MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/
KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
NOMOR:
XX/PRT/M/2011
TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS
DALAM PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/
KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,
Menimbang : a. bahwa
dalam
penyusunan
rencana
tata
ruang,
Pemerintah
dan
pemerintah
daerah
harus
memperhatikan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup melalui kajian lingkungan hidup
strategis yang bertujuan untuk memastikan bahwa
prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar
dan terintegrasi dalam rencana tata ruang;
b.
bahwa untuk memberikan acuan dan arahan bagi
Pemerintah
dan
pemerintah
daerah
agar
dapat
melaksanakan kajian lingkungan hidup strategis yang
efektif dan efisien dalam penyusunan rencana tata
ruang, perlu disusun pedoman pelaksanaan kajian
lingkungan hidup strategis dalam penyusunan rencana
tata ruang;
c.
bahwa
berdasarkan
pertimbangan
sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Menteri tentang Pedoman Pelaksanaan Kajian
Lingkungan Hidup Strategis dalam Penyusunan Rencana
Tata Ruang
;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4725);
2.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103);
4.
Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang
Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Peraturan Presiden
Nomor 13 Tahun 2014 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 24);
5.
Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara
Serta Susunan Organisasi Tugas dan Fungsi Eselon I
Kementerian Negara sebagaimana telah diubah beberapa
kali terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 14
Tahun 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 25);
6.
Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;
7.
Peraturan
Menteri
Pekerjaan
Umum
Nomor
:
15/PRT/M/2009
tentang
Pedoman
Penyusunan
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;
8.
Peraturan
Menteri
Pekerjaan
Umum
Nomor
:
16/PRT/M/2009
tentang
Pedoman
Penyusunan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten;
9.
Peraturan
Menteri
Pekerjaan
Umum
Nomor
:
17/PRT/M/2009
tentang
Pedoman
Penyusunan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota;
10.
Peraturan
Menteri
Pekerjaan
Umum
Nomor
:
08/PRT/M/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Pekerjaan Umum;
10.
Peraturan
Menteri
Pekerjaan
Umum
Nomor
:
20/PRT/M/2011
tentang
Pedoman
Penyusunan
Rencana Detail Tata Ruang;
11.
Peraturan
Menteri
Pekerjaan
Umum
Nomor
:
15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Umum
Penyusunan
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN
MENTERI
AGRARIA
DAN
TATA
RUANG/KEPALA
BADAN
PERTANAHAN
NASIONAL
TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KAJIAN LINGKUNGAN
HIDUP STRATEGIS DALAM PENYUSUNAN RENCANA TATA
RUANG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1.
Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut,
dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai
satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain
hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan
hidupnya.
2.
Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan
tata
ruang,
pemanfaatan
ruang,
dan
pengendalian
pemanfaatan ruang.
3.
Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk
menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi
penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.
4.
Rencana Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RTR adalah
hasil perencanaan tata ruang.
5.
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu
sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
manusia, serta makhluk hidup lain.
6.
Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan
lingkungan
hidup
untuk
mendukung
perikehidupan
manusia,
makhluk
hidup
lain,
dan
keseimbangan
antarkeduanya.
7.
Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan
lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau
komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
8.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang selanjutnya
disingkat KLHS adalah rangkaian analisis yang sistematis,
menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa
prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar
dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah
dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program.
9.
Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan
terencana yang memadukan tiga pilar, yaitu sosial, ekonomi,
dan lingkungan hidup yang menjamin kemampuan,
kesejahteraan, serta mutu hidup generasi masa kini dan
masa depan.
10.
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan
pemerintahan
negara
Republik
Indonesia
sebagaimana dimaksud Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
11.
Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau walikota
dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
12.
Menteri adalah Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional.
Bagian Kedua
Maksud, Tujuan, dan Ruang Lingkup
Pasal 2
(1)
Peraturan Menteri ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi
Pemerintah dan pemerintah daerah dalam melaksanakan
KLHS untuk penyusunan RTR.
(2) Peraturan Menteri ini bertujuan untuk mewujudkan RTR
yang
telah
mengintegrasikan
prinsip
pembangunan
berkelanjutan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
(3) Ruang lingkup Peraturan Menteri ini meliputi:
a.
kedudukan dan muatan KLHS dalam penyusunan RTR;
b.
prinsip dasar, persyaratan, dan mekanisme pelaksanaan
KLHS;
c.
integrasi KLHS dalam penyusunan RTR; dan
BAB II
KEDUDUKAN DAN MUATAN KLHS DALAM PENYUSUNAN RTR
Bagian Kesatu
Kedudukan KLHS dalam Penyusunan RTR
Pasal 3
Kedudukan KLHS dalam penyusunan RTR yaitu:
a. bagian dari tahapan pengolahan dan analisis dalam penyusunan RTR;
b. masukan untuk perumusan kebijakan dan strategi RTR; dan
c.
pemberi rekomendasi alternatif rencana dan indikasi program, dan/atau
upaya pencegahan atau mitigasi dari rencana dan indikasi program
setelah kebijakan dan strategi penataan ruang, rencana jaringan
infrastruktur, dan arahan pola ruang dirumuskan
Bagian Kedua
Muatan KLHS dalam Penyusunan RTR
Pasal 4
Muatan KLHS dalam penyusunan RTR antara lain berupa kajian:
a. kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk
pembangunan;
b. perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup;
c. kinerja layanan/jasa ekosistem;
d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;
e. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim;
dan
f.
tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
Pasal 5
Ketentuan lebih rinci mengenai muatan KLHS dalam penyusunan RTR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
BAB III
PRINSIP DASAR, PERSYARATAN, DAN MEKANISME PELAKSANAAN KLHS
Bagian Kesatu
Prinsip Dasar Pelaksanaan KLHS
Pasal 6
Prinsip dasar pelaksanaan KLHS dalam penyusunan RTR meliputi:
a.
KLHS dilakukan untuk 1 (satu) dokumen RTR;
b.
pelaksanaan KLHS dilakukan setelah delineasinya ditetapkan dan
setidaknya telah memiliki arahan kebijakan penataan ruang yang akan
dituangkan ke dalam RTR atau setidaknya telah memiliki tema
penataan BWP khusus bagi RDTR;
c.
lingkup wilayah yang menjadi objek KLHS paling sedikit sama dengan
lingkup perencanaan;
d.
pelaksanaan KLHS memenuhi kriteria kinerja sebagai berikut:
a.
terintegrasi;
b.
berkelanjutan;
c.
terfokus; dan
d.
iteratif ;
sesuai dengan tahapan dan kedalaman penyusunan RTR;
e.
pelaku pelaksanaan KLHS dalam penyusunan RTR diutamakan yaitu
penyusun RTR dengan ahli lingkungan sebagai tim penyusun KLHS;
f.
analisis yang dilakukan dalam KLHS memiliki masa perkiraan kajian
yang sama dengan analisis dalam RTR yaitu 20 (dua puluh) tahun;
g.
kedetilan KLHS disesuaikan dengan kedetilan RTR;
h.
