• Tidak ada hasil yang ditemukan

Facebook

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Facebook"

Copied!
0
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

TIM PERUMUS

Penanggung Jawab

Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Editor

Sekretaris Ditjen Bina Kefarmasian dan Alkes

Direktur Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan

Direktur Bina Pelayanan Kefarmasian

Direktur Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan

Direktur Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian

Konsep

Kepala Bagian Program dan Informasi

Kasubag Data dan Informasi

Kontributor

(3)

KATA

PENGANTAR

Penyusunan Profil Kefarmasian ini merupakan suatu terobosan baru dari Direktorat Jenderal

Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan sebagai salah satu upaya pemenuhan dalam

memperoleh gambaran tentang capaian kegiatan di lingkungan Direktorat Jenderal Bina

Kefarmasian dan Alat Kesehatan melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara efektif dan

efisien melalui pendekatan yang berbasis bukti (

evidence-based

). Hal ini perlu karena selama

9 tahun perjalanannya, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan belum

pernah menerbitkan sebuah buku profil yang menyediakan data dasar dan kebutuhan

informasi khususnya terkait bidang kefarmasian.

Dalam memperoleh kelengkapan data dan informasi untuk penyusunan profil kefarmasian

ini melibatkan seluruh Provinsi untuk permintaan dukungan data dan informasi terkait

indikator-indikator yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat

Kesehatan sebagai salah satu upaya memperoleh data dan informasi sehingga didapatkan

data yang akurat, valid dan terkini meskipun dalam penyusunannya mungkin masih terdapat

hal-hal yang kurang berkenan.

Profil Kefarmasian ini merupakan edisi perdana yang diharapkan mampu menjadi sumber

data dan informasi yang berkualitas bagi masyarakat pada umumnya dan khususnya sebagai

dasar dalam perumusan dan pengambilan kebijakan bagi pimpinan di jajaran Direktorat

Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.

Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang dengan segenap hati telah

membantu dan berperan aktif dalam penyusunan Profil Kefarmasian dan Alat Kesehatan ini.

Direktur Jenderal,

Binehatan

Dra. Sri Indrawaty, Apt, M.Kes

(4)

DAFTAR ISI

Tim Perumus

i

Kata Pengantar

ii

Daftar Isi

iii

Daftar Gambar

v

Daftar Lampiran

viii

BAB I. Pendahuluan

1

A. Kebijakan dan Strategi

1

B. Gambaran Organisasi

1

BAB II. Profil Kefarmasian dan Alat Kesehatan

4

BAB III. Pencapaian Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan

6

A. Peningkatan Ketersediaan Obat dan Perbekalan Kesehatan

6

B. Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan

1. Struktur Organisasi IFK

2. Sumber Daya Manusia Pengelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan

3. Peningkatan SDM di Puskesmas

4. Sarana dan Prasarana Penyimpanan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan

5. Pengamanan

6. Penyimpanan dan Distribusi

7. Administrasi

8. Sumber Anggaran Pengadaan Obat

9. Biaya Operasional

C. Peningkatan Pelayanan Kefarmasian

11

D. Cakupan Sumber Daya Kefarmasian di Indonesia Tahun 2008-2010

24

1. Cakupan Sarana Produksi Bidang Kefarmasian dan Alat Kesehatan

24

2. Cakupan Sarana Distribusi Bidang Kefarmasian dan Alat Kesehatan

30

3. Data Izin Edar Alat Kesehatan dan PKRT Tahun 2008 - 2010

36

E. Sistem Pelaporan dan Perizinan secara Elektronik

37

1. Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika (SIPNAP)

37

2. Software Pelaporan Dinamika Obat Pedagang Besar Farmasi (PBF)

38

(5)

4.

E- Registration

Indonesia National Single Window (INSW)

41

BAB IV. Penunjang Program

44

A. Pembiayaan

44

1. Kantor Pusat

44

2. Dana Dekonsentrasi

46

3. Dana Tugas Pembantuan

47

B. Hukum dan Perundang-undangan

48

C. Buletin Infarkes

48

D. Ketenagaan

49

E. Inventaris

53

(6)

DAFTAR

GAMBAR

Gambar 1.

Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan

berdasarkan Permenkes 1575/Menkes/Per/XI/2005

2

Gambar 2.

Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan

berdasarkan Permenkes 1144/Menkes/Per/VIII/2010

3

Gambar 3.

Grafik Anggaran Pusat untuk Pengadaan Obat, Perbekkes dan Vaksin Tahun

Anggaran 2007 – 2010

7

Gambar 4.

Perubahan Kebijakan Harga Obat Generik yang ditetapkan melalui Keputusan

Menteri Kesehatan RI sejak tahun 2007

8

Gambar 5.

Tingkat Kecukupan Obat Tahun 2008 – 2010

9

Gambar 6.

Persentase Penggunaan Obat Generik Tahun 2009-2010

11

Gambar 7.

Struktur Organisasi IFK se-Indonesia

12

Gambar 8.

Penanggung Jawab IF Kab/Kota se-Indonesia

13

Gambar 9.

Jumlah IF Kab/Kota se-Indonesia yang Pernah melakukan Kegiatan

Peningkatan SDM

14

Gambar 10.

Luas Tanah IFK Kab/Kota se-Indonesia

15

Gambar 11.

Luas bangunan IF Kab/Kota se-Indonesia

16

Gambar 12.

Jumlah Instalasi Farmasi Kab/Kota se-Indonesia yang Memiliki Sarana

Pengamanan

17

Gambar 13.

Jumlah IF Kab/Kota se-Indonesia yang Memiliki Kendaraan Roda 4 dan Roda 2

17

Gambar 14.

Jumlah IF Kab/Kota se-Indonesia yang Memiliki Sarana Penyimpanan

18

Gambar 15.

Jumlah IF Kab/Kota se-Indonesia yang memiliki Sarana/Prasarana Penunjang

18

Gambar 16.

Jumlah IF Kab/Kota se-Indonesia yang Memiliki Sarana/Prasarana

Administrasi

19

Gambar 17.

Rata-Rata Anggaran Per Kapita APBD II (DAU)

20

Gambar 18.

Rata-Rata Per kapita Buffer Stock (APBN)

20

Gambar 19.

Data Biaya Operasional IF Kab/Kota Seluruh Indonesia Tahun 2008

21

Gambar 20 a.

Grafik Persentase Cakupan Pelayanan Kefarmasian berdasarkan Jenis

(7)

Gambar 20 b.

Grafik Persentase Puskesmas yang melakukan PIO Tahun 2010

22

Gambar 21.

Grafik Perbandingan Jumlah Tenaga Apoteker terhadap Puskesmas Tahun

2010

23

Gambar 22.

Grafik Data Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit milik Pemerintah Tahun

2010

23

Gambar 23.

Grafik Cakupan Sarana Produksi di Bidang Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Tahun 2010

24

Gambar 24.

Grafik Jumlah Industri Farmasi per Provinsi pada Tahun 2008 – 2010

25

Gambar 25.

Grafik Jumlah IOT per Provinsi pada Tahun 2008 – 2010

26

Gambar 26.

Grafik Jumlah IKOT di Indonesia pada Tahun 2008 – 2010

27

Gambar 27.

Grafik Jumlah Sarana Produksi Alat Kesehatan per Provinsi pada Tahun 2008

–2010

28

Gambar 28.

Grafik Jumlah Sarana Perbekalan Kesehatan dan Rumah Tangga per Provinsi

pada Tahun 2008 –2010

29

Gambar 29.

Grafik Jumlah Industri Kosmetika per Provinsi pada Tahun 2008 –2010

30

Gambar 30.

Grafik Cakupan Sarana Distribusi di Bidang Kefarmasian dan Alat Kesehatan

pada Tahun 2010

31

Gambar 31.

Grafik Jumlah PBF per Provinsi pada Tahun 2008 –2010

32

Gambar 32.

Grafik Jumlah Apotek per Provinsi pada Tahun 2008 –2010

32

Gambar 33.

Grafik Jumlah Toko Obat per Provinsi pada Tahun 2008 –2010

33

Gambar 34 a.

Grafik Jumlah Sarana Penyalur Alat Kesehatan per Provinsi pada

Tahun 2008 –2010

34

Gambar 34 b.

Grafik Jumlah Sarana Sub Penyalur Alat Kesehatan per Provinsi pada

Tahun 2008 –2010

35

Gambar 35.

Grafik Jumlah Izin Edar Alat Kesehatan dan PKRT yang Diterbitkan pada Tahun

2008 – 2010

36

Gambar 36.

