TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK
JUAL BELI
TEBAS
POHON DURIAN
(Studi Kasus di Desa Bringin Kecamatan Bringin
Kabupaten Semarang)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
Ruli Susilowati
NIM : 21414012
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK
JUAL BELI
TEBAS
POHON DURIAN
(Studi Kasus di Desa Bringin Kecamatan Bringin
Kabupaten Semarang)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
Ruli Susilowati
NIM : 21414012
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS
SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
NOTA PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplar
Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga
Di Salatiga
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa:
Nama : Ruli Susilowati
NIM : 21414012
Judul : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP
PRAKTIK JUAL BELI TEBAS POHON DURIAN
(Studi Kasus di Desa Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang)
dapat diajukan kepada Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga untuk diujikan
dalam sidang munaqasyah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salatiga, 23 Agustus 2018 Pembimbing
Luthfiana Zahriani, SH.MH
KEMENTERIAN AGAMA RI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
Jl. Nakula Sadewa No. 09 Telp (0298) 323706, 323433 Salatiga Website: www.iainsalatiga.ac.id E-mail: administrasi@iainsalatiga.ac.id
PENGESAHAN
Skripsi Berjudul
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI TEBAS POHON DURIAN
(Studi Kasus di Desa Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang)
Oleh: Ruli Susilowati NIM: 21414012
Telah dipertahankan di depan sidang munaqasyah skripsi Fakultas Syari’ah,
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada hari Senin, tanggal 03
September 2018 dan telah dinyatakan memenuhi salah satu syarat guna
memperoleh gelar sarjana dalam hukum Islam
Dewan Sidang Munaqasyah
Ketua Sidang : Dr. H. Muh. Irfan Helmy, Lc., MA
Sekertaris Sidang : Luthfiana Zahriani, SH.,MH
Penguji I : Heni Satar Nurhaida, SH.,M.Si
Penguji II : Drs. Machfudz, M.Ag
Salatiga, 03 September 2018 Dekan Fakultas Syariah
Dr. Siti Zumrotun, M.Ag
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Ruli Susilowati
NIM : 21414012
Program Studi : Hukum Ekonomi Syari’ah
Fakultas : Syari’ah
Judul Skripsi : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL
BELI TEBAS POHON DURIAN (Studi Kasus di Desa
Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang )
Menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 23 Agustus 2018 Yang menyatakan
MOTTO
Hidup adalah belajar
Belajar bersyukur meski tak cukup
Belajar bersabar meski terbebani
Belajar setia meski banyak yang menggoda
Belajar memaafkan meski pernah tersakiti
Berusahalah
Semua itu perlu proses dan proses itu perlu waktu biarlah ia
berproses dan tidak perlu terburu-buru kaena hasil terbaik juga
memerlukan waktu. Teruslah berusaha, bersabarlah dan yakinlah
tidak akan ada yang mengkhianati usaha
Berdoalah
Tidak ada satupun yang lebih dihargai oleh Allah,
PERSEMBAHAN
Skripsi ini dipersembahkan untuk:
1. Kedua orang tuaku tercinta Bapak Sugimin dan Ibu Rusiyah sebagai
motivator terbesar dalam hidupku yang tak mengenal lelah dan mendoakan aku serta menyayangiku, terimakasih atas semua pengorbanan, keringat dan kesabaran mengantarkanku sampai kini.
2. Kakakku tercinta, Heru Purmiyanto satu-satunya keluarga kandungku yang
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karuninnya-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu persyaratan
guna memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H), Fakultas Syari’ah, Program Studi
Hukum Ekonomi Syari’ah. Penulis menyadari tanpa bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak, mulai dari masa perkuliahan sampai dalam penyusunannya. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada :
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Ibu Dr. Siti Zumrotun, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga,
sekaligus selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu memberikan bimbingan dan pengarahan untuk selalu melakukan yang terbaik.
3. Ibu Evi Ariyani, S.H.,M.H, selaku Ketua Program Studi Hukum Ekonomi
Syari’ah IAIN Salatiga.
4. Ibu Luthfiana Zahriani S.H.,M.H selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta dukungannya untuk selalu memberikan pengarahan dan masukan yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini, sehingga dapat selesai dengan maksimal sesuai dengan yang diharapkan.
5. Keluarga tercinta Ibuk, bapak, kakak yang tak henti-hentinya selalu
6. Saudara sepupuku mbak Indah Yulianti yang selalu menjadi motivasi, memberi semangat buat saya.
7. Kepada semua narasumber yang berkenan memberikan informasi.
8. Terimakasih kepada teman-teman tercinta Laela, Cik Nur, Lindut, Lia
Rahma, Fitri, Lia El, Arum, Fatir, Bowo, Saiful, Alviyan, Rista dan Fatma serta teman-teman yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terimakasih banyak untuk pertemanannya selama ini dan sukses selalu untuk kalian semua.
9. Teman seperjuanganku Hukum Ekonomi Syari’ah 2014 IAIN Salatiga.
10. Seluruh jajaran Akademi Institut Agama Islam Negeri Salatiga Fakultas
Syari’ah yang tidak bisa penulis sebutkan semuanya terimakasih banyak telah
banyak membantu dalam penyusunan skripsi ini.
11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah
memberikan Konstribusi dan dukungan yang cukup besar sehingga penulis dapat menjalani perkuliahan dari awal hingga akhir di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan mereka dengan balasan yang lebih dari yang mereka berikan dan senantiasa mendapatkan
maghfiroh, dilingkupi rahmat dan cita-Nya, Amin.
Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu, baik bagi penulis sendiri ataupun bagi pembaca pada umumnya.
Salatiga, 23 Agustus 2018 Penulis,
ABSTRAK
Susilowati, Ruli. 2018. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Jual Beli Tebas
Pohon Durian (Studi Kasus di Desa Bringin, Kecamatan Bringin,
Kabupaten Semarang). Skripsi. Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah
Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Pembimbing: Luthfiana Zahriani, S.H.,M.H
Kata Kunci: Hukum Islam, Jual Beli, Tebas
Jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar harta benda yang memberikan kemaslahatan bagi kedua belah pihak atas dasar kerelaan yang di dalamnya terdapat pihak penjual dan pihak pembeli serta dalam melaksanakan
perjanjian tersebut harus berdasarkan ketentuan syara’ yang berlaku. Jual beli
dikatakan sah atau tidaknya tergantung dari terpenuhinya rukun dan syarat akad.
Salah satu jual beli yang dilakukan di Desa Bringin adalah jual beli tebas, yaitu
jual beli tanaman atau barang dengan cara borongan ketika tanaman belum dipetik
atau masih dipohon. Sebagaimana yang terjadi dalam jual beli tebas durian di
Desa Bringin merupakan salah satu aktivitas yang sering dilakukan dan menjadi kebutuhan dalam masyarakat. Dari latar belakang tersebut penulis menggunakan
dua fokus penelitian yaitu: bagaimana pelaksanaan praktik jual beli tebas pohon
durian di Desa Bringin, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang dan bagaimana
tinjauan hukum Islam terhadap praktik jual beli tebas pohon durian di Desa
Bringin, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang.
Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) yang bersifat
deskriptif kualitatif dan pendekatan yuridis sosiologis dengan pengumpulan data
melalui wawancara kepada pihak-pihak yang terlibat dalam jual beli tebas pohon
durian. Penyajian penelitian ini dilakukan dengan cara menggambarkan objek yang apa adanya dengan pernyataan-pernyataan yang bersifat kualitatif. Kemudian dianalisa apakah sesuai dengan hukum Islam mengenai praktik jual beli tebas ini.
