan RSBI yang telah diterapkan di beberapa sekolah yang terdapat di
Dalam penelitian ini, terdapat desain penelitian yang digunakan, yaitu desain
multikasus. Desain multikasus digunakan pada saat kasus yang digunakan dalam
suatu penelitian ada lebih dari satu. Oleh karena itu, desain ini banyak digunakan
dalam studi komparatif. Dalam penelitian ini, objek yang akan diteliti ada dua,
yaitu implementasi kebijakan RSBI di SMA Negeri 68 dan SMA Negeri 81
Jakarta yang pada akhirnya nanti akan dibandingkan berdasarkan
indikator-indikator yang telah ditentukan.
B. Fokus Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, fokus kajian penelitian dan atau pokok soal yang
hendak diteliti mengandung penjelasan dimensi-dimensi apa yang menjadi pusat
perhatian serta yang kelak akan dibahas secara mendalam dan tuntas. Adapun
fokus penelitian dalam penelitian ini adalah:
1. Impementasi kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional di SMA
Negeri di Propinsi DKI Jakarta yang dapat dilihat dari beberapa variabel,
antara lain:
a. Variabel Bebas:
1) Karakteristik masalah atau tingkat kesulitan masalah yang harus
dipecahkan melalui implementasi suatu kebijakan. Indikatornya
adalah ketersediaan teknologi dan teori teknis, keragaman perilaku
kelompok sasaran, sifat populasi, dan derajat perubahan perilaku yang
diharapkan.
2) Daya dukung peraturan atau kemampuan kebijakan dalam merespon
kejelasan tujuan-tujuan yang akan dicapai, keterandalan teori
kausalitas yang diperlukan, ketetapan alokasi sumber dana,
keterpaduan hierarki di dalam lingkungan pelaksana, aturan-aturan
pembuat keputusan dari badan-badan pelaksana, kesepakatan para
pejabat terhadap tujuan yang termaktub dalam undang-undang, dan
akses formal pihak-pihak luar.
3) Variabel lingkungan yang mempengaruhi implementasi. Indikatornya
adalah kondisi sosial, ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap
dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok masyarakat, dan
kesepakatan serta kemampuan kepemimpinan para pejabat pelaksana.
b. Variabel Terikat
Variabel terikat dalam implementasi kebijakan menurut Mazmanian dan
Sabatier ada lima, yaitu output kebijakan badan pelaksana, kesediaan
kelompok sasaran mematuhi output kebijakan, dampak nyata output
kebijakan, dampak output kebijakan sebagaimana yang dipersepsikan, dan
perbaikan kebijakan tersebut.
2. Kendala-kendala dalam implementasi kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (RSBI) di Propinsi DKI Jakarta dilihat dari identifikasi dan
analisis faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan.
C. Unit Analisis dan Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian merupakan tempat dimana peneliti melakukan penelitian dalam
rangka mendapatkan data-data penelitian yang akurat. Lokasi yang diambil dalam
penelitian ini, yaitu “Implementasi Kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (Studi Komparasi di Propinsi DKI Jakarta)”, maka lokasi dari
penelitian ini adalah Propinsi DKI Jakarta.
Pemilihan lokasi dilandaskan atas dasar pemikiran bahwa di Indonesia, Pulau
Jawa menjadi salah satu pulau yang sangat pesat perkembangannya diberbagai
bidang dalam rangka pembangunan. Oleh karena itu, peneliti mengambil lokasi
di Ibukota Indonesia yaitu DKI Jakarta sebagai perwakilan dari Pulau Jawa yang
sekaligus merupakan pusat pembangunandan pemerintahan, dimana dalam hal ini
sudah sering sekali Jakarta dijadikan sebagai pembanding suatu implementasi
kebijakan dalam sebuah studi komparasi.
Dalam meneliti kebijakan RSBI, peneliti secara sengaja memilih Kota
Administrasi Jakarta Timur dan Kota Administrasi Jakarta Pusat sebagai lokasi
strategis penelitian. Pemilihan Kota Administrasi Jakarta Timur dilandasi dengan
fakta bahwa koordinator pelaksana kebijakan RSBI untuk wilayah DKI Jakarta
terdapat di Kota Administrasi Jakarta Timur. Sehingga dengan sengaja, peneliti
memilih Kota Administrasi Jakarta Timur sebagai lokasi penelitian dari sebuah
penelitian yang berjudul “Implementasi Kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (Studi Komparasi di Propinsi DKI Jakarta)”.
Sedangkan pemilihan Kota Administrasi Jakarta Pusat sebagai objek yang akan
dibandingkan dalam penelitian ini dilakukan dengan sengaja juga karena
menyesuaikan dengan pengambilan lokasi pertama yang didasari atas pentapan