analisis KLHS lebih difokuskan pada isu-isu strategis lingkungan
hidup dan fokus pada agenda keberlanjutan yang bergerak dari
sumber persoalan dampak lingkungan;
i.
analisis KLHS yang dilaksanakan mampu memberikan gambaran
menyeluruh mengenai dampak RTR terhadap kondisi fisik lingkungan
hidup dan implikasi sosial;
j.
data, rumusan isu strategis, analisis, serta rumusan alternatif
rekomendasi harus konsisten;
k.
pelaksanaan KLHS untuk revisi RTR, dimana telah terdapat dokumen
KLHS sebelumnya, dilakukan dengan memperhatikan dokumen KLHS
sebelumnya;
l.
pelaksanaan KLHS bersifat partisipatif dengan melibatkan masyarakat
dan pemangku kepentingan lainnya dalam penentuan isu strategis dan
dalam pengambilan keputusan rekomendasi;
m. pelaksana KLHS dapat menggunakan pedoman penjaminan kualitas
KLHS yang disusun oleh kementerian/lembaga yang membidangi
lingkungan hidup sebagai pengontrol kualitas proses dan substansi;
dan
n.
konsultasi publik dilakukan paling sedikit 2 (dua) kali pada saat tahap
pelingkupan dan setelah dirumuskannya rekomendasi (seminar akhir)
atau dapat dilaksanakan pula bersamaan dengan konsultasi publik
pada saat proses penyusunan RTR.
Bagian Kedua
Persyaratan Pelaksanaan KLHS
Pasal 7
Persyaratan pelaksanaan KLHS dalam penyusunan RTR meliputi:
a. pelaksana KLHS yaitu Pemerintah atau pemerintah daerah yang dapat
dibantu oleh tenaga ahli dan/atau tim ahli yang memiliki kemampuan
dan keahlian di bidang perencanaan wilayah dan kota serta ilmu
lingkungan;
b. pemangku kepentingan dalam pelaksanan KLHS yaitu Pemerintah,
pemerintah daerah, masyarakat, dan dunia usaha;
c. pelaksanaan KLHS perlu melibatkan pemangku kepentingan secara
aktif;
d. dokumen RTR yang dilaksanakan KLHS yaitu dokumen RTR yang
sedang dalam proses penyusunan dan telah memiliki delineasi wilayah
yang tetap; dan
e.
menggunakan peta kerja untuk melakukan kajian yang berbasis pada
peta rencana struktur ruang dan pola ruang dengan skala sesuai
dengan RTR yang sedang disusun.
Bagian Ketiga
Mekanisme Pelaksanaan KLHS
Paragraf 1
Umum
Pasal 8
Pelaksanaan KLHS dalam penyusunan RTR dibagi menjadi beberapa tahap
meliputi:
a.
tahap persiapan;
c.
tahap pelingkupan;
d.
tahap kajian pengaruh; dan
e.
tahap perumusan alternatif dan rekomendasi.
Paragraf 2
Tahap Persiapan
Pasal 9
Tahap persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a meliputi
kegiatan:
a.
pengumpulan dokumen RTR yang sedang dalam proses penyusunan
dan telah memiliki delineasi wilayah yang tetap;
b.
penyusunan format data dan informasi yang akan dikumpulkan;
c.
penyiapan peta dasar guna lahan dengan skala sesuai dengan RTR; dan
d.
penyusunan jadwal pelaksanaan KLHS.
Paragraf 3
Tahap Pra-Pelingkupan
Pasal 10
Tahap pra-pelingkupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b
meliputi kegiatan:
a.
penyusunan dan penyajian informasi dasar;
b.
penyusunan kajian konsep pengembangan; dan
c.
perumusan isu lingkungan hidup awal.
Pasal 11
Penyusunan dan penyajian informasi dasar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 huruf a meliputi kegiatan:
a.
penguraian informasi dasar yang meliputi aspek fisik lingkungan
(eksisting) dan lingkungan hidup serta ekologis dan sosial ekonomi yang
disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik masing-masing wilayah;
dan
b.
pemetaan informasi dasar dengan menggunakan sistem informasi
geografis.
Pasal 12
Penyusunan kajian konsep pengembangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 huruf b meliputi kegiatan:
a.
pengidentifikasian tujuan dan sasaran dari RTR yang disusun; dan
b.
pengidentifikasian arahan rencana struktur ruang dan pola ruang.
Pasal 13
Perumusan isu lingkungan hidup awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 huruf c menghasilkan keluaran berupa:
a.
data dan informasi dasar pada wilayah yang direncanakan; dan
b.
daftar potensi konflik dan masalah yang akan menjadi kendala terkait
RTR yang sedang disusun.
Paragraf 4
Tahap Pelingkupan
Pasal 14
(1)
Tahap pelingkupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c
merupakan serangkaian proses untuk menetapkan:
a.
nilai penting KLHS;
b.
tujuan KLHS;
c.
isu pokok;
d.
ruang lingkup KLHS;
e.
kedalaman kajian dan kerincian penulisan dokumen;
f.
pengenalan kondisi awal; dan
g.
telaah awal kapasitas kelembagaan.
(2)
Tahap pelingkupan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
kegiatan:
a.
penilaian dan penetapan isu strategis; dan
b.
konsultasi publik.
Paragraf 5
Tahap Kajian Pengaruh
Pasal 15
Tahap kajian pengaruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf d
merupakan tahap analisis lanjutan setelah isu-isu strategis disepakati.
Paragraf 6
Tahap Perumusan Alternatif dan Rekomendasi
Pasal 16
Tahap perumusan alternatif dan rekomendasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 huruf e dilakukan dengan mempertimbangkan hasil analisis
dampak lingkungan setelah tahap kajian pengaruh sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 dilakukan.
Pasal 17
Ketentuan lebih rinci mengenai tahap persiapan, tahap pra-pelingkupan,
tahap pelingkupan, tahap kajian pengaruh, serta tahap perumusan
alternatif dan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai
dengan Pasal 16 tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
BAB IV
INTEGRASI KLHS DALAM PENYUSUNAN RTR
Pasal 18
KLHS dilaksanakan secara satu-kesatuan (embedded) dengan proses
penyusunan RTR.
Pasal 19
Ketentuan lebih rinci mengenai integrasi KLHS dalam penyusunan RTR
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
BAB V
DOKUMENTASI KLHS
Pasal 20
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mendokumentasikan seluruh
proses dan hasil pelaksanaan KLHS dalam penyusunan RTR.
Pasal 21
Dokumentasi pelaksanaan KLHS dalam penyusunan RTR meliputi:
a.
pelaporan hasil KLHS; dan
b.
prosedur dalam pelaksanaan KLHS.
Pasal 22
(1)
Laporan KLHS untuk penyusunan RTR paling sedikit memuat:
a.
gambaran tentang RTR;
b.
penjelasan tentang informasi lingkungan;
c.
peraturan terkait dan sasaran lingkungan yang ditetapkan;
d.
hasil KLHS pada isu strategis, meliputi:
1.
kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
untuk pembangunan;
2.
perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup;
3.
kinerja layanan/jasa ekosistem;
4.
efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;
5.
tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan
iklim; dan
6.
tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati;
e.
rumusan alternatif penyempurnaan RTR; dan
f.
rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan.
