• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUGAS AKHIR DESAIN DAI\I INSTALASI SOII R HOME SYSTEMSO WP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "TUGAS AKHIR DESAIN DAI\I INSTALASI SOII R HOME SYSTEMSO WP"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

DESAIN DAN INSTALASI SOLAR HOME SYSTEM 50 Wp

TUGAS AKHIR

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik

Jurusan Teknik Mesin

Disusun Oleh:

YOHANES ERWIN SUSANTO NIM : 035214045

PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2009

(2)

DESIGN AND INSTALLATION OF SOLAR HOME SYSTEM 50 Wp

FINAL PROJECT

Presented as Partial of the Requirements To Obtain the Sarjana Teknik Degree

In Mechanical Engineering

By :

Yohanes Erwin Susanto Student Number : 035214045

MECHANICAL ENGINEERING STUDY PROGRAM SCIENCE AND TECHNOLOGY FACULTY

SANATA DHARMA UNIVERSITY YOGYAKARTA

2009

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

Intisari

Energi matahari merupakan salah satu sumber energi alternatif yang saat ini banyak digunakan. Salah satu bentuk aplikasinya adalah Solar Home System

(SHS). Perancangan ini dimaksudkan untuk memperoleh penyangga SHS yang mampu memberikan daya penyerapan yang efektif atau maksimal, dan juga memberikan kemudahan-kemudahan dalam perawatan, perbaikan, dan pengoperasian.

Rangka penyangga modul surya terbuat dari plat siku dan pipa baja lunak. Ukuran plat siku yang digunakan tinggi dan lebar 2,9 cm dan tebal 2,4 mm, sedangkan untuk pipa baja lunak digunakan 2 tipe ukuran. Untuk pipa diameter kecil, diameter luarnya 2,7 cm, diameter dalam 2,1 cm, dan ketebalan 2,5 mm. Ukuran pipa diameter besar, diameter luar 3,4 cm, diameter dalam 2,7 cm dan ketebalan 3,4 mm.

Hasil perancangan ini adalah sebuah rangka penyangga panel modul surya yang disesuaikan dengan tempat pemasangannya yaitu di lantai 3 gedung sebelah utara kampus STTL Gedongkuning Yogyakarta sehingga mampu memberikan kemudahan dalam pengoperasian, perbaikan, dan perawatan. Selain itu desain dudukan panel sel surya yang mampu memberikan daya penyerapan yang baik bila kemiringan dudukan panel sel surya 25° menghadap utara.

(8)

Abstract

Solar energy is one alternative energy that is currently widely used. One application from this energy is a Solar Home System (SHS). The final project is intended to obtain SHS buffer capable of providing effective absorption power, and also provides easiness in maintenance, repair, and operation.

The structure of solar modules was made from L steel and pipe steel. The size of L steel are 2.9 cm height and wide, and 2.4 mm thickness, while for steel pipes used 2 types of measures. For small diameter pipe, the outer diameter of 2.7 cm, 2.1 cm in diameter, and 2.5 mm thickness. Large diameter pipe size, outside diameter 3.4 cm, 2.7 cm in diameter and 3.4 mm thickness.

The results of this design is the structure of solar modules it will be used on the third floor of STTL campus Gedongkuning Yogyakarta able to facilitate the operation, repair, and maintenance. The highest efficiency was reached in 25° inclination directed to the north.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat yang telah dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir dengan judul ”DESAIN DAN INSTALASI SOLAR HOME SYSTEM 50 Wp”.

Penulisan laporan ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan akademis di Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Romo Dr. Ir. Paulus Wiryono Priyotamtama S.J. M.Sc. selaku rektor Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Bapak Yosef Agung Cahyanta S.T.,M.T. selaku dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Bapak Budi Sugiharto S.T.,M.T. sebagai ketua program studi Teknik Mesin.

4. Bapak Budi Setyahandana S.T.,M.T. selaku pembimbing satu Tugas akhir. 5. Bapak Prof. Ir. Yohannes Sardjono APU selaku pembimbing dua Tugas

akhir.

6. Dosen – dosen Prodi Teknik Mesin Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

(10)
(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………...i

HALAMAN PERSETUJUAN……….iii

HALAMAN PENGESAHAN………...iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………...v

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA………...vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah……….1

1.2Tujuan Perancangan………...2

1.3Manfaat Perancangan……….2

1.4Batasan Masalah……….3

1.5Sistematika Penulisan……….3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Tenaga Surya……….5

2.2 Sel Surya………6

2.3 Prinsip Kerja Sel Surya………...7

2.4 Solar Home System………....8

2.5 Tahapan Instalasi Solar Home System……….10

2.6 Jenis-Jenis Solar Electric System……….21

(12)

2.7 Dasar Desain Perancangan………...26

2.8 Baja 2.8.1 Tegangan Regangan………....26

2.8.2 Hukum Hooke……….29

2.8.3 Modulus Elastisitas……….29

2.8.4 Modulus Geser atau Modulus Kekakuan (G)………..31

2.8.5 Hubungan Antara Modulus Young dan Modulus Kekakuan…..31

2.8.6 Poisson Ratio (µ)………...32

2.8.7 Kombinasi Tegangan………...32

BAB III METODE PERANCANGAN 3.1 Diagram Alir Perancangan………...33

3.2 Deskripsi Bahan dan Alat………...34

3.3 Gambar dan Keterangan………...36

3.4 Perhitungan Kekuatan Rangka……….38

3.5 Fungsi Rangka Penyangga………...…40

3.6 Proses Desain dan Instalasi 3.6.1 Langkah Awal Pelaksanaan………....40

3.6.2 Tahapan Rancangan Penyangga………..40

3.6.3 Tahapan Persiapan Bahan dan Alat………...41

3.6.4 Tahap Akhir Instalasi……….…….42

3.6.5 Pemeriksaan Akhir Instalasi………....45

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Penyangga Modul Surya………..46

4.2 Kemudahan Pengoperasian………..47

4.2.1 Kemudahan Perawatan………..……..…47

4.2.2 Kemudahan Perbaikan………...………..…47

4.2.3 Kekuatan Rangka Penyangga………..………48

(13)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan………..……….49 5.2 Saran………...49

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A : Gambar Penyangga Dalam AutoCAD 2008

(15)

DAFTAR GAMBAR

BAB II

Gambar 2.1. : Struktur Sel Surya Silikon Sambungan p-n………...7

Gambar 2.2. : Cara Kerja Sel Surya Silikon………....8

Gambar 2.3. : Sistem Penerangan Rumah………9

Gambar 2.4. : Hydrometer dan Cara Pembacaannya………...18

Gambar 2.5. : Sistem Tenaga Surya Fotovoltaik Tunggal Sederhana (Small Stand Alone Solar PV System)...21

Gambar 2.6. : Diagram Alir dari Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Fotovoltaik (Grid Connected Solar PV System)...22

Gambar 2.7. : Diagram Alir dari Kombinasi Sistem Pembangkit listrik Tenaga Surya dengan Generator (Hybrid Solar Electric AndGenerator Combinating System)………...23

Gambar 2.8. : Sistem Tenaga Surya Fotovoltaik Pemasangan di Atas Atap (Roof Mounted Solar PV System)...23

Gambar 2.9 : Sistem Tenaga Surya Fotovoltaik Integrasi Atap (Roof Integrated Solar PV System)………...24

Gambar 2.10 : Sistem Tenaga Surya Fotovoltaik pemasangan Tiang Tunggal (Pole Mounted Solar PV System)...24

Gambar 2.11 : Sistem Tenaga Surya Pemasangan di Atas Tanah (Ground Mounted Solar PV System)………...25

Gambar 2.12 : Diagram Alir dari Sistem Tenaga Surya Fotovoltaik Tunggal Lengkap (Complete Stand – Alone Solar System)...25

Gambar 2.13 : Diagram Tegangan Regangan...27

Gambar 2.14 : Digram Tegangan Regangan Beberapa Logam dan Karet...28

BAB III Gambar 3.1. : Skema Penyangga Modul Fotovoltaik...36

Gambar 3.2. : Membuat Dudukan Rangka Modul...42

Gambar 3.3. : Membuat Dudukan Kotak Baterai...43

(16)

