• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

A. Tinjauan Umum Jual Beli Menurut Hukum Islam

3. Rukun dan Syarat Jual Beli Menurut Hukum Islam

Oleh karena perjanjian jual beli ini merupakan perbuatan hukum yang mempunyai konsekuensi terjadinya peralihan hak atas sesuatu barang dari pihak penjual kepada pihak pembeli, maka dengan sendirinya

dalam perbuatan hukum ini haruslah dipenuhi rukun dan syarat sahnya jual beli.

a. Rukun Jual Beli

Arkan adalah bentuk jamak dari rukn. Rukun adalah unsur- unsur yang membentuk sesuatu, sehingga sesuatu itu terwujud karena adanya unsur-unsur tersebut yang membentuknya atau dengan kata lain rukun adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan.

Sedangkan arkan berarti hal-hal yang harus ada untuk terwujudnya

satu akad dari sisi luar. Dalam konsepsi hukum Islam unsur-unsur yang membentuk sesuatu disebut dengan rukun.

Menurut Mazhab Hanafi, rukun jual beli hanya ijab dan kabul saja. Menurutnya yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan antara kedua belah pihak. Sedangkan menurut jumhur ulama rukun jual beli itu ada empat yaitu orang yang berakad (penjual dan

pembeli), sighat (lafal ijab dan qabul), ada barang yang dibeli dan ada

nilai tukar pengganti barang (Sahrani dan Ru’fah, 2011:67-68).

Adapun rukun jual beli pada umumnya ada tiga yaitu pihak yang

berakad („aqidain), akad (ijab qabul) dan objek akad (ma‟qud alaih).

1) Pihak yang berakad („Aqidain)

„Aqidain adalah para pihak yang berakad. Jika dikatakan

„aqid, maka perhatian langsung tertuju kepada penjual dan pembeli karena keduanya merupakan pihak yang terlibat dalam perjanjian jual beli (Azzam, 2010:28). Penjual harus memiliki barang yang

dijualnya atau mendapatkan izin untuk menjualnya dan sehat akalnya. Selain itu, penjual mempunyai dua kewajiban utama terhadap pembeli apabila harga barang tersebut telah dibayar oleh pembeli yaitu harus menyerahkan barang yang diperjualbelikan kepada pembeli dan menanggung atau menjamin barang tersebut.

Sedangkan, pembeli ia disyaratkan diperbolehkan bertindak dalam arti ia bukan orang gila atau bukan anak kecil yang tidak mempunyai izin untuk membeli. Selain itu pembeli juga mempunyai kewajiban utama yaitu membayar harga pembelian pada waktu dan di tempat yang telah di perjanjikan. Akan tetapi, apabila waktu dan tempat tidak ditetapkan maka harus dilakukan pada saat penyerahan barang.

Secara umum syarat-syarat dari pihak yang berakad adalah sebagai berikut:

a. Baligh

Ukuran baligh seseorang adalah telah bermimpi (ihtilam) bagi

laki-laki dan sudah haid bagi perempuan.

b. Aqil (berakal)

Orang yang bertransaksi haruslah berakal sehat, sehingga dapat mempertanggungjawabkan transaksi yang dibuatnya. Bukan orang gila, tertanggu akalnya, ataupun kurang akalnya karena masih dibawah umur.

c. Tamyis (dapat membedakan)

Orang yang bertransaksi haruslah dalam keadaan dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

d. Mukhtar (bebas dari paksaan)

Para pihak harus bebas dalam bertransaksi, lepas dari paksaan dan tekanan (Dewi, 2006:55-56).

2) Akad

Akad adalah ikatan kata antara penjual dan pembeli yakni pemberian hak milik dari penjual kepada orang yang menerima hak milik (pembeli). Akad ini dapat dikatakan sebagai inti dari proses berlangsungnya proses jual beli, karena belum dikatakan sah

sebelum melakukan ijab qabul sebab ijab qabul menunjukkan

kerelaan kedua belah pihak. Pada dasarnya ijab qabul dilakukan

dengan lisan tetapi tidak mungkin misalnya bisu atau lainnya,

boleh ijab qabul dengan surat menyurat yang mengandung ijab

qabul (Suhendi, 2014: 70).

Adapun yang termasuk macam-macam akad adalah sebagai berikut:

a) „Aqad Munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada saat selesainya akad. Artinya pernyataan yang tidak disertai dengan syarat-syarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan setelah adanya akad.

b) „Aqad Mu‟alaq yaitu akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad, seperti penentuan penyerahan barang-barang yang diakadkan setelah adanya pembayaran.

c) „Aqad Mudhaf yaitu akad dalam pelaksanaannya terdapat syarat- syarat dan waktu yang ditentukan mengenai penangguhan pelaksanaan akad, perkataan tersebut sah dilakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum tibanya waktu yang telah ditentukan (Huda, 2011:33).