Pelaksanaan praktik jual beli tebas pohon durian di Desa Bringin,
Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang menggunakan sistem tahunan atau kontrak pohon yaitu dengan cara membeli atau menjual buah dimana masih dalam bentuk pohon dan belum berbuah bahkan belum berbunga sedikitpun tetapi dengan melihat hasil panen tahun kemarin serta pembayaran sepenuhnya di awal
sehingga tidak mengenal sistem panjar. Mengenai pelaksanaan praktik jual beli
tebas pohon durian jika ditinjau dari hukum Islam dilarang dan batal hukumnya
karena tidak terpenuhinya syarat dari jual beli yaitu dari segi ijab qabul dan
ma‟qud alaih, serta jual beli ini termasuk jenis jual beli yang mengandung unsur
DAFTAR ISI
SAMPUL ... i
LEMBAR BERLOGO ... ii
HALAMAN JUDUL ... iii
NOTA PEMBIMBING ... iv
PENGESAHAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN ... vi
MOTTO ... vii
PERSEMBAHAN ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
ABSTRAK ... xii
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Kegunaan Penelitian... 6
E. Penegasan Istilah ... 7
F. Tinjauan Pustaka ... 7
G. Metode Penelitian... 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Jual Beli Menurut Hukum Islam ... 17
1. Pengertian Jual Beli Menurut Hukum Islam ... 17
2. Dasar Hukum Jual Beli Menurut Hukum Islam ... 19
3. Rukun dan Syarat Jual Beli Menurut Hukum Islam ... 21
4. Macam-macam Jual Beli Menurut Hukum Islam ... 32
5. Etika Jual Beli Menurut Hukum Islam ... 41
B. Tinjauan Umum Jual Beli Tebas ... 43
1. Pengertian Jual Beli Tebas ... 43
2. Dasar Hukum Jual Beli Tebas Menurut Hukum Islam ... 44
BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A. Gambaran Umum Desa Bringin ... 46
1. Letak Geografis Desa Bringin ... 46
2. Visi dan Misi Desa Bringin ... 48
3. Demografis Desa Bringin ... 49
B. Praktik Jual Beli Tebas Pohon Durian di Desa Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang ... 57
B. Praktik Jual Beli Tebas Pohon Durian Ditinjau dari Jenis-jenis Jual Beli Menurut Hukum Islam ... 70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 75 B. Saran ... 76
DAFTAR PUSTAKA ... 77
DAFAR LAMPIRAN
1. Nota Pembimbing Skripsi
2. Surat Penunjukan Skripsi
3. Surat Permohonan Izin Penelitian
4. Lembar Konsultasi
5. Surat Keterangan Lulus Ujian Komprehensif
6. Daftar Panduan wawancara
7. Surat Keterangan dari Kepala Desa
8. Foto penulis bersama informan
9. Daftar nilai SKK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama Islam adalah agama universal. Islam sebagai sistem ajaran keagamaan yang lengkap dan sempurna, bukan hanya ajaran tentang akhirat saja akan tetapi kebutuhan fisik juga harus terpenuhi. Segala sesuatunya telah ditentukan oleh Allah. Mengatur setiap segi kehidupan umatnya, mengatur seorang hamba dengan Allah dan juga mengatur hubungan antar sesamanya yaitu manusia dengan manusia. Di dalam agama itu sendiri pasti ada hukum yang menjelaskan suatu perbuatan bisa dikategorikan halal dan haram. Sebagai sistem kehidupan, Islam juga memberikan warna dalam setiap dimensi kehidupan umat manusia, tidak terkecuali dalam urusan perekonomian (Djumaini, 2010:18).
Islam merupakan ajaran yang bersifat rahmatan lil „alamin (menjadi
rahmah bagi alam semesta), maka tujuan utamanya bertumpu pada
kemashlahatan yang hakiki termasuk syariat’nya di bidang muamalah
(bisnis). Kaidah fiqh mengatakan bahwa pada prinsipnya hukum muamalah adalah boleh selama tidak ada dalil yang mengharamkannya (Budi Utomo, 2003:51). Untuk melaksanakan kegiatan muamalah manusia harus saling
bekerja sama dan memberi bantuan kepada orang lain yang
Suatu hal yang paling mendasar oleh manusia dalam memenuhi kebutuhannya ialah adanya interaksi sosial dengan manusia lain dan untuk memenuhi kebutuhan setiap hari, setiap manusia pasti melakukan suatu transaksi. Oleh karena itu, kehidupan manusia di dunia ini juga tidak lepas dari praktik jual beli karena jual beli merupakan salah satu bentuk tolong menolong antara manusia satu dengan yang lainnya (Dahlan, 2003: 827). Jual beli dalam Islam dikategorikan dalam bidang muamalah. Muamalah adalah
perbuatan sesama manusia dalam masalah maliyah, huquq, dan keuangan
Negara dan institusi keuangan yang berlandaskan pada syari’ah Islam
(Mujibatun, 2012:9).
Dengan kata lain muamalah adalah suatu tukar menukar barang atau sesuatu yang memberikan manfaat sesama manusia, seperti jual beli itu sendiri, sewa-menyewa, upah-mengupah, pinjam-meminjam, urusan bercocok tanam, dan lain-lain. Muamalah dalam Islam telah memberikan ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah yang harus ditaati dan dilaksanakan. Jadi dalam praktik muamalah harus sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan oleh
syari’at Islam.
maupun pembeli. Jika salah satu tidak terpenuhi maka jual beli tersebut bisa dikatakan tidak sah. Oleh karena itu, sebagai orang yang akan melakukan akad jual beli tersebut harus memperhatikan dengan baik mengenai rukun dan syarat dari jual beli.
Pada dasarnya jual beli dalam Islam itu hukumnya mubah atau boleh. Namun dalam praktik jual beli itu sendiri harus terbuka dan tidak ada unsur tipuan, maka dalam perjanjiannya pun harus jelas. Dalam kegiatan jual beli pun hendaknya orang yang berdagang mengetahui apa yang sebaiknya diambil dan apa yang sebaiknya tidak diambil, mengetahui halal dan haram, tidak mengambil hak orang lain, tidak ada kebohongan, barang yang diperjualbelikan harus pasti, serta tidak mengandung unsur riba. Anjuran untuk melaksanakan jual beli yang baik dan benar atau harus suka sama suka atau saling ridha. Hal ini sesuai dengan firman Allah Qs. An-Nisa 29 dan Qs. Albaqarah 275.
mengharamkan riba. (Qs. Al-Baqarah: 275)Persoalan jual beli menjadi bagian dari kehidupan setiap individu dalam segala struktur lapisan masyarakat. Kebijakan ekonomi yang tidak merata ditambah dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan dalam suatu Negara akan berdampak negatif terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat. Hal ini tidak hanya dirasakan oleh kalangan atas saja tetapi juga oleh lapisan masyarakat kalangan bawah.
Perkembangan ekonomi pada masa sekarang ini, praktik jual beli yang terjadi di sela-sela kehidupan kita terdapat beraneka ragam jenisnya, salah satunya adalah jual beli yang berdasarkan pada timbangan atau takaran yang dapat ditaksirkan dan dibuktikan secara langsung ataupun tidak oleh pembeli.
Ada juga jual beli memesan barang (al-salam). Ada pula jual beli dengan cara
tebasan. Praktik jual beli secara tebas ini sudah ada sejak zaman dahulu. Dalam kehidupan masyarakat jual beli dengan sistem tebasan masih banyak
terjadi dan sudah menjadi kebiasaaan. Praktik jual beli tebasan banyak
ditemui di daerah pedesaan. Hal ini dikarenakan mata pencaharian mereka adalah bertani dan berdagang. Dalam praktiknya jumlah dan kualitas buah yang diperjualbelikan belum pasti sehingga dapat merugikan salah satu pihak serta dalam transaksinya menggunakan sistem panjar.
