PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP RESPON TERMOREGULASI
DAN PRODUKTIVITAS SAPI
FRIESIEN HOLSTEIN
(FH)
DI KAMPAR DAN DUMAI
M. ZAKI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Lingkungan Terhadap Respon Termoregulasi dan Produktivitas Sapi Friesien Holstein (FH) di Kampar dan Dumai adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2015 M.Zaki NRP D151120121
RINGKASAN
M. ZAKI. Pengaruh Lingkungan Terhadap Respon Termoregulasi dan Produktivitas Sapi Friesien Holstein (FH) di Kampar dan Dumai. Dibimbing oleh BAGUS PRIYO PURWANTO dan AFTON ATABANY.
Sapi Friesien Holstein (FH) merupakan sapi perah daerah temperate yang tergolong sensitif terhadap suhu dan kelembaban lingkungan yang tinggi. Lingkungan (iklim) merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas dan respon termoregulasi ternak. Cekaman panas pada sapi perah ditandai dengan meningkatnya denyut jantung, pernafasan, suhu tubuh serta menurunnya produktivitas ternak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh lingkungan terhadap respon termoregulasi dan produktivitas sapi FH yang dipelihara di dataran rendah pada dua daerah yang mempunyai lintang rendah (01°25 Lintang utara - 00°20 Lintang Selatan dan 01°23°23 - 01°24°23 Lintang Utara) di Kampar dan Dumai. Parameter yang diamati pada penelitian ini yaitu pengukuran lingkungan iklim mikro dalam kandang meliputi suhu lingkungan (Ta), kelembaban udara (Rh) Temperature Humidity Index (THI) dan Kecepatan Angin. Pengukuran respon termoregulasi antara lain denyut jantung (Hr), frekuensi respirasi (Rr), suhu rektal (Tr), suhu permukaan kulit (Ts) dan suhu tubuh (Tb). Pengukuran lainnya adalah produksi susu, konsumsi pakan dan uji kualitas susu dengan menggunakan milkotester.
Penelitian dilakukan selama dua bulan di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar dan Balai Kaji Terap Peternakan Kota Dumai. Berdasarkan hasil penelitian dapat dikonfirmasi bahwa kondisi lingkungan (suhu, kelembaban dan THI) pada daerah lintang rendah (Kampar dan Dumai) cukup tinggi sehingga menyebabkan sapi FH mengalami cekaman panas yang berakibat pada terjadinya stres ringan dan sedang. Faktor lingkungan berpengaruh terhadap respon termoregulasi (denyut jantung, respirasi, suhu rektal, suhu kulit dan suhu tubuh) dan produksi susu sapi FH di Kampar dan Dumai. Denyut jantung dan suhu rektal sapi FH di Kampar dan Dumai masih berada pada kisaran normal karena ternak berusaha untuk menyamankan diri dengan cara lebih banyak istirahat (duduk) agar berada pada keadaan nyaman. Peningkatan suhu lingkungan mengakibatkan ternak berusaha mengeluarkan panas dengan cara meningkatkan respirasi dan suhu kulit. Produksi susu sapi FH di Dumai 0.90 liter ekor-1 hari-1 lebih rendah dibandingkan Kampar 4.85 liter ekor
-1
hari-1. Perbedaan jumlah konsumsi pakan antara sapi FH di Kampar dan Dumai berpengaruh terhadap konsumsi BK, PK dan TDN.
SUMMARY
M. ZAKI. Environmental Effects on Thermoregulatory Responses and Productivity Friesien Holstein (FH) in Kampar and Dumai. Supervised by BAGUS PRIYO PURWANTO and AFTON ATABANY.
Friesien Holstein (FH) is a temperate dairy cattle that sensitive to high temperature and humidity. Climate is one of factors which affected performance and thermoregulatory responses in cattle. Heat stress in diary cattles were indicated by the increasing of heart rate, respiration rate, and body temperature and decreasing animal productivity. The objective of this research was to observe environmental effect on thermoregulatory and productivity Friesien Holstein (FH) which kept in two lowland areas (Kampar : 01 °25 North Latitude-00°20 South Latitude, Dumai : 01°23°23-01°24°23 North latitude) in Kampar and Dumai. Observed variables were microclimate (environment temperature, relative humidity, Temperature Humidity Index, winds velocity) and thermoregulatory response (rectal temperature, heart rate, respiration rate, skin temperature and body temperature). milk production, feed intake and milk quality. The research were done for two months at UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar dan Balai Kaji Terap Peternakan Kota Dumai.
The results showed that, its was confirmed that environtmental condition in lowland area were high and affected dairy cattle in heat stress condition (moderate and low heat stress). Environment factors affected thermoregulatory responses (heart rate, respiration, skin temperature and rectal temperature) and milk production of FH in Kampar and Dumai. Heart rate and rectal temperature of FH in Kampar and Dumai were in normal ranges. The increasing of environment temperatures affected livestocks to produce more heat which then increased respiration rates and skin temperature. Milk production in Dumai was 0.90 liter head-1 day-1 lower than Kampar 4.85 liter head-1 day-1. The difference between amount of feed consumption between Kampar and Dumai affected the consumption of DM, CP and TDN, respectively.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP RESPON TERMOREGULASI
DAN PRODUKTIVITAS SAPI
FRIESIEN HOLSTEIN
(FH)
DI KAMPAR DAN DUMAI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
M. ZAKI
Judul Tesis : Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Respon Termoregulasi dan Produktivitas Sapi Friesien Holstein (FH) di Kampar dan Dumai Nama : M.Zaki
NIM : D151120121
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Bagus P Purwanto MSc Agr Dr Ir Afton Atabany MSi
Ketua Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Dr Ir Salundik MSi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah MSc Agr Tanggal Ujian: 11 Agustus 2015 Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2014 sampai dengan bulan Juli 2014 dengan judul Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Respon Termoregulasi dan Produktivitas Sapi Friesien Holstein (FH) di Kampar dan Dumai.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Bagus Priyo Purwanto MSc Agr dan Bapak Dr Ir Afton Atabany MSi selaku pembimbing yang telah banyak memberi bimbingan, saran, waktu dan tenaga sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Terima kasih juga disampaikan kepada kedua Orang Tuaku Bapak Efendy dan Ibu Surina yang tidak hentinya mendoakan, menjadi penyemangat dan pendengar yang setia. Terima kasih kepada abangku Adi Arman, Kakakku Yanti Adekku Amri dan teman-temanku Guntur, Cica, Ely terima kasih atas segala doa, waktu, semangat serta kasih sayangnya. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr Ir Salundik MSi, Ibu Dr Ir Niken Ulupi MS sebagai ketua dan sekretaris program studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Sekolah Pascasarjana IPB, kepada Bu Ade dan Okta yang telah banyak membantu dalam bidang akademik. kepada seluruh dosen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Terima kasih kepada Bapak Ismail dan Ibu Tia yang telah sudi meluangkan waktu untuk berdiskusi, berbagi ilmu, nasehat dan saran serta masukannya demi tesis ini. Terima kasih kepada UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar dan Balai Kaji Terap Peternakan Kota Dumai yang telah bersedia menyediakan tempat untuk penulis melakukan penelitian. Terima kasih kepada program beasiswa BU DIKTI 2012 atas bantuan biaya pendidikannya.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman seperjuangan Diana, Zikri Maulina Gaznur, Puput, Dani, Bapak Hendra, Rauf, Gunawan, Salwa, Dapot, Oja, Ifau dan seluruh teman-teman ITP 2012 terima kasih atas semangat dan kebersamaannya serta kontribusinya dalam proses penyelesaian tesis ini. Terimakasih atas segala bantuan dari semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk kita semua dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya.
