• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI SUSU SAPI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI SUSU SAPI"

Copied!
175
0
0

Teks penuh

(1)

SUSU SAPI

( Kasus di Desa Tajurhalang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor )

Oleh : VIVIN KURAISIN

A14302070

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

(2)

KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI SUSU SAPI. Kasus di Desa Tajurhalang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor.(Di bawah bimbingan YAYAH KARLIAH WAGIONO)

Sektor pertanian merupakan bagia n dari sistem pembangunan nasional, memiliki peran yang penting dan strategis. Sektor peternakan adalah sub sektor dari pertanian. Salah satu bagian sektor peternakan adalah peternakan sapi perah. Peternakan sapi perah memberikan kontribusi terhadap pembangunan pertanian diantarannya dapat menghemat devisa negara, menambah lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan petani kecil. Susu merupakan salah satu produk pertanian yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia. Susu mengandung sumber protein hewani dengan kandungan nilai gizi yang lengkap dan seimbang. Jumlah konsumsi susu dari tahun ketahun selalu mengalami peningkatan, sedangkan produksi susu nasional belum mampu memenuhi seluruh permintaan susu nasional. Oleh karena itu pemerintah melakukan kebijakan impor susu dari luar negeri.

Permintaan komoditi yang tinggi tersebut merupakan peluang pasar yang cukup potensial. Untuk megetahui daya saing dari susu nasional perlu diadakan suatu pengujian keunggulan kompetitif dan komparatif, khususnya didaerah-daerah sentra produksi susu sapi, sehingga diketahui layak atau tidaknya usahatani sapi perah. Kebijakan pemerintah seperti pengurangan subsidi pakan ternak dan obat-obatan juga tarif dapat mempengaruhi keunggulan kompetitif dan komparatif dalam usahatani sapi perah. Berdasarkan kondisi tersebut permasalahan yang akan diteliti adalah (1) Apakah Produksi susu di Desa Tajurhalang mempunyai keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif sehingga layak untuk diusahakan. (2) Bagaimana daya saing produk susu di Desa Tajurhalang. (3) Bagaimana pengaruh kebijakan input dan output terhadap usaha sapi perah di Desa Tajurhalang.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis (1) Keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif pengusahaan sapi perah di Desa Tajurha lang. (2) Menganalisis daya saing susu Desa Tajurhalang. (3) Menganalisis pengaruh kebijakan input dan output pemerintah terhadap pengusahaan sapi perah. Hasil penelitian diharapkan dapat berguna bagi pemerintah untuk mengetahui dampak kebijakan yang telah dikeluarkan selama ini, sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengeluarkan kebijakan baru bagi perkembangan usaha sapi perah di Indonesia. Bagi peternak sendiri berguna untuk mengetahui sejauh mana kebijakan pemerintah berpengaruh terhadap pengusahaan sapi perah, sedangkan bagi peneliti lain diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan dalam penulisan penelitian lainnya.

Penelitian dilakukan di Desa Tajurhalang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Desa Tajurhalang merupakan salah satu sentra produksi susu sapi di Kabupaten Bogor. Metode yang digunakan yaitu Policy analysis Matriks (PAM). Penelitian ini dilakukan selama Bulan Maret sampai April 2006.

Hasil analisis menunjukan bahwa usahatani sapi perah pada ketiga skala usaha di Desa Tajurhalang menguntungkan secara finansial dan secara ekonomi. Artinnya komoditas susu layak untuk diusahakan dan dikembangkan di Desa

(3)

Tajurhalang. Untuk skala usaha sapi perah kurang dari tiga ekor seharusnya dapat dikembangkan lebih lanjut agar peternak dapat memperoleh pendapatan yang lebih besar. Sehingga pemerintah perlu melakukan upaya atau kebijakan yang dapat mendorong peningkatan skala usaha bagi peternak sapi perah seperti menambah subsidi dan memberikan kredit dengan bunga yang rendah.

Kebijakan pemerintah terhadap komoditas susu pada ketiga skala usaha menyebabkan surplus produsen berkurang, keuntungan privat lebih kecil dari keuntungan sosial dan tidak memberikan proteksi yang positif. Denga n demikian secara keseluruhan kebijaksanaan pemerintah tidak memberikan intensif bagi produsen untuk berproduksi. Kebijakan pemerintah berupa pengurangan subsidi pakan ternak dan obat-obatan menyebabkan peternak tidak memperoleh insentif bagi peningkatan skala usahannya. Begitu juga dengan kebijakan tarif impor susu 5 %, nilai tersebut sangat rendah sehingga meningkatkan jumlah impor susu oleh IPS.

Berdasarkan hasil analisis sensitivitas pada saat terjadi masing- masing peningkatan harga pakan ternak sebesar 30 %, penurunan harga susu sebesar 5 %, dan analisis sensitivitas gabungan menunjukan bahwa usahatani sapi perah pada ketiga skala usaha tetap memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Karena nilai dari keuntungan finansial dan ekonominya lebih dari nol sehingga tetap efisien untuk diusahakan. Penggunaan metode matriks analisis kebijakan (PAM) dalam studi ini memberikan kemudahan dalam menganalisis keunggulan komperatif dan kompetitif serta dampak kebijakan pemerintah. Namun begitu, dalam menggunakan metode ini disarankan untuk lebih meningkatkan ketelitian dalam menentukan harga bayangan input dan output serta pemilihan kandungan input tradable dan non tradable. Hal tersebut akan menentukan ketepatan analisis.

(4)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI SUSU SAPI” MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Juni 2006

Vivin Kuraisin A 14302070

(5)

Penulis lahir di Jakarta, 15 April 1984 sebagai anak pertama dari 3 bersaudara pasangan Lukman Tjolli dan Nuraini. Penulis menamatkan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri 03 Bojong Gede pada Tahun 1996, kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Tingkat Pertama Negeri 02 Bojong Gede, hingga lulus Tahun 1999. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 04 Bogor dan lulus pada Tahun 2002.

Tahun 2002 penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Departemen Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertania n Bogor. Penulis juga aktif mengikuti berbagai kepanitian kegiatan di IPB.

(6)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya yeng telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya saing (keunggulan komperatif dan kompetitif) susu Indonesia khususnya produksi susu di Desa Tajurhalang, dan untuk mengetahui dampak perubahan kebijakan pemerintah terhadap peternakan sapi perah.

Penulis telah berusaha untuk menyusun skripsi ini dengan sebaik-baiknya, namun penulis menyadari masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang memerlukan.

Bogor, Juni 2006

(7)

Puji syukur kepada Allah SWT, Robb alam semesta, karena dengan rahmat dan ridho-Nya telah memberikan kemudahan dalam setiap kesulitan , juga kepada Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan suri tauladan dalam kehidupan penulis. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang mendalam kepada :

1. Ibunda Nuraini dan Ayahanda Lukman Tjolli atas segala do’a, kasih sayang, pengorbanan yang tak terbatas baik moril maupun materil. Untuk adikku tercinta astina dan astini atas segala do’a dan dukungannya.

2. Ibu Ir. Yayah Karliah Wagiono, MEc selaku dosen pembimbing skripsi sekaligus dosen moderator yang telah membantu dan mengarahkan penulis dalam menyusun skripsi ini.

3. Dr. Ir. Manutun Parulian Hutagaol, Ms atas kesedianya menjadi penguji utama pada ujian sidang penulis.

4. Ir. Joko Purwono, Ms atas kesedianya menjadi dosen penguji wakil departemen pada ujian sidang penulis.

5. Staf-staf Sekretariat Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya atas kesabaran dan bantuan yang diberikan kepada penulis.

6. Hafzil Karmi atas kesedianya untuk menjadi pembahas pada seminar penulis. 7. Nenek tercinta (Ince), Om Rusdi, Ua Muhammad, Om Hakim, Ua Mene, Tante Mulyati, dan semua saudara yang sudah memberikan bantuan baik berupa moril maupun materil selama penulis menyusun skripsi.

(8)

9. Sahabat-sahabatku selama kuliah, Thesisiana Mahariani, Sari Kusuma Ningrum, Fauzia, Dimas serta rekan-rekan EPS angkatan ‘39’ yang tidak dapat disebutkan satu per satu namanya.

10.Sahabat-sahabatku satu kostan, Meyzar, Mba Emma, Mba zulai, boty dan anak-anak sabrina yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas dukungan, pengertian dan kerjasamanya.

11.Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

(9)

SUSU SAPI

(

Kasus di Desa Tajurhalang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor)

Oleh : Vivin Kuraisin

A14302070

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

(10)

SUSU SAPI

Nama : VIVIN KURAISIN NRP : A 14302070

Menyetujui,

Dosen Pembimbing Skripsi

Ir. Yayah K Wagiono, MEc NIP. 130 350 044

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian IPB

Prof. Dr. Ir. H. Supiandi Sabiham, M. Agr NIP. 130 422 698

(11)

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI………i DAFTAR TABEL……….iv DAFTAR GAMBAR ...v DAFTAR LAMPIRAN...vi I. PENDAHULUAN...1