Gambar 3.4. : Pemasangan Alat Pengatur Energi Baterai (BCR)...43 Gambar 3.5. : Pemasangan Kabel BCR dengan Beban dan Klem Kabel...44

(17)

DAFTAR TABEL

BAB II

Tabel 2.1. : Data Instalasi………..11

Tabel 2.2. : Kondisi kapasitas baterai (SOC), Spesific Gravity (SG) dan tegangan baterai asam timbal keadaan tanpa pembebanan/pengisian dengan SG awal elektolit 1.25-1.26...17

Tabel 2.3. : Pemeriksaan Akhir...20

Tabel 2.4. : Sifat-sifat bahan Teknik pada 20º C...30

Tabel 2.5. : Harga E dan G...31

Tabel 2.6. : Poisson Ratio...32

BAB III Tabel 3.1. : Komponen Tambahan Instalasi SHS...34

Tabel 3.2. : Peralatan Instalasi SHS...35

(18)

DAFTAR PERSAMAAN

BAB II

Persamaan 2.1 : Tegangan………...27

Persamaan 2.2 : Regangan………...27

Persamaan 2.3 : Hukum Hooke………...29

Persamaan 2.4 : Modulus Kekakuan (hubungan dengan Modulus Geser)...31

Persamaan 2.5 : Modulus Kekakuan (hubungan dengan Modulus Young)…31 Persamaan 2.6 : Poisson Ratio………...32

Persamaan 2.7 : Tegangan Tarik Maksimum………..32

Persamaan 2.8 : Tegangan Tekan Maksimum……….32

Persamaan 2.9 : Tegangan Geser Maksimum………..32

(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kebutuhan akan energi yang berasal dari sumber daya alam saat ini semakin meningkat, sedangkan sumber daya alam semakin lama makin berkurang. Beberapa teknologi dikembangkan sebagai sumber energi alternatif untuk mengatasi kebutuhan energi dimasa depan.

Sumber energi alternatif adalah sumber energi yang dapat diperbaharui. Salah satunya adalah solar home system (SHS). Teknologi yang memanfaatkan energi matahari untuk diubah menjadi listrik.

Sistem ini digunakan untuk sistem listrik di pedesaan. Dalam penggunaan SHS biasanya ditempatkan diatap rumah sehingga dapat memperoleh radiasi matahari secara langsung tanpa ada halangan. Untuk memperoleh keluaran yang maksimal dari SHS, modul surya harus dipasang miring dengan sudut minimal 15º yang merupakan standar pemasangan SHS. Untuk pemasangan SHS, modul fotovoltaik dengan komponen lain harus memiliki jarak yang dekat agar keluaran yang didapat bisa maksimal.

Dalam penelitian ini penulis merancang dudukan/penyangga modul fotovoltaik yang bisa diubah sudut kemiringan modul surya dengan sudut maksimal 60º. Dudukan yang dibuat dari bahan pipa besi dan plat siku yang banyak ditemui di toko-toko bangunan maupun bengkel las. Dalam pemasangan SHS penulis membuat variasi jarak beban yaitu 0,5 m, 3 m dan 5 m juga jarak

(20)

2

modul surya dengan baterai 4 m. Beban yang dipakai adalah 3 buah lampu TL. Modul surya ini dirancang dan dipasang di lantai 3 (gedung sebelah utara) kampus STTL Gedongkuning Yogyakarta.

1.2 Tujuan Perancangan

Adapun tujuan dari perancangan adalah sebagai berikut :

1. Mendesain dudukan modul surya yang mampu memberikan daya penyerapan yang baik.

2. Mendesain dudukan dan komponen-komponen modul surya yang mudah dijangkau sehingga memberikan kemudahan dalam pengoperasian, perbaikan dan perawatan.

1.3 Manfaat Perancangan

Perancangan yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain :

1. Dapat dipergunakan sebagai referensi pada perancangan selanjutnya. 2. Memberi masukan atau data untuk pengembangan desain dan instalasi

(21)

3

1.4 Batasan Masalah

Perancangan ini dibatasi pada lingkup :

• Bahan dudukan/penyangga modul surya dari pipa dan plat besi. • Hanya satu perancangan yang dibuat.

• Perancangan yang dibuat mampu mengakomodasi perubahan kemiringan

modul surya setiap 5º dan sudut maksimal yang digunakan 60º.

• Perancangan dan instalasi dibuat dan disesuaikan dengan tempat

pemasangan modul surya di lantai 3 gedung sebelah utara kampus STTL Gedongkuning Yogyakarta.

• Dudukan/penyangga modul surya didesain untuk mengakomodasi massa

modul surya seberat 5 Kg.

• Beban yang dipakai adalah 3 buah lampu TL dan variasi jarak yang

dipakai adalah 0.5 m, 3 m dan 5 m.

1.5 Sistematika Penulisan

Penulisan Tugas Akhir ini akan dibagi dalam beberapa bagian, yaitu :

1. Bab I membahas mengenai latar belakang, tujuan, manfaat perancangan, batasan masalah dan sistematika penulisan.

(22)

4

3. Bab III membahas mengenai metode perancangan yang berisi skema perancangan, bahan yang digunakan, alat-alat yang digunakan.

4. Bab IV membahas mengenai hasil perancangan dan pembahasan yang berisi analisa data.

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Potensi Tenaga Surya

Sinar matahari yang tiba di permukaan bumi mempunyai sifat sebagai

gelombang dan partikel energi (foton), dan radiasi matahari yang merupakan

sejumlah foton yang dipancarkan per satuan luas pada waktu tertentu, dengan

mudah diubah menjadi energi panas, energi kimiawi, dan energi listrik melalui

konversi fotovoltaik oleh sel surya.

Penyinaran matahari maksimum yaitu radiasi matahari yang jatuh

langsung pada suatu permukaan bidang (daya per satuan luas) tegak lurus

menghadap matahari dapat terjadi pada daerah-daerah yang dekat dengan

khatulistiwa di permukaan bumi seperti di Indonesia, besaran ini biasa diukur

dalam Watt permeter persegi (W/m2), sedangkan ukuran dari energi surya yang

diterima didaerah tertentu pada suatu perioda waktu tertentu dan merupakan

jumlah dari penyinaran matahari dalam sehari yang biasa disebut insolasi diukur

dalam satuan kiloWatt jam permeter persegi perhari (kWh/m2 per hari).

Energi dari radiasi matahari yang tiba dipermukaan atmosfir dapat

mencapai harga konstanta surya sebesar 1350 W/m2 dan hal ini akan berlangsung

terus menerus sepanjang tahun. Perlu diketahui bahwa tidak semua energi tersebut

dapat mencapai permukaan bumi, ada sebagian energi yang diserap dan

dipantulkan oleh atmosfir, sehingga ketika mencapai permukaan bumi energi

(24)

6

maksimumnya hanya tinggal 1000W/m2 yang umumnya terjadi ketika langit

sedang cerah.

Radiasi matahari yang jatuh di permukaan bumi dapat dibagi atas 2 jenis

yaitu :

1. Radiasi langsung dari matahari yang biasanya terjadi ketika langit cerah.

2. Radiasi tidak langsung ( diffuse) yang biasanya terjadi ketika langit

tertutup awan atau debu yang menyerap dan menyebarkan radiasi matahari

sehingga mengurangi intensitasnya ketika mencapai bumi.

2.2 Sel Surya

Sel surya merupakan perangkat semikonduktor yang terdiri dari diode tipe

p-n (p-n junction) yang mampu mengubah energi cahaya (foton) menjadi energi

listrik. Perubahan energi ini biasa disebut dengan efek fotovoltaik. Efek ini

ditemukan oleh Becquerel pada tahun 1839 pada saat Alexandre-Edmond

Becquerel mendeteksi adanya tegangan foto ketika sinar matahari mengenai

elektroda pada larutan elektrolit. Efek fotovoltaik di observasi dalam selenium

padat dan produksi pertama dari selenium sel pada tahun 1877. Sel surya pertama

kali dijelaskan oleh Charles Fritts pada 1883 yang melapisi semikonduktor

selenium dengan lapisan emas yang sangat tipis untuk membentuk junction. Era

modern dalam pembuatan sel surya dimulai pada 1954 pada saat Bell Laboratories

bereksperimen dengan semikonduktor dan menemukan bahwa silicon yang

didoping dengan beberapa bahan memiliki sensitivitas yang sangat tinggi terhadap

(25)

7

surya sekitar 82 % dan efisiensi lab dan komersil berturut-turut yaitu 24,7% dan

15%.

