ANALISIS STABILITAS LERENG MENGGUNAKAN
PERKUATAN DOUBLE SHEET PILE DAN GEOGRID
DENGAN MENGGUNAKAN METODE ELEMEN HINGGA
(Studi Kasus Jalan Siantar – Parapat Km.152)
TUGAS AKHIR
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Menempuh Ujian Sarjana Teknik Sipil
Disusun Oleh :
ARAN GREGORIUS SIMARMATA
08 0404 095
BIDANG STUDI GEOTEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Stabilitas lereng sangat erat kaitannya dengan longsor atau gerakan tanah yang merupakan proses perpindahan massa tanah secara alami dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Semakin besar sudut lereng semakin besar pula daya dorong disebabkan meningkatkan tegangan geser berbanding terbalik dengan tegangan normal berupa kekuatan penahan. Analisis stabilitas lereng mempunyai peran yang sangat penting pada perencanaan konstruksi-konstruksi sipil. Kondisi tanah asli yang tidak selalu sesuai dengan perencanaan yang diinginkan misalnya lereng yang terlalu curam diperlukan pemotongan bukit atau kondisi lain yang membutuhkan timbunan dan lain sebagainya. Sehingga diperlukan analisis stabilitas lereng yang lebih akurat agar diperoleh konstruksi lereng yang mantap (sesuai dengan syarat keamanan). Pada kasus ini kondisi Jalan Parapat KM 152 mengalami kelongsoran hingga badan jalan.
Adapun tujuan tugas akhir ini adalah untuk mengetahui perbandingan nilai
safety factor (angka keamanan) dari perkuatan lereng dengan berbagai kondisi yaitu kondisi awal sebelum perkuatan, kondisi pada pengerjaan di lapangan yaitu perkuatan dengan menggunakan double sheet pile dan geogrid, kondisi dengan perkuatan alternatif I dengan menggunakan single sheet pile, geogrid dan
conterweight, dan kondisi dengan perkuatan alternatif II dengan menggunakan double sheet pile geogrid dan conterweight. Keempat kondisi ini dibandingkan dengan menggunakan Metode Elemen Hingga (Plaxis 8.2).
Dari hasil perhitungan didapatkan nilai safety factor pada kondisi awal adalah sebesar 0,78. Nilai safety factor pada perkuatan dengan menggunakan
double sheet pile dan geogrid adalah sebesar 1,09. Nilai safety factor dengan menggunakan single sheet pile, geogrid dan conterweight adalah sebesar 1,23.Nilai safety factor dengan menggunakan double sheet pile, geogrid dan
conterweight adalah sebesar 1,43. Perhitungan safety factor teraman adalah dengan penambahan beban conterweight dibelakang sheet pile sehingga didapatkan kelongsoran yang kecil.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, yang telah
memberikan berkat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas
Akhir ini yang merupakan syarat utama yang harus dipenuhi untuk memperoleh
gelar sarjana Teknik dari Universitas Sumatera Utara dengan judul ”Analisis
Stabilitas Lereng Menggunakan Perkuatan Double Sheetpile dan Geogrid
dengan Menggunakan Metode Elemen Hingga (studi kasus : Ruas Jalan Siantar – Parapat KM 152)”
Penulis menyadari bahwa selesainya tugas akhir ini tidak terlepas dari
bimbingan, dukungan dan bantuan dari semua pihak baik moril maupun materil.
Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan
terima kasih yang setulusnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan, selaku Ketua Departemen Teknik Sipil
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Ir. Syahrizal, MT selaku Sekretaris Departemen Teknik Sipil
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Roesyanto MSCE, selaku dosen pembimbing yang telah
banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan bimbingan
yang tiada hentinya kepada penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.
4. Bapak Ir. Rudi Iskandar, MT., dan Ibu Ika Puji Hastuti, ST, MT., selaku dosen
pembanding dan penguji Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik
5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Pengajar Departemen Teknik Sipil yang telah
membimbing dan memberikan pengajaran kepada penulis selama menempuh
masa studi di kampus tercinta ini.
6. Kedua Orang Tua saya tercinta, A. Simarmata dan M. Sinambela, yang selalu
memberi dukungan dan kasih sayangnya serta doa yang selalu menyertai
penulis. Buat kakak dan adik yang saya sayangi Dr. Evita Goretti Simarmata,
Sesilia Gloria Simarmata,ST., dan Gita Angela Simarmata, saya ucapkan
terima kasih kepada kalian atas dorongan dan doanya.
7. Semua teman-teman stambuk 2008, yang selalu menemani disaat susah dan
senang khususnya ipar Andry Gunawan L. Gaol, pahoppu Yusry Marihot
Siagian, pal David Pramono Silalahi, parna Dhoni Dalimunthe, lae Saur
Purba, Lae Danny Siagian, Dewi, Ardi. Dan juga teman - teman yang yang
lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Terima kasih.
8. Abang abang stambuk 2005 yang tiada hentinya memperhatikan dan
memberikan motivasi, bg Ganda, bg Tonggo, bg Berlin, bg Gea, bg Ronal, bg
Christian, bg Ucok, bg Kengkeng dan abang abang lainnya. Terima kasih bg.
9. Teman teman SMA saya khususnya Tejokers, Rudolfo, Bastian, Igor, Puji,
Albert, Andi, Voky.
10.Adik-adik saya Maestoso Colia, Tam Saka, Ari Pinem, Ambon, Defrin, Ilham,
Triboy, Mien, Mudek, Sormin, Jeriko, Piter terima kasih atas bantuan dan
dukungan yang telah kalian berikan.
11.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah membantu
penulis baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tugas akhir ini masih jauh dari
sempurna, dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan dari penulis,
untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran agar penulis dapat meningkatkan
kemampuan menulis pada masa akan datang.
Akhir kata, semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat dan memberikan
sumbangan pengetahuan bagi yang membacanya.
Medan, Juli 2014
Aran Gregorius Simarmata
DAFTAR ISI
Abstrak ... i
Kata Pengantar ... ii
Daftar Isi ... v
Daftar Gambar ... ix
Daftar Tabel ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1Umum ... 1
1.2Tujuan ... 2
1.3Pembatasan Masalah ... 3
1.4Sistematika Penulisan ... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1Tinjauan Umum ... 5
2.2Parameter Tanah ... 5
2.2.1Klasifikasi Tanah dari Data Sondir ... 7
2.2.2BeratIsi……… ... 9
2.2.4Poisson Ratio ... 12
2.2.5Sudut Geser Dalam ... 12
2.2.6Kohesi ... 13
2.3Kekuatan Geser Tanah ……… ... 13
2.4Kriteria Umum Tanah Timbunan ……… ... 14
2.5Pemadatan Tanah Timbunan ……… ... 16
2.6Tekanan Tanah Lateral ……… ... 16
2.6.1 Tekanan Tanah dalam Keadaan Diam (At-Rest) ... 16
2.6.2 Tekanan Tanah Aktif dan Pasif menurut Rankine ... 18
2.6.2.1 Kondisi Aktif ... 19
2.6.2.2 Kondisi Pasif ... 20
2.7Stabilitas Lereng ... 21
2.7.1 Upaya Stabilisasi Lereng... 22
2.7.2 Klasifikasi Tanah Longsor ... 24
2.7.3 Perhitungan Faktor Keamanan Lereng... 25
2.8Faktor Penyebab Kelongsoran ... 28
2.8.1 Pengaruh Geologi ... 28
2.8.2 Pengaruh Topografi ... 29
2.8.3 Pengaruh Proses Cuaca ... 30
2.8.4 Pengaruh Air dalam Tanah ... 30
2.9.1 Tipe-tipe Turap... 33
2.9.1.1 Turap Kayu ... 33
2.9.1.2 Turap Beton ... 34
2.9.1.3 Turap Baja ... 34
2.9.2 Pengertian Angka Keamanan (Safety Factor) dan Perlunya Perancangan Dinding Turap……… ... 37
2.9.3 Tipe-tipe Dinding Turap ... 39
2.9.3.1 Dinding Turap Kantilever ... 39
2.9.3.2 Dinding Turap Diangker ... 40
2.9.3.3 Dinding Turap dengan Landasan (Plafform) ... 41
2.9.3.4 Bendungan Elak Seluler ... 42
2.10Geogrid ... 42
2.10.1 Jenis Geogrid ... 43
2.10.1.1 Geogrid Uni-Axial ... 43
2.10.1.2 Geogrid Bi-Axial ... 44
2.10.1.3 Geogrid Triax ... 45
2.10.2 Keuntungan dari Penggunaan Geogrid ... 46
2.10.3Kekurangan Pemakaian Geogrid ... 47
2.10.4 Metode / Cara Pemasangan Geotekstil ... 47
2.11Plaxis………. 48
2.11.1 Metode Elemen Hingga ... 48