Bogor, Oktober 2015
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 1 Manfaat Penelitian 2 2 METODOLOGI PENELITIAN 2Waktu dan Tempat Penelitian 2
Ternak 2
Prosedur 2
Analisis Data 4
HASIL DAN PEMBAHASAN 5
Kondisi Mikroklimat Kandang Sapi FH di Kampar dan Dumai 5 Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Respon Termoregulasi Ternak 6
Konsumsi Pakan dan Produksi Susu 10
SIMPULAN 12
DAFTAR PUSTAKA 12
DAFTAR TABEL
1 Kandungan nutrisi pakan penelitian 4
2 Kondisi mikroklimat lokasi penelitian 5
3 Rataan denyut jantung, frekuensi respirasi, suhu rektal, suhu kulit dan
suhu tubuh 7
4 Persamaan regresi suhu kandang dengan respon termoregulasi sapi FH 7 5 Rataan konsumsi hijauan dan ampas tahu sapi FH di Kampar dan
Dumai 10
6 Rataan produksi susu sapi FH di Kampar dan Dumai 11
DAFTAR GAMBAR
1 Rataan suhu kandang, kelembaban dan THI selama penelitian 6 2 Rataan denyut jantung, frekuensi respirasi, suhu rektal dan suhu kulit
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sapi Friesien Holstein (FH) merupakan sapi perah daerah suhu sedang (temperate) yang tergolong sensitif terhadap suhu dan kelembaban lingkungan yang tinggi. Peternakan sapi perah di Indonesia umumnya dikembangkan di daerah dataran tinggi karena adanya perbedaan suhu antara daerah dataran rendah dengan daerah dataran tinggi. Suhu udara yang relatif panas di daerah dataran rendah akan menyebabkan menurunnya konsumsi pakan sehingga hal ini akan berpengaruh terhadap produksi susu. Pemeliharaan sapi perah di dataran rendah umumnya menunjukkan kemampuan produksi susu yang lebih rendah dibandingkan dengan dataran tinggi. Sapi FH di Indonesia mempunyai produksi susu yang rendah dan tidak sesuai dengan potensi genetiknya. Rataan produksi susu harian sapi FH di Indonesia kurang dari 16 liter per ekor (Toharmat et al. 2007).
Sebagian besar sapi perah yang ada di Indonesia adalah sapi bangsa Friesien Holstein (FH), yang didatangkan dari negara-negara Eropa dan memiliki iklim sedang (temperate) dengan kisaran suhu termonetral rendah berkisar 13-18°C (McDowell 1972), 5-25°C (McNeilly 2001). Iklim tropis di Indonesia menjadi tantangan terbesar dalam upaya optimalisasi produksi susu. Indonesia merupakan wilayah yang berada di daerah beriklim tropis yang mempunyai kondisi suhu dan kelembaban lingkungan yang berfluktuasi. Suhu lingkungan akan sedikit lebih rendah dan kelembaban sedikit lebih tinggi saat musim hujan dan terjadi kondisi sebaliknya saat musim kemarau, suhu dan kelembaban lingkungan tersebut masih lebih tinggi apabila dibandingkan dengan lingkungan di wilayah temperate. Kelembaban di Indonesia tergolong tinggi yaitu 70%-80% akan mempengaruhi metabolisme tubuh ternak terutama saat mengeluarkan panas tubuh, sehingga kondisi ini akan mempengaruhi respon termoregulasi. Yousef (1985) menyatakan meningkatnya suhu udara mengakibatkan sapi perah yang dipelihara akan terkena cekaman panas sehingga hal ini akan berpengaruh negatif terhadap proses faali, produksi susu maupun reproduksi
Produktivitas sapi FH sebagai tipe sapi perah dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain lingkungan dan pakan. Yani et al. (2007) menyatakan bahwa sapi FH yang ditempatkan pada suhu dan kelembaban udara yang tidak mendukung maka sapi akan mengalami cekaman panas sehingga akan berpengaruh terhadap menurunnya produktivitas sapi FH. Sapi perah dipelihara di lingkungan berbeda akan menunjukkan produktivitas yang berbeda pula, sehingga perlu diketahui bagaimana pengaruh lingkungan terhadap respon termoregulasi dan produktivitas sapi perah tersebut.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian adalah untuk mengkaji pengaruh lingkungan terhadap respon termoregulasi dan produktivitas sapi FH yang dipelihara didataran rendah Kabupaten Kampar dan Kota Dumai (01°25 LU - 00°20 LS dan 01°23°23 - 01°24°23 LU)
Manfaat Penelitian
Memberikan informasi kepada pihak terkait tentang respon termoregulasi dan produktivitas sapi FH yang dipelihara didataran rendah Kabupaten Kampar dan Kota Dumai.