2.3 Prinsip Kerja Sel Surya

Prinsip kerja sel surya silikon adalah berdasarkan konsep semikonduktir

p-n jup-nctiop-n. Sel terdiri dari lapisap-n semikop-nduktor dopip-ng-p-n dap-n dopip-ng-p yap-ng

membentuk p-n junction, lapisan anti refleksi, dan substrat logam sebagai tempat

mengalirnya arus dari lapisan tipe-n (elektron) dan tipe-p (hole) seperti pada

Gambar 2.1.

Keterangan :

a.Kolektor arus

b.Lapisan logam bagias atas

c.Lapisan anti refleksi

d. Sambungan pn

e.Substrat logam

Gambar 2.1. Struktur Sel Surya Silikon Sambungan p-n.

Semikonduktor tipe-n bisa didapatkan dengan mendoping silikon dengan

unsur dari golongan V sehingga terdapat kelebihan elektron valensi dibanding

atom sekitar sedangkan semikonduktor tipe-p diperoleh dengan doping oleh

golongan III sehingga elektron valensinya kurang satu dari atom sekitar. Daerah

yang ditinggalkan elektron ini disebut dengan hole. Ketika kedua material tersebut

mengalami kontak maka kelebihan elektron dari tipe-n akan berdifusi ke tipe-p

sehingga area doping-n akan bermuatan positif sedangkan area doping-p akan

(26)

8

elektron kembali ke daerah-n dan hole ke daerah-p. Pada proses ini terbentuklah

p-n junction.

Ketika junction disinari, foton yang mempunyai energi sama atau lebih

besar dari lebar pita energi material tersebut akan menyebabkan eksitasi elektron

dari pita valensi ke pita konduksi dan akan meninggalkan hole pada pita valensi.

Elektron dan hole ini dapat bergerak dalam material sehingga menghasilkan

pasangan elektron-hole. Apabila ditempatkan hambatan pada terminal sel surya,

maka elektron dari area-n akan kembali ke area-p sehingga menyebabkan

perbedaan potensial dan arus akan mengalir. Skema cara kerja sel surya silikon

ditunjukkan pada Gambar 2.2.

Keterangan :

a.Cahaya sebagian diterima, diteruskan, dipantulkan. b.Elektroda permukaan (-) c.Lapisan anti refleksi

d.Silikon tipe n (P+)

e.Silikon tipe p (B-)

f.Elektroda lapisan bawah (+)

Gambar 2.2. Cara Kerja Sel Surya Silikon.

2.4 Solar Home System

Pembangkit listrik yang mempergunakan konversi fotovoltaik dalam

memanfaatkan energi surya atau lebih umum dikenal sebagai Sistem Pembangkit

Listrik Tenaga Surya (PLTS). PLTS yang cukup besar penerapannya saat ini di

Indonesia adalah sistem penerangan rumah desentralisasi, atau biasa dikenal

(27)

9

disingkat SHS. SHS termasuk salah satu dari aplikasi sistem PLTS untuk

pelistrikan desa sebagai sistem penerangan rumah secara individual atau

desentralisasi yang terdiri dari komponen-komponen utama yaitu:

1. Modul fotovoltaik sebagai catudaya yang menghasilkan energi listrik dari

masukan sejumlah energi matahari.

2. Baterai sebagai penyimpan dan pengkondisian energi.

3. Alat pengatur energi baterai (BCR) sebagai alat pengatur otomatis

(menjaga kehandalan sistem).

4. Beban listrik seperti lampu TL (DC), saklar radio atau televisi.

Secara garis besar rangkaiannya dapat dilihat pada Gambar 2.3. Sistem

Penerangan Rumah.

Keterangan :.

a.Modul surya .

b. Alat pengatur energy baterai

(BCR).

h.Inverter merubah arus DC jadi AC.

Gambar 2.3. Sistem Penerangan Rumah.

Kemampuan energi yang dapat dibangkitkan oleh sebuah modul

fotovoltaik pada SHS sangat tergantung dari kondisi radiasi matahari yaitu

(28)

10

diatas dan nilai ekonomis dari sistem ini, BPP Teknologi merekomendasikan

bahwa untuk SHS di pedesaan minimal dibutuhkan:

¾ 1 Modul fotovoltaik kapasitas 50 Wp.

¾ 1 Baterai 70 Ah, 12 V.

¾ 1 Alat pengatur energi baterai (BCR), 6 A, 12 V.

¾ 3 Lampu TL beserta inverter 12 V DC, total daya 18 W.

¾ 1 Stop kontak untuk televisi atau radio/tape.

2.5 Tahapan Instalasi Solar Home System

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan tahapan

instalasi SHS yaitu :

f. Mempersiapkan peralatan dan bahan-bahan yang diperlukan.

g. Melakukan pengecekan situasi rumah yaitu: memeriksa kedudukan dan

posisi kuda-kuda atap rumah untuk memilih peletakan struktur penyangga

agar mendapatkan titik yang paling efisien dilihat dari jarak bentangan

kabel menuju beban dan tidak menyebabkan kebocoran pada penempatan

lubah di atap. Selain itu, modul fotovoltaik juga tidak mengalami

bayangan sepanjang siang hari yang mungkin ditimbulkan oleh

pohon/bangunan lain yang terletak di sekitar rumah.

h. Agar tidak terjadi kesalahan pada perlakuan atau pemasangan awal dari

baterai yang dapat menyebabkan kerusakan ataupun berkurangnya usia

teknis, maka perlu dipersiapkan dan diperhatikan beberapa ketentuan

(29)

11

dari segi merek maupun dari segi kapasitas nominal, memeriksa kondisi

fisik kontainer baterai, memeriksa kondisi cairan di dalam baterai (kering

tidak terisi, kering terisi atau basah terisi), dan memeriksa SG ( specific

gravity) larutan elektrolit yang akan dipakai ( SG 1.25 atau 1.26).

i. Mempersiapkan dan memeriksa kabel yang akan dipakai sesuai dengan

yang telah ditetapkan, serta menyeragamkan ketentuan pemakaian warna

kabel, agar ada kesamaan dalam pemasangan seperti contohnya warna

merah untuk koneksi polaritas (+) dan hitam untuk polaritas (-). Selain itu

perlu untuk mempersiapkan dan menggunakan sepatu kabel atau terminal

kabel pada setiap pemasangan dan penyambungan kabel.

j. Memeriksa kondisi peralatan SHS yang akan digunakan seperti pada tabel

berikut :

(30)

12

k. Menyiapkan kursus/pelatihan dan petunjuk mengenai SHS untuk para

pemakai maupun pengurus/pengelola system.

Agar mempercepat dan mempermudah dalam pelaksanaanya ada beberapa

tahapan yang perlu dilakukan, yaitu:

I. Pemasangan Modul Fotovoltaik dan Struktur Penyangga

¾ Menentukan letak tiang penyangga dan sesuaikan dengan ukuran panjang

tiang yang ada.

¾ Mengikat tiang penyangga dengan kuda-kuda atap pada titik yang telah

ditentukan dengan menggunakan klem pengikat sehingga kedudukannya

kokoh.

¾ Merakit modul fotovoltaik pada bingkai penyangganya, dan pasangkan ke

tiang penyangga.

¾ Mengarahkan modul fotovoltaik sehingga menghadap ke arah yang paling

optimum mendapat radiasi matahari.

¾ Menyambungkan kabel dari terminal kabel (junction box) di modul

fotovoltaik ke BCR dan masukkan kabel tersebut ke dalam tiang

penyangga (lihat cara menyambungkan jaringan kabel di II. Pemasangan

Jaringan Kabel).

¾ Menutup lubang tempat pemasukan tiang penyangga pada atap dengan

(31)

13

II. Pemasangan Jaringan Kabel

¾ Memasang kabel di modul fotovoltaik untuk polaritas (+) dengan kabel

warna merah dan polaritas (-) dengan kabel warna hitam. Kabel yang

keluar dari junction box jangan menggantung panjang, dan seluruhnya

terbungkus isolasi/lapisan tahan cuaca. Masukkan jalur kabel tersebut ke

dalam tiang penyangga dan usahakan tidak ada sambungan kabel.

