• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL TENTANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL TENTANG"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

NOMOR:

XX/PRT/M/2011

TENTANG

PEDOMAN PELAKSANAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

DALAM PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,

Menimbang : a. bahwa

dalam

penyusunan

rencana

tata

ruang,

Pemerintah

dan

pemerintah

daerah

harus

memperhatikan daya dukung dan daya tampung

lingkungan hidup melalui kajian lingkungan hidup

strategis yang bertujuan untuk memastikan bahwa

prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar

dan terintegrasi dalam rencana tata ruang;

b.

bahwa untuk memberikan acuan dan arahan bagi

Pemerintah

dan

pemerintah

daerah

agar

dapat

melaksanakan kajian lingkungan hidup strategis yang

efektif dan efisien dalam penyusunan rencana tata

ruang, perlu disusun pedoman pelaksanaan kajian

lingkungan hidup strategis dalam penyusunan rencana

tata ruang;

c.

bahwa

berdasarkan

pertimbangan

sebagaimana

dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan

Peraturan Menteri tentang Pedoman Pelaksanaan Kajian

Lingkungan Hidup Strategis dalam Penyusunan Rencana

Tata Ruang

;

Mengingat

: 1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4725);

(2)

2.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009

Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5059);

3.

Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang

Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103);

4.

Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang

Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara

sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan

Peraturan Presiden

Nomor 13 Tahun 2014 (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 24);

5.

Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang

Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara

Serta Susunan Organisasi Tugas dan Fungsi Eselon I

Kementerian Negara sebagaimana telah diubah beberapa

kali terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 14

Tahun 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2014 Nomor 25);

6.

Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;

7.

Peraturan

Menteri

Pekerjaan

Umum

Nomor

:

15/PRT/M/2009

tentang

Pedoman

Penyusunan

Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;

8.

Peraturan

Menteri

Pekerjaan

Umum

Nomor

:

16/PRT/M/2009

tentang

Pedoman

Penyusunan

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten;

9.

Peraturan

Menteri

Pekerjaan

Umum

Nomor

:

17/PRT/M/2009

tentang

Pedoman

Penyusunan

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota;

10.

Peraturan

Menteri

Pekerjaan

Umum

Nomor

:

08/PRT/M/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Kementerian Pekerjaan Umum;

10.

Peraturan

Menteri

Pekerjaan

Umum

Nomor

:

20/PRT/M/2011

tentang

Pedoman

Penyusunan

Rencana Detail Tata Ruang;

11.

Peraturan

Menteri

Pekerjaan

Umum

Nomor

:

15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Umum

Penyusunan

(3)

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN

MENTERI

AGRARIA

DAN

TATA

RUANG/KEPALA

BADAN

PERTANAHAN

NASIONAL

TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KAJIAN LINGKUNGAN

HIDUP STRATEGIS DALAM PENYUSUNAN RENCANA TATA

RUANG.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Bagian Kesatu

Pengertian

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut,

dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai

satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain

hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan

hidupnya.

2.

Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan

tata

ruang,

pemanfaatan

ruang,

dan

pengendalian

pemanfaatan ruang.

3.

Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk

menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi

penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.

4.

Rencana Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RTR adalah

hasil perencanaan tata ruang.

5.

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua

benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk

manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu

sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan

manusia, serta makhluk hidup lain.

6.

Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan

lingkungan

hidup

untuk

mendukung

perikehidupan

manusia,

makhluk

hidup

lain,

dan

keseimbangan

antarkeduanya.

7.

Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan

lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau

komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.

(4)

8.

Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang selanjutnya

disingkat KLHS adalah rangkaian analisis yang sistematis,

menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa

prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar

dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah

dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program.

9.

Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan

terencana yang memadukan tiga pilar, yaitu sosial, ekonomi,

dan lingkungan hidup yang menjamin kemampuan,

kesejahteraan, serta mutu hidup generasi masa kini dan

masa depan.

10.

Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah

adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang

kekuasaan

pemerintahan

negara

Republik

Indonesia

sebagaimana dimaksud Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

11.

Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau walikota

dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara

pemerintahan daerah.

12.

Menteri adalah Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala

Badan Pertanahan Nasional.

Bagian Kedua

Maksud, Tujuan, dan Ruang Lingkup

Pasal 2

(1)

Peraturan Menteri ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi

Pemerintah dan pemerintah daerah dalam melaksanakan

KLHS untuk penyusunan RTR.

(2) Peraturan Menteri ini bertujuan untuk mewujudkan RTR

yang

telah

mengintegrasikan

prinsip

pembangunan

berkelanjutan

sesuai

dengan

ketentuan

peraturan

perundang-undangan.

(3) Ruang lingkup Peraturan Menteri ini meliputi:

a.

kedudukan dan muatan KLHS dalam penyusunan RTR;

b.

prinsip dasar, persyaratan, dan mekanisme pelaksanaan

KLHS;

c.

integrasi KLHS dalam penyusunan RTR; dan

(5)

BAB II

KEDUDUKAN DAN MUATAN KLHS DALAM PENYUSUNAN RTR

Bagian Kesatu

Kedudukan KLHS dalam Penyusunan RTR

Pasal 3

Kedudukan KLHS dalam penyusunan RTR yaitu:

a. bagian dari tahapan pengolahan dan analisis dalam penyusunan RTR;

b. masukan untuk perumusan kebijakan dan strategi RTR; dan

c.

pemberi rekomendasi alternatif rencana dan indikasi program, dan/atau

upaya pencegahan atau mitigasi dari rencana dan indikasi program

setelah kebijakan dan strategi penataan ruang, rencana jaringan

infrastruktur, dan arahan pola ruang dirumuskan

Bagian Kedua

Muatan KLHS dalam Penyusunan RTR

Pasal 4

Muatan KLHS dalam penyusunan RTR antara lain berupa kajian:

a. kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk

pembangunan;

b. perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup;

c. kinerja layanan/jasa ekosistem;

d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;

e. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim;

dan

f.

tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.

Pasal 5

Ketentuan lebih rinci mengenai muatan KLHS dalam penyusunan RTR

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 tercantum dalam Lampiran yang

merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(6)

BAB III

PRINSIP DASAR, PERSYARATAN, DAN MEKANISME PELAKSANAAN KLHS

Bagian Kesatu

Prinsip Dasar Pelaksanaan KLHS

Pasal 6

Prinsip dasar pelaksanaan KLHS dalam penyusunan RTR meliputi:

a.