Jual beli tebasan merupakan salah satu aktivitas yang sering dilakukan
membedakan jual beli tebasan di desa ini dengan yang lain ialah menebas
buah durian ketika pada musimnya tetapi masih dalam bentuk pohon dalam arti belum berbunga dan belum berbuah sedikitpun, tetapi tahun sebelumnya pohon tersebut sudah pernah berbuah. Oleh karena itu, hal tersebut memungkinkan dapat merugikan salah satu pihak padahal pada dasarnya dalam jual beli tidak boleh merugikan salah satu pihak. Maka saya selaku
sebagai mahasiswa Hukum Ekonomi Syari’ah perlu mengadakan penelitian
untuk meninjau dan menggali tentang jual beli sistem tebasan tersebut.
Berdasarkan masalah di atas ada perbedaan dari yang biasanya dalam
praktik jual beli secara tebas, oleh karena itu penulis tertarik untuk
melakukan sebuah penelitian yang berjudul “TINJAUAN HUKUM ISLAM
TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI TEBAS POHON DURIAN (Studi
Kasus di Desa Bringin, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis akan membatasi rumusan masalah yang akan di bahas dalam peneletian ini agar tidak terjadi kerancauan. Adapun rumusan pokok permasalahan yang akan diteliti yaitu :
1. Bagaimana pelaksanaan praktik jual beli tebas pohon durian di Desa
Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang?
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pelaksanaan praktik jual beli
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan praktik jual beli tebas pohon durian di
Desa Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang
2. Untuk mengetahui tinjauan Hukum Islam terhadap pelaksanaan praktik
jual beli tebas pohon durian di Desa Bringin Kecamatan Bringin
Kabupaten Semarang
D. Kegunaan Penelitian
Manfaat atau kegunaan penelitian ini yang bisa diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan
ilmu Syari’ah, khususnya jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah untuk menjadi wawasan keilmuan dan keagamaan dalam masalah yang
berhubungan dengan praktik jual beli pohon durian secara tebas.
2. Kegunaan Praktis
Menambah wawasan kepada pembaca untuk memahami hukum jual beli dalam Islam khususnya dalam jual beli pohon durian secara
tebas di Desa Bringin, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang. Agar
masyarakat dapat mengetahui praktik jual beli tebas pohon durian ini
sudah sesuai dengan hukum Islam apa belum dan untuk meluruskan
diharapkan masyarakat bisa menerapkan jual beli sesuai yang diperbolehkan dalam hukum Islam.
E. Penegasan Istilah
Agar tidak terjadi salah pengertian dalam pemahaman penelitian yang penulis teliti, maka dipandang perlu untuk menjelaskan beberapa istilah yang ada hubungannya dengan judul penelitian ini yaitu antara lain :
1. Hukum Islam adalah peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang
disyariatkan oleh Allah kepada hamba-Nya untuk diakui dan diyakini serta mengikat untuk semua yang beragama Islam (Rohidin, 2016:5).
2. Jual beli adalah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang
mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan
perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan oleh syara’ dan
disepakati (Ali, 2011:42).
3. Tebas menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah jual beli hasil tanaman dalam jumlah borongan ketika tanaman belum dipetik atau masih di pohon.
F. Tinjauan Pustaka
Sejauh penulis mengamati, memang telah banyak penulisan yang
membahas tentang jual beli tebas. Di antara penelitian terdahulu yang
berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Pertama, skripsi dari Dini Widya Mulyaningsih, 2012, Jurusan
Walisongo Semarang dengan judul “Analisis Hukum Islam Terhadap Praktek
Ganti Rugi Dalam Jual Beli Tebasan (Studi Kasus Ganti Rugi Pada Jual Beli
Padi Tebasan di Desa Brangsong Kecamatan Brangsong Kabupaten
Kendal)”. Skripsi ini memiliki fokus penelitian pada bagaimana sistem pemberian ganti rugi dalam jual beli padi tebasan dan apa saja faktor yang melatarbelakangi masyarakat berkenan dalam memberikan ganti rugi serta bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pemberian ganti rugi dalam jual beli padi tebasan tersebut. Adapun kesimpulan dari penelitian ini yaitu bahwa transaksi jual beli dan ganti rugi padi tebasan yang terjadi di Desa Brangsong tersebut tidak sesuai hukum Islam karena banyak terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan hukum Islam seperti adanya unsur keterpaksaan, tidak enak karena bertetangga dan juga menghindari keributan antara petani dan penebas, sehingga tidak terdapat unsur kerelaan antara kedua belah pihak. Selain itu dalam transaksi ini juga terjadi pemotongan harga secara sepihak yang tidak ada kesepakatan sebelumnya, sehingga menyebabkan kerugian di salah satu pihak maka jual beli dan ganti rugi tidak sah karena ada unsur kebatilan didalamnya.
Kedua, skripsi dari Qoriuhwatul Chasana, 2016, Jurusan Ekonomi Islam, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Universitas Islam Negeri (UIN)
Walisongo dengan judul “Analisis Penghasilan Petani Dengan Sistem Tebas
Dalam Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat (Study Kasus Masyarakat
Dusun Grajegan Desa Tampingan Kecamatan Boja Kabupaten Kendal)”.
sistem tebas dapat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat petani di Dusun Grajegan Desa Tampingan Kecamatan Boja Kabupaten Kendal. Adapun kesimpulan dari penelitian ini yaitu bahwa jual beli dengan sistem tebas mempengaruhi kesejahteraan masyarakat petani, hal ini ditunjukkan rata-rata dengan pendapatan rata-rata Rp 11.534.000,- petani dengan luas lahan sebesar 1 hektar dan pendapatan rata-rata Rp 5.042.000,- untuk luas lahan sebesar setengah hektar. Dari pendapatan petani yang cukup banyak tetapi belum bisa dikatakan masyarakat sejahtera karena masih banyak petani di dusun tersebut yang kurang kesadaran untuk membayar zakat mal untuk hasil dari usaha pertaniannya tersebut.
Ketiga, skripsi dari Lizawati, 2016, Jurusan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Fakultas Hukum, Universitas Jember
dengan judul “Perjanjian Jual Beli Buah Jeruk Secara Tebas (Beli Dalam
Keadaaan Masih Dipohon) Ditinjau Dari Hukum Kebiasaan Desa Tegalsari
oleh saksi dari pihak penebas. Adapun kedudukan hukum para pihak dalam perjanjian jual beli jeruk secara tebas yaitu penjual berhak menerima uang hasil penjualan buah jeruk dari pembeli dan pembeli berhak untuk menerima yang telah masak dengan jangka waktu sesuai kesepakatan awal. Sedangkan, upaya yang bisa dilakukan oleh penjual apabila pembeli jeruk secara tebas tidak memenuhi kewajiban pembayaran sebagaimana perjanjian di awal adalah musyawarah mufakat dengan penebas.
Dari sekian penelitian yang telah dilakukan peneliti lain, bahwa penelitian yang dilakukan penulis berbeda dengan penelitian-penelitian yang sudah dijelaskan di atas. Hal tersebut terletak pada fokus dari penelitian ini
yaitu mengenai bagaimana pelaksanaan praktik jual beli tebas pohon durian
di Desa Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang dan bagaimana
tinjauan hukum Islam terhadap pelaksanaan praktik jual beli tebas pohon
durian di Desa Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang.
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
a. Jenis Penelitian
atau menggambarkan bagaimana bentuk jual beli tebas pohon durian di Desa Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang.
b. Pendekatan
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan yuridis sosiologis yaitu pendekatan penelitian yang mengkaji persepsi dan perilaku hukum orang (masyarakat dan badan hukum) dan masyarakat serta efektivitas berlakunya hukum positif di Indonesia (Utsman, 2014:66). Dan bersifat deskriptif analitis yaitu pendekatan yang menelaah tentang kehidupan masyarakat (Moleong, 2004 : 6). Dalam penelitian ini menggambarkan tinjauan hukum Islam terhadap praktik
jual beli tebas pohon durian di Desa Bringin Kecamatan Bringin
Kabupaten Semarang.
2. Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian ini peneliti bertindak sebagai pengumpul data dan instrumen atau alat penelitian yang aktif dalam pengumpulan data yang lain selain peneliti adalah dokumen yang menunjang keabsahan hasil penelitian serta alat bantu lain yang dapat mendukung terlaksananya penelitian, seperti kamera dan alat perekam.
3. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian ini berada di Desa Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang. Peneliti masih menemukan jual beli pohon durian
dengan sistem tebas di desa ini. Maka dari itu peneliti memilih desa
4. Sumber Data
Sumber data yang bisa didapatkan untuk mendukung penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Data primer
Data primer adalah kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai (Moleong, 2009:157). Sumber data primer yang didapat dari penelitian ini adalah wawancara langsung kepada
informan sebagai pelaku jual beli pohon durian dengan cara tebas baik
dari pihak penjual maupun pembeli yang ada di Desa Bringin.
b. Data sekunder
Data sekunder adalah digunakan untuk mendukung data primer (Munawaroh, 2013:82). Data lain yang bisa mendukung penelitian ini adalah dengan telaah pustaka seperti buku-buku, jurnal ataupun hasil penelitian sebelumnya yang meneliti hal serupa.
5. Prosedur Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini menggunakan dua metode pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan laporan penelitian yaitu sebagai berikut:
a. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara
(Moleong, 2009:186). Tujuan penulis mengunakan metode pengumpulan data ini adalah untuk mendapatkan data yang kongkrit
mengenai jual beli tebas pohon durian yang dilakukan oleh masyarakat.
Dalam penelitian ini peneliti akan wawancara dengan masyarakat
pelaku jual beli beli tebas pohon durian di Desa Bringin.
b. Dokumentasi
Pada penelitian ini, peneliti juga menggunakan teknik pengumpulan data dengan dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan-catatan transkip, buku-buku, surat kabar dan sebagainya (Arikunto, 2010:201). Metode ini peneliti gunakan untuk mengumpulkan bacaan-bacaan yang memuat tentang tema yang akan diteliti. Adapun dokumentasi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah berupa foto-foto yang terkait dengan jual beli tebas
pohon durian di Desa Bringin.
6. Analis Data
Peneliti melakukan analilis data awal yang diperoleh untuk menentukan titik fokus penelitian yang bersifat sementara. Analisis akan dilakukan kembali setelah memperoleh data tambahan dari berbagai sumber yang ada untuk ditarik kesimpulan. Kesimpulan ini ditarik dari fakta atau data khusus berdasarkan pengamatan dilapangan.
7. Pengecekan Keabsahan Data
Dalam suatu penelitian, validitas data mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menentukan hasil akhir suatu penelitian, sehingga untuk memperoleh data yang valid diperlukan suatu teknik untuk memeriksa keabsahan data.
8. Tahap Penelitian
Tahap-tahap dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Tahap sebelum lapangan, yaitu hal-hal yang dilakukan sebelum
melakukan penelitian seperti pembuatan proposal penelitian,
mengajukan surat ijin penelitian, menetapkan fokus penelitian dan sebagainya yang harus dipenuhi sebelum melakukan penelitian.
b. Tahap pekerjaan lapangan, yaitu mengumpulkan data melalui
wawancara dengan masyarakat yang terlibat dalam jual beli tebas
pohon durian di Desa Bringin.
c. Tahap analisa data, yaitu apabila semua data telah terkumpul dan dirasa
d. Tahap penulisan laporan yaitu apabila semua data telah terkumpul dan telah dianalisis serta dikonsultasikan kepada pembimbing maka yang dilakukan peneliti selanjutnya adalah menulis hasil penelitian tersebut sesuai dengan pedoman penulisan yang telah ditentukan.
H. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pemahaman isi penelitian ini, maka diperlukan sistematika. Adapun sistematika penulisan proposal ini adalah meliputi sebagai berikut:
BAB I Bab ini merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II Bab ini berisi tentang kajian pustaka, membahas telaah pustaka yang
berisi tinjauan umum tentang jual beli menurut hukum Islam yang meliputi pengertian jual beli menurut hukum Islam, dasar hukum jual beli menurut hukum Islam, syarat dan rukun jual beli menurut hukum Islam, macam-macam jual beli menurut hukum Islam dan etika jual
beli menurut hukum Islam serta tinjauan umum jual beli tebas yang
meliputi pengertian jual beli tebas dan dasar hukum jual beli tebas
menurut hukum Islam.
Bringin Kabupaten Semarang, yang meliputi letak geografis Desa Bringin, visi dan misi Desa Bringin, serta demografis Desa Bringin,
serta pelaksanaan praktik jual beli tebas pohondurian di Desa Bringin
Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang.
BAB IV Bab ini berisi tentang analisis mengenai tinjauan hukum Islam
terhadap pelaksanaan praktik jual beli tebas pohon durian di Desa
Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Jual Beli Menurut Hukum Islam 1. Pengertian Jual Beli Menurut Hukum Islam
Jual beli secara bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu al-bai‟, al
-tijarah, al-mubadalah artinya mengambil, memberikan sesuatu atau barter. Sebagaimana Allah swt. Berfirman dalam Qs. Fathir: 29
Artinya: “...Mereka itu mengharapkan
perniagaan/perdagangan yang tidak akan merugi.”
Secara istilah yang dimaksud dengan jual beli adalah sebagai berikut:
a. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang yang
dilakukan dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan.
b. Pemilikan harta benda dengan jalan tukar menukar yang sesuai dengan
aturan syara’.
c. Saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola dengan ijab dan
untuk suatu kepemilikan, yang ditunjukkan dengan perkataan dan perbuatan (Mardani, 2013:83).
Jual beli menurut pengertian lughawinya adalah saling menukar
(pertukaran). Dan kata Al-Bai‟ (jual) dan Asy-Syiraa (beli) dipergunakan
biasanya dalam pengertian yang sama. Dua kata ini masing-masing mempunyai makna dua yang satu sama lain bertolak belakang. Menurut
pengetian syari’at, jual beli ialah pertukaran harta atas dasar saling rela.
Atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan (Sabiq, 1988:44-45).
Perkataan jual beli sebenarnya terdiri dari dua suku kata yaitu jual
dan beli. Sebenarnya kata “jual” dan “beli” mempunyai arti yang satu
sama lainnya bertolak belakang. Kata jual menunjukkan bahwa adanya perbuatan menjual, sedangkan beli adalah adanya perbuatan membeli. Dengan demikian perkataan jual beli menunjukkan adanya dua perbuatan dalam satu peristiwa yaitu satu pihak penjual dan di pihak yang lain membeli, maka dalam hal ini terjadilah peristiwa hukum jual beli (Parabisu dan Suhrawardi, 2004:33). Jual beli adalah tukar menukar
barang atau kekayaan (mal), termasuk barter (Scacht, 2010:218).
menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Dari beberapa definisi di atas dapat di simpulkan bahwa jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar harta benda yang memberikan kemaslahatan bagi kedua belah pihak atas dasar kerelaan yang di dalamnya terdapat pihak penjual dan pihak pembeli serta dalam
melaksanakan perjanjian tersebut harus berdasarkan ketentuan syara’ yang
berlaku.
2. Dasar Hukum Jual Beli Menurut Hukum Islam
Orang yang terjun ke dunia usaha atau bisnis, berkewajiban mengetahui hal-hal yang dapat mengakibatkan jual beli itu sah atau tidak
(fasid). Ini dimaksudkan agar muamalat berjalan dengan sah dan segala sikap dan tindakannya jauh dari kerusakan yang tidak dibenarkan. Tidak sedikit kaum muslimin yang mengabaikan untuk mempelajari muamalat, mereka melalaikan aspek ini, sekalipun semakin hari usahanya semakin meningkat dan keuntungan semakin banyak (Azzam, 2010:23-24).