¾ Memasang kabel-kabel dari BCR yang menghubungkan seluruh lampu

melewati plafon rumah dengan rapi, dan kemudian sambungkan dengan

saklarnya, selanjutnya pasanglah stop kontak beserta kabelnya pada tempat

yang sesuai dan usahakan jarak antar paku/klem pada rank plafon maupun

pada dinding kurang dari 50 cm.

¾ Menyambung kabel-kabel ke terminal BCR sesuai dengan aturan seperti

pada pemasangan BCR sesuai dengan aturan seperti pada pemasangan

BCR di IV. Pemasangan Alat Pengatur Energi Baterai.

III. Pemasangan Baterai dan Kotak Baterai

¾ Menentukan letak kotak baterai dan pasang penyangganya hingga kokoh,

usahakan agar letaknya di tempat yang mempunyai sirkulasi udara yang

baik dan tidak terjangkau oleh anak kecil.

¾ Seandainya baterai yang diterima dalam keadaan kering dan belum diisi

dengan larutan elektrolit, buka tutup ventilasi (6 buah) dan isi semua sel

(32)

14

¾ Dalam pengisian awal baterai (charging) sampai penuh yaitu ketika arus

pengisian dari catudaya otomatis DC power supply 20 A ke baterai

mencapai kurang dari 0.5 A. Hal ini menyebabkan gelembung gas yang

cukup banyak di dalam larutan elektrolit dan tegangan baterai mencapai

sekitar 14.0 V. Jika catu daya tersebut ternyata tidak tersedia, maka

pengisian awal dapat dilakukan dengan menggunakan modul fotovoltaik

setelah sistem terpasang lengkap selama kurang lebih 3 hari tanpa beban

lampu atau beban lainnya dihidupkan.

¾ Dilakukan pemeriksaan terhadap SG baterai dan tegangan baterai,

sehingga dapat dipastikan bahwa baterai terpasang betul-betul dalam

kondisi penuh dan dalam kondisi baik.

¾ Memasang terminal kabel di kedua ujung kutub baterai.

¾ Menyiapkan kabel untuk hubungan dari baterai ke BCR dengan tanpa ada

sambungan.

IV. Pemasangan Alat Pengatur Energi Baterai (BCR)

Setelah BCR terpasang dengan kokoh ditembok atau kotaknya yang

diusahakan tidak terlalu jauh dari baterai dan modul fotovoltaik, dan setelah

semua instalasi selesai dipasang, baru dilakukan koneksi/penyambungan semua

kabel yang menuju BCR secara urut yaitu:

¾ Menhghubungkan kabel baterai ke terminal baterai di BCR, dan perlu

perhatikan polaritas kabel (+) untuk terminal (+) dan kabel (-) untuk

(33)

15

¾ menghubungkan kabel modul fotovoltaik ke terminal PV di BCR, dan

perhatikan polaritasnya

¾ menghubungkan kabel dari kotak distribusi beban ke terminal beban di

BCR, dan perhatikan polaritasnya

¾ Memeriksa sekali lagi bahwa semua penyambungan kabel telah terkoneksi

dengan baik dan kuat dan setiap ujung kabel telah menggunakan sepatu

kabel

V. Pemeriksaan Akhir

Pemeriksaan akhir dilakukan untuk mengetahui apakah

komponen-komponen sistem berfungsi dengan baik sesuai dengan spesifikasi teknis yang

terdapat pada pada rujukan teknis dari modul fotovoltaik, baterai maupun BCR.

Untuk dapat mengisi lembaran kerja pemeriksaan akhir seperti yang tercantum

pada Tabel 2.2. Pemeriksaan Akhir, maka disusun prosedur pemeriksaan akhir

sebagai berikut:

1) Pengukuran Kinerja Modul Fotovoltaik

Kinerja modul fotovoltaik mencakup pengukuran arus hubungan singkat

(Isc) dan pengukuran tegangan terbuka (Voc) yang diukur pada saat sinar

matahari bersinar terang tanpa terhalang awan.

Pengukuran arus hubungan singkat dilakukan dengan melepaskan kabel

modul fotovoltaik di terminal BCR, dan menghubungkan kedua ujung kabel

(34)

16

menunjukkan harga arus hubungan singkat (Isc) dari modul fotovoltaik tersebut.

Pengukuran tegangan terbuka (Voc) dilakukan hampir sama dengan

pengukuran Isc yaitu menggantikan amperemeter dengan voltmeter dan

menghubungkannya pada kedua ujung kabel yang terbuka. Perlu ditambahkan

bahwa pada pengukuran pencatatan kedua hasil pengukuran tersebut di atas

dilakukan bersamaan dengan pengukuran radiasi matahari yang diukur dengan

piranometer. Jika hasil pengukuran Isc dan Voc modul fotovoltaik serta radiasi

matahari tersebut di konversikan secara linier ke harga radiasi 1000 W/m2 dan

kemudian membandingkannya dengan spesifikasi teknis pada data rujukan modul

fotovoltaik dan hasilnya tidak menyimpan lebih besar dari 5%, maka kondisi

modul fotovoltaik tersebut masih baik.

Untuk memeriksa arus dan tegangan pengisian dari modul fotovoltaik ke

baterai, maka hubungkan voltmeter secara paralel dengan modul fotovoltaik

(hubungkan kabel merah modul fotovoltaik (+) dengan kabel positif voltmeter (+)

dan kabel hitam modul fotovoltaik (-) dengan kabel negatif/com (-) voltmeter) dan

hubungkan amperemeter secara seri dengan modul fotovoltaik (hubungkan kabel

merah modul fotovoltaik (+) dengan kabel (+) amperemeter dengan terminal kabel

PV (+) di BCR, dan kabel hitam modul fotovoltaik (-) dengan terminal kabel PV

(-) di BCR). Kemudian ukur dan catat tegangan dan arusnya untuk beberapa kali

pengukuran sehingga mendapatkan suatu harga yang maksimum. Jika harga

tegangan maksimum menunjukkan lebih kecil dari 13.2 V, dan harga arus

pengisian lebih besar dari 0.8 Isc modul fotovoltaik, maka pengisian dapat

(35)

17

2) Pengukuran Kinerja Baterai

Tabel 2.2. Kondisi kapasitas baterai (SOC), Spesific Gravity (SG) dan tegangan

baterai asam timbal keadaan tanpa pembebanan/pengisian dengan SG

awal elektolit 1.25-1.26

Kondisi SOC Spesific Gravity Tegangan 12 V

Kondisi penuh 1.265 12.70

Kapasitas 75% 1.225 12.60

Kapasitas 50% 1.190 12.45

Kapasitas 25% 1.155 12.20

Kondisi kosong 1.120 11.70

Dengan asumsi bahwa terdapat hubungan yang linier antara SG dari

elektrolit baterai dengan tegangan terbuka baterai seperti terlihat pada Tabel 2.2.

diatas, maka status kapasitas baterai pada saat pengukuran dapat diketahui.

Adapun prosedur pengukurannya adalah sebagai berikut:

a) Untuk mengamankan BCR terlebih dahulu lepaskan kabel modul

fotovoltaik di terminal BCR, kemudian kabel baterai di

terminal/kutub-kutub baterai.

b) Agar mendapatkan hasil yang baik, maka tunggu satu sampai tiga jam

kemudian buka ke enam buah tutup ventilasinya dan ukur SG larutan

elektrolit baterai dari masing-masing selnya menggunakan hydrometer

seperti pada Gambar 2.4. Hydrometer dan cara pembacaanya.

c) Mengukur tegangan baterai dengan voltmeter yang dapat memberikan

(36)

18

d) Jika perlu lakukan pengukuran tersebut di atas beberapa kali untuk

mendapatkan harga yang maksimum.

Keterangan :

a.Kapasitas baterai 100%

b.Kapasitas baterai 25%

c.Cara mengukur harga specific

gravity(SG) dengan hydrometer,

untuk mengetahui kapasitas

baterai.