KLHS dilakukan untuk 1 (satu) dokumen RTR;

b.

pelaksanaan KLHS dilakukan setelah delineasinya ditetapkan dan

setidaknya telah memiliki arahan kebijakan penataan ruang yang akan

dituangkan ke dalam RTR atau setidaknya telah memiliki tema

penataan BWP khusus bagi RDTR;

c.

lingkup wilayah yang menjadi objek KLHS paling sedikit sama dengan

lingkup perencanaan;

d.

pelaksanaan KLHS memenuhi kriteria kinerja sebagai berikut:

a.

terintegrasi;

b.

berkelanjutan;

c.

terfokus; dan

d.

iteratif ;

sesuai dengan tahapan dan kedalaman penyusunan RTR;

e.

pelaku pelaksanaan KLHS dalam penyusunan RTR diutamakan yaitu

penyusun RTR dengan ahli lingkungan sebagai tim penyusun KLHS;

f.

analisis yang dilakukan dalam KLHS memiliki masa perkiraan kajian

yang sama dengan analisis dalam RTR yaitu 20 (dua puluh) tahun;

g.

kedetilan KLHS disesuaikan dengan kedetilan RTR;

h.

analisis KLHS lebih difokuskan pada isu-isu strategis lingkungan

hidup dan fokus pada agenda keberlanjutan yang bergerak dari

sumber persoalan dampak lingkungan;

i.

analisis KLHS yang dilaksanakan mampu memberikan gambaran

menyeluruh mengenai dampak RTR terhadap kondisi fisik lingkungan

hidup dan implikasi sosial;

j.

data, rumusan isu strategis, analisis, serta rumusan alternatif

rekomendasi harus konsisten;

k.

pelaksanaan KLHS untuk revisi RTR, dimana telah terdapat dokumen

KLHS sebelumnya, dilakukan dengan memperhatikan dokumen KLHS

sebelumnya;

l.

pelaksanaan KLHS bersifat partisipatif dengan melibatkan masyarakat

dan pemangku kepentingan lainnya dalam penentuan isu strategis dan

dalam pengambilan keputusan rekomendasi;

(7)

m. pelaksana KLHS dapat menggunakan pedoman penjaminan kualitas

KLHS yang disusun oleh kementerian/lembaga yang membidangi

lingkungan hidup sebagai pengontrol kualitas proses dan substansi;

dan

n.

konsultasi publik dilakukan paling sedikit 2 (dua) kali pada saat tahap

pelingkupan dan setelah dirumuskannya rekomendasi (seminar akhir)

atau dapat dilaksanakan pula bersamaan dengan konsultasi publik

pada saat proses penyusunan RTR.

Bagian Kedua

Persyaratan Pelaksanaan KLHS

Pasal 7

Persyaratan pelaksanaan KLHS dalam penyusunan RTR meliputi:

a. pelaksana KLHS yaitu Pemerintah atau pemerintah daerah yang dapat

dibantu oleh tenaga ahli dan/atau tim ahli yang memiliki kemampuan

dan keahlian di bidang perencanaan wilayah dan kota serta ilmu

lingkungan;

b. pemangku kepentingan dalam pelaksanan KLHS yaitu Pemerintah,

pemerintah daerah, masyarakat, dan dunia usaha;

c. pelaksanaan KLHS perlu melibatkan pemangku kepentingan secara

aktif;

d. dokumen RTR yang dilaksanakan KLHS yaitu dokumen RTR yang

sedang dalam proses penyusunan dan telah memiliki delineasi wilayah

yang tetap; dan

e.

menggunakan peta kerja untuk melakukan kajian yang berbasis pada

peta rencana struktur ruang dan pola ruang dengan skala sesuai

dengan RTR yang sedang disusun.

Bagian Ketiga

Mekanisme Pelaksanaan KLHS

Paragraf 1

Umum

Pasal 8

Pelaksanaan KLHS dalam penyusunan RTR dibagi menjadi beberapa tahap

meliputi:

a.

tahap persiapan;

(8)

c.

tahap pelingkupan;

d.

tahap kajian pengaruh; dan

e.

tahap perumusan alternatif dan rekomendasi.

Paragraf 2

Tahap Persiapan

Pasal 9

Tahap persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a meliputi

kegiatan:

a.

pengumpulan dokumen RTR yang sedang dalam proses penyusunan

dan telah memiliki delineasi wilayah yang tetap;

b.

penyusunan format data dan informasi yang akan dikumpulkan;

c.

penyiapan peta dasar guna lahan dengan skala sesuai dengan RTR; dan

d.

penyusunan jadwal pelaksanaan KLHS.

Paragraf 3

Tahap Pra-Pelingkupan

Pasal 10

Tahap pra-pelingkupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b

meliputi kegiatan:

a.

penyusunan dan penyajian informasi dasar;

b.

penyusunan kajian konsep pengembangan; dan

c.

perumusan isu lingkungan hidup awal.

Pasal 11

Penyusunan dan penyajian informasi dasar sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 10 huruf a meliputi kegiatan:

a.

penguraian informasi dasar yang meliputi aspek fisik lingkungan

(eksisting) dan lingkungan hidup serta ekologis dan sosial ekonomi yang

disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik masing-masing wilayah;

dan

b.

pemetaan informasi dasar dengan menggunakan sistem informasi

geografis.

(9)

Pasal 12

Penyusunan kajian konsep pengembangan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 10 huruf b meliputi kegiatan:

a.

pengidentifikasian tujuan dan sasaran dari RTR yang disusun; dan

b.

pengidentifikasian arahan rencana struktur ruang dan pola ruang.

Pasal 13

Perumusan isu lingkungan hidup awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal

10 huruf c menghasilkan keluaran berupa:

a.

data dan informasi dasar pada wilayah yang direncanakan; dan

b.

daftar potensi konflik dan masalah yang akan menjadi kendala terkait

RTR yang sedang disusun.

Paragraf 4

Tahap Pelingkupan

Pasal 14

(1)

Tahap pelingkupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c

merupakan serangkaian proses untuk menetapkan:

a.

nilai penting KLHS;

b.

tujuan KLHS;

c.

isu pokok;

d.

ruang lingkup KLHS;

e.

kedalaman kajian dan kerincian penulisan dokumen;

f.

pengenalan kondisi awal; dan

g.

telaah awal kapasitas kelembagaan.

(2)

Tahap pelingkupan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi

kegiatan:

a.

penilaian dan penetapan isu strategis; dan

b.

konsultasi publik.

Paragraf 5

Tahap Kajian Pengaruh

Pasal 15

Tahap kajian pengaruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf d

merupakan tahap analisis lanjutan setelah isu-isu strategis disepakati.

(10)

Paragraf 6

Tahap Perumusan Alternatif dan Rekomendasi

Pasal 16

Tahap perumusan alternatif dan rekomendasi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 8 huruf e dilakukan dengan mempertimbangkan hasil analisis

dampak lingkungan setelah tahap kajian pengaruh sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 15 dilakukan.

Pasal 17

Ketentuan lebih rinci mengenai tahap persiapan, tahap pra-pelingkupan,

tahap pelingkupan, tahap kajian pengaruh, serta tahap perumusan

alternatif dan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai

dengan Pasal 16 tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak

terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

BAB IV

INTEGRASI KLHS DALAM PENYUSUNAN RTR

Pasal 18

KLHS dilaksanakan secara satu-kesatuan (embedded) dengan proses

penyusunan RTR.

Pasal 19

Ketentuan lebih rinci mengenai integrasi KLHS dalam penyusunan RTR

tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari

Peraturan Menteri ini.

BAB V

DOKUMENTASI KLHS

Pasal 20

Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mendokumentasikan seluruh

proses dan hasil pelaksanaan KLHS dalam penyusunan RTR.

(11)

Pasal 21

Dokumentasi pelaksanaan KLHS dalam penyusunan RTR meliputi:

a.

pelaporan hasil KLHS; dan

b.

prosedur dalam pelaksanaan KLHS.

Pasal 22

(1)

Laporan KLHS untuk penyusunan RTR paling sedikit memuat:

a.

gambaran tentang RTR;

b.

penjelasan tentang informasi lingkungan;

c.

peraturan terkait dan sasaran lingkungan yang ditetapkan;

d.

hasil KLHS pada isu strategis, meliputi:

1.

kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup

untuk pembangunan;

2.

perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup;

3.

kinerja layanan/jasa ekosistem;

4.

efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;

5.

tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan

iklim; dan

6.

tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati;

e.

rumusan alternatif penyempurnaan RTR; dan

f.

rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan.