Tampilan Aplikasi SIPNAP

37

Gambar 37.

Tampilan Aplikasi Dinamika Obat PBF

39

Gambar 38.

Tampilan

Software

Pelayanan Informasi Obat

40

Gambar 39.

Tampilan Sistem

E-Licensing

43

Gambar 40.

Grafik Alokasi dan Realisasi Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bina

(8)

Gambar 41.

Grafik Alokasi dan Realisasi Dana Dekonsentrasi Tahun 2006 – 2010

46

Gambar 42.

Grafik Alokasi dan Realisasi Anggaran Tugas Pembantuan Periode Tahun 2006

– 2007

47

Gambar 43.

Grafik Jumlah Peraturan yang Dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina

Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tahun 2003 s.d 2010

48

Gambar 44.

Grafik Perbandingan Jumlah Pegawai di Lingkungan Direktorat Jenderal Bina

Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tahun 2003-2010

49

Gambar 45.

Grafik Distribusi Jumlah Pegawai Berdasarkan Unit Eselon II di Lingkungan

Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tahun 2010

50

Gambar 46.

Grafik Distribusi Jumlah Pegawai menurut Jabatan di Lingkungan Direktorat

Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tahun 2010

51

Gambar 47.

Grafik Distribusi Jumlah Pegawai menurut Golongan di Lingkungan Direktorat

Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tahun 2010

51

Gambar 48.

Grafik Distribusi Jumlah Pegawai berdasarkan Jenjang dan Jenis Pendidikan di

Lingkungan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tahun

2010

52

Gambar 49.

Grafik Distribusi Jumlah Pegawai berdasarkan Kategori Usia di Lingkungan

Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tahun 2010

53

Gambar 50.

Grafik Persentase Total Aset di Lingkungan Direktorat Jenderal Bina

(9)

DAFTAR

LAMPIRAN

Lampiran 1

Data Struktur Organisasi Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota Seluruh

Indonesia

56

Lampiran 2

Data Tenaga Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia

68

Lampiran 3

Data Jumlah Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota yang Penrnah Malaksanakan

Peningkatan/Pengembangan SDM Pengelola Obat Puskesmas

80

Lampiran 4

Data Sarana Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia

92

Lampiran 5

Data Sarana Pengamanan Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota Seluruh

Indonesia

104

Lampiran 6

Data Sarana Distribusi Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia

116

Lampiran 7

Data Sarana Penyimpanan Instalasi Farmasi Kabupaten Kota Seluruh

Indonesia

128

Lampiran 8

Data Sarana Penunjangn Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota Seluruh

Indonesia

141

Lampiran 9

Data Sarana Administrasi Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota Seluruh

Indonesia

154

Lampiran 10

Data Rata-Rata Anggaran Obat APBD II Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia

166

Lampiran 11

Data Rata-Rata Per Kapita Anggaran Obat Buffer Stock (APBN)

Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia

178

Lampiran 12

Data Biaya Operasional Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia 190

Lampiran 13.

Tabel Distribusi Alokasi Dana Dekonsentrasi per Provinsi

203

Lampiran 14.

Tabel Distribusi Alokasi Dana Tugas Pembantuan per Instalasi Farmasi

Provinsi/Kab/Kota

204

Lampiran 15 a.

Daftar Peraturan dan Perundang-undangan di Bidang Kefarmasian dan

Alat Kesehatan Tahun 2003 – 2006

207

Lampiran 15 b.

Daftar Peraturan dan Perundang-undangan di Bidang Kefarmasian dan

Alat Kesehatan Tahun 2007 – 2010

209

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Kebijakan dan Strategi

Sasaran hasil dari Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan adalah meningkatnya

sediaan farmasi dan alat kesehatan yang memenuhi standar dan terjangkau oleh masyarakat

dengan indikator programnya yakni persentase ketersediaan obat dan vaksin sebesar 100%

di tahun 2014. Untuk mencapai sasaran hasil tersebut, maka perlu dilakukan kegiatan yang

meliputi peningkatan ketersediaan obat esensial generik di sarana pelayanan kesehatan

dasar, peningkatan mutu dan keamanan alat kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah

Tangga (PKRT), peningkatan penggunaan obat rasional melalui pelayanan kefarmasian yang

berkualitas, peningkatan produksi bahan baku dan obat lokal serta mutu sarana produksi

dan distribusi kefarmasian, peningkatan kualitas produksi dan distribusi kefarmasian dan

peningkatan produksi bahan baku obat dan obat tradisional produksi di dalam negeri. Dalam

upaya peningkatan program tersebut diperlukan dukungan manajemen dalam pelaksanaan

tugas teknis pada program kefarmasian dan alat kesehatan.

B.

Gambaran Organisasi

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1277/Menkes/SK/XI/2001 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan, Direktorat Jenderal Pelayanan

Kefarmasian dan Alat Kesehatan mempunyai tugas meningkatkan keamanan dan

kemanfaatan penggunaan obat, meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian, menjamin

ketersediaan dan keterjangkauan kebutuhan obat esensial, melindungi masyarakat dari

penggunaan alat kesehatan sebagai penjabaran dari berbagai undang-undang di bidang

kesehatan. Kemudian Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan

mengalami perubahan nama menjadi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat

Kesehatan.sebagaimana

tertuang

dalam

Peraturan

Menteri

Kesehatan

RI

Nomor

1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan.

Perubahan tersebut memperluas ruang lingkup kewenangan, tugas pokok dan fungsi, tidak

hanya pelayanan kefarmasian namun lebih luas pada pembinaan seluruh aspek kefarmasian

(11)

Pada tahun 2010 terjadi perubahan struktur organisasi Direktorat Jenderal Bina

Kefarmasian dan Alat Kesehatan dari berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan

menjadi berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1144/Menkes/Per/VIII/2010

tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan (baru berlaku pada Januari 2011),

dimana Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan mempunyai tugas

merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pembinaan

kefarmasian dan alat kesehatan. Bagan struktur organisasi sesuai Permenkes

RI No.

1575/MENKES/PER/XI/2005 dapat dilihat pada

Gambar 1.

Gambar 1. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan berdasarkan Permenkes RI No. 1575/Menkes/Per/XI/2005

Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan

Alat Kesehatan

Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik

Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan

Kesehatan

Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat

Kesehatan Bina Obat Esensial

Nasional Subdit Promosi Penggunaan

Obat Rasional Subdit Standardisasi dan

Bimbingan Teknis Penggunaan Obat

Rasional

Subbagian Tata Usaha

Kelompok

Subbagian Tata Usaha Subdit Kerjasama Profesi

Subdit Farmasi Klinik

Subdit Farmasi Komunitas

Subdit Pemantauan dan Evaluasi Obat Publik dan

Perbekalan Kesehatan Subdit Pengelolaan Obat

Publik dan Perbekalan Kesehatan Subdit Penyediaan Obat

Publik dan Perbekalan Kesehatan

Subdit Produk Diagnostik dan Reagensia Subdit Alat Kesehatan

Non Elektromedik Subdit Alat Kesehatan

Elektromedik

Subbagian Tata Usaha

Subdit Perbekalan Kesehatan Rumah

Tangga

(12)

Sementara bagan struktur organisasi sesuai Permenkes RI No. 1144/MENKES/PER/VIII/2010

dapat dilihat pada

Gambar 2

. Dalam melaksanakan tugasnya Direktorat Jenderal Bina

Kefarmasian dan Alat Kesehatan menyelenggarakan fungsi:

a. perumusan kebijakan di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan;

b. pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan;

c. penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pembinaan kefarmasian dan

alat kesehatan;

d. pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pembinaan kefarmasian dan alat

kesehatan; dan

e. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.

Gambar 2. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan berdasarkan Permenkes RI No. 1144/Menkes/Per/VIII/2010

Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan

Alat Kesehatan

Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan

Kesehatan

Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian

Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat

Kesehatan

Direktorat Bina Produksi dan Distribusi

Kefarmasian Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan

Subdit Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Subdit Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan

Kesehatan

Subdit Analisis dan Standardisasi Harga Subdit Farmasi Klinik

Subdit Farmasi Komunitas Subdit Standardisasi

Subdit Standardisasi dan Sertifikasi Subdit Inspeksi Alat Kesehatan dan PKRT Subdit Penilaian Produk Diagnostik

Invitro dan PKRT Subdit Penilaian Alat

Kesehatan

Subdit Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat

Subdit Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan

Sediaan Farmasi Khusus

Subdit Produksi Kosmetika dan Makanan

Subdit Produksi dan Distribusi Obat dan Obat

Tradisional Sekretariat Direktorat Jenderal

(13)

BAB II

PROFIL KEFARMASIAN DAN ALAT

KESEHATAN

Rencana Strategis Kementerian Kesehatan periode 2010 – 2014 mengamanatkan

Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan untuk dapat meningkatkan ketersediaan,

pemerataan,

dan

keterjangkauan

obat

dan

alat

kesehatan

serta

menjamin

keamanan/khasiat, kemanfaatan, dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan.

