• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

Disusun Oleh : YOHANA 054314001

FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

i Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

Disusun Oleh : YOHANA 054314001

FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

iv

Skripsi ini penulis persembahkan kepada :

¾Papaku (Stanis Laus Jurin) yang selalu sabar.

¾Mamaku (Yustina) yang tercinta.

¾Adikku yang paling penulis sayang (Hildegaldis Rina Angelica).

(6)

v

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yag telah disebutkan dalam kutipan catatan kaki, dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya-karya ilmiah.

Yogyakarta 18 Juni 2010 Penulis

(7)

vi

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

Skripsi yang berjudul “Sutan Sjahrir, Sosialisme, dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia” ini bertujuan untuk mendeskripsikan riwayat hidup Sutan Sjahrir serta menganalisa pemikiran Sjahrir terutama mengenai Sosialisme Kerakyatan. Tekanan serta hambatan yang dialami oleh Sjahrir akan dijelaskan dalam penelitian ini. Penelitian ini hendak memperkaya bangsa Indonesia akan pemikiran Sosialisme Kerakyatan Sutan Sjahrir serta menguraikan upaya-upaya Sjahrir dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Dalam penelitian ini metode yang dipergunakan adalah metode sejarah. Ada 5 tahap yang dipergunakan agar dapat merekonstruksi suatu sejarah, yaitu pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi, interprestasi dan penulisan. Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori politik milik Miriam Budiardjo yang menyatakan bahwa teori politik adalah bahasan dan renungan atas 1) tujuan dari kegiatan politik, 2) cara-cara mencapai tujuan itu, 3) kemungkinan-kemungkinan dan kebutuhan yang ditimbulkan oleh situasi politik tertentu, 4) kewajiban-kewajiban yang diakibatkan oleh tujuan politik itu. Dalam penelitian ini terdapat tiga rumusan permasalahan. Pertama, latarbelakang riwayat hidup dan sosio-historis sosialisme kerakyatan Sutan Sjahrir. Kedua, perjuangan Sutan Sjahrir dalam kemerdekaan Indonesia. Ketiga, perjuangan serta kegiatan Sjahrir setelah tidak menjabat dalam pemerintahan.

(8)

vii

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

The purpose of this thesis entitled “ Sutan Sjahrir, Socialism, and the Indonesian Independence Struggle “ was to describe and analyze Sutan Sjahrir’s life and his thoughts, concerning the socialism in the grass root in particular. It also described the pressure and obstacles that Sutan Sjahrir experienced. The research was enriching the Indonesian people about Sutan Sjahrir’s thoughts on the democratic socialism as well as analyzing Sjahrir’s efforts in struggling for the Indonesian independence.

The method that was applied in the research was a historical method. The five stages implemented able to reconstruct a history were the topic selection, data sources gathering, verification, interpretation, and the writing. The research made use of the political theory of Miriam Budiardjo, who’s state that political theory is a discussion and insights of: 1) the objective of political activities, 2) ways of achieving the objectives, 3) the probabilities and the needs resulting from a specific political situation, 4) the resultant responsibilities because of the respective political objectives. In the research there were three problem formulations. Firstly, the background of the Sutan Sjahrir’s biography and the socio-history of democratic socialism. Secondly, Sutan Sjahrir’s struggle in the Indonesian independence. Thirdly, Sjahrir’s struggle and activities after he was out of office of the government.

(9)

viii

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : Yohana

Nomor Mahasiswa : 054314001

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

SUTAN SJAHRIR, SOSIALISME, DAN PERJUANGAN

KEMERDEKAAN INDONESIA”

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pengakalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada Tanggal : 18 Juni 2010

Yang menyatakan

(10)

ix

yang dihadapi dalam penulisan ini. Tetapi itu bukan menjadi persoalan karena selalu ada orang-orang yang mendukung supaya dapat dengan segera menyelesaikan skripsi ini. Beruntung sebelum mengajukan proposal skripsi ini terlebih dahulu dilaksanakan diskusi dengan teman-teman jurusan Ilmu Sejarah sehingga kekurangan dalam penulisan skripsi ini dapat terbantu.

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, atas berkat dan juga rahmat-Nya penulis selalu dengan sabar untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis sangat bersyukur atas dampingan-Nya disaat penulis sedang mengalami kesusahan. Terima kasih atas semua doa-doa penulis yang senantiasa Tuhan Yesus dengarkan dan juga kabulkan.

(11)

x

Wardaya, SJ, Dr. Anton Haryono, Prof. Dr. P. J. Suwarno S. H (almarhum), Drs. Manu Jayaatmaja, M. A, Dr. St. Sunardi, Drs. Andri Nurcahyo.

Penulis juga mengucapkan tarima kasih kepada keluarga tercinta; papa (Stanis Laus Jurin) yang senantiasa selalu mendukung dan juga selalu memenuhi kebutuhan penulis. Mamaku (Yustina) yang selalu dengan sabar membesarkan, menghadapi penulis, memberi masukan yang begitu berarti bagi penulis, serta memberikan kasih sayang yang tulus bagi penulis. Kepada adik penulis, Hildegaldis Rina Angelica, terima kasih yang tak habis-habisnya penulis

sampaikan atas doa-doa, dukungan, dan juga nasehatnya. Skripsi ini penulis persembahkan untuk kalian.

Terima kasih penulis sampaikan untuk kedua orang nenek penulis, om (mamo) Stef, tante (ambe) Linah, paman Agus, bi Evi, sepupu-sepupu penulis yang selalu saja menanyakan kapan penulis wisuda; Kak Dina, Yanti, Martin, Hel, Agnes, Andri, Okta.

Untuk sahabat-sahabat penulis, terima kasih atas dukungan, nasehat, dan juga kebersamaan dengan kalian ; Lilis, Chatrine, Marsya, dek Evi, dan dek Emil. Dan terima kasih juga untuk teman-teman seperjuangan; sr.Andreani, Anggoro, Agung, Bondan, Hafen. Terima kasih juga untuk; Ismiyati, Tati, Ifa, Theo Yanzen, Sr. Mena.

(12)

xi

yang selalu membimbing kami, para anak asrama, terima kasih karena telah memberi kami pengalaman-pengalaman yang begitu berharga.

(13)

xii

LEMBAR PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

BAB II RIWAYAT HIDUP SUTAN SJAHRIR DAN SOSIO-HISTORIS SOSIALISME KERAKYATAN ... 21

2.1. Riwayat Hidup Sutan Sjahrir ... 21

2.2. Perkenalan Sjahrir dengan Sosialisme ... 23

2.2.1.Jong Indonesia ... 23

2.2.2.Sjahrir di Negara Belanda pada tahun 1929-1931 ... 26

2.3. Sosialisme Kerakyatan Indonesia ... 29

BAB III SUTAN SJAHRIR DAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA ... 35

3.1. Peran Sjahrir Sebelum Kemerdekaan Indonesia ... 35

(14)

xiii

3.2.2. KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) tahun 1945 ... 47

3.2.3. Perdana Menteri (15 November 1945–7 Juni 1947) ... 50

BAB IV DAMPAK SERTA PENGARUH SUTAN SJAHRIR PASCA KEMERDEKAAN INDONESIA ... 61

4.1. Partai Sosialis Indonesia (PSI) ... 61

4.1.1.Pembentukan Partai Sosialis Indonesia (PSI) Tahun 1948 ... 61

4.1.2.Kekalahan PSI dalam Pemilihan Umum Tahun 1955 ... 67

4.2. Akhir dari Karir Sjahrir ... 71

4.2.1.Pembubaran Partai Sosialis Indonesia (PSI) Tahun 1960 .... 77

4.2.2.Penangkapan Sjahrir Tahun 1962 ... 77

BAB V PENUTUP ... 81

5.2. Kesimpulan ... 81

(15)

1 1. 1. Latar Belakang

Suatu negara dapat membangkitkan pergerakan bangsanya dengan beberapa syarat, yakni kesatuan ekonomi, politik, dan budaya. Terpenuhinya ketiga syarat itu lebih merupakan karena proses sosial yang mandiri daripada hasil cita-cita, rencana, atau pun rekayasa pemerintah jajahan. Demikian pula halnya di Indonesia pada awal tahun 1900-an.

Walaupun ketiga syarat tersebut sudah terpenuhi, kebangsaan tidaklah bangkit dengan sendirinya. Sebagai syarat, maka yang terkandung di dalamnya hanyalah peluang bagi terbentuknya kebangsaan. Karena tak ada peluang yang tanpa masalah, maka berhasil-tidaknya pelembagaan itu tergantung pada kemampuan masyarakat dan kekuasaan negara mengatasi rangkaian masalah yang timbul dalam peluang tersebut.

(16)

Ada empat hal yang menyebabkan kegagalan itu terjadi dan bagaimana cita-cita kebangsaan yang lain dapat diperjuangkan. Pertama, tahun 1900-1912. Dalam peluang selama kurun waktu tersebut timbulah rangkaian masalah yang bersifat sangat berat sebelah. Seperti masa VOC, masyarakat merasa asing sama sekali, dan bingung, dengan kesempatan serta kesulitan yang harus dihadapi, sementara pemerintah jajahan bergelimang triomfalisme, yakni sikap serba tahu, serba mampu, serba kuasa menentukan arah perkembangan yang harus ditempuh oleh masyarakat.

Kedua, tahun 1912-1921. Ketika pemerintah tampak semakin tahu apa yang harus dilakukan, masyarakat baru mulai meraba-raba ujung pangkal masalah yang timbul, dan dengan demikian sedapat mungkin mengatasinya. Masuk akal bahwa masyarakat terpecah sekalipun hanya karena pengertian yang berbeda-beda mengenai rangkaian masalah yang muncul selama periode ini. Juga bisa dimengerti bahwa pemerintah jajahan memanfaatkan perpecahan tersebut untuk kepentingan kekuasaannya.

Ketiga, tahun 1921-1927. Masyarakat yang sebelumnya meraba-raba, akhirnya mengira sedang menemukan hakikat masalah yang dihadapi. Yang dikira hakikat itu pada dasarnya bersifat modern dan revolusioner sekaligus. ‘Modern’, karena melintasi penggolongan sempit, ‘Revolusioner’, karena menolak cara-cara lama yang lambat-laun, cara-cara politik Etis.