2.11.1.1 Elemen untuk Analisa Dua Dimensi……… ... 49
2.11.1.2 Interpolasi Displacement…………. ………… ... 50
2.11.1.4 Matrix Kekakuan Elemen……… ... 51
2.11.1.5 Matrix Kekakuan Global…………..………… ... 52
2.11.1.6 Analisa Elastis Dua Dimensi………... 53
2.11.2 Input ... 53
2.11.3 Calculation ... 64
2.11.4 Output ... 67
BAB III METODE PENELITIAN ... 68
3.1Umum ... 68
3.2Data Umum ... 68
3.3Data Primer ... 69
3.4Data Sekunder ... 73
3.5Data Teknis Geogrid, Sheet Pile ... 75
3.6Metode Analisis ... 75
3.7Metode Perencanaan Menggunakan Metode Elemen Hingga ... 76
3.8Denah Lokasi dan Potongan Melintang Pemasangan Proyek ... 84
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 85
4.1Kondisi Awal Lereng (Kondisi I) ... 85
4.2Kondisi Lereng dengan Pengerjaan di Lapangan (Kondisi II)…... 89
4.3Analisis dengan Perkuatan Alternatif I (Kondisi III) ……... 96
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... ... 111
5.1Kesimpulan ... 111
5.2Saran ... 112
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Hal
2.1 Hubungan antar fase tanah 6
2.2 Distribusi tekanan tanah dalam keadaan diam (at rest) pada
Dinding penahan 18
2.3 Grafik hubungan pergerakan dinding penahan dan tekanan tanah 19
2.4 Grafik hubungan antara angka stabilitas dengan sudut
kemiringan lereng 28
2.5 Turap kayu 33
2.6 Turap beton 33
2.7 Variasi turap baja 35
2.8 Dinding turap kantilever 39
2.9 Dinding turap diangker 40
2.10 Dinding turap dengan landasan yang didukung tiang-tiang 41
2.11 Bendungan elak selular 42
2.12 Jenis-jenis geosintetik 43
2.13 Geogrid Uni-Axial 44
2.14 Geogrid Bi-Axial 45
2.15 Geogrid Triax 46
2.16 Contoh jaring-jaring dari elemen hingga 49
2.17 Elemen-elemen triangular dan lagrange 49
2.19 Analisa tegangan bidang 53
2.20 Dialog box create/open project 54
2.21 Tab sheet project dari windows general setting 54
2.22 Tab sheet dimensions dari windows general setting 56
2.23 Tab sheet general dari windows soil and interfaces data sets 58
2.24 Tab sheet parameters 60
2.25 Tab shee interfaces 60
2.26 Tampilan setelah geometry model, standard fixities dan
material setting 61
2.27 Bentuk mesh dari potongan melintang model 62
2.28 harga KO-procedure 63
2.29 Effective stress 64
2.30 Tahap perhitungan 66
2.31 Titik yang ditinjau 67
3.1 Peta lokasi proyek 74
3.2 Bagan alir penelitian 83
3.3 Potongan melintang pemasangan geogrid dan sheet pile 84
4.1 Model penampang asli lereng. 86
4.2 Tahapan perhitungan dengan Plaxis 2D 87
4.3 Kondisi displacement asli lereng 87
4.4 Perhitungan safety factor asli lereng 88
4.5 Potongan melintang tipikal perkuatan standar 89
4.6 Tahapan perhitungan dengan Plaxis 2D 92
4.8 Kondisi strain pada lereng dengan perkuatan standar 93
4.9 Displacement pada sheet pile 1 dan 2 94
4.10 Safety factor dengan perkuatan standar 95
4.11 Potongan melintang tipikal perkuatan alternatif 96
4.12 Data parameter tanah counterweight 97
4.13 Potongan melintang tipikal perkuatan alternatif 98
4.14 Pembentukan mesh 99
4.15 Kondisi air tanah model 99
4.16 Effective stresses 100
4.17 Perhitungan Plaxis 2D 100
4.18 Total Displacement 101
4.19 Shear strains 101
4.20 Displacement pada sheet pile 102
4.21 Safety factor perkuatan alternative 103
4.22 Potongan melintang tipikal perkuatan alternatif 104
4.23 Potongan melintang tipikal perkuatan alternatif 105
4.24 Pembentukan mesh 105
4.25 Kondisi air tanah model 106
4.26 Effective stresses 106
4.27 Perhitungan plaxis 2D 107
4.28 Total displacement 107
4.29 Shear strains 108
4.30 Displacement pada sheetpile 1 dan 2 109
DAFTAR TABEL
No. Judul Hal
2.1 Korelasi berbagai jenis parameter tanah 7
2.2 Klasifikasi tanah dari data sondir 8
2.3 Hubungan antara konsistensi dengan nilai tekanan konus
pada sondir 8
2.4 Hubungan antara kepadatan, relative density, nilai N, qc, dan ø
(Mayerhof,1965) 9
2.5 Korelasi empiris antara nilai N-SPT dengan unconfined
compressive strength dengan berat jenis tanah jenuh (γsat )
untuk tanah kohesif 9
2.6 Korelasi berat jenis tanah (γ) untuk tanah non kohesif dan kohesif 10 2.7 Korelasi berat jenis tanah jenuh (γsat) untuk tanah non kohesif 10
2.8 Nilai perkiraan modulus elastisitas tanah (Bowles, 1997) 11
2.9 Nilai perkiraan angka poisson tanah (Bowles, 1997) 12
2.10 Hubungan antara sudut geser dalam dengan jenis tanah 13
2.11 Nilai faktor keamanan untuk perencanaan lereng
(Sosrodarsono, 2003) 26
3.1 Data Tanah 70
3.2 Data geogrid yang dipakai 70
3.3 Parameter Geogrid 71
3.5 Parameter sheet pile 72
4.1 Klasifikasi jenis tanah 86
4.2 Data parameter sheet pile 90
4.3 Data parameter Geogrid dan Geotextile 91
ABSTRAK
Stabilitas lereng sangat erat kaitannya dengan longsor atau gerakan tanah yang merupakan proses perpindahan massa tanah secara alami dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Semakin besar sudut lereng semakin besar pula daya dorong disebabkan meningkatkan tegangan geser berbanding terbalik dengan tegangan normal berupa kekuatan penahan. Analisis stabilitas lereng mempunyai peran yang sangat penting pada perencanaan konstruksi-konstruksi sipil. Kondisi tanah asli yang tidak selalu sesuai dengan perencanaan yang diinginkan misalnya lereng yang terlalu curam diperlukan pemotongan bukit atau kondisi lain yang membutuhkan timbunan dan lain sebagainya. Sehingga diperlukan analisis stabilitas lereng yang lebih akurat agar diperoleh konstruksi lereng yang mantap (sesuai dengan syarat keamanan). Pada kasus ini kondisi Jalan Parapat KM 152 mengalami kelongsoran hingga badan jalan.
Adapun tujuan tugas akhir ini adalah untuk mengetahui perbandingan nilai
safety factor (angka keamanan) dari perkuatan lereng dengan berbagai kondisi yaitu kondisi awal sebelum perkuatan, kondisi pada pengerjaan di lapangan yaitu perkuatan dengan menggunakan double sheet pile dan geogrid, kondisi dengan perkuatan alternatif I dengan menggunakan single sheet pile, geogrid dan
conterweight, dan kondisi dengan perkuatan alternatif II dengan menggunakan double sheet pile geogrid dan conterweight. Keempat kondisi ini dibandingkan dengan menggunakan Metode Elemen Hingga (Plaxis 8.2).
Dari hasil perhitungan didapatkan nilai safety factor pada kondisi awal adalah sebesar 0,78. Nilai safety factor pada perkuatan dengan menggunakan
double sheet pile dan geogrid adalah sebesar 1,09. Nilai safety factor dengan menggunakan single sheet pile, geogrid dan conterweight adalah sebesar 1,23.Nilai safety factor dengan menggunakan double sheet pile, geogrid dan
conterweight adalah sebesar 1,43. Perhitungan safety factor teraman adalah dengan penambahan beban conterweight dibelakang sheet pile sehingga didapatkan kelongsoran yang kecil.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Umum
Lereng adalah kenampakan permukaan alam yang memiliki beda tinggi.
Apabila beda tinggi dua tempat tersebut dibandingkan dengan jarak lurus
mendatar, akan diperoleh besarnya kelerengan (slope). Bentuk lereng tergantung
pada proses erosi gerakan tanah dan pelapukan. Lereng memiliki parameter
topografi yang terbagi dalam dua bagian, yaitu kemiringan lereng dan beda tinggi
relief. Stabilitas lereng sangat erat kaitannya dengan longsor atau gerakan tanah
yang merupakan proses perpindahan massa tanah secara alami dari tempat yang
tinggi ke tempat yang lebih rendah. Pergerakan tanah ini terjadi karena perubahan
keseimbangan daya dukung tanah dan akan berhenti setelah mencapai
keseimbangan baru. Longsoran umumnya terjadi jika tanah sudah tidak mampu
menahan berat lapisan tanah di atasnya karena ada penambahan beban pada
permukaan lereng dan berkurangnya daya ikat antara butiran tanah relief.