Untuk itu, dibangun kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk mencapai hal tersebut, yaitu

kebijakan peningkatan ketersediaan obat publik dan perbekalan kesehatan, peningkatan

produksi dan distribusi alkes dan PKRT, peningkatan pelayanan kefarmasian, peningkatan

produksi dan distribusi kefarmasian dengan dukungan manajemen dan tugas teknis lainnya

pada Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan.

Operasionalisasi kebijakan-kebijakan tersebut tidak dapat dilepaskan dari tersedianya

data dan informasi yang lengkap, akurat dan mutakhir terkait bidang kefarmasian dan alat

kesehatan. Ketersediaan data dan informasi tidak hanya penting dalam tahap perumusan

suatu kebijakan, namun juga pada tahap implementasi dan tahap evaluasi. Untuk itu, perlu

dirancang berbagai strategi dalam mewujudkan ketersediaan data dan informasi tersebut,

mulai dari

entry point

, manajemen, pemanfaatan, hingga publikasinya. Data dan informasi

yang menjadi sumber dalam penyusunan profil ini didapat dari seluruh Dinas Kesehatan

Provinsi di Indonesia dan seluruh Direktorat di lingkungan Direktorat Jenderal Bina

Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Melalui profil ini hasil-hasil yang telah dicapai dalam

pelaksanaan program obat dan perbekalan kesehatan sampai dengan tahun 2010 yang

berupa cakupan-cakupan program, hasil-hasil kajian dan cakupan sarana produksi dan

distribusi kefarmasian dan alat kesehatan digambarkan dalam bentuk narasi, tabel maupun

grafik.

Penyusunan Profil Kefarmasaian dan Alat Kesehatan Tahun 2010 ini bertujuan untuk

memberikan data dan informasi yang berbasis bukti terkait pelaksanaan kegiatan Direktorat

(14)

dalam perumusan kebijakan dan perencanaan bagi Pimpinan dan sebagai referensi bagi

pelaksana kegiatan di bidang kesehatan.

Muatan Profil Kefarmasian dan Alat Kesehatan ini diarahkan kepada data dan informasi

yang mendukung pencapaian indikator Rencana Strategis (Renstra) Program Kefarmasian

dan Alat Kesehatan hingga tahun 2010 yang mencakup :

1.

peningkatan ketersediaan obat publik dan perbekalan kesehatan

2.

peningkatan produksi dan distribusi alat kesehatan

3.

peningkatan pelayanan kefarmasian

4.

peningkatan produksi dan distribusi kefarmasian

5.

dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya pada program kefarmasian

(15)

BAB III

Pencapaian Program Kefarmasian dan Alat

Kesehatan

A. Peningkatan Ketersediaan Obat dan Perbekalan Kesehatan

Kebijakan Pemerintah terhadap peningkatan akses obat telah ditetapkan antara lain

dalam Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Indonesia Sehat 2010, Sistem

Kesehatan Nasional (SKN) dan Kebijakan Obat Nasional (KONAS). Dalam upaya pelayanan

kesehatan, ketersediaan obat dalam jenis yang lengkap, jumlah yang cukup, terjamin

khasiatnya, aman, efektif dan bermutu dengan harga terjangkau serta mudah diakses adalah

sasaran yang harus dicapai. Salah satu tujuan KONAS yang tertuang dalam Keputusan

Menteri Kesehatan RI No. 189/Menkes/SK/III/2006 adalah menjamin ketersediaan,

pemerataan dan keterjangkauan obat terutama obat esensial dengan ruang lingkup yang

mencakup pembiayaan, ketersediaan serta pemerataan obat bagi masyarakat. Akses

masyarakat terhadap obat esensial dipengaruhi oleh empat faktor utama, yaitu penggunaan

obat rasional, harga yang terjangkau, pembiayaan yang berkelanjutan dan sistem pelayanan

kesehatan serta suplai yang dapat menjamin ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan.

Salah satu sasaran Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan dalam Rencana Strategis

2010-2014 adalah meningkatnya sediaan farmasi dan alat kesehatan yang memenuhi

standar dan terjangkau oleh masyarakat dengan indikator sasarannya yakni persentase

ketersediaan obat dan vaksin sebesar 100%. Oleh karena itu Direktorat Jenderal Bina

Kefarmasian dan Alat Kesehatan berupaya untuk dapat memenuhi kebutuhan obat melalui

pengadaan obat-obat program seperti Obat Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan

Lingkungan (PP & PL), Gizi dan KIA, obat dan vaksin Haji serta obat

buffer stock

sebagai stok

penyangga di tingkat nasional yang digunakan dalam mengantisipasi kekosongan obat dan

perbekalan kesehatan di pelayanan kesehatan dasar dan pada saat terjadinya kejadian luar

biasa (KLB)/bencana.

Program pengadaan obat, perbekalan kesehatan dan vaksin dilaksanakan sesuai amanat

KONAS sebagai upaya pembiayaan yang berkelanjutan sehingga Pemerintah dapat menjamin

ketersediaan obat, perbekalan kesehatan dan vaksin hingga tingkat pelayanan kesehatan

(16)

mengalokasikan anggaran untuk pembiayaan pengadaan tersebut dengan mekanisme

bottom-up.

Rencana Kebutuhan Obat (RKO) disusun untuk mendapatkan data kebutuhan

obat mulai dari tingkat kabupaten/kota yang direkapitulasi di tingkat provinsi hingga

Pemerintah Pusat. Pada tahun 2003 hingga 2006, pengadaan obat yang dilaksanakan oleh

Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan hanya pengadaan Obat Bufferstock

Pusat/Provinsi/ Kab/Kota, Obat KLB dan obat Flu burung. Namun sejak tahun 2007 semua

pengadaan obat bersumber dana APBN yang terdapat di Kementerian Kesehatan dipusatkan

di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Nilai alokasi dan realisasi

pengadaan obat, perbekalan kesehatan dan vaksin dapat dilihat pada

Gambar 3

.

Gambar 3. Grafik Anggaran Pusat untuk Pengadaan Obat, Perbekkes dan Vaksin Tahun Anggaran 2007 – 2010

Pada grafik diatas dapat dilihat Perbandingan antara Alokasi dan Realisasi Anggaran Obat,

Perbekalan Kesehatan dan Vaksin yang terdapat di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan

Alat Kesehatan pada tahun 2007 sampai dengan 2010. Terlihat bahwa pada tahun 2007 tidak

terdapat alokasi pengadaan vaksin karena program tersebut masih berada di Direktorat

Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, baru kemudian pada tahun

2008 untuk pengadaan vaksin diserahkan kepada Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan

Alat Kesehatan. Selain itu juga terlihat bahwa nilai alokasi dan realisasi anggaran untuk

pengadaan obat, perbekalan kesehatan dan vaksin setiap tahunnya cenderung stabil dan

tidak mengalami peningkatan. Padahal nilai riil keseluruhan anggaran yang ada untuk

(17)

6

403

61

7

417

31

33

314

106

KMK 521/2007

KMK 302/2008

KMK 146/2010

Harga NAIK Harga TETAP Harga TURUN

kebijakan terkait desentralisasi pada program pengadaan obat, yakni menggunakan Dana

Alokasi Khusus (DAK) pada tahun 2010. Sehingga pengadaan obat dan perbekalan kesehatan

sejak tahun 2010 tidak hanya menggunakan APBN Pusat yang dilakukan oleh Pemerintah

Pusat melalui Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, tetapi juga

dilakukan oleh Pemerintah Daerah (Kab/Kota) yang diberikan alokasi DAK.

Kebijakan Harga Obat Generik

Kebijakan rasionalisasi harga obat generik dilakukan untuk menjamin ketersediaan,

pemerataan dan keterjangkauan obat di Indonesia. Kebijakan ini dilakukan berdasarkan

pertimbangan dan masukan dari Tim Evaluasi Harga Obat, yang beranggotakan para

ahli/pakar, akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan Pemerintah (Kementerian

Kesehatan dan Badan POM), dan ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI.