(17)

internasional. Keanggotaan dalam Pan-Islamisme dan Comintern merupakan wujudnya. Menolak cara-cara Politik Etis bisa berarti kekerasan. Kerusuhan PKI-Sarekat Ra’jat merupakan pantulannya. Bahwa sintesa dari keduanya, yang menjelma dalam faham kebangsaan Perhimpunan Indonesia (PI) di Nederland, pada awalnya masih sukar lepas dari internasionalisme dan radikalisme.1

Sekitar tahun 1927 dan runtuhnya negara jajahan Belanda oleh Jepang pada tahun 1942, kebangkitan nasional mulai bergaya kurang semarak. Dalam masalah politik, gerakan anti-penjajahan melanjutkan langkah-langkah yang tidak menghasilkan apa-apa. Rezim Belanda memasuki tahapan yang paling menindas dan paling konservatif (bersikap mempertahankan keadaan) dalam sejarahnya pada abad XX. Rakyat daerah pedesaan tidak lagi memainkan peranan politik yang aktif karena dikecewakan oleh pengalaman mereka dengan SI dan PKI pada tahun-tahun sebelumnya dan juga karena, mulai tahun 1930 dan seterusnya mereka lebih disibukkan dengan usaha untuk mengatasi masa-masa sulit yang ditimbulkan karena depresi.

Akan tetapi ada beberapa aspek masa itu yang menyiapkan pengguna peristiwa-peristiwa yang akan terjadi setelah tahun 1942. Pertama, semua harapan bagi terjalinnya kerjasama dengan Belanda benar-benar sudah hancur, sehingga satu-satunya taktik yang dimungkinkan untuk masa mendatang hanyalah perlawanan terhadap Belanda. Kedua, perpecahan-perpecahan yang mendalam di kalangan elite Indonesia yang sangat kecil jumlahnya umumnya tidak

1

(18)

mengalahkan kesepahaman bahwa tujuan utama upaya politik adalah pembentukan negara Indonesia yang merdeka. Dengan demikian, nasionalisme menempati posisi ideologis yang paling berpengaruh. Ketiga, demi kepentingan persatuan yang maksimal di antara kelompok-kelompok budaya, agama, dan ideologi di Indonesia, maka ide nasionalis ini menolak naluri-naluri Pan-Islam dan pembaharuan dari para pemimpin Islam perkotaan, dengan mengambil suatu posisi yang secara konfensional disebut ‘sekuler’ tetapi yang dalam praktik sering dilihat sebagai anti-Islam oleh para pemimpin Islam. Dengan demikian Islam didesak pada posisi politik yang terkucil yang dengan perkecualian-perkecualian yang jarang terjadi, ditempatinya hampir sepanjang abad XX. Keempat, adanya kesadaran di antara para pemimpin agama bahwa mereka menghadapi banyak tantangan yang sama dan mempunyai suatu komitmen yang sama pada agama mereka, mengurangi pertentangan-pertentangan sengit antara kaum muslim modernis dan tradisional serta membawa kedua kelompok tersebut lebih dekat satu sama lain. Yang terakhir, tokoh-tokoh yang muncul sebagai pemimpin-pemimpin Indonesia pada masa itu sangat penting karena, betapapun ketidakberhasilan mereka saat itu, mereka ditakdirkan menjadi generasi pertama dalam sejarah Indonesia untuk memimpin seluruh kepulauan Indonesia sebagai bangsa yang bersatu dan merdeka.

(19)

kebutuhan manusia untuk mengidentifikasi atau menetapkan identitas diri dengan suatu norma, ikatan simbol. Akan tetapi, simbol manakah dari seseorang pribadi kuat yang bisa dijadikan cermin cita-cita sekaligus pandu perjuangan hidup kita, baik sebagai perorangan, kelompok, maupun bangsa ?.2 Persoalan dapat dikaji lebih mendalam dan permasalahan bisa lebih jelas bila menghadapi pertanyaan semacam itu. Lalu bagaimana dengan seseorang yang memberikan gelar pahlawan nasional kepada Sjahrir ? Tokoh itu, yang oleh seorang tokoh politik lain dan bahkan seorang sejarawan-sebelum meneliti dengan baik mempertanyakan apakah dia ’pahlawan atau penghianat’, adalah Sukarno. Taufik Abdullah menduga, Sjahrir mungkin hanya akan tersenyum sinis sambil geleng-geleng kepala dan berkata : ”Bangsaku!”

Atas dasar pemikiran Taufik Abdullah di atas, Sutan Sjahrir tidak hanya ditempatkan dalam kedudukannya sebagai pahlawan nasional yang resmi menjadi penghuni Kalibata, tetapi melihat relevansi negarawan dan seorang Sjahrir yang pernah menjadi nahkoda pertama republik yang baru bertolak dan langsung dihantam oleh badai dan topan, dalam sikapnya terhadap kebudayaan pembentukan bangsa.3

Y.B. Mangunwijaya berpendapat bahwa fungsi dan jasa Sjahrir adalah menjadi pemikir dan nahkoda pertama yang tenang dan harus menjawab tuntutan

2

Yanto Basri dan Retno Suffatni (ed). 2004. Sejarah Tokoh Bangsa, Yogyakarta: Lkis. hal 71.

3

(20)

wajibnya; melihat jauh ke depan, bahkan bagaikan melalui radar4. Ia merupakan pelengkap paling tepat dan vital di kala itu dalam diri Sukarno-Hatta. Kalau Sukarno menyalakan energi mesin diesel yang dahsyat, penggerak bahtera yang sedang terancam, maka Sjahrir merupakan nahkoda yang berpikir dingin, tokoh yang bersih dari noda kolaborasi Jepang dan revolusioner. Hal ini diakui hampir seluruh pemimpin rakyat ketika itu, termasuk Sukarno-Hatta dan para pelopor pemuda, kecuali yang berhaluan komunis atau yang percaya kerja fasis karena mereka sudah punya resep tersendiri.5

Sjahrir menjadi pemimpin, seperti ketua KNIP dan Badan Pekerja, tidak diperoleh dengan merebut dari tangan orang lain, tetapi karena kepercayaan para pemuda saat itu. Sjahrir memahami bahwa situasi sudah berubah dan karena itu ia menerima daulat pemuda-pemuda. Sikap ini sering kali ditafsirkan sebagai ’kebimbangan’. Padahal, untuk memahami situasi dunia internasional maka sikap ini merupakan keniscayaan karena yang dibutuhkan adalah tokoh non-Jepang murni. Begitu ia masuk sidang langsung menjadi ketua baru dengan suara mayoritas.

Peristiwa tersebut menjelaskan bahwa Sjahrir sebagai aktivis kemerdekaan selama zaman Jepang diakui para pemuda. Aksi-aksinya di bawah tanah yang memaksanya harus bersembunyi dan sering kali bertindak di bawah empat mata telah menghasilkan efek politik praktis, paling tidak di kalangan pemuda terkemuka dan Sukarno-Hatta. Kepercayaan yang begitu besar dan hampir tanpa

4

Radar adalah alat (yang memakai gelombang radio) untuk mendeteksi jarak, kecepatan, dan arah benda yang bergerak atau benda yang diam.

5

(21)

sikap hati-hati dalam situasi kritis sepanjang bulan Oktober-November 1945 menentukan segala-galanya bagi masa depan bangsa, tentu mempunyai landasan moral dan rasional yang sangat kuat. Intuisi (daya atau kemampuan mengetahui) para pemimpin muda dan tua merasa bahwa pada situasi saat itu Sjahrir merupakan orang tepat tidak hanya sebagai pengganti Sukarno-Hatta, tetapi pelengkap ”triumvirat de facto” Sukarno-Hatta. Intuisi mereka murni, tidak tercemar sedikit pun oleh pandangan politik kotor, ambisi pribadi, atau permainan klik ketika para pejuang sudah masuk ke berbagai kota lagi, dan perjuangan membawa sekian petualang untuk saling berebut hasil pada tahun-tahun pertama 1945-1950. Sebelum itu, para pemimpin rakyat terpengaruh oleh ide manifes politik Sjahrir, Perjuangan Kita, yang terbit pada bulan Oktober 1945. Saat itu mereka hanya mengenal keikhlasan untuk menyelamatkan republik yang baru tiga bulan terbebas dari teror penjajah maupun tendensi anarkis dari Indonesia sendiri yang membalas teror dengan teror. Selama bulan Oktober-November 1945 semangat yang bersemboyan ”Merdeka atau Mati” sudah dirasakan begitu ironisnya, namun tidak memberikan garansi keberhasilan suatu revolusi. Akal sehat menyadari bahwa yang dibutuhkan hanya ”merdeka atau hidup”.

(22)

pelopor, terutama mereka yang bekerja sama dengan Jepang karena menjadi sasaran kritiknya.6 Hanya Sjahrir satu-satunya pemimpin yang mempunyai konsep dasar yang bijaksana dan strategis, konsisten, dan menyeluruh, tentang apa yang harus dikerjakan dalam menghadapi lautan api teror Belanda dan dunia internasional. Bahkan, pandangannya begitu jauh sehingga jika kita sekarang-sekian puluh tahun sesudah 1945-membaca ulang tulisan-tulisan Sjahrir, maka hampir setiap kalimat bisa langsung kita gunakan, seolah-olah tulisan tersebut tidak ditulis waktu itu, tetapi sekarang, dan bukan hanya tertuju kepada bangsa Indonesia, melainkan setiap penguasa negara-negara berkembang bekas koloni. Kepada Belanda ia menulis :

”...tanah tumbuh untuk segala ekstrimisme nasionalistis adalah situasi kompleks rasa minder, sosial, dan rohani dari orang-orang Indonesia, rasa dendam terhadap sikap ras yang memandang ke bawah pada jutaan kaum tertindas. Kenyataan itu tidak bisa dihilangkan oleh politik kesejahteraan apa pun dan oleh politik Etis apa pun. Penghargaan ’dari hati yang berkenan’ semacam itu terhadap daya-daya kebangunan rakyat yang pada tumbuh hanya membawa kebencian, karena merupakan permainan atas kompleks-kompleks minder orang-orang Indonesia. Itu sudah disadari oleh orang-orang seperti Snouck Hurgronje dan Hazeu. Dasar rasa dendam terhadap kaum penindas hanya dapat lenyap dengan jalan iklas memberi harga diri kepada orang-orang Indonesia. Dan itu hanya bisa terjadi bila ada perubahan fundamental dalam sikap jiwa penguasa kulit putih terhadap orang-orang Indonesia, suatu perubahan sikap berkenan sang bapak yang jauh lebih bijaksana terhadap si anak yang terbukti mulai bersemi prakarsa kerja dan kecerdasannya, ke arah penghormatan yang sejati.”7

Kata-kata tersebut mencerminkan seorang negarawan yang bijaksana, yang tidak hanya berlaku untuk pejabat-pejabat Belanda, tetapi juga untuk setiap pemerintah bangsa bekas koloni, terutama orang yang mengira bahwa hanya

6

Ibid. hal 78-79. 7

(23)

dengan ”politik kesejahteraan” rakyat akan terpesona untuk berterima kasih melihat pembangunan-pembangunan fisik, stabilitas ekonomi, dan sebagainya, seperti pemikiraan Belanda sebelum Perang Dunia II dan sesudahnya yang mencoba membangun politik Etis untuk bangsa Indonesia. Ada sesuatu yang lebih dalam pada permasalahan bangsa Indonesia, dan itu secara tajam dapat dilihat oleh Sjahrir.