Beberapa parameter penting sebagai pemicu tanah longsor antara lain adalah
kemiringan lereng. Semakin besar sudut lereng semakin besar pula daya dorong
disebabkan meningkatnya tegangan geser berbanding terbalik dengan tegangan
normal berupa kekuatan penahan. Selain itu adanya beban dinamis juga akan
berpengaruh terhadap besarnya sudut kemiringan tersebut. Di daerah yang
mempunyai pengaruh beban dinamis yang tinggi, maka sudut kemiringan
lerengnya harus lebih kecil jika dibandingkan dengan daerah yang pengaruh
beban dinamisnya rendah. Beban dinamis dapat berupa gempa maupun kegiatan
Perbedaan elevasi tersebut pada kondisi tertentu yang menimbulkan
kelongsoran lereng dibutuhkan suatu analisis stabilitas lereng. Analisis stabilitas
lereng mempunyai peran yang sangat penting pada perencanaan
konstruksi-konstruksi sipil. Kondisi tanah asli yang tidak selalu sesuai dengan perencanaan
yang diinginkan misalnya lereng yang terlalu curam sehingga dilakukan
pemotongan bukit atau kondisi lain yang membutuhkan timbunan dan lain
sebagainya. Sehingga diperlukan analisis stabilitas lereng yang lebih akurat agar
diperoleh konstruksi lereng yang mantap (sesuai dengan syarat keamanan).
Pada kasus ini kondisi jalan Parapat KM 152 mengalami kelongsoran
hingga badan jalan. Pada skripsi metode yang dilakukan untuk mengatasi masalah
ini adalah dengan menggunakan penimbunan lereng yang dilindungi dengan
geogrid. Penyekatan bidang longsor dilakukan dengan menggunakan double sheet
pile, yaitu pada badan lereng dan kaki timbunan.
1.2 Tujuan
1. Analisis stabilitas lereng pada kondisi awal sebelum menggunakan
perkuatan geogrid dan sheet pile dengan menggunakan program Metode Elemen Hingga.
2. Analisis stabilitas lereng menggunakan perkuatan double sheet pile dan perkuatan geogrid dengan menggunakan program Metode Elemen Hingga.
4. Analisis stabilitas lereng dengan perkuatan alternatif menggunakan double sheet pile, perkuatan geogrid dan perkuatan counterweight dengan menggunakan program Metode Elemen Hingga.
1.3 Pembatasan Masalah
Pada penulisan tugas akhir, ruang lingkup dari pembahasan yang akan
dilakukan meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Memilih lokasi penyelidikan tanah yang dianalisis yaitu ruas jalan lintas
Siantar – Parapat Km. 152+750.
2. Menggunakan parameter tanah yang sudah didapat pada data soil
investigation di lokasi tersebut.
3. Beban berjalan yang digunakan adalah sebesar 10 KN/m dan berjarak 2
meter dari ujung lereng.
4. Tidak menganalisa pengerjaan geogrid secara perhitungan analisis manual.
5. Tidak memperhitungkan kelongsoran dalam pada lokasi.
6. Lereng dianggap telah selesai diperbaiki yaitu pada kondisi II yaitu dengan
menggunakan double sheet pile dan geogrid sepanjang 8 m.
7. Metode yang dilakukan untuk menganalisa stabilitas lereng menggunakan
1.4 Sistematika Penulisan
Rancangan sistematika penulisan secara keseluruhan pada tugas akhir ini
terdiri dari 5 (lima) bab, uraian masing-masing bab adalah sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan
Bab ini berisi tentang latar belakang penulisan, tujuan, pembatasan
masalah, dan sistematika penulisan.
Bab II : Tinjauan Pustaka
Bab ini mencakup teori dasar, rumus dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan topik yang dibahas.
Bab III : Metode Penelitian
Menguraikan hasil analisis dari metode yang dipergunakan dan
perhitungan-perhitungan yang terkait untuk pekerjaan penyelidikan
tanah.
Bab IV : Analisis dan Pembahasan
Bab ini menampilkan analisis stabilitas lereng awal sebelum perkuatan,
analisis stabilitas lereng menggunakan perkuatan double sheet pile dan geogrid, analisis stabilitas lereng menggunakan perkuatan alternatif
menggunakan single sheet pile, geogrid, dan counterweight, dan analisis stabilitas lereng menggunakan perkuatan alternatif
menggunakan double sheet pile, geogrid, dan counterweight dengan menggunakan metode elemen hingga program Plaxis versi 8.2
Bab V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini menampilkan rangkuman dari pembahasan dan memberikan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum
Tanah merupakan material yang terdiri dari agregat (butiran), beberapa
mineral-mineral padat yang tidak tersedimentasi (terikat secara kimia) satu sama
lain dari bahan-bahan organik yang telah melapuk disertai dengan zat cair dan gas
yang mengisi ruang-ruang kosong di antara partikel-partikel padat tersebut. Salah
satu kegunaan tanah adalah sebagai pendukung struktur bangunan atas sehingga
tanah harus tetap stabil dan tidak mengalami penurunan yang mengakibatkan
kerusakan konstruksi. Istilah penurunan menunjukkan tenggelamnya suatu
bangunan akibat kompresi dan deformasi lapisan tanah di bawah bangunan.
Karena rumitnya sifat-sifat mekanik tanah maka penurunan struktur hanya
dapat diperkirakan dengan hasil analisis tanah tersebut, sehingga perlu diketahui
sifat-sifat dasar tanah seperti komposisi tanah, permeabilitas tanah, dan daya
dukungnya serta penyebab lainnya.
2.2 Parameter Tanah
Dalam mendesain bangunan geoteknik, diperlukan data tanah yang dapat
menunjukkan kondisi tanah di lapangan. Data yang diperlukan dapat berupa data
pengujian di laboratorium dan data hasil pengujian di lapangan. Pengambilan
sampel tanah dan pengujian laboratorium tidak dilakukan pada seluruh lokasi
melainkan di tempat-tempat yang memungkinkan dianggap mewakili lokasi
Kelengkapan data dalam penyelidikan lapangan, menentukan akurasi
dalam perencanaan, tetapi tidak semua data dapat diperoleh dengan lengkap. Hal
terkait dengan masalah biaya pengambilan sampel atau kendala non teknis yang
terjadi di lapangan. Oleh karena itu, perencana harus dapat mengambil asumsi
yang dapat dipertanggung jawabkan dengan nilai kesalahan yang minimal.
Asumsi tersebut diperoleh dari korelasi empiris yang telah dilakukan oleh
ahli-ahli geoteknik yang mengacu pada pamahaman mekanika tanah yang baik.
Secara umum elemen tanah mempunyai 3 (tiga) fase, yaitu butiran padat,
air dan udara. Pemahaman mengenai komposisi tanah diperlukan untuk
mengambil keputusan dalam memperoleh parameter tanah. Berdasarkan ketiga
fase tersebut, diperoleh hubungan antara volume dengan berat seperti terlihat pada
Gambar 2.1.
Hubungan volume yang umum digunakan untuk suatu elemen tanah
adalah angka pori (void ratio), porositas (porosity), derajat kejenuhan (degree of saturation), sedangkan untuk hubungan berat digunakan istilah kadar air (water content), dan berat volume (unit weight). Hubungan-hubungan tersebut dapat dikembangkan sehingga dapat digunakan parameter tanah yang digunakan dalam
perhitungan desain (Tabel 2.1).
Tabel 2.1 Korelasi berbagai jenis parameter tanah
2.2.1 Klasifikasi Tanah dari Data Sondir
Data tekanan conus ( qc ) dan hambatan pelekat ( fs ) yang didapatkan dari hasil pengujian sondir dapat digunakan untuk menentukan jenis tanah seperti yang
Tabel 2.2 Klasifikasi tanah dari data sondir
Hubungan antara konsistensi terhadap tekanan conus dan undrained cohesion adalah sebanding dimana semakin tinggi nilai c dan qc maka semakin keras tanah tersebut. Seperti yang terlihat dalam Tabel 2.3:
Tabel 2.3 Hubungan antara konsistensi dengan nilai tekanan konus pada sondir
Konsistensi Tanah
Tabel 2.4 Hubungan antara kepadatan, relative density, nilai N, qc, dan ø
Very Loose (sangat lepas)
Loose (lepas)
Medium Dense (agak kompak)
Dense (kompak)
Very Dense (sangat kompak)
<0,2
Berat volume atau berat isi (γ) merupakan berat tanah persatuan volume,
jadi:
Tabel 2.5 Korelasi empiris antara nilai N-SPT dengan unconfined compressive strength dengan berat jenis tanah jenuh (γsat) untuk tanah kohesif.
N-SPT
Tabel 2.6 Korelasi berat jenis tanah (γ) untuk tanah non kohesif dan kohesif.
(Soil Mechanics, William T., Whitman, Robert V., 1962)
Tabel 2.7 Korelasi berat jenis tanah jenuh (γsat) untuk tanah non kohesif.
Desciption Very Loose Loose Medium Dense Very Dense
N-SPT
Fine 1 - 2 3 - 6 7 - 15 16 - 30
Medium 2 - 3 4 - 7 8 - 20 21 - 40 > 40
Coarse 3 - 6 5 – 9 10 - 25 16 - 45 > 45
Angle of friction φ
Fine 26 - 28 28 - 30 30 - 34 33 - 38
Medium 27 - 28 30 - 32 32 - 36 36 - 42 > 50
Coarse 28 - 30 30 - 34 33 - 34 40 - 50
2.2.3 Modulus Young
Nilai modulus young menunjukkan besarnya nilai elastisitas tanah yang merupakan perbandingan antara tegangan yang terjadi terhadap regangan. Nilai
ini bisa didapatkan dari Traxial Test.