Gambar 2.4. Hydrometer dan Cara Pembacaannya

3) Pemeriksaan Kinerja BCR

Pemeriksaan kinerja BCR dilakukan dengan melihat besarnya tegangan di

masing-masing terminal, tegangan jatuh antara terminal-terminalnya, kemampuan

BCR terhadap variasi beban, dan pengaruh hubungan singkat di terminal beban.

Pengukuran tegangan pada ketiga terminal BCR dilakukan dengan

menggunakan voltmeter pada saat tanpa beban di siang hari. Jika tegangan di

terminal modul fotovoltaik (PV) lebih besar dari tegangan di terminal baterai dan

juga lebih besar dari tegangan di terminal beban, maka BCR sudah berfungsi

dengan baik

Untuk melihat mutu dan kualitas BCR yang digunakan, maka perlu diukur

tegangan jatuh PV-baterai atau selisih antara tegangan terminal PV (-) dan

(37)

19

menggunakan voltmeter. Jika tegangan jatuh ini lebih kecil dari 0.6 V, maka BCR

tersebut cukup baik. Selain itu perlu juga dilihat tegangan jatuh baterai-beban (-)

dengan terminal baterai (+) dan tegangan terminal beban (+) yang dilakukan pada

saat arus beban sekitar 1A atau dua buah lampu TL dinyalakan. Jika tegangan

jatuh ini lebih kecil dari 70 mV per ampere beban, maka BCR tersebut cukup baik

Untuk melihat kemampuan maksimum dari BCR, maka hidupkan semua

beban bersamaan, jika kapasitas BCR sesuai dengan spesifikasi teknisnya (6A),

maka tidak akan terjadi pemutusan beban oleh BCR.

Untuk melihat kemampuan BCR dalam mengatasi terjadinya hubungan

singkat, maka hubungkan terminal (+) dengan (-) pada terminal beban dengan

memakai kabel yang sesuai, jika proteksi hubungan singkat bekerja dengan baik,

maka BCR akan segera berfungsi kembali setelah terjadi pemutusan beban oleh

BCR.

Pada prinsipnya setiap BCR harus mempunyai blocking diode, untuk

melihat fungsinya dapat dilakukan dengan cara melepaskan kabel dari modul

fotovoltaik di terminal BCR dan kemudian menghubungkan amperemeter di

kedua ujung terminal tersebut, jika arus yang mengalir lebih kecil dari 4mA, maka

berarti blocking diode di BCR masib berfungsi dengan baik.

Setelah selesai pelaksanaan instalasi sebaiknya segera dilengkapi data-data

instalasi pada tabel 2.1 dan gambar instalaturnya serta periksa kembali semua

(38)

20

(39)

21

2.6 Jenis-Jenis Solar Electric System

Dalam pemasangan modul surya ada beberapa tipe-tipe pemasangan dan

penggabungan dengan energi alternatif lainnya atau dengan tenaga generator,

yaitu sebagai berikut :

1. Sistem Tenaga Surya Fotovoltaik Tunggal Sederhana (Small Stand Alone Solar PV System)

Jenis instalasi ini contohnya seperti pemasangan yang penulis pakai.

Karena hanya ada 1 modul surya yang digunakan. Sistem pada instalasi ini

ditunjukkan seperti pada Gambar 2.5. Diagram Alir dari Sistem Tenaga

Surya Fotovoltaik Sederhana Tunggal (Small Stand Alone Solar PV

System).

(40)

22

Sederhana (Small Stand Alone Solar PV System).

2. Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Fotovoltaik (Grid Connected

Solar PV System)

Sistem ini menghasilkan daya listrik yang besar karena digunakan

sebagai listrik di rumah. Sistem instalasi ini ditunjukkan seperti pada

Gambar 2.6. Diagram Alir dari Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya

Fotovoltaik (Grid Connected Solar PV System).

(41)

23

3. Kombinasi Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya dan Generator

(Hybrid Solar Electric And Generator Combinating System)

Jenis sistem ini dikenal sebagai Grid Connected Hybrid Generation

System atau Hybrid Solar Electric And Generator Combinating System.

Instalasi tipe ini merupakan gabungan antara modul fotovoltaik (PV) dan

generator. Dapat dilihat seperti pada gambar 2.7dibawah ini.

Gambar 2.7. Diagram Alir dari Kombinasi Sistem Pembangkit listrik Tenaga Surya dengan Generator (Hybrid Solar Electric AndGenerator Combinating System).

4. Sistem Tenaga Surya Fotovoltaik Pemasangan Di Atap (Roof Mounted

Solar PV System)

Keterangan :

Sistem tenaga surya fotovoltaik pemasangan di atap yang digunakan sebagai salah satu sumber listrik seperti gambar 2.8 disebelah kiri.

(42)

24

5. Sistem Tenaga Surya Fotovoltaik Integrasi Atap (Roof Integrated Solar

PV System)

Keterangan :

Sistem tenaga surya fotovoltaik

integrasi atap (berfungsi sebagai

atap) yang digunakan pada rumah

yang ditunjukkan pada gambar 2.9

disebelah kiri.

Gambar 2.9. Sistem Tenaga Surya Fotovoltaik Integrasi Atap (Roof Integrated Solar PV System).

6. Sistem Tenaga Surya Fotovoltaik pemasangan Tiang tunggal (Pole

Mounted Solar PV System)

Sistem tenaga surya fotovoltaik tipe ini biasa digunakan di daerah kutub

untuk menghindari penumpukan salju diatas panel surya dan agar mudah

dibersihkan dari salju seperti yang ditunjukan pada gambar 2.10 dibawah ini.

(43)

25

7. Sistem Tenaga Surya Fotovoltaik Pemasangan di Atas Tanah (Ground

Mounted Solar PV System)

Keterangan :

Sistem ini digunakan untuk

didaerah gurun, untuk

menghindari dari panas tanah

dan badai gurun jg agar

mudah dibersihkan seperti

yang ditunjukkan gambar

2.11 disebelah kiri.

Gambar 2.11. Sistem Tenaga Surya Pemasangan di Atas Tanah (Ground Mounted Solar PV System).

8. Sistem Tenaga Surya Fotovoltaik Tunggal Lengkap (Complete Stand –

Alone Solar System)

(44)

26

2.7 Dasar Desain Perancangan

Dasar perancangan solar home system pada penelitian ini mengarah pada

fungsi dari dudukan/penyangga modul surya yang mampu ditempatkan di kampus

Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan Yogyakarta di gedung sebelah utara lantai 3.

Fungsi dari dudukan/penyangga modul surya ini adalah untuk membuat

dudukan/penyangga yang mampu mengakomodasi kebutuhan modul surya untuk

menerima radiasi matahari secara maksimal. Untuk karena itu dibuat desain

modul surya yang mampu mengakomodasi kenaikan kemiringan modul surya

setiap 5˚ dengan sudut minimal 15˚ sampai dengan sudut modul surya 60˚. Sudut

15˚ adalah sudut yang direkomendasikan untuk pemasangan modul surya. Selain

tingkat kemiringan dudukan modul surya, penulis juga membuat

dudukan/penyangga modul surya yang bisa diputar untuk mengakomodasi arah

datangnya sinar matahari yang diterima modul surya. sistem kerja dari

dudukan/penyangga modul surya ini dilakukan secara manual.

2.8 Baja

2.8.1. Tegangan Regangan

Bahan-bahan logam biasanya diklasifikasikan sebagai bahan liat

(ductile) atau bahan rapuh (brittle). Bahan liat mempunyai gaya regangan

(tensile strain) relatif besar sampai dengan titik kerusakan (misal baja atau

aluminium) sedangkan bahan rapuh mempunyai gaya regangan yang relatif

(45)

27

garis pemisah diantara kedua kelas bahan ini. Besi cor dan beton merupakan

contoh bahan rapuh.

Rumus untuk menghitung tegangan dan regangan adalah sebagai berikut :

Tegangan (σ) =

Gambar 2.13. Diagram Tegangan Regangan

Awal garis biasanya lurus (0-A), akibat besarnya tegangan sama dengan regangan

ini menunjukkan daerah batas sifat elastisitas logam. Jadi jika pembebanan (F)

masih diwilayah ini, maka perubahan bentuk dan ukuran benda tidak bersifat

permanen dan dapat kembali kesediakala (elastis). Pada daerah ini terletaknya

Modulus Elastisitas.