I.1. Latar Belakang………...1

I.2. Perumusan Masalah………...5

I.3. Tujuan Penelitian………...8

I.4. Kegunaan Penelitian………..9

II. TINJAUAN PUSTAKA...10

2.1. Perkembangan Populasi Sapi Perah………10

2.2. Impor dan Pemasaran Susu……….12

2.3. Standar Mutu dan Pengujian Kualitas Susu………15

2.3.1. Teknik Pengujian Kualitas Susu………16

2.4. Kebijakan Pemerintah Mengenai Persusuan di Indonesia………..19

2.4.1. Kebijakan Sarana Produksi Peternakan……….19

2.4.2. Kebijakan Produksi Susu Sapi Segar……….20

2.4.3. Kebijakan Penyediaan Bahan Baku………...21

2.5. Hasil Penelitian Terdahulu………..22

2.5.1. Penelitian Komoditas Susu………22

2.5.2. Penelitian Analisis Daya Saing dan PAM……….24

III. KERANGKA PEMIKIRAN...26

3.1. Konsep Daya Saing………26

3.2. Teori Perdagangan Internasional………31

3.3. Kebijakan Pemerintah………34

3.3.1. Kebijakan Ouput………...35

3.3.2. Kebijakan Input……….36

3.4. Metode Penentuan Harga Bayangan………..39

3.4.1. Harga Bayangan Nilai Tukar………...41

3.4.2. Harga Bayangan Output………...42

3.4.3. Harga Bayangan Input………..43

3.5. Analisis Sensitivitas………...46

3.6. Asumsi dan kelebihan Metode PAM……….47

3.7. Kerangka Pemikiran Operasional………..48

IV. METODE PENELITIAN...52

4.1. Waktu dan Tempat Penelitian………52

(12)

4.3. Data dan Sumber Data ………..53

4.4. Metode dan Analisis Data………..53

V. GAMBARAN UMUM ...60

5.1. Gambaran Umum Desa Tajurhalang………..60

5.1.1. Kondisi Geografis……….60

5.1.2. Kondisi Penduduk, Pendidikan dan Mata Pencaharian……….61

5.2. Gambaran Usaha Sapi Perah di Desa Tajurhalang………64

5.2.1. Umur………64

5.2.2. Pendidikan………65

5.2.3. Penga laman Beternak………...66

5.2.4. Jumlah Kepemilikan Sapi Perah………..66

5.2.5. Perkandangan………...67

5.2.6. Pemeliharaan Ternak………68

5.2.7. Pakan Ternak………68

5.2.8. Te naga Kerja………69

5.3. Pemasaran Susu………..70

5.4. Produktivitas Sapi Perah………71

5.5. Mutu Produksi Susu………...72

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN PERUBAHAN KEBIJAKAN 6.1. Analisis Usaha Sapi Laktasi Kurang Dari Tiga Ekor………74

6.1.1. Analisis Keunggulan Kompetitif………..74

6.1.2. Analisis Keunggulan Komparatif……….76

6.1.3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah……….79

6.1.3.1. Dampak Kebijakan Output……….80

6.1.3.2. Dampak Kebijakan Input………...81

6.1.3.3. Dampak Kebijakan Input dan Output………84

6.2. Analisis Usaha Sapi Laktasi Tiga Ekor……….87

6.2.1.Analisis Keunggulan Kompetitif………...88

6.2.2.Analisis Keunggulan Komperatif………..89

6.2.3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah………..90

6.2.3.1. Dampak Kebijakan Output……….90

6.2.3.2. Dampak Kebijakan Input………92

6.2.3.3. Dampak Kebijakan Input dan Output……….95

6.3. Analisis Usaha Sapi Laktasi Lebih dari Tiga Ekor………...97

6.3.1.Analisis Keunggulan Kompetitif………..97

6.3.2.Analisis Keunggulan Komparatif……….98

6.3.3. Analisis Dampak Kebijakn Pemerintah……….100

6.3.3.1. Dampak Kebijakan Output………...100

6.3.3.2. Dampak Kebijakan Input………..101

6.3.3.3. Dampak Kebijakan Input dan Output………...104

VII. ANALISIS SENSITIVITAS PADA USAHA SAPI PERAH...107

7.1. Kerangka Skenario Perubahan harga Input dan Output………...107

7.2. Analisis Sensitivitas Pada Skala Usaha Sapi Laktasi < 3 Ekor………...107

7.2.1. Analisis Jika Terjadi Kenaikan Harga Pakan sebesar 30 %...109

(13)

7.2.3. Analisis saat Sensitivitas Gabungan………..110

7.3. Analisis Sensitivitas Pada Skala Usaha Sapi Laktasi 3 Ekor…………..112

7.3.1. Analisis Jika Terjadi Kenaikan Harga Pakan sebesar 30 %...112

7.3.2. Analisis Jika Terjadi Penurunan Harga Susu sebesar 5 %...112

7.2.3. Analisis saat Sensitivitas Gabungan………..113

7.4. Analisis Sensitivitas Pada Skala Usaha Sapi Laktasi > 3 Ekor………...115

7.3.1. Analisis Sensitivitas Jika Terjadi Kenaikan Harga Pakan 30 %...115

7.3.2. Analisis Sensitivitas Jika terjadi Penurunan Harga Susu 5 %...115

7.3.3. Analisis Saat Terjadi Sensitivitas Gabungan ………116

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN...118

8.1. Kesimpulan………..118

8.2. Saran………119

DAFTAR PUSTAKA……….121

LAMPIRAN………124

(14)

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman

1. Jumlah Populasi Sapi, Produksi, dan Konsums i Susu di Indonesia

(2001-2005)...2

2. Perkembangan Ekspor Impor Susu Indonesia………..3

3. Jumlah Populasi Sapi Perah dan Produksinya di Indonesia………...11

4. Perkembangan Impor Susu Indonesia (1998-2003)………...15

5. Standar Mutu Susu Segar………...16

6. Policy Analisis Matriks (PAM)………..54

7. Tingkat Pendidikan Pendud uk Desa Tajurhalang………..61

8. Jumlah Penduduk Desa Tajurhalang Menurut Umur……….63

9. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Desa Tajurhalang………….64

10. Jumlah Kepemilikan Sapi Perah Desa Tajurhalang...67

11. Jumlah Peternak dan Produksi Susu Sapi Perah di Desa Tajurhalang……….72

12. Rataan Harga Beli, Harga jual dan Mutu Susu………73

13. Matriks PAM Skala Usaha Sapi Laktasi < 3 Ekor………...74

14. Indikator-indikator PAM Skala Usaha < 3 Ekor………..84

15. Matriks PAM Skala Usaha Sapi Laktasi 3 Ekor………..87

16. Indikator-indikator PAM Skala Usaha 3 Ekor……….94

17. Matriks PAM Skala Usaha Sapi Laktasi > 3 Ekor………...97

(15)

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman

1. Jalur Pemasaran Susu di Indonesia………13

2. Perdagangan Int ernasional……….32

3. Dampak Subsidi Negatif pada Produsen Barang Ekspor………...35

4. Subsidi dan Pajak Pada Input Tradable………..37

5. Dampak Subsidi dan Pajak pada Input Non Tradable………...38

6. Kerangka Pemikiran Operasional………..51

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Biaya Produksi Skala Sapi Laktasi < 3 ekor………...124

2. Biaya Produksi Skala Sapi Laktasi 3 ekor………...125

3. Biaya Produksi Skala Sapi Laktasi < 3 ekor………...126

4. Data Jenis dan Harga Vitamin Sapi Perah………...127

5. Data Jenis dan Harga Antibiotik Sapi Perah………...127

6. Data Jenis dan Harga Desinfektan Sapi Perah………...128

7. Data dan Jenis Sapronak Sapi Perah………...128

8. Data Peralatan Usaha Sapi Laktasi < 3 ekor………...129

9. Data Peralatan Usaha Sapi perah > 3 ekor………...129

10. Alokasi Biaya Input dan Output Komponen Domestik dan Asing ………...130

11. Perhitungan Standar Conversion Faktor dan Shadow Price Exchage Rate (2000-2005)………...131

12. Analisis Penerimaan Biaya Skala Sapi Laktasi< 3 ekor……...132

13. Analisis Penerimaan Biaya Skala Sapi Laktasi 3 ekor………...134

14. Analisis Penerimaan Biaya Skala Sapi Laktasi > 3 ekor……...136

15. Biaya Finansial dan Ekonomi Usaha Sapi Laktasi < 3 ekor...138

16. Biaya Finansial dan Ekonomi Usaha Sapi Laktasi 3 ekor…...139

17. Biaya Finansial dan Ekonomi Usaha Sapi Laktasi > 3 ekor…...140

18. Biaya Finansial dan Ekonomi Sapi Laktasi < 3 ekor saat terjadi kenaikan harga pakan ternak sebesar 30 %...141

19. Biaya Finansial dan Ekonomi Sapi Laktasi < 3 ekor saat terjadi penurunan harga susu sebesar 5%...142

20. Biaya Finansial dan Ekonomi Sapi Laktasi < 3 ekor saat sensitivitas gabungan………...143

21. Biaya Finansial dan Ekonomi Sapi Laktasi 3 ekor saat terjadi Kenaikan Harga Pakan sebesar 30%...144

22. Biaya Finansial dan Ekonomi Sapi Laktasi 3 ekor saat tejadi penurunan harga susu sebesar 5%...145

(17)

23. Biaya Finansial dan Ekonomi Sapi Laktasi 3 ekor saat terjadi sens itivitas

gabungan………...146

24. Biaya Finansial dan Ekonomi Sapi Laktasi > 3 ekor saat terjadi kenaikan harga pakan ternak sebesar 30 %...147

25. Biaya Finansial dan Ekonomi Sapi Laktasi > 3 ekor saat terjadi penurunan harga susu sebesar 5 %...148

26. Biaya Finansial dan Ekonomi Sapi Laktasi > 3 ekor saat terjadi sensitivitas gabungan………...149

27. Matriks PAM Skala Sapi Laktasi < 3 ekor………...150

28. Matriks PAM Skala Sapi Laktasi 3 ekor………...151

29. Matriks PAM Skala Sapi Laktasi > 3 ekor………...152

30. Matriks PAM Skala Sapi Laktasi < 3 ekor saat terjadi peningkatan harga pakan sebesar 30 %...153

31. Matriks PAM Skala Sapi Laktasi 3 ekor saat terjadi penurunan harga susu sebesar 5 %...153

32. Matriks PAM Skala Sapi Laktasi > 3 ekor saat terjadi sensitivitas gabungan………...153

33. Matriks PAM Skala Sapi Laktasi 3 ekor saat terjadi peningkatan harga pakan sebesar 30 %...154

34. Matriks PAM Skala Sapi Laktasi 3 ekor saat terjadi penurunan harga susu sebesar 5 %...154

35. Matriks PAM Skala Sapi Laktasi 3 ekor saat terjadi sensitivitas gabungan………...154

36. Matriks PAM Skala Sapi Laktasi > 3 ekor saat terjadi peningkatan harga pakan sebesar 30 %...155

37. Matriks PAM Skala Sapi Laktasi > 3 ekor saat terjadi penurunan harga susu sebesar 5 %...155

38. Matriks PAM Skala Sapi Laktasi > 3 ekor saat terjadi sensitivitas gabungan...155

39. Keunggulan Koperatif, Kopetitif, Dampak Kebijakan dan Analisis Sensitivitas Skala Sapi Laktasi < 3 ekor………...156

(18)

40. Keunggulan Koperatif,Kopetitif, dampak Kebijakan dan Analisis Sensitivitas Skala Sapi Laktasi 3 ekor………...156 41. Keunggulan Koperatif,Kopetitif, dampak Kebijakan dan Analisis Sensitivitas

(19)

I.1. Latar Belakang

Peternakan merupakan subsektor pertanian. Salah satu usaha dari peternakan adalah peternakan sapi perah. Peternakan sapi perah memberikan kontribusi terhadap sektor pertanian diantarannya dapat menghemat devisa negara, dapat menambah lapangan pekerjaan dan dapat meningkatkan pendapatan petani kecil. Susu merupakan komoditi yang penting untuk dikonsumsi masyarakat, karena susu mengandung sumber protein hewani dengan kandungan nilai gizi yang lengkap dan seimbang. Protein hewani yang terkandung terutama asam amino yang berfungsi untuk pertumbuhan dan menjalankan fungsi syaraf. Asam amino tersebut tidak dapat dibuat sendiri oleh tubuh, sehingga dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi susu.

Produk susu tidak hanya dapat dikonsumsi dalam bentuk susu sapi segar melainkan juga dalam bentuk susu olahan seperti susu bubuk, susu kental manis, yoghurt, keju dan mentega. Saat ini sudah banyak Industri pengolah bahan baku susu menjadi produk olahan. Industri tersebut antara lain PT.Frisian Flag, PT.Indomilk, PT. Nesle dan masih banyak perusahaan lainnya.

Setiap tahun jumlah penduduk Indonesia terus mengalami peningkatan karena tingginya tingkat kelahiran. Tingginya tingkat kelahiran tersebut diikuti dengan bertambahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya nilai gizi untuk mencukupi kebutuhan tubuh. Kedua hal tersebut menyebabkan semakin meningkatnya permintaan terhadap komoditi susu. Tetapi tidak seluruh masyarakat dapat membeli susu karena masalah keuangan sehingga tingkat

(20)

konsumsi susu tidak merata. Berdasarkan data dari BPS tahun 2005 tingkat konsumsi susu masyarakat sebesar 6,8 kg perkapita, artinya setiap hari masyarakat hanya mengkonsumsi susu 18,6 cc. Sehingga diperlukan adannya upaya dari pemerintah dalam memudahkan seluruh masyarakat untuk membeli susu dengan harga yang relatif murah.

Bahan baku untuk Industri susu dan konsumen langsung berasal dari hasil produksi susu Peternakan sapi perah. Peternakan sapi perah di Indonesia terus mengalami perkembangan, tetapi perkembangan populasi tersebut cendrung stagnan. Data Perkembangan Populasi Sapi Perah dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Jumlah Populasi, Produksi dan Konsumsi Susu Indonesia ( 2001-2005) Tahun Jumlah sapi

(ekor) Produksi susu (ton) Konsumsi susu (kg) perkapita 2001 346.998 479.947 5,79 2002 358.386 493.375 7,05 2003 373.753 553.442 6,69 2004 364.062 549.945 6,78 2005 373.970 341.986 6,8

Sumber : Dit jen Bina Produksi Peternakan, Tahun 2005

Pada tahun 2005 pemerintah membuat kebijakan menaikan harga BBM yang berdampak kepada meningkatnya seluruh biaya input dari peternakan. Salah satu input yang mengalami kenaikan adalah harga pakan, keadaan tersebut membuat peternak membeli alternatif pakan lain dengan harga lebih murah. Hal tersebut berdampak kepada menurunnya kualitas dan produksi susu yang dihasilkan di Indonesia (Tabel 1).

(21)

Permintaan terhadap komoditi susu dari tahun ketahun terus mengalami peningkatan, tetapi produksi susu nasional belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia. Maka pemerintah membuat kebijakan untuk melakukan impor komoditi susu dari luar negeri. Selain melakukan impor pemerintah juga melakukan ekspor susu dalam bentuk susu olahan. Data perkembangan ekspor dan impor Indonesia dapat dilihat pada ( Tabel 2 ).

Tabel 2 Perkembangan Ekspor-Impor Susu Indonesia (1999-2003)

Tahun Ekspor Susu Olahan Impor Susu Bubuk

Volume (kg) Nilai (US $) Volume (kg) Nilai (US $)

1999 2.060 68.953 4.876.808 2.887.970

2000 370.334 630.934 5.756.787 3.706.110

2001 561.578 1.263.956 8.589.098 7.371.636

2002 3.382.293 1.66.603 8.476.317 6.746.121

2003 4.550.200 2.448.417 10.844.437 16.501.144

Sumber : Dit jen Bina Produksi Peternakan, Tahun 2005

Pada Tabel 2, terlihat bahwa ekspor susu olahan dan impor susu susu bubuk mengalami peningkatan dari tahun 1999 sampai tahun 2003. Volume ekspor susu olahan tertinggi dicapai pada tahun 2003 sebesar 4.550.200 kg dengan nilai 2.448.417 US $. Sedangkan Volume impor tertinggi juga di capai pada tahun 2003 sebesar 10.844.437 kg dengan nilai 16.501,144 US $. Tingginya volume impor disebabkan karena produksi susu nasional belum mampu memenuhi seluruh permintaan Industri Pengolahan Susu (IPS) dan kebutuhan masyarakat. Indonesia banyak mengimpor susu dari Negara Australia, Prancis dan Selandia baru.

(22)

Kegiatan usaha peternakan sapi perah sangat berperan dalam menyediakan susu bagi konsumen susu sapi segar maupun bagi Industri Pengolahan Susu (IPS). Susu impor yang didatangkan dari luar negeri merupakan susu olahan, sehingga untuk memenuhi kebutuhan susu sapi segar sangat tergantung dari produksi susu nasional di tingkat peternakan sapi perah. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi susu terbesar di Indonesia.

Salah satu desa penghasil susu sapi segar di Kabupaten Bogor adalah Desa Tajurhalang. Para peternak sapi perah telah tergabung dalam wadah koperasi, karena koperasi membantu peternak mengatasi masalah teknis pengelolaan, pemasaran dan dapat meningkatkan kesejahteraan para peternak. Jumlah anggota koperasi di Desa Tajurhalang mangalami peningkatan dari 16 orang pada tahun 2004 menjadi 28 orang tahun 2005. Jumlah populasi sapi pada tahun 2005 sebanyak 480 ekor dengan tingkat produksi susu sapi perbulan sebanyak 15.000 liter. Kualitas susu yang dihasilkan peternakan sapi perah Desa Tajurhalang cukup baik sehingga mendapatkan kepercayaan dari PT.Indomilk dan PT. Susu Bendera untuk kontinu dalam membeli produk mereka.

Susu merupakan produk pertanian yang mudah rusak (perishable), sehingga membutuhkan perlakuan khusus agar tetap segar sampai ke konsumen. Koperasi berfungsi dalam menyediakan sarana dan fasilitas dalam menangani produk susu peternak kemudian memasarkannya dengan harga yang layak. Selain itu koperasi juga berfungsi dalam menyediakan kemudahan akses informasi baik dalam hal teknis maupun teknologi, memberikan pelayanan kesehatan ternak, permodalan dan juga dalam pemenuhan kebutuhan input.

(23)

Koperasi sebagai salah satu bentuk badan usaha rakyat dan penggerak ekonomi nasional, ikut dilibatkan pemerintah dalam mendorong perkembangan usaha persusuan di Indonesia. Upaya yang dilakukan untuk mengurangi ketergantungan impor susu adalah dengan memberi kepercayaan kepada koperasi melalui hubungan peternakan rakyat yang terangkum dalam paket kebijakan meliputi kebijakan impor sapi perah, pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) dan perbaikan manajemen pemasaran dan fasilitas kredit. Hal tersebut menyebabkan keberadaan koperasi sebagai wadah kerjasama menjadi sangat penting, sehingga dapat memacu perkembangan persusuan di Indonesia, tentunya dengan dukungan serius dari pemerintah.

I.2. Perumusan Masalah

Dari data BPS tahun 2005, terlihat bahwa produksi susu di dalam negeri belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi susu masyarakat dan IPS yang selalu mengalami peningkatan. Kebutuhan susu nasional setiap hari mencapai 3,75 juta liter sedangkan jumlah produksi susu nasional sebesar 1,25 juta. Jadi 75 persen dari kebutuhan susu nasional dipenuhi oleh pemerintah dengan melakukan impor susu dari beberapa negara seperti Australia, Prancis dan Selandia baru.

Kebutuhan susu nasional yang tinggi sebenarnya merupakan pendorong bagi peningkatan produksi susu dalam negeri sehingga mampu bersaing dengan susu impor. Pemerintah seharusnya membuat suatu kebijakan yang dapat meningkatkan kesejahteraan peternak sehingga mampu memperluas usaha dan meningkatkan produksinya. Bentuk kebijakan yang dapat diberikan seperti pemberian subsidi pakan, obat-obatan, kredit dan sarana prasarana. Sejak Tahun

(24)

1995 pemerintah sudah memberikan bantuan subsidi pakan ternak dan obat-obatan. Namun pada tahun 2000 bantuan tersebut mulai dikurangi sehingga pemberian subsidi belum optimal sampai ke tingkat peternak. Pada koperasi Desa Tajurhalang telah disediakan bantuan pemerintah berupa kredit, namun bantuan tersebut hanya diberikan kepada peternak yang memiliki sapi perah lebih dari 3 ekor. Sehingga peternak yang memiliki sapi perah kurang dari 3 ekor tidak dapat mengajukan kredit. Tetapi suku bunga kredit yang ditetapkan cukup tinggi sehingga banyak peternak yang tidak mengajukan kredit. Banyak peternak di Desa Tajurhalang yang menggunakan modal sendiri dalam kegiatan usaha sapi perahnnya. Modal untuk membeli sapi perah cukup mahal dan peternak harus menanggung beberapa resiko terhadap sapi perah yang dibelinya, sehingga menyebabkan rendahnya keinginan masyarakat untuk menambah dan memperluas usahanya sehingga membuat peternakan sapi perah sulit berkembang untuk memenuhi permintaan susu yang terus meningkat.

Permasalahan susu bukan hanya jumlah produksi susu nasional yang tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat tetapi juga ada masalah lain seperti rendahnnya kualitas susu nasional. Rendahnya kualitas tersebut pernah terjadi karena peternak mengganti jenis pakan yang digunakan dengan harga yang lebih murah. Tingginya harga pakan sapi terjadi karena adannya kebijakan pemerintah dalam menaikan harga BBM pada tahun 2005. Rendahnya kualitas susu membuat harga susu dalam negeri rendah jika dibandingkan harga susu impor. Pada saat pemerintah menaikan harga BBM juga berdampak pada penurunan produksi dan kualitas susu yang dihasilkan oleh Desa Tajurhalang. Pakan ternak yang

(25)

digunakan oleh peternak diangkut dengan mobil sehingga kenaikan harga BBM menyebabkan peningkatan harga pakan ternak.

Menurut Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) Jawa Barat harga susu lokal tahun 2005 Rp1850 per liter, sedangkan harga susu impor mencapai Rp 2.500 per liter. Harga produk susu impor sebenarnya lebih mahal dari harga susu nasional, tetapi Industri Pengolahan Susu (IPS) lebih banyak membeli susu impor karena kualitasnya yang lebih baik.

Dalam melindungi peternak Indonesia, pada tahun 1998 terdapat Instruksi Presiden No.4 tahun 1998 yang membuat kebijakan tentang susu impor. Instruksi tersebut dibuat berdasarkan kesepakatan dari 3 menteri (pertanian, perdagangan dan koperasi) yang berisi tentang bukti serap susu. Apabila Industri Pengolahan Susu (IPS) membeli susu impor maka diwajibkan untuk membeli susu dari peternak nasional. Jika IPS melakukan impor susu sebanyak 2 kg maka wajib untuk membeli susu dari peternak sebanyak 1 kg.

Pada saat Indonesia akan memasuki era perdagangan bebas (WTO) pemerintah mencabut Instruksi Presiden No 4 tahun 1998 tersebut. Pencabutan kebijakan tersebut tidak diimbangi dengan proteksi dari pemerintah terhadap para peternak nasional. Sehingga memberikan keleluasaan kepada Industri Pengolahan Susu (IPS) untuk membeli susu impor dari luar negeri. Selain itu besarnya tarif impor untuk susu Indonesia masih tergolong rendah hanya berkisar 0-5 %. Rendahnya tarif impor tersebut menyebabkan semakin tingginya jumlah impor susu yang dilakukan oleh IPS. Hal tersebut akan mendorong semakin rendahnya daya saing dari produk susu nasional sehingga perlu dibuat perumusan kembali

(26)

tentang besarnya tarif dan kebijakan yang sesuai dalam meningkatkan daya saing susu nasional.

Berdasarkan permasalahan diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas susu sapi ? 2. Bagaimana daya saing dari produk susu Desa Tajurhalang ?

3. Bagaimana pengaruh perubahan kebijakan input output pemerintah terhadap daya saing peternakan susu sapi di Desa Tajurhalang ?

1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ”Daya Saing Susu Indonesia dan Dampak Perubahan Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditi Susu”. Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Tajurhalang Kecamatan Cijeruk Kabupaten Bogor, dengan mengambil kasus pada peternakan sapi perah Desa Tajurhalang. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah untuk :

1. Menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas susu sapi. 2. Menganalisis daya saing dari produk susu Desa Tajurhalang

3. Menganalisis pengaruh perubahan kebijakan inp ut output pemerintah terhadap daya Saing peternakan sapi perah di Desa Tajurhalang.

(27)

1.4. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :

1. Bagi peternak sapi perah Desa Tajurhalang dapat memperoleh informasi dan masukan dalam upaya peningkatan produksi dan daya saing dari susu yang dihasilkan.

2. Bagi pemerintah merupakan bahan informasi dan bahan pertimbangan dalam menetapkan suatu kebijakan yang berkaitan dengan peternakan sapi perah.

3. Bagi Industri Pengolahan Susu ( IPS ) dapat mengetahui informasi tentang komoditi susu yang dibeli dari Koperasi Peternak Sapi Perah (KPS).

4. Bagi peneliti merupakan bahan referensi maupun informasi lebih lanjut untuk dapat memberikan masukan bagi peningkatkan daya saing susu nasional.

5. Bagi para pembaca untuk menambah pengetahuan tentang komoditi susu di Indonesia

(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perkembangan populasi Sapi Perah

Menurut Hernanto dalam Marlina (2002), usaha ternak sapi perah di Indonesia secara umum dibedakan dalam dua bentuk usaha, yaitu peternakan rakyat dan perusahaan peternakan. Peternakan rakyat merupakan usaha yang dilakukan oleh rakyat disamping usaha taninnya. Selain itu cara beternaknnya pun masih bersifat tradisional serta jumlah sapi yang dimiliki relatif sedikit. Perusahaan peternakan merupakan peternakan yang diselengarakan dalam suatu perusahaan secara komersial dan mempunyai izin usaha dan dalam proses produksinnya telah menggunakan teknologi baru.

Kondisi umum peternakan rakyat adalah skala usaha yang kecil, keadaan serba terbatas dan sistem pemeliharaan yang bersifat tradisional. Pada umumnya para peternak sapi perah di Indonesia cara beternaknnya masih berdasarkan atas pengalaman-pengalaman orangtuannya dari generasi kegenerasi. Keadaan ini sering dijumpai pada peternak-peternak yang sudah bertahun-tahun beternak sapi perah, belum mengerti teknik beternak yang baik guna mencapai keefisienan dalam menghasilkan susu. Sedangkan perusahaan peternakan merupakan usaha komersial yang penghasilan utamannya adalah susu dan dalam berproduksi telah menggunakan teknologi baru, untuk meraih keunt ungan sebaik mungkin.

Menurut Erwidodo (1993) Peternakan sapi perah telah dimulai sejak abad ke-19 dengan pengimporan sapi-sapi perah bangsa Ayrshire, Jersey dan Milking Shorton dari Australia. Kemudian pada permulaan abad ke-20 disusul oleh pengimpor sapi-sapi perah Fries Holland (FH) dari negeri Belanda. Setelah

(29)

Indonesia merdeka, petani Indonesia meneruskan usaha sapi perah dan secara bertahap orientasi berubah kepada produksi susu sebagai hasil utamannya. Namun kemudian, karena susu merupakan produk ya ng mudah rusak maka diperlukan penanganan lebih lanjut dari produk susu tersebut sehingga dibentuk organisasi koperasi. Perkembangan produksi susu berkaitan langsung dengan tingkat populasi sapi perah, tetapi juga dipengaruhi jenis pakan jika ingin meningkatkan produksi dan kualitas susu yang dihasilkan. Berikut ini di perkembangan jumlah sapi perah di Indonesia dan jumlah produksinnya :

Tabel 3 Jumlah populasi Sapi Perah dan Produksinnya di Indonesia. Tahun 2001-2005

Tahun Populasi Sapi Perah (ekor) Jumlah Produksi (Ton) 2001 347.000 479.947 2002 358.000 493.375 2003 374.000 553.442 2004 364.000 549.945 2005 374.000 341.986

Sumber : Dit jen Bina Produksi Peternakan, Tahun 2005

Berdasarkan Tabel 3, terlihat bahwa dari tahun 2001 sampai tahun 2003 populasi sapi perah di Indonesia mengalami penambahan jumlahnya, tetapi pada tahun 2004 mengalami penurunan sebanyak 10.000 ekor dan kembali naik jumlahnya pada bulan november tahun 2005. Untuk produksi susu sapi pada tahun 2001 hingga tahun 2004 jumlah produksinnya terus mengalami penambahan tetapi kemudian terjadi penurunan produksi pada bulan November tahun 2005. Penurunan produksi tersebut bukan disebakan penurunan jumlah populasi sapi

(30)

perah melainkan karena tingginya harga pakan sapi perah akibat kenaikan harga BBM, sehingga banyak petani yang menganti pakan ternak dan menyebabkan penurunan jumlah produksi dan kualitas susu.

2.2. Impor dan Pemasaran Susu

Pelaksanaan impor diatur oleh Keputusan Bersama Menteri Perdagangan, Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia Nomor 656/Kpb/IV/85, Nomor 329/KMK.05/1985, Nomor 18/2/Kep/GBI, tentang penyempurnaan ketentuan-ketentuan umum di bidang impor, yang terdiri dari 19 pasal. Impor bahan baku susu untuk memenuhi kebutuhan Industri atau pabrik non-susu dapat dilakukan oleh Importir yang terdaftar. Proses pemasaran susu di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1.