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juli 2014. Bertempat di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar dan Balai Kaji Terap Peternakan Kota Dumai.
Ternak
Ternak yang digunakan pada penelitian ini adalah sapi FH laktasi yang berada di UPT Balai Pembibitan dan Pelatihan Ternak Ruminansia Kabupaten Kampar sebanyak 6 ekor dengan rataan bobot badan 498 kg ekor-1 dan 4 ekor ternak di Balai Kaji Terap Peternakan Kota Dumai dengan rataan bobot badan 393 kg ekor-1.
Prosedur
Pengukuran unsur iklim mikro dalam kandang meliputi suhu lingkungan (Ta), kelembaban udara (Rh), Temperature Humidity Index (THI) dan kecepatan angin dilakukan setiap jam mulai pukul 06.00 pagi hingga pukul 18.00 sore. Pengukuran respon fisiologis antara lain suhu rektal (Tr), denyut jantung (Hr), frekuensi respirasi (Rr), suhu kulit (Ts) dan suhu tubuh (Tb) dilakukan setiap hari selama penelitian pada pagi hari (pukul 06.00) siang hari (pukul 12.00) dan sore hari (pukul 18.00). Produksi susu dan konsumsi pakan diukur setiap hari selama penelitian. Uji kualitas susu dilakukan seminggu sekali untuk masing-masing lokasi penelitian.
Peubah
Peubah yang diamati pada penelitian ini yaitu pengukuran unsur iklim mikro dalam kandang meliputi suhu lingkungan (Ta), kelembaban udara (Rh), Temperature Humidity Index (THI) dan kecepatan angin. Pengukuran respon termoregulasi antara lain suhu rektal (Tr), denyut jantung (Hr), frekuensi respirasi (Rr) suhu kulit (Ts) dan suhu tubuh (Tb). Diukur juga produksi susu, konsumsi pakan dan uji kualitas susu dengan menggunakan milkotester.
Suhu dan Kelembaban
Suhu dan kelembaban diukur dengan menggunakan termohygrometer dan diukur setiap jam untuk melihat perubahan suhu dan kelembaban kandang selama penelitian.
3
Temperature Humidity Index (THI)
THI dihitung berdasarkan data suhu dan kelembaban selama penelitian dengan menggunakan rumus (Yousef 1985)
THI = (1.8xT+32) – ((0.55-0.005xRh) x (1.8xT-26)) Keterangan:
T : Suhu (C°) Rh : Kelembaban
Kecepatan Angin
Kecepatan angin diukur dengan menggunakan Anemometer dan diukur setiap jam selama penelitian.
Denyut Jantung (Hr)
Pengukuran denyut jantung dilakukan dengan mengukur jumlah detakan di bagian dada kiri atas (dekat lengan) dengan menggunakan stetoskop. Penghitungan denyut jantung dengan cara menghitung banyaknya denyutan per menit. Pengukuran diulang sebanyak tiga kali dalam setiap pengambilan data denyut jantung.
Frekuensi Respirasi (Rr)
Pengukuran respirasi dilakukan dengan mengamati dan menghitung frekuensi gerakan tulang rusuk, perut, dan atau rongga dada. Penghitungan frekuensi respirasi dengan cara menghitung banyaknya respirasi dalam satu menit. Pengukuran diulang sebanyak tiga kali dalam setiap pengambilan data frekuensi respirasi. Data frekuensi respirasi adalah rata-rata dari ketiga pengukuran.
Suhu Rektal (Tr)
Suhu rektal diukur dengan memasukkan termometer digital kedalam rektal sapi sedalam ± 5 cm selama ± 3 menit.
Suhu Permukaan Kulit (Ts)
Pengukuran suhu permukaan dilakukan pada empat titik lokasi pengukuran yaitu punggung (a), dada (b), tungkai atas (c) dan tungkai bawah (d). Rataan suhu permukaan kulit dihitung berdasarkan modifikasi rumus McLean et al. (1983) yaitu :
Ts = 0.25 (a + b) + 0.32 c + 0.18 d
Suhu Tubuh (Tb)
Pengukuran Suhu tubuh (Tb) dilakukan dengan menggunakan data suhu kulit (Ts) dan suhu rektal (Tr) berdasarkan persamaan McLean et al. (1983) yaitu :
Tb = 0.86 Tr + 0.14 Ts Keterangan:
Tr = Suhu rektal Ts = Suhu Kulit
Produksi Susu dan Uji kualitas Susu
Produksi susu didapat dengan cara mengukur banyaknya susu yang dihasilkan tiap ekor sapi dengan satuan liter. Waktu pengukuran dilakukan sesuai dengan jadwal pemerahan, pada pagi dan sore hari. Uji kualitas susu dilakukan dengan menggunakan milkotester.
Konsumsi Pakan
Konsumsi pakan diukur setiap hari dengan menghitung selisih antara pakan yang diberikan dikurangi dengan pakan sisa. Pengukuran konsumsi pakan dilakukan setiap hari selama penelitian. Analisis proksimat pakan dilakukan pada setiap jenis pakan (hijauan dan konsentrat). Pakan yang diberikan pada penelitian ini berupa rumput gajah (Pennisetum purpureum) dan ampas tahu. Kandungan nutrisi pakan penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Kandungan nutrisi pakan penelitian Paramet
er
Rumput gajah Ampas tahu
Kampa
r Dumai Kampar Dumai
Kadar Air* 72.70 73.80 80.40 - Bahan Kering* 27.30 26.20 19.60 - Kadar Protein* 11.46 9.04 20.64 - BETN** 44.92 38.88 49.32 - Serat Kasar* 27.76 35.01 20.67 - Lemak* 1.87 1.76 6.29 - Kadar Abu* 13.99 15.31 3.07 - TDN** 52.32 45.56 69.12 -
Sumber: *) Hasil Analisa Proksimat Laboratorium PAU, 2014 berdasarkan Bahan Kering; **) Berdasarkan Hasil Perhitungan;
***) Berdasarkan Hasil Perhitungan Menurut Hartadi et al (1981)
Analisis Data
Analisa hasil penelitian ini dilakukan secara deskriptif dengan menghitung rataan dan standar deviasinya. Hubungan antara faktor lingkungan (Suhu dan kelembaban) dengan respon termoregulasi ternak dianalisa dengan menggunakan persamaan regresi kuadratik polinomial dengan persamaan berikut ini (Steel and Torie 1980)
Y = a + bx + cx2 Keterangan:
y = Variabel tidak bebas (suhu rektal, denyut jantung, frekuensi respirasi, suhu kulit dan suhu tubuh)
x = Variabel bebas (Suhu Lingkungan) a = Intersep.