Kebijakan tersebut ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes)

No.521/Menkes/SK/IV/2007

untuk

470

obat,

lalu

diubah

dengan

Kepmenkes

No.302/Menkes/SK/III/2008

mencakup

455

obat

kemudian

dengan

No.HK.03.01/Menkes/146/I/2010 yang mencakup 453 obat. Perubahan harga yang cukup

variatif terjadi pada tahun 2010 dimana sebanyak 106 obat mengalami penurunan harga dan

33 obat mengalami kenaikan harga sebagaimana dilihat pada

Gambar 4

.

(18)

Ketersediaan Obat dan Vaksin

Program peningkatan ketersediaan obat dan vaksin dilaksanakan sebagaimana amanat

yang juga tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 3 Tahun 2010 tentang Program

Pembangunan yang Berkeadilan. Obat dan vaksin adalah komoditi kesehatan yang menjadi

salah satu kebutuhan dasar dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan

merupakan barang publik yang perlu dijamin ketersediaannya dalam upaya pemenuhan

pelayanan kesehatan. Ketersediaan obat dan vaksin didukung oleh industri farmasi, yang

berjumlah 251, dan 95% berlokasi di pulau Jawa yang diperkirakan dapat memproduksi 98%

kebutuhan obat nasional (KONAS, 2006).

Tingkat ketersediaan obat di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota mencerminkan tingkat

ketersediaan obat untuk pelayanan kesehatan dasar dimana hasil pengadaan

buffer stock

Kabupaten/Kota (pengadaan di pusat hanya sampai dengan tahun 2009) serta pengadaan

obat dan perbekkes melalui DAK (mulai tahun 2010) disimpan dan dikelola oleh Tenaga

Kefarmasian di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota dan dipergunakan untuk kepentingan

pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas (PKM). Tingkat ketersediaan obat yang ideal adalah

18 bulan yaitu untuk mencukupi kebutuhan selama 12 bulan dan

lead time

6 bulan, yakni

waktu yang dibutuhkan untuk proses pengadaan tahun berikutnya terkait proses pengadaan

sampai dengan distribusi. Hingga tahun 2010, ketersediaan obat di tingkat Instalasi Farmasi

Kab/Kota mencapai 14,2 bulan, atau meningkat 12,7% dari tahun 2009. Tingkat kecukupan

obat pada tahun 2008 s.d 2010 dapat dilihat pada

Gambar 5

.

9,5 BLN

12,6 BLN

14,2 BLN

Tahun 2008

Tahun 2009

Tahun 2010

Gambar 5. Tingkat Kecukupan Obat Tahun 2008 – 2010

(19)

Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan telah melakukan berbagai

upaya untuk meningkatkan ketersediaan obat dan vaksin antara lain dengan kebijakan yang

mewajibkan perusahaan farmasi nasional (terutama BUMN) untuk memproduksi obat

generik, mencantumkan nama generik pada label obat yang beredar, kewajiban penulisan

resep menggunakan nama generik di sarana pelayanan kesehatan milik Pemerintah serta

menyediakan pedoman pengawasannya. Kemudian dengan menjadikan PT. Biofarma

sebagai pusat pengembangan dan produksi vaksin untuk mencukupi kebutuhan vaksin

secara nasional.

Meskipun demikian terdapat beberapa tantangan yang dihadapi dalam meningkatkan

ketersediaan obat dan vaksin, yakni kenyataan bahwa sebagian besar bahan baku yang

digunakan untuk produksi dalam negeri masih impor, sistem pengelolaan di Instalasi Farmasi

milik Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota yang masih belum efektif dan efisien serta sistem

pendistribusian yang terkendala faktor iklim, letak geografis, sarana prasarana distribusi dan

kondisi demografis. Permasalahan tersebut dapat menjadi peluang jika disikapi dengan

positif baik oleh Pemerintah maupun Swasta, antara lain peluang untuk mengembangkan

sistem pengelolaan dan pendistribusian obat dan vaksin yang baik secara nasional, kebijakan

yang mendukung perkembangan industri bahan baku obat karena ketergantungan terhadap

impor bahan baku dapat menyebabkan tidak stabilnya ketersediaan obat nasional dan

fluktuasi harga obat karena pengaruh harga bahan baku di pasar internasional.

Peningkatan penggunaan obat generik, baik pada sarana pelayanan kesehatan dasar

maupun pada pelayanan kesehatan rujukan, menunjukkan bahwa Tenaga Kesehatan telah

memberikan respon yang positif terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri Kesehatan RI

Nomor HK.02.02/MENKES/068/1/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di

Fasilitas Kesehatan Pemerintah.

Pada tahun 2009 terlihat bahwa persentase penggunaan obat generik di Rumah Sakit

adalah 50,06% dan meningkat hingga mencapai 57,18% pada tahun 2010. Hal ini masih

rendah bila dibandingkan dengan pencapaian penggunaan obat generik di Puskesmas pada

tahun 2009 yakni sebesar 95,08% yang meningkat pada tahun 2010 menjadi sebesar 96,06%

(20)

50,06

Gambar 6. Persentase Penggunaan Obat Generik Tahun 2009-2010

B.

Pengelolaan Obat Publik Dan Perbekalan Kesehatan

Penerapan Undang - Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi daerah membawa

implikasi terhadap organisasi kesehatan baik di tingkat Pusat, Provinsi, maupun

Kabupaten/Kota.

Demikian pula halnya dengan organisasi pengelolaan obat publik dan

perbekalan kesehatan, bila sebelumnya di seluruh Kabupaten/Kota terdapat Gudang

Farmasi, maka dengan diserahkannya Gudang Farmasi kepada pemerintah daerah,

organisasi tersebut tidak selalu eksis di setiap Kabupaten/Kota.

Untuk lebih meningkatkan keberadaan gudang farmasi Kabupaten/Kota dalam rangka

menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik, didalam KONAS tahun 2005 disebutkan

bahwa keberadaan gudang farmasi Kabupaten/Kota diubah namanya menjadi Instalasi

Farmasi Kabupaten Kota ( IFK ).

Kebijakan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan di Kabupaten/Kota

dipusatkan pada Unit Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota yang lebih dikenal dengan

one gate

policy drug supply management

. Adapun fungsi yang harus dijalankan meliputi perencanaan,

pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, pencatatan pelaporan, dan evaluasi yang

terintegrasi dengan unit kerja terkait. Kebijakan ini didasarkan kepada efisiensi, efektifitas

dan profesionalisme. Pengelolaan mencakup seluruh obat publik dan perbekalan kesehatan

yang berasal dari semua sumber anggaran dan menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan di

masing-masing Kabupaten/Kota.

Dari Hasil pemantauan yang

lakukan sampai dengan tahun 2009, telah dilakukan

(21)

Sumber Daya Manusia dan kualitas sarana prasarana di Instalasi Farmasi Kab/Kota dengan

hasil sebagai berikut :

1.

Struktur Organisasi IFK

Di dalam pembentukan organisasi kesehatan di daerah perlu dipertimbangkan

keberadaan, kapasitas serta kesiapan dalam merumuskan/ melaksanakan kebijakan

kesehatan. Organisasi tersebut juga harus mampu membuat perencanaan operasional,

serta mengembangkan berbagai inisiatif baru untuk menyelaraskan visi Kementrian

Kesehatan.

Struktur Organisasi IFK se-Indonesia

Seksi 45%

UPTD 46%

Lain-lain 9%

Gambar 7. Struktur Organisasi IFK se-Indonesia

Struktur organisasi unit pengelola obat di Kab/Kota seluruh Indonesia 46% sudah dalam

bentuk UPTD dan 65% dalam bentuk Seksi Farmasi.

Untuk tugas dan fungsi unit pengelola obat dan perbekalan kesehatan dapat mengacu

kepada SK Menkes Ri No. 610/Men.Kes./S.K/XI/81 tahun 1981. tentang Organisasi dan Tata

Kerja Gudang Perbekalan Kesehatan di Bidang Farmasi di Kabupaten/Kota, sementara untuk

kedudukan organisasi yang akan dibentuk disesuaikan dengan keperluan dalam rangka

(22)

2.

Sumber Daya Manusia Pengelola Obat Publik Dan Perbekalan Kesehatan

Gambaran mengenai situasi sumber daya manusia pengelola obat publik dan

perbekalan kesehatan di Instalasi Farmasi dikelompokkan menjadi penanggung jawab

Instalasi Farmasi dan proporsi tenaga berdasarkan latar belakang pendidikan.

Berdasarkan UU No. 23 tahun 1992 pasal 63 tentang Kesehatan, menjelaskan bahwa

pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi dan pelayanan sediaan

farmasi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan

kewenangan untuk itu.