(2)

Dalam hal RTR yang disusun merupakan tindak lanjut dari proses

revisi RTR sebelumnya, laporan KLHS sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) memuat pula:

a.

penjelasan tentang informasi lingkungan eksisting sebelum dan

sesudah implementasi RTR; dan

b.

isu-isu strategis lingkungan hidup yang mengacu pada KLHS

sebelumnya atau isu strategis lingkungan hidup baru sesuai

dengan hasil konsultasi publik.

Pasal 23

Ketentuan lebih rinci mengenai dokumentasi KLHS dalam penyusunan RTR

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 22 tercantum

dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan

Menteri ini.

(12)

BAB V

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 24

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan

Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal

20 Desember

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,

ttd.

FERRY MURSYIDAN BALDAN

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA HAMONANGAN LAOLY

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR…

(13)

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

NOMOR

TENTANG

PEDOMAN PELAKSANAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

DALAM PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG

I.

UMUM

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional tentang Pedoman Pelaksanaan Kajian Lingkungan

Hidup Strategis dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang disusun

dengan dasar pemikiran bahwa pertimbangan lingkungan dan prinsip

pembangunan berkelanjutan harus menjadi dasar dan terintegrasi

dalam perencanaan tata ruang wilayah. Dengan demikian, Pemerintah

dan pemerintah daerah sebagai penanggungjawab penyusunan rencana

tata ruang (RTR) perlu melaksanakan Kajian Lingkungan Hidup

Strategis (KLHS). Hal ini dimaksudkan agar produk RTR yang

dikeluarkan telah memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan

ekonomi.

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) merupakan tindakan

strategis dalam menuntun dan mengarahkan agar tidak terjadi dampak

negatif dari RTR terhadap lingkungan dan keberlanjutan. Kemampuan

untuk melaksanakan KLHS dalam penyusunan RTR menjadi suatu hal

yang penting dalam meningkatkan kualitas RTR,

Secara umum Peraturan Menteri ini memuat materi-materi pokok

yang disusun secara sistematis sebagai berikut: kedudukan dan

muatan KLHS dalam penyusunan RTR; prinsip dasar, persyaratan, dan

mekanisme pelaksanaan KLHS; integrasi KLHS dalam penyusunan

RTR; dan dokumentasi KLHS.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2) …

(14)

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah

Undang–Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

beserta peraturan pelaksanaannya dan Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup beserta peraturan pelaksanaannya.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Huruf a

Daya dukung lingkungan hidup dilihat dari kapasitas

penyediaan sumber daya alam yang dibandingkan dengan

kebutuhan akan sumber daya alam tersebut, khususnya terkait

kemampuan lahan serta ketersediaan dan kebutuhan lahan dan

air dalam suatu ruang atau wilayah. Kemampuan lahan berisi

karakteristik lahan yang meliputi sifat fisik dan kimia tanah,

topografi, drainase, dan kondisi lingkungan hidup lain. Selain

itu, identifikasi kemampuan lahan juga harus memperhatikan

tingkat bahaya kerusakan dan hambatan dalam mengelola

lahan,

seperti

kemiringan

lahan, penghambat

terhadap

perakaran tanaman, tingkat erosi, dan genangan air.

Daya tampung lingkungan hidup dapat diukur dari tingkat

pencemaran dan kemampuan lingkungan mempertahankan

habitat di dalamnya.

Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dapat

diidentifikasi dari sejumlah komponen, seperti:

a.

ketersediaan dan sebaran kawasan lindung dan kawasan

budi daya;

b.

keragaman ekosistem;

c.

kondisi hidrologi, sumber air, daerah resapan air;

d.

kualitas udara;

e.

kerawanan bencana;

f.

sebaran komoditas pertanian dan perikanan;

g.

sebaran potensi energi dan sumber daya mineral;

h.

kebutuhan infrastruktur;

i.

sebaran kegiatan perkotaan;

(15)

j.

kondisi kependudukan;

k.

kondisi sosial ekonomi;

l.

kapasitas lembaga pengelola;

m.

dan sebagainya.

Melalui kajian mengenai daya dukung dan daya tampung

lingkungan hidup ini dapat diketahui apakah implementasi

rencana tata ruang akan melampaui kapasitas daya dukung dan

daya tampung lingkungan hidup atau tidak.

Huruf b

Perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup

berkaitan dengan perkiraan perubahan yang diakibatkan oleh

suatu kegiatan terhadap ekosistem pada suatu wilayah atau

kawasan. Dampak dan risiko lingkungan hidup dapat dilihat

dari jumlah populasi yang terkena dampak, luasan wilayah atau

kawasan yang terkena dampak, lamanya dampak, intensitas

dampak, komponen lingkungan yang terkena dampak, dan

pengaruh dampak pada wilayah atau kawasan yang lebih luas.

Huruf c

Melalui kajian mengenai kinerja layanan/jasa ekosistem ini

dapat diketahui apakah suatu ekosistem masih dapat

beroperasi atau tidak dalam mendukung implementasi rencana

tata ruang.

Huruf d

Efisiensi pemanfaatan sumber daya alam merupakan tingkat

optimal pemanfaatan sumber daya alam yang dapat memenuhi

kebutuhan namun tetap dapat menjaga kelestarian sumber

daya alam dan ekosistemnya yang dapat diukur dari kesesuaian

antara tingkat pemanfaatan dan pencadangan potensi dan

kebutuhan sumber daya alam.

Huruf e

Kerentanan dampak perubahan iklim dapat dilihat dari integrasi

kapasitas adaptif dengan risiko bencana iklim. Selain itu, perlu

dilihat

juga

kebijakan

nasional,

provinsi,

maupun

kabupaten/kota yang berlaku di wilayah perencanaan terkait

dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Sedangkan

kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan

kemampuan suatu sistem untuk menyesuaikan dengan dampak

perubahan iklim, mengurangi kerusakan, dan mengatasi

dampak perubahan iklim.

(16)

Huruf f

Kajian tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati

dapat menjadi landasan untuk mengembangkan program

koordinasi pengelolaan dampak lintas sektor maupun lintas

wilayah untuk memperhitungkan berbagai dampak (baik positif

maupun negatif) pada keanekaragaman hayati.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup Jelas.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15 …

(17)

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Cukup jelas.

(18)
(19)

i

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

NOMOR

:

TANGGAL

:

PEDOMAN PELAKSANAAN

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

DALAM PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG

(20)
(21)

i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR GAMBAR ... ii

DAFTAR TABEL ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Maksud dan Tujuan ... 1

1.3 Ruang Lingkup ... 1

1.4 Istilah dan Definisi ... 2

1.5 Acuan Normatif ... 2

1.6 Kedudukan Pedoman ... 3

1.7 Fungsi dan Manfaat Pedoman ... 3

1.8 Pengguna Pedoman ... 4

BAB II KEDUDUKAN DAN MUATAN KLHS DALAM PENYUSUNAN RTR ... 5

2.1 Kedudukan KLHS dalam Penyusunan RTR ... 5

2.2. Muatan KLHS dalam Penyusunan RTR……… 6

BAB III PRINSIP DASAR, PERSYARATAN, DAN MEKANISME PELAKSANAAN KLHS ... 8

3.1 Prinsip Dasar Pelaksanaan KLHS ……….. 8

3.2 Persyaratan Pelaksanaan KLHS ... 9

3.3 Mekanisme Pelaksanaan KLHS ... 9

3.3.1 Tahap Persiapan ... 9

3.3.2 Tahap Pra-Pelingkupan ... 10

3.3.3 Tahap Pelingkupan ... 16

3.3.4 Tahap Kajian Pengaruh ... 28

3.3.5 Tahap Perumusan Alternatif dan Rekomendasi ... 29

BAB IV INTEGRASI KLHS DALAM PENYUSUNAN RTR... 37

BAB V DOKUMENTASI KLHS ... 39

(22)

ii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Kedudukan Pedoman terhadap Peraturan Perundang-undangan Terkait Lainnya ... 3 Gambar 2.1. Kedudukan KLHS dalam Penyusunan RTR ... 5 Gambar 3.1. Pemetaan Informasi Dasar/Eksisiting (Peta Topografi dan