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Mikroklimat Kandang Sapi FH di Kampar dan Dumai
Lingkungan (merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penampilan produksi dan kelangsungan hidup sapi perah. Rataan suhu kandang, kelembaban, THI dan kecepatan angin lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Rataan suhu kandang, kelembaban, THI dan kecepatan angin
Peubah Kampar (min-max) Dumai (min-max)
Suhu Kandang (°C) 29.89 ± 1.41(23.4-35.9) 31.45 ± 1.28 (23.2-37.6) Kelembaban (%) 73.86 ± 6.10 (47 – 90) 66.7 ± 7.03 (37 – 91) THI 82.45 ± 1.33 (72.44 –87.02) 81.48 ± 1.22 (72.2 – 88.54) Kecepatan Angin (m s-1) 1.29 ± 0.5 (0 -3.40) 1.60 ± 0.68 (0 -5.58)
Suhu dan kelembaban merupakan faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas ternak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa suhu kandang di Dumai lebih tinggi dibandingkan di Kampar. Gambar 1 menunjukkan bahwa suhu kandang di Dumai dan Kampar dari pukul 06.00 pagi sampai siang hari terus meningkat hingga mencapai suhu puncak pada pukul 15.00 WIB dengan suhu maksimal di Dumai dan Kampar masing-masing adalah 37.6°C dan 35.9°C. Suhu udara dalam kandang di Dumai dan Kampar berasal dari suhu udara lingkungan yang naik pada pagi hingga siang hari dan menurun kembali pada pukul 16.00 sore hari. Jones dan Stallings (1999) menyatakan zona termonetral sapi FH yang dikembangkan Eropa 5 – 25°C. Rataan kelembaban lingkungan kandang di Kampar lebih tinggi daripada Dumai. Gambar 1 memperlihatkan bahwa kelembaban udara di Kampar dan Dumai selalu berubah-rubah mengikuti perubahan suhu kandang, dimana kelembaban pada pukul 06.00 terus menurun hingga pukul 15.00 WIB dan mulai naik pada pukul 16.00. Yani dan Purwanto (2006) menyatakan bahwa sapi FH akan menunjukkan penampilan produksi yang optimal apabila ditempatkan pada lingkungan dengan kelembaban 55%. Kelembaban udara yang tinggi dengan sedikit pergerakan udara akan menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya stress panas pada sapi perah. Kelembaban udara akan mengakibatkan peningkatan penambahan panas dan pengurangan jumlah panas yang dikeluarkan melalui jalur evaporasi dari permukaan kulit dan saluran pernafasan (Purwanto et al. 1993).
Hubungan besaran suhu dan kelembaban udara atau biasa disebut “Temperature Humidity Index (THI)” yang dapat dijadikan indikator tingkat stres
sapi perah. THI di Kampar sebesar 72.44–87.02, sedangkan Dumai yaitu 72.2–88.54. Sapi perah di Kampar dan Dumai mengalami stres ringan hingga
sedang. Wierema (1990) menyatakan bahwa nilai THI yang aman bagi sapi perah kurang dari 72, Jika nilai THI melebihi 72 maka sapi perah FH akan mengalami stres ringan (72-79), stres sedang (80-89) dan stres berat (90-97). Gambar 1 menunjukkan bahwa nilai THI di Dumai dan Kampar terus meningkat dari pagi hingga pukul 15.00 dan mulai turun kembali pada pukul 16.00 WIB.
Gambar 1 Rataan suhu kandang, kelembaban dan THI selama penelitian Rataan kecepatan angin di Kampar selama penelitian adalah 1.29 m s-1 sedangkan rataan angin di Dumai adalah 1.60 m s-1. Adanya hembusan angin di dalam kandang dapat mengurangi stress panas. Beede dan Coolier (1986) menyatakan bahwa angin dapat digunakan untuk mereduksi cekaman panas pada ternak. Tubuh sapi FH memerlukan kecepatan angin yang lebih untuk mereduksi cekaman panasnya, sehingga pengaruh kecepatan angin pada siang hari pada kondisi udara cerah tidak banyak terhadap penurunan cekaman panas tubuh sapi FH (Yani dan Purwanto 2006)
Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Respon Termoregulasi Ternak
Suhu udara yang tinggi dapat meningkatkan beban panas pada ternak selain panas yang berasal dari proses metabolisme pakan. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan ternak mengalami kesulitan dalam pelepasan panas. Cekaman panas pada sapi perah ditandai dengan meningkatnya denyut jantung, pernafasan, suhu rektal (Broucek et al. 2006). Rataan denyut jantung, frekuensi respirasi, suhu rektal, suhu kulit dan suhu tubuh sapi FH selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 3, sedangkan hubungan antara suhu kandang dengan respon termoregulasi dapat dilihat pada Tabel 4.