1.2. Rumusan Masalah

Untuk mengetahui secara mendalam tentang Sutan Sjahrir, Sosialisme, dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, maka skripsi ini akan membahas pokok permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah latarbelakang riwayat hidup dan sosio-historis sosialisme kerakyatan Sutan Sjahrir ?

2. Bagaimanakah perjuangan Sutan Sjahrir dalam kemerdekaan Indonesia ? 3. Sejauh mana dampak atau pengaruh Sutan Sjahrir pasca kemerdekaan

Indonesia ?

1.3. Tujuan

Tujuan dari skripsi yang berjudul Sutan Sjahrir, Sosialisme, dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia adalah sebagai berikut :

- Akademis

(24)

Sjahrir mengenai sosialisme kerakyatan. Tekanan dan juga hambatan yang dialami oleh Sjahrir dalam usahanya mewujudkan nilai-nilai sosialisme kerakyatan juga akan dijelaskan dalam penelitian ini.

- Praktis

Secara praktis penulisan skripsi ini hendak memperkaya bangsa Indonesia akan pemikiran sosialisme kerakyatan Sutan Sjahrir dan menguraikan upaya-upaya Sjahrir dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sjahrir yang selama ini ditempatkan dalam posisi yang salah padahal Sjahrir memiliki peranan yang penting dalam mencapai kemerdekaan Indonesia.

1.4. Manfaat Penelitian - Teoretis

Skripsi ini diharapkan dapat berguna khususnya untuk keilmuan sejarah supaya dapat mengetahui bagaimana perjuangan Sutan Sjahrir untuk menerapkan sosialisme kerakyatan serta bagaimana perjuangannya untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Skripsi ini juga diharapkan agar dapat memberikan sebuah cara pandang baru dan juga menambah pemahaman masyarakat akan besarnya peran Sjahrir di dalam negara Indonesia.

- Praktis

(25)

khususnya perjuangan politik Sutan Sjahrir dan diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pelengkap dalam pengajaran sejarah.

1.5. Landasan Teori

Teori sangat dibutuhkan pada saat melakukan penelitian untuk mempertajam permasalahan-permasalahan yang dikaji. Pada penelitian skripsi yang berjudul Sutan Sjahrir, Sosialisme, dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, teori yang dipergunakan adalah teori politik milik Miriam Budiardjo.

Dalam teori tersebut membahas mengenai ; 1) tujuan dari kegiatan politik, 2) cara-cara mencapai tujuan itu, 3) kemungkinan-kemungkinan dan kebutuhan yang ditimbulkan oleh situasi politik tertentu, 4) kewajiban-kewajiban yang diakibatkan oleh tujuan politik itu. Konsep-konsep yang dibahas dalam teori politik mencakup antara lain, masyarakat, kelas sosial, negara, kekuasaan, kedaulatan, hak dan kewajiban, kemerdekaan, lembaga-lembaga negara, perubahan sosial, pembangunan politik, modernisasi, dan sebagainya.8

Sutan Sjahrir melibatkan dirinya dalam dunia politik bukan karena ketertarikannya pada jenjang kekuasaan tetapi ia merasa bahwa negara sangat membutuhkan pertolongannya terutama disaat awal kemerdekaan Indonesia. Banyak hal yang telah dilakukan Sjahrir untuk Kemerdekaan Indonesia. Kegiatannya bukan dilakukan dengan hal-hal yang negatif tapi untuk mencapai kemerdekaan yang sesungguhnya terutama menghindari tuduhan bangsa Belanda yang menganggap kemerdekaan Indonesia adalah hadiah dari bangsa Jepang,

8

(26)

Sjahrir menawarkan jalur diplomasi pada pihak Belanda untuk menghindari tindakan kekerasaan yang bisa berakibat buruk bagi bangsa Indonesia..

Menurut Miriam Budiardjo dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar Ilmu Politik, teori adalah generalisasi (simpulan umum dari suatu kejadian, hal,

dsb) yang abstrak mengenai beberapa fenomena. Dalam menyusun generalisasi itu teori selalu memakai konsep-konsep. Konsep itu lahir dalam pikiran manusia dan karena itu bersifat abstrak, sekalipun fakta-fakta dapat dipakai sebagai batu loncatan.

Sejarah politik sangatlah menonjol pada abad ke-19 sebagai abad nasionalisme dan formasi negara nasional di Eropa Barat. Semenjak itu, sejarah perang dan diplomasi sangat menonjol di satu pihak, dan di pihak lain peranan raja, panglima perang, negarawan memegang peranan utama. Tradisi itu masih sangat kuat dewasa ini, dikarenakan adanya anggapan (ataupun teori) bahwa jalannya sejarah terutama ditentukan oleh kejadian politik, perang, serta tindakan tokoh-tokoh politik, militer, dan diplomasi. Hal ini sama dengan teori orang besar, yang mengatakan bahwa orang besarlah yang menentukan jalannya sejarah.9 Sejarah politik sebagai sejarah politik gaya baru memakai pendekatan ilmu-ilmu sosial dan dengan demikian tidak hanya memperluas cakrawala politik, tetapi juga membuat perspektif politik lebih luas, lengkap dan multidimensional, mencakup interdependensi proses politik dengan jaringan sosial, sistem ekonomi, sistem nilai, dan lain sebagainya.

9

(27)

Sejarah politik sebagai sejarah konvensional10 pada umumnya mengutamakan peranan tokoh-tokoh atau orang-orang besar sebagai faktor penentu jalannya sejarah.11 Dengan demikian, dilupakan bahwa peranan seorang pelaku senantiasa terjadi dalam kondisi struktural tertentu, dengan kata lain, proses yang terjadi mencakup aksi pelaku pada hakikatnya merangkai serta membatasi ruang bergeraknya. Peranan merupakan aspek dinamis dari status, sedangkan status tidak lain ialah unsur dari struktur sosial tertentu. Struktur diaktulisasikan lewat atau oleh aktivitas. Struktur kekuasaan menentukan pola distribusi kekuasaan yang menentukan tempat serta ruang lingkup peran yang dijalankan oleh pelaku politik. Peranan pemimpin atau tokoh besar sangat tergantung pada struktur kekuasaan yang ada di dalam masyarakatnya. Untuk menentukan peranan tokoh sejarah dalam proses sejarah perlu diketengahkan masalah seberapa jauh seorang tokoh membentuk proses sejarah ataukah kondisi sosiallah yang menentukan peranan tokoh sejarah.

10

Sejarah Konvensional sama dengan konfensionalisme yaitu 1). Pandangan yang menyatakan, konsep-konsep ilmiah dan konstruksi-konstruksi teoritis pada dasarnya merupakan produk-produk persetujuan di antara kaum ilmuan. Persetujuan-persetujuan ini berasal dari pertimbangan-pertimbangan kebiasaan, ketepatan, kesederhanaan; unsur-unsur konvensionalisme ditemukan pada positivisme, pragmatis (bersifat praktis) dan operasionalisme. Paham-paham ini menyajikan pemikiran teoritis sebagai suatu yang subyek dan menerangkan penggunaan beberapa sistem konsep dan konstruksi matematik oleh kaum ilmuan menurut keinginan mencapai pemahaman timbal balik. 2). Kecenderungan untuk memegang teguh kebiasaan. 3) sesuatu yang merupakan tradisi atau kebiasaan. Save M.Dagun. 1997. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta; LPKN. hal 532.

11

(28)

Suatu determinisme12 sosial sudah tentu berpendapat bahwa seluruh peranan seorang tokoh ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur masyarakat, atau paling tidak peranannya dijalankan dalam batas-batas struktural masyarakat, jadi terikat pada suatu keterbatasan. Perlu diakui bahwa kebebasan dalam arti mutlak tidak dapat diberlakukan, tidak lain karena pelaku selalu terikat pada kebudayaan atau kepada zaman. Pelaku tidak dapat sepenuhnya melepaskan diri dari ikatan atau subjektivitas itu, khususnya yang berkaitan dengan pandangan dunia. Perlu diakui bahwa tokoh sejarah sering kali lebih jauh memandang ke depan atau berperan sebagai perintis.13 Perintis atau pelopor sering menuntut perubahan revolusioner sehingga pelaksanaannya menuntut kepribadian atau kepemimpinan yang kuat.

1.6. Tinjauan Pustaka

Sudah banyak orang yang menulis tentang Sutan Sjahrir, sosialisme dan perjuangan kemerdekaan antara lain; buku yang ditulis oleh Sutan Sjahrir (Sjahrazad) Renungan Indonesia, buku ini merupakan kumpulan dari tulisan-tulisan Sjahrir dari tahun 1934-1938. Di dalam buku ini Sjahrir memaparkan bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia bukan hanya sebagai perjuangan bangsa Indonesia agar dapat melepaskan diri dari penjajahan, tetapi perjuangan

12

Determinisme adalah 1) pandangan yang menyatakan bahwa semua kejadian di alam semesta termasuk manusia diatur oleh dan bekerja selaras dengan hukum sebab musabab. 2) hubungan antara dua kondisi di mana kondisi yang satu disebabkan oleh kondisi yang lain. 3) ajaran yang mengatakan bahwa kehendak manusia tidak bebas akan tetapi ditentukan oleh serangkaian kondisi psikis dan fisis. Save M. Dagun. op. cit. hal 170.