Ketinggian KSN Sorowako)... 12 Gambar 3.2. Pemetaan Informasi Dasar/Eksisiting (Peta Kawasan

Ekologi Kritis KSN Sorowako)... 13 Gambar 3.3. Pemetaan Informasi Dasar/Eksisiting (Peta Kawasan

Konservasi KSN Sorowako)... 14 Gambar 3.4. Ilustrasi Definisi Isu Lingkungan Strategis... 17 Gambar 3.5. Overlay Area Pertambangan Eksisting dengan

Rencana Pola Ruang KSN Sorowako... 18 Gambar 3.6. Overlay Reseptor Fisika-Kimia Eksisting dengan

Fitur-Fitur RTR KSN Sorowako... 19 Gambar 3.7. Overlay Kawasan Ekologi Kritis Eksisting dengan

Fitur-Fitur RTR KSN Sorowako... 20 Gambar 3.8. Overlay Reseptor Sosial-Ekonomi dan Budaya dengan

Fitur-Fitur RTR KSN Sorowako... 21 Gambar 3.9. Peta Isu-isu Strategis untuk Analisis Lebih Lanjut KSN Sorowako... 23 Gambar 4.1. Integrasi KLHS dalam Penyusunan RTR secara Satu-Kesatuan

(Embedded)………... 37

(23)

iii

DAFTAR TABEL

Tabel III.1. Informasi Dasar KLHS ... ... 10 Tabel III.2. Contoh Isu-Isu Lingkungan Hidup Awal... 15 Tabel III.3. Contoh Matriks Pelingkupan Isu... 24 Tabel III.4. Contoh Format Identifikasi Pemangku Kepentingan... 27 Tabel III.5. Contoh Perancangan Pelibatan Masyarakat dan Pemangku Kepentingan

Lainnya... 27 Tabel III.6. Contoh Hasil Pelingkupan Isu Strategis Lingkungan Hidup untuk Dianalisis

Lebih Lanjut... ... 29 Tabel III.7. Alternatif Penyempurnaan RTR... 30 Tabel III.8. Rekomendasi Perbaikan RTR... 30 Tabel III.9. Proses Pelaksanaan KLHS untuk Beberapa Dokumen Perencanaan... 32

(24)
(25)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, tujuan dari penataan ruang adalah untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional dengan:

a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;

b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan

c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Untuk memastikan bahwa pertimbangan lingkungan dan prinsip berkelanjutan menjadi dasar dan terintegrasi dalam perencanaan tata ruang wilayah, maka Pemerintah dan pemerintah daerah sebagai penanggungjawab penyusunan rencana tata ruang (RTR) perlu melaksanakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Hal ini dimaksudkan agar produk RTR yang dikeluarkan telah memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi.

Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, perlu adanya pedoman pelaksanaan KLHS dalam perencanaan tata ruang, baik rencana umum tata ruang maupun rencana rinci tata ruang. Pedoman tersebut diharapkan dapat memberikan petunjuk bagi pihak-pihak yang akan melaksanakan KLHS di dalam penyusunan RTR.

1.2 Maksud dan Tujuan a. Maksud

Pedoman ini dimaksudkan sebagai acuan dalam pelaksanaan KLHS dalam penyusunan RTR oleh Pemerintah atau pemerintah daerah.

b. Tujuan

Pedoman ini bertujuan mewujudkan RTR yang sudah mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

1.3 Ruang Lingkup

Pedoman ini memuat kedudukan dan muatan KLHS dalam penyusunan RTR; prinsip dasar, persyaratan, dan mekanisme pelaksanaan KLHS; integrasi KLHS dalam penyusunan RTR; dan dokumentasi KLHS dalam penyusunan RTR, baik rencana umum tata ruang maupun rencana rinci tata ruang.

Rencana umum tata ruang terdiri atas Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) nasional, provinsi, kabupaten, dan kota. Sedangkan rencana rinci tata ruang meliputi RTR pulau/kepulauan, RTR kawasan strategis nasional, RTR kawasan strategis provinsi, RTR kawasan strategis kabupaten/kota, dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kabupaten/kota.

(26)

2

1.4 Istilah dan Definisi

Dalam pedoman ini yang dimaksud dengan:

a. Rencana Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RTR adalah hasil perencanaan

tata ruang.

b. Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang selanjutnya disingkat KLHS adalah

rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.

c. Daya Dukung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk

mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya.

d. Daya Tampung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk

menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.

e. Dampak Lingkungan Hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup

yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.

f. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan

utuh-menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup.

g. Struktur Ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan

prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.

h. Pola Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi

peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.

i. Sumber Daya Alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya

hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem.

j. Pembangunan Berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang

memadukan tiga pilar yaitu sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup yang menjamin kemampuan, kesejahteraan, serta mutu hidup generasi masa kini dan masa depan.

k. Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan,

dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia, serta makhluk hidup lain.

l. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah upaya sistematis dan

terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

m. Mitigasi dan Adaptasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko

dan/atau dampak negatif atas pelaksanaan program pembangunan.

n. Pemangku Kepentingan adalah Pemerintah; pemerintah daerah provinsi,

kabupaten, dan/atau kota; akademisi; asosiasi; lembaga swadaya; dan masyarakat.

1.5 Acuan Normatif

Pedoman ini disusun dengan memperhatikan antara lain:

a. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;

b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; dan

c. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.

(27)

3

1.6 Kedudukan Pedoman

Pedoman ini berkaitan dengan pedoman lainnya yaitu pedoman umum pelaksanaan KLHS dan pedoman penyusunan RTR baik RTRW nasional/provinsi/kabupaten/kota maupun rencana rinci tata ruang yang telah ditetapkan. Secara diagramatis, keterkaitan pedoman ini dengan peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang ditunjukkan pada Gambar 1.1 sebagai berikut:

Gambar 1.1

Kedudukan Pedoman terhadap Peraturan Perundang-undangan Terkait Lainnya

UU Nomor 26 Tahun 2007

tentang Penataan Ruang

Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010

tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten;

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota;

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang; • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum

Nomor 15 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional.

UU Nomor 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 9 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Kajian

Lingkungan Hidup Strategis

PEDOMAN PELAKSANAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS DALAM PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG

1.7 Fungsi dan Manfaat Pedoman a. Fungsi

Fungsi pedoman ini yaitu sebagai:

1) acuan dalam memberikan pengertian dan wawasan dalam melaksanakan KLHS dalam penyusunan RTR; dan

2) memberikan arahan ketentuan muatan, proses pelaksanaan KLHS, dan pendokumentasian KLHS dalam penyusunan RTR.