Garis A-B menyatakan batasan daerah plastis, pada daerah ini pembebanan akan

(46)

28

Garis B-C menyatakan batasan daerah luluh (yield), pada daerah ini akan

meluluhkan bahan benda.

Garis C-D memperlihatkan turunnya kekuatan bahan akibat peluluhan yang

merata.

Titik E menyatakan batas pembebanan tertinggi yang dapat ditahan struktur

benda. Sebelum akhirnya mengalami perpatahan (failur) pada titik F.

Diagram tegangan regangan untuk beberapa logam dan karet antara lain :

ε

Gb. 14-d besi kasar Gb. 14-e karet

ε

(47)

29

2.8.2. Hukum Hooke

Untuk bahan-bahan yang mempunyai kurva tegangan-regangan dengan

bentuk seperti gambar 14-a, 14-b, dan 14-c, dapat dibuktikan bahwa hubungan

tegangan-regangan untuk nilai regangan yang cukup kecil adalah linier.

Hubungan linier antara pertambahan panjang dan gaya aksial yang

menyebabkan pertama kali dinyatakan oleh Robert Hooke pada 1678 yang

kemudian disebut hukum Hooke. Hukum ini menyatakan

σ = E.ε atau E = σ/ε...2.3

dimana E menyatakan kemiringan (slope) garis lurus OP pada kurva-kurva

Gambar 14-a, 14-b, dan 14-c.

2.8.3. Modulus Elastisitas

Kuantitas E, yaitu rasio unit tegangan terhadap unit regangan, adalah

modulus elastisitas bahan, atau, sering disebut modulus young. Nilai E untuk

berbagai bahan ditunjukkan pada Tabel 2.1. karena unit regangan ε merupakan

bilangan tanpa dimensi (rasio dua satuan panjang), maka E mempunyai satuan

yang sama dengan tegangan yaitu N/m2. Untuk banyak bahan-bahan teknik,

modulus elastisitas dalam tekanan mendekati sama dengan modulus elastisitas

(48)

30

Tabel 2.4. Sifat-sifat bahan Teknik pada 20º C.

Bahan

I. Metal dalam bentuk papan, batang atau blok Aluminium

II. Non-metal dalam bentuk papan, batang atau blok Beton

III. Bahan dengan filamen (diameter < 0.025 mm) Aluminium IV. Bahan komposit (campuran)

(49)

31

2.8.4. Modulus Geser atau Modulus Kekakuan (G)

Merupakan konstanta yang diperoleh secara eksperimental berdasarkan

batas elastis, dimana tegangan geser (τ) proporsional dengan regangan geser

sudut (θ) yang terjadi. Atau dapat dirumuskan secara matematika sebagai

berikut :

2.8.5. Hubungan Antara Modulus Young dan Modulus Kekakuan

Kedua modulus dihubungkan oleh persamaan :

(50)

32

2.8.6. Poisson Ratio (µ)

Merupakan konstanta yang diperpleh melalui pengujian tarik. Saat benda

uji mengalami tegangan pada batas elastis, maka perbandingan regangan lateral

(penampang) dengan regangan linier secara matematik dinyatakan oleh

Poisson’s Ratio :

µ =

Tabel 2.6. Poisson Ratio. Bahan Poisson’s Ratio

Baja 0,25 - 0,33

Besi Tuang 0,23 - 0,27 Tembaga 0,31 – 0,34 Kuningan 0,32 – 0,42 Aluminium 0,32 – 0,36

2.8.7. Kombinasi Tegangan

Kombinasi tegangan antara tarik-tekan dengan geser torsi maka

digunakan rumus sebagai berikut :

1. Tegangan tarik maksimum :

σ ta(maks) =

2

ta

σ

+ 0,5 . σta2 +4.τ2 ...2.7

2. Tegangan tekan maksimum :

σ te(maks) =

2

te

σ

+ 0,5 . σte2 +4.τ2 ………..2.8

3. Tegangan geser maksimum :

(51)

BAB III

METODE PERANCANGAN

3.1 Diagram Alir Perancangan

Buku Panduan dari BPPT

Buku-buku Acuan

Kesimpulan Analisa Rancangan dan

Instalasi Instalasi SHS Konsultasi dengan

Pembimbing Lapangan dari BPPT

Mendesain Dudukan Rangka

Persiapan Bahan dan Alat Yang Dipakai Pengecekan atau Survei

Kondisi Tempat

(52)

34

3.2 Deskripsi Bahan dan Alat

Instalasi SHS pada perancangan ini terdiri dari beberapa komponen utama

yaitu sebagai berikut :

1. Modul fotovoltaik (modul surya) 50Wp buatan Australia.

2. Baterai 70 Ah 12Vmerk Incoe.

3. Alat pengatur baterai (BCR) 1 buah buatan PT. Trimba Solar System.

4. Beban listrik terdiri dari 3 buah lampu TL,DC (total daya 18W) beserta

inverternya, lampu ini buatan PT. Trimba Solar System.

Komponen-komponen tambahan dalam instalasi SHS ini adalah sebagai berikut :

Tabel 3.1 Komponen Tambahan Instalasi SHS.

Bahan Jumlah

Penyangga modul fotovoltaik 1 buah

Tiang Penyangga 1 buah

Penyangga kotak baterai 1 buah

Kotak baterai 1 buah

Saklar on-off 3 buah

Stop kontak 1 buah

Kabel NYYHY 1 X 2,5 mm2 Tergantung kebutuhan

Kabel NYMHY 2 X 3,5 mm2 Tergantung kebutuhan

Kabel NYMHY 2 X 2,5 mm2 Tergantung kebutuhan

Sepatu kabel Tergantung kebutuhan

Konektor/terminal kabel Tergantung kebutuhan

Klem kabel Tergantung kebutuhan

Air accu (H2SO4) Tergantung kebutuhan

Baut, mur, sekrup, dan paku Tergantung kebutuhan

(53)

35

Alat-alat yang digunakan dalam instalasi ini adalah :

Tabel 3.2. Peralatan Instalasi SHS. Peralatan Kegunaan Peralatan

Crimping tools Memasang sepatu kabel pada kabel

Solder 12 V DC

Untuk menghubungkan kabel dan mensolder bagian

elektronik

Voltmeter dan

Ampermeter

Memeriksa koneksi kabel, mengukur tegangan dan

arus listrik

Pyranometer Mengukur radiasi matahari

Obeng 1 set Mengencangkan baut dan terminal kabel

Pliers (tang) Memegang, mengencangkan baut dan mur

Hydrometer Mengukur SG baterai

Bor 12 V DC

Untuk membor lobang pada pemasangan BCR dan

lain-lain

Pensil dan kertas

Mencatat hasil perhitungan, pengukuran dan denah

pengkabelan

Meteran rol Mengukur panjang dan jarak kabel

Gergaji besi dan kayu Memotong logam atau kayu

Cutter/pisau Memotong

Stripper/pemotong Kabel memotong dan mengupas kabel

Lampu senter

Membantu ketika memasang dan menarik kabel di

tempat gelap

Palu Menguatkan konstruksi

Kunci pas 1 set Mengencangkan baut dan terminal baterai

Inclinometer dan

kompas Menentukan arah dari modul

Pahat Memahat kayu/tembok

(54)

36

3.3 Gambar Dan Keterangan

Skema dari dudukan atau penyangga modul surya dapat dilihat sebagai

berikut :

Rangka bawah

Pipa penghubung rangka bawah dan rangka atas

Rangka atas

(55)

37

Bahan-bahan yang dipakai untuk membuat dudukan atau penyangga modul surya

ini adalah pipa dan plat siku. Untuk ukuran dari pipa dan plat siku dudukan modul

surya ini, direncanakan sebagai berikut :

a. Pipa kecil

Diameter luar = 2.72 cm

Tebal = 2,9 mm

Diameter dalam = 2,14 cm

Panjang pipa yang dibutuhkan kurang lebih 3 m.

Panjang pipa penghubung 60 cm.

b. Plat siku

Tebal = 2,4 mm

Tinggi = 2.9 cm

Lebar = 2.9 cm

Panjang plat siku yang dibutuhkan kurang lebih 1,5 m.