3) Objek Akad (ma‟qud alaih)

Objek akad adalah barang yang diperjualbelikan. Objek akad dapat berupa benda, manfaat benda, jasa atau pekerjaan atau suatu

yang lain yang tidak bertentangan dengan syari’ah. Objek jual beli

terdiri atas benda yang berwujud maupun harta yang akan dipindahkan dari tangan seorang yang berakad kepada pihak lain, baik harga atau barang berharga (Anwar, 2010:190-191).

Para hukum Islam mensyaratkan beberapa syarat pada objek akad yaitu sebagai berikut:

1. Objek akad dapat diserahkan atau dilaksanakan

Dasar ketentuan ini terdapat pada hadist Nabi Saw yaitu:

a. Nabi Saw bersabda: “Jangan engkau menjual barang yang

b. “Rasulullah Saw melarang jual beli lempar krikil dan jual

beli gharar.” (HR. Muslim no. 2783)

Dalam hal tersebut para ahli hukum berbeda pendapat dalam menyimpulkan asas hukum dari kedua hadist di atas dan hadis lain yang serupa. Menurut pendapat madzhab ulama

syafi’i adalah secara mutlak melarang jual beli barang tertentu

yang belum ada. Seperti halnya jual beli buah yang belum jadi. Begitu pula menurut madzhab Hanafi berpendapat bahwa objek itu ada pada waktu di tutup sehingga tidak terjadi akad jual beli barang yang tidak ada (Vogel dan Hayes, 2007 :114).

Sedangkan menurut madzhab Maliki yang membolehkan akad jual beli bagian yang belum muncul dari buah-buahan yang tidak keluar serentak atas dasar mengikutsertakan yang belum muncul itu kepada yang sudah muncul. Begitu pula dengan pandangan madzhab Hambali yaitu jika objek tidak ada pada waktu akad namun dapat dipastikan ada di kemudian hari maka akadnya tetap sah dan apabila tidak dapat di pastikan adanya di kemudian hari maka akadnya tidak sah (Anwar, 2010:195-200).

2. Objek akad tertentu

Objek akad tertentu maksudnya adalah diketahui dengan jelas oleh para pihak sehingga tidak menimbulkan perselisihan.

Apabila objek akad tidak jelas sehingga dapat menimbulkan perselisihan, maka akadnya tidak sah.

3. Objek akad dibenarkan oleh syara’

Pada dasarnya, benda atau barang yang menjadi objek akad

harus tidak bertentangan dengan syari’at Islam atau ketertiban

umum dan juga haruslah memiliki nilai dan manfaat bagi manusia.

b. Syarat Jual Beli

Agar suatu perjanjian jual beli yang dilakukan oleh pihak penjual dan pihak pembeli sah, maka harus dipenuhi syarat-syarat jual beli. Berikut adalah syarat-syarat jual beli:

1) Tentang Ijab dan Qabul

Ijab dan qabul hendaknya diucapkan oleh penjual dan pembeli

secara langsung dalam suatu majelis, maksudnya tidak boleh

diselang oleh hal-hal yang mengganggu jalannya ijab qabul

tersebut. Syarat-syarat sah ijab qabul ialah sebagai berikut:

a) Ijab qabul diungkapkan dengan kata-kata yang menunjukkan jual beli yang telah lazim diketahui masyarakat. Seperti penjual

berkata: “Aku jual buku ini kepadamu seharga Rp 20.000,-.”

Kemudian pembeli menjawab: “Saya beli buku ini seharga Rp

20.000,-.”

b) Ijab qabul dilakukan dalam satu majelis. Maksudnya kedua belah pihak yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan

topik yang sama atau tidak ada yang memisahkan, pembeli

tidak boleh diam saja setelah penjual menyatakan ijab dan

sebaliknya.

c) Tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain antara ijab dan

qabul

d) Beragama Islam, syarat ini khusus untuk pembeli saja dalam

benda-benda tertentu. Misalnya saja seseorang dilarang menjual hambanya yang bergama Islam kepada pembeli yang tidak beragama Islam, sebab besar kemungkinan pembeli tersebut akan merendahkan abid yang beragama Islam, sedangkan Allah melarang orang-orang mukmin memberi jalan kepada orang kafir untuk merendahkan orang mukmin (Hidayat, 2015:22).