Hukum mengenai jual beli telah disyariatkan berdasarkan
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Adapun yang menjadi dasar landasan atau dasar jual beli adalah sebagai berikut:
1) Al-qur’an, diantaranya:
“...Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.”
2) As-Sunah
?ُبَيْطَأ ِبْسَكْلَا ُّيَأ :َلِئُس ملسو ويلع للها ىلص َِّبَِّنلَا َّنَأ
ٍعْيَ ب ُّلُكَو ,ِهِدَيِب ِلُجَّرلَا ُلَمَع ( :َلاَق
) ٍروُرْ بَم
.ُمِكاَْلَْا ُوَحَّحَصَو ،ُراَّزَ بْلَا ُهاَوَر
“Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah
ditanya: Pekerjaan apakah yang paling baik?. Beliau bersabda: "Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual-beli yang bersih." Riwayat al-Bazzar. Hadits
shahih menurut Hakim.” (HR. Ahmad dan Bazzar dari
Rafi’ bin Khudaij, Ra)
3) Kaidah Ushul Fiqh
Dalam kaidah Ushul fiqh juga disebutkan tentang hukum jual beli
yaitu sebagai berikut “Asal hukum muamalah adalah mubah”. Jadi,
hukum asal muamalah atau jual beli adalah mubah, selama belum ada dalil yang melarangnya.
4) Ijma’
Kaum muslimin telah sepakat dari dahulu sampai sekarang tentang kebolehan hukum jual beli. Oleh karena itu, hal ini merupakan
sebuah bentuk ijma’ umat, karena tidak ada seorangpun yang
menentangnya.
3. Rukun dan Syarat Jual Beli Menurut Hukum Islam
dalam perbuatan hukum ini haruslah dipenuhi rukun dan syarat sahnya jual beli.
a. Rukun Jual Beli
Arkan adalah bentuk jamak dari rukn. Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk sesuatu, sehingga sesuatu itu terwujud karena adanya unsur-unsur tersebut yang membentuknya atau dengan kata lain rukun adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan.
Sedangkan arkan berarti hal-hal yang harus ada untuk terwujudnya
satu akad dari sisi luar. Dalam konsepsi hukum Islam unsur-unsur yang membentuk sesuatu disebut dengan rukun.
Menurut Mazhab Hanafi, rukun jual beli hanya ijab dan kabul saja. Menurutnya yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan antara kedua belah pihak. Sedangkan menurut jumhur ulama rukun jual beli itu ada empat yaitu orang yang berakad (penjual dan
pembeli), sighat (lafal ijab dan qabul), ada barang yang dibeli dan ada
nilai tukar pengganti barang (Sahrani dan Ru’fah, 2011:67-68).
Adapun rukun jual beli pada umumnya ada tiga yaitu pihak yang
berakad („aqidain), akad (ijab qabul) dan objek akad (ma‟qud alaih).
1) Pihak yang berakad („Aqidain)
„Aqidain adalah para pihak yang berakad. Jika dikatakan
dijualnya atau mendapatkan izin untuk menjualnya dan sehat akalnya. Selain itu, penjual mempunyai dua kewajiban utama terhadap pembeli apabila harga barang tersebut telah dibayar oleh pembeli yaitu harus menyerahkan barang yang diperjualbelikan kepada pembeli dan menanggung atau menjamin barang tersebut.
Sedangkan, pembeli ia disyaratkan diperbolehkan bertindak dalam arti ia bukan orang gila atau bukan anak kecil yang tidak mempunyai izin untuk membeli. Selain itu pembeli juga mempunyai kewajiban utama yaitu membayar harga pembelian pada waktu dan di tempat yang telah di perjanjikan. Akan tetapi, apabila waktu dan tempat tidak ditetapkan maka harus dilakukan pada saat penyerahan barang.
Secara umum syarat-syarat dari pihak yang berakad adalah sebagai berikut:
a. Baligh
Ukuran baligh seseorang adalah telah bermimpi (ihtilam) bagi
laki-laki dan sudah haid bagi perempuan.
b. Aqil (berakal)
c. Tamyis (dapat membedakan)
Orang yang bertransaksi haruslah dalam keadaan dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
d. Mukhtar (bebas dari paksaan)
Para pihak harus bebas dalam bertransaksi, lepas dari paksaan dan tekanan (Dewi, 2006:55-56).
2) Akad
Akad adalah ikatan kata antara penjual dan pembeli yakni pemberian hak milik dari penjual kepada orang yang menerima hak milik (pembeli). Akad ini dapat dikatakan sebagai inti dari proses berlangsungnya proses jual beli, karena belum dikatakan sah
sebelum melakukan ijab qabul sebab ijab qabul menunjukkan
kerelaan kedua belah pihak. Pada dasarnya ijab qabul dilakukan
dengan lisan tetapi tidak mungkin misalnya bisu atau lainnya,
boleh ijab qabul dengan surat menyurat yang mengandung ijab
qabul (Suhendi, 2014: 70).
Adapun yang termasuk macam-macam akad adalah sebagai berikut:
b) „Aqad Mu‟alaq yaitu akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad, seperti penentuan penyerahan barang-barang yang diakadkan setelah adanya pembayaran.
c) „Aqad Mudhaf yaitu akad dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat dan waktu yang ditentukan mengenai penangguhan pelaksanaan akad, perkataan tersebut sah dilakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum tibanya waktu yang telah ditentukan (Huda, 2011:33).
3) Objek Akad (ma‟qud alaih)
Objek akad adalah barang yang diperjualbelikan. Objek akad dapat berupa benda, manfaat benda, jasa atau pekerjaan atau suatu
yang lain yang tidak bertentangan dengan syari’ah. Objek jual beli
terdiri atas benda yang berwujud maupun harta yang akan dipindahkan dari tangan seorang yang berakad kepada pihak lain, baik harga atau barang berharga (Anwar, 2010:190-191).
Para hukum Islam mensyaratkan beberapa syarat pada objek akad yaitu sebagai berikut:
1. Objek akad dapat diserahkan atau dilaksanakan
Dasar ketentuan ini terdapat pada hadist Nabi Saw yaitu:
a. Nabi Saw bersabda: “Jangan engkau menjual barang yang
b. “Rasulullah Saw melarang jual beli lempar krikil dan jual
beli gharar.” (HR. Muslim no. 2783)
Dalam hal tersebut para ahli hukum berbeda pendapat dalam menyimpulkan asas hukum dari kedua hadist di atas dan hadis lain yang serupa. Menurut pendapat madzhab ulama
syafi’i adalah secara mutlak melarang jual beli barang tertentu
yang belum ada. Seperti halnya jual beli buah yang belum jadi. Begitu pula menurut madzhab Hanafi berpendapat bahwa objek itu ada pada waktu di tutup sehingga tidak terjadi akad jual beli barang yang tidak ada (Vogel dan Hayes, 2007 :114).
Sedangkan menurut madzhab Maliki yang membolehkan akad jual beli bagian yang belum muncul dari buah-buahan yang tidak keluar serentak atas dasar mengikutsertakan yang belum muncul itu kepada yang sudah muncul. Begitu pula dengan pandangan madzhab Hambali yaitu jika objek tidak ada pada waktu akad namun dapat dipastikan ada di kemudian hari maka akadnya tetap sah dan apabila tidak dapat di pastikan adanya di kemudian hari maka akadnya tidak sah (Anwar, 2010:195-200).
2. Objek akad tertentu
Apabila objek akad tidak jelas sehingga dapat menimbulkan perselisihan, maka akadnya tidak sah.
3. Objek akad dibenarkan oleh syara’
Pada dasarnya, benda atau barang yang menjadi objek akad
harus tidak bertentangan dengan syari’at Islam atau ketertiban
umum dan juga haruslah memiliki nilai dan manfaat bagi manusia.
b. Syarat Jual Beli
Agar suatu perjanjian jual beli yang dilakukan oleh pihak penjual dan pihak pembeli sah, maka harus dipenuhi syarat-syarat jual beli. Berikut adalah syarat-syarat jual beli:
1) Tentang Ijab dan Qabul
Ijab dan qabul hendaknya diucapkan oleh penjual dan pembeli
secara langsung dalam suatu majelis, maksudnya tidak boleh
diselang oleh hal-hal yang mengganggu jalannya ijab qabul
tersebut. Syarat-syarat sah ijab qabul ialah sebagai berikut:
a) Ijab qabul diungkapkan dengan kata-kata yang menunjukkan jual beli yang telah lazim diketahui masyarakat. Seperti penjual
berkata: “Aku jual buku ini kepadamu seharga Rp 20.000,-.”
Kemudian pembeli menjawab: “Saya beli buku ini seharga Rp
20.000,-.”
topik yang sama atau tidak ada yang memisahkan, pembeli
benda-benda tertentu. Misalnya saja seseorang dilarang menjual hambanya yang bergama Islam kepada pembeli yang tidak beragama Islam, sebab besar kemungkinan pembeli tersebut akan merendahkan abid yang beragama Islam, sedangkan Allah melarang orang-orang mukmin memberi jalan kepada orang kafir untuk merendahkan orang mukmin (Hidayat, 2015:22).
2) Tentang Subjeknya
Orang yang berakad adalah orang yang boleh melakukan akad, yaitu orang yang telah baligh, berakal dan mengerti, dengan kehendaknya sendiri bukan dipaksa, keduanya tidak mubazir, serta orang yang tidak bodoh sebab mereka tidak pandai mengendalikan harta. Allah berfirman dalam Qs. An-Nisa : 5
Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan
kepada orang-orang yang belum sempurna
Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa harta tidak boleh kepada orang yang bodoh atau belum sempurna akalnya. Orang yang belum sempurna akalnya ialah anak yang belum baligh atau orang dewasa yang tidak dapat mengatur harta bendanya.
Oleh karena itu, akad yang dilakukan oleh anak di bawah umur, orang gila atau idiot tidak sah kecuali seizin walinya. Jika orang gila dapat sadar seketika dan gila seketika (kadang-kadang sadar dan kadang-kadang gila), maka akad yang dilakukannya pada waktu sadar dinyatakan sah, dan yang dilakukan ketika gila, tidak sah.
Akad anak kecil yang sudah dapat membedakan baik dan buruknya sesuatu dinyatakan valid (sah), namun kesahannya tergantung kepada izin walinya. Apabila diizinkan oleh orang tuanya maka akad yang dilakukan anak kecil sah.
Keadaan tidak mubazir, maksudnya para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual beli tersebut bukanlah manusia yang mubazir (boros), sebab orang yang boros di dalam hukum dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap bertindak, maksudnya dia tidak dapat melakukan sendiri sesuatu perbuatan
hukum walaupun kepentingan hukum itu menyangkut
berada di bawah pengampauan atau walinya (Parabisu dan Suhrawardi, 2004:35-41).
3) Tentang Objeknya
Benda yang dijadikan sebagai objek jual beli ini haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a) Bersih Barangnya
Barang yang diperjual-belikan bukanlah benda najis, atau yang di golongkan sebagai benda yang diharamkan. Benda-benda najis bukan hanya tidak boleh diperjual-belikan, tetapi juga tidak sah untuk diperjual-belikan. Seperti bangkai, darah, daging babi, khamr, nanah, kotoran manusia.
b) Dapat Dimanfaatkan
Maksud dari barang harus dapat dimanfaatkan adalah bahwa kemanfaatan barang tersebut harus sesuai dengan
ketentuan syari’ah Islam tidak bertentangan dengan norma -norma agama yang berlaku.
c) Milik orang yang melakukan akad
oleh seorang anak kecil, baik yatim atau bukan, maka walinya berhak untuk melakukan transaksi atas benda milik anak itu.
d) Mampu menyerahkan
Pihak penjual (baik sebagai pemilik maupun sebagai kuasa) dapat menyerahkan barang yang dijadikan sebagai objek jual beli sesuatu dengan bentuk dan jumlah yang diperjanjikan pada waktu penyerahan barang kepada pihak pembeli. Ketentuan ini terdapat di hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Ibnu
Mas’ud r.a. yang artinya berbunyi sebagai berikut:
“Janganlah kamu membeli ikan yang berada di dalam air, sesungguhnya yang demikian itu penipuan.”
Dari ketentuan hadis tersebut dapat dikemukakan bahwa barang yang dijual itu harus nyata, dapat diketahui jumlahnya (baik ukuran maupun besarnya). Oleh karena itu, jual beli barang-barang yang dalam keadaan dihipotikkan, digadaikan atau sudah diwakafkan adalah tidak sah sebab penjual tidak mampu lagi untuk menyerahkan barang kepada pihak pembeli.
e) Mengetahui
dalam suatu jual beli keadaan barang dan jumlah harganya tidak diketahui maka perjanjian jual beli tersebut tidak sah. Sebab bisa jadi perjanjian tersebut dapat menimbulkan unsur penipuan.
f) Barang yang diakadkan ada di tangan
Barang harus tersedia, atau ada dan dapat dilihat bentuknya (Sabiq, 1988:52).
4. Macam-macam Jual Beli Menurut Hukum Islam
Dalam syari’at Islam hukum jual beli pada dasarnya mubah, namun
demikian dalam praktiknya dapat digolongkan menjadi 2 yakni jual beli yang diperbolehkan dan jual beli yang dilarang.
a. Jual beli yang diperbolehkan adalah sebagai berikut:
1) Murabahah
Secara etimologis murabahah berarti saling
menguntungkan. Sedangkan secara terminologis murabahah yaitu
suatu bentuk jual beli tertentu ketika penjual menyatakan biaya perolehan, meliputi harga barang dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan untuk memperoleh barang tersebut dan tingkat keuntungannya yang diinginkan (Ascarya, 2007:81-82). Jadi,
2) Al-Istishna‟
Jual beli istishna‟ adalah jual beli barang dalam bentuk
pesanan (Iska, 2012:173). Istishna‟ adalah jual beli dimana
pembeli membayar di depan kemudian objek jual beli dibuat atau
diproduksi dan diserahkan kemudian (Iqbal, 2008: 91-92). Jadi,
al-Istishna adalah jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan dan penjual.
3) As-Salam
As-Salam adalah jual beli dengan terlebih dahulu menyerahkan uang akan tetapi barangnya belum ada (barangnya belakangan).
4) Muqayyadah (barter)
Muqayyadah adalah jual beli dengan cara menukar barang dengan barang seperti menukar baju dengan sepatu.
5) Muthlaq
Muthlaq adalah jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat tukar atau tukar menukar suatu benda dengan mata uang.
6) Jual beli alat tukar dengan alat tukar
b. Jual beli yang dilarang dapat dibedakan menjadi dua yaitu sebagai berikut:
1. Jual beli yang dilarang dan batal hukumnya
a. Jual beli barang yang diharamkan
Tentunya ini sudah jelas sekali, menjual barang yang diharamkan dalam Islam. Jika Allah sudah mengharamkan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan hasil Penjualannya. Seperti menjual sesuatu yang terlarang dalam agama. Rasulullah telah melarang menjual bangkai, khamr, babi, patung dan lain
sebagainya yang bertentangan dengan syari’at Islam.