(28)

4

b. Manfaat

Manfaat pedoman ini yaitu untuk dapat melaksanakan KLHS demi mewujudkan RTR yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

1.8 Pengguna Pedoman

Pengguna pedoman ini adalah Pemerintah atau pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan KLHS sebagai dokumen pelengkap perencanaan tata ruang. Masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya dapat menggunakan pedoman ini untuk mengetahui proses penyusunan KLHS dan memiliki peran dalam memberikan informasi dan masukan dalam pelaksanaan KLHS.

(29)

5

BAB II

KEDUDUKAN DAN MUATAN KLHS DALAM PENYUSUNAN RTR

2.1 Kedudukan KLHS dalam Penyusunan RTR

Sesuai dengan tujuan pelaksanaan KLHS untuk mencapai kinerja pembangunan berkelanjutan, maka kedudukan pelaksanaan KLHS adalah:

a. bagian dari tahapan pengolahan dan analisis dalam penyusunan RTR; b. masukan untuk perumusan kebijakan dan strategi RTR; dan

c. pemberi rekomendasi alternatif rencana dan indikasi program, dan/atau upaya pencegahan atau mitigasi dari rencana dan indikasi program setelah kebijakan dan strategi penataan ruang, rencana jaringan infrastruktur dan arahan pola ruang dirumuskan.

Kedudukan KLHS dalam penyusunan RTR ditunjukkan pada Gambar 2.1. sebagai berikut:

Gambar 2.1.

(30)

6

2.2 Muatan KLHS dalam Penyusunan RTR

Isu lingkungan yang berkaitan dengan perencanaan tata ruang memiliki ruang lingkup yang luas. Pelaksanaan KLHS pada penyusunan RTR harus dimulai dengan menetapkan sasaran keberlanjutan lingkungan yang akan mengarahkan keseluruhan proses dan muatannya. Untuk efektivitas dan efisiensi KLHS terhadap proses perencanaan tata ruang, perlu memfokuskan pada isu-isu keberlanjutan aktual yang terkait langsung terhadap RTR yang dikaji.

Berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, KLHS memuat kajian antara lain:

a. Kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan

Daya Dukung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya. Daya dukung lingkungan hidup dikaji untuk mengetahui kapasitas lingkungan alam dan sumber daya untuk mendukung kegiatan manusia sebagai pengguna ruang.

Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.

b. Perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup

Perkiraan dampak dan risiko lingkungan hidup yang perlu dikaji dapat berupa dampak dan risiko lingkungan hidup yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Dampak dan risiko lingkungan bersifat kuantitaif adalah dampak dan risiko terkait dengan pengaruh fisik atau kimiawi seperti tingkat pencemaran udara, tingkat pencemaran air, dan sebagainya. Sementara itu, dampak dan risiko lingkungan bersifat kualitatif adalah dampak yang berkaitan dengan aspek sosial budaya, seperti respon masyarakat, dampak pembangunan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat, dan sebagainya. Melalui perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup ini dapat diketahui apakah implementasi rencana tata ruang menimbulkan dampak positif atau negatif terhadap ekosistem pada suatu wilayah atau kawasan.

Sedangkan dalam skala yang lebih rinci, di dalam penyelenggaraan suatu usaha maupun kegiatan harus selalu mempertimbangkan dampak dan resiko yang ditimbulkan. Hal ini perlu dikaji lebih mendalam khususnya bagi RTR yang berskala detail sehingga KLHS dapat menjadi pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan.

c. Kinerja layanan/jasa ekosistem

Ekosistem mampu menyediakan manfaat baik secara fisik yang dapat langsung dirasakan oleh manusia, seperti bahan pangan, air, dan sebagainya, maupun tidak langsung misalnya untuk mengatur iklim global. Penyusunan kebijakan dan program pembangunan seharusnya tidak mengganggu lingkungan yang mengakibatkan jasa ekosistem berkurang.

Tingginya permintaan terhadap layanan/jasa ekosistem akan berlangsung sejalan dengan peningkatan degradasi lingkungan dan munculnya pertukaran antarjasa lingkungan. Untuk itu, dalam menelaah kinerja layanan/jasa ekosistem perlu memperhatikan perkiraan permintaan dan konsumsi sumber daya alam, jumlah populasi manusia yang menggunakan ekosistem, dan dampak pemanfaatan suatu ekosistem terhadap ekosistem lainnya.

d. Efisiensi pemanfaatan sumber daya alam

Sumber daya alam sebagai salah satu modal dasar pembangunan harus dimanfaatkan sepenuhnya dengan cara yang tidak merusak. Oleh karena itu, pemanfaatan sumber daya alam harus dilakukan secara efisien. Apalagi di negara berkembang, terdapat cukup banyak hambatan dalam proses pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam tersebut.

Dengan demikian, diperlukan suatu kajian untuk merencanakan bagaimana pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam tersebut agar berkelanjutan. Melalui perhitungan

(31)

7

efisiensi pemanfaatan sumber daya alam, dapat diperkirakan pula apakah implementasi suatu rencana tata ruang dapat memanfaatkan sumber daya alam secara efisien atau tidak.

e. Tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim

Kerentanan dampak perubahan iklim dapat dilihat melalui pemetaan kerentanan yang dilihat dari kondisi geografis wilayah atau kawasan, kondisi topografi, interaksi lautan-atmosfer-daratan, analisis iklim historis, dan analisis pola atau tren curah hujan. Kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim ini dapat dilihat dari daya dukung lingkungan, ketersediaan relugasi, adanya kelembagaan yang kuat, dan ketersediaan sumber daya manusia.

Dalam perencanaan tata ruang, kajian resiko sebagai salah satu masukan dalam proses perencanaan adaptasi perubahan iklim seharusnya sudah dilaksanakan. KLHS dapat menjadi pelengkap kajian tersebut dengan melaksanakan kajian mendalam yang mengarusutamakan perubahan iklim untuk diintegrasikan dalam proses perumusan kebijakan, rencana, maupun program-program dalam RTR.

f. Tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati

Pembangunan ekonomi daerah dan infrastruktur memerlukan perencanaan yang matang sebab bukan tidak mungkin akan mengakibatkan dampak buruk bagi kelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati pada jangka panjang. Terlebih untuk kawasan yang dilindungi, sejumlah ketentuan khusus harus ditetapkan dan ketentuan tersebut muncul dari hasil kajian terhadap perkiraan dampak dari pembangunan di sekitar kawasan tersebut.

Muatan KLHS ini berbeda dengan muatan analisis aspek fisik dan lingkungan dalam penyusunan RTR. Berdasarkan Permen PU No. 20/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknik Analisis Fisik dan Lingkungan, Ekonomi, serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang, menyebutkan bahwa analisis aspek fisik dan lingkungan adalah analisis untuk mengenali karakteristik sumber daya alam dengan menelaah kemampuan dan kesesuaian lahan agar pemanfaatan lahan dapat dilakukan secara optimal dengan tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem. Sementara KLHS dalam penyusunan RTR lebih memfokuskan pada kajian pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau program terhadap keberlangsungan lingkungan hidup yang tidak hanya menyangkut ketersediaan sumber daya lahan. KLHS juga meliputi kajian pengaruh terhadap kinerja ekosistem dan keanekaragaman hayati.