(2)
Dalam hal RTR yang disusun merupakan tindak lanjut dari proses
revisi RTR sebelumnya, laporan KLHS sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memuat pula:
a.
penjelasan tentang informasi lingkungan eksisting sebelum dan
sesudah implementasi RTR; dan
b.
isu-isu strategis lingkungan hidup yang mengacu pada KLHS
sebelumnya atau isu strategis lingkungan hidup baru sesuai
dengan hasil konsultasi publik.
Pasal 23
Ketentuan lebih rinci mengenai dokumentasi KLHS dalam penyusunan RTR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 22 tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal
20 Desember
MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/
KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,
ttd.
FERRY MURSYIDAN BALDAN
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA HAMONANGAN LAOLY
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR…
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/
KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
NOMOR
TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS
DALAM PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG
I.
UMUM
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional tentang Pedoman Pelaksanaan Kajian Lingkungan
Hidup Strategis dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang disusun
dengan dasar pemikiran bahwa pertimbangan lingkungan dan prinsip
pembangunan berkelanjutan harus menjadi dasar dan terintegrasi
dalam perencanaan tata ruang wilayah. Dengan demikian, Pemerintah
dan pemerintah daerah sebagai penanggungjawab penyusunan rencana
tata ruang (RTR) perlu melaksanakan Kajian Lingkungan Hidup
Strategis (KLHS). Hal ini dimaksudkan agar produk RTR yang
dikeluarkan telah memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan
ekonomi.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) merupakan tindakan
strategis dalam menuntun dan mengarahkan agar tidak terjadi dampak
negatif dari RTR terhadap lingkungan dan keberlanjutan. Kemampuan
untuk melaksanakan KLHS dalam penyusunan RTR menjadi suatu hal
yang penting dalam meningkatkan kualitas RTR,
Secara umum Peraturan Menteri ini memuat materi-materi pokok
yang disusun secara sistematis sebagai berikut: kedudukan dan
muatan KLHS dalam penyusunan RTR; prinsip dasar, persyaratan, dan
mekanisme pelaksanaan KLHS; integrasi KLHS dalam penyusunan
RTR; dan dokumentasi KLHS.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah
Undang–Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
beserta peraturan pelaksanaannya dan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup beserta peraturan pelaksanaannya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Daya dukung lingkungan hidup dilihat dari kapasitas
penyediaan sumber daya alam yang dibandingkan dengan
kebutuhan akan sumber daya alam tersebut, khususnya terkait
kemampuan lahan serta ketersediaan dan kebutuhan lahan dan
air dalam suatu ruang atau wilayah. Kemampuan lahan berisi
karakteristik lahan yang meliputi sifat fisik dan kimia tanah,
topografi, drainase, dan kondisi lingkungan hidup lain. Selain
itu, identifikasi kemampuan lahan juga harus memperhatikan
tingkat bahaya kerusakan dan hambatan dalam mengelola
lahan,
seperti
kemiringan
lahan, penghambat
terhadap
perakaran tanaman, tingkat erosi, dan genangan air.
Daya tampung lingkungan hidup dapat diukur dari tingkat
pencemaran dan kemampuan lingkungan mempertahankan
habitat di dalamnya.
Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dapat
diidentifikasi dari sejumlah komponen, seperti:
a.
ketersediaan dan sebaran kawasan lindung dan kawasan
budi daya;
b.
keragaman ekosistem;
c.
kondisi hidrologi, sumber air, daerah resapan air;
d.
kualitas udara;
e.
kerawanan bencana;
f.
sebaran komoditas pertanian dan perikanan;
g.
sebaran potensi energi dan sumber daya mineral;
h.
kebutuhan infrastruktur;
i.
sebaran kegiatan perkotaan;
j.
kondisi kependudukan;
k.
kondisi sosial ekonomi;
l.
kapasitas lembaga pengelola;
m.
dan sebagainya.
Melalui kajian mengenai daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup ini dapat diketahui apakah implementasi
rencana tata ruang akan melampaui kapasitas daya dukung dan
daya tampung lingkungan hidup atau tidak.
Huruf b
Perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup
berkaitan dengan perkiraan perubahan yang diakibatkan oleh
suatu kegiatan terhadap ekosistem pada suatu wilayah atau
kawasan. Dampak dan risiko lingkungan hidup dapat dilihat
dari jumlah populasi yang terkena dampak, luasan wilayah atau
kawasan yang terkena dampak, lamanya dampak, intensitas
dampak, komponen lingkungan yang terkena dampak, dan
pengaruh dampak pada wilayah atau kawasan yang lebih luas.
Huruf c
Melalui kajian mengenai kinerja layanan/jasa ekosistem ini
dapat diketahui apakah suatu ekosistem masih dapat
beroperasi atau tidak dalam mendukung implementasi rencana
tata ruang.
Huruf d
Efisiensi pemanfaatan sumber daya alam merupakan tingkat
optimal pemanfaatan sumber daya alam yang dapat memenuhi
kebutuhan namun tetap dapat menjaga kelestarian sumber
daya alam dan ekosistemnya yang dapat diukur dari kesesuaian
antara tingkat pemanfaatan dan pencadangan potensi dan
kebutuhan sumber daya alam.
Huruf e
Kerentanan dampak perubahan iklim dapat dilihat dari integrasi
kapasitas adaptif dengan risiko bencana iklim. Selain itu, perlu
dilihat
juga
kebijakan
nasional,
provinsi,
maupun
kabupaten/kota yang berlaku di wilayah perencanaan terkait
dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Sedangkan
kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan
kemampuan suatu sistem untuk menyesuaikan dengan dampak
perubahan iklim, mengurangi kerusakan, dan mengatasi
dampak perubahan iklim.