(31)

SMF dan AMF ss ss SMP AMF ss ss ss Produk Olahan ss Gambar 1. Jalur Pemasaran Susu di Indonesia

Sumber : Jurnal Penelitian Dinas Pertanian Tahun 2005 Keterangan SMP : Skim Milk Powder

AMF : Anhydrous Milk Fat SS : Susu Segar

IPS : Industri Pengolahan Susu

Berdasarkan Gambar 1, susu segar dari peternak akan ditampung di koperasi, dalam hal ini koperasi berperan sebagai pengumpul dan penyalur susu

Impor Non IPS Konsumen Akhir IPS Hilir Peternak Koperasi IPS Hulu Loper

(32)

dari peternak. Sebelum dijual ke IPS susu yang ditampung oleh koperasi mendapatkan perlakuan tertentu sehingga memenuhi standard kualitas yang diminta oleh IPS. Susu segar yang ditampung oleh koperasi terutama dijual kepada IPS, baik IPS hulu maupun IPS hilir. IPS Hulu yaitu industri yang mengola h SSDN menjadi bahan baku susu ( bubuk susu ) yang akan diolah lebih lanjut oleh IPS hilir. Satu-satunya IPS hulu yang ada di Indonesia adalah PT. Tirta Amerta Agung, namun saat ini sudah tidak beroperasi lagi karena bangkrut.

IPS hilir merupakan industri yang mengolah bahan baku berupa susu menjadi susu olahan dengan berbagai jenis. Industri Pengolahan Susu yang terdapat di Indonesia adalah PT.Indomilk, PT.Frisia n Flag, PT. Ultra Jaya dan lain- lain. Selain ke Koperasi ada pula susu dari peternak yang dijual kepada Loper susu dan ada juga yang langsung dijual ke Industri Rumah Tangga. Industri Rumah Tangga tersebut mengolah susu segar dari peternak menjadi susu pasteurisasi, kemudian hasil susu pasteurisasi tersebut langsung dijual kepada konsumen.

Produksi susu di Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga pemerintah mengambil kebijakan untuk melakukan Impor susu dari Negara lain terutama dari Negara Australia. Pemerintah melakukan impor susu dalam bentuk bubuk, untuk memenuhi permintaan susu di dalam negeri. Susu impor tersebut dalam bentuk SMF (Skim Milk Powder) dan AMF (Anhydrous Milk Fat). Susu yang diimpor akan diolah kembali oleh Industri Pengolahan Susu (IPS) dan oleh non Industri Pengolahan Susu. Data perkembangan susu impor dapat dilihat pada Tabel 4.

(33)

Tabel 4 Perkembangan Impor Susu Indonesia dari Tahun 1998-2003

Tahun Volume Impor Nilai Impor (000 US$)

1998 32.737,4 57.889,5 1999 59.926,7 83.602,0 2000 117.268,2 189.273,3 2001 119.992,1 247.877,1 2002 107.867,7 173.906,4 2003 117.318,1 207.475,3

Sumber : Dit jen bina Produksi Peternakan, Tahun 2005

Dari Tabel 4 terlihat bahwa impor susu Indonesia selalu mengalami peningkatan dari tahun 1998 sampai tahun 2001, tetapi pada tahun 2002 sempat mengalami penurunan jumlah impor. Namun untuk tahun 2003 impor susu mengalami kenaikan kembali.

2.3. Standar Mutu dan Pengujian Kualitas Susu

Standar ini merupakan revisi SNI 01-3141-1992 mengenai standar susu segar. Revisi diutamakan pada persyaratan mutu dengan alasan sebagai berik ut :

a. Menunjang Surat Keputusan Bersama Menteri Perdagangan dan Koperasi, Menteri Perindustrian dan Menteri Pertanian No. 236/Kpb/VII/1982, No.341/M/SK/7/1982, No. 521/Kpts/um/1982.

b. Menunjang keputusan Menteri Pertanian No.751/Kpts/um/10/1982. c. Melindungi konsumen

d. Mendukung perkembangan agribisnis dan agroindustri e. Menunjang ekspor non migas.

(34)

Standar ini disusun sebagai hasil pembahasan rapat-rapat teknis, prakonsensus dan terakhir dirumuskan dalam rapat konsensus nasional. Syarat mutu susu segar seperti dala m tabel dibawah ini.

Tabel 5 Standar Mutu Susu Segar

Karakteristik syarat

a. Berat Jenis (pada suhu 27.5 C) b. Kadar lemak minimum

c. Kadar bahan kering tanpa lemak minimum d. Kadar protein minimum

e. Warna, bau, rasa dan kekentalan f. Derajat asam

g. Uji alkohol (70%) h. Uji katalase Maksimum i. Uji reduktasi

1,0280 3,0 % 8,0 % 2,7 %

Tidak ada perubahan 6 – 7

Negatif 3 (cc) 2 - 5 jam Sumber : Sutardi T, 1981

Cara pengambilan contoh sesuai dengan SNI 0429-1989-A mengenai petunjuk pengambilan contoh cairan dan semi padat. Cara uji susu sesuai dengan SNI 01-2782-1992 mengenai susu segar. Syarat penadaan sesuai dengan peraturan Departemen Kesehatan Republik Indonesia yang berlaku tentang label dan periklanan makanan. Susu segar dikemas dalam wadah yang tertutup, aman selama penyimpanan dan pengangkutan, tidak dipengaruhi dan mempengaruhi isi.

2.3.1.Pengujian kualitas Susu

Menurut Erwidodo (1993), susu segar didatangkan dari peternak sapi perah yang tergabung dalam koperasi. Susu segar ini selama penyimpanan pasca pemerahan dan pengangkutan dari tempat penyimpanan ditempatkan didalam suatu wadah yang bersih dan didinginkan pada suhu sekitar 4 C (chilling). Pengangkutan susu dari koperasi ke Industri Pengolahan Susu (IPS) biasannya

(35)

dilakukan dengan tengki pengangkutan yang dilengkapi sistem pendingin. Sebab apabila tidak, mikroba dalam susu segar akan meningkat jumlahnnya dan berakibat pada penurunan kualitas. Demikian pula terjadinnya proses aerasi terhadap susu agar sedapat mungkin dihindari, hal ini dimaksudkan untuk pencegahan pertumbuhan mikroba aerob. Untuk tangki dibuat sekat-sekat (compartement) untuk menghindari adannya goncangan (sloshing) selama pengangkutan yang dapat menurunkan kualitas susu. Dua parameter utama yang dipakai sebagai dasar pembayaran susu adalah kualitas dan kuantitas susu yang masuk ke pabrik.

Ada banyak teknik uji yang biasa digunakan untuk menetapkan kualitas susu. Sebagian uji tersebut adalah :

1. Uji Organoleptik

Uji ini meliputi uji terhadap warna, rasa dan bau susu. Susu pada umumnya berwarna put ih, putih kekuningan sampai kuning keputihan. Warna susu menjadi putih kemerahan apabila mengandung darah dari sapi yang menderita sakit mastitis. Rasa susu agak gurih dan sedikit manis. Rasa susu bisa berubah menjadi pahit, tengik atau anyir. Susu beraroma sedikit anyir disebabkan susu mengandung lemak. Pada keadaan normal susu tidak berlendir, apabila berlendir berarti susu tersebut telah tercemar oleh bakteri yang merugikan.

2. Uji Alkohol

Uji ini dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut alkohol tester gun. Alat ini diisi dengan alkohol 70 persen, kemudian dicampur susu sample dalam perbandingan yang sama. Hasil percampuran tersebut akan

(36)

menyebabkan susu mengumpal atau tidak. Susu dikatakan berkualitas jelek apabila hasil percampuran tersebut menyebabkan susu mengumpal.

3. Uji Berat Jenis

Alat yang digunakan untuk menguji berat jenis susu disebut laktodensimeter. Alat ini berkerja berdasarkan kerja kaidah archimerdes tentang gaya pada permukaan zat cair. Jika suatu benda padat dimasukan dalam zat cair maka benda tersebut akan bekerja gaya keatas yang besarnnya sama dengan berat cairannya. Berat jenis susu yang normal umumnya berkisar antara 1.0230 sampai 1.0310 pada suhu 27.5 derajat celcius.

4. Uji Keasaman

Umumnya kadar keasaman susu ditentukan dengan cara titrasi dengan menggunakan larutan alkali. Keasaman susu berkisar ph 6.5 sampai 6.7. Adannya asam pada susu terutama disebabkan oleh aktivitas bakteri pembentuk asam.

5. Uji Reduktasi

Uji ini dilakukan untuk menentukan keadaan bekteriologi susu. Didalam susu terdapat enzim reduktase yang dihasilkan oleh kuman-kuman. Semakin banyak kuman yang terdapat dalam susu semakin besar daya reduktasennya, artinnya kualitas susu tersebut semakin jelek.

(37)

2.4. Kebijakan Pemerintah Mengenai Persusuan di Indonesia 2.4.1.Kebijakan Sarana Produksi Peternakan

Kebijaksanaan pengadaan sarana produksi berupa penyediaan bibit sapi, pakan ternak, dan obat-obatan yang dikaitkan dengan sistem kredit yang layak dan mudah merupakan titik strategi dari pembangunan peternakan. Fungs i pengadaan sarana produksi sangat penting, karena pada umumnya peternak sapi perah rakyat kurang berpengetahuan tentang jenis ternak, pakan ternak, dan obat-obatan yang baik, dalam arti cocok dengan kondisi sehingga diharapkan usaha sapi perah rakyat dapat menghasilkan atau berproduksi dengan hasil yang tinggi. Sedangkan sistem kredit diberikan karena peternak rakyat umumnya berekonomi lemah. Karena itu peran atau fungsi yang sangat penting ini tidak dipercayakan kepada badan usaha yang semata- mata mencari keuntungan (Erwidodo,1993).

Pelayanan terhadap kebutuhan sarana produksi ternak yang meliputi bibit, peralatan dan terutama pakan konsentrat dilakukan oleh koperasi. Dalam pengadaan sapronak, koperasi bekerjasama dengan dinas terkait, GKSI, pihak perbankan, pemasok bahan baku dan pabrik makanan ternak. Dalam kebijakan pemasukan bibit ternak sapi perah, ada tiga SK Meteri Pertanian, yaitu :

1. SK. Menteri Pertanian Nomor 750/Kpts/Um/10/82 tentang syarat-syarat pemasukan bibit ternak dari luar negeri.

2. SK Menteri Pertanian Nomor 752/Kpts/Um/10/82 tentang syarat-syarat teknik bibit sapi perah yang dimasukan dari luar negeri.

3. SK Menteri Pertanian Nomor 753/Kpts/Um/10/82 tentang kesehatan bibit sapi perah yang akan dimasukan dari Australia dan Selandia baru.

(38)

Inti dari kebijakan ini adalah menitikberatkan persyaratan teknis agar impor bibit sapi perah tidak berdampak negatif, terutama penyakit ternak atau mutu genetis sapi perah yang rendah. Hal ini dimaksudkan agar bibit sapi perah yang masuk ke indonesia terjamin kualitasnnya dan mempunyai standar kualifikasi tertentu. Sedangkan para peternak tersebut dilatih terlebih dahulu, agar memahami sepenuhnnya apa yang harus dikerjakan untuk menghasilkan sapi-sapi prima. Jika ada peternak berpotensi tetapi terhambat modal maka perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah.

2.4.2. Kebijakan Produksi Susu Sapi Segar

Susu sapi segar merupakan bahan baku didalam suatu industri susu olahan. Kebijakan pemerintah dalam penyediaan bahan baku ini adalah Surat Keputusan Bersama Menteri Perdagangan dan Koperasi, Menteri Perindustrian dan Menteri Pertanian, Nomor 236/Kpb/VII/1982, Nomor 341/M/SK/7/1982 dan Nomor 521/Kpts/Um/7/1982 dalam pasal 2 ayat 1, yaitu peningkatan produksi sapi perah akan diatur khususnya terhadap kualitas dan kua ntitasnnya. Ayat 2 menyatakan , pemerintah menetapkan jumlah produksi dalam negeri yang wajib diserap oleh industri susu sesuai dengan proyeksi produksinnya dan kebutuhan masyarakat dalam tahun bersangkutan. Tetapi sekarang ini pemerintah telah mencabut peraturan tersebut sehingga IPS tidak lagi diharuskan membeli susu dari peternak dengan adannya bukti serap.

(39)

2.4.3. Kebijakan Penyediaan Bahan Baku

Kebijakan pemerintah dalam penyediaan bahan baku ini adalah, Surat Keputusan Bersama dan Menteri Perdaga ngan dan Koperasi, Menteri Perindustrian dan Menteri Pertanian Nomor 236/Kpb/VII/1982, Nomor 341/M/SK/1982 dan Nomor 521/Kpts/Um/7/1982, dalam pasal 2 ayat 3, menegaskan untuk kepentingan penyerapan susu produksi dalam negeri perusahaan dapat melengkapi peralatan yang diperlukan dengan izin Departement atau Instansi yang bersangkutan. Ayat 4 menyebutkan, impor bahan baku susu hanya dapat dilaksanakan oleh importir terdaftar susu yang diakui oleh Menteri Perdagangan dan Koperasi, baik sebagai importir umum maupun importir produsen. Dan ayat 5 menyatakan jumlah dan jenis bahan baku yang akan diimpor oleh importir terdaftar susu seperti tersebut dalam pasal 2 ayat 4 ditetapkan bukti realisasi pembelian susu produksi dalam negeri.

Berdasarkan keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 274/Kp/VIII/1982 tentang pola pengadaan penyediaan bahan baku susu untuk kebutuhan dalam negeri, dinyatakan dalam pasal 1 sampai dengan pasal 9. Dalam pasal 2 dijelaskan mengenai perusahaan dan industri yang melakukan perdagangan susu adalah koperasi, industri susu pengolahan yang menggunakan susu sebagai bahan baku utama, industri pengepakan kembali, dan importir nasional termasuk persero niaga. Pembelian susu yang dimaksud adalah seperti yang dinyatakan dalam pasal 1, yaitu susu murni produksi dalam negeri yang dihasilkan oleh petani peternak sapi dan semua jenis susu yang diimpor dalam bentuk bahan baku. Impor bahan baku susu dan produksi susu jadi, diatur berdasarkan keputusan Menteri perdagangan Nomor 993/Kp/X/85 yang

(40)

dituangkan dalam pasal 1 sampai dengan pasal 8. Rasio impor dengan penyerapan susu murni dan susu bubuk produksi dalam negeri ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 1036/Kp/XI/1985.

2.5. Hasil Penelitian Terdahulu 2.5.1. Penelitian Komoditas Susu

Penelitian mengenai susu dilakukan oleh Koirul (1996) tentang Analisis Nilai Tambah Pengolahan dan Pemasaran Susu Sapi Perah. Dengan menggunakan analisis nilai tambah, analisis proporsi harga beli, dan margin pemasaran susu diperoleh hasil bahwa nilai tambah dari proses pengolahan susu segar menjadi pasteurisasi yaitu 11,17 % terjadi penambahan nilai sebesar Rp.181,55 per kg susu. Dari analisis proporsi harga beli dan margin pemasaran susu menunjukan adannya kecendrungan kenaikan harga jual kepada konsumen (5,8%) diikuti kenaikan harga beli yang lebih tinggi kepada peternak ( 6,37 %). Hal ini menunjukan jika koperasi dapat meningkatkan nilai tambah dari produk olahan maka marjin pemasaran dapat lebih tinggi.

Ratih (1997) tentang Ekspor-Impor Susu Olahan Indonesia di Pasaran Internasional. Dengan menggunakan penelitian secara kualitatif yang bersifat deskriptif dan data diolah secara manual, kemudian disajikan dalam bentuk table dan grafik. Produksi susu olahan dalam negeri belum mampu mencukupi permintaan masyarakat, pada tahun 1994 konsumsi susu olahan sebesar 647.452.787 liter dan produksi susu olahan 623.159.127 liter untuk mencukupi kebutuhan produk susu maka dilakukan impor tahun 1996 untuk produk susu dengan jumlah 75.994.602 Kg nilai US$ 152.842.216 untuk ekspor produk susu

(41)

5.514.114 Kg dengan nilai US $ 8.065.803. Maka kecilnya jumlah ekspor karena besarnnya konsumsi dalam negeri sehingga diperlukan bahan baku impor dengan rasio impor yang ditetapkan pemerintah.

Marlina (2002) Tentang Pemasaran Susu Sapi Perah Peternakan Rakyat di Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur Propinsi Jawa barat. Dengan menggunakan analisis deskriptif, analisis marjin pemasaran dan efisiensi pemasaran dianalisis berdasarkan perhitungan biaya pemasaran, marjin pemasaran, marjin keuntungan dan Farmer’s share dari harga yang dibayar oleh konsumen akhir. Hasilnnya menunjukan bahwa saluran pemasaran III b merupakan saluran pemasaran efisien karena total biaya pemasaran susu segar paling kecil (Rp 40,43/liter). Tetapi dilihat dari marjin pemasaran jumlahnya (100%) marjin keuntungan sebesar (97,62 %) dan Farmer’s share yang lebih besar adalah pada saluran pemasaran II, sehingga pemasaran yang lebih efisien adalah saluran pemasaran II tetapi memiliki peluang pasar yang kecil.

Selanjutnya Wahid (2004) tentang Analisis Perkembangan Usaha Koperasi dan Tataniaga Susu Sapi Perah, Kps Bogor Kedung Badak. Dengan menggunakan analisis titik impas terhadap penjualan susu diketahui bahwa KPS Bogor sudah beroperasi pada skala untung, karena volume penjualannya (4,132 ton) telah melampaui titik impas penjualannya (3,835 ton). Sedangkan dari hasil analisis tehadap marjin tataniaga, dikatahui bahwa marjin yang diterima KPS Bogor cenderung meningkat setiap tahunnya, sementara proporsi yang diterima petani semakin menurun. Kegiatan tataniaga yang dilakukan oleh KPS Bogor dengan petani peternak bias dikatakan sudah cukup efektif, sebab dilihat dari nilai

(42)

korelasi harga dan elastisitas transmisi harga antara peternak dan KPS Bogor cukup tinggi.

2.5.2.Penelitian Analisis Daya Saing dan (PAM) Policy Analisis Matrix

Aida ratna (1997) tentang Analisis Efisiensi Finansial, Efisiensi Ekonomi dan Pengaruh Kebijaksanaan Pemerintah Pada Pengusahaan Teh Hijau di Jawa Barat. Dengan pendekatan Policy Analisis Matrix (PAM), dari hasil analisis kegiatan teh hijau tahun 1995 menguntungkan secara finansial sebesar Rp.896.65/Kg dan keuntungan ekonomi Rp 1.020.39/Kg. Nilai PCR 0,7 dan BSD sebesar 0,67 berarti kegiatan pengusahaan teh hijau efisien secara finans ial dan secara ekonomi. Dampak kebijakan pada output ditunjukan oleh OT Rp122/Kg dan NPCO 0,96 artinya produsen kehilangan intensif untuk meningkatkan produksi karena harga output yang diterima lebih kecil dibanding harga pasar dunia. Kebijakan input IT Rp 4.86/Kg dan NPCI, kebutuhan input tradable merugikan pemakai input karena harga input jadi lebih mahal dibanding bila tidak ada kebijakan kebijakan input-output PC = 0,88 dari keuntungan yang dapat dicapai bila ada kebijakan sebesar 88 % keuntungan ya ng dapat dicapai bila tidak ada kebijakan pemerintah.

Yodi (1998) tentang Analisis Daya Saing Teh Hitam dan Pengembangan Wisata Agro di PTPN VII di Jawa Barat. Dengan menggunakan alat aanalisis Biaya Sumberdaya (BSD) yang menunjukan bahwa usaha produksi teh hitam di perkebunan Malabar mempunyai keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif, yang ditunjukan oleh nilai KBSD dan KBSD* yang lebih kecil dari satu yaitu 0,796 untuk keunggulan komparatif dan 0,924 untuk keunggulan

(43)

kompetitif. Kondisi ini secara ekonomi menguntungkan karena dapat menghemat unit devisa setiap pemanfaatan sumberdaya domestiknya dan dapat bersaing di pasar internasional. Hasil analisis BSD menunjukan bahawa pengusahaan the hitam di Perkebunan Malabar memiliki daya saing di pasar internasional.

Pringgadi (2003) tentang Analisis Daya Saing dan Efisiensi Tataniaga Pisang Ambon lumut. Dengan menggunakan analisis secara kualitatif dan kuantitatif. Pengambilan sample dengan menggunakan stratified random sampling. Hasil analisis usahatani menunjukan bahwa usahatani pisang pada semua pola menggunakan karena nilai R/C ratio diatas biaya total. Hasil analisis keunggulan komparatif menunjukan bahwa ketiga pola pengusahaan pisang seluruhnya memiliki keunggulan komparatif yang ditunjukan oleh nilai KBSD yang lebih kecil dari 1. Dari analisis marjin taper dan Farmer,s share paling tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Dhuhana (2005), tentang Analisis Komparatif dan Kompetitif Usaha Emping Melinjo di Kabupaten Serang menunjukan bahwa dengan menggunakan analisis PAM, usaha emping melinjo memiliki keuntungan diatas normal, baik dalam kondisi adannya distorsi kebijakan maupun dalam persaingan sempurna. Kondisi tersebut terlihat dari nilai rasio biaya privat (PCR) dan rasio biaya sumberdaya (DCR) ya ng lebih kecil dari satu. Berdasarkan analisis finansial dan ekonomi, juga terlihat bahwa komponen terbesar pembentuk biaya adalah transportasi dan bahan baku. Sehingga upaya penurunan komponen tersebut melalui pembentukan pasar komoditi emping.

(44)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Konsep Daya Saing

Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memprodukasi suatu komoditi dengan biaya yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional kegiatan produksi tersebut menguntungkan (Simanjuntak,1992). Menurut Kadariah dkk (1978), efisiensi tidaknya produksi suatu komoditi yang bersifat treadable tergantung pada daya saingnya di pasar dunia. Artinnya, apakah biaya produksi riil yang terdiri dari pemakaian sumber-sumber domestik cukup rendah sehingga harga jualnnya dalam rupiah tidak melebihi tingkat harga batas yang relevan (Border price).

Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditi adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan komoditi tersebut. Keuntungan dapat dilihat dari dua sisi yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sementara itu, efisiensi pengusahaan komoditi dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Konsep daya saing yang menggunakan pendekatan keunggulan komparatif dan kompetitif digunakan untuk memberikan masukan dalam perencanaan dan pengembangan usahatani Sapi perah dengan produk susu sebagai komoditi komersial, dimana keunggulan untuk menganalisis efisiensi dari sisi ekonomi sedangkan keunggulan kompetitif untuk menganaslisis efisiensi dari sisi finansial.

Konsep keunggulan komparatif seringkali digunakan untuk menerangkan spesialisasi suatu negara dalam memproduksi suatu barang dan jasa. Selain itu

(45)

konsep ini juga dapat digunakan untuk wilayah yang lebih kecil seperti propinsi. Konsep ini pertama kali diterapkan oleh David Ricardo yang dikenal dengan nama hukum keunggulan komparatif ( the law of comparative advantage ) atau disebut juga model Ricardian. Dalam model ini disebutkan bahwa sekalipun suatu negara mengalami kerugian atau ketidakunggulan absolut dalam memproduksi suatu komoditi, jika dibandingkan dengan negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih dapat berlangsung. Negara yang kurang efisien akan berspesialisasi dalam produksi dan mengekspor komoditi yang mempunyai keunggulan komparatif, sebaliknya negara tersebut akan mengimpor komoditi yang mempunyai kerugian absolut lebih besar. Dari komoditi inilah negara tersebut akan mengalami kerugian komparatif ( Salvator, 1994 ).

Model Ricardian ini mengasumsikan bahwa tenaga kerja merupakan satu-satunnya faktor produksi. Teori nilai tenaga kerja ini menyatakan bahwa nilai atau harga dari suatu komoditi sama dengan atau dapat diperoleh dari jumlah waktu tenaga kerja yang dipakai untuk memproduksi komoditi. Hal ini secara tidak langsung menyatakan bahwa (1) hanya tenaga kerjalah faktor produksi atau tenaga kerja digunakan dalam proporsi yang tetap sama dalam produksi semua komoditi, dan (2) tenaga kerja homogen. Teori nilai tenaga kerja ini merupakan kelemahan dari model Ricardian, karena (1) tenaga kerja bukan merupakan satu-satunnya faktor produksi, juga tidak digunakan dalam proporsi yang tetap sama dalam produksi semua komoditi, dan (2) tenaga kerja tidak homogen.

Model selanjutnya mengenai keunggulan komparatif didasarkan pada pengaruh secara timbal balik perbedaan sumberdaya antar negara-negara atau daerah daerah. Melalui model ini perdagangan internasional atau daerah

(46)

dipengaruhi oleh perbedaan sumberdaya antar negara. Teori ini dikenal dengan teori Heckster-Ohlin (H-O). Teori H-O menganggap bahwa tiap negara akan mengekspor komoditi yang secara relatif mempunyai faktor produksi berlimpah dan murah, serta mengimpor komoditi faktor produksinnya relatif jarang(langka) dan mahal. Penggunaan dari teori Ricardian dan H-O biasannya didasarkan pada model yang sederhana dengan asumsi (1) dua negara, dua komoditi, dan menggunakan satu atau dua faktor produksi, (2)tidak ada mobilitas faktor produksi, (3) penawaran faktor tetap, (4) keseimbangan dalam pembayaran (balance of payment), (5) tidak ada barang antara dan barang yang tidak diperdagangkan (Salvator, 1994).

Perbedaan dan perubahan pada sumberdaya yang dimiliki suatu negara atau daerah mengakibatkan keunggulan komparatif secara dinamis akan mengalami perkembangan. Pearson dan Gotsch (2004) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi keunggulan komparatif, yaitu :

1. Perubahan dalam sumberdaya alam 2. Perubahan faktor-faktor biologi 3. Perubahan harga input

4. Perubahan Teknologi

5. Biaya transportasi yang lebih murah dan efisien.

Melihat faktor- faktor yang dapat mempengaruhi keunggulan komparatif diatas, maka sebenarnya keunggulan komparatif merupakan suatu hal yang tidak stabil dan dapat diciptakan. Keadaan ini mengacu pada kemampuan mengelola secara dinamis dari suatu wilayah yang mempunyai keterbatasan sumberdaya dengan dukungan tenaga kerja, modal serta dari segi pengolahannya (Nuryartono,1992).

(47)

Keunggulan Kompetitif ( Competitive Advantage ) merupakan alat untuk mengukur daya saing suatu aktivitas berdasarkan pada kondisi perekonomian aktual. Adannya konsep keunggulan kompetitif didasarkan pada asumsi bahwa perekonomian yang tidak mengalami distorsi sama sekali sulit ditemukan didunia nyata, dan keunggulan komparatif suatu aktivitas ekonomi dari susut pandang atau individu yang berkentingan langsung (Rosalita,1996)

Pada awalnya konsep keunggulan kompetitif dikembangkan oleh poter pada tahun 1980 dengan bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan perdagangan internasional yang ada. Menurut porter, keunggulan perdagangan antar negara didalam perdagangan internasional sebenarnya tidak ada. Pada kenyataanya yang ada adalah persaingan antara kelompok-kelompok kecil industri disatu negara dengan negara la innya, bahkan antar kelompok industri yang ada dalam satu negara (Warr dalam Suryana dkk,1995)

Dalam Simatupang (1995) disebutkan, secara operasional keunggulan kompetitif dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk memasok barang dan jasa pada waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan konsumen, baik dipasar domestik maupun di pasar onternasional, pada harga yang sama atau lebih baik dari yang ditawarkan pesaing, seraya memperoleh laba paling tidak sebesar ongkos penggunaan (Opportunity cost) sumberdaya. Lebih lanjut Simatupang (1995), menyebutkan bahwa agribisnis dan pembangunan pertanian yang berorientasi pada peningkatan produksi dengan harga serendah mungkin atau pembangunan pertanian yang berwawasan produk sudah tidak sesuai dengan keadaan pasar global saat ini. Untuk mengantisipasi keadaan pasar, usaha

(48)

produksi komoditi pertanian pada saat ini harus lebih diorientasi pada konsumen atau lebih berwawasan menjual.

Kondisi ini menyebabkan keunggulan kompetitif tidak saja ditentukan oleh keunggulan komparatif (menghasilkan barang lebih murah dari pesaing), tetapi juga ditentukan oleh kemampuan untuk memasok produk dengan atribut (karakter) yang sesuai oleh dengan keinginan konsumen (Simatupang, 1995). Analisis keunggulan kompetitif merupakan alat untuk mengukur keuntungan privat (private profitability) atau kelayakan dari suatu aktivitas yang dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai tukar uang resmi yang berlaku. Dalam hal ini, suatu negara akan dapat bersaing dipasaran internasional jika negara tersebut memiliki keunggulan kompetitif dalam menghasilkan suatu komoditi dengan asumsi adannya sistem pemasaran dari intervensi pemerintah.

Kondisi ini mengakibatkan suatu negara yang tidak memiliki keunggulan komparatif ternyata memiliki keunggulan kompetitif. Sehingga pemerintah memberikan proteksi terhadap komoditi yang diproduksi pada aktivitas ekonomi tersebut, misalnnya melalui jaminan harga, kemudahan perizinan dan kemudahan fasilitas lainnya (Sudaryanto dkk,1993). Walaupun demikian konsep keunggulan kompetitif ini bukan merupakan suatu konsep yang sifatnnya saling menggantikan terhadap keunggulan komparatif, akan tetapi merupakan konsep yang sifatnnya saling melengkapi.

(49)

3.2. Teori Perdagangan Internasional

Kegiatan perdagangan yang terjadi antar negara menunjukkan bahwa negara-negara tersebut sudah memiliki sistem perekonomian yang terbuka. Perdagangan ini akibat adannya usaha untuk memaksimumkan kesejahteraan negara dan diharapkan dampak kesejahteraan tersebut akan diterima oleh negara pengekspor dan negara pengimpor. Alasan utama yang menyebabkan negara-negara melakukan perdagangan internasional adalah :1) adannya perbedaan dalam pemilikan sumberdaya dan cara pengolahannya, sehingga negara-negara akan memperolah keuntungan melalui suatu pengaturan dengan cara yang berbeda secara relatif terhadap perbedaan sumberdaya tersebut, 2) negara- negara yang melakukan perdagangan mempunyai tujuan untuk mencapai economic of scale dalam produksi, artinya suatu negara akan lebih efisien jika hanya menghasilkan sejumlah barang tertentu tetapi dengan skala yang lebih besar dibandingkan dengan jika memproduksi berbagai jenis jenis barang.

Seluruh alasan yang mendasari terjadinya perdagangan internasional bertitik tolak dari konsep keunggulan komparatif. Suatu negara akan mengekspor komoditi yang produksinya memerlukan faktor produksi yang secara relatif berlimpah, dengan demikian perdagangan mendorong penggunaan sumberdaya ke dalam sektor-sektor yang mempunyai keunggulan komparatif. Banyak ahli berpendapat bahwa ekspor suatu komoditi tarjadi karena adannya penawaran domestik yang berlebih (excess supply), yang disebabkan harga relatif domestik di negara pengekspor lebih rendah dibandingkan dengan harga negara lain dan sebaliknya suatu negara akan melakukan impor suatu komoditi karena adannya

(50)

permintaan domestik yang berlebih (excess supply) atau karena suatu negara tidak mampu memenuhi permintaan masyarakat terhadap suatu komoditi tertentu.

Hal ini menyebabkan penawaran akan beralih kepasar internasional yang berbentu ekspor apabila harga yang lebih tinggi terjadi pada negara lain. Secara grafis dapat ditunjukkan dalam Gambar 1

Py Px Py Px Py Px S Dx A Sx P3 P2 B Ekspor E B* E* X D X P1 Sx A Dx E* Impor

Panel A Panel B Panel C

Pasar Negara 1 Perdagangan Internasional Pasar Negara2 Komoditi X Komoditi X

Gambar 2, Perdagangan Internasional Sumber : Salvator, 1994

P1 = Harga keseimbangan komoditi x di negara 1 ( Pengekspor ) P2 = Harga keseimbangan di pasar internasional

P3 = Harga keseimbangan komoditi x di negara 2 ( Pengimpor )

Diman P1, P2, dan P3 adalah harga relatif komoditi x terhadap komoditi y atau Px/Py.

Gambar 2, menunjukkan analisis keseimbangan perdagangan internasional secara parsial. Artinya harga satu komoditi yang dianalisis yaitu komoditi x.

(51)

Harga yang dipakai bukan harga mutlak Px, tetapi merupakan harga relatif x terhadap harga komoditi lain yang diproduksi dinegara-negara yang terlibat dalam perdagangan tersebut, di mana dalam kasus ini yang pakai komoditi y. Berdasarkan Gambar 2 diatas terlihat bahwa sebelum terjadi perdagangan internasional, harga keseimbangan komoditi x terhadap komoditi y dipasar negara 1 adalah Px/Py = P1, di mana pada kondisi tersebut terjadi keseimbangan antara permintaan dan penawaran komoditi x di negara1. Pada Px/Py lebih besar dari P1, terjadi kelebihan penawaran komoditi x di pasar negara 1. Kelebihan penawar komoditi x di negara 1 dalam panel A menyebabkan munculnya kurva penawaran ekspor komoditi x (S) negara 1 dalam panel B. Dipihak lain, pada Px/Py lebih kecil dari P3, terjadi kelebihan permintaan komoditi x dipasar negara 2. Kelebihan permintaan untuk komoditi x dinegara 2 dalam panel C menyebabkan timbulnya kurva permintaan impor komoditi x (D) negara 2 dalam panel B. Panel B menunjukan bahwa hanya pada P2 jumlah impor komoditi x yang diminta negara 2 sama dengan jumlah ekspor yang ditawarkan negara 1. Jadi P2 adalah keseimbangan Px/Py dengan perdagangan. Pada Px/Py > P2, akan terjadi kelebihan penawaran ekspor komoditi x dan ini akan menggerakan Px/Py turun ke P2. Pada Px/Py <2 akan ada kelebihan permintaan untuk impor x dan ini akan menyebabkan Px/Py naik P2.

Keseimbangan penawaran dan permintaan di pasar internasional bisa berubah karena adannya pergeseran kurva permintaan dan kurva penawaran. Pergeseran kurva penawaran ke kanan bisa disebabkan oleh berbagai hal. Misalnya luas areal tanam dan produktivitas tanaman yang meningkat. Pergeseran kurva permintaan ke kanan bisa disebabkan oleh meningkatnya pendapatan

(52)

perkapita dengan asumsi komoditi x dianggap barang normal serta meningkatannya selera terhadap komoditi x.

3.3. Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor ataupun sebagai usaha untuk melindungi produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk dari luar negeri. Kebijakan tersebut biasannya diberlakukan untuk input dan output yang menyebabkan terjadinnya perbedaan antara harga input dan harga output yang diminta produsen (harga privat) dengan harga yang sebenarnnya terjadi jika dalam kondisi perdagangan bebas (harga sosial). Kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada suatu komoditas ada dua bentuk yaitu berupa subsidi dan hambatan perdagangan. Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan hambatan perdagangan berupa tarif dan quota.

Menurut ( Salvator, 1994 ), Subsidi adalah pembayaran dari atau untuk pemerintah. Pembayaran dari pemerintah disebut subsidi positif dan pembayaran untuk pemerintah disebut subsidi negatif (pajak). Subsidi bertujuan untuk melindungi konsumen atau produsen dengan menciptakan harga domestik agar berbeda dengan harga internasional. Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada impor atau ekspor suatu komoditi, yang berupa pajak dan kuota dengan maksud untuk menurunkan kuantitas barang yang diperdagangkan secara internasional (treadable) dan untuk menciptakan perbedaan harga dipasar internasional dengan harga dipasar domestik. Kebijakan perdagangan ada dua, yaitu kebijakan ekspor dan kebijakan impor. Kebijakan ekspor ditujukan untuk

(53)

melindungi konsumen dalam negeri melalui penetapan harga domestik yang lebih rendah dari harga dunia., yaitu dengan pengenaan pajak ekspor baik perunit barang yang diekspor maupun secara keseluruhan. Kebijakan impor dilakukan untuk melindungi produsen dalam negeri melalui penetapan harga pasar domestik yang lebih rendah dari harga pasar dunia, sehingga kebijakan dilakukan berupa pengenaan tarif impor atau kuota impor.

3.3.1. Kebijakan Output

Kebijakan terhadap output baik berupa pajak maupun subsidi, dapat diterapkan pada produsen barang impor dan barang ekspor. Kebijakan pemerintah terhadap output dijelaskan dengan menggunakan Transfer Output (OT) dan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) serta Nominal Protection Rate on Output (NPRO). Dampak dari subsidi negatif terhadap produsen untuk barang ekspor dapat dilihat pada Gambar 3.

P G A R D F H S Pw E K D Q1 Q2 Q4 Q3

Gambar

Tabel 1  Jumlah Populasi, Produksi dan Konsumsi Susu Indonesia ( 2001-2005)  Tahun  Jumlah sapi
Tabel 3  Jumlah populasi Sapi Perah dan Produksinnya di Indonesia. Tahun 2001- 2001-2005
Gambar 4. Subsidi dan pajak pada input Tradable  Sumber : Monke and Pearson (1989 )
Gambar 5. Dampak Subsidi dan Pajak pada Input Non Tradable  Sumber : Monke and Pearson (1989 )
+7

Referensi

Dokumen terkait

This experimental research covered the stages of administering homogeneity test;determining two classes as the experimental group and the control group; giving treatment that

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, perendaman larva ikan baung kelompok umur 6, 12, dan 18 hari dalam rGH menunjukan berat mutlak yang lebih tinggi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam menanamkan kesadaran Pluralisme agama kepada para santri melalui; pertama, penanaman Aqidah Islamiyah yang kuat sebagai pondasi

sebagai pupuk hijau. Benih tanaman yang digunakan adalah jagung Kultivar Jaya 2. Untuk mencegah serangan hama penyakit digunakan pestisida yang disesuaikan dengan

Tatalakune persiapan acara diwiwiti kanthi kegiatan rembugan ngenani kepriye tatalakune adicara tradhisi buceng robyong. persiapan apa wae kang dibutuhake. Persiapan

Segala puji dan syukur kepada Allah SAW yang telah melimpahkan segala rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Pembentukan

Penulisan laporan yang berjudul “ Kualitas Pelayanan Teller Bagi Kepuasan Nasabah Tabungan Pesirah Pada Bank Sumsel Babel Capem Sako Kenten Palembang ” ini merupakan salah

Kemudian secara keseluruhan, kisaran parameter kualitas perairan masih dalam batasan toleransi bagi kehidupan mangrove di antara kedua kawasan, dimana pada Stasiun 1