13

(29)

seluruh manusia modern yang progresif untuk memperoleh keadilan. Di dalam buku ini tidak terlihat bagaimana tahap awal kemunculan sosialisme kerakyatan yang diagung-agungkan oleh Sjahrir, yang dikemudian hari ia anggap bahwa sosialisme kerakyatan tersebutlah yang pantas sebagai landasan awal dalam memerdekakan rakyat Indonesia.

Buku yang berjudul Sosialisme Indonesia Pembangunan yang ditulis berdasarkan hasil kumpulan dari tulisan-tulisan Sutan Sjahrir yang menguraikan tentang perkembangan sosialisme di Indonesia sejak berdirinya PSI (Partai Sosialis Indonesia). Sosialisme Kerakyatan yang menjadi landasan yang paling baik bagi Sjahrir untuk bangsa Indonesia supaya dapat mensejahterakan rakyat secara merata. Sjahrir juga menjelaskan bagaimana perkembangan sosialisme yang ada di Eropa serta sosialisme yang ingin ia perjuangkan di Indonesia. Dalam buku ini tidak kelihatan bagaimana kiprah perjuangan Sutan Sjahrir dan rakyat Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia supaya dapat terbebas dari penjajahan.

Buku yang ditulis oleh H. Rosihan Anwar (ed) yang berjudul Mengenang Sjahrir, yang berisikan kumpulan tulisan atau ungkapan-ungkapan orang-orang

(30)

bersikap acuh tak acuh terhadapnya dan yang membencinya, sekaligus menjadi pujaan banyak orang yang mengagumi dan mencintainya. Meskipun demikian di dalam buku ini Rosihan Anwar tidak menulis tentang dampak dari perjuangan Sjahrir dalam menerapkan sosialisme kerakyatannya dan dibuku ini juga hanya menyorot sedikit mengenai sosilisme kerayatan Sutan Sjahrir.

Buku yang ditulis oleh Rudolf Mrázek yang berjudul Sjahrir ; Politik dan Pengasingan di Indonesia, yang menceritakan biografi Sjahrir. Sjahrir pada

umumnya dihadirkan dengan segala sesuatu yang terlepas dari semua hal yang berbau tradisional, primordial, atau parokial. Sjahrir hampir tidak pernah menyebutkan kata ‘Minangkabau’, tempat dimana ia berasal. Sjahrir dibesarkan di dalam tradisi Minang, lembaga sekolah Politik Etis kolonial, sosialisasi bersifat mondial (berkaitan dengan seluruh dunia) dengan kaum sosialis semasa ia belajar di Belanda, setidaknya menentukan ”structure of experince”. Sosok Sjahrir sangat dibutuhkan ketika gejolak Revolusi Nasional 1945-1949, hingga Sjahrir ditunjuk sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia. Rudolf Mrázek menampilkan secara utuh biografi mengenai Sutan Sjahrir, salah seorang dari the Founding Fathers Republik Indonesia. Di dalam buku yang ditulis oleh Rudolf Mrázek ini tidak begitu tampak awal mulanya pemikiran Sutan Sjahrir yang begitu gigih ingin memperjuangkan sosialisme kerakyatan yang ia anggap paling cocok untuk menjadi landasan bangsa Indonesia. Buku ini cukuplah kongkrit dalam membahas tentang Sjahrir tetapi buku ini tidak membahas sosialisme secara detail.

(31)

bagaimana gigihnya perjuangan kelompok Sjahrir atau anak didik Sjahrir untuk memperoleh kemerdekaan Indonesia. Buku ini memaparkan isu-isu sentral yang digeluti Sjahrir beserta orang-orang yang mendukungnya pada jamannya seperti tentang demokrasi dan juga hak-hak asasi manusia, otoritarianisme14 dan fasisme, sosialisme demokratis dan komunisme, tradisionalisme dan modernisme, juga tentang anarkisme15 dan feodalisme. Dalam buku ini J.D. Legge hanya menuliskan seputaran tentang perjuangan Sjahrir dan kelompoknya dalam keinginan mereka untuk mencapai kemerdekaan tetapi di dalam buku ini tidak tercantum pemikiran sosialisme yang seperti apa yang ingin Sjahrir terapkan di Indonesia serta dampak dari perjuangan Sjahrir dalam keinginannya untuk mewujudkan sosialisme kerakyatan.

Sudah banyak ulasan dan karya mendalam tentang tokoh Sutan Sjahrir atributnya beragam, mulai dari kontroversial, jauh dari ingar-bingar di atas panggung, dipuja pengagum, hingga dihujat lawan-lawan politiknya. Buku-buku yang telah dicantumkan diatas menjelaskan secara lengkap tentang Sutan Sjahrir. Tetapi buku-buku tersebut belum mengungkapkan apa saja yang ingin diperjuangkan oleh Sutan Sjahrir selain Sosialisme Kerakyatan. Dalam memperingati 100 tahun Sutan Sjahrir tanggal 5 Maret 2009, Des Alwi yang merupakan anak angkat Sutan Sjahrir menjelaskan bahwa Sutan Sjahrir memiliki

14

Otoritarianisme adalah pandangan yang mendukung ketaatan buta terhadap otoritas atau kekuasaan atas dasar keyakinan bahwa sumber yang otoriterlah yang sanggup menjamin dan mensahkan ilmu pengetahuan: dianggap menghambat kemajuan karena tidak menyediakan alat konseptual untuk menguji kesalahan atau kebenarannya. Save M. Dagun. op. cit. hal 759.

15

(32)

keinginan yang sangat mulia sebelum dia meninggal. Dia ingin mendirikan rumah sakit gratis, mendirikan rumah untuk orang-orang yang tidak mampu serta menginginkan pembayaran pajak dibayar sesuai dengan pendapatan masing-masing masyarakat. Sjahrir berusaha mencari jalan keluar supaya dapat membangun kesejahteraan untuk seluruh rakyat. Sosok Sjahrir sebagai pemikir sekaligus politisi merupakan inspirator bagi bangsa Indonesia. Kematangannya dalam hidup nasional di bidang politik, ekonomi, budaya dan menghidupi ketegangan eksistensial tidak sebagai problem, tetapi sebagai jalan hidup berbangsa dan bernegara, dan hal inilah yang merupakan warisan terbesar dari Sjahrir.

1.7. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini metode yang dipergunakan adalah metode sejarah. Menurut Louis Gottschalk, ada 5 tahap yang harus dipergunakan untuk dapat merekonstruksi (menyusun kembali) suatu sejarah, yaitu pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi (pernyataan), interprestasi (pandangan atau pendapat) dan penulisan.16 Kelima tahap tersebut dipergunakan dalam penulisan skripsi ini, antara lain ;

a. Pemilihan topik

Tahap awal yang dilakukan pada penulisan skripsi ini adalah pemilihan topik. Pemilihan topik dilakukan karena ketertarikan penulis terhadap riwayat

(33)

hidup Sutan Sjahrir, sosialisme kerakyatan, dan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

b. Pengumpulan Sumber

Pengumpulan sumber dilakukan supaya skripsi ini memperoleh data-data yang akurat (teliti). Pengumpulan sumber diperoleh dengan cara meminjam buku-buku di perpustakaan Universitas Sanata Dharma, meminjam buku-buku dari teman-teman serta mendapat sumber-sumber dari mengikuti seminar yang membahas sedikit mengenai topik. Sumber-sumber yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sumber primer dan sekunder. Sumber primer merupakan sumber tertulis berupa buku-buku yang memang ditulis oleh Sutan Sjahrir. Sedangkan sumber sekundernya adalah buku-buku yang menulis tentang Sutan Sjahrir yang ditulis oleh para penulis dari Indonesia maupun dari negara lain.

c. Verifikasi

Setelah mengetahui secara persis topik yang akan ditulis serta sudah terkumpulnya sumber, tahap selanjutnya adalah verifikasi, atau kritik sumber, atau keabsahan sumber. Verifikasi atau kritik sumber dilakukan supaya penulis dapat mengetahui isi sumber dapat dipercaya atau tidak.

d. Interpretasi

Interpretasi yaitu menafsirkan fakta-fakta sejarah yang telah terkumpul dan diuji kebenarannya. Kemudian fakta-fakta tersebut digabungkan menjadi satu supaya dapat diperolehnya rangkaian peristiwa sejarah yang bermakna.

(34)

Tahap selanjutnya adalah penulisan. Dalam penyajian penelitian ini memuat 3 bagian yaitu : 1). Pengantar, 2). Hasil penelitian, 3). Kesimpulan.17

1.8. Sistematika Penulisan

Penelitian mengenai topik ini dituangkan ke dalam tulisan dengan mengunakan sistematika sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan yang memuat latar belakang penelitian dan juga permasalahan-permasalahan yang membuat ditulisnya topik skripsi mengenai Sutan Sjahrir.

Bab II berjudul ”Riwayat Hidup Sutan Sjahrir dan Sosio-Historis

Sosialisme Kerakyatan”. Bab ini membahas serta menguraikan riwayat hidup Sjahrir terutama mengenai proses terbentuknya sosialisme kerakyatan Sutan Sjahrir, pendidikan yang Sjahrir peroleh, serta organisasi yang Sjahrir dirikan.

Bab III berjudul ”Sjahrir dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia”. Dalam bab ini akan membahas bagaimana gigihnya perjuangan Sjahrir supaya bangsa Indonesia dapat merdeka serta diakui oleh bangsa-bangsa lain. Dan jabatan-jabatan apa saja yang diduduki Sjahrir.

Bab IV berjudul ”Dampak Serta Pengaruh Sutan Sjahrir Pasca Kemerdekaan Indonesia”. Dalam bab ini akan di jelaskan dampak pola pikir Sjahrir pasca kemerdekaan Indonesia.

Bab V berisi Kesimpulan. Dalam bab ini berisi mengenai kesimpulan-kesimpulan akhir.