7
Tabel 3 Rataan denyut jantung, frekuensi respirasi, suhu rektal, suhu kulit dan suhu tubuh
Peubah Kampar Dumai
Denyut Jantung (kali menit-1) 65± 3.52 64± 4.32 Frekuensi Respirasi (kali/menit-1) 40 ± 4.76a 32 ± 4.65b
Suhu Rektal (°C) 38.27 ± 0.09 38.27 ± 0.13
Suhu Kulit (°C) 33.38 ± 0.40a 32.44 ± 0.86b
Suhu Tubuh (°C) 37.59 ± 013 37.45 ± 0.21
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05)
Tabel 4 Persamaan regresi suhu kandang dengan respon termoregulasi sapi FH
Keterangan Persamaan Regresi R-Square (R2)
Denyut Jantung (Hr) Dumai Hr = -103.558 + 10.649x - 0.165x2 R2 = 0.58 Kampar Hr = -181.009 + 16.444x - 0.270x2 R2 = 0.73 Frekuensi Respirasi (Rr) Dumai Rr = -43.023 + 3.254x - 0.025x2 R2 = 0.64 Kampar Rr = -227.872 + 16.7121x - 0.254x2 R2 = 0.64 Suhu Rektal (Tr) Dumai Tr = 23.15 + 0.95x - 0.014x2 R2 = 0.72 Kampar Tr = 21.90 + 1.06x - 0.017x2 R2 = 0.77 Suhu Kulit (Ts) Dumai Ts = 5.267+ 1.178x - 0.009x2 R2 = 0.94 Kampar Ts = 18.920 + 0.654x - 0.005x2 R2 = 0.80 Suhu Tubuh (Tb) Dumai Tb = 20.623 + 0.980x – 0.014 x2 R2 = 0.92 Kampar Tb = 21.473 + 1.005x – 0.015 x2 R2 = 0.86 Rataan denyut jantung sapi FH pada penelitian ini yaitu di Kampar 65 kali menit-1 sedangkan di Dumai 64 kali menit-1. Hasil ini tidak jauh berbeda dibandingkan hasil yang dilaporkan Purwanto et al. (1995) yaitu 64 dan 67 kali menit-1 pada suhu 18°C dan 32°C. Hasil analisis persamaan regresi kuadratik pada Tabel 4 memperlihatkan bahwa nilai koefesien determinasi denyut jantung di Kampar dan Dumai masing-masing sebesar 0.72 dan 0.58. Suhu lingkungan di Kampar dan Dumai mempengaruhi denyut jantung sebesar 72% dan 58%. Denyut jantung di Kampar dan Dumai diduga juga dipengaruhi oleh faktor lain diluar lingkungan seperti aktivitas ternak dan pakan.
Cunningham (2002) menyatakan selain dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembaban udara denyut jantung juga dipengaruhi oleh aktifitas ternak dan pakan. Konsumsi pakan sapi FH di Kampar lebih baik bila dibandingkan sapi FH di Dumai yang hanya mengkonsumsi hijauan sehingga akan berpengaruh terhadap produksi panas yang dihasilkan oleh tubuh. Utomo et al. (2009) menyatakan pakan dengan kualitas rendah menyebabkan proses fermentasi didalam rumen lebih lambat, sehingga panas yang dihasilkan dari
energi untuk proses metabolisme tubuh lebih kecil, sedangkan pemberian pakan dengan kualitas baik akan terjadi sebaliknya. Panas yang dihasilkan dari energi pakan akan menambah beban panas bagi ternak apabila suhu lingkungan lebih tinggi dibandingkan suhu nyaman. Rahardja (2007) menyatakan bahwa panas yang diproduksi tubuh tergantung dari aktivitas ternak serta pakan yang diberikan dan pakan yang dikonsumsi. Reaksi sapi FH terhadap perubahan suhu yang dilihat dari respons pernapasan dan denyut jantung merupakan mekanisme dari tubuh sapi untuk mengurangi atau melepaskan panas yang diterima dari luar tubuh ternak.
Tujuan respirasi adalah untuk memaksimalkan pengeluaran panas karena ternak berada pada kandang dengan suhu dan kelembaban tinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rataan frekuensi respirasi sapi FH di Kampar dan Dumai berada diatas kisaran normal (Frandson 1996) yaitu 24-30 kali menit-1. Rataan frekuensi respirasi sapi FH di Kampar pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan Dumai. Berdasarkan analisis persamaan regresi dapat dilihat bahwa suhu lingkungan berpengaruh terhadap meningkatnya frekuensi respirasi. Peningkatan frekuensi respirasi sapi FH di Kampar dan Dumai dipengaruhi oleh suhu lingkungan sebesar 64%. Meningkatnya frekuensi respirasi di Kampar dan Dumai merupakan akibat ternak berada diluar zona nyaman sehingga ternak mengalami stress panas. Perbedaan pakan yang diberikan diduga berpengaruh terhadap frekuensi respirasi. Novianti (2014) menyatakan bahwa peningkatan frekuensi respirasi diakibatkan oleh reaksi ternak terhadap perubahan suhu lingkungan sehingga akan berakibat terhadap naiknya produksi panas didalam tubuh ternak. Ternak homeoterm dalam kondisi suhu udara yang tinggi akanmelakukan penyesuaian metabolisme sehingga dicapai kondisi yang seimbang (Collier et al 1982). Utomo et al (2009) menyatakan metabolism pakan akan menghasilkan energi yang dipergunakan oleh ternak untuk menjalankan fungsi fisiologis seperti pernafasan dan pengaturan keseimbangan tubuh. Hal tersebut akan menghasilkan panas tambahan bagi tubuh. Isnaeni (2006) menyatakan kesulitan dalam pelepasan panas secara sensible, menyebabkan ternak melepaskan panas secara insensible (evaporasi).
Pengukuran suhu rektal dilakukan untuk mengetahui suhu dalam tubuh ternak. Tabel 2 menunjukkan bahwa rataan suhu rektal sapi FH di Kampar dan Dumai sama sebesar 38.27 °C. Suhu rektal sapi FH di Kampar dan Dumai masih dikategorikan normal karena sesuai dengan pendapat Williamson dan Payne (1993) yang menyebutkan bahwa temperatur rektal sapi perah yang normal berkisar antara 38 – 39.3°C. Hasil analisis persamaan regresi pada Tabel 3 menunjukkan bahwa suhu lingkungan berpengaruh positif terhadap meningkatnya suhu rektal di Kampar (77%) dan Dumai (72%). Terjadinya peningkatan suhu rektal sapi FH di Kampar dan Dumai pada siang hari ini diduga karena adanya pengaruh kenaikan suhu lingkungan kandang. Blakely dan Bade (1991) menjelaskan bahwa suhu rektal akan meningkat apabila ternak tidak dapat menjaga kondisi tubuhnya melalui pernafasan dan denyut jantung pada saat terjadi perubahan temperatur dan kelembaban lingkungan. Muller dan Botha (1993) yang menyatakan bahwa tingginya suhu rektal ternak pada siang hari kemungkinan juga disebabkan panas hasil metabolisme di dalam tubuh. Produksi panas pada ternak dipengaruhi oleh tingkah laku, jumlah konsumsi pakan dan suhu lingkungan. Suhu lingkungan yang panas akan menurunkan pelepasan panas
9
tubuh melalui jalur sensible (tidak evaporative). Sebaliknya pelepasan panas tubuh melalui jalur evaporasi akan meningkat sehingga mengakibatkan produksi panas metabolis akan berubah mengikuti respon termoregulasi.