(32)

8

BAB III

PRINSIP DASAR, PERSYARATAN, DAN MEKANISME

PELAKSANAAN KLHS

3.1 Prinsip Dasar Pelaksanaan KLHS

Pelaksanaan KLHS dalam penyusunan RTR perlu merujuk pada prinsip dasar berikut:

a. KLHS dilakukan untuk 1 (satu) dokumen RTR;

b. pelaksanaan KLHS dilakukan setelah delineasinya ditetapkan dan setidaknya telah memiliki arahan kebijakan penataan ruang yang akan dituangkan ke dalam RTR atau setidaknya telah memiliki tema penataan BWP khusus bagi RDTR; c. lingkup wilayah yang menjadi objek KLHS paling sedikit sama dengan lingkup

perencanaan;

d. pelaksanaan KLHS memenuhi kriteria kinerja sebagai berikut: 1) terintegrasi;

2) berkelanjutan; 3) terfokus; dan 4) iteratif ;

sesuai dengan tahapan dan kedalaman penyusunan RTR;

e. pelaku pelaksanaan KLHS dalam penyusunan RTR diutamakan yaitu penyusun RTR dengan ahli lingkungan sebagai tim penyusun KLHS;

f. analisis yang dilakukan dalam KLHS memiliki masa perkiraan kajian yang sama dengan analisis dalam RTR yaitu 20 (dua puluh) tahun;

g. kedetilan KLHS disesuaikan dengan kedetilan RTR;

h. analisis KLHS lebih difokuskan pada isu-isu strategis lingkungan hidup dan fokus pada agenda keberlanjutan yang bergerak dari sumber persoalan dampak lingkungan;

i. analisis KLHS yang dilaksanakan mampu memberikan gambaran menyeluruh mengenai dampak RTR terhadap kondisi fisik lingkungan hidup dan implikasi sosial;

j. data, rumusan isu strategis, analisis, serta rumusan alternatif rekomendasi harus konsisten;

k. pelaksanaan KLHS untuk revisi RTR, dimana telah terdapat dokumen KLHS sebelumnya, dilakukan dengan memperhatikan dokumen KLHS sebelumnya; l. pelaksanaan KLHS bersifat partisipatif dengan melibatkan masyarakat dan

pemangku kepentingan lainnya dalam penentuan isu strategis dan dalam pengambilan keputusan rekomendasi;

m. pelaksana KLHS dapat menggunakan pedoman penjaminan kualitas KLHS yang disusun oleh kementerian/lembaga yang membidangi lingkungan hidup sebagai pengontrol kualitas proses dan substansi; dan

n. konsultasi publik dilakukan paling sedikit 2 (dua) kali pada saat tahap pelingkupan dan setelah dirumuskannya rekomendasi (seminar akhir) atau dapat dilaksanakan pula bersamaan dengan konsultasi publik pada saat proses penyusunan RTR.

(33)

9

3.2 Persyaratan Pelaksanaan KLHS

Persyaratan dalam penerapan pedoman pelaksanaan KLHS dalam penyusunan RTR adalah sebagai berikut:

a. pelaksana KLHS adalah Pemerintah dan pemerintah daerah yang dapat dibantu oleh tenaga ahli dan/atau tim ahli yang memiliki kemampuan dan keahlian di bidang Perencanaan Wilayah dan Kota serta Ilmu Lingkungan;

b. pemangku kepentingan dalam pelaksanaan KLHS adalah Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan dunia usaha;

c. pelaksanaan KLHS perlu melibatkan pemangku kepentingan secara aktif;

d. dokumen RTR yang dilaksanakan KLHS adalah dokumen RTR yang sedang dalam proses penyusunan dan telah memiliki deliniasi wilayah yang tetap; dan e. menggunakan peta kerja untuk melakukan kajian yang berbasis pada peta

rencana struktur ruang dan pola ruang dengan skala sesuai RTR yang sedang disusun.

3.3 Mekanisme Pelaksanaan KLHS

Pelaksanaan KLHS dalam penyusunan RTR dibagi menjadi beberapa tahap yang meliputi:

a. Tahap Persiapan; b. Tahap Pra-Pelingkupan; c. Tahap Pelingkupan;

d. Tahap Kajian Pengaruh; dan

e. Tahap Perumusan Alternatif dan Rekomendasi.

3.3.1 Tahap Persiapan

Kegiatan yang dilakukan pada tahap persiapan meliputi:

a. pengumpulan dokumen RTR yang sedang dalam proses penyusunan dan telah memiliki deliniasi wilayah yang tetap atau dokumen RTR yang akan direvisi;

b. penyusunan format data dan informasi yang akan dikumpulkan, berupa daftar informasi dasar;

c. penyiapan peta dasar guna lahan dengan skala sesuai dengan RTR; dan d. penyusunan jadwal pelaksanaan KLHS.

(34)

10

TABEL III.1.

INFORMASI DASAR KLHS

Aspek Jenis Data Bentuk Data Keterangan

Fisika-Kimia Geologi Peta Iklim Deskripsi Topografi Peta Hidrologi Peta

Kualitas Air Tabel/Grafik Parameter Kualitas udara Tabel/Grafik Parameter Daerah rawan bencana Peta

…dst

Ekologi Fitur ekologi kritis/penting Deskripsi Habitat penting Deskripsi

Spesies penting Deskripsi IUCN Kawasan konservasi Peta, Deskripsi

…dst

Sosial-ekonomi

Penggunaan lahan Peta, Deskripsi Eksisting Demografi Tabel, Deskripsi

Budaya dan tradisi Deskripsi

Ekonomi Deskripsi Time Series Kegiatan ekonomi utama/khusus

(pertambangan/perkebunan/pariwisata)

Peta, Deskripsi Time Series Sarana dan prasarana Peta, Deskripsi Eksisting …dst

3.3.2 Tahap Pra-Pelingkupan

Pra pelingkupan adalah rangkaian persiapan sebelum dilakukan proses pelingkupan, antara lain dilakukan dengan mempersiapkan daftar isu strategis lingkungan, isu sosial budaya, dan isu ekonomi.

Tahap pra-pelingkupan (pre-scoping) bertujuan untuk menyusun informasi dasar (baseline), melakukan kajian terhadap RTR, dan perumusan isu strategis lingkungan hidup awal.

Persyaratan untuk melakukan tahap ini adalah: a. deliniasi wilayah kajian sudah ditentukan; b. konsep pengembangan sudah ditentukan; dan

c. informasi dasar lingkungan yang meliputi aspek fisik lingkungan, keanekaragaman hayati, sosial, dan ekonomi sudah tersusun.

Kegiatan yang dilakukan pada tahap pra-pelingkupan adalah:

a. Kegiatan Penyusunan dan Penyajian Informasi Dasar

Pemahaman kondisi lingkungan serta kecenderungannya dibutuhkan baik bagi perencanaan tata ruang dan pelaksanaan KLHS. Pada umumnya KLHS bergantung pada ketersediaan data sekunder, namun dapat dilakukan pengumpulan data primer untuk isu yang sensitif dan/atau informasi yang jumlahnya sedikit.

Kegiatan yang dilakukan pada tahap penyusunan informasi dasar meliputi:

1) menguraikan tentang informasi dasar meliputi aspek fisik lingkungan (eksisting) dan lingkungan hidup, ekologis dan sosial ekonomi, yang

(35)

11 disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik masing-masing wilayah.

a) informasi fisik lingkungan pada wilayah yang terpengaruh perencanaan tata ruang, antara lain:

 iklim;

 topografi;

 geologi;

 kualitas udara; dan

 kualitas air.

b) informasi ekologis, antara lain:

 permasalahan kualitas lingkungan;

 kawasan alami ataupun buatan yang berisiko dari pencemaran kegiatan industri eksisting, bencana alam antara lain tsunami, gempa bumi, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, dan/atau angin topan;

 habitat darat atau laut sensitif seperti mangrove, koral, rawa, sungai, danau, hutan lindung; dan

 kawasan konservasi atau perlindungan. c) informasi sosial ekonomi, antara lain:

 kegiatan ekonomi utama (industri/pertanian/pariwisata/dll);

 budaya;

 permasalahan sosial-ekonomi eksisting; dan

 infrastruktur dan guna lahan eksisting.