Dengan menggunakan data sondir, booring dan grafik triaksial dapat
digunakan untuk mencari besarnya nilai elastisitas tanah. Nilai yang dibutuhkan
adalah nilai qc atau cone resistance. Yaitu dengan menggunakan rumus : E = 2.qc kg/cm²
E = 3.qc ( untuk pasir )
E = 2. sampai 8. qc ( untuk lempung )
Nilai yang dibutuhkan adalah nilai N. Modulus elastisitas didekati dengan
menggunakan rumus :
E = 6 ( N + 5 ) k/ft² ( untuk pasir berlempung )
E = 10 ( N + 15 ) k/ft² ( untuk pasir )
Tabel 2.8 Nilai Perkiraan Modulus Elastisitas Tanah (Bowles, 1997)
2.2.4 Poisson Ratio
Nilai poisson ratio ditentukan sebagai rasio kompresi poros terhadap regangan pemuaian lateral. Nilai poisson ratio dapat ditentukan berdasar jenis tanah seperti yang terlihat pada Tabel 2.9 di bawah ini.
Tabel 2.9 Nilai Perkiraan Angka Poisson Tanah (Bowles, 1997)
Macam Tanah v (angka poisson tanah)
Lempung Jenuh
2.2.5 Sudut Geser Dalam
Kekuatan geser dalam mempunyai variabel kohesi dan sudut geser dalam.
Sudut geser dalam bersamaan dengan kohesi menentukan ketahanan tanah akibat
tegangan yang bekerja berupa tekanan lateral tanah. Nilai ini juga didapatkan dari
pengukuran engineering properties tanah dengan Direct ShearTest. Hubungan antara sudut geser dalam dan jenis tanah ditunjukkan pada Tabel 2.10:
2.2.6 Kohesi
Kohesi merupakan gaya tarik menarik antar partikel tanah. Bersama dengan sudut geser dalam, kohesi merupakan parameter kuat geser tanah yang menentukan ketahanan tanah terhadap deformasi akibat tegangan yang bekerja pada tanah dalam hal ini berupa gerakan lateral tanah. Deformasi ini terjadi akibat kombinasi keadaan kritis pada tegangan normal dan tegangan geser yang tidak sesuai dengan faktor aman dari yang direncanakan. Nilai ini didapat dari pengujian Direct Shear Test. Nilai kohesi secara empiris dapat ditentukan dari data sondir (qc) yaitu sebagai berikut: Kohesi ( c ) = qc/20
2.3 Kekuatan Geser Tanah
Kekuatan geser tanah diperlukan untuk menghitung daya dukung tanah
(bearing capacity), tegangan tanah terhadap dinding penahan (earth pressure) dan kestabilan lereng. Kekuatan geser tanah dalam tugas akhir ini pada ruas jalan P.
Siantar – Parapat Km. 152+750 menggunakan analisa Direct Shear Test. Kekuatan geser tanah terdiri dari dua parameter, yaitu:
1. Bagian yang bersifat kohesi c yang tergantung dari macam
2. Bagian yang mempunyai sifat gesekan / frictional yang sebanding dengan tegangan efektif (σ) yang bekerja pada bidang geser.
Kekuatan geser tanah dapat dihitung dengan rumus:
S = c + (σ
– u) tan
ø
Dimana :
S = Kekuatan geser
u = Tegangan air pori
c = kohesi
ø = Sudut geser
2.4 Kriteria Umum tanah Timbunan
Sebelum melakukan desain, terlebih dahulu kita harus mengetahui
nilai-nilai berat volume (γ), kohesi (c), sudut geser dalam tanah (ø) yang digunakan
dalam hitungan tekanan tanah lateral. Nilai-nilai c dan ø dapat ditentukan dari uji
geser dan tes triaksial. Tipe-tipe tanah timbunan tanah untuk dinding penahan
tanah menurut Terzaghi dan Peck (1948) adalah :
1) Tanah berbutir kasar, tanpa campuran partikel halus, sangat lolos air (pasir
bersih atau kerikil).
2) Tanah berbutir kasar dengan permeabilitas rendah karena tercampur oleh
partikel lanau.
3) Tanah residu (residual soil) dengan batu-batu, pasir berlanau halus dan
material berbutir dengan kandungan lempung yang cukup besar.
4) Lempung lunak atau sangat lunak, lanau organik, atau lempung berlanau.
5) Lempung kaku atau sedang yang diletakkan dalam bongkahan-bongkahan
dan dicegah terhadap masuknya air hujan kedalam sela-sela bongkahan
tersebut saat hujan atau banjir. Jika kondisi ini tidak dapat dipenuhi, maka
lempung sebaiknya tidak dipakai untuk tanah timbunan. Dengan
bertambahnya kekakuan tanah lempung maka bertambah pula bahaya
ketidakstabilan dinding penahan akibat infitrasi air yang bertambah
Hal pertama yang dilakukan saat mendesain dinding penahan tanah adalah
menggunakan salah satu dari lima material di atas. Contoh 1 sampai 3 mempunyai
sudut geser dalam tanah dengan permeabilitas sedang, ditentukan dengan uji
triaksial drained, karena angka pori-pori tanah ini dapat menyesuaikan sendiri selama melaksanakan pekerjaan. Penyesuaian butiran sering dengan berjalannya
waktu, akan mengurangi angka pori dan meningkatkan kuat geser dalam tanah.
Untuk perhitungan, kohesi untuk tanah timbunan jenis 1-3 sebaiknya diabaikan.
Untuk jenis 4 dan 5, nilai c dan ø ditentukan dari pengujian triaksial
undrained. Pengujian dilakukan pada contoh tanah dengan kepadatan dan kadar air yang diusahakan sama seperti yang diharapkan terjadi di lapangan, pada waktu
tanah timbunan selesai diletakkan. Penggunaan tanah timbunan berupa tanah
lempung sebaiknya dihindari sebab tanah ini dapat berubah kondisinya sewaktu
pekerjaan telah selesai.
2.5 Pemadatan Tanah Timbunan
Proses pemadatan tanah timbunan harus dilakukan lapis per lapis. Untuk
menghindari kerusakan pada dinding penahan tanah dan tekanan tanah lateral
yang berlebihan, digunakan alat pemadat yang ringan. Sebab pemadatan yang
berlebihan dengan alat yang berat, akan menimbulkan tekanan tanah lateral yang
bahkan beberapa kali lebih besar dari pada tekanan yang ditimbulkan oleh tanah
pasir yang tidak padat. Jika memakai tanah lempung sebagai tanah timbunan
maka diperlukan pengontrolan yang sangat ketat. Bahkan walaupun timbunan
berubah tanah berbutir dengan penurunan yang kecil dan dapat ditoleransikan,
tanah timbunan harus dipadatkan lapis per lapis dengan ketebalan maksimum 22,5
akan menyebabkan pemisahan lapisan dan akan berdampak pada keruntuhan
potensial. Oleh karena itu sebaiknya dilakukan dengan permukaan tanah
horizontal.
2.6 Tekanan Tanah Lateral
Analisa tekanan tanah lateral digunakan untuk perencanaan dinding
penahan tanah. Tekanan tanah lateral adalah gaya yang ditimbulkan oleh akibat
dorongan tanah di belakang struktur penahan tanah. Besarnya tekanan lateral
sangat dipengaruhi oleh perubahan letak (displacement) dari dinding penahan dan
sifat-sifat tanahnya.
2.6.1 Tekanan Tanah dalam Keadaan Diam (At-Rest)
Suatu elemen tanah yang terletak pada kedalaman tertentu akan terkena
tekanan arah vertikal (σv) dan tekanan arah horizontal (σh). σv dan σh masing
-masing merupakan tekanan aktif dan tekanan total, sementara itu tegangan geser
pada bidang tegak dan bidang datar diabaikan. Bila dinding penahan tanah dalam
keadaan diam, yaitu bila dinding tidak bergerak ke salah satu arah baik ke kanan
atau ke kiri dari posisi awal, maka masa tanah berada dalam keadaan
keseimbangan elastis (elastic equilibrium). Rasio tekanan arah horizontal dan tekanan arah vertical dinamakan “koefisien tekanan tanah dalam keadaan diam
(coefficient of earth pressure at rest)”. Ko”, atau
σv = berat jenis x kedalaman
σh = ko (γz)
Untuk tanah berbutir, koefisien tekanan tanah dalam keadaan diam diperkenalkan
oleh jaky(1994) :
k0 = 1 – sin θ
Broker dan Jreland (1965) memperkenalkan harga Ko untuk lempung yang
terkonsolidasi normal (normally consolidated) : k0 = 0,95 – sin θ
Untuk tanah lempung terkonsolidasi normal (normally consolidated), Alpan (1967) telah memperkenalkan persamaan empiris lain:
k0 = 0.19 + 0.233 log (PI)
Dimana : PI = Indeks Plastis untuk tanah lempung yang terkonsolodasi lebih
(overconsolidated) :
k0(over consolidated) = k0(normaly consolidated)
Dimana : OCR = overconsolidation ratio
Maka gaya total per satuan lebar dinding (P0) seperti yang terlihat pada
Gambar 2.2 adalah sama dengan luas dari diagram tekanan tanah yang
bersangkutan
Gambar 2.2 Distribusi tekanan tanah dalam keadaan diam (at rest) pada dinding penahan
2.6.2 Tekanan Tanah Aktif dan Pasif Menurut Rankine
Keseimbangan plastis (plastic equilibrium) di dalam tanah adalah suatu keadaan yang menyebabkan tiap-tiap titik di dalam massa tanah menuju proses ke
suatu keadaan runtuh. Rankine (1857) menyelidiki keadaan tegangan di dalam
tanah yang berada pada kondisi keseimbangan plastis.