17

(35)

21

SOSIALISME KERAKYATAN

2.1. Riwayat Hidup Sutan Sjahrir

Nama Sutan Sjahrir tidak terlalu banyak dibicarakan dibuku sejarah Indonesia. Padahal Sjahrir memiliki peran yang luar biasa dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya di bidang diplomasi dan politik. Pada usia yang ke-25, dia sudah berhasil memberi warna dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di usia 36 tahun, dia telah menjadi Perdana Menteri. Pemikiran dan pengaruhnya sangat besar, khususnya dalam merekrut dan menempatkan kader-kader muda Partai Sosialis Indonesia (PSI) pada berbagai posisi penting dan strategis.

Sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sjahrir sudah menjadi salah satu intelektual muda di masa itu karena latar belakang pendidikannya yang cukup baik (sekolah-sekolah Belanda). Di samping itu dia adalah seorang murid yang sangat cerdas. Pada usia 19 tahun, dia ikut ambil bagian dalam peristiwa Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Seperti banyak pemimpin pergerakan lainnya, Sjahrir merupakan didikan dari Politik Etis yang dipromosikan oleh Van Deventer ; pendidikan yang lebih luas bagi bumi putera.

(36)

kaum koeli, sebuah bukti eksploitasi kolonialisme. Sjahrir mengenyam pendidikan sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) terbaik di Medan, tempat dimana dia pertama kali mulai membaca buku-buku Karl May, Don Quixote dan Baron von Munchhausen. Ratusan buku dan novel kanak-kanak Belanda telah dibacanya ketika ia masih remaja. Dan pada malam hari, dia bermain biola di Hotel de Boer, hotel khusus untuk orang-orang kulit putih.

Menyelesaikan sekolah di MULO pada tahun 1926, kemudian Sjahrir masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung, sekolah termahal di Hindia Belanda pada waktu itu. Sjahrir bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia di Bandung (Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, dan sesekali menjadi aktor. Perolehan dari pementasan dipakai untuk membiayai sekolah yang didirikannya bersama anggota-anggota Batovis yaitu Tjahja Volksuniversiteit (Cahaya Universitas Rakyat).

(37)

Bagi Sutan Sjahrir, memiliki harta benda atau materi bukan yang utama sebab bangsa Indonesia sebagian besar masih hidup dalam kemiskinan. Sutan Sjahrir adalah pejuang yang rasional. Dia tahu sangat sulit mengimbangi kekuatan militer kolonial oleh karena itu upaya lain adalah melalui perundingan. Sjahrir jelas perkasa dalam diplomasi. Salah satunya dia perlihatkan dengan langkah mengunjungi New Delhi dan Kairo sebelum mengikuti sidang Dewan Keamanan PBB di New York. Hal tersebut dia lakukan untuk melobi dukungan India dan Mesir.

Pokok kekhawatiran Sjahrir akan negara Indonesia adalah bahaya totaliterisme dan militerisme. Sjahrir kuatir, kalau Sukarno tidak dibantu maka ia akan dirangkul oleh kelompok komunis sehingga dapat menjurus ke arah totaliterisme atau dirangkul oleh kelompok militer yang bisa menjurus kepada militerisme. Karena itulah Sjahrir memandang bahwa militer di Indonesia tidak selayaknya dijauhi, melainkan dibantu. Begitu juga sikapnya pada Sukarno, dia melarang untuk menjauhi Sukarno. Sangat disayangkan hubungan pribadi yang buruk antara kedua tokoh ini tidaklah memungkinkan Sukarno untuk menerima apalagi mempercayai visi-visi, kritik serta oposisi Sjahrir.

2.2. Perkenalan Sjahrir dengan Sosialisme 2.2.1. Jong Indonesie

Sewaktu Sjahrir tiba di Bandung pada tahun 1926, buletin Algemene Indische Dagblad (AID), memberitakan kedatangan seorang gubernur jenderal

(38)

penganjur Politik Etis. Laporan-laporan yang mencemaskan tentang percobaan pemberontakan Komunis yang berpusat di Batavia, Jawa Barat, dan di tanah kelahiran Sjahrir, Minangkabau, dimuat dalam buletin itu tidak lama kemudian, di penghujung tahun 1926 dan di awal tahun 1927.18

Teman-teman Sjahrir menyatakan bahwa pada tanggal 20 Februari 1927, Sjahrir termasuk orang yang membentuk himpunan kaum nasionalis Jong Indonesie. Tidak ditemukan catatan sezaman tentang keikutsertaannya. Meskipun demikian dia disebutkan dalam laporan polisi sebagai pimpinan salah satu rapat perhimpuan tersebut. Pada bulan Agustus 1928, Sutan Sjahrir, sudah dikenal oleh polisi Bandung sebagai pemimpin redaksi dari majalah himpunan tersebut.

Di penghujung tahun 1928, Jong Indonesie telah menyebar di luar wilayah Bandung. Perhimpunan tersebut sudah punya cabang di Batavia, Yogyakarta, dan Surabaya. Poetri Indonesia merupakan nama bagian pemudinya, yang merupakan cabang himpunan yang terdapat di Bandung, Batavia, dan Surabaya. Ada tiga majalah yang diterbitkan oleh himpunan tersebut, yaitu ; Jong Indonesie di Bandung, Kabar Kita di Surabaya dan Soeara Kita di Yogyakarta.

Semangat serta gaya AMS telah masuk ke dalam Jong Indonesie. Kegiatan khusus Jong Indonesie, yaitu menyelengarakan sekolah sendiri. Nama sekolah tersebut adalah Tjahja Volksuniversiteit. Jong Indonesie mendirikan cabang-cabang Tjahja Volksuniversiteit di Batavia dan Yogyakarta, tetapi pendidikannya

18

(39)

yang ada di Bandung dianggap yang paling maju dan mempunyai ciri khas tersendiri.

Soebagio Mangoenrahardjo, teman dekat Sjahrir pada waktu itu, dia adalah pendiri dan juga direktur Tjahja Volksuniversiteit yang ada di Bandung. Menurut Soebagio Mangoenrahardjo, Sjahrir merupakan tokoh utama di antara mereka. Menurut laporan dari Bandung pada tahun 1928 ;

”Universitas ini dirancang bukan hanya untuk mengajar membaca dan menulis, melainkan juga untuk memberi pengajaran dalam bahasa-bahasa asing, ekonomi, matematika, fisika, serta mata pelajaran lainnya. Kuliah-kuliah diberikan kepada orang Indonesia dari semua usia, lelaki maupun perempuan, di mana siswa dan mahasiswa tak dikenai biaya … Enam ratus orang terdaftar sebagai murid. Di antara yang terdaftar ada kuli, petani, dan pekerja, juga beberapa puluh wanita dan orang tua di atas empat puluh tahun”. 19

Ada laporan-laporan lain yang menyatakan bahwa Tjahja Volksuniversiteit mengajarkan bahasa Belanda, Indonesia, Inggris, Jerman, dan Prancis di samping pelajaran hukum, antropologi, sosiologi, stenografi dan sejarah.

Tujuan Jong Indonesie adalah untuk mendorong gagasan kesatuan nasional Indonesia melalui gerakan pramuka, olahraga, jurnal, selebaran dan pertemuan atau rapat-rapat. Salah satu dari pemimpinnya menyatakan bahwa ”Jong Indonesie bukan didasarkan pada politik melainkan mempelajari politik sebagai suatu kajian ilmiah”. Sebagian besar bermuara pada debat politis, dan keputusan politis telah dihasilkan dalam klub debat Patriae Scientiaeque.20

19

Ibid. hal 68. 20

(40)

Tjahja Volksuniversiteit dan juga Jong Indonesie, mendapatkan dukungan dari berbagai sumber, tetapi sebagian besar dukungan diperoleh dari sumbangan dari hasil pertunjukan-pertunjukan sandiwara Batovis. Masalah politik yang paling sering dibicarakan dalam AMS, Patriae Scientiaeque, dan Jong Indonesie ialah ”anti feodalisme”. Bagi kalangan ini, politik adalah masalah pertumbuhan dan pematangan, masalah transisi dan penerjemahan.

Pada bulan Desember 1928, Kongres Pemuda se-Hindia Kedua berlangsung di Batavia. Sejumlah Jong Indonesie dari Bandung pergi ke Batavia, dan beberapa laporan menyatakan bahwa Sjahrir termasuk di antara yang hadir. Para pemuda di Kongres itu mengucapkan sumpah ”Satu Nusa”, ”Satu Bangsa”, dan ”Satu Bahasa”. ”Indonesia Raya” yang kemudian menjadi lagu kebangsaan Indonesia, dinyanyikan untuk pertama kalinya dalam kongres tersebut.21

2.2.2. Sjahrir di Negara Belanda pada tahun 1929-1931

Sjahrir menyelesaikan studinya di AMS Bandung pada tahun 1929. Ia mempunyai saudara perempuan yang menikah dengan Dr. Djoehana Wiriadikarta, yang memperoleh beasiswa untuk melanjutkan diploma bumiputeranya di Belanda. Sjahrir mengikuti keluarga kakaknya tersebut. Ia melanjutkan studinya di Universitas Amsterdam, di fakultas Hukum. Di Amsterdam, garis pemisah antara warga negeri penjajahan dan penduduk wilayah jajahannya tak terlihat sama sekali.22

21

Ibid. hal 73. 22

(41)

Seperti orang lain yang segenerasi dengannya, Sjahrir merasa tergairahkan, terangsang, dan bahkan terserap sepenuhnya oleh lingkungan Universitas di Belanda. Ia mengadakan kontak dengan mahasiswa-mahasiswa Indonesia lainnya, termasuk sejumlah mahasiswa dari Minangkabau, tetapi hal tersebut tidak membatasi pergaulannya hanya dengan mereka saja. Sebagai orang yang suka berkumpul, kesempatan bergaul dengan mahasiswa-mahasiswa Belanda berdasarkan persamaan derajat dan menjalin persahabatan berdasarkan simpati atau persamaan wawasan tanpa dikekang oleh rintangan-rintangan ras, merupakan suatu pengalaman baru bagi Sjahrir. Dengan bersemangat ia memasuki kehidupan kegiatan politik mahasiswa.