Begitu juga jual beli yang melanggar syar’i yaitu dengan
cara menipu. Menipu barang yang sebenarnya cacat dan tidak layak untuk dijual, tetapi sang penjual menjualnya dengan memanipulasi seakan-akan barang tersebut sangat berharga dan berkualitas. Ini adalah haram dan dilarang dalam agama, bagaimanapun bentuknya.
b. Jual beli Gharar
ىَهَ ن ( :َلاَق ونع للها يضر َةَرْ يَرُى ِبَِأ ْنَعَو
ْنَع ملسو ويلع للها ىلص ِوَّللَا ُلوُسَر
) ِرَرَغْلَا ِعْيَ ب ْنَعَو ,ِةاَصَْلَْا ِعْيَ ب
ٌمِلْسُم ُهاَوَر
“Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu
berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli dengan cara melempar batu dan jual-beli gharar (yang belum jelas harga, barang,
waktu dan tempatnya).” (HR. Muslim no. 2783) Adapun yang termasuk dari macam-macam jual beli yang
diharamkan karena gharar adalah sebagai berikut:
1) Jual beli sperma hewan
Jual beli ini haram hukumnya karena Rasulullah bersabda :
“Dari Ibnu Umar ra berkata: “Rasulullah saw telah melarang menjual mani binatang”.” (HR. Muslim no. 2925)
2) Jual beli Mulamasah
Mulamasah secara bahasa artinya adalah menyentuh
dengan tangan. Maksudnya jika seseorang berkata: “Pakaian
yang sudah kamu sentuh, berarti sudah menjadi milikmu
3) Jual beli Munabadzah
Kata Al-Munabadzah secara bahasa yang berarti
melempar. Sedangkan Munabadzah menurut syar’i adalah
ketika seseorang berkata “Kain mana saja yang kamu
lemparkan kepadaku, maka aku membayarnya dengan harga
sekian” tanpa dia melihat kepada barang tersebut. Jual beli ini
dilarang oleh syari’at karena dapat menimbulkan perselisihan
dan permusuhan kedua belah pihak.
4) Jual beli Hashat
Yang termasuk jual-beli Hashat ini adalah jika seseorang
membeli dengan menggunakan undian atau dengan adu ketangkasan, agar mendapatkan barang yang dibeli sesuai dengan undian yang didapat. Sebagai contoh: Seseorang
berkata: “ Lemparkanlah bola ini, dan barang yang terkena lemparan bola ini kamu beli dengan harga sekian”. Jual beli
yang sering kita temui di pasar-pasar ini tidak sah. Karena mengandung ketidakjelasan dan penipuan.
5) Jual beli Ma‟dum
bahwa objek tersebut tidak bisa diserahterimakan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
َكَدْنِع َسْيَل اَم ْعِبَت َلَ
“Jangan menjual sesuatu yang tidak ada padamu.”(HR Tirmidzi no. 1153)
6) Jual beli Mukhadarah
Mukhadarah adalah menjual buah-buahan sebelum nampak baiknya (belum masak). Adapun ciri-ciri dari buah yang jelas baiknya adalah buah itu warnanya baik, rasanya manis, telah matang, sudah mengeras, sudah besar dan harum. Rasulullah saw bersabda :
َّنَأ
اَم ِّثلا ِع ْيَ ب ْنَع ىَهَ ن َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُللها ىَّلَص ُِّبَِّنلا
َعاَتْبُمْلاَو َعِئاَبْلا ىَهَ ن اَهُحَلاَص َوُدْبَ ي َّتََّح ِر
“Sesungguhnya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual beli buah-buahan hingga sampai buah itu telah nampak jadinya. Beliau
melarang penjual dan pembeli.” (HR. Bukhari no. 2044 dan Muslim no. 2834 dari Abdullah bin Umar Ra).
7) Jual beli Muzabanah dan Muhaqalah
Muzabanah adalah menjual kurma basah dengan kurma kering dalam bentuk takaran atau menjual kismis dengan
anggur dalam bentuk takaran. Dengan kata lain
dan timbangannya, kemudian dijual hanya kira-kira saja. Jadi, jual beli ini dapat berimplikasi kepada riba.
Sedangkan jual beli muhaqalah adalah jual beli tanaman
yang masih di ladang atau di sawah atau menjual kebun tanah ladang dengan makanan yang telah di ketahui jumlahnya.
Para ulama sepakat mengenai keharaman bai‟ al- muhaqalah
karena jual beli ini mengandung riba dan gharar. Alasannya
adalah disebabkan tidak dapat diketahuinya barang yang sejenis dalam hal ukuran atau jumlah, begitu juga samar terhadap barang yang sejenis sama dengan mengetahui adanya jumlah dan kadar yang berbeda (kelebihan).
“Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa
Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli dengan cara muhaqalah (menjual biji atau tanaman dengan borongan yang masih samar ukurannya), muzabanah (menjual buah yang masih segar dengan yang sudah kering dengan sukatan), mukhobarah (menyewakan tanah untuk ditanami tumbuhan dengan syarat si pemilik tanah mendapat keuntungan setengah atau lebih dari hasilnya), dan tsunaya (penjualan dengan memakai pengecualian), kecuali jika ia jelas. Riwayat Imam Lima kecuali
c. Jual beli Musharrah
Seorang muslim tidak boleh menahan susu kambing atau lembu atau unta selama berhari-hari agar susunya terlihat banyak, kemudian manusia tertarik membelinya dan ia pun menjualnya, karena cara seperti itu adalah penipuan.
d. Jual beli Urbun
Al-urbun secara bahasa artinya seorang pembeli memberi unag panjar atau uang muka (DP). Dinamakan demikian, karena di dalam akad jual beli tersebut terdapat uang panjar yang bertujuan agar orang lain yang menginginkan barang itu tidak berniat membelinya karena sudah dipanjar oleh si pembeli pertama.
Tentang jual beli urbun, Imam Malik menjelaskan bahwa
jual beli urbun ialah seseorang membeli sesuatu atau menyewa
hewan, kemudian berkata kepada penjual, “Engkau aku beri
uang satu dinar dengan syarat jika aku membatalkan jual beli,
atau sewa maka aku tidak menerima uang sisa darimu.”
2. Jual beli yang dilarang tetapi hukumnya sah
a. Jual beli Najasy
Tujuannya adalah hanya semata-mata agar orang lain tertarik untuk membelinya (Hidayat, 2015:129).
Tidak boleh hukumnya menawar suatu barang dengan harga tertentu, padahal ia tidak ingin membelinya, namun ia berbuat seperti itu agar diikuti para penawar lainnya kemudian pembeli tertarik membeli barang tersebut.
Bentuk praktik najasy adalah sebagai berikut, seseorang
yang telah ditugaskan menawar barang mendatangi penjual lalu menawar barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dari yang biasa. Hal itu dilakukannya dihadapan pembeli dengan tujuan memperdaya si pembeli. Sementara ia sendiri tidak berniat untuk membelinya, namun tujuannya semata-mata ingin memperdaya si pembeli dengan tawarannya tersebut. Ini termasuk bentuk penipuan.
b. Menemui orang desa sebelum mereka masuk ke pasar untuk
membeli bendanya dengan harga yang semurah-murahnya sebelum mereka tahu harga pasaran kemudian ia jual dengan harga setinggi-tingginya. Tetapi apabila orang desa sudah mengetahui harga pasaran jual beli seperti ini tidak apa-apa.
c. Menjual atas penjualan orang lain dan menawar atas tawaran
saudaranya
Contoh menjual atas penjualan orang lain adalah “batalkan jual
dengan harga yang lebih murah atau barang yang lebih bagus
kualitasnya.” Atau misalnya, seseorang berkata “kembalikan saja
barang itu kepada penjualnya, nanti barangku saja yang kamu beli
dengan harga yang lebih murah.” Sedangkan, contoh dari menawar atas tawaran saudaranya adalah misalnya seseorang
berkata “tolaklah harga tawarannya itu, nanti aku yang membeli
dengan harga yang lebih mahal”. Hal ini dilarang karena dapat
mendatangkan kemudaratan dan dapat mendatangkan kebencian serta permusuhan di antara manusia (Nawawi, 2012:78-83).