Penanggungjawab IF Kab/Kota se-Indonesia

APOTEKER, 313, 68% NON

APOTEKER, 144, 32%

Gambar 8. Penanggung Jawab IF Kab/Kota Se-Indonesia

Dari diagram dapat dilihat bahwa 68% Instalasi Farmasi Kab/Kota di Provinsi NAD

sudah dikelola oleh Apoteker sebagai penanggung jawabnya dan hanya 32% yang

dikelola oleh Non Apoteker AA/SMF, D3 Farmasi, Tenaga Kesehatan Lainnya.

Hal ini

sudah cukup baik mengingat Instalasi Farmasi di Kabupaten/Kota sebagian besar sudah

dikelola oleh apoteker yang sesuai dengan keahliannya. Kepala Unit pengelola obat

/Instalasi Farmasi sebaiknya dipimpin oleh Apoteker, dan didukung oleh tenaga berlatar

belakang

farmasi

sebagai

penanggung

jawab

perencanaan

dan

pengadaan,

penyimpanan

dan

penyaluran

/

pendistribusian,

penanggung

jawab

pencatatan/pelaporan dan evaluasi. Selain itu diperlukan tenaga non farmasi sebagai

(23)

3.

Peningkatan SDM Di Puskesmas

Puskesmas merupakan unit pelayanan teknis dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

yang berada diwilayah kecamatan yang melaksanakan tugas-tugas operasional dibidang

kesehatan. Peningkatan sumber daya manusia di puskesmas memiliki peran yang sangat

penting dalam meningkatkan mutu pelayanan dalam rangka memelihara kesehatan

masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan upaya konkret seperti

pelatihan-pelatihan bagi tenaga kesehatan di puskesmas khususnya pengelola obat di puskesmas.

Gambaran peningkatan SDM di puskesmas dilihat berdasarkan kegiatan yang dilakukan

Instalasi Farmasi bagi pengelola obat di puskesmas, seperti pelatihan, pertemuan,

monev dan bimtek.

Jumlah IF Kab/Kota se-Indonesia yang Pernah Melakukan Kegiatan Peningkatan SDM di Indonesia

Tahun 2008

Pertemuan Pelatihan Monev Bimtek

J

Gambar 9. Jumlah IF Kab/Kota se-Indonesia yang Pernah Melakukan Kegiatan Peningkatan SDM

Berdasarkan gambar diatas terlihat bahwa telah dilakukan kegiatan peningkatan

SDM di puskesmas melalui kegiatan pertemuan di 266 kabupaten/kota, pelatihan di 181

kabupaten/kota, kegiatan monev di 327 kabupaten/kota dan kegiatan bimtek di 204

(24)

4.

Sarana Dan Prasarana Penyimpanan Obat Publik Dan Perbekalan Kesehatan.

Penyimpanan obat dan perbekalan kesehatan yang baik bertujuan untuk

memelihara mutu obat, menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab,

menjaga kelangsungan persediaan dan memudahkan pencarian dan pengawasan.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya sarana dan prasarana yang ada di

Instalasi Farmasi. Adapun sarana yang minimal sebaiknya tersedia adalah sebagai

berikut :

a)

Gedung, dengan luas 300 m2 – 600 m2

b)

Kendaraan roda dua dan roda empat, dengan jumlah 1 – 3 unit

c)

Komputer + Printer, dengan jumlah 1 – 3 unit

d)

Telepon & Faximile, dengan jumlah 1 unit

e)

Sarana penyimpanan, seperti : rak, pallet, lemari obat, dan lain-lain.

Gambaran mengenai sarana dan prasarana penyimpanan

obat publik dan

perbekalan kesehatan di Instalasi Farmasi dikelompokkan menjadi: luas tanah, luas

bangunan, status gedung dan kondisi bangunan.

Luas Tanah IFK Kab/Kota se-Indonesia

< 300 m2 16%

> 300 m2 84%

Gambar 10. Luas Tanah IFK Kab/Kota se-Indonesia

Dari diagram diatas terlihat bahwa sebanyak 84 % kabupaten/kota memiliki luas

(25)

Luas Bangunan IFK Kab/Kota se-Indonesia

< 300 m2 43%

> 300 m2 57%

Gambar 11. Luas bangunan IF Kab/Kota Se-Indonesia

Dari diagram diatas terlihat bahwa 57% kabupaten/kota memiliki luas bangunan

300 m

2

dan hanya 43% memiliki luas bangunan > 300m

2

.

Luas tanah dan bangunan yang memadai berguna untuk kemudahan dan

kelancaran dalam penyimpanan dan distribusi obat. Ruang penyimpanan yang cukup

luas mempermudah sirkulasi keluar masuk obat di ruang penyimpanan. Luasnya ruang

penyimpanan obat dapat disesuaikan dengan jumlah anggaran obat yang ada.

5.

Pengamanan

Sarana pengamanan gedung sangat penting dimiliki oleh instalasi farmasi untuk

menjaga obat dari pencurian dan bahaya kebakaran. Untuk jenis dan jumlah tralis

disesuaikan dengan bentuk bangunan termasuk pintu, jendela dan plafon dengan

spesifikasi terbuat dari bahan besi dengan ketebalan 12 mm, untuk jenis pagar dibuat

kombinasi tembok yang terbuat dari bata merah, batako atau bahan lain yang cukup

kuat dan kawat berduri atau kawat harmonica juga dapat digunakan pagar hidup dari

tanaman yang mudah tumbuh dan mudah dipelihara serta mempunyai kerapatan yang

dapat mencegah masuknya ternak dengan jumlah yang disesuaikan dengan luas tanah.

Sedangkan untuk alat pemadam kebakaran selain digunakan jenis tabung CO

2

juga

(26)

Jumlah Instalasi Farmasi Kab/Kota se-Indonesia yang Memiliki Sarana Pengaman

325

Alarm Tralis Pagar Pemadam

J

Gambar 12. Jumlah Instalasi farmasi Kab/Kota se-Indonesia yang Memiliki Sarana Pengamanan

Dari diagram diatas terlihat bahwa instalasi farmasi di di Kab/Kota yang memiliki

alarm hanya 65 Kab/Kota, memiliki teralis 361, memiliki pagar pengamanan 283, serta

325 yang memiliki alat pemadam kebakaran.

6.

Penyimpanan dan Distribusi

Kegiatan

penyimpanan

dan

distribusi

memegang

peranan

penting

dalam

pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan. Kegiatan ini dapat berjalan dengan

baik apabila didukung oleh sarana penyimpanan dan distribusi yang memadai.

Jumlah IF Kab/Kota se-Indonesia yang Memiliki Kendaraan Roda 4 & Roda 2

296

Kendaraan Roda 4 Kendaraan Roda 2

J

Gambar 13. Jumlah IF Kab/Kota se-Indonesia yang Memiliki Kendaraan Roda 4 dan Roda 2

Dari gambar diatas terlihat bahwa hanya 296 kabupaten/kota yang sudah memiliki

(27)

telah memiliki kendaraan roda 2. Kendaraan tersebut sangat diperlukan oleh instalasi

farmasi dalam menunjang kelancaran distribusi obat.

Jumlah IF Kab/Kota se-Indonesia yang memiliki Sarana Penyimpanan

Gambat 14. Jumlah IF Kab/Kota se-Indonesia yang Memiliki Sarana Penyimpanan

Jumlah IF Kab/Kota se-Indonesia yang Memiliki Sarana/Prasarana Penunjang

Gambar 15. Jumlah IF Kab/Kota se-Indonesia yang Memiliki sarana/Prasarana Penunjang

Sarana penyimpanan obat seperti rak dan lemari es telah dimiliki oleh 364 kab/kota.

Hanya 319 kabupaten/kota

yang memiliki lemari narkotik, AC, dan Kipas Angin.

Sebanyak 317 kabupaten/kota

yang memiliki lemari obat, 13 kabupaten/kota yang

memiliki pompa air,

5 kabupaten/kota 151 yang memiliki exhaust fan dan lemari

vaksin, sebanyak 394 kabupaten/kota

yang memiliki pallet, dan sebanyak 370

(28)

Sirkulasi udara yang cukup sangat penting untuk menjaga mutu obat agar obat tidak

mudah rusak oleh udara yang lembab atau terlalu panas untuk itu diperlukan juga

ventilasi atau saluran udara yang memadai.

Alat penunjang lainnya yang juga diperlukan di instalasi farmasi adalah generator

yang digunakan sebagai pengganti apabila aliran listrik padam

7.