Hanya beberapa hari setelah tiba di Amsterdam, Sjahrir menulis surat kepada ketua himpunan mahasiswa Sociaal Democratishe Studenten Club (Klub Mahasiswa Demokrat Sosial) di kota itu untuk menanyakan keterangan tentang gerakan pemuda tersebut. Tidak lama setelah Sjahrir tiba di Belanda, ayahnya meninggal, sehingga kemudian pendukung dana utamanya pun tidak ada. Dr. Djoehana menyelesaikan studinya dan kemudian mereka sekeluarga kembali ke Hindia. Tetapi Sjahrir masih menyelesaikan studinya. Setelah keluarga Dr. Djoehana kembali ke Hindia, Sjahrir kemudian pindah ke rumah Sal Tas ketua himpunan mahasiswa Sociaal Democratishe Studenten Club.

Klub Mahasiswa Demokrat Sosial menerbitkan sebuah jurnal yaitu De Socialist, dan penggambaran Sal Tas mengenai pandangan-pandangannya sering

(42)

melainkan benar-benar mempelajarinya. Buku-buku yang sering dibaca oleh Sjahrir pada waktu itu adalah Hilferding, Rosa Luxemburg, Karl Kautsky, Otto Bauer, Hendrik De Man, Marx dan Engels. Untuk lebih mengetahui tentang sosialisme, Sjahrir bekerja pada Serikat Federasi Buruh Angkutan Internasional (International Transport Worker’s Federation, ITWF). Di dalam ITWF tidak ada pekerjaan harian yang rutin. Federasi tersebut terperangkap dalam cita-cita politik dan juga abtrak (tidak berwujud). Sjahrir mendapat uang saku dari hasil kerjanya, ia juga bisa mengenal lebih dekat bagaimana kehidupan kaum buruh. Namun Sjahrir tidak lama bekerja dengan kelompok tersebut.23

Ketika Sjahrir di Belanda, Hatta telah berada di sana selama delapan tahun dan masih belajar di Sekolah Bisnis di Rotterdam. Saat itu Hatta sudah terkenal di dalam dunia politik Belanda. Ia adalah ketua Perhimpunan Indonesia, suatu organisasi mahasiswa patriotik dari Hindia yang berpusat di Negeri Belanda.24 Di tahun 1929, Hatta semakin gelisah untuk secepatnya menyelesaikan studinya dan kembali ke Hindia. ”Pada waktu itu, ” kenang Hatta ;

”Saya telah menjelaskan bahwa saya akan berhenti sebagai ketua (Perhimpunan Indonesia)... dan saya telah mendidik kader-kader baru untuk menggantikan saya, seperti Abdullah Sukur, seorang mahasiswa hukum yang telah lulus dalam ujian pertama...dia berasal dari Ambon, Rusbandi, seorang mahasiswa hukum di Universitas Leiden, dan Sutan Sjahrir”.25

(43)

sebagai pengantinya. Pada pertemuan yang diadakan oleh Perhimpunan Indonesia tanggal 4 Februari 1930, nama Sjahrir sudah tercantum dalam laporan polisi sebagai pembicara utama dalam pertemuan itu. Dua minggu kemudian, dia dipilih menjadi sekretaris Perhimpunan Indonesia. Pada bulan Mei 1930, Sjahrir sudah menjadi orang kedua setelah ketua.

Mungkin tidak ada orang Indonesia yang begitu berbeda wataknya dibandingkan antara Hatta dan Sjahrir. Sebagaimana di Bandung, Sjahrir dikenal karena kecepatannya menceburkan diri ke dalam ilmu pengetahuan sedangkan Hatta tekun belajar. Akan tetapi terlepas dari kenyataan bahwa mereka berdua adalah pejuang kemerdekaan. Ada kesamaan alamiah yang kuat di antara mereka, saling pengertian yang tumbuh berkat pengalaman dari Pendidikan Etis yang sama di Hindia dan melangkah lebih maju dalam sistem pendidikan kolonial di Negeri Belanda sendiri.

2.3. Sosialisme Kerakyatan di Indonesia

(44)

tenaga kaum buruh yang memungkinkan kekayaan si pemilik alat produksi bertambah besar dan berpusat pada jumlah orang yang sedikit.

Sosialisme adalah suatu pemikiran, suatu aliran internasional yang disandarkan pada teori hendak memerdekakan kaum buruh yang dipengaruhi oleh sistem kapitalisme. Bermacam-macam teori tentang sosialis telah muncul di dunia, begitu banyak pula aliran pergerakan yang berdasarkan pada sosialisme. Namun semuanya mengandung maksud hendak mengubah masyarakat dan sistem kapitalisme dengan masyarakat yang hidup dalam rumah sosialistis26, di mana semua alat produksi berada di tangan masyarakat umum, tidak lagi hanya dikuasai segolongan kecil kaum borjuis yang mempengaruhi kaum proletar.

Kaum sosialis umumnya berpendapat bahwa sesudah lenyapnya segala hak milik pribadi, dan berpindahnya alat-alat produksi ke tangan masyarakat umum, maka suatu masyarakat bisa berjalan sempurna dan berkembang dengan sebaik-baiknya. Maka kemakmuran dan kemajuan pun bisa terwujud. Tidak ada lagi kaum buruh dan kaum kapitalis, kaum yang terpengaruh dan kaum yang mempengaruhi. Dalam masyarakat yang dikehendaki oleh kaum sosialis, alat-alat produksi dimiliki bersama, pembagian dari penghasilan pun didistribusikan (disalurkan) secara adil. Dengan demikian tidak ada nafsu untuk mendapatkan keuntungan seperti yang ada dalam sistem kapitalis.27

26 Sosialistis adalah bersifat atau sesuai dengan sosialisme: bersifat memihak kepada kepentingan masyarakat.

27

(45)

Persaingan serta produksi yang tidak teratur di dalam masyarakat kapitalis menimbulkan krisis serta tidak adanya keseimbangan antara penghasilan dan kemampuan membeli pada masyarakat. Sehingga pada akhirnya terjadi suatu krisis, di mana sistem kapitalis tidak dapat bertahan dan manusia melanjutkan kehidupannya dengan sistem ekonomi yang lain.28 Sistem ekonomi tersebut adalah sistem ekonomi yang berdasarkan atas milik bersama atau sistem ekonomi sosialis di mana segala penghasilan diatur menurut keperluan masyarakat serta tidak mungkin lagi terjadi krisis karena persaingan. Di dalam sistem sosialis tidak ada kemungkinan eksploitasi oleh seorang terhadap yang lain. Segala penghasilan dapat dirujukan sepenuhnya untuk memenuhi keperluan masyarakat, sehingga tidak akan terjadi pemborosan tenaga maupun hambatan bagi kemajuan dan perkembangan teknik produksi.

Menurut pendapat Sjahrir ada beberapa hal yang membedakan sosialisme Barat dan Komunis, bukan hanya pengertian mereka tentang perkembangan masyarakat, dan juga bukan perbedaan tentang penghargaan kewajiban serta usaha pergerakan buruh di dalamnya, melainkan juga perbedaan pengertian serta penghargaan fungsi suatu negara. Para Komunis memandang negara semata-mata sebagai alat kekuasaan golongan yang berkuasa yaitu kekuasaan kelas borjuis. Bagi mereka tiap negara itu sebenarnya adalah suatu diktatur. Diktatur itulah yang harus dicapai oleh kaum proletar untuk menghancurkan kekuasaan borjuis.

Para Sosialis Barat pada umumnya tidak memandang arti serta fungsi negara seperti para Komunis. Para Sosialis berpendapat bahwa negara bukanlah

28

(46)

suatu barang yang tetap dengan arti dan fungsi tertentu. Mereka menghargai negara bersangkutan dengan perkembangan masyarakatnya serta perbandingan kekuatan-kekuatan masyarakat yang selalu berkembang dan juga berubah. Oleh karena itu mereka memandang bahwa corak serta fungsi negara tergantung pada perkembangan kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat serta menjernihkan perbandingannya.29

Sosialisme di Indonesia bagi Sjahrir didasarkan pada kerakyatan, dalam arti kepercayaan rakyat dan bangsa pada umumnya. Sosialisme yang berdasarkan kerakyatan adalah satu-satunya jalan untuk suatu negara yang tidak perlu lagi memikirkan soal kekuasaan atau pemerintahan yang harus direbut dengan cara pemberontakan atau untuk suatu masyarakat yang tidak mengenal perbedaan golongan yang menghisap dan menindas dengan golongan yang dihisap dan ditindas oleh bangsa sendiri. Sosialisme yang ia maksudkan bersifat kemanusiaan umum bukan hanya ditujukan untuk satu golongan, golongan proletar atau buruh tetapi untuk semua golongan.

Pada tahun 1926 terjadi pemberontakan kaum komunis di Hindia. Peristiwa tersebut menggugah Sjahrir untuk mempelajari apa yang menyebabkan pemberontakan itu terjadi, dan mengapa tidak mendapat dukungan rakyat. Dari pengalaman Sjahrir dalam melihat kehidupan rakyat di desa-desa Jawa Barat, terutama di sekitar kota Bandung, Garut, dan Sumedang, Sjahrir menyimpulkan, bahwa taraf pendidikan dan kesadaran rakyat Indonesia masih rendah, sebagian besar masih buta huruf. Mereka belum dapat menerima, bahkan tidak memahami

29

(47)

suatu gerakan revolusi. Mereka belum sadar akan hak-haknya sebagai manusia merdeka. Mereka tidak memiliki kebebasan, karena mereka juga tidak mengerti arti kebebasan dalam kehidupannya sehari-hari. Mereka sudah terbiasa hidup sebagai orang yang diperintah, baik oleh penguasa asing maupun oleh penguasa bangsa sendiri. Untuk mengubah pandangan rakyat yang demikian, maka perlu digalakkan kesempatan bagi mereka untuk menerima pelajaran baca-tulis. Agar mereka dapat mengikuti dunia modern oleh karena itu Sjahrir menganggap bahwa bidang pendidikan sebagai bagian terpenting dalam kehidupan bangsa. Para pemuda yang telah memperoleh pendidikan, harus membagi pengetahuannya dengan rakyat desa. Hanya dengan memajukan pendidikan umum, rakyat Indonesia akan menyadari hak-haknya sebagai bangsa. Pikiran seperti itu muncul ketika Sjahrir masih menjadi pelajar AMS di Bandung.