5. Etika Jual Beli Menurut Hukum Islam
Islam sudah mengatur bagaimana cara beretika dalam jual beli baik
dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Adapun etika yang harus ditaati
dalam jual beli adalah sebagai berikut:
a. Tidak berlebihan dalam mengambil uang
Dalam jual beli tidak boleh terlalu besar dalam mengambil untung karena prinsip utama jual beli adalah tolong menolong. Dalam pengambilan untung maksimal 1/3 dianalogikan dengan wasiat maksimal 1/3.
b. Jujur dalam jual beli
Hal ini berdasarkan hadis Nabi saw yang artinya “Pedagang yang
jujur, terpercaya, akan bersama para Nabi, orang-orang jujur dan
c. Meninggalkan sumpah
Makruh hukumnya seorang pedagang banyak bersumpah, walaupun keberadaannya benar. Sebaiknya pedagang mencegah terjadinya sumpah atas nama Allah dalam akad, karena hal itu merupakan sebuah bentuk hinaan terhadap nama-Nya.
d. Ramah dan toleran dalam jual beli
Yang dimaksud dengan ramah dalam jual beli yaitu memberikan kemudahan kepada pembeli, tidak mempersulit pembeli dengan syarat-syarat jual beli dan tidak menambah harga (mempermainkan harga).
e. Perbanyak sedekah
Manfaat sedekah salah satunya adalah untuk mensucikan harta dan jiwa penjual. Mungkin ketika dalam melakukan jual beli penjual pernah melakukan sumpah, curang, menyembunyikan cacat, menipu dan tidak sopan ketika melayani pembeli.
f. Mencatat utang dan ada saksi dalam jual beli (Mardani,
2013:107-109).
Sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam transaksi jual beli adalah sebagai berikut:
1) Menyempurnakan takaran dan timbangan. Oleh karena itu, tidak boleh
jika jual beli mengandung unsur kecurangan baik dalam bentuk
mengurangi takaran, mengurangi timbangan, maupun
2) Perikatan diadakan kedua belah pihak secara tertulis atau dengan dua orang saksi (Ali, 2009:145).
B. Tinjauan Umum Jual Beli Tebas
1. Pengertian Jual Beli Tebas
Jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar harta benda yang memberikan kemaslahatan bagi kedua belah pihak atas dasar kerelaan yang di dalamnya terdapat pihak penjual dan pihak pembeli serta dalam
melaksanakan perjanjian tersebut harus berdasarkan ketentuan syara’
yang berlaku.
Adapun kata “tebas” pada dasarnya berasal dari bahasa jawa yang
berarti membeli semua atau memborong. Jadi, jual beli tebas adalah jual
beli barang dimana dengan cara memborongnya tanpa ada yang tertinggal meskipun dalam memanennya sedikit demi sedikit. Sedangkan jual beli
tebas menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah jual beli hasil tanaman dalam jumlah borongan ketika tanaman belum dipetik. Tanaman yang akan dibeli masih dalam keadaan hidup.
Jual beli tebas ini biasanya digunakan untuk memudahkan jual beli
buah-buahan atau biji-bijian yang masih belum bisa diperkirakan jumlahnya atau dalam keadaan masih siap dipanen. Pada prinsipnya jual
beli ini menyatakan perkataan tebas atau bisa dibilang sampai habis atau
diborong sampai habis (Cahyani, 2017:10).
Jadi, jual beli tebas adalah jual beli tanaman atau barang dengan cara
menggunakan perkiraan yang berupa taksiran dan tidak adanya proses penakaran yang sempurna, sehingga dapat menimbulkan ketidakjelasan dalam jual beli tersebut. Dengan demikian bisa saja dari pihak pembeli atau penjual mendapatkan keuntungan atau mengalami kerugian.
2. Dasar Hukum Jual Beli Tebas Menurut Hukum Islam
Jual beli tebas merupakan bukan fenomena yang baru lagi, praktik
ini sudah umum terjadi di masyarakat. Pada zaman Nabi saw juga sudah
ada jual beli semacam itu, tetapi di kenal dengan sebutan jual beli jizaf.
Jual beli jizaf secara bahasa adalah mengambil dalam jumlah banyak. Jual
beli jizaf dalam terminologi ilmu fiqh yaitu jual beli barang yang biasa
ditakar, ditimbang atau dihitung secara borongan tanpa ditakar, dihitung, dan ditimbang lagi (Daradjad, 2010:256).
Jual beli jizaf dilakukan cukup dengan menaksirnya setelah melihat
objeknya dengan cermat. Madzhab malikiyah menyebutkan syarat
dibolehkannya jual beli jizaf atau borongan yaitu objek harus bisa dilihat
dengan mata kepala ketika sedang melakukan akad atau sebelumnya. Para ulama membolehkan jual beli secara borongan atau taksiran (Abdullah, 2013:92). Rasulullah bersabda:
memindahkannya dari tempat belinya.” (HR. Muslim: 1526).
BAB III
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Gambaran Umum Desa Bringin 1. Letak Geografis Desa Bringin
Bringin adalah sebuah Desa yang terletak di Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang. Desa Bringin merupakan Ibukota dari Kecamatan Bringin dan secara keselurahan desa ini mempunyai luas wilayah kurang lebih 454,049 Hektar dengan perincian penggunaan sebagai berikut:
a. Tanah Sawah
1) Sawah Irigasi : 76 Ha
2) Sawah Tadah Hujan : 26 Ha
b. Tanah Kering
1) Pemukiman : 120,020 Ha
2) Tegalan atau Perkebunan : 235,029 Ha
Ketinggian wilayah Desa Bringin Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang berada pada kisaran antara 363 meter di atas permukaan air laut
(mdpl), dengan suhu antara 27 – 30 0C dan curah hujan 2000/3000
mm/tahun.
Desa Bringin termasuk dalam wilayah Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang dengan batas-batas wilayahnya sebagai berikut:
c. Sebelah Timur : Desa Pakis dan Desa Rembes
d. Sebelah Barat : Desa Tlompakan dan Desa Karanganyar
Adapun jarak Desa Bringin dengan beberapa wilayah disekitar adalah sebagai berikut:
a. Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah : 35 Km
b. Ibu Kota Kabupaten Semarang : 22 Km
c. Ibu Kota Kecamatan Bringin : 0 Km
d. Kota Salatiga : 10 Km
Desa Bringin ini terbagi dalam 6 (enam) dusun yaitu:
a. Dusun Krajan
b. Dusun Karanglo
c. Dusun Klopo
d. Dusun Bojong
e. Desa Bringin
f. Dusun Kroyo
Gambar 3.1 Struktur Organisasi Tata Kerja Pemerintahan Desa Bringin
2. Visi dan Misi Desa Bringin
“MENCIPTAKAN DESA BRINGIN SEBAGAI DESA YANG LEBIH MAJU, AMAN, RUKUN, DAMAI, dan SEJAHTERA”
Agar visi sebagaimna tersebut dapat tercapai maka ditetapkan misi sebagai berikut ini:
1) Memajukan pembangunan di segala bidang dengan menitik-beratkan
pada bidang pertanian, perekonomian dan perdagangan
2) Mempererat kehidupan sosial kemasyarakatan dengan
mengesampingkan segala macam perbedaan agama, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, suku dan bangsa
3) Meningkatkan peran serta seluruh warga masyarakat khususnya
pemuda dan kaum perempuan dalam bidang pembangunan Desa Bringin.
3. Demografis Desa Bringin
a. Penduduk
Tabel 3.1
Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia
NO. UMUR (TAHUN) L P JUMLAH
1 0<4 172 175 347
2 5>9 241 241 482
3 10>14 214 207 421
4 15>19 240 196 436
5 20>24 222 211 433
6 25>29 230 222 452
7 30>34 213 208 421
8 35>39 224 250 474
9 40>44 185 207 392
10 45>49 193 231 424
11 50>54 184 198 382
12 55>59 186 171 357
13 60>64 122 123 245
14 65>69 75 82 157
15 70>74 44 55 99
16 75 keatas 73 119 192