Huruf f
Kajian tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati
dapat menjadi landasan untuk mengembangkan program
koordinasi pengelolaan dampak lintas sektor maupun lintas
wilayah untuk memperhitungkan berbagai dampak (baik positif
maupun negatif) pada keanekaragaman hayati.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup Jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15 …
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
i
LAMPIRAN PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/
KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
NOMOR
:
TANGGAL
:
PEDOMAN PELAKSANAAN
KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS
DALAM PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR GAMBAR ... ii
DAFTAR TABEL ... iii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Maksud dan Tujuan ... 1
1.3 Ruang Lingkup ... 1
1.4 Istilah dan Definisi ... 2
1.5 Acuan Normatif ... 2
1.6 Kedudukan Pedoman ... 3
1.7 Fungsi dan Manfaat Pedoman ... 3
1.8 Pengguna Pedoman ... 4
BAB II KEDUDUKAN DAN MUATAN KLHS DALAM PENYUSUNAN RTR ... 5
2.1 Kedudukan KLHS dalam Penyusunan RTR ... 5
2.2. Muatan KLHS dalam Penyusunan RTR……… 6
BAB III PRINSIP DASAR, PERSYARATAN, DAN MEKANISME PELAKSANAAN KLHS ... 8
3.1 Prinsip Dasar Pelaksanaan KLHS ……….. 8
3.2 Persyaratan Pelaksanaan KLHS ... 9
3.3 Mekanisme Pelaksanaan KLHS ... 9
3.3.1 Tahap Persiapan ... 9
3.3.2 Tahap Pra-Pelingkupan ... 10
3.3.3 Tahap Pelingkupan ... 16
3.3.4 Tahap Kajian Pengaruh ... 28
3.3.5 Tahap Perumusan Alternatif dan Rekomendasi ... 29
BAB IV INTEGRASI KLHS DALAM PENYUSUNAN RTR... 37
BAB V DOKUMENTASI KLHS ... 39
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Kedudukan Pedoman terhadap Peraturan Perundang-undangan Terkait Lainnya ... 3 Gambar 2.1. Kedudukan KLHS dalam Penyusunan RTR ... 5 Gambar 3.1. Pemetaan Informasi Dasar/Eksisiting (Peta Topografi dan
Ketinggian KSN Sorowako)... 12 Gambar 3.2. Pemetaan Informasi Dasar/Eksisiting (Peta Kawasan
Ekologi Kritis KSN Sorowako)... 13 Gambar 3.3. Pemetaan Informasi Dasar/Eksisiting (Peta Kawasan
Konservasi KSN Sorowako)... 14 Gambar 3.4. Ilustrasi Definisi Isu Lingkungan Strategis... 17 Gambar 3.5. Overlay Area Pertambangan Eksisting dengan
Rencana Pola Ruang KSN Sorowako... 18 Gambar 3.6. Overlay Reseptor Fisika-Kimia Eksisting dengan
Fitur-Fitur RTR KSN Sorowako... 19 Gambar 3.7. Overlay Kawasan Ekologi Kritis Eksisting dengan
Fitur-Fitur RTR KSN Sorowako... 20 Gambar 3.8. Overlay Reseptor Sosial-Ekonomi dan Budaya dengan
Fitur-Fitur RTR KSN Sorowako... 21 Gambar 3.9. Peta Isu-isu Strategis untuk Analisis Lebih Lanjut KSN Sorowako... 23 Gambar 4.1. Integrasi KLHS dalam Penyusunan RTR secara Satu-Kesatuan
(Embedded)………... 37
iii
DAFTAR TABEL
Tabel III.1. Informasi Dasar KLHS ... ... 10 Tabel III.2. Contoh Isu-Isu Lingkungan Hidup Awal... 15 Tabel III.3. Contoh Matriks Pelingkupan Isu... 24 Tabel III.4. Contoh Format Identifikasi Pemangku Kepentingan... 27 Tabel III.5. Contoh Perancangan Pelibatan Masyarakat dan Pemangku Kepentingan
Lainnya... 27 Tabel III.6. Contoh Hasil Pelingkupan Isu Strategis Lingkungan Hidup untuk Dianalisis
Lebih Lanjut... ... 29 Tabel III.7. Alternatif Penyempurnaan RTR... 30 Tabel III.8. Rekomendasi Perbaikan RTR... 30 Tabel III.9. Proses Pelaksanaan KLHS untuk Beberapa Dokumen Perencanaan... 32
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, tujuan dari penataan ruang adalah untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional dengan:
a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Untuk memastikan bahwa pertimbangan lingkungan dan prinsip berkelanjutan menjadi dasar dan terintegrasi dalam perencanaan tata ruang wilayah, maka Pemerintah dan pemerintah daerah sebagai penanggungjawab penyusunan rencana tata ruang (RTR) perlu melaksanakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Hal ini dimaksudkan agar produk RTR yang dikeluarkan telah memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi.
Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, perlu adanya pedoman pelaksanaan KLHS dalam perencanaan tata ruang, baik rencana umum tata ruang maupun rencana rinci tata ruang. Pedoman tersebut diharapkan dapat memberikan petunjuk bagi pihak-pihak yang akan melaksanakan KLHS di dalam penyusunan RTR.
1.2 Maksud dan Tujuan a. Maksud
Pedoman ini dimaksudkan sebagai acuan dalam pelaksanaan KLHS dalam penyusunan RTR oleh Pemerintah atau pemerintah daerah.
b. Tujuan
Pedoman ini bertujuan mewujudkan RTR yang sudah mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1.3 Ruang Lingkup
Pedoman ini memuat kedudukan dan muatan KLHS dalam penyusunan RTR; prinsip dasar, persyaratan, dan mekanisme pelaksanaan KLHS; integrasi KLHS dalam penyusunan RTR; dan dokumentasi KLHS dalam penyusunan RTR, baik rencana umum tata ruang maupun rencana rinci tata ruang.
Rencana umum tata ruang terdiri atas Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) nasional, provinsi, kabupaten, dan kota. Sedangkan rencana rinci tata ruang meliputi RTR pulau/kepulauan, RTR kawasan strategis nasional, RTR kawasan strategis provinsi, RTR kawasan strategis kabupaten/kota, dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kabupaten/kota.
2
1.4 Istilah dan Definisi
Dalam pedoman ini yang dimaksud dengan:
a. Rencana Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RTR adalah hasil perencanaan
tata ruang.
b. Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang selanjutnya disingkat KLHS adalah
rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.
c. Daya Dukung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk
mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya.
d. Daya Tampung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk
menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
e. Dampak Lingkungan Hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup
yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.
f. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan
utuh-menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup.
g. Struktur Ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan
prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.
h. Pola Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi
peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.
i. Sumber Daya Alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya
hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem.
j. Pembangunan Berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang
memadukan tiga pilar yaitu sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup yang menjamin kemampuan, kesejahteraan, serta mutu hidup generasi masa kini dan masa depan.
k. Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan,
dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia, serta makhluk hidup lain.
l. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah upaya sistematis dan
terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
m. Mitigasi dan Adaptasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko
dan/atau dampak negatif atas pelaksanaan program pembangunan.
n. Pemangku Kepentingan adalah Pemerintah; pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan/atau kota; akademisi; asosiasi; lembaga swadaya; dan masyarakat.
1.5 Acuan Normatif
Pedoman ini disusun dengan memperhatikan antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; dan
c. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.
3
1.6 Kedudukan Pedoman
Pedoman ini berkaitan dengan pedoman lainnya yaitu pedoman umum pelaksanaan KLHS dan pedoman penyusunan RTR baik RTRW nasional/provinsi/kabupaten/kota maupun rencana rinci tata ruang yang telah ditetapkan. Secara diagramatis, keterkaitan pedoman ini dengan peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang ditunjukkan pada Gambar 1.1 sebagai berikut:
Gambar 1.1
Kedudukan Pedoman terhadap Peraturan Perundang-undangan Terkait Lainnya
UU Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010
tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
• Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;
• Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten;
• Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota;
• Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang; • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor 15 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional.
UU Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 9 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Kajian
Lingkungan Hidup Strategis
PEDOMAN PELAKSANAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS DALAM PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG
1.7 Fungsi dan Manfaat Pedoman a. Fungsi
Fungsi pedoman ini yaitu sebagai:
1) acuan dalam memberikan pengertian dan wawasan dalam melaksanakan KLHS dalam penyusunan RTR; dan
2) memberikan arahan ketentuan muatan, proses pelaksanaan KLHS, dan pendokumentasian KLHS dalam penyusunan RTR.
4
b. Manfaat
Manfaat pedoman ini yaitu untuk dapat melaksanakan KLHS demi mewujudkan RTR yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
1.8 Pengguna Pedoman
Pengguna pedoman ini adalah Pemerintah atau pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan KLHS sebagai dokumen pelengkap perencanaan tata ruang. Masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya dapat menggunakan pedoman ini untuk mengetahui proses penyusunan KLHS dan memiliki peran dalam memberikan informasi dan masukan dalam pelaksanaan KLHS.
5
BAB II
KEDUDUKAN DAN MUATAN KLHS DALAM PENYUSUNAN RTR
2.1 Kedudukan KLHS dalam Penyusunan RTR
Sesuai dengan tujuan pelaksanaan KLHS untuk mencapai kinerja pembangunan berkelanjutan, maka kedudukan pelaksanaan KLHS adalah:
a. bagian dari tahapan pengolahan dan analisis dalam penyusunan RTR; b. masukan untuk perumusan kebijakan dan strategi RTR; dan
c. pemberi rekomendasi alternatif rencana dan indikasi program, dan/atau upaya pencegahan atau mitigasi dari rencana dan indikasi program setelah kebijakan dan strategi penataan ruang, rencana jaringan infrastruktur dan arahan pola ruang dirumuskan.
Kedudukan KLHS dalam penyusunan RTR ditunjukkan pada Gambar 2.1. sebagai berikut:
Gambar 2.1.
6
2.2 Muatan KLHS dalam Penyusunan RTR
Isu lingkungan yang berkaitan dengan perencanaan tata ruang memiliki ruang lingkup yang luas. Pelaksanaan KLHS pada penyusunan RTR harus dimulai dengan menetapkan sasaran keberlanjutan lingkungan yang akan mengarahkan keseluruhan proses dan muatannya. Untuk efektivitas dan efisiensi KLHS terhadap proses perencanaan tata ruang, perlu memfokuskan pada isu-isu keberlanjutan aktual yang terkait langsung terhadap RTR yang dikaji.
Berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, KLHS memuat kajian antara lain:
a. Kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan
Daya Dukung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya. Daya dukung lingkungan hidup dikaji untuk mengetahui kapasitas lingkungan alam dan sumber daya untuk mendukung kegiatan manusia sebagai pengguna ruang.
Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
b. Perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup
Perkiraan dampak dan risiko lingkungan hidup yang perlu dikaji dapat berupa dampak dan risiko lingkungan hidup yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Dampak dan risiko lingkungan bersifat kuantitaif adalah dampak dan risiko terkait dengan pengaruh fisik atau kimiawi seperti tingkat pencemaran udara, tingkat pencemaran air, dan sebagainya. Sementara itu, dampak dan risiko lingkungan bersifat kualitatif adalah dampak yang berkaitan dengan aspek sosial budaya, seperti respon masyarakat, dampak pembangunan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat, dan sebagainya. Melalui perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup ini dapat diketahui apakah implementasi rencana tata ruang menimbulkan dampak positif atau negatif terhadap ekosistem pada suatu wilayah atau kawasan.
Sedangkan dalam skala yang lebih rinci, di dalam penyelenggaraan suatu usaha maupun kegiatan harus selalu mempertimbangkan dampak dan resiko yang ditimbulkan. Hal ini perlu dikaji lebih mendalam khususnya bagi RTR yang berskala detail sehingga KLHS dapat menjadi pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan.
c. Kinerja layanan/jasa ekosistem
Ekosistem mampu menyediakan manfaat baik secara fisik yang dapat langsung dirasakan oleh manusia, seperti bahan pangan, air, dan sebagainya, maupun tidak langsung misalnya untuk mengatur iklim global. Penyusunan kebijakan dan program pembangunan seharusnya tidak mengganggu lingkungan yang mengakibatkan jasa ekosistem berkurang.
Tingginya permintaan terhadap layanan/jasa ekosistem akan berlangsung sejalan dengan peningkatan degradasi lingkungan dan munculnya pertukaran antarjasa lingkungan. Untuk itu, dalam menelaah kinerja layanan/jasa ekosistem perlu memperhatikan perkiraan permintaan dan konsumsi sumber daya alam, jumlah populasi manusia yang menggunakan ekosistem, dan dampak pemanfaatan suatu ekosistem terhadap ekosistem lainnya.
d. Efisiensi pemanfaatan sumber daya alam
Sumber daya alam sebagai salah satu modal dasar pembangunan harus dimanfaatkan sepenuhnya dengan cara yang tidak merusak. Oleh karena itu, pemanfaatan sumber daya alam harus dilakukan secara efisien. Apalagi di negara berkembang, terdapat cukup banyak hambatan dalam proses pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam tersebut.
Dengan demikian, diperlukan suatu kajian untuk merencanakan bagaimana pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam tersebut agar berkelanjutan. Melalui perhitungan
7
efisiensi pemanfaatan sumber daya alam, dapat diperkirakan pula apakah implementasi suatu rencana tata ruang dapat memanfaatkan sumber daya alam secara efisien atau tidak.
e. Tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim
Kerentanan dampak perubahan iklim dapat dilihat melalui pemetaan kerentanan yang dilihat dari kondisi geografis wilayah atau kawasan, kondisi topografi, interaksi lautan-atmosfer-daratan, analisis iklim historis, dan analisis pola atau tren curah hujan. Kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim ini dapat dilihat dari daya dukung lingkungan, ketersediaan relugasi, adanya kelembagaan yang kuat, dan ketersediaan sumber daya manusia.
Dalam perencanaan tata ruang, kajian resiko sebagai salah satu masukan dalam proses perencanaan adaptasi perubahan iklim seharusnya sudah dilaksanakan. KLHS dapat menjadi pelengkap kajian tersebut dengan melaksanakan kajian mendalam yang mengarusutamakan perubahan iklim untuk diintegrasikan dalam proses perumusan kebijakan, rencana, maupun program-program dalam RTR.
f. Tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati
Pembangunan ekonomi daerah dan infrastruktur memerlukan perencanaan yang matang sebab bukan tidak mungkin akan mengakibatkan dampak buruk bagi kelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati pada jangka panjang. Terlebih untuk kawasan yang dilindungi, sejumlah ketentuan khusus harus ditetapkan dan ketentuan tersebut muncul dari hasil kajian terhadap perkiraan dampak dari pembangunan di sekitar kawasan tersebut.
Muatan KLHS ini berbeda dengan muatan analisis aspek fisik dan lingkungan dalam penyusunan RTR. Berdasarkan Permen PU No. 20/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknik Analisis Fisik dan Lingkungan, Ekonomi, serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang, menyebutkan bahwa analisis aspek fisik dan lingkungan adalah analisis untuk mengenali karakteristik sumber daya alam dengan menelaah kemampuan dan kesesuaian lahan agar pemanfaatan lahan dapat dilakukan secara optimal dengan tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem. Sementara KLHS dalam penyusunan RTR lebih memfokuskan pada kajian pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau program terhadap keberlangsungan lingkungan hidup yang tidak hanya menyangkut ketersediaan sumber daya lahan. KLHS juga meliputi kajian pengaruh terhadap kinerja ekosistem dan keanekaragaman hayati.
8
BAB III
PRINSIP DASAR, PERSYARATAN, DAN MEKANISME
PELAKSANAAN KLHS
3.1 Prinsip Dasar Pelaksanaan KLHS
Pelaksanaan KLHS dalam penyusunan RTR perlu merujuk pada prinsip dasar berikut:
a. KLHS dilakukan untuk 1 (satu) dokumen RTR;
b. pelaksanaan KLHS dilakukan setelah delineasinya ditetapkan dan setidaknya telah memiliki arahan kebijakan penataan ruang yang akan dituangkan ke dalam RTR atau setidaknya telah memiliki tema penataan BWP khusus bagi RDTR; c. lingkup wilayah yang menjadi objek KLHS paling sedikit sama dengan lingkup
perencanaan;
d. pelaksanaan KLHS memenuhi kriteria kinerja sebagai berikut: 1) terintegrasi;
2) berkelanjutan; 3) terfokus; dan 4) iteratif ;
sesuai dengan tahapan dan kedalaman penyusunan RTR;
e. pelaku pelaksanaan KLHS dalam penyusunan RTR diutamakan yaitu penyusun RTR dengan ahli lingkungan sebagai tim penyusun KLHS;
f. analisis yang dilakukan dalam KLHS memiliki masa perkiraan kajian yang sama dengan analisis dalam RTR yaitu 20 (dua puluh) tahun;
g. kedetilan KLHS disesuaikan dengan kedetilan RTR;
h. analisis KLHS lebih difokuskan pada isu-isu strategis lingkungan hidup dan fokus pada agenda keberlanjutan yang bergerak dari sumber persoalan dampak lingkungan;
i. analisis KLHS yang dilaksanakan mampu memberikan gambaran menyeluruh mengenai dampak RTR terhadap kondisi fisik lingkungan hidup dan implikasi sosial;
j. data, rumusan isu strategis, analisis, serta rumusan alternatif rekomendasi harus konsisten;
k. pelaksanaan KLHS untuk revisi RTR, dimana telah terdapat dokumen KLHS sebelumnya, dilakukan dengan memperhatikan dokumen KLHS sebelumnya; l. pelaksanaan KLHS bersifat partisipatif dengan melibatkan masyarakat dan
pemangku kepentingan lainnya dalam penentuan isu strategis dan dalam pengambilan keputusan rekomendasi;
m. pelaksana KLHS dapat menggunakan pedoman penjaminan kualitas KLHS yang disusun oleh kementerian/lembaga yang membidangi lingkungan hidup sebagai pengontrol kualitas proses dan substansi; dan
n. konsultasi publik dilakukan paling sedikit 2 (dua) kali pada saat tahap pelingkupan dan setelah dirumuskannya rekomendasi (seminar akhir) atau dapat dilaksanakan pula bersamaan dengan konsultasi publik pada saat proses penyusunan RTR.
9
3.2 Persyaratan Pelaksanaan KLHS
Persyaratan dalam penerapan pedoman pelaksanaan KLHS dalam penyusunan RTR adalah sebagai berikut:
a. pelaksana KLHS adalah Pemerintah dan pemerintah daerah yang dapat dibantu oleh tenaga ahli dan/atau tim ahli yang memiliki kemampuan dan keahlian di bidang Perencanaan Wilayah dan Kota serta Ilmu Lingkungan;
b. pemangku kepentingan dalam pelaksanaan KLHS adalah Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan dunia usaha;
c. pelaksanaan KLHS perlu melibatkan pemangku kepentingan secara aktif;
d. dokumen RTR yang dilaksanakan KLHS adalah dokumen RTR yang sedang dalam proses penyusunan dan telah memiliki deliniasi wilayah yang tetap; dan e. menggunakan peta kerja untuk melakukan kajian yang berbasis pada peta
rencana struktur ruang dan pola ruang dengan skala sesuai RTR yang sedang disusun.
3.3 Mekanisme Pelaksanaan KLHS
Pelaksanaan KLHS dalam penyusunan RTR dibagi menjadi beberapa tahap yang meliputi:
a. Tahap Persiapan; b. Tahap Pra-Pelingkupan; c. Tahap Pelingkupan;
d. Tahap Kajian Pengaruh; dan
e. Tahap Perumusan Alternatif dan Rekomendasi.
3.3.1 Tahap Persiapan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap persiapan meliputi:
a. pengumpulan dokumen RTR yang sedang dalam proses penyusunan dan telah memiliki deliniasi wilayah yang tetap atau dokumen RTR yang akan direvisi;
b. penyusunan format data dan informasi yang akan dikumpulkan, berupa daftar informasi dasar;
c. penyiapan peta dasar guna lahan dengan skala sesuai dengan RTR; dan d. penyusunan jadwal pelaksanaan KLHS.
10
TABEL III.1.
INFORMASI DASAR KLHS
Aspek Jenis Data Bentuk Data Keterangan
Fisika-Kimia Geologi Peta Iklim Deskripsi Topografi Peta Hidrologi Peta
Kualitas Air Tabel/Grafik Parameter Kualitas udara Tabel/Grafik Parameter Daerah rawan bencana Peta
…dst
Ekologi Fitur ekologi kritis/penting Deskripsi Habitat penting Deskripsi
Spesies penting Deskripsi IUCN Kawasan konservasi Peta, Deskripsi
…dst
Sosial-ekonomi
Penggunaan lahan Peta, Deskripsi Eksisting Demografi Tabel, Deskripsi
Budaya dan tradisi Deskripsi
Ekonomi Deskripsi Time Series Kegiatan ekonomi utama/khusus
(pertambangan/perkebunan/pariwisata)
Peta, Deskripsi Time Series Sarana dan prasarana Peta, Deskripsi Eksisting …dst
3.3.2 Tahap Pra-Pelingkupan
Pra pelingkupan adalah rangkaian persiapan sebelum dilakukan proses pelingkupan, antara lain dilakukan dengan mempersiapkan daftar isu strategis lingkungan, isu sosial budaya, dan isu ekonomi.
Tahap pra-pelingkupan (pre-scoping) bertujuan untuk menyusun informasi dasar (baseline), melakukan kajian terhadap RTR, dan perumusan isu strategis lingkungan hidup awal.
Persyaratan untuk melakukan tahap ini adalah: a. deliniasi wilayah kajian sudah ditentukan; b. konsep pengembangan sudah ditentukan; dan
c. informasi dasar lingkungan yang meliputi aspek fisik lingkungan, keanekaragaman hayati, sosial, dan ekonomi sudah tersusun.
Kegiatan yang dilakukan pada tahap pra-pelingkupan adalah:
a. Kegiatan Penyusunan dan Penyajian Informasi Dasar
Pemahaman kondisi lingkungan serta kecenderungannya dibutuhkan baik bagi perencanaan tata ruang dan pelaksanaan KLHS. Pada umumnya KLHS bergantung pada ketersediaan data sekunder, namun dapat dilakukan pengumpulan data primer untuk isu yang sensitif dan/atau informasi yang jumlahnya sedikit.
Kegiatan yang dilakukan pada tahap penyusunan informasi dasar meliputi:
1) menguraikan tentang informasi dasar meliputi aspek fisik lingkungan (eksisting) dan lingkungan hidup, ekologis dan sosial ekonomi, yang
11 disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik masing-masing wilayah.
a) informasi fisik lingkungan pada wilayah yang terpengaruh perencanaan tata ruang, antara lain:
iklim;
topografi;
geologi;
kualitas udara; dan
kualitas air.
b) informasi ekologis, antara lain:
permasalahan kualitas lingkungan;
kawasan alami ataupun buatan yang berisiko dari pencemaran kegiatan industri eksisting, bencana alam antara lain tsunami, gempa bumi, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, dan/atau angin topan;
habitat darat atau laut sensitif seperti mangrove, koral, rawa, sungai, danau, hutan lindung; dan
kawasan konservasi atau perlindungan. c) informasi sosial ekonomi, antara lain:
kegiatan ekonomi utama (industri/pertanian/pariwisata/dll);
budaya;
permasalahan sosial-ekonomi eksisting; dan
infrastruktur dan guna lahan eksisting.
2) memetakan kelompok informasi tersebut menggunakan pemetaan sistem informasi geografis (peta SIG). Data yang dibutuhkan antara lain:
a) informasi spasial dari lembaga pemerintah terkait (misal: pemerintah provinsi/kabupaten/kota, kementerian/lembaga, dan lainnya);
b) database spasial dari LSM, perguruan tinggi, atau asosiasi lokal;
c) informasi sekunder yang diterjemahkan kepada peta; dan d) peta hasil survey lokasi.
Peta SIG harus cukup jelas, sederhana, dan fokus untuk memastikan bahwa data yang relevan tersajikan dengan baik. Sebagai contoh, simbol yang menunjukkan lokasi dari spesies atau habitat sensitif, kawasan konflik guna lahan, atau melingkari kawasan terjadinya penurunan kualitas udara.
Contoh pemetaan informasi dasar/eksisting diuraikan dalam Gambar 3.1., Gambar 3.2., dan Gambar 3.3. sebagai berikut:
12
GAMBAR 3.1.
PEMETAAN INFORMASI DASAR/EKSISTING (PETA TOPOGRAFI DAN KETINGGIAN KSN SOROWAKO)
13
GAMBAR 3.2.
PEMETAAN INFORMASI DASAR/EKSISTING (PETA KAWASAN EKOLOGI KRITIS KSN SOROWAKO)
14
GAMBAR 3.3.
PEMETAAN INFORMASI DASAR/EKSISTING (PETA KAWASAN KONSERVASI KSN SOROWAKO)
15
b. Kajian konsep pengembangan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap kajian konsep pengembangan meliputi:
1) mengidentifikasi tujuan dan sasaran dari RTR yang disusun; dan 2) mengidentifikasi arahan rencana struktur ruang dan rencana pola
ruang.
c. Perumusan Isu Lingkungan Hidup Awal
Keluaran dari kegiatan ini adalah data dan informasi dasar pada wilayah yang direncanakan serta daftar panjang potensi konflik dan masalah yang akan menjadi kendala terkait dengan RTR kawasan tersebut. Contoh isu-isu lingkungan hidup awal dapat dilihat pada Tabel III.2. sebagai berikut:
TABEL III.2.
CONTOH ISU-ISU LINGKUNGAN HIDUP AWAL
Isu Deskripsi
Contoh KSN berbasis Pendayagunaan Sumber Daya Alam
Kualitas dan Sumber Air Di sepanjang lembah Danau Towuti, yang meliputi Danau Motano, populasi penduduk berkembang dengan cepat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jenkins dkk, 2009, dibuktikan bahwa klasifikasi terancam punah dari Ikan Moncong Hitam (Nomorhamphus towoetii), danau ini tercemar oleh tambang nikel di dekatnya dan stasiun pembangkit listrik tenaga air.
Penggunaan Lahan - Konflik penggunaan lahan, misalnya untuk kehutanan dengan pertambangan, dan perkebunan dengan pertambangan serta kehutanan dan perkebunan.
- Masih banyak sengketa kepemilikan lahan dan izin penggunaan lahan. Di Kabupaten Morowali dan Konawe, terdapat perselisihan kepemilikan hak pertambangan antara beberapa KK dari perusahaan pertambangan dari pemerintah pusat, dan otoritas pertambangan dari pemerintah daerah, baik untuk eksplorasi maupun eksploitasi.
- Di daerah pegunungan, hutan mulai diekspos dan memburuk.
- Pergeseran fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan / ladang akan berpotensi menciptakan perubahan fungsi dalam cagar alam.
- Potensi lahan untuk perkebunan tidak digunakan secara optimal.
- Pola permukiman masih terkonsentrasi di kompleks perkebunan kota, pertambangan, dan area transmigrasi.
- Banyak konsesi pertambangan yang terletak di kawasan hutan produksi, beberapa bahkan berada dalam hutan lindung.
16
3.3.3 Tahap Pelingkupan
Pelingkupan adalah rangkaian langkah untuk menetapkan nilai penting KLHS, tujuan KLHS, isu pokok, ruang lingkup KLHS, kedalaman kajian dan kerincian penulisan dokumen, pengenalan kondisi awal, dan telaah awal kapasitas kelembagaan. Kegiatan ini dilakukan melalui pendekatan sistematis dan metodologis yang memenuhi kaidah ilmiah dan disertai konsultasi publik. Tahap pelingkupan (scoping) bertujuan untuk memantapkan isu-isu strategis lingkungan hidup dengan melakukan penilaian terhadap isu-isu lingkungan hidup awal dan menetapkan isu strategis yang disepakati oleh semua pemangku kepentingan (stakeholders).
Persyaratan untuk melakukan tahap ini adalah: a. tahap pra-pelingkupan telah selesai dilakukan; b. isu lingkungan hidup awal telah dirumuskan; dan c. melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders). Persiapan untuk melakukan pelingkupan meliputi:
a. persiapan peta-peta overlay antara peta rencana dengan kondisi eksisting; b. pengkajian hasil pra-pelingkupan dan peta-peta overlay oleh tim KLHS; dan c. persiapan material untuk sesi pelingkupan oleh kelompok keahlian (misal:
matriks pelingkupan).
Pada tahap perumusan isu strategis ini kegiatan yang dilakukan adalah menetapkan isu-isu strategis yang potensial sebagai akibat dari dampak perencanaan tata ruang yang disusun serta konflik lingkungan yang diperkirakan muncul.
Kegiatan yang dilakukan pada tahap pelingkupan adalah:
a. Penilaian dan Penetapan Isu Strategis
1) Penilaian isu strategis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
a) penilaian dengan merujuk pada pandangan para pakar sesuai dengan bidang keahlian yang difokuskan pada kajian isu strategis lingkungan pada kawasan yang direncanakan; dan
b) konsultasi publikyangdilakukan dengan melibatkan para pemangku kepentingan dalam menetapkan isu-isu strategis.