Administrasi

Sebagai penunjang terlaksananya suatu kegiatan perlu adanya sarana kantor atau

administrasi

Jumlah IF Kab/Kota se-Indonesia yang Memiliki Sarana/Prasarana Administrasi

Gambar 16. Jumlah IF Kab/Kota se-Indonesai yang Memiliki sarana/Prasarana Administrasi

dari gambar di atas terlihat sebanyak 415 kab/kota dimana unit pengelola obatnya

telah memiliki komputer dan Laptop 381 kab/kota yang telah memiliki printer, 288

kab/kota memiliki telepon dan 137 kab/kota telah memiliki faximile, dan 161 Kab/Kota

telah memiliki software ketersediaan obat.

Ini menunjukkan bahwa kegiatan administrasi dapat berjalan dengan baik apabila

didukung oleh sarana yang memadai, sedangkan untuk kelancaran komunikasi memang

masih terkendala untuk instalasi farmasi yang terdapat di daerah terpencil.

8.

Sumber Anggaran Pengadaan Obat

Keputusan Menkes RI No. 922/Menkes/SK/X/2008 tentang Pedoman Teknis

Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kesehatan antara Pemerintah, Pemerintah

(29)

Pemerintah Daerah kab/kota mempunyai wewenang terhadap penyediaan dan

pengelolaan obat pelayanan kesehatan dasar, alat kesehatan, reagensia dan vaksin skala

kabupaten/kota.

Sumber anggaran obat di kab/kota dapat diambil dari dana APBD II (DAU), APBD I,

Askes, Buffer stok kab/kota, atau dari sumber anggaran Program.

Rata-rata Anggaran Per kapita APBD II (DAU)

3746 3791

Tahun 2004 Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008

D

Gambar 17. Rata-rata Anggaran Per Kapita APBD II (DAU)

Rata-rata Per Kapita Buffer Stock (APBN)

1090 1170

Tahun 2004 Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008

D

Gambar 18. Rata-rata Per Kapita Buffer Stock (APBN)

Dari gambar menunjukkan bahwa Anggaran obat di Kabupaten/Kota

diperoleh

paling besar dari dana APBD II/DAU , sisanya dari buffer stok kab/kota dana APBN dan

(30)

9.

Biaya Operasional

Biaya operasional sangat dibutuhkan untuk menunjang kegiatan dalam pengelolaan

obat dan perbekalan kesehatan.

Gambar 19. Data Biaya Operasional IF Kab/Kota Seluruh Indonesia Tahun 2008

Berdasarkan gambar di atas dapat terlihat bahwa sebanyak 28% kab/kota yang

belum memiliki biaya operasional di unit pengelola obat dan perbekalan kesehatan dan

sebesar 72 % yang sudah mempunyai biaya operasional.

Biaya operasional sebesar

25% digunakan untuk biaya pemeliharaan, dan 25% digunakan untuk biaya distribusi,

dan sisanya sebanyak 50% digunakan untuk biaya lain-lain.

C.

Peningkatan Pelayanan Kefarmasian

Pada tahun 2010 diketahui bahwa cakupan pelayanan kefarmasian masih rendah di

Puskesmas Perawatan sebesar 34% bila dibandingkan dengan pelayanan kefarmasian di

Puskesmas Non Perawatan yakni sebesar 66%. Kegiatan pelayanan kefarmasian ini

mencakup Pelayanan Informasi Obat (PIO) baik aktif maupun pasif dan konseling yang

dilakukan oleh tenaga kefarmasian. Grafik Persentase Cakupan Pelayanan Kefarmasian

berdasarkan Jenis Puskesmas pada Tahun 2010 dapat dilihat pada

Gambar 20 a

.

Data Biaya Operasional IF Kab/Kota Seluruh

Indonesia Tahun 2008

ADA, 329, 72% TIDAK ADA,

(31)

Gambar 20 a. Grafik Persentase Cakupan Pelayanan Kefarmasian berdasarkan Jenis Puskesmas pada Tahun 2010

Sementara dari hasil pemutakhiran data tahun 2010 diketahui bahwa hanya terdapat

13,7% Puskesmas yang melakukan PIO secara aktif yang ditunjukkan pada

Gambar 20 b

. PIO

secara aktif dilakukan dengan cara membuat poster, leaflet, brosur atau materi iklan lainnya

yang berisikan informasi tentang penggunaan obat rasional, obat generik, cara penggunaan

obat berdasarkan jenis dan bentuknya, dan lain lain. Selain itu juga disertakan informasi

tentang pasien yang mencakup riwayat penggunaan obat oleh pasien yang bersangkutan.

Gambar 20 b. Grafik Persentase Puskesmas yang melakukan PIO Tahun 2010

Rasio Jumlah Tenaga Apoteker terhadap Puskesmas

Pada tahun 2010 terdapat jumlah Puskesmas sebesar 4953 sementara jumlah Apoteker

yang bekerja di Puskesmas adalah 605 orang. Hal ini digambarkan dalam grafik dibawah

dimana dapat dilihat proporsi cakupan jumlah Apoteker terhadap jumlah Puskesmas adalah

sebesar 1 : 8. Rasio tersebut memberikan peluang terhadap peningkatan pemerataan

distribusi Apoteker di Indonesia sehingga pelayanan kefarmasian untuk masyarakat dapat

lebih terjangkau khususnya di sarana pelayanan kesehatan dasar milik pemerintah

(32)

Gambar 21. Grafik Perbandingan Jumlah Tenaga Apoteker terhadap Puskesmas Tahun 2010

Sumber : Pemutakhiran Data Ditjen Binfar dan Alkes, Kemenkes RI Tahun 2010

Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit tahun 2010

Dari 290 Rumah Sakit pemerintah yang telah di evaluasi (41% dari data SIRS tahun

2010) diketahui Rumah Sakit yang telah melaksanakan Pelayanan Informasi Obat sebanyak

48%, Rumah Sakit yang sudah melaksanakan Konseling adalah 34%, Rumah Sakit yang Kepala

Instalasi Farmasinya adalah Apoteker yakni 84%, dan Rumah Sakit yang melaksanakan

Pelayanan Kefarmasian Sistem Satu Pintu terdapat sebanyak 7%.

Gambar 22. Grafik Data Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit milik Pemerintah Tahun 2010

(33)

D. Cakupan Sumber Daya Kefarmasian di Indonesia Tahun 2008 – 2010

1.

Cakupan Sarana Produksi Bidang Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Cakupan

sarana

produksi

di

bidang

kefarmasian

dan

alat

kesehatan

menggambarkan tingkat ketersediaan sarana pelayanan kesehatan yang melakukan

upaya produksi di bidang kefarmasian dan alat kesehatan. Yang termasuk sarana

produksi di bidang kefarmasian dan alat kesehatan antara lain Industri Farmasi, Industri

Obat Tradisional (IOT), Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT), Produksi Alat Kesehatan,

Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) dan Industri Kosmetika. Keadaan cakupan

sarana produksi yang dibahas dalam profil ini secara keseluruhan diukur terhadap 33

provinsi di Indonesia pada tahun 2008 hingga 2010. Khusus pada tahun 2010, dapat

dilihat persentase ketersediaan sarana produksi di bidang kefarmasian dan alat

kesehatan pada

gambar 23

, dimana terlihat sarana Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT)

memiliki jumlah paling banyak dibandingkan dengan sarana produksi lainnya diikuti oleh

Industri Kosmetika dan Industri Farmasi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pangsa

pasar IKOT cukup diminati oleh dunia usaha dalam negeri. Hal ini dapat disebabkan oleh

kemudahan dalam proses perizinan IKOT dan pemanfaatan keanekaragaman hayati

yang dimiliki oleh alam Indonesia sebagai bahan baku.

Sumber : Pemutakhiran Data Ditjen Binfar dan Alkes, Kemenkes RI Tahun 2008 – 2010

(34)

a)

Industri Farmasi

Perkembangan jumlah dan jenis produk yang diproduksi oleh Industri Farmasi

dalam negeri serta kebijakan Pemerintah yang kondusif telah mendorong sarana

industri farmasi Indonesia hingga menjadi salah satu industri yang berkembang cukup

pesat dengan jumlah konsumen yang terus bertambah. Tercatat bahwa di Indonesia

terdapat 21 Provinsi yang belum memiliki sarana industri farmasi antara lain Provinsi

Aceh, Riau, Bengkulu, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Nusa

Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan

Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Selatan,

Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat dan Papua. Sementara jumlah

industri farmasi di Indonesia pada tahun 2008 – 2010 yang hanya tersebar di 12 provinsi

dapat dilihat pada

Gambar 24,

dimana Provinsi Jawa Barat memiliki jumlah industri

farmasi terbanyak diikuti oleh Provinsi Jawa Timur.