Pipa kotak dari plat siku :

Tebal = 2 mm

Lebar = 3,6 cm

Panjang plat kotak pendek 19 cm

Panjang plat kotak panjang 73,3 cm

Panjang pipa kotak yang dibutuhkan kurang lebih 1 m.

c. Pipa besar

Diameter luar = 3,4 cm

(56)

38

Diameter dalam = 2,7 cm

Panjang pipa besar rangka bawah 25 cm

Panjang pipa besar rangka atas 15 cm

Panjang pipa besar yang berfungsi sebagai engsel 35 cm

3.4 Perhitungan Kekuatan Rangka

Bahan dan ukuran yang digunakan dirancang untuk mampu menahan

beban modul surya dan rangka yang menopang secara keseluruhan. Bahan yang

digunakan baja lunak jenis S45C yang mudah diperoleh dipasaran.

Untuk menghitung kekuatan bahan pada perancangan ini penulis

menganggap bahwa batang penyangga bawah yang terdiri dari 2 struktur rangka

adalah sebuah rangka batang yang vital, karena tumpuan dari beban modul surya

ditahan oleh rangka tersebut. Maka pada engsel rangka tersebut diberi tumpuan

jepit, karena mampu menahan gaya-gaya dan momen.

Untuk menghitung kekuatan rangka penyangga, gaya vertikal (P) diasumsikan 6

kg, dengan perhitungan berat SHS (5 kg) ditambah beban rangka atas (1 kg).

P = 6 kg

l = 100cm

BMD

(+) Mb = momen bending = P X l

M = 6 kg X 100 cm = 600 kg.cm

(57)

39

Pada struktur penyangga beban, batang yang menerima beban vertikal dibagi

menjadi 2 sehingga beban yang diterima setiap batang menjadi 600 kg.m : 2 = 300

kg.m.

Untuk mencari tegangan bending (τb) =

Dimana : Wb = momen tahanan bending (cm3)

Mb = momen bending (kg.cm)

τb = tegangan bending (kg/mm2)

Diameter dari pipa diameter kecil yang digunakan untuk mencari momen tahanan

bending dan untuk menghitung digunakan rumus sebagai berikut :

Wb =

Wb =

Wb = 0,51132937 cm3

Setelah didapat momen bending maka dapat menghitung tegangan bending dari

struktur penyangga ini yaitu :

τb =

τb =

τb = 586,70598 kg/cm2 kemudian dirubah menjadi kg/mm2

τb = 5,8670598 kg/mm2

Harga tegangan bending yang diperoleh dibawah harga standar tegangan bending

(58)

40

3.5 Fungsi Rangka Penyangga

Adapun fungsi dudukan atau penyangga yang diinginkan adalah alat ini

mampu mengubah sudut modul suryanya sampai kemiringan 60˚ dengan kenaikan

sudut setiap 5˚, sebagai referensi yang direkomendasikan dari BPPT sebagai sudut

awal modul fotovoltaik adalah 15˚. Pipa penghubung atau pipa penyangga

fotovoltaik bisa diputar menghadap arah yang diinginkan. Selain itu fungsi dari

penyangga ini mampu menerima energi matahari secara maksimal ditempat

pemasangannya yaitu di lantai 3 gedung sebelah utara kampus STTL Yogyakarta.

3.6 Proses Desain dan Instalasi 3.6.1 Langkah Awal Pelaksanaan

Dalam pelaksanaan awal pemasangan SHS penulis memulai dengan

melakukan survei atau pengecekan lokasi pemasangan SHS. Survei ini bertujuan

untuk memaksimalkan penggunaan SHS dan meminimalkan biaya operasional

pemasangan SHS.

3.6.2 Tahapan Rancangan Penyangga

Dalam membuat rancangan penyangga modul SHS ini penulis

merancang sesuai fungsi yang diharapkan dari penyangga ini. Untuk membuat

rangka yang kuat, mampu menopang modul surya dan diharapkan dapat

bertahan lebih lama dari umur pemakaian modul surya, penulis membuat rangka

(59)

41

Rangka penyangga ini dikerakan di bengkel las dan dibuat sesuai

permintaan penulis. Desain rangka yang sesuai fungsi dan kekuatan rangka yang

mampu menopang berat modul surya sebesar 5 Kg dan berat total rangka

sebesar 11 Kg (termasuk modul surya).

3.6.3 Tahapan Persiapan Bahan dan Alat

Alat-alat dan bahan yang digunakan adalah sebagai berikut :

a. Bor listrik 1 buah dengan mata bor ukuran 14 mm, 12 mm dan 10 mm.

b. Baut 14” 12 buah terdiri dari 4 buah untuk pengunci modul fotovoltaik

dengan rangka atas dan 6 buah untuk pengunci rangka bawah dengan

tembok dan 2 buah sebagai engsel. Baut 12” 6 buah untuk pengunci

rangka penghubung beserta ring dan mur nya.

c. Obeng 1 set.

d. Fischer ukuran 10 dan 12 untuk menahan BCR dan aki.

e. Voltmeter dan amperemeter 1 buah.

f. Kabel rol.

g. Palu.

h. Kabel termoplastik

Untuk menghubungkan modul, beban dan baterai ke BCR. Kabel yang

digunakan NYMHY 2 X 2.5 sepanjang 8 m untuk modul, NYMHY 2 X 1.5

sepanjang 25 m untuk beban dan NYM sepanjang 1 m untuk baterai.

i. Kunci ring pas 1 set.

(60)

42

k. Crimping tools untuk memasang sepatu kabel.

3.6.4 Tahap Akhir Instalasi

Tahap-tahap instalasi SHS adalah sebagai berikut.

1. Pemasangan Rangka Penyangga.

Dimulai dengan membor dinding dengan mata bor ukuran 12 mm

sebanyak 6 lobang, yang berfungsi sebagai pengunci rangka penyangga

dengan dinding seperti yang ditunjukan gambar 3.2.

Gambar 3.2. Membuat dudukan rangka modul. 2. Pemasangan Kabel

Setelah rangka modul sudah terpasang, langkah selanjutnya adalah

menghubungkan modul dengan BCR dengan kondisi tidak terhubung guna

mengetahui jarak kabel yang dibutuhkan. Bertujuan untuk memaksimalkan

kinerja SHS agar lebih efektif dan efisien dengan meminimalkan energi

yang terbuang di jalan. Bila jarak antara modul dengan BCR berjauhan maka

nilai tegangan dan arus yang terukur di BCR makin kecil maka penggunaan

daya yang dipakai tidak maksimal, akibat adanya energi yang hilang dijalan

Kabel yang dibutuhkan adalah kabel termoplastik berukuran NYMHY 2

(61)

43

3. Pemasangan Dudukan Kotak Baterai

Proses pemasangan kotak baterai dengan membor dinding menggunakan

mata bor ukuran 8 mm sebanyak 4 lobang lalu menancapkan fischer ukuran

8 mm dan mengunci dengan obeng seperti dalam gambar 3.3 kemudian

meletakan baterai didalam kotak baterai.

Gambar 3.3. Membuat Dudukan Kotak Baterai

4. Pemasangan Alat Pengatur Energi Baterai (BCR)

Langkah pemasangan BCR diawali dengan membor dinding sebanyak 4

lobang dengan mata bor ukuran 8 mm dan memasukan fischer ukuran 8 mm

dan mengunci menggunakan obeng seperti ditunjukan dalam gambar 3.4.

(62)

44

5. Pemasangan Kabel Beban

Pemasangan kabel dari BCR ke beban dimulai dari jarak beban yang

paling jauh sampai jarak yang terdekat seperti yang ditunjukan dalam

gambar 3.5. Pembagian jarak beban dengan BCR adalah 5 m, 3 m dan 0,5

m. Lampu pertama jarak 5 m dihubungkan dengan saklar L1, lampu kedua

jarak 3 m dihubungkan dengan saklar L2 dan lampu ketiga dihubungkan

dengan saklar L3. Kabel beban dengan BCR belum terhubung.