2) Tentang Subjeknya

Orang yang berakad adalah orang yang boleh melakukan akad, yaitu orang yang telah baligh, berakal dan mengerti, dengan kehendaknya sendiri bukan dipaksa, keduanya tidak mubazir, serta orang yang tidak bodoh sebab mereka tidak pandai mengendalikan harta. Allah berfirman dalam Qs. An-Nisa : 5









....

Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan

kepada orang-orang yang belum sempurna

Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa harta tidak boleh kepada orang yang bodoh atau belum sempurna akalnya. Orang yang belum sempurna akalnya ialah anak yang belum baligh atau orang dewasa yang tidak dapat mengatur harta bendanya.

Oleh karena itu, akad yang dilakukan oleh anak di bawah umur, orang gila atau idiot tidak sah kecuali seizin walinya. Jika orang gila dapat sadar seketika dan gila seketika (kadang-kadang sadar dan kadang-kadang gila), maka akad yang dilakukannya pada waktu sadar dinyatakan sah, dan yang dilakukan ketika gila, tidak sah.

Akad anak kecil yang sudah dapat membedakan baik dan buruknya sesuatu dinyatakan valid (sah), namun kesahannya tergantung kepada izin walinya. Apabila diizinkan oleh orang tuanya maka akad yang dilakukan anak kecil sah.

Keadaan tidak mubazir, maksudnya para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual beli tersebut bukanlah manusia yang mubazir (boros), sebab orang yang boros di dalam hukum dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap bertindak, maksudnya dia tidak dapat melakukan sendiri sesuatu perbuatan

hukum walaupun kepentingan hukum itu menyangkut

berada di bawah pengampauan atau walinya (Parabisu dan Suhrawardi, 2004:35-41).

3) Tentang Objeknya

Benda yang dijadikan sebagai objek jual beli ini haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a) Bersih Barangnya

Barang yang diperjual-belikan bukanlah benda najis, atau yang di golongkan sebagai benda yang diharamkan. Benda- benda najis bukan hanya tidak boleh diperjual-belikan, tetapi juga tidak sah untuk diperjual-belikan. Seperti bangkai, darah, daging babi, khamr, nanah, kotoran manusia.

b) Dapat Dimanfaatkan

Maksud dari barang harus dapat dimanfaatkan adalah bahwa kemanfaatan barang tersebut harus sesuai dengan

ketentuan syari’ah Islam tidak bertentangan dengan norma- norma agama yang berlaku.

c) Milik orang yang melakukan akad

Orang yang melakukan perjanjian jual beli atas sesuatu barang adalah pemilik sah barang tersebut dan atau telah mendapat izin dari pemilik sah barang tersebut. Tidak sah berjual-beli dengan selain pemilik langsung suatu benda, kecuali orang tersebut menjadi wali (wilayah) atau wakil. Yang dimaksud menjadi wali (wilayah) adalah bila benda itu dimiliki

oleh seorang anak kecil, baik yatim atau bukan, maka walinya berhak untuk melakukan transaksi atas benda milik anak itu.

d) Mampu menyerahkan

Pihak penjual (baik sebagai pemilik maupun sebagai kuasa) dapat menyerahkan barang yang dijadikan sebagai objek jual beli sesuatu dengan bentuk dan jumlah yang diperjanjikan pada waktu penyerahan barang kepada pihak pembeli. Ketentuan ini terdapat di hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Ibnu

Mas’ud r.a. yang artinya berbunyi sebagai berikut:

“Janganlah kamu membeli ikan yang berada di dalam air, sesungguhnya yang demikian itu penipuan.”

Dari ketentuan hadis tersebut dapat dikemukakan bahwa barang yang dijual itu harus nyata, dapat diketahui jumlahnya (baik ukuran maupun besarnya). Oleh karena itu, jual beli barang-barang yang dalam keadaan dihipotikkan, digadaikan atau sudah diwakafkan adalah tidak sah sebab penjual tidak mampu lagi untuk menyerahkan barang kepada pihak pembeli.

e) Mengetahui

Mengetahui di sini maksudnya adalah melihat sendiri keadaan barangnya, baik hitungan, takaran, timbangan dan kualitasnya. Sedangkan menyangkut pembayarannya kedua belah pihak harus mengetahui tentang jumlah pembayaran maupun jangka waktu pembayaran. Oleh karena itu, apabila

dalam suatu jual beli keadaan barang dan jumlah harganya tidak diketahui maka perjanjian jual beli tersebut tidak sah. Sebab bisa jadi perjanjian tersebut dapat menimbulkan unsur penipuan.

f) Barang yang diakadkan ada di tangan

Barang harus tersedia, atau ada dan dapat dilihat bentuknya (Sabiq, 1988:52).

Dokumen terkait