2.6.2.1 Kondisi Aktif
Tegangan-tegangan utama arah vertikal dan horisontal (total dan efektif)
pada elemen tanah di suatu kedalaman adalah berturut-turut σv dan σh. Apabila dinding penahan tidak diijinkan bergerak sama sekali, maka σh= Ko.σv. Kondisi
tegangan dalam elemen tanah tadi dapat diwakili oleh lingkaran berwarna kuning.
Akan tetapi, bila dinding penahan tanah diijinkan bergerak menjauhi massa tanah
di belakangnya secara perlahan – lahan, maka tegangan utama arah horizontal
akan berkurang secara terus – menerus. Pada suatu kondisi yakni kondisi
keseimbangan plastis, akan dicapai bila kondisi tegangan di dalam elemen tanah
dapat diwakili oleh lingkaran berwarna merah dan kelonggaran di dalam tanah
terjadi. Keadaan tersebut diatas dinamakan sebagai “kondisi aktif menurut
Rankine” (Rankine’s Active State); tekanan (σh’) yang terlingkar berwarna biru merupakan “tekanan tanah aktif menurut Rankine” (Rankine’s Active Earth Pressure).
Untuk tanah yang tidak berkohesi (cohessionless soil), c = 0, maka koefisien tekanan aktifnya adalah :
Langkah yang sama dipakai untuk tanah yang berkohesi (cohesive soil), perbedaannya adalah c ≠ 0, maka tegangan utama arah horizontal untuk kondisi
2.7.2.2 Kondisi Pasif
Keadaan tegangan awal pada suatu elemen tanah diwakili oleh lingkaran
Mohr berwarna kuning. Apabila dinding penahan tanah didorong secara perlahan
– lahan kearah masuk ke dalam massa tanah, maka tegangan utama σh akan
bertambah secara terus – menerus. Akhirnya kita akan mendapatkan suatu
keadaan yang menyebabkan kondisi tegangan tanah dapat diwakili oleh lingkaran
Mohr berwarna merah. Pada keadaan ini, keruntuhan tanah akan terjadi, disebut
kondisi pasif menurut Rankine (Rankine’s Passive state). Tegangan utama besar (major principal stress) (σh), dinamakan tekanan tanah pasif menurut Rankine (Rankine’s passive earth pressure)
Untuk tanah yang tidak berkohesi (cohesionless soil), c = 0, maka koefisien tekanan pasifnya adalah :
Langkah yang sama dipakai untuk tanah yang berkohesi (cohesive soil), perbedaannya adalah c ≠ 0, maka tegangan ut ama arah horizontal untuk kondisi
pasif adalah :
2.7 Stabilitas Lereng
Sebuah permukaan tanah yang terbuka yang berdiri membentuk sudut
terjadi secara ilmiah atau buatan manusia. Jika tanah tidak horisontal, suatu
komponen gravitasi akan cenderung untuk menggerakkan tanah ke bawah. Jika
komponen gravitasi cukup besar maka kegagalan lereng akan terjadi, yakni massa
tanah dapat meluncur jatuh. Gaya yang meluncurkan mempengaruhi ketahanan
dari kuat geser tanah sepanjang permukaan keruntuhan.
Seorang engineer sering diminta untuk membuat perhitungan untuk memeriksa keamanan dari lereng alamiah, lereng galian, dan lereng timbunan.
Pemeriksaan ini termasuk menentukan kekuatan geser yang terbangun sepanjang
permukaan keruntuhan dan membedakannya dengan kekuatan geser tanah. Proses
ini disebut analisa stabilitas lereng. Permukaan keruntuhan itu biasanya adalah
permukaan kritis yang memiliki faktor keamanan minimum.
Analisa stabilitas lereng adalah hal yang sulit untuk dilakukan. Evaluasi
variabel - variabel seperti stratifikasi tanah dan parameter - parameter tanahnya
bisa menjadi suatu pekerjaan yang berat. Rembesan pada lereng dan pemilihan
suatu permukaan gelincir potensial menambah kompleksitas dari permasalahan
ini.
Pengertian tanah longsor sebagai respon dari pada yang merupakan faktor
utama dalam proses geomorfologi akan terjadi di mana saja di atas permukaan
bumi, terutama permukaan relief pegunungan yang berlereng terjal, maupun
permukaan lereng bawah laut. Tanah longsor didefinisikan sebagai tanah batuan
atau tanah di atas lereng permukaan yang bergerak ke arah bawah lereng bumi
disebabkan oleh gravitasi / gaya berat.
Di daerah yang beriklim tropis termasuk Indonesia, air hujan yang jatuh ke
lereng. Material berupa tanah atau campuran tanah dan rombakan batuan akan
bergerak ke arah bawah lereng dengan cara air meresap kedalam celah pori batuan
atau tanah, sehingga menambah beban material permukaan lereng dan menekan
material tanah dan bongkah-bongkah perombakan batuan, selanjutnya memicu
lepas dan bergeraknya material bersama-sama dengan air.
2.7.1 Upaya Stabilisasi Lereng
Ada beberapa upaya dalam pengendalian kelongsoran pada suatu lereng,
diantaranya adalah :
1. Mengurangi beban di puncak lereng
• Pemangkasan lereng
• Pemotongan lereng atau cut biasanya digabungkan dengan pengisian pengurugan atau fill di kaki lereng.
2. Menambah beban di kaki lereng
• Menanam tanaman keras (biasanya pertumbuhannya cukup lama).
• Membuat dinding penahan (bisa dilakukan dalam waktu yang relatif cepat berupa dinding penahan atau retaining wall).
• Membuat bronjong, yaitu batu-batu bentuk menyudut diikat dengan kawat dengan bentuk angular atau menyudut lebih kuat dan tahan
lama dibandingkan dengan bentuk bulat.
3. Mencegah lereng jenuh dengan air tanah atau mengurangi kenaikan kadar
air
tanah yang naik di dalam tubuh lereng akan mengalir ke luar sehingga
muka air tanah turun.
• Menanam vegetasi dengan daun lebar di puncak-puncak lereng sehingga evapotranspirasi meningkat. Air hujan yang jatuh akan
masuk ke tubuh lereng (infiltrasi).
• Peliputan rerumputan. Cara yang sama untuk mengurangi pemasukan atau infiltrasi air hujan ke tubuh lereng, selain itu peliputan rerumputan jika disertai dengan desain drainase juga akan
mengendalikan run-off. 4. Mengendalikan air permukaan
• Membuat desain drainase yang memadai sehingga air permukaan dari puncak-puncak lereng dapat mengalir lancar dan infiltrasi berkurang.
• Penanaman vegetasi dan peliputan rerumputan juga mengurangi air larian (run-off) sehingga erosi permukaan dapat dikurangi.
2.7.2 Klasifikasi Tanah Longsor
Tanah longsor yang disesuaikan dengan dasar klasifikasi yang
dipergunakan masing-masing ahli, berikut ini dijelaskan nama-nama kelas
gerakan tanah yang umum dipakai (Ritter, 1986) :
1. Tanah Longsor tipe jatuhan (falls)
Tanah longsor tipe ini, material batuan atau tanah atau campuran
kedua-duanya bergerak dengan cara jatuh bebas karena gaya beratnya sendiri. Proses
bongkah individual batuan berukuran besar atau dalam bentuk guguran fragmen
bongkah bercampur dengan bongkah-bongkah yang berukuran lebih kecil.
2. Tanah Longsor tipe robohan (toples)
Gerakan massa tipe robohan hampir serupa dengan tanah longsor tipe
falls, pada tipe topples ini gerakannya dimulai dengan bagian paling atas dari
bongkah lepas dari batuan dari batuan induknya karena adanya cela retakan
pemisah, bongkah terdorong kedepan hingga tidak dapat menahan bebannya
sendiri
3. Tanah Longsor tipe gelincir (slides)
Tanah longsor tipe gelincir adalah tanah longsor batuan atau tanah atau
campuran keduanya yang bergerak melalui bidang gelincir tertentu yang bertindak
sebagai bidang diskontinuitas berupa bidang perlapisan batuan atau bidang
patahan, bidang kekar, bidang batas pelapukan. Jika bidang-bidang diskontinuitas
tersebut sejajar dengan bidang perlapisan, maka semakin besar peluang terjadinya
tanah longsor.
2.7.3 Perhitungan Faktor Keamanan Lereng
Faktor Keamanan (FS) lereng tanah dapat dihitung dengan berbagai
metode. Faktor Keamanan (FS) adalah nilai banding antara gaya yang menahan
dan gaya yang menggerakkan. Data-data yang diperlukan dalam perhitungan nilai
faktor keamanan suatu lereng adalah :
a. Data lereng (terutama diperlukan untuk membuat penampang lereng.)
• Sudut kemiringan lereng
b. Data mekanika tanah
• Sudut geser dalam (Ø)
• Berat isi tanah (ɣ)
• Kohesi (c)
• Kadar air tanah (w)
Perumusan dalam perhitungan suatu faktor keamanan (FS) suatu lereng
adalah :
Dimana : FS = Faktor Keamanan
= Tegangan geser rata-rata tanah
= Tegangan geser yang terjadi di sepanjang bidang runtuh
Sedangkan nilai dan dari adalah:
dan
Sehingga diperoleh persamaan baru yakni :
Faktor keamanan yang diperhitungkan juga ditinjau dari faktor keamanan
kohesi ( ) dan faktor keamanan friksi ( ). Persamaan untuk mendapatkan nilai
dari faktor keamanan kohesi ( ) dan faktor keamanan friksi ( ) adalah :
dan
Maka
Faktor keamanan suatu lereng dapat dilihat dari Tabel 2.11 yang dibuat
sesuai dengan besar kestabilan suatu lereng.
Tabel 2.11 Nilai Faktor Keamanan Untuk Perencanaan Lereng (Sosrodarsono , 2003)
Faktor Keamanan ( FS ) Keadaan Lereng
FS < 1,00 Lereng dalam kondisi tidak mantap (lereng labil) 1,00 < FS < 1,20 Lereng dalam kondisi kemantapan diragukan
1,30 < FS < 1,40 Lereng dalam kondisi memuaskan
1,50 < FS < 1,70 Lereng dalam kondisi mantap (lereng stabil)
Dalam perhitungan perhitungan nilai faktor keamanan suatu lereng dapat
dilakukan dengan berbagai cara diantaranya dengan metode grafik. Menurut
Taylor (1937), perhitungan faktor keamanan dapat dilakukan dengan menghitung resultan gaya dari faktor keamanan kohesi ( ) dan faktor keamanan friksi ( ).
Angka stabilitas (m) diperoleh dari plot antara nilai sudut geser dalam tanah
dengan sudut kemiringan lereng yang ditinjau, atau dengan menggunakan
rumusan berupa :
Dimana : m = angka stabilitas
c = kohesi tanah (kg/cm²)
ɣ = berat isi tanah (g/cm3)
Gambar 2.4 menunjukkan grafik hubungan antara angka stabilitas dengan
sudut kemiringan lereng (Ø > 0).
Dengan menggunakan metode Taylor, Singh (1970) juga memberikan grafik untuk menentukan angka-angka keamanan (FS) untuk bermacam-macam
kemiringan lereng. Grafik tersebut ditunjukkan dalam Gambar 2.4.
2.8 Faktor Penyebab Kelongsoran
Beberapa faktor-faktor penyebab kelongsoran antara lain dapat
dipengaruhi oleh geologi, topografi, proses cuaca, perubahan struktur tanah dan
pengaruh air dalam tanah.
2.8.1 Pengaruh Geologi
Proses geologi dalam pembentukan lapisan-lapisan kulit bumi dengan cara
pengendapan sedimen ternyata memungkinkan terbentuknya sutau lapisan yang
potensial mengalami kelongsoran. Sebagai contoh adalah pembentukan lapisan
tanah sebagai berikut, sungai yang mengalirkan air ke laut membawa
partikel-partikel halus yang jumlahnya tergantung dari volume dan kecepatan alirannya,
kemudian partikel-partikel tersebut mengendap di dasar laut membentuk lapisan
tanah, dimana penyebaran pengendapannya bisa merata atau tidak merata
tergantung arus air laut. Karena pembentukan tiap lapisan terjadi maka dasar tiap
lapisan adalah air, yang bisa dilihat sering sekali sebagai lapisan tipis pada zona
pemisah antara lapisan lempung dan lanau kepasiran atau sebagai aliran laminer
pada lapisan pasir yang lebih permeabel.
Dengan keadaan demikian bila banyak air memasuki lapisan pasir tipis
sedangkan pengeluaran air sedikit sehingga keadaan lapisan menjadi jenuh, maka
tekanan air akan bertambah dan tekanan air inilah yang akan menyebabkan
kelongsoran. Berbeda bila air memasuki lapisan pasir tebal sehingga keadaan
lapisan tidak sepenuhnya jenuh air, maka lapisan tersebut bahkan bisa menjadi
2.8.2 Pengaruh Topografi
Variasi bentuk permukaan bumi yang meliputi daerah pegunungan dan
lembah dengan sudut kemiringan permukaannya yang cenderung besar, maupun
daerah dataran rendah yang permukaannya cenderung datar, ternyata memiliki
peranan penting dalam menentukan kestabilan. Daerah dengan kemiringan besar
tentu lebih potensial mengalami kelongsoran dibanding daerah datar, sehingga
kasus kelongsoran sering ditemukan di daerah perbukitan atau pegunungan, dan
pada perbedaan galian atau timbunan yang memiliki sudut kemiringan lereng
yang besar. Kestabilan lereng terganggu akibat lereng yang terlalu terjal,
perlemahan pada kaki lereng dan tekanan yang berlebihan dari beban di kepala
lereng. Hal tersebut terjadi karena erosi air pada kaki lereng dan kegiatan
penimbunan atau pemotongan lereng yang dilakukan manusia.
2.8.3 Pengaruh Proses Cuaca
Perubahan temperatur, fluktuasi muka air tanah musiman, gaya gravitasi
dan relaksasi tegangan sejajar permukaan ditambah dengan proses oksidasi dan
dekomposisi akan mengakibatkan suatu lapisan tanah kohesif yang secara lambat
laun tereduksi kekuatan gesernya terutama nilai kohesi (c) dan sudut geser
dalamnya (ø).
Pada tanah non kohesif misalnya lapisan pasir, bila terjadi getaran gempa,
mesin atau sumber getaran lainnya akan mengakibatkan lapisan tanah tersebut
ikut bergetar sehingga pori-pori lapisan akan terisi oleh air atau udara yang akan
dan sangat besar ini akan menyebabkan terjadinya likuifikasi atau pencairan
lapisan pasir sehingga kekuatan gesernya hilang.
2.8.4 Pengaruh Air Dalam Tanah
Keberadaan air dapat dikatakan sebagai faktor dominan penyebab
terjadinya kelongsoran, karena hampir sebagian besar kasus kelongsoran
melibatkan air didalamnya.
Tekanan air pori memiliki nilai besar sebagai tenaga pendorong terjadinya kelongsoran, semakin besar tekanan air semakin tenaga pendorong.
Penyerapan maupun konsentrasi air dalam lapisan tanah kohesif dapat melunakkan lapisan tanah tersebut yang pada akhirnya mereduksi nilai
kohesi dan sudut geser dalam sehingga kekuatan gesernya berkurang.
Aliran air dapat menyebabkan erosi yaitu pengikisan lapisan oleh aliran air, sehingga keseimbangan lereng menjadi terganggu.
Dalam menganalisa stabilitas lereng harus ditentukan terlebih dahulu
faktor keamanan (FK) dari lereng tersebut. Secara umum faktor keamanan
didefenisikan sebagai perbandingan antara gaya penahan dan gaya penggerak
longsoran.
Suatu lereng dikatakan stabil apabila memiliki faktor keamanan (FK) lebih
dari 1,3. Untuk meningkatkan stabiitas lereng ada beberapa cara yang dapat
1. Memperkecil gaya penggerak / momen penggerak.
Gaya dan momen penggerak dapat diperkecil hanya dengan merubah
bentuk lereng, yaitu dengan membuat lereng lebih datar dengan cara
mengurangi sudut kemiringan dan memperkecil ketinggian lereng.
2. Memperbesar gaya penahan / momen penahan.
Untuk memperbesar gaya penahan dapat dilakukan dengan menerapkan
beberapa metode perkuatan tanah, diantaranya dinding penahan tanah, box
culvert, abutmen jembatan.
Untuk memilih jenis dinding penahan tanah yang akan digunakan hal-hal
yang perlu diperhatikan antara lain : sifat tanah, kondisi lokasi, dan metode
pelaksanaan. Beberapa jenis dinding penahan antara lain :
1. Dengan memancangkan tiang-tiang pancang pada permukaan lereng yang
labil. Tiang tersebut dapat berupa sheet pile berbahan beton concrete ataupun baja, cerucuk dari rel bekas, angkur, pancang beton, dan kayu.
2. Dengan menggunakan geotekstil, yaitu bahan perkuatan tanah yang terbuat
dari serat sintetis berbentuk lembaran-lembaran, yang disusun secara
berlapis-lapis untuk menahan tekanan tanah pada lereng.
3. Membuat counterweight.
4. Grouting, yaitu metode untuk meningkatkan stabilitas dan daya dukung
tanah lereng dengan cara menginjeksikan bahan grouting (semen) sehingga
2.9 Turap ( Sheetpile )
Dinding turap (sheet pile) adalah dinding vertikal relatif tipis yang berfungsi kecuali menahan tanah juga berfungsi untuk menahan masuknya air ke
dalam lubang galian. Karena pemasangan yang mudah dan biaya pelaksanaan
yang relatif murah, turap banyak digunakan pada pekerjaan-pekerjaan, seperti:
penahan tebing galian sementara, bangunan-bangunan di pelabuhan, dinding
penahan tanah, bendungan elak dan lain-lain. Dinding turap tidak cocok untuk
menahan tanah timbunan yang sangat tinggi karena akan memerlukan luas
tampang bahan turap yang besar. Selain itu, dinding turap juga tidak cocok
digunakan pada bahan tanah yang mengandung banyak batuan-batuan, karena
menyulitkan pemancangan.