2) Penetapan isu strategis didasarkan pada kriteria:
a) menjadi fokus perhatian utama di wilayah perencanaan dan memiliki relevansi tinggi terhadap kepentingan wilayah perencanaan.
b) skala dampak dari rencana tata ruang, yaitu dampak yang berpotensi berskala regional, nasional, atau bahkan internasional; c) interaksi antar dampak, yaitu ketika terjadi konflik antar unsur-unsur
RTR;
d) dampak yang dapat ditimbulkan akibat gabungan beberapa aspek dari RTR jika tidak ditangani; dan
17 Definisi isu strategis dapat dilihat pada Gambar 3.4. sebagai berikut:
Gambar 3.4.
Ilustrasi Definisi Isu Lingkungan Strategis
Berdasarkan gambar ilustrasi di atas, terlihat bahwa suatu isu lingkungan dikatakan sebagai isu strategis apabila suatu kegiatan pembangunan menimbulkan dampak terhadap aspek-aspek fisik lingkungan dan lingkungan hidup, ekologis, dan sosial-ekonomi. Masing-masing dampak tersebut saling terkait sehingga menghasilkan akumulasi dampak yang besar.
Untuk melakukan pelingkupan ini dapat digunakan berbagai metode seperti: matriks, pohon analisis, pemodelan dan simulasi, analisis multi-kriteria, analisis skenario dan kecenderungan, analisis hirarki (analytical hierarchy process), analisis hubungan (kausalitas atau keterkaitan), model analisis Delphi, atau model analisis lainnya. Selain itu hasil pelingkupan isu-isu strategis perlu dipresentasikan dalam bentuk peta isu-isu strategis. Contoh overlay peta untuk mengidentifikasi isu strategis lingkungan hidup ditunjukkan dalam Gambar 3.5., Gambar 3.6., Gambar 3.7., Gambar 3.8., dan Gambar 3.9. sebagai berikut:
18
GAMBAR 3.5.
19
GAMBAR 3.6.
20
GAMBAR 3.7.
21
GAMBAR 3.8.
22
b. Konsultasi Publik (Pelibatan Pemangku Kepentingan)
Tujuan dari pelaksanaan konsultasi publik adalah:
1) untuk menyampaikan temuan isu-isu strategis lingkungan terkait kawasan yang direncanakan;
2) untuk memperoleh informasi tambahan yang dapat mendukung tahapan analisis KLHS lebih lanjut;
3) untuk menanggapi masukan dan tanggapan serta menyepakati isu strategis lingkungan hidup yang akan dikaji lebih lanjut; dan
4) untuk mendokumentasikan hasil diskusi dan kesepakatan pada forum FGD tahap pelingkupan sebagai bahan pertimbangan pada tahap analisis.
Pelibatan pemangku kepentingan dalam tahap pelingkupan ini diawali dengan pemetaan pemangku kepentingan. Pemetaan ini berguna untuk memilih pemangku kepentingan yang berpengaruh dan memiliki tingkat kepentingan yang tinggi terhadap rencana tata ruang yang akan disusun. Secara umum pemangku kepentingan dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1) penyusun rencana tata ruang, baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah;
2) instansi lain terkait yang membidangi lingkungan hidup serta instansi sektor lain seperti: kehutanan, pertanian, pertambangan, pariwisata, dan sektor lain sesuai dengan kekhususan rencana tata ruang yang disusun;
3) masyarakat yang memiliki informasi dan/atau keahlian, baik berasal dari perguruan tinggi, asosiasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, tokoh masyarakat, dan unsur pemerhati lingkungan hidup;
4) masyarakat yang terkena dampak, meliputi: lembaga adat, organisasi masyarakat, tokoh masyarakat, dan unsur masyarakat lainnya.
Berbagai isu strategis yang sudah disepakati baik dari hasil kajian tim pelaksana KLHS maupun hasil konsultasi publik juga perlu digambarkan dalam satu buah peta sebagaimana tampak pada Gambar 3.9. sebagai berikut:
23
GAMBAR 3.9.
24 Untuk mempermudah proses pelingkupan isu strategis dapat melihat Tabel III.3. sebagai berikut:
TABEL III.3.
CONTOH MATRIKS PELINGKUPAN ISU
Lingkungan yang
terpengaruh Isu Potensial
Penilaian KLHS sesuai dengan Pasal 16 UU No.32 tahun 2009
Dampak Strategis K in e rj a J a s a Ek o s is te m Pe m a n fa a ta n Su m b e r D a y a A la m A n c a m a n T e rh a d a p K e a n e k a ra g a m a n H a y a ti D a m p a k d a n R e s ik o L in g k u n g a n k e re n ta n a n T e rh a d a p Pe ru b a h a n Ik li m D a y a D u k u n g L in g k u n g a n Aspek Fisik-kimia Hidrologi
Abstraksi air dalam volume besar untuk kegiatan penambangan dapat menghasilkan perubahan pada pola aliran air. Hal ini akan memperparah kondisi yang ada seperti volume danau akan menurun. Hal ini adalah isu yang berskala besar dan akumulatif . Berlaku Negatif Berlaku Negatif Berlaku Negatif Berlaku Negatif Berlaku Negatif Berlaku Negatif Ya
Isu sedimentasi terkait dengan aktivitas penambangan akan menyebabkan erosi dan tingginya endapan yang tertahan dalam aliran air. Sedimen ini dapat mengakibatkan perubahan hidrologis dan peningkatan volume banjir. Hal ini
merupakan isu yang berskala besar dan
akumulatif Berlaku Negatif Tidak Dapat Diterapkan Tidak Dapat Diterapkan Berlaku Negatif Berlaku Negatif Berlaku Negatif Ya
Perubahan karakter bentang alam akibat dari daerah penambangan yang mengubah bentuk geologis dan drainase kawasan
Berlaku Negatif Tidak Dapat Diterapkan Tidak Dapat Diterapkan Berlaku Negatif Berlaku Negatif Berlaku Negatif Ya Kualitas Tanah
Potensi terjadinya area rusak yang luas jika kegiatan penambangan berakhir. Area rusak atau
wasteland terbentuk sebagai akibat dari beberapa isu, termasuk penyingkiran tanah permukaan, erosi lahan, dan pembentukan tanah asam sebagai hasil dari mineral sulfat dari proses pembuangan limbah tambang dan tingginya tingkat logam berat yang terdapat di lokasi yang terkontaminasi. Ini merupakan isu yang berskala besar dan kumulatif.
Berlaku Negatif Tidak Dapat Diterapkan Berlaku Negatif Berlaku Negatif Berlaku Negatif Berlaku Negatif Ya Kualitas Air
Logam berat dan mineral sulfat yang bocor dari lokasi penambangan terbuka atau kolam air limbah dapat menghasilkan kualitas air yang
Berlaku Negatif Tidak Dapat Diterapkan Berlaku Negatif Berlaku Negatif Tidak Dapat Diterapkan Berlaku Negatif Potensial