• Tidak ada hasil yang ditemukan

I PENDAHULUAN. dan pembangunan pada umumnya yaitu ingin menciptakan manusia seutuhnya. Konsep

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I PENDAHULUAN. dan pembangunan pada umumnya yaitu ingin menciptakan manusia seutuhnya. Konsep"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia yang berfalsafah Pancasila, memiliki tujuan pendidikan nasional pada khususnya dan pembangunan pada umumnya yaitu ingin menciptakan manusia seutuhnya. Konsep Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, telah memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi setiap individu untuk mengembangkan hubungan dengan Tuhan, dengan alam lingkungan, dengan manusia lain, bahkan juga untuk mengembangkan cipta, rasa dan karsanya, jasmani maupun rohaninya secara integral, dan untuk meningkatkan ketaqwaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan rasa cinta tanah air, agar dapat membangun dirinya sendiri, serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.

Berkaitan dengan usaha penyiapan sumber daya manusia yang berkualitas, pemerintah Republik Indonesia telah memberikan perhatian yang cukup besar terhadap dunia pendidikan dengan berusaha keras untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Langkah konkritnya adalah dengan disusunnya UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Bab II pasal 3 dinyatakan bahwa:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta tanggung jawab.

(2)

Uraian di atas menunjukkan adanya pengakuan terhadap eksistensi individu dan individu inilah yang dibina menjadi pribadi-pribadi yang utuh. Konsisten dengan tujuan pendidikan, maka untuk mewujudkan manusia seutuhnya harus juga ditempuh melalui pendidikan.

Pendidikan adalah segala usaha untuk membina kepribadian dan kemampuan jasmani dan rohani manusia yang dilakukan dalam rumah tangga, sekolah dan masyaraka(Abu Hamid, 1993:327). Dengan demikian pendidikan bukan hanya untuk memperdalam ilmu pengetahuan di bangku sekolah saja, tetapi mencakup semua hal yang dapat membentuk kepribadian seseorang.

Untuk mencakup semuanya itu seseorang tidak cukup mendapatkan pendidikan dari

keluarganya saja, walaupun keluarga merupakan pranata paling penting bagi perkembangan mental seorang anak. Di luar pranata keluarga terdapat tiga jenis pendidikan, yaitu :

1. Pendidikan formal, yaitu pelimpahan dan pengembangan warisan sosial budaya yang diorganisasikan secara ketat, serta mempergunakan sistem penyampaian yang

dilembagakan secara ketat pula dalam bentuk perguruan dengan nama sekolah. 2. Pendidikan non formal, yaitu pendidikan yang didapat dalam setiap kesempatan dan

terdapat komunikasi yang teratur dan terarah, di sana seseorang mendapat informasi, pengetahuan, latihan untuk mengembangkan tingkat keterampilan, sikap dan nilai yang memungkinkan baginya menjadi anggota yang efisien dan efektif dalam lingkungan kelompoknya.

3. Pendidikan informal, yaitu pendidikan luar sekolah yang dianggap paling tua dan paling banyak kegiatannya serta paling luas jangkauannya.

(sumber: Buku Induk DEPDIKBUD, Jakarta, 1972)

Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan formal dan non formal di bidang keagamaan. Pendidikan agama sangat penting bagi

seseorang dalam rangka membentuk kepribadiannya, karena ajaran agama mengandung nilai-nilai dan norma-norma yang baik dan dapat dijadikan sebagai pedoman bagi seseorang. Menurut Mastuhu (1994:6) pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang bersifat tradisional untuk memahami, mempelajari dan mengamalkan ajaran agama Islam dengan

(3)

menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup sehari-hari. Oleh karena itu, dalam pondok pesantren dibuat sebuah peraturan umum tertulis yang harus dipatuhi oleh setiap santri, “Bagi setiap santri yang melanggar peraturan yang sudah di tentukan akan di kenakan tahkim (sanksi) sesuai dengan ketentuan, melalui tahapan, dinasehati dan diberi tindakan”.