Walaupun Sjahrir cenderung berpihak kepada kaum pekerja atau kelas buruh, ia bukanlah seorang komunis. Ia tidak menyukai sistem diktator proletariat ala komunis dalam mencapai cita-cita kemerdekaan dan menuju jenjang kekuasaan. Sjahrir juga bukan penganut aliran sosialis liberal yang dianut oleh kebanyakan kaum sosialis Eropa Barat. Ide politiknya telah terbentuk berdasarkan cita-cita kerakyatan Indonesia, yang mendambakan kemerdekaan dan kebebasan. Yang melihat potensi rakyat dengan modal dasar dalam perjuangan membebaskan diri dari belenggu penjajahan.30

Sjahrir mempunyai teori nilai tambah, kemerdekaan politik harus menyediakan kebebasan bagi kehidupan warga negara secara utuh dan terpadu.

30

(48)

Menurut Sjahrir, suatu bangsa dapat merdeka dari penjajahan asing, tapi kemudian ditindas oleh pemerintahan sendiri dan hal tersebut tidak boleh terjadi. Kemerdekaan harus mengandung arti kebebasan bagi setiap warga negara dalam menikmati hak-haknya, di samping kewajiban-kewajiban politik atau sosialnya. Rakyat harus menyadari kedudukannya sebagai warga negara, terutama hak-hak demokrasinya. Demokrasi kerakyatan merupakan jawaban yang dicari Sjahrir. Sebab dengan kerakyatan akan lebih mudah bagi masyarakat untuk berpikir tentang arti kerakyatan.31

31

(49)

35 3.1. Peran Sjahrir Sebelum Kemerdekaan

3.1.1. Pendidikan Nasional Indonesia

Pada tanggal 29 Desember 1929 pemerintah kolonial Belanda menangkap Sukarno dan tokoh-tokoh Partai Nasional Indonesia. Hal ini terjadi dikarenakan pihak Belanda menganggap bahwa Sukarno dan anggota partainya melakukan kegiatan revolusioner untuk melawan pihak Belanda. Bagi Hatta dan Sjahrir, penangkapan tersebut menyurutkan semangat kaum pergerakan dan kejadian tersebut merupakan suatu sinyal bahwa keadaan di Tanah Air sedang menghadapi masalah serius. Terlebih setelah mendengar PNI justru dibubarkan oleh aktivisnya sendiri, yang kemudian membentuk Partai Indonesia (Partindo). Gerakan nasionalisme kultural Partindo dinilai terlalu lemah dan mengecewakan kaum nasionalis, mereka berharap ada tokoh yang lebih berani.32

Sejak terjadinya penggerebekan pada tanggal 29 Desember 1929 di Hindia Belanda sampai kongres PNI di Yogyakarta pada 14 Februari 1931, para anggota yang kecewa dengan dibubarkannya PNI, tetap berhubungan dan membicarakan tindakan selanjutnya. Di Bandung, Batavia, dan Surabaya mereka membentuk studieclub masing-masing. Untuk membedakan dari Partindo, mereka menyebut

diri mereka sebagai Golongan Merdeka. Sejak bulan Juni 1931 Hatta dan Sjahrir mulai menunjukkan dukungan bagi Golongan Merdeka.

32

(50)

Dorongan serta saran dari Hatta dan Sjahrir mulai menujukkan hasil menjelang pertengahan Agustus 1931. Seperti diberitakan oleh Warna Warta, pada tanggal 12 Agustus 1931, Golongan Medeka sudah membentuk suatu panitia pusat untuk merancang penerbitan Daulat Ra’jat. Panitia pusat berkedudukan di Batavia, dengan sub-panitia di Bandung, Malang, Surabaya, dan Pelembang. Karena sering mengadakan pertemuan, mereka sepakat bahwa wadah yang terbaik bagi mereka bukan partai, bukan pula perhimpunan, melainkan pendidikan.33 Pada bulan September tahun 1931, Golongan Merdeka bersepakat menyebut diri mereka Club-club Pendidikan Indonesia, dan pada tanggal 20 September 1931 mereka menerbitkan nomor perkenalan Daulat Ra’jat yang akan terbit setiap 10 hari sekali. Isinya antara lain mengenai keterangan asas kerja mereka, yakni kebangsaan dan kerakyatan.

Pada akhir bulan September atau awal Oktober 1931, club-club tersebut membentuk Komite Golongan Merdeka di Batavia. Komite tersebut mengadakan pertemuan Golongan Merdeka di Batavia pada tanggal 31 Oktober 1931. Acara pokoknya adalah membentuk suatu partai baru. Hasilnya, suatu konferensi untuk membentuk partai itu diadakan di Yogyakarta pada tanggal 25-27 Desember 1931. Hatta dan Sjahrir saat itu sudah menjadi tokoh di kalangan nasionalis. Tulisan-tulisan mereka dari Negeri Belanda tentang pentingnya pendidikan menuju kemerdekaan sangat berpengaruh terhadap kaum pergerakan. Karena terpengaruh tulisan tersebut, pada bulan Maret-April 1931 sekelompok mahasiswa dan pemuda membentuk klub studi di Bandung dan Jakarta.

33

(51)

Dalam konferensi tersebut, yang dipimpin oleh Soekemi, timbul perdebatan mengenai nama partai baru itu. Ada yang mengusulkan Partai Indonesia Merdeka, ada pula yang mengusulkan Partai Daulat Ra’jat. Ketika perdebatan terjadi, masuk telegram dari Hatta yang pada waktu itu berada di Belanda, sedangkan Sutan Sjahrir sedang dalam perjalanan pulang untuk membantu. Isi telegram itu adalah lupakan untuk membentuk partai, tetapi pertahankan ciri khas Club Daulat Ra’jat. Pada akhirnya, konferensi memutuskan untuk membentuk suatu wadah bernama Pendidikan Nasional Indonesia, yang kemudian lebih dikenal dengan PNI-Baru atau PNI Pendidikan. Tugas utama partai tersebut untuk sementara adalah mendidik calon pemimpin pergerakan kebangsaan.34

Sjahrir tiba di Hindia Belanda pada tahun 1931. Kehadirannya kembali di tanah air menjadi suatu tahap baru dalam perkembangan politiknya. Dari pendidikannya di Belanda ia telah memperoleh kebiasaan untuk melakukan analisis yang tajam, menggunakan logika yang tidak sentimental, dan kesediaannya untuk melancarkan kritik yang tajam terhadap hal-hal yang dianggapnya tak berharga.35

Hatta dan Sjahrir memilih untuk tidak bekerjasama dengan Partindo, organisasi politik massa tersebut, namun sebaliknya dengan terang-terangan memilih bergabung dengan kelompok nasionalis Golongan Merdeka yang relatif kecil, dan punya kesadaran politik yang lebih tinggi, punya arti penting untuk

34

Ibid. hal 349. 35

(52)

jangka panjang. Hatta dan Sjahrir yakin, bahwa partai massa semacam itu, dan pimpinannya yang karismatik dan sangat dipercaya, tidak cocok untuk melanjutkan pergerakan kebangsaan secara efektif. Mereka merasa, bahwa setiap saat orang-orang Belanda dapat menangkap pemimpin yang daya tariknya terhadap massa membahayakan kepentingan Belanda.

Suatu pergerakan kebangsaan yang bergantung kepada beberapa orang penting yang sedang jaya suatu saat pasti akan menemui kegagalan, karena Belanda akan menyingkirkan para pemimpin semacam itu dari kancah politik. Hatta dan Sjahrir yakin bahwa pergerakan semacam itu hanya mempunyai kekuatan jika sejumlah rakyat Indonesia dididik agar matang dalam masalah-masalah politik, dan punya pengertian yang mendalam tentang prinsip-prinsip kebangsaan. Proses pendidikan itu mereka rencanakan sebagai pelaksanaan jangka panjang secara tidak spektakuler. Langkah pertama yang penting adalah membentuk kader-kader pemimpin formasi pertama dan kedua. Kader-kader itu selanjutnya dapat mendidik anggota yang lebih luas secara bergilir. Mereka yakin bahwa dalam jangka panjang, sekelompok kecil kader yang dapat diandalkan, akan mencapai kemerdekaan yang tidak dapat dicapai oleh pemimpin karismatik yang kariernya tidak lama walau punya dukungan massa.36

Sjahrir menggantikan Soekemi pada bulan Juni 1932 sebagai pemimpin PNI-Baru, kemudian menyerahkan pimpinan tersebut kepada Hatta sekembalinya Hatta ke Hindia Belanda pada bulan Agustus. Ia juga memegang pimpinan atas Daulat Ra’jat. Menjelang kembalinya Hatta ke Indonesia, partai baru itu sudah

36

(53)

menjadi organisasi yang berfungsi, dengan sekitar selusin cabang, dan beberapa di antaranya terus berkembang dalam bulan-bulan berikutnya.

Dimasukkannya kata ’Pendidikan’ ke dalam nama partai tersebut mempunyai maksud khusus dan juga serius. Sebagian kegiatan partai itu adalah menyelenggarakan pendidikan politik bagi para anggotanya, yang sebagian dilakukan melalui halaman-halaman Daulat Ra’jat dan tulisan-tulisan lain, termasuk risalah Kearah Indonesia Merdeka yang secara khusus ditulis oleh Hatta sebagai semacam manifesto pergerakan itu, sebagian melalui ceramah-ceramah untuk para anggota cabang dan yang lain, dan sebagian lagi melalui kursus-kursus yang diberikan kepada para anggotanya.37

Para anggota Pendidikan Nasional Indonesia, bukanlah kaum buruh dalam artian suatu kelas sosial walaupun sebagian terbesar dari mereka hanya berpendidikan menengah dan bukan berpendidikan tinggi. Namun, mereka menginginkan suatu pendidikan politik berwarna sosialis yang akan membawa mereka melampaui batas-batas gaya agitasi (hasutan kepada orang banyak) nasionalisme yang sempit. Dengan cara ini, PNI-Baru di bawah pimpinan Hatta dan Sjahrir, mengembangkan suatu pandangan dunia dan suatu cara yang khas dalam menyelesaikan masalah-masalah yang sedang dihadapi pergerakan kebangsaan.38

Jalan Politik yang diambil Sutan Sjahrir, sesungguhnya dilatarbelakangi oleh jiwa patriotik dan pemikirannya yang menjunjung tinggi persamaan derajat

37

J.D. Legge, op. cit. hal 59. 38

(54)

setiap manusia. Menurut Sutan Sjahrir nasionalisme harus berpijak pada demokrasi, karena nasionalisme bisa tergelincir pada fasisme jika bersekutu dengan feodalisme lokal. Nasionalisme juga bisa menjadi chauvinistik dalam hubungan internasional, jika tidak dilandasi pemikiran humanistik (kemanusiaan).