2) memetakan kelompok informasi tersebut menggunakan pemetaan sistem informasi geografis (peta SIG). Data yang dibutuhkan antara lain:

a) informasi spasial dari lembaga pemerintah terkait (misal: pemerintah provinsi/kabupaten/kota, kementerian/lembaga, dan lainnya);

b) database spasial dari LSM, perguruan tinggi, atau asosiasi lokal;

c) informasi sekunder yang diterjemahkan kepada peta; dan d) peta hasil survey lokasi.

Peta SIG harus cukup jelas, sederhana, dan fokus untuk memastikan bahwa data yang relevan tersajikan dengan baik. Sebagai contoh, simbol yang menunjukkan lokasi dari spesies atau habitat sensitif, kawasan konflik guna lahan, atau melingkari kawasan terjadinya penurunan kualitas udara.

Contoh pemetaan informasi dasar/eksisting diuraikan dalam Gambar 3.1., Gambar 3.2., dan Gambar 3.3. sebagai berikut:

(36)

12

GAMBAR 3.1.

PEMETAAN INFORMASI DASAR/EKSISTING (PETA TOPOGRAFI DAN KETINGGIAN KSN SOROWAKO)

(37)

13

GAMBAR 3.2.

PEMETAAN INFORMASI DASAR/EKSISTING (PETA KAWASAN EKOLOGI KRITIS KSN SOROWAKO)

(38)

14

GAMBAR 3.3.

PEMETAAN INFORMASI DASAR/EKSISTING (PETA KAWASAN KONSERVASI KSN SOROWAKO)

(39)

15

b. Kajian konsep pengembangan

Kegiatan yang dilakukan pada tahap kajian konsep pengembangan meliputi:

1) mengidentifikasi tujuan dan sasaran dari RTR yang disusun; dan 2) mengidentifikasi arahan rencana struktur ruang dan rencana pola

ruang.

c. Perumusan Isu Lingkungan Hidup Awal

Keluaran dari kegiatan ini adalah data dan informasi dasar pada wilayah yang direncanakan serta daftar panjang potensi konflik dan masalah yang akan menjadi kendala terkait dengan RTR kawasan tersebut. Contoh isu-isu lingkungan hidup awal dapat dilihat pada Tabel III.2. sebagai berikut:

TABEL III.2.

CONTOH ISU-ISU LINGKUNGAN HIDUP AWAL

Isu Deskripsi

Contoh KSN berbasis Pendayagunaan Sumber Daya Alam

Kualitas dan Sumber Air Di sepanjang lembah Danau Towuti, yang meliputi Danau Motano, populasi penduduk berkembang dengan cepat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jenkins dkk, 2009, dibuktikan bahwa klasifikasi terancam punah dari Ikan Moncong Hitam (Nomorhamphus towoetii), danau ini tercemar oleh tambang nikel di dekatnya dan stasiun pembangkit listrik tenaga air.

Penggunaan Lahan - Konflik penggunaan lahan, misalnya untuk kehutanan dengan pertambangan, dan perkebunan dengan pertambangan serta kehutanan dan perkebunan.

- Masih banyak sengketa kepemilikan lahan dan izin penggunaan lahan. Di Kabupaten Morowali dan Konawe, terdapat perselisihan kepemilikan hak pertambangan antara beberapa KK dari perusahaan pertambangan dari pemerintah pusat, dan otoritas pertambangan dari pemerintah daerah, baik untuk eksplorasi maupun eksploitasi.

- Di daerah pegunungan, hutan mulai diekspos dan memburuk.

- Pergeseran fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan / ladang akan berpotensi menciptakan perubahan fungsi dalam cagar alam.

- Potensi lahan untuk perkebunan tidak digunakan secara optimal.

- Pola permukiman masih terkonsentrasi di kompleks perkebunan kota, pertambangan, dan area transmigrasi.

- Banyak konsesi pertambangan yang terletak di kawasan hutan produksi, beberapa bahkan berada dalam hutan lindung.

(40)

16

3.3.3 Tahap Pelingkupan

Pelingkupan adalah rangkaian langkah untuk menetapkan nilai penting KLHS, tujuan KLHS, isu pokok, ruang lingkup KLHS, kedalaman kajian dan kerincian penulisan dokumen, pengenalan kondisi awal, dan telaah awal kapasitas kelembagaan. Kegiatan ini dilakukan melalui pendekatan sistematis dan metodologis yang memenuhi kaidah ilmiah dan disertai konsultasi publik. Tahap pelingkupan (scoping) bertujuan untuk memantapkan isu-isu strategis lingkungan hidup dengan melakukan penilaian terhadap isu-isu lingkungan hidup awal dan menetapkan isu strategis yang disepakati oleh semua pemangku kepentingan (stakeholders).

Persyaratan untuk melakukan tahap ini adalah: a. tahap pra-pelingkupan telah selesai dilakukan; b. isu lingkungan hidup awal telah dirumuskan; dan c. melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders). Persiapan untuk melakukan pelingkupan meliputi:

a. persiapan peta-peta overlay antara peta rencana dengan kondisi eksisting; b. pengkajian hasil pra-pelingkupan dan peta-peta overlay oleh tim KLHS; dan c. persiapan material untuk sesi pelingkupan oleh kelompok keahlian (misal:

matriks pelingkupan).

Pada tahap perumusan isu strategis ini kegiatan yang dilakukan adalah menetapkan isu-isu strategis yang potensial sebagai akibat dari dampak perencanaan tata ruang yang disusun serta konflik lingkungan yang diperkirakan muncul.

Kegiatan yang dilakukan pada tahap pelingkupan adalah:

a. Penilaian dan Penetapan Isu Strategis

1) Penilaian isu strategis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

a) penilaian dengan merujuk pada pandangan para pakar sesuai dengan bidang keahlian yang difokuskan pada kajian isu strategis lingkungan pada kawasan yang direncanakan; dan

b) konsultasi publikyangdilakukan dengan melibatkan para pemangku kepentingan dalam menetapkan isu-isu strategis.

2) Penetapan isu strategis didasarkan pada kriteria:

a) menjadi fokus perhatian utama di wilayah perencanaan dan memiliki relevansi tinggi terhadap kepentingan wilayah perencanaan.

b) skala dampak dari rencana tata ruang, yaitu dampak yang berpotensi berskala regional, nasional, atau bahkan internasional; c) interaksi antar dampak, yaitu ketika terjadi konflik antar unsur-unsur

RTR;

d) dampak yang dapat ditimbulkan akibat gabungan beberapa aspek dari RTR jika tidak ditangani; dan

(41)

17 Definisi isu strategis dapat dilihat pada Gambar 3.4. sebagai berikut:

Gambar 3.4.

Ilustrasi Definisi Isu Lingkungan Strategis

Berdasarkan gambar ilustrasi di atas, terlihat bahwa suatu isu lingkungan dikatakan sebagai isu strategis apabila suatu kegiatan pembangunan menimbulkan dampak terhadap aspek-aspek fisik lingkungan dan lingkungan hidup, ekologis, dan sosial-ekonomi. Masing-masing dampak tersebut saling terkait sehingga menghasilkan akumulasi dampak yang besar.