Permukaan kulit ternak dapat berfungsi untuk melepaskan atau tempat pelepasan panas melalui proses radiasi, konduksi dan evaporasi (Berman 2005). Suhu kulit sapi FH di Kampar dan Dumai pada penelitian ini masing-masing yaitu 33.38 dan 32.44°C. Suhu kulit di Kampar dan Dumai pada siang hari meningkat kemudian menurun kembali pada sore hari dipengaruhi oleh suhu lingkungan kandang yang meningkat pada siang hari dan menurun pada sore hari. Hasil analisis regresi sederhana menunjukkan bahwa pengaruh suhu lingkungan terhadap suhu kulit di Kampar sebesar 0.80 sedangkan Dumai 0.94, artinya 80% dan 94% suhu lingkungan di Kampar dan Dumai mempengaruhi peningkatan suhu kulit. Hasil penelitian Suherman et al. (2013) menyatakan bahwa kulit sangat berkorelasi terhadap perubahan unsur cuaca karena mengalami kontak langsung dengan cuaca.
Gambar 2 Rataan denyut jantung, frekuensi respirasi, suhu rektal, suhu kulit dan suhu tubuh sapi FH pagi, siang dan sore hari
Suhu tubuh merupakan perwujudan dari suhu organ-organ di dalam tubuh serta organ-organ di luar tubuh. Suhu tubuh dapat di prediksi dari suhu rektal dan
suhu permukaan kulit. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan (P>0.05) antara suhu tubuh sapi FH di Kampar dan Dumai. Rataan suhu tubuh sapi FH di Kampar dan Dumai yaitu 37.59 °C dan 37.45 °C. Suhu tubuh di kedua lokasi ini masih berada pada kisaran normal. Hal ini sesuai dengan pendapat Schutz et al (2008) menyatakan suhu tubuh sapi yang dipelihara dilingkungan mikro yang nyaman yaitu berkisar antara 37.3-38.6 °C. Gambar 2 menunjukkan bahwa suhu tubuh pada pagi hari masih rendah yaitu 36.87 °C untuk Kampar dan 36.38 °C untuk Dumai, kemudian meningkat pada siang dan sore hari hingga menjadi 38.02 °C untuk Kampar dan 38.13 °C untuk Dumai. Meningkatnya suhu tubuh diduga dipengaruhi oleh meningkatnya suhu lingkungan berpengaruh terhadap suhu tubuh tenak. Suherman et al (2013) menyatakan peningkatan beban panas yang disebabkan oleh kombinasi suhu udara, kelembaban udara, pergerakan udara, dan radiasi matahari dapat meningkatkan suhu tubuh dan laju respirasi. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa suhu lingkungan berpengaruh terhadap suhu tubuh di Kampar dan Dumai sebesar 86% dan 92%. Novianti (2014) pada penelitiannya menyatakan suhu tubuh meningkat seiring dengan peningkatan suhu lingkungan, sehingga tubuh menyesuaikan dengan kondisi lingkungan.
Konsumsi Pakan dan Produksi Susu
Pemeliharaan sapi perah di dataran rendah umumnya menunjukkan kemampuan berproduksi yang lebih rendah dibandingkan dengan dataran tinggi. Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas ternak sapi perah. Sapi perah dapat hidup dengan nyaman dan akan berproduksi secara optimum bila faktor-faktor internal dan eksternal berada dalam batasan-batasan normal yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Faktor lain yang mempengaruhi produktivitas sapi perah adalah pakan. Pakan yang diberikan pada penelitian ini berupa rumput gajah dan ampas tahu. Rataan konsumsi pakan penelitian di Kampar dan Dumai dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Rataan konsumsi hijauan dan ampas tahu sapi FH di Kampar dan Dumai
Keterangan Kampar Dumai
Konsumsi Pakan (kg ekor-1 hari-1)
Hijauan 28.34a 25b
Ampas tahu 10 -
Konsumsi Pakan (% BB-1 hari-1)
Bahan Kering 1.94a 1.67b Protein Kasar TDN 0.26a 1.08a 0.15b 0.76b
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05)
Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa konsumsi pakan hijauan di Kampar berbeda nyata (P<0.05) dibandingkan Dumai. Sapi FH di Kampar mengkonsumsi hijauan 28.34 kg ekor-1 hari-1 dan ampas tahu 10 kg ekor-1 hari-1 lebih tinggi dibandingkan Dumai yang hanya mengkonsumsi hijauan 25 kg ekor-1 hari-1 tanpa
11
adanya penambahan ampas tahu. Konsumsi bahan kering (BK) dan protein kasar (PK) sapi FH di Kampar berbeda nyata (P<0.05) dibandingkan Dumai. Konsumsi BK dan PK di Kampar masing-masing 9.70 kg ekor-1 hari-1 dan 1.29 kg ekor-1 hari
-1
lebih tinggi dibandingkan Dumai 6.55 kg/ekor/hari dan 0.59 kg ekor-1 hari-1. Konsumsi BK pada penelitian ini lebih rendah dari yang disarankan NRC (2001) yang menyatakan konsumsi BK sapi laktasi sebesar 12.4 kg untuk menghasilkan 10 kg susu, sehingga hal ini akan berpengaruh terhadap produksi susu di Kampar dan Dumai. Konsumsi BK pakan juga berpengaruh terhadap respon termoregulasi ternak di Kampar dan Dumai, perbedaan jumlah konsumsi pakan berpengaruh terhadap panas yang dihasilkan dari proses metabolisme tubuh. Mcdowell (1972) menyatakan pakan yang diberikan pada ternak dalam jumlah yang berbeda akan menyebabkan kondisi fisiologis seperti suhu tubuh (panas tubuh), denyut nadi dan frekuensi nafas akan berbeda akibat perbedaan proses fermentasi atau metabolisme yang terjadi dalam tubuh, perbedaan tersebut akan berpengaruh terhadap respon produksi suatu ternak.