3.1.2. Pendudukan Jepang pada Tahun 1942

Pada tanggal 9 Maret tahun 1942 Jepang telah menduduki seluruh pulau Jawa. Sebagian kecil orang Belanda bergabung dengan rakyat Indonesia dalam membangun gerakan perlawanan terhadap bangsa Jepang. Setelah bangsa Belanda kalah oleh Jerman, rakyat Indonesia merasa kegirangan karena menganggap Jepang sebagai penyelamat mereka dari penjajahan Belanda pada waktu itu.39

Pihak Jepang menyadari bahwa mereka tidak dapat mengendalikan aparat pemerintahan, padahal kepentingan mereka untuk menenangkan rakyat sangat mendesak kalau peperangan ingin terus berlangsung tanpa gangguan. Pada mulanya Jepang mencoba memanfaatkan elemen-elemen feodal dan agama guna memperoleh dukungan. Ketika usaha tersebut gagal, mereka berpaling kepada Hatta dan Sjahrir. Kedua pemimpin ini tidak mempercayai Jepang, mereka mengetahui bahwa Jepang akan berusaha untuk membentuk sebuah pemerintah Indonesia dengan kendali di tangan Jepang..

Sjahrir dan Hatta berkesimpulan bahwa berperan serta dalam pemerintahan yang disponsori Jepang akan membantu mempersatukan kegiatan

39

(55)

kaum nasionalis dan kaum revolusioner yang berpencar guna mencapai kemerdekaan. Keduanya bersepakat untuk sementara waktu Hatta bekerja sama dengan pihak Jepang, sedangkan Sjahrir akan memimpin pengorganisasian gerakan revolusioner bawah tanah yang terkoordinasi.

Karena itu, ketika pada akhir tahun 1943, Jepang mendekati Hatta untuk diminta kerja samanya, Hatta menyetujui dengan syarat ia diperbolehkan mengorganisasi pembangunan bangsa Indonesia. Keadaan mereka yang sulit dan kesadaran akan pentingnya pemimpin yang populer seperti Hatta membuat Jepang dengan mudahnya menerima syarat-syarat yang diajukan Hatta. Akan tetapi, mereka gagal ketika mengharapkan kerja sama Sjahrir dengan cara serupa. Sjahrir memberi alasan bahwa dirinya terlalu disibukkan oleh kegiatan ’pendidikannya’ untuk memikirkan hal-hal lain, alasan yang dikemukakan hanya untuk ’menutupi’ kegiatannya di bawah tanah.

Pada bulan Juli tahun 1942, Hatta, Sukarno, dan Sjahrir, mengadakan pertemuan rahasia di kediaman Hatta. Pada pertemuan itu Sukarno menyetujui rencana yang telah dipikirkan secara matang oleh Hatta dan Sjahrir. Akhirnya diputuskan bahwa Sukarno-Hatta akan menawarkan kerja sama mereka dengan pihak Jepang, melindungi roda pemerintahan dari campur tangan Angkatan Perang Jepang, dan menyediakan basis legal yang luas bagi perjuangan nasional sambil secara rahasia membantu gerakan perlawanan revolusioner pimpinan Sjahrir dengan memberikan informasi dan juga uang.40

40

(56)

Pada bulan Oktober 1944, menyusul pernyataan Perdana Menteri Koiso di Parlemen Jepang bahwa Indonesia akan segera diberi kemerdekaan, Sukarno-Hatta dan yang lain-lainnya diizinkan untuk secara terbuka menganjurkan kemerdekaan. Pada tanggal 1 Maret 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan yang berbasis luas di Jawa dibentuk. Setelah mengadakan sidang secara rutin pada bulan Mei, Juni, dan Juli, Panitia tersebut berhasil mencapai keputusan-keputusan mengenai soal-soal ekonomi dan konstitusi.41

3.2. Peran Sjahrir Dalam Mencapai Kemerdekaan 3.2.1. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945

Ketika Kekaisaran Jepang sudah mendekati keruntuhannya, pada tanggal 8 Agustus Sukarno dan Hatta dipanggil ke Saigon untuk bertemu dengan Pangeran Terauchi, Panglima Tertinggi Tentara Jepang Wilayah Selatan. Pesan yang disampaikan oleh Terauchi adalah bahwa penentuan waktu serah terima kemerdekaan sekarang berada di tangan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Setelah membicarakan soal proklamasi kemerdekaan Indonesia, disitu diputuskan bahwa Panitia Persiapan Kemerdekaan harus bersidang pada tanggal 19 Agustus 1945 di Jakarta. Sebelum berangkat ke Saigon, Hatta dan Sjahrir telah sepakat bahwa saat yang menentukan bagi usaha revolusioner besar-besaran, yaitu secara terang-terangan menggabungkan berbagai kekuatan legal di bawah Sukarno-Hatta dan gerakan bawah tanah dalam usaha mendirikan negara Indonesia yang merdeka. Pada tanggal 14 Agustus rombongan kembali ke Jakarta

41

(57)

tanpa mengetahui perihal telah dijatuhkannya bom atom yang pertama serta akan menyerahnya Jepang, dan langsung terlibat dalam perdebatan sengit tentang strategi yang akan ditempuh untuk memproklamasikan kemerdekaan. Pada mulanya, Sjahrir merupakan salah satu peserta utama dalam perdebatan itu.42 Ketika berita menyebar pada rakyat Indonesia bahwa pada tanggal 14 Agustus Jepang telah menyerah kepada Sekutu, diam-diam Hatta berunding dengan Sjahrir yang mendesak agar proklamasi kemerdekaan harus diadakan sesegera mungkin karena jika menunggu tanggal 19 Agustus mungkin akan terlambat.43

Sjahrir memberitahu Hatta yang baru kembali dari Saigon bahwa Jepang sudah menyatakan kesediaan untuk menyerah, dan berusaha keras meyakinkan Hatta mengenai pentingnya deklarasi kemerdekaan dilakukan segera oleh Sukarno sebagai pemimpin rakyat, atas nama rakyat, sehingga dikemudian hari tidak akan timbul kesan seolah-olah Indonesia memperoleh kemerdekaannya sebagai hadiah dari Jepang. Hatta tidak dapat diyakinkan sepenuhnya, tetapi ia membawa Sjahrir ke rumah Sukarno untuk membicarakan soal itu lebih lanjut. Sukarno maupun Hatta khawatir bahwa langkah yang tergesa-gesa akan memancing tindak kekerasan dari pihak Jepang untuk menumpas republik yang mengumumkan kemerdekaannya secara sepihak. Menurut Hatta, Sukarno meragukan apakah Jepang benar-benar sudah menyerah, dan ingin memperoleh sekurang-kurangnya, suatu persetujuan tidak resmi dari pihak berwajib sebelum bertindak. Mereka berdua berpendapat bahwa pernyataan kemerdekaan harus dikeluarkan oleh

42

J.D. Legge, op. cit, hal. 171. 43

(58)

Panitia Persiapan yang akan melangsungkan sidang peresmiannya pada tanggal 18 Agustus. Sjahrir berpendapat bahwa jika Jepang telah meminta damai maka negara itu, sebenarnya tidak lagi berada dalam posisi untuk menepati janjinya memberikan kemerdekaan, apakah itu melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau dengan cara lain. Ia juga mengisyaratkan bahwa sudah ada rencana bagi suatu pemberontakan rakyat dalam skala yang tidak akan dapat dikendalikan oleh pihak Jepang untuk mendukung proklamasi kemerdekaan itu. Pada akhir pembicaraan itu, Sukarno tetap pada keputusannya untuk menunggu sampai diselenggarakannya sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Di zaman Jepang pemuda dan mahasiswa di Jakarta berhimpun di tiga lokasi, yakni Asrama Prapatan 10 yang menjadi tempat tinggal mahasiswa kedokteran Ika Dai Gaku (Sekolah Tinggi Ilmu Kedokteran), Asrama Angkatan Baru Menteng 31 yang didirikan oleh Sendenbu (Badan Propaganda Jepang), Asrama Indonesia Merdeka di Jalan Bungur Besar yang didirikan oleh kalangan Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Ada pusat-pusat kegiatan lain, seperti Asrama

Mahasiswa USI (Unitas Studiosorum Indonesiesis) di Cikini 71, atau Komisi Bahasa Indonesia dibawah pimpinan Sutan Takdir Alisjahbana, bertempat di

Penerbit Balai Pustaka.44

Menyangkut kegiatan pemuda, tampuk (ujung) pimpinan terlepas dari tangan Sjahrir dan beralih ke tangan berbagai pemimpin pemuda lainnya, di antaranya adalah Sukarni, Adam Malik, Chaerul Saleh, Maruto Nitimihardjo,

44

(59)

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan yang baik antara penyanyi dalam sebuah paduan suara akan menciptakan suasana yang menyenangkan ketika menyanyikan sebuah lagu, karena komunikasi

PERAN PEMERINTAH DESA DALAM PENANGANAN KONFLIK KEAGAMAAN (Studi Penelitian Tentang Konflik Keagamaan Antara Nahdhlatul Ulama Dengan Majelis Tafsir Al- qur’an Di Desa

Fresmon Pacifik Prima periode 31 Desember 2009 sampai dengan 31 Desember 2012 Dengan data perbandingan berdasarkan hasil pengamatan sementara menggunakan konsep

6. Kolom 6 diisi dengan jumlah pendapatan yang disetorkan.. penyetoran dilakukan pada saat bendahara penerimaan pembantu menyetorkan pendapatan yang diterimanya ke rekening

[r]

(5) Setiap badan usaha yang memasukkan alat dan mesin dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia yang tidak melakukan alih teknologi dan memberikan pelatihan

Dilatasi (perkalian) adalah suatu transformasi yang memperbesar atau memperkecil bangun tetapi tidak mengubah bentuk.. 5) Guru memberikan kesempatan pada siswa

Adanya tekanan dari serikat pekerja dan peraturan pemerintah di bidang ketenagakerjaan menyebabkan manajer mengalami kesulitan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK)