• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VII

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kendala yang mempengaruhi sulitnya upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, termasuk juga pembayaran Uang Pengganti dan Uang Denda dipengaruhi oleh faktor substansi peraturan perundang-undangan, struktur kelembagaan aparat penegak hukum dan budaya hukum.Pada aspek substansi, kendala dimaksud adalah adanya perbedaan tentang konsep klasifikasi delik, ketidakseragaman pengertian keuangan negara, perbedaan persepsi mengenai keuangan negara dan delik formil. Selain itu, sering terjadi perhitungan kerugian negara yang variatif atau beragam. Kondisi yang demikian tentu menimbulkan ketidakpastian hukum dan menyulitkan implementasi pengembalian kerugian keuangan negara. Dalam hal penelusuran aset (asset recovery) dan penyitaan, kendala yang dihadapi adalah masalah substansi hukum yaitu belum adanya peraturan perundang-undangan yang mendukung optimalisasi penyitaan terhadap harta kekayaan yang diduga didapat secara tidak sah. Pada aspek struktur, kelembagaan pemberantasan korupsi masih terbilang lemah implementasi penerapan hukum. Pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam hal upaya pengembalian kerugian keuangan negara, aparat kejaksaan selaku eksekutor masih kurang maksimal. Selain petugas, sarana dan prasarana yang terbatas.Jaksa selaku eksekutor juga kesulitan melacak aset yang sudah dipindah tangankan dan disembunyikan oleh pelaku koruptor. Pada aspek budaya hukum, masyarakat masih apatis dan permisif dengan keengganan melaporkan aset para koruptor bahkan melindungi dan melakukan demo pada saat akan dilakukan eksekusi aset perolehan hasil korupsi. Di sisi lain budaya aparatur penegak hukum juga belum mampu

(2)

menghindarkan diri dari pengaruh korupsi dan kolusi dengan pihak yang tersangkut perkara. Hal ini semakin memperburuk citra penegakan hukum di masyarakat.

2. Persoalan hukum pengembalian aset perolehan hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan pada eksekusi uang denda dan uang penggantisudah menjadi persoalan sejak dulu sampai sekarang. Setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap serta diharuskannya menyerahkan harta bendanya untuk menutup pembayaran uang pengganti terpidana tidak mampu membayarnya, harta bendanya sudah dipindah tangankan dan disembunyikan sejak awal, terpidana bahkan sengaja memilihhukuman subsider penjara. Dibutuhkan cara untuk menyelesaikan masalah tersebut yaitu dengan cara menerapkan “sita jaminan” pada proses penyidikan dan penuntutanyang bertujuan untuk menjaga keutuhan keberadaan harta atau harta kekayaan tergugat selama proses pemeriksaan perkara berlangsung sampai perkara memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap. Upaya hukum sita jaminanini dilakukan untuk menjaga agar tidak ada itikad buruk (bad faith) untuk berusaha melepaskan diri dan mengelak memenuhi tanggung jawab membayar Uang Pengganti dan Denda sesuai putusan pengadilan yang merupakan kewajibannya. Penerapan Sita Jaminan didasarkan juga kepada perwujudan kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Terdapat hubungan kausalitas penerapan Sita Jaminan dengan prinsip-prinsip perlindungan hukum. Perlindungan hukum dimaksud disini adalah kepentingan negara dalam rangka pengembalian kerugian keuangan negara yang hilang akibat tindak pidana korupsi. Ditinjau dari segi kemaslahatan, Sita Jaminan mencerminkan utility yang sangat tinggi, dengan meminimalkan kemudaratan (kesengsaraan), akibat perilaku tindak pidana korupsi yang telah menghilangkan hak-hak ekonomi masyarakat.

(3)

3. Kehadiran Sita Jaminan dalam proses kelembagaan pemberantasan korupsi menjadi suatu keniscayaan, mengingat penerapan Sita Jaminan ini telah mendapatkan argumentasi teoretis dan sebagai perluasan makna

conservatoir beslag dalam hukum acara perdata untuk kemudian

diterapkan dalam hukum acara pidana. Konsep sita jaminan (conservatoir beslag) sebagaimana yang dikenal dalam hukum perdata tersebut, dapat dikembangkan dalam hal sebagai jaminan untuk pelaksanaan pidana uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi.Perluasan penyitaan yang penulis maksud adalah menerapkan konsep sita jaminan (conservatoir beslag) sebagaimana yang dikenal dalam hukum perdata. Sita Jaminan dilaksanakan pada saat proses penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang sudah ada tersangkanya dan memiliki minimal dua alat bukti. Pelaksanaannya adalah dengan meminta ijin Pengadilan Negeri. Konsep sita jaminan dimasukkan dalam revisi pasal-pasal penyitaan pada Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dan RUU Perampasan Aset. Dalam pelaksanaan asset recovery, suatu sistem untuk identifikasi, klasifikasi, penyimpanan, pengelolaan, dan pelepasan mutlak diperlukan. Identifikasi dan klasifikasi terkait dengan proses penelurusan aset (asset tracing) yang dilakukan pada tahap penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi untuk kemudian menjadi dasar bagi berlakunya sita jaminan yang akan dilakukan. Adapun penyimpanan, pengelolaan dan pelepasan terkait dengan lembaga penyimpangan aset hasil tindak pidana korupsi yang independen, dan transparan.Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan sinergitas kelembagaan pemberantasan tindak pidana korupsi maka harus pula didukung dengan adanya lembaga penyimpangan aset hasil tindak pidana korupsi yang independen, dan transparan. Dengan adanya lembaga penyimpanan aset akan lebih mendayagunakan dan mengamankan kerugian keuangan negara. Ketika putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, dan atas perolehan harta kekayaan yang didapatkan dari tindak pidana korupsi

(4)

dinyatakan dirampas oleh negara, maka akan lebih memudahkan secara teknik operasional adiministratif untuk dimasukkan sebagai salah satu Penerimaan Negara Non APBN.

B. Implikasi

1. Implikasi Teoretis

Dari uraian terdahulu diketahui bahwa berbagai faktor baik yuridis maupun praktis telah mempengaruhi kemampuan aparat penegak hukum dalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi, khususnya tentang pembayaran uang denda dan uang pengganti dalam rangka

asset recoveryhasil perolehan tindak pidana korupsi.Di sisi lain ketentuan internasional UNCAC 2003 yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006 telah membuka peluang bagi sistem hukum Indonesia untuk mengadopsi prinsip in rem dalam revisi undang-undang pemberantasan korupsi dan RUU Perampasan Aset. Konsep sita jaminan yang dahulunya digunakan untuk hukum perdata diadopsi untuk diterapkan pada hukum pidana. Hal ini bukan pertama kali dilakukan, akan tetapi konsep uang denda dan uang pengganti yang digunakan dalam hukum perdata sudah lebih dahulu di adopsi dalam undang-undang KUHP dan Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga dikenal dengan penyitaan terhadap benda, namun penyitaan yang diatur adalah hanya menyangkut harta benda yang terkait dengan tindak pidana korupsi. Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mengatur penyitaan terhadap harta kekayaan lain dari pelaku tindak pidana korupsi yang didapatkan secara sah sebagai jaminan pembayaran pidana pengganti. Tindakan Negara dalam pengaturan pengembalian aset tindak pidana korupsidengan menerapkan konsep sita jaminan adalah berdasarkan keadilan umum (justitia generalis), keadilan menurut kehendak undang-undang yang harus ditunaiikan demi kepentingan umum. Ilmu hukum pidana harus selalu berkembang dan

(5)

seiring dengan perkembangan kejahatan. Hukum jangan sampai tertinggal oleh kejahatan. Oleh sebab itu dengan penelitian ini ada pembaharuan melalui pengembangan ilmu dan paradigma penegakan hukum tindak pidana korupsi.Manfaat dari penelitian ini bisa diajdikan bahan ajar dan naskah akademik perbaikan undang-undang korupsi dan harmonisasi undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.

1. Implikasi Praktis

Hakikat pengembalian kerugian keuangan negara hasil tindak pidana korupsi sebagai kebajikan sosial tercermin dalam hukum dan penegakan hukum yang mengatur pengembalian kerugian keuangan negara hasil tindak pidana korupsi untuk membantu, mendukung dan memberdayakan institusi negara dalam mengembalikan aset hasil tindak pidana korupsi. Selanjutnya guna penegakan hukum tindak pidana korupsi dipandang perlu dalam revisiUndang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan RUU Perampasan Aset dimasukkan ketentuan tentang penerapan ‘sita jaminan’dengan pendekatan in rem, selain tentunya pemidanaan terhadap pelaku tetap diberlakuan dengan ancaman hukum yang maksimal. Keberlakuan sita jaminan dalam pembayaran pidana pengganti juga akan menjamin pengembalian kerugian keuangan negara. Untuk itu, dalam penerapan pidana uang pengganti, maka akan lebih mudah jika penetapan uang pengganti disamakan dengan kerugian keuangan negara yang ditimbulkan. Dengan demikian dengan penerapan sita jaminan pada proses penyidikan dan penuntutan, lebih menjamin proses pengembalian aset perolehan hasil korupsi menjadi optimal.

Dalam rangka mengintegrasikan penerapan sita jaminan ini, maka harus pula diimbangi dengan kelembagaan pemberantasan korupsi yang mengedepankan sinergitas koordinasi antara lembaga penegak hukum. Koordinasi bagi suatu institusi merupakan hal yang sangat vital untuk dilakukan, terlebih lagi dalam hal penegakan hukum tindak pidana korupasi di antara aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana Criminal Justice

(6)

System. Begitupun dengan lembaga penyimpanan aset, harus pula dibentuk suatu lembaga khusus yang permanen dalam kaitannya dengan penyelematan keuangan negara. Dengan hadirnya lembaga ini, maka penyimpanan atas segala harta kekayaan yang didapatkan dari tindak pidana korupsi yang selama ini dilakukan oleh berbagai lembaga penegak hukum, disatukan dalam lembaga khusus penyimpanan aset.

A. Rekomendasi

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan sumbangsarannya yakni sebagai berikut:

1. Aspek kelembagaan penegak hukum tindak pidana korupsi ditingkatkan sarana, parasarana dan gajinya agar dapat bekerja dengan baik dalam rangka asset tracingdan asset recovery dalam rangkamengembalikan kerugian keuangan negara akibat korupsi. Peraturan-perundang-undangan yang mengatur tentang asset recovery hasil tindak pidana korupsi harus ada kepastian, sehingga penyidik dan penuntut umum pada saat melakukan penyitaan dan eksekusi aset para koruptor tidak pernah ragu dan ambigu. Sinergitas antara kelembagaan penegak hukum pemberantasan tindak pidana korupsi yang terkait dengan implementasi

asset tracing sebagai bagian asset recovery. Dalam rangka menerapkan sita jaminan diperlukan kesatuan pelaksanaan tugas di antara aparat penegak hukum yang terjalin dalam criminal justice system (Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman) ditambah dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pertukaran informasi dan data yang didapatkan selalu dikonfirmasikan di antara aparat penegak hukum melalui saluran koordinasi yang efektif. Diperlukan perubahan dan perbaikan substansi hukum yang berkaitan dengan pengembalian aset perolehan hasil tindak pidana korupsi dengan memasukkan konsep sita jaminan pada peraturan perundang-undangan pemberantasan dan perampasan aset korupsi. Mengajak peran serta aktif masyarakat dalam memerangi tindak pidana

(7)

korupsi dengan cara menjadi pelapor kejadian tindak pidana korupsi dan juga melaporkan aset yang dimiliki para koruptor kepada para penegak hukum.

2. Diperlukan pengaturan penerimaan berlakunya penerapan Sita Jaminan dalam sistem peradilan pidana tindak pidana korupsi. Dengan demikian, maka terhadap Pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusiaserta Dewan perwakilan Rakyat dalam hal ini komisi III yang sedang membahasRancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Rancangan Undang Undang Perampasan Aset yang mengatur tentang asset recoveryperolehan hasil tindak pidana korupsi perlu dikaitkan dengan asset tracing dan sita jaminan sebagai satu kesatuan. Keberlakuan Sita Jaminan juga diterapkan dalam penjaminan pembayaran uang denda dan uang pengganti. Dengan demikian, akan menimbulkan kepastian penerimaan pembayaran uang denda dan uang pengganti sebagai perolehan penerimaan negara non Anggaran Perencanaan Belanja Negara (APBN).

3. Sita Jaminan diterapkan pada saat proses penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi. Kelembagaan sita jaminan, dalam melaksanakan

asset recovery, diperlukan suatu sistem untuk identifikasi, klasifikasi, penyimpanan, pengelolaan, dan pelepasan aset. Identifikasi dan klasifikasi terkait dengan proses penelurusan aset (asset tracing) yang dilakukan pada tahap penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi untuk kemudian menjadi dasar bagi berlakunya sita jaminan yang akan dilakukan. Dibutuhkan peraturan yang konsekwen dijalankan seperti LHKPN, dan Data Pajak yang sangat diperlukan sebagai basis data. Diperlukan juga lembaga pengelolaan dan penyimpanan aset hasil tindak pidana korupsi yang dibentuk secara khusus oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan Ham bekerja sama dengan Direktorat Perbendaharaan Negara bekerjasama dengan menyiapkan Peraturan perundangannya serta kelembagaanya. Hadirnya lembaga penyimpanan aset sekaligus juga mengintegrasikan berbagai kewenangan penyimpanan asset yang selama ini tersebar dalam berbagai lembaga penegak hukum.

Referensi

Dokumen terkait

Teknik yang digunakan adalah menganalisis sistem pendidikan pada zaman Shouwa di Jepang dan dampak penerapan sistem pendidikan pada zaman Shouwa di Jepang yang terkandung

Fathansyah., Basis Data, Penerbit Informatika Bandung, edisi ke-5, 2004 Quis Mahasiswa memahami konsep denormalisasi data serta mampu mengimplementasikan dalam perancangan

Keberadaan ternak sapi sangat menunjang kegiatan budidaya jambu mete karena memberikan beberapa keuntungan seperti tambahan pendapatan (dari proses produksi), sumber tenaga

Lampiran 14 Kelas kemampuan lahan di tiap satuan lahan DAS Sape Lombok

Nilai rugi kelengkungan mendekati nol menunjukkan keadaan yang sama dengan keadaan fiber optik dalam keadaan lurus tanpa mengalami kelengkungan, panjang gelombang 1310 nm mengalami

Pada intinya, komunitas dunia menyatakan bahwa: (a) negara-negara harus melindungi rakyatnya dari pemusnahan massal, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan

Berdasarkan wawancara informan di atas menunjukkan bahwa instansi di Kabupaten Jember sudah melakukan kajian program- program lintas sektor sebagaimana yang