Pondok pesantren merupakan suatu komunitas tersendiri, dimana kyai, ustadz, santri dan pengurus pondok pesantren hidup bersama dalam satu kampus, berlandaskan nilai-nilai agama Islam lengkap dengan norma-norma dan kebiasaan-kebiasaannya sendiri, yang secara eksklusif berbeda dengan masyarakat umum yang mengitarinya. Pondok pesantren juga merupakan suatu keluarga yang besar dibawah binaan seorang kyai atau ulama dibantu oleh ustadz. Kehidupan dalam pondok pesantren tidak terlepas dari rambu-rambu yang mengatur kegiatan dan batas-batas perbuatan : halal-haram, wajib-sunnah, baik-buruk dan sebagainya itu berangkat dari hukum Agama Islam dan semua kegiatan dipandang dan dilaksanakan sebagai bagian dari ibadah keagamaan, dengan kata lain semua kegiatan dan aktivitas kehidupan selalu dipandang dengan hukum Agama Islam.

Masyarakat umum memandang pondok pesantren sebagai komunitas khusus yang ideal terutama dalam bidang kehidupan moral (perilaku), bahkan pondok pesantren dianggap sebagai tempat mencari ilmu dan mengabdi, tetapi pengertian ilmu menurut mereka tampak berbeda dengan pengertian ilmu dalam arti science. Ilmu bagi mereka selalu dipandang suci dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ajaran agama. Mereka selalu berfikir dalam kerangka keagamaan, artinya semua peristiwa empiris dipandang dalam struktur relevansinya dengan ajaran agama. Secara tersirat inti dari tujuan pondok pesantren itu adalah untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan

(4)

kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan para murid untuk hidup sederhana.

Rangkaian nilai-nilai itulah yang membentuk suatu watak dunia pesantren, watak suatu pesantren berciri watak kemandirian, kesederhanaan dan kesetiakawanan. Nilai-nilai yang ditempa dan diinternalisasikan kedalam diri santri secara intensif. Nilai-nilai tersebut terwujud dalam bentuk serangkaian perbuatan santri sehari-hari. Oleh karena itu, banyak kegiatan yang bernilai pendidikan di pesantren berupa latihan hidup sederhana, latihan mengatur kepentingan bersama, mengurusi kebutuhan sendiri dan beribadah dengan tertib.

Kurikulum pesantren sebenarnya meliputi hampir seluruh kegiatan yang dilakukan di

pesantren selama sehari semalam. Ukuran seorang santri yang baik menurut pesantren bukan dari berhasil tidaknya ia menyelesaikan pelajarannya di pesantren, melainkan dari

kemampuannya menjalankan nilai-nilai Islam yang ada di pesantren agar ia dapat berpegang pada nilai-nilai tersebut pada kehidupan di masyarakat.

Keberadaan para santri di pesantren mempunyai latar belakang dan alasan-alasan yang berbeda. Hal ini akan membentuk kualitas pada diri santri itu sendiri dalam menyerap nilai-nilai Agama Islam. Sebab tidak jarang dijumpai pada suatu pesantren dimana santri yang dititipkan oleh orang tuanya sebagai ketidak mampuan orang tuanya dalam menangani kelakuan buruk anaknya, sehingga memasukkannya ke pesantren. Santri seperti inilah yang terkadang membuat berbagai masalah bagi pesantren dan kondisi tersebut yang akan mendapat perhatian bagi pesantren. Kondisi ini juga akan menjadi beban tanggung jawab pesantren yang cukup besar terutama dalam mencetak santri-santri yang memiliki kualitas yang cukup baik dalam bidang ilmu agama khususnya Islam. Agar santri dapat memiliki akhlak dan budi pekerti luhur dan dapat mengamalkan ilmu yang telah diperoleh dengan semestinya.

(5)

Banyak orang tua santri yang dengan sengaja menitipkan anak mereka ke pondok pesantren agar anak mereka dapat mendapatkan bimbingan hidup yang baik dan memperoleh

pendidikan dasar agama yang diperlukan untuk bekal hidup mereka. Para orang tua santri mempunyai keyakinan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sanggup mendidik anak-anaknya kejalan yang benar, lingkungan pesantren juga dianggap baik untuk perkembangan jiwa seorang anak.

Terkadang adanya salah pengertian dari orang tua santri tersebut, di karenakan orang tua berfikir pondok pesantren merupakan tempat pendidikan yang bersifat Islami yang dapat membentuk kepribadian anak yang positif. Padahal pada kenyataannya, pondok pesantren bukan merupakan tempat pembentukan kepribadian remaja untuk jadi lebih baik. Karena tidak semua santri remaja yang masuk pondok pesantren dapat berubah dengan cepatnya menjadi santri remaja yang benar-benar memahami nilai-nilai yang Islami.

Pola pembinaan merupakan suatu usaha untuk melakukan untuk merubah sesuatu menjadi lebih baik. Pola pembinaan yang dilakukan dalam pondok pesantren dapat berupa

pencegahan sebelum santri melakukan penyimpangan dan tindakan yang dilakukan pembina pondok pesantren setelah santri melakukan penyimpangan dengan menggunakan ketentuan peraturan yang telah disepakati. Meskipun pihak pembina santri dan santri telah menciptakan peraturan-peraturan agar anggota pondok pesantren berprilaku sesuai dengan peraturan yang berlaku, tapi pada kenyataannya dalam pondok pesantren masih dijumpai santri yang

melakukan penyimpangan prilaku. Menurut Sarlito Wirawan (1993:197), prilaku

menyimpang adalah semua tingkah laku yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam masyarakat yaitu yang melanggar norma-norma agama, etika, peraturan sekolah, keluarga, masyarakat dan sebagainya.

(6)

Penyimpangan yang dilakukan remaja, khususnya santri remaja banyak mendapat sorotan dari keluarga, dunia pendidikan dan masyarakat umum. Bentuk penyimpangan prilaku yang dilakukan santri remaja seperti melanggar tata tertib pondok pesantren, misalnya bolos, berpacaran, tidak sholat berjamaah, menyimpan dan menggunakan barang-barang elektronik (handphone, televisi, tape dan radio).

Menurut Abdulsyani (1987:65), bahwa terjadinya prilaku menyimpang disebabkan oleh pudarnya kaedah-kaedah yang belaku dalam masyarakat, turunnya pengendalian masyarakat terhadap prilaku anggota-anggotanya dan lain sebagainya.

Gejala penyimpangan prilaku tersebut jika tidak segera ditanggulangi akan mengganggu keamanan dan ketertiban anggota pondok pesantren yang lain, merusak tatanan dan

kestabilan pondok pesantren. Maka, peranan dari keluarga, pembina santri, masyarakat dan lembaga pendidikan sangat dibutuhkan untuk mengajak dan membina santri yang melakukan penyimpangan agar kembali mematuhi norma-norma dan aturan yang berlaku.

Berdasarkan hasil pra survey yang dilakukan peneliti, Pondok Pesantren Darul Falah yang terletak di Desa Batu Putuk, Teluk Betung Utara merupakan salah satu lembaga pendidikan formal dan non formal. Karena Pondok Pesantren Darul Falah merupakan salah satu pondok pesantren modern. Pada pondok pesantren modern, pengajaran dilakukan dengan pola pengajaran pondok pesantren tradisional yang hanya mengajarkan ilmu agama Islam dan dengan memberikan pendidikan umum sebagai pendidikan formal, misalnya: madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah.

Santri yang terdapat di Pondok Pesantren Darul Falah berasal dari berbagi daerah, tapi lebih didominasi oleh masyarakat sekitar pondok pesantren. Hal ini di karenakan masyarakat sekitar pondok yang lebih banyak berasal dari masyarakat kurang mampu, oleh karena itu

(7)

biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan anak mereka dapat terjangkau. Sedangkan alasan orang tua santri yang berasal dari luar daerah untuk menitipkan anak mereka ke Pondok Pesantren Darul Falah adalah untuk menjadikan anak mereka sebagai pribadi yang lebih baik dan berlandaskan agama.

Meskipun alasan orang tua yang berbeda antar satu dan lainnya, pihak pengurus dan pembina Pondok Pesantren Darul Falah tetap memiliki peraturan yang harus di patuhi. Akan tetapi pada kenyataannya, masih terdapat santri yang melakukan pelanggaran dan penyimpangan yang di lakukan santri. Bentuk penyimpangan prilaku yang dilakukan santri remaja seperti melanggar tata tertib pondok pesantren, misalnya bolos, berpacaran, tidak sholat berjamaah, menyimpan dan menggunakan barang-barang elektronik.

Berdasarkan uraian di atas penulis kemudian tertarik untuk meneliti dan untuk mengetahui lebih jauh tentang pondok pesantren, maka peneliti memberi judul penelitian ini : “Pola Pembinaan Santri Remaja Dalam Upaya Pengendalian Tindak Penyimpangan Prilaku “ (Studi Kasus di Pondok Pesantren Darul Falah, Desa Batu Putuk, Kecamatan Teluk Betung Utara, Bandar Lampung).

B. Rumusan Masalah

Berkaitan dengan uraian dalam latar belakang masalah di atas dan hasil pra survey yang telah dilakukan di lokasi penelitian, maka rumusan masalahnya sebagai berikut : “Bagaimana pola pembinaan santri remaja dalam upaya mengendalikan tindak penyimpangan prilaku di dalam pondok pesantren Darul Falah, Desa Batu Putuk, Kecamatan Teluk Betung Utara, Bandar Lampung?”.

(8)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami pola pembinaan santri remaja dalam upaya mengendalikan tindak penyimpangan prilaku di dalam Pondok Pesantren Darul Falah, Desa Batu Putuk, Kecamatan Teluk Betung Utara, Bandar Lampung.

D. Manfaat Penelitian. 1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis penelitian ini dapat berguna sebagai sumbangan perkembagan ilmu pengetahuan sosial pada umumnya dan menambah khasanah ilmu sosiologi agama dan sosiologi Islam mengenai pembinaan santri dalam pondok pesantren.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat yang bersangkutan dalam penilaian pembinaan di dalam pondok pesantren.

I PENDAHULUAN

E. Latar Belakang Masalah

Indonesia yang berfalsafah Pancasila, memiliki tujuan pendidikan nasional pada khususnya dan pembangunan pada umumnya yaitu ingin menciptakan manusia seutuhnya. Konsep Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, telah memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi setiap individu untuk mengembangkan hubungan dengan Tuhan, dengan alam lingkungan, dengan manusia lain, bahkan juga untuk mengembangkan cipta, rasa dan karsanya, jasmani maupun rohaninya secara integral, dan untuk meningkatkan ketaqwaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan keterampilan, mempertinggi budi pekerti,

(9)

memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan rasa cinta tanah air, agar dapat membangun dirinya sendiri, serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.

Berkaitan dengan usaha penyiapan sumber daya manusia yang berkualitas, pemerintah Republik Indonesia telah memberikan perhatian yang cukup besar terhadap dunia pendidikan dengan berusaha keras untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Langkah konkritnya adalah dengan disusunnya UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Bab II pasal 3 dinyatakan bahwa:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta tanggung jawab.

Uraian di atas menunjukkan adanya pengakuan terhadap eksistensi individu dan individu inilah yang dibina menjadi pribadi-pribadi yang utuh. Konsisten dengan tujuan pendidikan, maka untuk mewujudkan manusia seutuhnya harus juga ditempuh melalui pendidikan.

Pendidikan adalah segala usaha untuk membina kepribadian dan kemampuan jasmani dan rohani manusia yang dilakukan dalam rumah tangga, sekolah dan masyaraka(Abu Hamid, 1993:327). Dengan demikian pendidikan bukan hanya untuk memperdalam ilmu pengetahuan di bangku sekolah saja, tetapi mencakup semua hal yang dapat membentuk kepribadian seseorang.

Untuk mencakup semuanya itu seseorang tidak cukup mendapatkan pendidikan dari

keluarganya saja, walaupun keluarga merupakan pranata paling penting bagi perkembangan mental seorang anak. Di luar pranata keluarga terdapat tiga jenis pendidikan, yaitu :

(10)

4. Pendidikan formal, yaitu pelimpahan dan pengembangan warisan sosial budaya yang diorganisasikan secara ketat, serta mempergunakan sistem penyampaian yang

dilembagakan secara ketat pula dalam bentuk perguruan dengan nama sekolah. 5. Pendidikan non formal, yaitu pendidikan yang didapat dalam setiap kesempatan dan

terdapat komunikasi yang teratur dan terarah, di sana seseorang mendapat informasi, pengetahuan, latihan untuk mengembangkan tingkat keterampilan, sikap dan nilai yang memungkinkan baginya menjadi anggota yang efisien dan efektif dalam lingkungan kelompoknya.

6. Pendidikan informal, yaitu pendidikan luar sekolah yang dianggap paling tua dan paling banyak kegiatannya serta paling luas jangkauannya.

(sumber: Buku Induk DEPDIKBUD, Jakarta, 1972)

Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan formal dan non formal di bidang keagamaan. Pendidikan agama sangat penting bagi

seseorang dalam rangka membentuk kepribadiannya, karena ajaran agama mengandung nilai-nilai dan norma-norma yang baik dan dapat dijadikan sebagai pedoman bagi seseorang. Menurut Mastuhu (1994:6) pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang bersifat tradisional untuk memahami, mempelajari dan mengamalkan ajaran agama Islam dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup sehari-hari. Oleh karena itu, dalam pondok pesantren dibuat sebuah peraturan umum tertulis yang harus dipatuhi oleh setiap santri, “Bagi setiap santri yang melanggar peraturan yang sudah di tentukan akan di kenakan tahkim (sanksi) sesuai dengan ketentuan, melalui tahapan, dinasehati dan diberi tindakan”.

Pondok pesantren merupakan suatu komunitas tersendiri, dimana kyai, ustadz, santri dan pengurus pondok pesantren hidup bersama dalam satu kampus, berlandaskan nilai-nilai agama Islam lengkap dengan norma-norma dan kebiasaan-kebiasaannya sendiri, yang secara eksklusif berbeda dengan masyarakat umum yang mengitarinya. Pondok pesantren juga merupakan suatu keluarga yang besar dibawah binaan seorang kyai atau ulama dibantu oleh ustadz. Kehidupan dalam pondok pesantren tidak terlepas dari rambu-rambu yang mengatur kegiatan dan batas-batas perbuatan : halal-haram, wajib-sunnah, baik-buruk dan sebagainya

(11)

itu berangkat dari hukum Agama Islam dan semua kegiatan dipandang dan dilaksanakan sebagai bagian dari ibadah keagamaan, dengan kata lain semua kegiatan dan aktivitas kehidupan selalu dipandang dengan hukum Agama Islam.

Masyarakat umum memandang pondok pesantren sebagai komunitas khusus yang ideal terutama dalam bidang kehidupan moral (perilaku), bahkan pondok pesantren dianggap sebagai tempat mencari ilmu dan mengabdi, tetapi pengertian ilmu menurut mereka tampak berbeda dengan pengertian ilmu dalam arti science. Ilmu bagi mereka selalu dipandang suci dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ajaran agama. Mereka selalu berfikir dalam kerangka keagamaan, artinya semua peristiwa empiris dipandang dalam struktur relevansinya dengan ajaran agama. Secara tersirat inti dari tujuan pondok pesantren itu adalah untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan para murid untuk hidup sederhana.

Rangkaian nilai-nilai itulah yang membentuk suatu watak dunia pesantren, watak suatu pesantren berciri watak kemandirian, kesederhanaan dan kesetiakawanan. Nilai-nilai yang ditempa dan diinternalisasikan kedalam diri santri secara intensif. Nilai-nilai tersebut terwujud dalam bentuk serangkaian perbuatan santri sehari-hari. Oleh karena itu, banyak kegiatan yang bernilai pendidikan di pesantren berupa latihan hidup sederhana, latihan mengatur kepentingan bersama, mengurusi kebutuhan sendiri dan beribadah dengan tertib.

Kurikulum pesantren sebenarnya meliputi hampir seluruh kegiatan yang dilakukan di

pesantren selama sehari semalam. Ukuran seorang santri yang baik menurut pesantren bukan dari berhasil tidaknya ia menyelesaikan pelajarannya di pesantren, melainkan dari

kemampuannya menjalankan nilai-nilai Islam yang ada di pesantren agar ia dapat berpegang pada nilai-nilai tersebut pada kehidupan di masyarakat.

(12)

Keberadaan para santri di pesantren mempunyai latar belakang dan alasan-alasan yang berbeda. Hal ini akan membentuk kualitas pada diri santri itu sendiri dalam menyerap nilai-nilai Agama Islam. Sebab tidak jarang dijumpai pada suatu pesantren dimana santri yang dititipkan oleh orang tuanya sebagai ketidak mampuan orang tuanya dalam menangani kelakuan buruk anaknya, sehingga memasukkannya ke pesantren. Santri seperti inilah yang terkadang membuat berbagai masalah bagi pesantren dan kondisi tersebut yang akan mendapat perhatian bagi pesantren. Kondisi ini juga akan menjadi beban tanggung jawab pesantren yang cukup besar terutama dalam mencetak santri-santri yang memiliki kualitas yang cukup baik dalam bidang ilmu agama khususnya Islam. Agar santri dapat memiliki akhlak dan budi pekerti luhur dan dapat mengamalkan ilmu yang telah diperoleh dengan semestinya.

Banyak orang tua santri yang dengan sengaja menitipkan anak mereka ke pondok pesantren agar anak mereka dapat mendapatkan bimbingan hidup yang baik dan memperoleh

pendidikan dasar agama yang diperlukan untuk bekal hidup mereka. Para orang tua santri mempunyai keyakinan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sanggup mendidik anak-anaknya kejalan yang benar, lingkungan pesantren juga dianggap baik untuk perkembangan jiwa seorang anak.

Terkadang adanya salah pengertian dari orang tua santri tersebut, di karenakan orang tua berfikir pondok pesantren merupakan tempat pendidikan yang bersifat Islami yang dapat membentuk kepribadian anak yang positif. Padahal pada kenyataannya, pondok pesantren bukan merupakan tempat pembentukan kepribadian remaja untuk jadi lebih baik. Karena tidak semua santri remaja yang masuk pondok pesantren dapat berubah dengan cepatnya menjadi santri remaja yang benar-benar memahami nilai-nilai yang Islami.

(13)

Pola pembinaan merupakan suatu usaha untuk melakukan untuk merubah sesuatu menjadi lebih baik. Pola pembinaan yang dilakukan dalam pondok pesantren dapat berupa

pencegahan sebelum santri melakukan penyimpangan dan tindakan yang dilakukan pembina pondok pesantren setelah santri melakukan penyimpangan dengan menggunakan ketentuan peraturan yang telah disepakati. Meskipun pihak pembina santri dan santri telah menciptakan peraturan-peraturan agar anggota pondok pesantren berprilaku sesuai dengan peraturan yang berlaku, tapi pada kenyataannya dalam pondok pesantren masih dijumpai santri yang

melakukan penyimpangan prilaku. Menurut Sarlito Wirawan (1993:197), prilaku

menyimpang adalah semua tingkah laku yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam masyarakat yaitu yang melanggar norma-norma agama, etika, peraturan sekolah, keluarga, masyarakat dan sebagainya.

Penyimpangan yang dilakukan remaja, khususnya santri remaja banyak mendapat sorotan dari keluarga, dunia pendidikan dan masyarakat umum. Bentuk penyimpangan prilaku yang dilakukan santri remaja seperti melanggar tata tertib pondok pesantren, misalnya bolos, berpacaran, tidak sholat berjamaah, menyimpan dan menggunakan barang-barang elektronik (handphone, televisi, tape dan radio).

Menurut Abdulsyani (1987:65), bahwa terjadinya prilaku menyimpang disebabkan oleh pudarnya kaedah-kaedah yang belaku dalam masyarakat, turunnya pengendalian masyarakat terhadap prilaku anggota-anggotanya dan lain sebagainya.

Gejala penyimpangan prilaku tersebut jika tidak segera ditanggulangi akan mengganggu keamanan dan ketertiban anggota pondok pesantren yang lain, merusak tatanan dan

kestabilan pondok pesantren. Maka, peranan dari keluarga, pembina santri, masyarakat dan lembaga pendidikan sangat dibutuhkan untuk mengajak dan membina santri yang melakukan penyimpangan agar kembali mematuhi norma-norma dan aturan yang berlaku.

(14)

Berdasarkan hasil pra survey yang dilakukan peneliti, Pondok Pesantren Darul Falah yang terletak di Desa Batu Putuk, Teluk Betung Utara merupakan salah satu lembaga pendidikan formal dan non formal. Karena Pondok Pesantren Darul Falah merupakan salah satu pondok pesantren modern. Pada pondok pesantren modern, pengajaran dilakukan dengan pola pengajaran pondok pesantren tradisional yang hanya mengajarkan ilmu agama Islam dan dengan memberikan pendidikan umum sebagai pendidikan formal, misalnya: madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah.

Santri yang terdapat di Pondok Pesantren Darul Falah berasal dari berbagi daerah, tapi lebih didominasi oleh masyarakat sekitar pondok pesantren. Hal ini di karenakan masyarakat sekitar pondok yang lebih banyak berasal dari masyarakat kurang mampu, oleh karena itu biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan anak mereka dapat terjangkau. Sedangkan alasan orang tua santri yang berasal dari luar daerah untuk menitipkan anak mereka ke Pondok Pesantren Darul Falah adalah untuk menjadikan anak mereka sebagai pribadi yang lebih baik dan berlandaskan agama.

Meskipun alasan orang tua yang berbeda antar satu dan lainnya, pihak pengurus dan pembina Pondok Pesantren Darul Falah tetap memiliki peraturan yang harus di patuhi. Akan tetapi pada kenyataannya, masih terdapat santri yang melakukan pelanggaran dan penyimpangan yang di lakukan santri. Bentuk penyimpangan prilaku yang dilakukan santri remaja seperti melanggar tata tertib pondok pesantren, misalnya bolos, berpacaran, tidak sholat berjamaah, menyimpan dan menggunakan barang-barang elektronik.

Berdasarkan uraian di atas penulis kemudian tertarik untuk meneliti dan untuk mengetahui lebih jauh tentang pondok pesantren, maka peneliti memberi judul penelitian ini : “Pola Pembinaan Santri Remaja Dalam Upaya Pengendalian Tindak Penyimpangan Prilaku “

(15)

(Studi Kasus di Pondok Pesantren Darul Falah, Desa Batu Putuk, Kecamatan Teluk Betung Utara, Bandar Lampung).

F. Rumusan Masalah

Berkaitan dengan uraian dalam latar belakang masalah di atas dan hasil pra survey yang telah dilakukan di lokasi penelitian, maka rumusan masalahnya sebagai berikut : “Bagaimana pola pembinaan santri remaja dalam upaya mengendalikan tindak penyimpangan prilaku di dalam pondok pesantren Darul Falah, Desa Batu Putuk, Kecamatan Teluk Betung Utara, Bandar Lampung?”.

G. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami pola pembinaan santri remaja dalam upaya mengendalikan tindak penyimpangan prilaku di dalam Pondok Pesantren Darul Falah, Desa Batu Putuk, Kecamatan Teluk Betung Utara, Bandar Lampung.

H. Manfaat Penelitian. 3. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis penelitian ini dapat berguna sebagai sumbangan perkembagan ilmu pengetahuan sosial pada umumnya dan menambah khasanah ilmu sosiologi agama dan sosiologi Islam mengenai pembinaan santri dalam pondok pesantren.

4. Kegunaan Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat yang bersangkutan dalam penilaian pembinaan di dalam pondok pesantren.

Referensi

Dokumen terkait

PT.. Dalam konteks ini, tampilan pesan bisa disengaja atau tidak disengaja. Namun, dalam komunikasi lintas budaya, akan lebih berguna untuk memahami bahwa niat

Bambang Warsita (2008: 272), mengemukakan secara garis besar komponen strategi pembelajaran dapat dikelompokan sebagai berikut: a) Urutan kegiatan pembelajaran yang

5a'i intin>a Analisis risiko lingkungan a'alah proses pre'iksi ke"ungkinan 'a"pak negati >ang terCa'i terha'ap lingkungan se&agai aki&at 'ari

LKP menerapkan tata kelola lembaga yang dapat mendukung proses pendidikan karakter dalam bentuk proses kegiatan rutin, spontan, pengkondisian, dan keteladanan warga

Bagi karyawan, penilaian tersebut berperan sebagai umpan balik tentang berbagai hal seperti kemampuan, kelebihan, kekurangan, dan potensi yang pada gilirannya

Beberapa keunggulan model yang estimasi, antara lain; (1) besarnya koefisien parameter, Chi-square, dan R 2 model yang diteliti nilainya berbeda, (2) variabel di luar

serta mengembangkan sikap aktif terhadap belajar anak sehingga proses perbaikan pembelajaran dapat terlaksana dengan baik, 2) Pelaksanaan pembelajaran menggunakan teknik

Hasil perhitungan korelasi setiap butir pertanyaan tersebut mendekati angka +1 , sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap butir pertanyaan pada instrumen etika