Suhu lingkungan merupakan salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kenyamanan dan produktivitas sapi perah. Rataan suhu kandang di Kampar dan Dumai pada saat penelitian ini adalah 29.89°C dan 31.45°C. Jones dan Stallings (1999) menyatakan zona termonetral sapi FH berkisar antara 5 – 25°C. Tabel 6 menunjukkan bahwa rataan produksi susu di Kampar dan Dumai sebesar 4.85 liter ekor-1 hari-1dan 0.90 liter ekor-1 hari-1. Suhu lingkungan yang tinggi diwilayah lintang rendah Kampar dan Dumai membuat ternak berada diluar zona nyaman sehingga ternak mengalami cekaman stress dan berpangaruh terhadap produktivitas sapi FH diwilayah ini. Hal ini sesuai dengan pendapat Rumetor (2003) menyatakan apabila ternak berada pada suhu lingkungan dan THI diluar zona nyaman akan berpengaruh terhadap gangguan termoregulasi dan menurunnya produksi susu. Produksi susu pada penelitian ini juga dipengaruhi oleh pakan yang dikonsumsi oleh ternak. Sapi FH di Dumai hanya mengkonsumsi hijauan sehingga energi yang dihasilkan dari proses metabolism juga sedikit yang berpengaruh terhadap produksi ternak. Siregar (2001) menyatakan ternak yang hanya mengkonsumsi hijauan produksi susunya akan rendah karena zat gizi yang dikonsumsi sangat rendah dan berpengaruh terhadap produksi susunya.
Tabel 6 Rataan produksi susu sapi FH di Kampar dan Dumai
Keterangan Kampar Dumai
Produksi Susu (liter ekor-1 hari-1) 4.85a 0.90b Berat Jenis (gr/ml) 1.003 1.002 Bahan Kering (%) 11.99b 12.44a
Protein (%) 2.81a 2.73b
Lemak (%) 4.20b 5.12a
SNF (%) 7.54 7.32
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05)
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa kandungan protein dan lemak susu sapi FH di Kampar dan Dumai berbeda (P<0.05). Kandungan protein susu di Kampar (2.81%) lebih tinggi dibandingkan Dumai (2.71%). Kandungan protein susu sapi FH di Kampar sesuai dengan SNI 1998 yang menyatakan batas
minimum kandungan protein susu segar adalah 2.8%, sedangkan Dumai masih berada dibawah batas minimum. Ternak di Dumai hanya mengkonsumsi hijauan tanpa adanya penambahan konsentrat sehingga hal ini berpengaruh terhadap rendahnya kadar protein dan tingginya kadar lemak. Sudono et al (2003) menyatakan peningkatan kadar protein susu disebabkan oleh penurunan rasio hijauan dalam pakan yang menyebabkan rasio konsentrat meningkat. Ternak yang hanya mengkonsumsi hijauan produksi susunya akan menurun dan kadar lemaknya akan meningkat. Menurut SNI susu segar tahun 1998 batas minimum kandungan lemak susu adalah 3%, berdasarkan penelitian ini dapat dilihat kadar lemak susu sapi FH di Dumai (5.12%) lebih tinggi dibandingkan Kampar (4.20%).
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat dikonfirmasi bahwa kondisi lingkungan (Suhu, kelembaban dan THI) pada daerah lintang rendah (01°25 LU - 00°20 LS dan 01°23°23 - 01°24°23 LU) di Kampar dan Dumai cukup tinggi sehingga menyebabkan sapi FH mengalami cekaman panas yang berakibat pada terjadinya stres ringan dan sedang. Faktor lingkungan berpengaruh terhadap respon termoregulasi (denyut jantung, respirasi, suhu rektal dan suhu kulit) dan produksi susu sapi FH di Kampar dan Dumai. Denyut jantung dan suhu rektal sapi FH di Kampar dan Dumai masih berada pada kisaran normal karena ternak berusaha untuk menyamankan diri dengan mengurangi konsumsi BK agar berada pada keadaan nyaman. Suhu lingkungan yang tinggi mengakibatkan ternak berusaha mengeluarkan panas dengan cara meningkatkan respirasi dan suhu kulit . Perbedaan jumlah konsumsi pakan antara sapi FH di Kampar dan Dumai berpengaruh terhadap produksi susu dan respon termoregulasi.
DAFTAR PUSTAKA
Beede DK, Coolier RJ. 1986. Potential nutritions for intensive managed cattle during thermal stress. J Anim Sci. 62: 543.
Berman A. 2005. Estimates of heat stress relief needs for Holstein dairy cows. J Anim Sci 83: 1377-1384.
Blakely J, Bade HD. 1994. Ilmu Peternakan. Edisi IV. Srigandono, terjemahan. Yogyakarta (ID) : Gadjah Mada University Press.
Broucek J, Mihina S, Ryba S, Tongel P, Kisac P,Uhrincat M, Hanus A. 2006. Effects of high air temperatures on milk efficienci dairy cows. Anim Sci 3: 93–101.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1998. Standar Nasional Indonesia Nomor 01-3141 tentang Syarat Mutu Susu Segar. Jakarta (ID): BSN RI.
Collier RJ, Beede DK, Thatcher WW, Israel LA, Wilcox CJ. 1982. Influences of environmental and its modification on dairy animal health production. J Dairy Sci 65: 2213 – 2227.
13
Cunningham JG. 2002. Veterinary Physiology. Philadeplhia London (GB) : Saunders Company.
Frandson RD. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Yogyakarta (ID). Gadjah Mada University Press.
Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Lebdosukojo S, Tillman A, Kearl LC, Harris LE. 1981. Tabel-tabel dari Komposisi Bahan Makanan Ternak untuk Indonesia. Utah (US): International Feedstuffs Institute Utah Agricultural Experiment Station.