Sumber : Pemutakhiran Data Ditjen Binfar dan Alkes, Kemenkes RI Tahun 2008 – 2010

Gambar 24. Grafik Jumlah Industri Farmasi per Provinsi pada Tahun 2008 – 2010

Kenyataan bahwa jumlah industri farmasi terus meningkat dari tahun ke tahun di

(35)

industri farmasi di Indonesia bagian timur dalam rangka pemerataan sarana tersebut di

seluruh Indonesia. Keberadaan industri farmasi yang banyak tersebar di wilayah

Indonesia bagian barat ini juga salah satu sebab dari mahalnya harga obat di bagian

timur akibat tingginya biaya distribusi. Faktor keamanan, kapasitas Sumber Daya

Manusia (SDM) dan keadaan ekonomi masyarakat di wilayah timur Indonesia juga harus

ditingkatkan untuk mendukung upaya tersebut. Hal ini penting untuk membuka akses

masyarakat terhadap sarana pelayanan kesehatan khususnya bidang kefarmasian dan

alat kesehatan.

b)

Industri Obat Tradisional (IOT)

Ketersediaan sarana pelayanan kesehatan seperti Industri Obat Tradisional sudah

banyak berkembang dan mayoritas masyarakat kian banyak yang berpaling pada obat

tradisional terkait slogan

back to nature

atau hidup sehat dengan herbal. Penyebaran

industri obat tradisional pada tingkat provinsi/kab/kota belum banyak berkembang

pada wilayah Indonesia bagian tengah maupun Indonesia bagian timur. Hal ini terlihat

dari

Gambar 25

, yang menunjukkan Grafik Jumlah Industri Obat Tradisional per Provinsi

pada tahun 2008 – 2010. Terdapat 25 Provinsi di Indonesia yang belum memiliki sarana

tersebut, yaitu Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Riau, Bangka Belitung,

Jambi, Bengkulu, Lampung, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Bali, Nusa Tenggara

Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara,

Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,

Maluku Utara, Maluku, Papua Barat dan Papua.

Sumber : Pemutakhiran Data Ditjen Binfar dan Alkes, Kemenkes RI Tahun 2008 – 2010

(36)

Keberadaan Industri Obat Tradisional paling banyak terdapat di Provinsi Jawa Barat,

diikuti oleh Provinsi Banten dan Jawa Timur. Kenaikan jumlah dari tahun 2008 hingga

2010 yang cukup signifikan terlihat pada Provinsi Banten dan Jawa Tengah.

Kemungkinan hal ini disebabkan oleh prospek yang baik dan cukup menjanjikan dalam

mengembangkan usaha di bidang obat tradisional, kemudahan dalam proses perizinan

dan dalam memperoleh bahan baku, meningkatnya jumlah penelitian di bidang obat

tradisional yang didukung oleh kebijakan pemerintah untuk mengedepankan produk

herbal asli Indonesia, jamu dan lain sebagainya.

c)

Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT)

Berdasarkan ketersediaannya, jumlah sarana Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT)

pada tahun 2008 ke tahun 2009 mengalami pertumbuhan sebesar 38% namun pada

tahun 2010 terjadi penurunan sekitar 34%. Industri Kecil Obat Tradisional di Indonesia

sejak tahun 2008 hingga 2010 hanya tersebar di 25 Provinsi, sementara 8 (delapan)

provinsi yang belum memiliki sarana IKOT antara lain Provinsi Kepulauan Riau,

Kepulauan Bangka Belitung, Bengkulu, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi

Tenggara, Papua Barat dan Papua. Jumlah sarana Industri Kecil Obat Tradisional tahun

2008 – 2010 yang tersebar hanya di 25 Provinsi tersebut dapat dilihat pada

Gambar 26

.

Sumber: Pemutakhiran Data Ditjen Binfar dan Alkes, Kemenkes RI Tahun 2008 – 2010

(37)

d)

Produksi Alat Kesehatan

Berdasarkan data cakupan sarana kesehatan bidang kefarmasian dan alat kesehatan

pada tahun 2008 – 2010 terdapat 21 provinsi yang belum memiliki sarana produksi alat

kesehatan, yaitu Riau, Bangka Belitung, Jambi, Bengkulu, Lampung, Bali, Nusa Tenggara

Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur,

Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi

Tenggara, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat, dan Papua. Sarana produksi alat

kesehatan sebagian besar berada di wilayah Indonesia Barat, untuk wilayah Indonesia

Tengah hanya ada 1 (satu) provinsi, dan wilayah Indonesia Timur belum ada sama sekali.

Terdapat peningkatan jumlah sarana produksi alat kesehatan dari tahun ke tahun dan

jenis alat kesehatan yang diproduksi juga lebih beragam, sebaran sarana produksi Alat

Kesehatan di tiap provinsi tahun 2008 – 2010 dapat dilihat pada

Gambar 27

.

Tahun Aceh Sumut Sumbar Kepri Sumsel DKI

Jakarta Banten

Jawa

Barat DIY

Jawa Tengah

Jawa

Timur NTB

2008 0 6 1 2 2 24 13 47 3 12 17 1

2009 1 8 1 2 2 31 17 56 3 14 23 2

2010 1 11 1 4 2 38 23 70 4 19 26 2

Sumber : Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan, Kemenkes RI Tahun 2008 – 2010

(38)

e)

Perbekalan Kesehatan dan Rumah Tangga

Berdasarkan data cakupan sarana Perbekalan Kesehatan dan Rumah Tangga (PKRT)

di Indonesia pada tahun 2008 – 2010 terdapat 13 provinsi yang belum memiliki sarana

produksi PKRT, yaitu Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara,

Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah,

NTB, Bali, dan Riau. Jumlah sarana produksi PKRT yang tersebar di 20 provinsi di

Indonesia pada tahun 2008 – 2010 dapat dilihat pada

gambar 28

.

Tahun

Sumber : Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan, Kemenkes RI Tahun 2008 – 2010

Gambar 28. Jumlah Sarana Perbekalan Kesehatan dan Rumah Tangga per Provinsi pada Tahun 2008 –2010

f)

Industri Kosmetik

Berdasarkan data cakupan sarana Industri Kosmetika di Indonesia pada tahun 2008

– 2010 terdapat 18 provinsi yang belum memiliki sarana tersebut yaitu Kepulauan Riau,

(39)

Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Selatan,

Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat dan Papua.

Gambar 29

menunjukkan cakupan jumlah sarana Industri Kosmetika yang tersebar di 15 provinsi di

Indonesia pada tahun 2008 – 2010.

Sumber : Pemutakhiran Data Ditjen Binfar dan Alkes, Kemenkes RI Tahun 2008 – 2010

Gambar 29. Jumlah Industri Kosmetika per Provinsi pada Tahun 2008 –2010

2.

Cakupan Sarana Distribusi Bidang Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Dalam rangka meningkatkan cakupan sarana pelayanan kesehatan terutama terkait

ketersediaan sarana distribusi bidang kefarmasian dan alat kesehatan terdapat beberapa

cara salah satunya dengan melihat jumlah sarana distribusi bidang kefarmasian dan alat

kesehatan. Sarana distribusi tersebut mencakup Pedagang Besar Farmasi, Apotek, Toko

Obat, Penyalur Alat Kesehatan dan Sub Penyalur Alat Kesehatan yang tersebar di 33 provinsi

di Indonesia pada periode tahun 2008 – 2010. Pada

gambar 30

dapat dilihat persentase

jumlah masing-masing sarana distribusi di bidang kefarmasian dan alat kesehatan yang

diuraikan sebagai berikut: 1) sarana distribusi paling dominan adalah Apotek sebagai

retailer

yang menguasai 51% dari total sarana, diikuti oleh Toko Obat yakni sebesar 26%; 2) sarana

PBF sebagai distributor besar/

wholesaler

memegang 9% dari pasar nasional; dan 3) sarana

Penyalur Alat Kesehatan (PAK) merupakan sarana yang sebarannya memiliki jumlah terkecil

yakni sebesar 3%.

Hal ini menunjukkan bahwa perspektif dunia usaha masih dominan memilih Apotek

sebagai jenis sarana distribusi utama yang dikembangkan. Kenyataan ini didukung oleh

(40)

apotek sebagai mitra usaha dengan sistem konsinyasi/waralaba yang lebih dikenal dengan

sistem

franchise

yang mulai banyak mengakuisisi Apotek konvensional.