2.9.1 Tipe-tipe Turap
Tipe turap dapat dibedakan menurut bahan yang digunakan. Bahan turap
tersebut bermacam-macm, contohnya: kayu, beton bertulang, dan baja.
2.9.1.1Turap Kayu
Turap kayu digunakan untuk dinding penahan tanah yang tidak begitu
tinggi, karena tidak kuat menahan beban-beban lateral yang besar. Turap ini tidak
cocok digunakan pada tanah berkerikil, karena turap cenderung pecah bila
dipancang. Bila turap kayu digunakan untuk bangunan permanen yang berada di
atas muka air, maka perlu diberikan lapisan pelindung agar tidak mudah lapuk.
Turap kayu banyak digunakan pada pekerjaan-pekerjaan sementara, misalnya
Gambar 2.5 Turap kayu
2.9.1.2 Turap Beton
Turap beton merupakan balok balok beton yang telah dicetak sebelum
dipasang dengan bentuk tertentu. Balok-balok turap dibuat saling mengkait satu
sama lain. Masing-masing balok, selain dirancang kuat menahan beban-beban
yang bekerja pada turap, juga terhadap beban-beban yang akan bekerja pada
waktu pengangkatannya. Ujung bawah turap biasanya dibentuk meruncing untuk
memudahkan pemancangan.
2.9.1.3 Turap Baja
Biasa digunakan pada bangunan permanen. Konstruksi dinding turap ini
lebih ringan, lebih mudah pelaksanaannya, dapat digunakan berulang-ulang,
mempunyai keawetan yang tinggi, serta hasilnya lebih baik. Sedangkan
kerugiannya adalah adanya tenggang waktu pemesanan serta adanya bahan korosi.
Bahan korosi pada konstruksi ini dapat dicegah dengan memberikan catodic protection.
Variasi kontruksi baja sangat tergantung pada pabrik pembuatan. Beberapa
variasi antara lain:
- Variasi di daerah eropa seperti Laarsen, Krupp dan De Wendell DPF.
- Variasi di daerah Amerika seperti DP type dan ZP type
Biasanya pada setiap pabrik akan disediakan bentuk penampang tipe-tipe
di bawah ini:
- Tipe penampang U (U type sections) - Tipe penampang Z (Z type sections) - Tipe penampang F (F type sections)
- Tipe penampang kotak/boks (Box type sections) - Tipe penampang straight web
- Tipe penampang tabung pipa (Pipa type sections)
Jika tidak berdasarkan faktor ekonomi ataupun keterpaksaan pengadaan
jenis bahan, maka pada pemakaian konstruksi dinding turap (sheet pile) dianjurkan untuk memilih konstruksi baja dengan alasan:
• Lebih tahan driving stresses misalnya pemancangan pada tanah dengan lapisan tanah keras atau batuan
• Lebih tipis penampangnya
• Bisa digunakan berulang-ulang
• Panjang turap bisa ditambah atau dikurangi dengan mudah
• Bisa digunakan baik di bawah atau di atas air
• Penyambungan yang mudah memungkinkan untuk mendapatkan dinding yang menerus dan lurus pada waktu pemancangan.
2.9.2 Pengertian angka keamanan (safety factor) dan perlunya
perancangan dinding turap
Pengertian angka keamanan (safety factor)
Pengertian angka keamanan pada dinding turap selama ini tidaklah begitu
pemancangan. Bila dalam pelaksanaan diperdalam 30% dari dalam pemancangan
semula, belum berarti didapat angka keamanan 1,3. Karena belum tentu angka
keamanan dari struktur yang baru ini sama dengan 1,3.
Selama ini anggapan angka keamanan (safety factor) untuk sheet pile
berdasarkan cara konvensional yaitu dengan memperpanjang dalamnya
pemancangan. Misalnya didapat dalamnya pemancangan adalah ‘D’ dari dredge
line kemudian untuk mendapatkan safety factor, harga ‘D’ tersebut dikalikan dengan suatu angka tertentu. Atau dengan cara membagi harga koefisien pasif
(Kp) dan kohesi (c) dengan suatu angka keamanan tertentu.
Anggapan yang disebutkan pertama tidak benar. Seperti yang diterangkan
di depan, yang diperlukan sebetulnya menghitung kembali gaya-gaya yang
bekerja sesuai dengan anggapan pertama. Dari hasil perhitungan ini akan
diperoleh angka keamanan yang sebenarnya. Sedangkan anggapan kedua, pada
umumnya memberikan angka keamanan yang cukup memadai.
Lebih dianjurkan untuk menghitung pertambahan dalamnya pemancangan
yang diabaikan oleh kriteria-kriteria antara lain sebagai berikut:
- Bertambahnya gaya horizontal yang disebabkan oleh karena naiknya harga
berat isi tanah atau adanya pembebanan.
- Menurunnya dredge line akibat pelaksanaan misalnya pada perhitungan
cara perletakan sendi (Free Earth Method).
Lingkup Perancangan dinding turap
Perencanaan dinding turap mencakup:
- Panjang dinding turap yang diperlukan untuk konstruksi statistik.
Panjang yang ada di pasaran 27 meter, sedangkan jika dipesan di
pabrik dapat mencapai 37 meter.
- Profil sheet pile terutama yang mudah di pasaran.
- Karakteristik mekanik dari baja yang dapat digunakan, komposisi
kimia, dan harga limit elastiknya.
2. Penentuan sistem jangkar (anchor) yaitu dengan menentukan:
- Daerah penjangkaran, kemiringan dan luas penampang tali jangkar
- Panjang tali jangkar yang menjamin stabilitas bersama turap
- Sistem penjangkaran, dapat berupa jangkar pasif, jangkar aktif, dan
lain-lain
3. Dan kemungkinan penentuan stabilitas lebih umum, yaitu stabilitas
terhadap gelincir, bersama-sama dalam satu sistem dari dinding turap dan
tali jangkar.
2.9.3 Tipe-tipe dinding turap
Terdapat 4 tipe dinding turap, yaitu:
1. Dinding turap kantilever.
2. Dinding turap diangker
3. Dinding turap dengan landasan/panggung (platform) yang didukung
tiang-tiang
2.9.3.1 Dinding Turap kantilever
Dinding turap kantilever (Gambar 2.8) merupakan turap yang dalam
menahan beban lateral mengandalkan tahanan tanah di depan dinding. Turap
kantilever adalah dinding penahan tanah yang tidak menggunakan jangkar.
Defleksi lateral yang terjadi relatif lebih besar pada pemakaian turap kantilever.
Karena luas tampang bahan turap yang dibutuhkan bertambah besar dengan
ketinggian tanah yang ditahan (akibat momen lentur yang timbul), turap
kantilever hanya cocok untuk menahan tanah dengan ketinggian sedang.
Gambar 2.8 Dinding turap kantilever
2.9.3.2 Dinding Turap diangker
Dinding turap diangker cocok untuk menahan tebing galian yang dalam,
tetapi masih juga bergantung pada kondisi tanah (Gambar 2.9). Dinding turap ini
menahan beban lateral dengan mengandalkan tahanan tanah pada bagian turap
yang terpancang ke dalam tanah dengan dibantu oleh angker yang dipasang pada
bagian atasnya. Kedalaman turap menembus tanah bergantung pada besarnya
kekuatan tinggi. Stabilitas dan tegangan-tegangan pada turap yang diangker
bergantung pada banyak faktor, misalnya: kekuatan relatif bahan turap, kedalaman
penetrasi turap, kemudah-mampatan tanah, kuat geser tanah, keluluhan angker
dan lainnya.
Gambar 2.9 Dinding turap diangker
2.9.3.3 Dinding Turap dengan Landasan (Platform)
Dinding turap semacam ini dalam menahan tekanan tanah lateral dibantu
oleh tiang-tiang, dimana di atas tiang-tiang tersebut dibuat landasan untuk
juga berfungsi untuk mengurangi beban lateral pada turap. Dinding turap ini
dibuat bila di dekat lokasi dinding turap direncanakan akan dibangun jalan kereta
api, mesin derek, atau bangunan-bangunan berat lainnya.
Gambar 2.10 Dinding turap dengan landasan yang didukung tiang-tiang
2.9.3.4 Bendungan Elak Seluler
Bendungan elak seluler (cellular cofferdam) merupakan turap yang berbentuk sel-sel yang diisi dengan pasir (Gambar 2.11). Dinding ini menahan
Gambar 2.11 Bendungan elak selular
2.10 Geogrid
Geogrid adalah salah satu jenis material Geosintetik (Geosynthetic) yang mempunyai bukaan yang cukup besar, dan kekuatan badan yang lebih baik
dibanding Geotextile. Istilah Geosintetik berasal dari kata geo, yang berarti bumi
atau dalam dunia teknik sipil diartikan sebagai tanah pada umumnya, dan kata
synthetic yang berarti bahan buatan, dalam hal ini adalah bahan polimer.