Isnaeni W. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Jones GM, Stallings CC. 1999. Reducingheat stress for dairy cattle. Virginia CooperativeExtension [internet]. [diunduh 2014 November 3]; Publication Number 404-200.Tersedia pada:http://hydrofun.net/pdf/dairy_misting.pdf
Mader TL, Davis MS, Brown-Brandl TM. 2006. 'Environmental factors influencing heat stress in feedlot cattle. J Anim Sci 84. 712-719.
McDowell RE. 1972. Improvement of Livestock Production in Warm Climate. San Frascisco (US): W.H. Freeman and Co. p.1-128.
McLean JA, Downie AJ, Jones CDR, Strombough DP, Glasbey CA. 1983. Thermal adjustments of stress (Bos Taurus) to abrupt changes in environments temperature. Camb J Agric Sci 48:81-84.
McNeilly AS. 2001. Reproduction, Fertility, and Development. CSIRO Publishing 13:583-590.
Muller CJC, Botha JA. 1993. Effect of summer climatic conditions on different heat tolerance indicators in primiparous Friesian and Jersey cows. J Anim Sci 23: 98 -103
Novianti J. 2014. Respon fisiologis dan produktivitas sapi perah FH pada pemberian rumput gajah (Pennisetum purpureum) dengan ukuran pemotongan yang berbeda. Bogor (ID) :(Tesis) Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
[NRC] National Research Council. 2001. Nutrient Requirements of Dairy Cattle. 7th revised edition. Washington, DC (US) : Natl. Acad. Sci.
Purwanto BP, Matsumoto T, Nakamasu F, Ito T, Yamamoto S. 1993. Effect of standing and lying behaviours on heat production of dairy heifers differing in feed intake levels. AJAS 6:271 – 274 (JP).
Purwanto BP, Santoso AB, Murfi A. 1995. Fisiologi Lingkungan. Bogor (ID): Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Rahardja DP. 2007. Ilmu Lingkungan Ternak. Makassar (ID): Citra Emulsi.
Rumetor SD. 2003. Stres panas pada sapi perah laktasi. Makalah Falsafah Sains. Bogor (ID) : Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Schutz KE, Cox NR, Matthews LR. 2008. How important is shade to dairy cattle? Choice between shade or lying following different levels of lying deprivation. Appl Anim Behav Sci 114:307-318.
Siregar SB. 2001. Peningkatan kemampuan berproduksi susu sapi perah laktasi melalui pemberian pakan dan frekuensi pemberiannya. J Ilmu Ternak dan Veteriner No. 2 : 76- 82.
Steel RDG, Torrie JH. 1980. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometri. Ed ke-2. Terjemahan Bambang S. Jakarta (ID) : PT Gramedia Pustaka Utama.
Sudono A, Rosdiana RF, Setiawan BS. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Cetakan ke-2. Bogor (ID): Agro Media Pustaka.
Suherman D, Purwanto BP, Manalu W, Permana IG. 2013. Model penentuan suhu kritis pada sapi perah berdasarkan kemampuan produksi dan manajemen pakan. J Sain Peternakan Indonesia Vol. 8: 121 – 138.
Toharmat T, Noor RR, Nahrowi, Maheswari RRA, Abdullah L, Evvyernie D, Sumantri C, Lubis AD, Permana IG, Burhanudin, Setiana A, Atabany A, Komala I, Hamzah, Luthan F, Setiawati T, Yulizar, Wahyuni D, Santoso G, Tobing NL, Rahayu D. 2007. Review Agribisnis Persusuan di Indonesia. Kerjasama Tim Fakultas Peternakan IPB dan Deptan. Jakarta.
Tucker CB, Rogers AR, Schutz KE. 2008. Effect of solar radiation on dairy cattle behaviuor, use of shade and body temperature in a pasture-based system. Appl Anim Behav Sci 109:141-154.
Utomo B, Miranti DP, Intan GC. 2009. Kajian termoregulasi sapi perah periode laktasi dengan introduksi teknologi peningkatan kualitas pakan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah.
Wierema F. 1990. In: Cthestnu, A. Houston D. Heat stress and cooling cows. http:// www.vigortone.com/heat_stress.htm [ 20 Oktober 2014 ].
Williamson G, Payne WJA. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. .
Yani A, Purwanto BP. 2006. Pengaruh iklim terhadap respon sapi peranakan Fries Holland dan modifikasi lingkungan untuk meningkatkan produktivitasnya. Media Peternakan 9: 35-46.
Yani A , Suhardiyanto R. Hasbullah, Purwanto BP. 2007. Analisis dan simulasi distribusi suhu udara pada kandang sapi perah menggunakan Computational Fluid Dynamics (CFD). Media Peternakan 30: 218-228.
Yousef MK. 1985. Thermoneutral zone. In: M.K. Yousef [editor]. Stress Physiology of Livestock. Vol. II. Florida (US): Boca Raton CRC Pr. p 68-69.
15
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tanjungsum Kabupaten Pelalawan-Riau pada tanggal 27 Juli 1988 dari pasangan Ibu Surina dan Bapak Efendy. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Penulis mengawali pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 013 Sei Nyirih Pelalawan-Riau tamat tahun 2000. SMP Negeri 1 Kuala Kampar Pelalawan-Riau tamat tahun 2003. Tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Pangkalan Kerinci Kabupaten Pelalawan-Riau dan pada tahun yang sama di terima di Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN SUSKA Riau pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Pakan (TPN) hingga memperoleh gelar Sarjana Peternakan (SPt) pada tahun 2012. Setelah itu penulis mengikuti program Beasiswa Unggulan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (BU-DIKTI) tahun 2012 sebagai Calon Dosen dan penulis terdaftar sebagai mahasiswa Sekolah pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP).
Selama menempuh pendidikan jenjang Strata satu, penulis aktif diberbagai organisasi kampus diantaranya Badan Legislatif Mahasiswa (BLM) pada tahun 2008 dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Pertanian dan Peternakan pada tahun 2009. Selain itu penulis juga aktif di Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Kabupaten Pelalawan (HIPMAWAN) dari tahun 2007 hingga 2010.