Gambar 30. Grafik Cakupan Sarana Distribusi di Bidang Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tahun 2010

a)

Pedagang Besar Farmasi (PBF)

Cakupan sarana distribusi Pedagang Besar Farmasi yang berperan sebagai

distributor utama ini sudah banyak berkembang di Indonesia dan kini kian memegang

peranan penting dalam upaya memfasilitasi keterjangkauan masyarakat terhadap

pemerataan akses obat terutama obat esensial. Pedagang Besar Farmasi mempunyai

peranan besar dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan secara luas seperti

penyebaran obat – obatan dan alat kesehatan yang dibutuhkan dan diminati pasar,

tentunya dengan mempertimbangkan prinsip–prinsip ekonomi. Perkembangan jumlah

sarana PBF di Indonesia pada tahun 2008 – 2010 dapat dilihat pada

Gambar 31

yang

menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Timur memiliki jumlah PBF yang paling banyak

terutama bila dibandingkan dengan daerah lain di Pulau Jawa (DKI Jakarta, Banten, Jawa

Barat, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta). Hal ini dimungkinkan oleh karena Provinsi Jawa

Timur menjadi pusat distribusi dari PBF yang mendistribusikan obat dan perbekalan

kesehatan lainnya di regional Indonesia bagian timur sebagai upaya meminimalisir harga

(41)

Sumber : Pemutakhiran Data Ditjen Binfar dan Alkes, Kemenkes RI Tahun 2008 – 2010

Gambar 31. Jumlah Pedagang Besar Farmasi per Provinsi pada Tahun 2008 –2010

b)

Apotek

Apotek merupakan sarana distribusi yang dalam menjalankan fungsinya bersifat

dwifungsi yaitu fungsi ekonomi dan sosial. Fungsi ekonomi menuntut agar apotek

memperoleh laba untuk menjaga kelangsungan usaha sedangkan fungsi sosial adalah

untuk pemerataan distribusi dan sebagai salah satu tempat pelayanan informasi obat

kepada masyarakat. Orientasi pelayanan kefarmasian di apotek saat ini telah bergeser,

semula hanya berorientasi pada pelayanan produk (

product-oriented

) menjadi

pelayanan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (

patient-oriented

).

Jumlah apotek di Indonesia yang meningkat dari tahun ke tahun dapat dilihat pada

Gambar 32

.

(42)

c)

Toko Obat

Toko Obat juga mengalami perkembangan yang cukup pesat, walaupun banyak

yang sudah mulai beralih izin menjadi Apotek. Sebagai bagian dari sistem distribusi obat,

Toko Obat memiliki fungsi yang strategis dalam upaya pemerataan ketersediaan obat

agar obat mudah diperoleh dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat sesuai

dengan salah satu kebijakan nasional di bidang obat. Pembinaan dan pengawasan

mutlak dilakukan dalam upaya mencegah terjadinya penyalahgunaan dan kesalahan

dalam penggunaan obat. Jumlah sarana Toko Obat di Indonesia pada tahun 2008 - 2010

dapat dilihat pada

Gambar 33

. Dari grafik tersebut diketahui bahwa Provinsi Jawa Barat

memiliki jumlah Toko Obat terbanyak baik pada tahun 2008 maupun 2009 dan 2010

dimana kenaikan yang signifikan terlihat di tahun 2010. Sementara di Pulau Sumatera,

Toko Obat paling banyak terdapat di Provinsi Sumatera Utara diikuti dengan Aceh,

Sumatera Barat dan Riau. Untuk wilayah Indonesia bagian timur terlihat bahwa sebaran

Toko Obat terbanyak terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan sehingga disimpulkan bahwa

secara keseluruhan peluang untuk meningkatkan jumlah sarana distribusi berupa Toko

Obat ini masih sangat luas.

Sumber : Pemutakhiran Data Ditjen Binfar dan Alkes, Kemenkes RI Tahun 2008 - 2010

(43)

c)

Penyalur Alat Kesehatan dan Sub/Cabang Penyalur Alat Kesehatan

Kegiatan

penyaluran

alat

kesehatan

di

atur

di

dalam

Permenkes

RI

No.1191/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Penyaluran Alat Kesehatan yang merupakan

perubahan atas Permenkes RI No. 1184/Menkes/Per/X/2004 tentang Pengamanan Alat

Kesehatan dan PKRT.

Perubahan mendasar dengan keluarnya Permenkes RI No.

1191/Menkes/Per/VIII/2010 adalah dihapusnya Sub Penyalur Alat Kesehatan, sehingga

sarana penyalur alat kesehatan hanya Penyalur Alat Kesehatan (PAK), Cabang PAK, dan

Toko Alat Kesehatan. Selama masa peralihan semua Sub PAK harus menyesuaikan

dengan peraturan baru hingga paling lambat 3 (tiga) tahun sejak peraturan

tersebut diundangkan.

Sumber : Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan, Kemenkes RI Tahun 2008 – 2010

Gambar 34 a. Jumlah Sarana Penyalur Alat Kesehatan per Provinsi pada Tahun 2008 –2010

Dari grafik diatas terlihat bahwa pada saat ini sarana PAK masih terpusat di pulau

(44)

tunggal dari produsen alkes sehingga ada kecenderungan untuk memilih lokasi usaha di

DKI Jakarta yang akan mempermudah aktivitas usahanya. Dengan adanya Permenkes

No. 1191/Menkes/Per/VIII/2010 maka PAK bisa merupakan agen tunggal maupun sub

distributor dari PAK lain.

Hingga tahun 2010, terdapat 18 provinsi yang belum memiliki sarana PAK yaitu

Aceh, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu, NTB, NTT, Kalimantan Selatan,

Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo,

Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, Papua, dan Papua Barat. Kegiatan Distribusi

Alat Kesehatan di wilayah provinsi yang belum memiliki PAK dilakukan oleh Sub PAK,

Cabang PAK, dan Toko Alat Kesehatan.

Sebagaimana terlihat pada gambar

34 b,

dimana Provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur,

Jawa Barat dan Sumatera Utara memiliki peningkatan sarana yang paling tinggi

sementara Bali, NTT, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Papua memiliki kecenderungan

penurunan jumlah sarana sejak tahun 2008 hingga 2010. Penyebab menurun dan

meningkatnya populasi sebaran jumlah sarana ini kemungkinan dikarenakan faktor

keamanan seperti di Papua, prospek yang lebih menjanjikan jika sarana berdiri di

Ibukota seperti DKI Jakarta dan Jawa Timur, atau faktor lain yang tidak dapat dijelaskan

dengan pasti.

Sumber : Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan, Kemenkes RI Tahun 2008 – 2010

Gambar

Gambar 1. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatanberdasarkan Permenkes RI No
Gambar 2. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatanberdasarkan Permenkes RI No
Gambar 3. Grafik Anggaran Pusat untuk Pengadaan Obat, Perbekkes dan Vaksin
Gambar 4. Perubahan Kebijakan Harga Obat Generik yang ditetapkan melaluiKeputusan Menteri Kesehatan RI sejak tahun 2007
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Untuk mendapatkan dudukan/penyangga modul surya yang mampu menyerap energi matahari maksimal, maka penulis membuatkan dudukan kemiringan modul surya yang dapat diatur sehingga

Dalam tataran praktis, hubungan antara wartawan dan praktisi public relations dapat dilakukan dalam bentuk memberikan informasi tentang lembaga atau perusahaan

Kitab al-Durus al-Falakiyyah memuat dua macam perhitungan waktu salat, yaitu perhitungan waktu salat menggunakan rubu’ mujayyab dan daftar logaritma. Perbedaan keduanya tidak

Tujuan penelitian ini adalah : 1) identifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman usaha bibit buah, dan 2) merumuskan prioritas strategi pengembangan usaha bibit

Gaya kepemimpinan kepala desa pada Desa Sribantolo dan Margomulyo Disebut Pemimpin demokratis karena kepala Desa Sribantolo dan Margomulyo merupakan pembimbing yang

Merepresentasikan pengetahuan dari seorang pakar ke komputer dalam bentuk kaidah produksi (production rule) yang disimpan dalam basis pengetahuan (knowledge

Persamaan regresi nilai prediksi fungsi paru dari rentang tangan belum bisa dikatakan akurat untuk diaplikasikan pada anak- anak di Indonesia dengan riwayat asma

Perangkat yang digunakan untuk melakukan serangan DoS pada tugas akhir ini hanya dapat melakukan serangan sampai dengan 200 message, dan jika count yang digunakan adalah 250