Gambar 3.5 Pemasangan Kabel BCR Dengan Beban Dan Klem Kabel. 6. Menghubungkan Kabel

Setelah semua siap, sekarang pemasangan kabel yang menghubungkan

modul, baterai, dan beban dengan BCR. Untuk modul surya, untuk polaritas

(+) dengan kabel warna merah dan polaritas (-) dengan kabel warna hitam

setelah terhubung dengan junction box di modul surya lalu hubungkan

dengan terminal modul di BCR perhatikan juga polaritasnya. Untuk baterai,

hubungkan kabel baterai ke terminal baterai di BCR dengan memperhatikan

polaritas kabel (+) untuk terminal (+) dan kabel (-) untuk terminal negatif.

Untuk beban lampu hubungkan dengan terminal lampu di BCR yaitu L1, L2

dan L3. Untuk semua pemasangan kabel sudah dalam kondisi sepatu kabel

(63)

45

3.6.5 Pemeriksaan Akhir Instalasi

Pemeriksaan akhir yang dilakukan adalah melakukan pengujian terhadap

modul surya dan BCR dengan menggunakan multimeter untuk mengetahui

kinerjanya, yang diukur adalah tegangan dan arus listrik. Nilai tegangan dan

arus listrik diketahui dari mengukur hubungan antara modul ke BCR, BCR

dengan baterai dan BCR dengan beban. Sedangkan untuk baterai dengan

Hydrometer. Proses pemeriksaan akhir sama seperti prosedur pada buku

(64)

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Penyangga Modul Surya

Untuk mendapatkan dudukan/penyangga modul surya yang mampu menyerap energi matahari maksimal, maka penulis membuatkan dudukan kemiringan modul surya yang dapat diatur sehingga bisa dicari daya penyerapan yang optimal dalam perancangan ini. Pada perancangan ini penulis merancang dudukan kemiringan modul surya minimal 15˚, kemiringan maksimal dudukan/penyangga modul surya ini dibuat 60˚ dan dudukan modul surya ini mampu mengakomodasi kenaikan kemiringan modul surya setiap 5˚. Dalam perancangan ini diperoleh data bahwa pada saat kemiringan modul surya 25° menghadap utara pada jam WIB 11.30 am diperoleh data sebagai berikut :

a. Tegangan terbuka (Voc) = 16,3 V. b. Arus hubungan singkat (Isc) = 3,77 A. c. Tegangan pada Baterai = 13,6 V.

d. Tegangan dilampu 1 (L1) jarak 5 m = 13,5 V. e. Tegangan dilampu 2 (L2) jarak 3 m = 13,5 V. f. Tegangan dilampu 3 (L3) jarak 0,5 m = 13,5 V.

(65)

47

4.2 Desain Dudukan dan Komponen

Desain dudukan dan pengaturan jarak antar komponen-komponen SHS bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam pengoperasian, perawatan, dan perbaikan tapi juga memberikan unsur keselamatan bagi penulis dan pengguna lain yang menggunakan karena mudah dijangkau. Selain mudah dijangkau dalam penggunaan SHS ini, pengguna tidak akan merasa jauh dalam melakukan operasi dan komisioning dari SHS ini.

4.2.1 Kemudahan Pengoperasian

Untuk memperoleh kemudahan pengoperasian, penulis membuat dudukan/penyangga modul surya yang dapat digerakkan 90˚ dan pipa yang menahan dudukan modul surya dapat diputar 360˚. Fungsinya adalah untuk memudahkan dalam pengoperasian modul surya sehingga dudukan modul surya dapat diputar untuk mengarahkan modul tersebut menghadap arah yang diinginkan. Untuk melakukan perubahan kemiringan panel suryanya, dudukan/ penyangga modul bagian atas dikendorkan setelah itu pipa panjang yang berbentuk seperti baut disetel kedudukannya dengan menggunakan busur diatur sudut kemiringan yang diinginkan, setelah itu kembali dikencangkan dudukan yang dikendorkan.

4.2.2 Kemudahan Perawatan

(66)

48

untuk memudahkan dalam perawatan modul surya seperti membersihkan kaca panel surya dari kotoran debu atau apapun yang menghalangi kinerja dari sel surya tersebut.

4.2.3 Kemudahan Perbaikan.

(67)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari desain ini diperoleh:

1. Desain dudukan modul surya dapat menerima daya penyerapan yang baik bila jarak antara modul surya dan komponen lainnya berdekatan agar daya yang ditransfer tidak hilang akibat panas yang berlebih yang terjadi dikabel. Dari hasil desain dudukan panel surya yang memberikan hasil yang maksimal didapat pada saat modul surya dipasang dengan kemiringan 25° menghadap utara.

2. Untuk dapat memperoleh desain dan instalasi yang memberikan kemudahan dalam pengoperasian, perbaikan, dan perawatan maka perancang harus mengetahui dan menyesuaikan lokasi tempat pemasangan.

5.2 Saran

1. Agar memperoleh daya penyerapan yang baik dan optimal, usahakan dudukan modul surya menghadap keutara atau disesuaikan dengan daerah pemasangan dan diharapkan jarak antar komponen tidak berjauhan.

2. Untuk memperoleh kinerja yang baik dari modul surya perlu dilakukan perawatan secara berkala atau periodik dan terus menerus (kontinyu). 3. Dalam pemasangan SHS komponen-komponen utama yang digunakan

disesuaikan dengan standar penggunaan yang ditentukan.

(68)

50

4. Setelah proses pemasangan selesai perlu dilakukan pemeriksaan akhir sehingga kinerja dari SHS dapat diketahui dan masa pemakaian SHS dapat dipertahankan lebih lama.

(69)

DAFTAR PUSTAKA

________, 2004, Photovoltaic Solar System Filetype:ppt, www.google.com, 23 Juli 2008 dan 18 September 2009.

________, 2008, Dye Sensitized Solar Cells filetype:pdf, www.google.com, 23 Juli 2008, 2 Agustus 2008 dan 18 September 2009.

________, 2008, Solar Energy filetype:ppt, www.google.com, 31 Juli 2008 dan 18 September 2009.

Tim Fotovoltaik BPPT, 1995, Pembangkit Listrik Tenaga Surya, BPPT, Jakarta. Astamar, Z., Popov, E.P. 1993, Mekanika Teknik, edisi ke-2, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Achmad, Zainun, 2006, Elemen Mesin I, cetakan ke-2, Penerbit PT. Refika Aditama, Bandung.

Sularso, Suga, K., 2004, Dasar Perencanaan Dan Pemilihan Elemen Mesin, cetakan ke-11, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

(70)

Gambar

Gambar 2.1.
Gambar 2.3. Sistem Penerangan Rumah.
Tabel 2.1. Data Instalasi
Tabel 2.2. Kondisi kapasitas baterai (SOC), Spesific Gravity (SG) dan tegangan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil nitrasi terhadap selulosa- α pelepah sawit menghasilkan nitroselulosa dengan kadar nitrogen &gt;12,73% dan telah bisa digunakan untuk pembuatan propelan atau

Dalam prosedur ini fungsi Gudang mengajaukan permintaan pembelian dalam formulir surat permintaan pembelian kepada fungsi pembelian. Jika barang tidak disimpan digudang,

Formulasi minyak atsiri daun jeruk sambal pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan 3 variasi komposisi basis HPMC 4000 dan Carbopol 934 dengan tujuan untuk

Dengan luasan yang relatif kecil dan dikelilingi oleh APL (Area Penggunaan Lain) berupa kebun milik warga sehingga tidak jarang monyet ekor panjang dari kawasan Cagar Alam

Jadi dapat di simpulkan bahwa pembelajaran pada siklus III telah mencapai keberhasilan baik dari segi proses maupun dari hasil jika di lihat dari 3 kriteria yang telah

Peneliti melihat perbedaan tingkat stres kerja yang signifikan antara responden pada Divisi Dealer, Leasing, and Agency dan Divisi IT Hasil penelitian ini sejalan dengan teori stres

dilakukan jika ketinggian pipa berada dibawah sumber sehingga tekanan melampaui kemampuan pipa digunakan dimana air mengalir masuk dan keluar, dengan dikontrol oleh katup terapung..

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa hampir semua desain sambungan memiliki kapasitas geser yang ditentukan oleh kapasitas bearing pelat yang langsung kontak dengan kepala