Geogrid adalah perkuatan sistem anyaman. Geogrid berupa lembaran
berongga dari bahan polymer. Pada umumnya sistem serat tikar banyak digunakan
untuk memperkuat badan timbunan pada jalan, lereng atau tanggul dan dinding
dasar Geogrid bisa berupa: Polyphropylene, Polyethilene, dan Polyesther atau
material polymer yang lain.
Gambar 2.12 Jenis-jenis Geosintetik
2.10.1 Jenis Geogrid
Geogrid dapat dibedakan berdasarkan arah penarikannya yaitu:
2.10.1.1 Geogrid Uni-Axial
Uni-axial Geogrid adalah lembaran massif dengan celah yang memanjang
dengan bahan dasar HDPE (high density polyethelene), banyak digunakan di Indonesia untuk perkuatan tanah pada dinding penahan tanah untuk memperbaiki
lereng yang longsor dengan menggunakan tanah setempat/bekas longsoran.
Material ini memiliki kuat tarik 40 kN/m hingga 190 kN/m. Geogrid jenis ini
biasanya dipakai untuk perkuatan dinding penahan tanah dan perbaikan lereng
yang longsor.
Geogrid Uni-Axial berfungsi sebagai material perkuatan pada sistem
Gambar 2.13 Geogrid Uni-Axial
2.10.1.2 Geogrid Bi-Axial
Bi-axial Geogrid dari bahan dasar polypropylene (PP) dan banyak
digunakan di Indonesia sebagai bahan untuk meningkatkan tanah dasar lunak
(CBR << 1%). Bi-axial Geogrid adalah lembaran berbentuk lubang bujursangkar
dimana dengan struktur lubang bujursangkar ini partikel tanah timbunan akan
saling terkunci dan kuat geser tanah akan naik dengan mekanisme penguncian ini.
Kuat tarik bervariasi antara 20 kN/m – 40 kN/m. Keunggulan Geogrid Bi-Axial
ini antara lain:
Kuat tarik yang bervariasi
Kuat tarik tinggi pada regangan yang kecil
Tahan terhadap sinar ultraviolet
Tahan terhadap reaksi kimia tanah vulkanik dan tropis
Geogrid Bi-Axial berfungsi sebagai stabilitas tanah dasar. Seperti pada
tanah dasar lunak (soft clay maupun tanah gambut). Metode kerjanya adalah interlocking, artinya mengunci agregat yang ada di atas Geogrid sehingga lapisan
agregat tersebut lebih kaku, dan mudah dilakukan pemadatan.
Gambar 2.14 Geogrid Bi-Axial
2.10.1.3 Geogrid Triax
Fungsinya sama dengan Biaxial sebagai material stabilisasi dasar lunak,
hanya saja performance nya lebih baik. Hal ini disebabkan bentuk bukaan segitiga
Gambar 2.15 Geogrid Triax
2.10.2 Keuntungan dari Penggunaan Geogrid
Beberapa keuntungan-keuntungan atau kelebihan dari penggunaan
Geogrid antara lain:
Kekuatan tarik yang tinggi,
Pelaksanaan yang cepat,
Memungkinkan penggunaan material setempat,
Pemasangan yang mudah dan dapat membangun lebih tinggi dan tegak,
Tambahan PVC sebagai pelindung terhadap ultraviolet,
Pemasangan dan harga geogrid yang murah dibandingkan beton,
Merupakan struktur yang fleksibel sehingga tahan terhadap gaya gempa,
Tipe elemen penutup lapisan luar dinding penahan dapat dibuat dalam bentuk yang bermacam-macam, sehingga memungkinkan untuk
menciptakan permukaan dinding yang mempunyai nilai estetika.
Biasanya perbaikan tanah dengan perkuatan dilakukan secara horisontal artinya digelar karena lebih mudah pelaksanaannya ketimbang arah tegak
vertikal. Perkuatan horizontal dapat menerima beban tekan dari permukaan
atau tarik dari arah horizontal. Sedangkan perbaikan tanah arah vertikal
lebih utama menerima beban vertikal dari permukaannya tanpa mampu
menerima beban horizontal.
2.10.3 Kekurangan Pemakaian Geogrid
Geogrid tanpa PVC akan mengalami penurunan tingkat kemampuan
penahan gaya tarik. Karena bahan Geogrid sangat peka terhadap naik turunnya
temperatur udara, dimana pemuaian akan sangat mudah terjadi terhadap bahan
geogrid pada saat mendapatkan temperatur tinggi. Pemuaian akan membuat
geogrid atas, dan akhirnya akan mengurangi kuat tarik.
Selain itu, geotekstil juga mempunyai kelemahan, yaitu sinar ultraviolet,
karena bahan geosintetik akan mengalami degradasi yang cepat di bawah terik
sinar matahari.
2.10.4 Metode / Cara Pemasangan Geotekstil
1. Geotekstil harus digelar di atas tanah dalam keadaan terhampar tanpa
2. Sambungan geotekstil tiap lembarannya dipasang overlapping terhadap
lembaran berikutnya.
3. Pada daerah pemasangan yang berbetuk kurva (misalnya tikungan jalan),
geotekstil dipasang mengikuti arah kurva.
4. Jangan membuat overlapping atau jahitan pada daerah yang searah dengan
beban roda (beban lalu-lintas).
5. Jika geotekstil dipasang untuk terkena langsung sinar matahari maka
digunakan geotekstil yang berwarna hitam.
2.11 Plaxis
2.11.1 Metode Elemen Hingga
Metode elemen hingga adalah prosedur perhitungan yang dipakai untuk
mendapatkan pendekatan dari permasalahan matematis yang sering muncul pada
rekayasa teknik. Inti dari metode tersebut adalah membuat persamaan matematis
dengan berbagai pendekatan dan rangkaian persamaan aljabar yang melibatkan
nilai - nilai pada titik – titik diskrit pada bagian yang dievaluasi. Persamaan
metode elemen hingga dibuat dan dicari solusinya dengan sebaik mungkin untuk
menghindari kesalahan pada hasil akhirnya.
Jaring (mesh) terdiri dari elemen - elemen yang dihubungkan oleh node.
Gambar 2.16 Contoh jaring – jaring dari elemen hingga
2.11.1.1Elemen untuk Analisa Dua Dimensi
Analisa dua dimensi pada umumnya merupakan analisa yang
menggunakan elemen triangular atau quadrilatelar ( Gambar 2.17 ). Bentuk umum dari elemen – elemen tersebut berdasarkan pada pendekatan
Iso-Parametric di mana fungsi interpolasi polynomial dipakai untuk menunjukkan
displacement pada elemen.
2.11.1.2 Interpolasi Displacement
Nilai - nilai nodal displacement pada solusi elemen hingga dianggap sebagal primary unknown. Nilai ini merupakan nilai displacement pada nodes. Untuk mendapatkan nilai - nilai tersebut harus menginterpolasikan fungsi - fungsi
yang biasanya merupakan polynomial.
Gambar 2.18 Elemen dan six-noded triangular
Anggap sebuah elemen seperti pada Gambar 2.18 U dan V adalah
Displacement pada sebuah titik di elemen pada arah x dan y. Displacement ini didapatkan dengan menginterpolasikan displacement pada nodes dengan menggunakan persamaan polynomial :
U(x,y) = a0 + a1x + a2y2 + a3x2 + a4xy + a5y2 V(x,y) = b0 + b1x + b2y + b3x2 + b4xy + b5y2
Konstanta a1, a2, …, a5 dan b1, b2, …, b5 tergantung pada nilai nodal
2.11.1.3 Regangan
Regangan pada elemen dapat diturunkan dengan memakai definisi standar.
Sebagai contoh untuk six-node triangle : ε = ∂u / ∂x = a1 + 2a3x + a4y
ε = ∂v / ∂y = b2 + b4x + 2b5y
ε = (∂u / ∂y) + (∂v / ∂x) = (b1+ a2) (a4 + 2b3)x + (2a5x + b4)y
Persamaan yang menghubungkan regangan dengan nodal displacement ditulis dalam bentuk persamaan matrix :
ε = B. Ue
Vektor regangan ε dan vektor nodal displacement masing – masing dihubungkan
dengan Ue :
2.11.1.4 Matrix Kekakuan Elemen
Gaya pada tanah yang diaplikasikan pada elemen dianggap sebagai gaya
Nodal forces yang bekerja pada titik i di arah x dan y adalah Pix dan Piy, dan dihubungkan dengan nodal displacement dengan matrik :
KeUe = Pe
Sedangkan Ke merupakan Matrik Kekakuan Elemen yang ditulis :
Ke = Bt.D.B.dv
Keterangan :
D : Matrik kekakuan material
B : Matrik penghubung nodal displacement dengan regangan
dv : Elemen dari volume
2.11.1.5 Matrik Kekakuan Global
Matriks kekakuan K untuk jaring ( mesh ) elemen hingga dihitung dengan menggabungkan matrik - matrik kekakuan elemen di atas.
K.U = P
Di mana U merupakan vektor yang mempunyai unsur displacement pada semua