Untuk melakukan pelingkupan ini dapat digunakan berbagai metode seperti: matriks, pohon analisis, pemodelan dan simulasi, analisis multi-kriteria, analisis skenario dan kecenderungan, analisis hirarki (analytical hierarchy process), analisis hubungan (kausalitas atau keterkaitan), model analisis Delphi, atau model analisis lainnya. Selain itu hasil pelingkupan isu-isu strategis perlu dipresentasikan dalam bentuk peta isu-isu strategis. Contoh overlay peta untuk mengidentifikasi isu strategis lingkungan hidup ditunjukkan dalam Gambar 3.5., Gambar 3.6., Gambar 3.7., Gambar 3.8., dan Gambar 3.9. sebagai berikut:

(42)

18

GAMBAR 3.5.

(43)

19

GAMBAR 3.6.

(44)

20

GAMBAR 3.7.

(45)

21

GAMBAR 3.8.

(46)

22

b. Konsultasi Publik (Pelibatan Pemangku Kepentingan)

Tujuan dari pelaksanaan konsultasi publik adalah:

1) untuk menyampaikan temuan isu-isu strategis lingkungan terkait kawasan yang direncanakan;

2) untuk memperoleh informasi tambahan yang dapat mendukung tahapan analisis KLHS lebih lanjut;

3) untuk menanggapi masukan dan tanggapan serta menyepakati isu strategis lingkungan hidup yang akan dikaji lebih lanjut; dan

4) untuk mendokumentasikan hasil diskusi dan kesepakatan pada forum FGD tahap pelingkupan sebagai bahan pertimbangan pada tahap analisis.

Pelibatan pemangku kepentingan dalam tahap pelingkupan ini diawali dengan pemetaan pemangku kepentingan. Pemetaan ini berguna untuk memilih pemangku kepentingan yang berpengaruh dan memiliki tingkat kepentingan yang tinggi terhadap rencana tata ruang yang akan disusun. Secara umum pemangku kepentingan dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1) penyusun rencana tata ruang, baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah;

2) instansi lain terkait yang membidangi lingkungan hidup serta instansi sektor lain seperti: kehutanan, pertanian, pertambangan, pariwisata, dan sektor lain sesuai dengan kekhususan rencana tata ruang yang disusun;

3) masyarakat yang memiliki informasi dan/atau keahlian, baik berasal dari perguruan tinggi, asosiasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, tokoh masyarakat, dan unsur pemerhati lingkungan hidup;

4) masyarakat yang terkena dampak, meliputi: lembaga adat, organisasi masyarakat, tokoh masyarakat, dan unsur masyarakat lainnya.

Berbagai isu strategis yang sudah disepakati baik dari hasil kajian tim pelaksana KLHS maupun hasil konsultasi publik juga perlu digambarkan dalam satu buah peta sebagaimana tampak pada Gambar 3.9. sebagai berikut:

(47)

23

GAMBAR 3.9.

(48)

24 Untuk mempermudah proses pelingkupan isu strategis dapat melihat Tabel III.3. sebagai berikut:

TABEL III.3.

CONTOH MATRIKS PELINGKUPAN ISU

Lingkungan yang

terpengaruh Isu Potensial

Penilaian KLHS sesuai dengan Pasal 16 UU No.32 tahun 2009

Dampak Strategis K in e rj a J a s a Ek o s is te m Pe m a n fa a ta n Su m b e r D a y a A la m A n c a m a n T e rh a d a p K e a n e k a ra g a m a n H a y a ti D a m p a k d a n R e s ik o L in g k u n g a n k e re n ta n a n T e rh a d a p Pe ru b a h a n Ik li m D a y a D u k u n g L in g k u n g a n Aspek Fisik-kimia Hidrologi

Abstraksi air dalam volume besar untuk kegiatan penambangan dapat menghasilkan perubahan pada pola aliran air. Hal ini akan memperparah kondisi yang ada seperti volume danau akan menurun. Hal ini adalah isu yang berskala besar dan akumulatif . Berlaku Negatif Berlaku Negatif Berlaku Negatif Berlaku Negatif Berlaku Negatif Berlaku Negatif Ya

Isu sedimentasi terkait dengan aktivitas penambangan akan menyebabkan erosi dan tingginya endapan yang tertahan dalam aliran air. Sedimen ini dapat mengakibatkan perubahan hidrologis dan peningkatan volume banjir. Hal ini

merupakan isu yang berskala besar dan

akumulatif Berlaku Negatif Tidak Dapat Diterapkan Tidak Dapat Diterapkan Berlaku Negatif Berlaku Negatif Berlaku Negatif Ya

Perubahan karakter bentang alam akibat dari daerah penambangan yang mengubah bentuk geologis dan drainase kawasan

Berlaku Negatif Tidak Dapat Diterapkan Tidak Dapat Diterapkan Berlaku Negatif Berlaku Negatif Berlaku Negatif Ya Kualitas Tanah

Potensi terjadinya area rusak yang luas jika kegiatan penambangan berakhir. Area rusak atau

wasteland terbentuk sebagai akibat dari beberapa isu, termasuk penyingkiran tanah permukaan, erosi lahan, dan pembentukan tanah asam sebagai hasil dari mineral sulfat dari proses pembuangan limbah tambang dan tingginya tingkat logam berat yang terdapat di lokasi yang terkontaminasi. Ini merupakan isu yang berskala besar dan kumulatif.

Berlaku Negatif Tidak Dapat Diterapkan Berlaku Negatif Berlaku Negatif Berlaku Negatif Berlaku Negatif Ya Kualitas Air

Logam berat dan mineral sulfat yang bocor dari lokasi penambangan terbuka atau kolam air limbah dapat menghasilkan kualitas air yang

Berlaku Negatif Tidak Dapat Diterapkan Berlaku Negatif Berlaku Negatif Tidak Dapat Diterapkan Berlaku Negatif Potensial

Gambar

Gambar 1.1.   Kedudukan Pedoman terhadap Peraturan Perundang-undangan Terkait  Lainnya ......................................................................................................
TABEL III.1.
TABEL III.2.
TABEL III.3.
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini verifikasi hasil model dilakukan terhadap elevasi pasang surut, suhu permukaan dan suhu vertikal serta verifikasi pola arus permukaan yang diperoleh dari

Willingness to Pay Sumber Air Bersih Peubah pendapatan berpengaruh tidak signifikan terhadap kecenderungan pilihan sumber air PDAM, yakni sebesar 0.793 pada (1/2) dan.. Nilai

PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2021 TENTANG PETA PROSES BISNIS KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/

Pengambilan sampel litter dilakukan dengan mengambil sampel litter pada pemeliharaan hari ke – 28 dengan cara mengaduk keseluruhan litter yang terdapat dalam

Dari kegiatan penelitian rancang bangun rangkaian pengkondisi sinyal untuk sensor nitrat amperometrik ini, dapat diperoleh simpulan bahwa pembuatan rangkaian pengkondisi sinyal

Para dosen dan rekan-rekan penulis di Program Studi Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muria Kudus yang telah banyak memberikan bantuan

Nama Dokter, SIP, alamat, telepon, paraf atau tanda tangan dokter serta tanggal penulisan resep sangat penting dalam penulisan resep agar ketika Apoteker

Perilaku yang ditampilkan oleh siswa, bukan sikap yang dibuat- buat tetapi belum terbiasanya belajar dengan penggunaan kalimat acak, hal ini sesuai dengan hasil observasi